PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Jepang adalah salah satu negara dengan pengaruh budaya yang kuat, dilihat dari tinjauan
sejarah peradaban Jepang yang cukup kompleks. Budaya Jepang menjadi salah satu jalan Jepang
berkembang sebagai satu dari sekian negara maju di dunia.
Banyak hal yang menarik dari Jepang. Seperti pola kehidupan keluarga yang mereka
jalani selama ini setelah perang dunia II. Mulai dari perkawinan & perceraian, system keluarga,
sampai pola asuh terhadap anak-anak mereka. Yang lebih lanjut akan dibahas di dalam makalah
ini.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, dalam penelitian ini permasalahan akan difokuskan
kepada :
Bagaimana system perkawinan dan perceraian Jepang?
Bagaimana sistem Keluarga dan Nilai-nilai keluarga di Jepang pasca Perang Dunia II?
Bagaimana fenomena-fenomena yang terjadi terkait dengan keluarga di Jepang dan apa
dampaknya bagi masa depan Jepang?
Bagaimana pola asuh anak yang mereka jalankan di Jepang?
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan Penulisan makalah ini adalah:
Untuk mengetahui system perkawinan dan Perceraian yang mereka terapkan
Untuk mengetahui system keluarga dan Nilai-nilai keluarga di Jepang pasca Perang
Dunia II
Untuk mengetahui fenomena-fenomena yang terjadi terkait dengan keluarga di Jepang
dan apa dampaknya bagi masa depan Jepang?
Untuk mengetahui pola asuh anak yang mereka terapkan di Jepang.
BAB 2
PEMBAHASAN
Sistem Perkawinan dan Perceraian di Jepang
Perkawinan
Perkawinan yang diatur oleh perantara (nakodo), masih banyak dipraktekkan.
Diperkirakan sampai tahun 1985 sekitar separuh dari pasangan perkawinan di Jepang
dipersatukan dengan cara ini Namun, perkawinan berdasarkan cinta juga semakin meningkat.
Lebih dari 70 persen pasangan perkawinan sejak tahun 1970 menikah berdasarkan
cinta.Dalam pemilihan pasangan perkawinan, latar belakang kelas turut diperhitungkan lebih
cendrung mencari pasangan yang memiliki latar belakang pekerjaan dan pendidikan yang
sama, dilihat dari:
Secara keseluruhan, kesamaan kelas pada pasangan perkawinan lebih menonjol daripada
kesamaan kelas orang tua mereka.
Perceraian
Perempuan bercerai di Jepang dihukum dalam berbagai bidang kehidupan:
1. Seorang ibu rumah-tangga yang tidak mempunyai penghasilan tetap, tidak
dimungkinkan untuk mendapatkan kepemilikan bersama dari rumah atau flat
tempat ia tinggal bersama suaminya.
2. Meskipun si ibu memenangkan hak pengasuhan anak-anak pada sekitar dua
pertiga kasus perceraian, ia tidak dapat secara realistis mengharapkan mantan
suaminya untuk ikut membantu pembiayaan pengasuhan anak.
Kemampuan aparat hukum terbatas dalam menegakkan keputusan-keputusan pengadilan
keluarga.
Meskipun terus meningkat sejak 1980-an, angka perceraian di Jepang tetap rendah
dibandingkan negara-negara Barat terkemuka. Rendahnya independensi ekonomi kebanyakan
perempuan merupakan alasan utama untuk tetap mempertahankan perkawinan.
Mereka yang berada pada kelompok usia pertengahan dan yang lebih tua,
dimana tingkat perceraian relatif rendah, cendrung lebih mengandalkan pengadilan
keluarga.
Pada tahun-tahun sesudah perang, kasus perceraian terbanyak terjadi pada pasangan yang usia
keluarga, dan bisnis keluarga diwariskan dari ayah ke anak tertua sepanjang garis paternal
yang dapat meluas untuk generasi selanjutnya.4 Anak tertua (laki-laki) akan menjadi
pemimpin keluarga yang dikenal dengan sebutan kachou. Dengan begitu, segala warisan
akan jatuh ke tangannya termasuk sistem kepemimpinan yang akan diteruskan.
Pada era Restorasi Meiji, pemerintah Meiji mengeluarkan hukum perdata yang
dikenal dengan Meiji Minpou atau Undang-Undang Sipil Meiji, pada 1896. Dalam
hukum ini, sistem Ie yang sebelumnya hanya berlaku untuk kalangan bangsawan dan
samurai, mulai diberlakukan untuk seluruh lapisan masyarakat. Hal ini tak lain
merupakan upaya untuk mengejar ketertinggalan dengan dunia Barat, serta, sitem
keluarga ini merupakan ideologi politik di masa pemerintahan Meiji. Setelah
diberlakukannya, sistem Ie semakin menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan. Salah
satu yang mengikat adalah struktur chokkei kazoku, yang menjadi struktur dominan di era
Meiji. Struktur chokkei kazoku yaitu keluarga tiga generasi tinggal di bawah satu atap
menjadikan nilai Ie bersifat family oriented. Di masa ini, keturunan adalah hal yang
sangat dinanti, tujuannya untuk meneruskan keluarga. Karena itulah pada masa ini
pernikahan meningkat. Menikah, seperti di Zaman Edo, dinilai sebagai harapan terbesar
kaum wanita. Sesuai dengan era Meiji yang berorientasi kepada kemajuan bangsa Jepang,
pernikahan dan keturunan (terutama laki-laki) dianggap sebagai suatu keharusan untuk
nama baik keluarga dan Jepang.
Tetapi, pasca Perang Dunia II, terutama dengan fenomena perkembangan
ekonomi yang meningkat drastis di Jepang, beberapa nilai-nilai dalam sistem Ie ini
cenderung berubah. Perubahan tersebut bahkan mengarah kepada hal yang krusial, terkait
dengan masa depan bangsa Jepang itu sendiri. Perubahan yang signifikan terjadi
semenjak penghapusan Meiji Minpou secara hukum pada 1947.
Sistem Ie tidak hanya mengikat kaum bangsawan dan samurai, tetapi juga ke
seluruh masyarakat hingga ke wilayah pedesaan. Dalam sistem Ie, sosok ayah, suami, dan
anak laki-laki tertua sangat dihormati. Hal itu disebabkan oleh sistem Ie yang bersifat
patriarki. Karena itu, peran perempuan di dalam keluarga hanya sebagai pengurus rumah
tangga. Kedudukan laki-laki (suami) lebih tinggi dibandingkan perempuan (istri). Di
dalam kebiasaan masyarakat Jepang tradisional, perempuan harus menghormati ayah,
suami, dan anak laki-laki tertuanya. Secara garis keluarga, seorang perempuan yang
anggota keluarga yang lain.30 Anak bukan lagi dianggap sebagai suatu keharusan, malah
mulai dianggap sebagai beban ekonomi. Bukan itu saja, dalam pernikahan pun, yang
sebelum Perang Dunia II dianggap sebagai kebahagiaan kaum perempuan, kini dianggap
sebagai belenggu kebebasan. Banyak pemuda Jepang, baik laki-laki maupun perempuan,
menunda pernikahan atau bahkan memutuskan untuk tidak menikah sama sekali.31 Pada
masa tradisional, pernikahan diberlangsungkan atas dasar perjodohan atau miai kekkon,
sementara setelah begesernya nilai-nilai mengenai pernikahan, di samping pernikahan
yang terlambat atau tidak menikah sama sekali, miai kekkon sudah jarang berlaku. Kini
pada umunya adalah renai kekkon atau pernikahan yang didasari atas pilihan sendiri.
Pada dasarnya, perubahan-perubahan nilai dalam keluarga yang dikemukakan
tersebut tidak terlepas dari transformasi Jepang menjadi dunia modern yang
menitikberatkan kepada kebijakan pembangunan ekonomi pasca Perang Dunia II. Faktorfaktor ekonomi yang berkaitan dengan perubahan nilai terhadap keluarga ini tidak
terlepas dari fenomena-fenomena yang terjadi di bidang ekonomi Jepang. Pada awal
tahun 1950-an, kehancuran ekonomi Jepang akibat Perang Dunia II mulai pulih seiring
dengan turut sertanya Jepang dalam Perang Korea, yang bukan dalam bidang militer.
Kebangkitan ekonomi Jepang itu membuatnya menjadi negara dengan GDP kedua
terbesar di dunia pada 1967. Pada tahun 1989, Jepang kemudian mencapai bubble
economy, di mana pencapaian ekonomi mengalami peningkatan yang drastis.
Meningkatnya ekonomi Jepang membuat para pekerja Jepang khususnya laki-laki
meningkatkan loyalitas yang besar pada perusahaan/organisasi yang disebut dengan
salaryman. Sistem Ie, meskipun telah dihapuskan, pada dasarnya telah berpengaruh di
masyarakat Jepang yang kemudian berpengaruh pula pada ekonomi Jepang. Sebagai
akibatnya, sistem ekonomi Jepang melalui organisasi ekonomi mengatur cara hidup orang
Jepang. Karenanya, sebagian besar laki-laki di Jepang mendasarkan hidup mereka pada
pekerjaan, khususnya pada perusahaan tempatnya bekerja.
Kemajuan ekonomi Jepang kemudian menyebabkan terjadinya urbanisasi, yang
membuat masyakarat pedesaan yang berprofesi petani berbondong-bondong menjadi
pekerja di pusat-pusat industrialisasi perkotaan seperti Tokyo dan Osaka. Urbanisasi juga
menjadi faktor pembubaran keluarga dengan struktur chokkei kazoku menjadi kaku
kazoku atau bahkan tanshin setai. Peningkatan urbanisasi terjadi pasca Perang Dunia II,
khususnya antara tahun 1960 dan 1974, hal ini karena banyaknya permintaan untuk
tenaga kerja di daerah perkotaan.Pada periode ini keluarga chokkei kazoku semakin
menurun dan menyebabkan berubahnya arah sistem kekeluargaan menjadi lebih
individualistik.
Fenomena dalam Keluarga di Jepang Kontemporer
Dengan adanya penghapusan sistem Ie pasca Perang Dunia II dan fenomena kemajuan
ekonomi di Jepang yang berpengaruh kepada perubahan nilai-nilai keluarga dari struktur
keluarga chokkei kazoku menjadi kaku kazoku dan tanshin setai, fenomena-fenomena
yang terjadi terkait dengan keluarga tidak berakhir sampai di sini. Terdapat fenomenafenomena masyarakat Jepang kontemporer yang merupakan imbas dari perubahanperubahan yang telah disebutkan sebelumnya. Fenomena masyarakat Jepang
kontemporer ini terjadi secara signifikan, dan bahkan bukan tidak mungkin akan
mengubah masa depan Jepang seutuhnya.
Koureika Shakai
Salah satu fenomena masyarakat Jepang kontemporer adalah fenomena
koureika shakai, yaitu tingginya populasi lansia disebabkan semakin tingginya
angka harapan hidup. Jepang adalah negara dengan angka harapan hidup tertinggi
di dunia, yaitu 86,4 tahun untuk wanita dan 79,6 tahun untuk pria.
Faktor-faktor penyebab fenomena koureika shakai adalah dengan
bergesernya chokkei kazoku menjadi kaku kazoku. Meningkatnya keluarga inti
dan berkurangnya keturunan serta tingginya usia harapan hidup membuat
populasi lansia meninggi. Sejak tahun 1975, usia harapan hidup di Jepang
bertambah panjang, tingkat kesehatan meningkat, dan jumlah lansia yang
memerlukan perawatan pun meningkat.
Akibat dari perubahan nilai dari family oriented menjadi individualistic
oriented, serta berubahnya chokkei kazoku menjadi kaku kazoku, banyak para
lansia yang hidup sendiri. Dikarenakan usia yang berlanjut, para lansia
membutuhkan perawatan yang cukup panjang mengingat usia yang panjang pula.
Dengan begitu, biaya perawatan membesar dan masalah perawatan lansia ini telah
menjadi salah satu masalah utama di Jepang.
berbunyi semua orang sama menurut undang-undang dan tidak akan ada
diskriminasi dalam hubungan politik, ekonomi, atau sosial dikarenakan ras,
kepercayaan, jenis kelamin, status sosial ataupun asal keluarga.Selain itu,
Undang Pokok Pendidikan telah diamandemen untuk memberi kesempatan
pendidikan yang sama bagi laki-laki dan perempuan. Dari kedua hukum baru
tersebut, merupakan jalan baru bagi masyarakat Jepang, khususnya perempuan,
untuk tidak selalu terkungkung dalam urusan keluarga. Mereka dapat keluar
rumah dan tidak lagi semata-mata mengurus pekerjaan rumah tangga, namun
dapat berbaur menjadi kelompok pekerja.
Kemajuan Jepang di bidang ekonomi yang kemudian menyebabkan
tingginya permintaan tenaga kerja, membuat peran perempuan muda semakin
eksis di dunia kerja. Meski pada kenyataannya, di dunia kerja masih terdapat
supremasi pekerja laki-laki atas pekerja perempuan.
Baik laki-laki maupun perempuan muda yang bekerja dan berpendidikan
serta telah mapan secara finansial dan juga mandiri, kemudian merasa lebih
nyaman untuk hidup bebas tanpa ikatan pernikahan. Selain itu, banyak yang
menganggap bahwa pernikahan justru akan mempersulit ekonomi dan
manghambat profesionalitas dalam bekerja. Bagi wanita, pernikahan akan
mengikatnya ke dalam pekerjaan rumah tangga dan juga akan menghambatnya
bekerja.Hal inilah yang kemudian membuat banyak generasi muda Jepang yang
memutuskan untuk menunda pernikahan atau bahkan memutuskan untuk tidak
menikah sama sekali, meski pernikahan miai kokkei sudah jarang menjadi acuan
dalam pernikahan.
Karena banyak pemuda dan pemudi Jepang yang menunda atau tidak
menikah, yang terjadi adalah mereka masih tinggal dan menumpang dengan orang
tua (dalam hal ini mereka yang tidak menerapkan tanshei setai) dan disebut
parasitosinguru.Istilah ini didefinisikan sebagai pemuda pemudi Jepang yang
belum menikah dan menggantungkan hidup kepada orangtuanya, meski beberapa
telah mapan dan mandiri secara finansial.
Shoushika
populasi usia produktif, yang berarti bahwa jumlah sumber daya manusia di
Jepang pun mengalami penurunan. Faktor yang menyebabkan pasangan suami istri
memutuskan untuk memiliki sedikit anak selain faktor resiko melahirkan di usia
tinggi dan produktivitas yang menurun antara lain adalah beratnya beban ekonomi
yang akan ditanggung untuk mengasuh dan membesarkan anak.
Biaya mengasuh anak dan terutama biaya pendidikan di Jepang cenderung mahal.
Untuk membesarkan anak di Jepang rata-rata dibutuhkan biaya 13,000,000 yen
atau setara dengan 1,3 milyar rupiah per anak. Biaya pendidikan yang dinilai
mahal, disebabkan karena para orangtua meskipun memiliki sedikit anak tetapi
ingin membesarkan anaknya di dalam dunia pendidikan yang terbaik sehingga
reputasi sekolah sangat diperhitungkan. Para pelajar berlomba untuk dapat masuk
di sekolah terbaik agar kemudian dapat melanjutkan ke universitas terbaik pula.
Hal itu disebabkan perusahaan-perusahaan di Jepang lebih mengutamakan
perekrutan karyawan dari universitas terbaik. Untuk menunjang kepentingan itu,
para orangtua harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mengikutkan anaknya
pada les pelajaran agar dapat unggul dan diterima di sekolah dan universitas
terbaik. Sementara, biaya tambahan tidak mudah didapatkan jika orangtua,
terutama ibu, mengambil cuti panjang untuk mengurus anak. Karena itu banyak
dari para ibu yang memutuskan untuk tetap bekerja setelah melahirkan, dan
meskipun pemerintah Jepang memberikan kebijakan cuti bagi pekerja wanita yang
melahirkan sampai anak berumur satu tahun, namun tak sedikit yang tidak
mengambil jatah cuti tersebut.
Di samping mahalnya biaya pendidikan, fasilitas yang tersedia untuk
membesarkan anak di Jepang cenderung kurang. Meski Jepang merupakan negara
maju, tetapi fasilitas yang berkaitan dengan anak dan keluarga kurang memadai. Di
tahun 2007, jumlah dana yang dialokasikan pemerintah untuk sektor masyarakat
yang berkaitan dengan anak
dan keluarga seperti usaha tempat penitipan anak dan dana bantuan lain hanya
sebesar 0,75% dari total GDP Jepang.
Fenomena shoushika mengakibatkan banyak kerugian di berbagai bidang. Salah
satunya ialah berkurangnya jumlah anak-anak dan generasi muda secara
keseluruhan di Jepang. Pada tahun 2010, populasi berusia 0-14 tahun sebanyak
16,8 juta jiwa, yang meliputi 13,2% dari total populasi Jepang sebanyak
128.056.000 jiwa. Di bidang ekonomi, fenomena shoushika akan mengakibatkan
berkurangnya jumlah tenaga kerja dan penduduk berusia produktif di masa depan.
Untuk menanggulangi masalah shoushika ini, Pemerintah Jepang mengeluarkan
kebijakan berupa bantuan pemeliharaan anak, yaitu dengan pemberian subsidi
5.000 yen per anak (jika jumlah anaknya 1-2 anak); 10.000 yen per anak (jika
anaknya lebih dari 2); serta jaminan biaya kesehatan gratis bagi anak sampai
dengan umur 3 tahun (di beberapa prefektur ada yang sampai 5 tahun). Selain itu
dilakukan upaya-upaya yang disebut dengan Angel Plan, yaitu upaya pemerintah
menanggulangi masalah shoushika, dengan cara bimbingan konseling,
menciptakan infrastuktur yang mendukung orangtua yang bekerja, serta
mengukuhkan kerjasama orangtua dalam pengasuhan dan pendidikan anak.
Fasilitas-fasilitas seperti Child Care Center ditambah, berdasarkan data tahun
2004, di seluruh Jepang terdapat 22.570 tempat penitipan anak yang terdiri dari
12.090 fasilitas yang dikelola oleh pemerintah daerah dan 10.480 yang dikelola
oleh swasta. Di tahun yang sama, tercatat 1.993.684 anak yang terdaftar dalam
tempat penitipan tersebut. Akan tetapi semua fasilitas tersebut tidak cukup untuk
menampung semua anak yang membutuhkan jasa ini. Tercatat 24.245 anak yang
masih berada pada daftar tunggu di tempat penitipan anak di seluruh Jepang
Mengenai masalah koureika shakai, sepatutnya bukan menjadi suatu hal yang
buruk dengan fenomena banyaknya lansia dengan angka harapan hidup yang
tinggi. Hal itu tidak lain menunjukkan bahwa Jepang tidak hanya maju secara
ekonomi, tetapi juga dalam aspek kesehatan. Yang justru menjadi masalah adalah
ketidakseimbangan populasi lansia dengan populasi generasi muda. Karena itu
perlu kiranya pemerintah Jepang lebih memperhatikan fenomena bankonka dan
shoushika. Akibat dari penundaan pernikahan itu yang berimbas kepada
melahirkan anak di usia yang rentan untuk melahirkan. Dengan semakin
ditanggulanginya masalah shoushika ini, akan berakibat positif kepada masa depan
Jepang dan juga untuk menyeimbangkan populasi lansia. Meski memang, masalahmasalah terkait dengan lansia kini banyak terjadi. Hal itu sebenarnya dapat saja
diminimalisir jika masyarakat Jepang yang individualistik dengan sistem kaku
kazoku mau meluangkan waktunya untuk tetap merawat orang tua mereka yang
telah berusia lanjut meski telah hidup terpisah. Untuk saat ini mungkin masih
banyak yang berpendapat bahwa waktu mereka tidak cukup karena didedikasikan
penuh untuk pekerjaan dan perusahaan.
Seperti yang telah dikatakan, fenomena-fenomena ini akan sangat berpengaruh
bagi masa depan Jepang, terutama bagi keberlangsungan generasi penerus.
Fenomena ini kemudian juga menjadi salah satu faktor bagi banyaknya tenaga
kerja asing yang menetap di Jepang. Hal itu disebabkan tingginya kebutuhan
tenaga kerja yang hanya dapat dipenuhi dengan mendatangkan para tenaga kerja
dari luar Jepang. Dengan adanya fenomena-fenomena yang telah dijelaskan,
terutama shoushika, bukan tidak mungkin di kemudian hari populasi masyarakat
asli Jepang dengan populasi masyarakat asing yang menetap di Jepang akan
berimbang, seperti contohnya adalah negara Singapura. Keadaan seperti itu boleh
jadi akan membuat perubahan-perubahan yang lebih kompleks lagi, termasuk
dengan kepercayaan homogenitas Jepang.
Jika masyarakat Jepang masih tetap berpegang teguh dengan nilai-nilai homogen
yang tercantum dalam nihonjinron, sudah sepatutnya masyarakat Jepang dewasa
ini meninjau kembali kepada sistem Ie yang telah dihapus dan telah bergeser.
Nilai-nilai yang bersifat individualistik semestinya harus diminimalisir, agar
Lalu pindahlah saya ke rumah baru, saat itu saya baru lahiran anak kedua.
Kebayang bagaimana repotnya ada 2 bayi di rumah (jarak hanya 1.5 tahun) tanpa ada
seorang pun membantu kecuali suami. Kelimpungan dan pentalitan sendiri menghadapi
urusan RT dan mengurus bayi-bayi. Untungnya saya sidah sedikit belajar bagaimana
menangani anak bayi pengalaman si sulung saat tinggal bareng di Pondok Mertua Indah
dulu. Dan teknik-teknik yang dulu pun saya terapkan juga untuk si bungsu.
Memberikan makan tanpa disuapin, duduk dikursi saat makan adalah pengalaman
yang tak bisa saya lupakan karena kenyataannya, cara itu tidak saya lihat dan susah untuk
diterapkan di Indonesia. Kenapa? Karena ada si mbak, tante, saudara, kakak, dll Dan saya
pun sebagai anak pertama dari empat bersaudara, merasakan benar bagaimana harus lari
sana sini menyuapi adik-adik saya saat mereka masih kecil dulu.
Beranjak besar dan masuk TK, suami sudah memberikan tugas untuk anak-anak
dirumah, si sulung tugas untuk menyiram tanaman, dan sibungsu membantu melipat baju
yang habis dijemur, dan tugas berdua yaitu kegiatan membereskan piring dan makan
yang habis dipakai untuk ditaruh di dapur. Semuanya ini saya rasakan luar biasa karena
saat seumuran mereka saya tidak melakukannya!!!
Sering saya dengar dari suami, dulu keluarganya termasuk yang kibishii (strict).
Kibishii gimana, kata saya ingin tahu? Menurutnya, ia tidak bisa seenak udelnya minta
dibelikan mainan Karena biasanya harus tunggu dulu timingnya, entah itu ulang tahun,
nilai ujian bagus atau christmast day (ada budaya saat natal (anak-anak di Jepang
mendapakan hadiah dari sinterklas, yg tentu saja orang tuanya yg kasih hehe).
Belum lagi saat saya SMA, saat itu ingin sekali ia punya gitar listrik, yang selama
ini saya hanya bisa main dan pegang saja di toko. Kalau melihat harganya tidak mungkin
ia beli, apalagi sampai minta ke orangtuanya!
Jalan lain yang harus dilakukan agar mimpinya jadi kenyataan adalah dengan
kerja sebagai Arubaito, part timer! Bukan hal yang aneh lagi kalau anak-anak SMA di
Jepang banyak yang melakukan arubaito ini. Arubaito jadi pelayan restoran, penjaga toko
bahkan loper koran atau tukang pos keliling. Semuanya itu dilakukan asal tidak
mengganggu pelajaran. Biasanya sih, sehabis pulang sekolah atau pas hari libur. Setelah
kumpul uang hasil kerjanya, baru deh bisa ia (suami) membeli gitar idaman. Karena
belinya pakek keringet sampe ke pantat-pantat katanya haha makanya gak heran deh saya
lihat tuh gitar di eman-eman banget walopun tidak pernah dipakai lagi sekarang. Katanya
sebagai kenangan gimana susahnya mencari uang saat itu.
Melihat dan mendengar langsung gimana mandiri dan tidak manjanya remajanya
untuk mendapatkan keinginan yang ternyata tidak semudah membalik telapak tangan!
Usaha itu membuat mereka tidak gampang untuk hanya menengadahkan tangan ke
orangtua, walo berat kerjaannya namun itu dilakukan terus dengan penuh tanggung
jawab. Saya yakin saat melakukan pekerjaan itu, banyak nilai yang bisa mereka petik,
gimana saat melakukan kesalahan lalu dimarahi oleh pemilik toko, saat itulah hati kita
menjadi dewasa, bersikap sabar dan timbul rasa untuk bekerja secara cermat dan
sungguh-sungguh. Saat susah itulah sebenernya emosi dan pribadi kita ditempa. Sabar,
tekun dan tanggung jawab dalam bekerja tanpa mengenal itu kata lelah, malu dan gengsi!
Berbicara tentang gengsi, kalau temen-temen main kesini, coba deh perhatiin saat
masuk toko dan restoran, coba lihat itu banyak cewek-cewek muda dan enerjik bekerja di
restoran sambil bawa bawa nampan yang penuh piring dan gelas kotor. Atau lihat cowokcowok muda gagah perkasa yang angkat-angkat kerdus atau dorong-dorong troli sambil
ngatur minuman dan makanan untuk ditaruh di rak-rak pada sebuah convinient store,ah
indah sekali pemandangan ini. Bekerja dengan satu tujuan, mencari uang dengan jalan
yang benar. Walau masih muda tapi mau merasakan gimana susah payahnya mencari
penghasilan walaupun saya yakin itu mungkin saja bukan buat nafkah hidup sehari
harinya. Mereka sampai mau sampai ngesot-ngesot kerja ngucur-ngucur keringet, banting
tulang, geret-geret gerobak atau angkat-angkat piring kotor untuk menghasilkan uang
yang mungkin saja untuk membeli sesuatu yang mereka idamkan dan impi impikan.
Kalau dipikir, lah itu saja mereka sampai jabanin apalagi uang itu buat biaya hidupnya?
Saya yakin kesungguhan kerja mereka bisa 10 kali lipet dari yang sekarang ini.
Suami pernah bercerita, saat ia kuliah gimana `sengsaranya` nya karena dulu
hanya dikasih uang transport dan uang kuliah saja oleh orang tuanya. Trus gimana dong
buat senang-senang, tahu lah jaman dan seusia segitu katanya, ya kluyuran nongkrong
sana sini sama teman-teman suatu hal yang lumrah dan biasa. Dan katanya, nongkrong
dan jalan sana sini tetap bisa dia lakukan, tapi ya itu malemnya mereka ngos-ngos an berarubaito-an (part time). Maknyus katanya hehehe demi seonggok gitar atau sepasang
sepatu trendy hahaha
Dan tak lupa juga sambil mengenang gimana hebohnya dia melakukan berbagai
macam kerja part time saat itu. Bekerja di pasar kembang yang harus nyalurkan bungabunga ke toko-toko saat dini hari, jadi loper koran dan jadi tukang pos keliling dimana
saat mengantarkan surat atau paket yang dialamatkan pada suatu rumah, perutnya
mendadak mules karena kata orang-orang di daerah situ, rumah itu adalah sarang
kumpulnya para yakuza!! hahahaha dan yang bikin deg deg duar kalo sekali salah omong
atau kelihatan gemeteran bisa tuh di gebuk atau dibentak-bentak sampai pada pipis
dicelana wkwkwkwk makanya pernah ia dikerjain sama teman-temannya sesama
arubaito, kalau tugas kasih surat ke sarang yakuza dilimpahkan ke dirinya sebagai plonco
anak baru, apes banget katanya wkwkwk
Setelah dewasa, lulus kuliah dan mulai memasuki dunia kerja, orang tuanya
mengusir anak-anaknya untuk keluar dari rumah. Waktu itu saya kaget dan cukup
tercekat dengan pola didik mertua saya, tapi lambat laun saya jadi mengerti dan
memahaminya. Mengusir bukan karena tidak sayang dan merasa susah untuk menghidupi
mereka lagi. Ternyata begitu banyak makna yang tersembunyi.
Mertua saya melakukan itu dengan berbagai sebab, dan alasan yang pertama tentu
saja mandiri. Karena mereka sudah punya penghasilan, maka mereka harus belajar memanage kehidupannya sendiri, mencari apartemen untuk disewa, belanja kepasar dan
memasak, melakukan pekerjaan rumah saat libur kantor, berinteraksi dengan tetangga dan
lingkungan, dan lain sebagainya.
Rasakanlah hidup seperti itu, rasakan suka dan duka dan bagaiman mengatasi
persoalan yang ada, karena masalah yang kamu alami sekarang ini besarnya masih
sebiji beras saja kalau dibandingkan dengan masalah yang nanti akan kamu hadapi.Ya,
hidup mandiri. Dan dari mulut anak-anaknya itu, mereka sepertinya tidak masalah atau
bahkan mengalami kesulitan saat harus `lepas` dari orangtuanya. Kenapa? Ya, tempaan
dan didikan sedari kecil untuk tidak menyusahkan orang lain dan harus mengerjakan
pekerjaan yang dia mampu kerjakan membuat mereka tidak jadi lebay panik menata
kehidupan saat jauh dari orang tua.
Pergilah dari rumah ini, jalani hidup kita sendiri-sendiri. Maksudnya apa?
Artinya, melihat anak-anaknya yang sudah punya penghasilan sendiri dan lambat laun
harus pula mencari pasangan hidup, lalu menikah, mempunyai anak dan akhirnya
membentuk keluarga kecil. Maka, konsenlah dengan kehidupannya yang sekarang. Lalu
bagaimana dengan hidup orang tuanya? Ya, makna yang tersirat adalah kalau mereka
tidak perlu dinomor satukan lagi. Karena ada yang lebih penting dari itu, yaitu
kelanggengan hidup keluarga anak-anaknya, karena ketenangan hati orang tua adalah
melihat anak-anaknya hidup bahagia bersama keluarganya.
Bukan bermaksud menggurui dan sudah sukses, karena sekarang pun saya sedang
menerapkannya untuk anak-anak dirumah.Walaupun kadang terasa gak tega dan kasihan
juga terhadap anak-anak yang masih kecil ini tapi suami selalu meyakinkan dan
menguatkan saya kalau ini semua adalah untuk kebaikan mereka juga nantinya.
Orang tua tidak akan memberikan tugas yang melebihi dari kemampuan anaknya
sendiri, sering itu saya bilang ke anak-anak saya saat si sulung yang kadang masih mata
setengah tidur onegai (memohon) karena masih ngantuk untuk minta libur tugasnya
mengambil koran papanya pagi hari, atau si bungsu yang ngambek tidak mau
membereskan mainannya karena sudah dipanggil main diluar oleh teman-temannya, tapi
karena sudah tahu tidak mungkin ditawar dan ada keringanan dari kami, maka mau tak
mau dan suka tak suka semua dijalankan walau kadang sambil misuh-misuh ngedumel
sendiri wkwkwkwk
Ya, menjaga, melindungi dan menyayangi bukan berarti memanjakan. Walau itu
ada garis halus yang memisahkan tapi efek yang ada saat kita bisa menerapkan disiplin
kepada si kecil, maka sang anak suatu saat akan berterima kasih kepada orang tuanya,
karena pribadinya yang tegar saat jatuh dan terpuruk lalu kemudian berusaha untuk
bangkit itu adalah suatu tempaan hidup yang tidak bisa didapatkan ilmunya di bangku
sekolah.
Salam Hangat, wk
Dari kisah yang diceritakan seorang WNI di atas, kita bisa menangkap bahwa
anak-anak di Jepang dari kecil sudah di ajarkan mengenai kemandirian. Kemandirian
yang membuat rasa ketergantungan pada orang lain itu menghilang. Dan nantinya
membuat anak akan terbiasa dalam mengatasi keinginan diri dengan mandiri.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Jepang memiliki Jepang adalah salah satu negara dengan pengaruh budaya yang
kuat, dilihat dari tinjauan sejarah peradaban Jepang yang cukup kompleks. Budaya
Jepang menjadi salah satu jalan Jepang berkembang sebagai satu dari sekian negara maju
di dunia.
Banyak hal yang menarik dari Jepang. Seperti pola kehidupan
keluarga yang mereka jalani selama ini setelah perang dunia II. Mulai
dari perkawinan & perceraian, system keluarga, sampai pola asuh
terhadap anak-anak mereka.
Saran
Semoga segala hal positif yang telah kami jabarkan di atas, bisa menjadi suatu referensi
yang berguna sebagai penambah pengetahuan kita yang selanjutnya bisa kita jadikan
panutan untuk kita teladani dalam kehidupan sehari-hari
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Yogayanti, Sri Setyo, Skripsi: Hubungan Antara Perubahan Nilai-Nilai Terhadap Keluarga, Anak,
dan Pernikahan Pasca Perang Dunia II dengan Perubahan Persepsi Perempuan Jepang Terhadap
Perceraian dalam Masyarakat Jepang Kontemporer, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,
Program Studi Jepang, Universitas Indonesia, 2012
Frank, Andre Gunder, penerj. Budiman, Arif Sosiologi Pembangunan Dan Keterbelakangan
Sosiologi, Jakarta: Pustaka Pulsar, 1984
Setiadi, Elly M., et.al., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Kencana, 2011Yoshio Sugimoto,
An Introduction to Japanese Society, Cambridge University Press: 1993
Emiko, Ochiai, The Japanese Family System in Transition: A Sociological Analysis of Family
Change in Postwar Japan, Tokyo: 1994
Tobing, Ekayani, Keluarga Tradisional Jepang Dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial,
Depok: ILUNI KWJ, 2006
Motonobu, Mukai, Modernization and Divorce in Japan, Marshal University, 2004
Evangela, Sherlina, Skripsi: Representasi Fenomena Shoushika dalam Drama Televisi Jepang:
Studi Kasus Drama Umareru dan Watashi Ga Renai Dekinai Riyuu, Fakultas Ilmu Budaya,
Program Studi Jepang, Universitas Indonesia, Depok: 2012
Saleha, Amaliatun, Parasite Single, Sebuah Fenomena Sosial Kontemporer di Jepang, Program
Studi Sastra Jepang, Fakultas Sastra, Universitas Padjajaran Bandung, 2006
Pratita, Ina Ika, Menguak Kehidupan Kaum Wanita Jepang, Lentera, Jurnal Studi Perempuan,
Vo. 1/No. 2/Desember 2005, ISSN 1858-4845 20
Database Online
Anne E Imamura, The Japanese Family, 1990, dikutip dari
http://www.exeas.org/resources/pdf/japanese-family-imamura.pdf, diakses 4 Februari 2014
NN, dikutip dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37838/3/Chapter%20II.pdf,
diakses 5 Februari 2014
NN, Gambaran Umum Mengenai Keluarga Ie, dikutip dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37191/3/Chapter%20II.pdf, diakses 3 Februari
2014
NN, Isu Jepang Kontemporer, dikutip dari
https://www.fitrianapd.lecture.ub.ac.id/files/2013/09/shoshika.pptx diakses 5 Februari 2014
NN, Jepang Upayakan Cegah Lansia Meninggal dalam Kesepian, 3 Agustus 2011, dikutip dari
http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/08/03/lpcsaj-jepang-upayakan-cegahlansia-meninggal-dalam-kesepian, diakses 5 Februari 2014
Satoshi Sakata, Historical Origin of the Japanese Ie System, dikutip dari
http://www.yomiuri.co.jp/adv/chuo/dy/opinion/20130128.htm, diakses 3 Februari 2014
Sri Dewi Adriani, Dampak Peningkatan Jumlah Lansia Terhadap Munculnya Fenomena Sosial
Kodokushi (Dying Alone) (Studi Kasus Pada Gempa Bumi Kobe 1995), dikutip dari
http://japanese.binus.ac.id/2013/12/14/dampak-peningkatan-jumlah-lansia-terhadap-munculnyafenomena-sosial-kodokushi%E5%AD%A4%E7%8B%AC%E6%AD%BBdying-alone-studikasus-pada-gempa-bumi-kobe-1995/ diakses 5 Februari 2014