Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Jepang adalah salah satu negara dengan pengaruh budaya yang kuat, dilihat dari tinjauan
sejarah peradaban Jepang yang cukup kompleks. Budaya Jepang menjadi salah satu jalan Jepang
berkembang sebagai satu dari sekian negara maju di dunia.
Banyak hal yang menarik dari Jepang. Seperti pola kehidupan keluarga yang mereka
jalani selama ini setelah perang dunia II. Mulai dari perkawinan & perceraian, system keluarga,
sampai pola asuh terhadap anak-anak mereka. Yang lebih lanjut akan dibahas di dalam makalah
ini.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, dalam penelitian ini permasalahan akan difokuskan
kepada :
Bagaimana system perkawinan dan perceraian Jepang?
Bagaimana sistem Keluarga dan Nilai-nilai keluarga di Jepang pasca Perang Dunia II?
Bagaimana fenomena-fenomena yang terjadi terkait dengan keluarga di Jepang dan apa
dampaknya bagi masa depan Jepang?
Bagaimana pola asuh anak yang mereka jalankan di Jepang?
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan Penulisan makalah ini adalah:
Untuk mengetahui system perkawinan dan Perceraian yang mereka terapkan
Untuk mengetahui system keluarga dan Nilai-nilai keluarga di Jepang pasca Perang
Dunia II
Untuk mengetahui fenomena-fenomena yang terjadi terkait dengan keluarga di Jepang
dan apa dampaknya bagi masa depan Jepang?
Untuk mengetahui pola asuh anak yang mereka terapkan di Jepang.
BAB 2

PEMBAHASAN
Sistem Perkawinan dan Perceraian di Jepang
Perkawinan
Perkawinan yang diatur oleh perantara (nakodo), masih banyak dipraktekkan.
Diperkirakan sampai tahun 1985 sekitar separuh dari pasangan perkawinan di Jepang
dipersatukan dengan cara ini Namun, perkawinan berdasarkan cinta juga semakin meningkat.
Lebih dari 70 persen pasangan perkawinan sejak tahun 1970 menikah berdasarkan
cinta.Dalam pemilihan pasangan perkawinan, latar belakang kelas turut diperhitungkan lebih
cendrung mencari pasangan yang memiliki latar belakang pekerjaan dan pendidikan yang
sama, dilihat dari:

perkawinan berdasarkan kesamaan klasifikasi pekerjaan orang tua, paling


banyak terjadi pada kelas profesional dan manajerial.

pada perkawinan yang diatur, ciri-ciri kelas orang-tua pasangan


perkawinan lebih beragam daripada perkawinan berdasarkan cinta

Secara keseluruhan, kesamaan kelas pada pasangan perkawinan lebih menonjol daripada
kesamaan kelas orang tua mereka.
Perceraian
Perempuan bercerai di Jepang dihukum dalam berbagai bidang kehidupan:
1. Seorang ibu rumah-tangga yang tidak mempunyai penghasilan tetap, tidak
dimungkinkan untuk mendapatkan kepemilikan bersama dari rumah atau flat
tempat ia tinggal bersama suaminya.
2. Meskipun si ibu memenangkan hak pengasuhan anak-anak pada sekitar dua
pertiga kasus perceraian, ia tidak dapat secara realistis mengharapkan mantan
suaminya untuk ikut membantu pembiayaan pengasuhan anak.
Kemampuan aparat hukum terbatas dalam menegakkan keputusan-keputusan pengadilan
keluarga.
Meskipun terus meningkat sejak 1980-an, angka perceraian di Jepang tetap rendah
dibandingkan negara-negara Barat terkemuka. Rendahnya independensi ekonomi kebanyakan
perempuan merupakan alasan utama untuk tetap mempertahankan perkawinan.

Kebanyakan perceraian di Jepang dilakukan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak


tanpa campur tangan pengadilan keluarga.

Hanya sekitar satu dari sepuluh perceraian yang melibatkan arbitrasi,


hakim atau putusan pengadilan

Perceraian berdasarkan kesepakatan terjadi dikalangan pasangan muda


(tingkat perceraiannya tinggi).

Mereka yang berada pada kelompok usia pertengahan dan yang lebih tua,
dimana tingkat perceraian relatif rendah, cendrung lebih mengandalkan pengadilan
keluarga.
Pada tahun-tahun sesudah perang, kasus perceraian terbanyak terjadi pada pasangan yang usia

pernikahannya kurang dari dua tahun.


Kecendrungan sejak 1970-an adalah meningkatnya perceraian pada pasangan yang telah
menikah lebih dari 10 tahun.
Di kota-kota, terutama dikalangan kelas menengah terdidik, berkembangnya feminisme telah
mengurangi aib (stigma) dari perceraian.
System keluarga di Jepang Pasca Perang Dunia II
Sistem keluarganya yang dikenal dengan sistem Ie. Sistem ini telah ada sejak
zaman feodal, yaitu tepatnya di Zaman Edo (1600-1868). Akan tetapi, di zaman itu sistem
Ie hanya diberlakukan bagi kalangan bangsawan dan samurai.1 Sistem Ie merupakan
sistem yang mengatur aturan kehidupan keluarga di Jepang. Secara harfiah, Ie berarti
keluarga, tetapi konsep keluarga di sini tidak hanya sebatas hubungan darah saja. Kerabat
dekat bahkan seorang pengikut (pembantu) yang setia dan telah lama mengabdi di
keluarga dapat termasuk ke dalam sistem Ie.
Terdapat dua faktor yang melahirkan sistem Ie, yaitu kesatuan keluarga yang
bersifat patrilinieal dan kesatuan shinzoku yang berpusat pada suami dan istri. Shinzoku
adalah hubungan kekerabatan yang terjadi dalam masyarakat Jepang antara ego dengan
kerabat lainnya, baik bersifat ketsuzoku (hubungan darah yang sama) dan hubungan
inzoku (hubungan darah yang terjadi antara ego dengan kerabat pasangannya).
Menurut Satoshi Sakata, sistem Ie adalah kerangka sosial yang dirancang untuk
meneruskan generasi ke generasi, di mana sebuah tempat tinggal keluarga, nama

keluarga, dan bisnis keluarga diwariskan dari ayah ke anak tertua sepanjang garis paternal
yang dapat meluas untuk generasi selanjutnya.4 Anak tertua (laki-laki) akan menjadi
pemimpin keluarga yang dikenal dengan sebutan kachou. Dengan begitu, segala warisan
akan jatuh ke tangannya termasuk sistem kepemimpinan yang akan diteruskan.
Pada era Restorasi Meiji, pemerintah Meiji mengeluarkan hukum perdata yang
dikenal dengan Meiji Minpou atau Undang-Undang Sipil Meiji, pada 1896. Dalam
hukum ini, sistem Ie yang sebelumnya hanya berlaku untuk kalangan bangsawan dan
samurai, mulai diberlakukan untuk seluruh lapisan masyarakat. Hal ini tak lain
merupakan upaya untuk mengejar ketertinggalan dengan dunia Barat, serta, sitem
keluarga ini merupakan ideologi politik di masa pemerintahan Meiji. Setelah
diberlakukannya, sistem Ie semakin menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan. Salah
satu yang mengikat adalah struktur chokkei kazoku, yang menjadi struktur dominan di era
Meiji. Struktur chokkei kazoku yaitu keluarga tiga generasi tinggal di bawah satu atap
menjadikan nilai Ie bersifat family oriented. Di masa ini, keturunan adalah hal yang
sangat dinanti, tujuannya untuk meneruskan keluarga. Karena itulah pada masa ini
pernikahan meningkat. Menikah, seperti di Zaman Edo, dinilai sebagai harapan terbesar
kaum wanita. Sesuai dengan era Meiji yang berorientasi kepada kemajuan bangsa Jepang,
pernikahan dan keturunan (terutama laki-laki) dianggap sebagai suatu keharusan untuk
nama baik keluarga dan Jepang.
Tetapi, pasca Perang Dunia II, terutama dengan fenomena perkembangan
ekonomi yang meningkat drastis di Jepang, beberapa nilai-nilai dalam sistem Ie ini
cenderung berubah. Perubahan tersebut bahkan mengarah kepada hal yang krusial, terkait
dengan masa depan bangsa Jepang itu sendiri. Perubahan yang signifikan terjadi
semenjak penghapusan Meiji Minpou secara hukum pada 1947.
Sistem Ie tidak hanya mengikat kaum bangsawan dan samurai, tetapi juga ke
seluruh masyarakat hingga ke wilayah pedesaan. Dalam sistem Ie, sosok ayah, suami, dan
anak laki-laki tertua sangat dihormati. Hal itu disebabkan oleh sistem Ie yang bersifat
patriarki. Karena itu, peran perempuan di dalam keluarga hanya sebagai pengurus rumah
tangga. Kedudukan laki-laki (suami) lebih tinggi dibandingkan perempuan (istri). Di
dalam kebiasaan masyarakat Jepang tradisional, perempuan harus menghormati ayah,
suami, dan anak laki-laki tertuanya. Secara garis keluarga, seorang perempuan yang

menikah akan terputus dengan sistem Ie di keluarganya. Setelah menikah ia akan


terhubung dengan garis keluarga suaminya.
Dalam sistem Ie, anak (terutama anak laki-laki) merupakan suatu keharusan untuk
melestarikan Ie dan nama keluarga. Anak laki-laki selain menjadi pelestari keluarga, ia
juga sebagai pewaris utama ekonomi keluarga maupun sistem kepemimpinan Ie. Karena
itu, seorang istri yang tidak memiliki anak selama tiga tahun, ia diharuskan pergi
meninggalkan rumah.Pewaris sistem Ie tidak harus dari anak kandung, tetapi keluarga
yang tidak memiliki anak laki-laki dapat mengadopsi anak laki-laki dari kerabat lain
untuk mewariskan Ie keluarganya.
Pasca Perang Dunia II, yaitu pada tahun 1947, diberlakukan Undang-Undang
Showa (Shin Minpo) untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Meiji yang berlaku
sebelumnya. Salah satu dampak dari pergantian undang-undang ini adalah dihapuskannya
sistem Ie. Penghapusan sistem Ie ini kemudian mengubah struktur chokkei kazoku
menjadi kaku kazoku atau keluarga batih yaitu keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu,
anak (yang belum menikah). Chokkei kazoku sudah mulai jarang terdapat di struktur
keluarga Jepang.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perubahan struktur keluarga menjadi
kaku kazoku, antara lain penghapusan sistem Ie oleh undang-undang, perubahan
masyarakat agraris menjadi industrialis, terjadinya urbanisasi, terbukanya kesempatan
untuk mengenyam pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat terutama perempuan.
Selain itu, perubahan struktur keluarga Jepang menjadi keluarga batih juga
dipengaruhi oleh mahalnya harga rumah yang mendekati tujuh kali pendapatan tahunan.
Oleh karena itu, bentuk rumah Jepang juga mengalami perubahan dari rumah tradisional
yang mampu menampung beberapa generasi menjadi apartemen dan rumah-rumah
modern yang hanya mampu menampung keluarga inti.
Perubahan struktur keluarga tersebut kemudian berimbas kepada perubahan
terhadap nilai-nilai, seperti nilai-nilai terhadap keluarga, pernikahan, anak, dan
perceraian. Perubahan yang mendasar terhadap keluarga adalah, dari sistem yang bersifat
family oriented di struktur chokkei kazoku menjadi individualistic oriented. Kepentingan
individu lebih diutamakan dibanding kepentingan keluarga. Kepala keluarga tidak lagi
sebagai pengatur dan paling berhak memutuskan suatu keputusan yang menyangkut

anggota keluarga yang lain.30 Anak bukan lagi dianggap sebagai suatu keharusan, malah
mulai dianggap sebagai beban ekonomi. Bukan itu saja, dalam pernikahan pun, yang
sebelum Perang Dunia II dianggap sebagai kebahagiaan kaum perempuan, kini dianggap
sebagai belenggu kebebasan. Banyak pemuda Jepang, baik laki-laki maupun perempuan,
menunda pernikahan atau bahkan memutuskan untuk tidak menikah sama sekali.31 Pada
masa tradisional, pernikahan diberlangsungkan atas dasar perjodohan atau miai kekkon,
sementara setelah begesernya nilai-nilai mengenai pernikahan, di samping pernikahan
yang terlambat atau tidak menikah sama sekali, miai kekkon sudah jarang berlaku. Kini
pada umunya adalah renai kekkon atau pernikahan yang didasari atas pilihan sendiri.
Pada dasarnya, perubahan-perubahan nilai dalam keluarga yang dikemukakan
tersebut tidak terlepas dari transformasi Jepang menjadi dunia modern yang
menitikberatkan kepada kebijakan pembangunan ekonomi pasca Perang Dunia II. Faktorfaktor ekonomi yang berkaitan dengan perubahan nilai terhadap keluarga ini tidak
terlepas dari fenomena-fenomena yang terjadi di bidang ekonomi Jepang. Pada awal
tahun 1950-an, kehancuran ekonomi Jepang akibat Perang Dunia II mulai pulih seiring
dengan turut sertanya Jepang dalam Perang Korea, yang bukan dalam bidang militer.
Kebangkitan ekonomi Jepang itu membuatnya menjadi negara dengan GDP kedua
terbesar di dunia pada 1967. Pada tahun 1989, Jepang kemudian mencapai bubble
economy, di mana pencapaian ekonomi mengalami peningkatan yang drastis.
Meningkatnya ekonomi Jepang membuat para pekerja Jepang khususnya laki-laki
meningkatkan loyalitas yang besar pada perusahaan/organisasi yang disebut dengan
salaryman. Sistem Ie, meskipun telah dihapuskan, pada dasarnya telah berpengaruh di
masyarakat Jepang yang kemudian berpengaruh pula pada ekonomi Jepang. Sebagai
akibatnya, sistem ekonomi Jepang melalui organisasi ekonomi mengatur cara hidup orang
Jepang. Karenanya, sebagian besar laki-laki di Jepang mendasarkan hidup mereka pada
pekerjaan, khususnya pada perusahaan tempatnya bekerja.
Kemajuan ekonomi Jepang kemudian menyebabkan terjadinya urbanisasi, yang
membuat masyakarat pedesaan yang berprofesi petani berbondong-bondong menjadi
pekerja di pusat-pusat industrialisasi perkotaan seperti Tokyo dan Osaka. Urbanisasi juga
menjadi faktor pembubaran keluarga dengan struktur chokkei kazoku menjadi kaku
kazoku atau bahkan tanshin setai. Peningkatan urbanisasi terjadi pasca Perang Dunia II,

khususnya antara tahun 1960 dan 1974, hal ini karena banyaknya permintaan untuk
tenaga kerja di daerah perkotaan.Pada periode ini keluarga chokkei kazoku semakin
menurun dan menyebabkan berubahnya arah sistem kekeluargaan menjadi lebih
individualistik.
Fenomena dalam Keluarga di Jepang Kontemporer
Dengan adanya penghapusan sistem Ie pasca Perang Dunia II dan fenomena kemajuan
ekonomi di Jepang yang berpengaruh kepada perubahan nilai-nilai keluarga dari struktur
keluarga chokkei kazoku menjadi kaku kazoku dan tanshin setai, fenomena-fenomena
yang terjadi terkait dengan keluarga tidak berakhir sampai di sini. Terdapat fenomenafenomena masyarakat Jepang kontemporer yang merupakan imbas dari perubahanperubahan yang telah disebutkan sebelumnya. Fenomena masyarakat Jepang
kontemporer ini terjadi secara signifikan, dan bahkan bukan tidak mungkin akan
mengubah masa depan Jepang seutuhnya.

Koureika Shakai
Salah satu fenomena masyarakat Jepang kontemporer adalah fenomena
koureika shakai, yaitu tingginya populasi lansia disebabkan semakin tingginya
angka harapan hidup. Jepang adalah negara dengan angka harapan hidup tertinggi
di dunia, yaitu 86,4 tahun untuk wanita dan 79,6 tahun untuk pria.
Faktor-faktor penyebab fenomena koureika shakai adalah dengan
bergesernya chokkei kazoku menjadi kaku kazoku. Meningkatnya keluarga inti
dan berkurangnya keturunan serta tingginya usia harapan hidup membuat
populasi lansia meninggi. Sejak tahun 1975, usia harapan hidup di Jepang
bertambah panjang, tingkat kesehatan meningkat, dan jumlah lansia yang
memerlukan perawatan pun meningkat.
Akibat dari perubahan nilai dari family oriented menjadi individualistic
oriented, serta berubahnya chokkei kazoku menjadi kaku kazoku, banyak para
lansia yang hidup sendiri. Dikarenakan usia yang berlanjut, para lansia
membutuhkan perawatan yang cukup panjang mengingat usia yang panjang pula.
Dengan begitu, biaya perawatan membesar dan masalah perawatan lansia ini telah
menjadi salah satu masalah utama di Jepang.

Adanya jaminan berupa biaya pensiun dari pemerintah (nenkin) yang


membuat para lansia dapat memenuhi biaya perawatan. Dana pensiun ini berasal
dari biaya premi yang dibayarkan kepada pemerintah selama seseorang masih
berada pada masa produktif, atau ketika masih bekerja.
Masalah lain yang timbul dari koureika shakai yang hidup sendiri adalah
munculnya fenomena dying alone atau kodokushi. Kehidupan yang menyendiri
membuat para lansia kesepian dan tidak jarang dari mereka yang mengalami
depresi. Banyak di antaranya yang akhirnya mengalami ketergantungan alkohol,
sebagian lagi ditemukan meninggal karena kelaparan, kekurangan gizi atau sakit
lever. Selain itu, di dalam kasus-kasus kodokushi yang ditemukan, banyak yang
merupakan kasus bunuh diri. Menurut Biro Kesejahteraan Sosial dan Kesehatan
Masyarakat di Tokyo, tahun 2010 lalu, 4,6 juta lansia tinggal sendirian di seluruh
Jepang, dan jumlah orang yang meninggal di rumah meningkat 61% yaitu
sebanyak 1.364 menjadi 2.194 dalam kurun waktu antara 2003 dan 2010.
Pemerintah Jepang berupaya mengatasi masalah lansia dengan melakukan
langkah-langkah perbaikan di antaranya adalah pembentukan program kokoro no
kea (mental care centre), program kunjungan ke rumah-rumah yang meliputi
pelayanan kesehatan dan konsultasi psikologi.Terkait penanggulangan
permasalahan kodokushi, pemerintah daerah melakukan kerja sama dengan
sejumlah kelompok antara lain kantor Japan Post untuk memeriksa kondisi para
lansia, meningkatkan hubungan antar manusia dan memperbaiki kehidupan
mereka. Para tukang pos akan menyerahkan kartu ucapan sekali satu bulan kepada
para lansia berusia di atas 65 tahun sekaligus memeriksa keberadaan mereka.
Bankonka
Bankonka merupakan sebutan bagi gejala pernikahan di usia lanjut atau
gejala pernikahan yang terlambat, didasari oleh pilihan untuk menunda
pernikahan. Fenomena ini tidak hanya terjadi kepada laki-laki saja, tetapi juga
kepadaperempuan Jepang.
Hal yang mendasari terjadinya bankonka tidak lepas dari konstitusi baru
Jepang tahun 1947 yang salah satunya, selain menghapus sistem Ie, juga
mendukung prinsip persamaan antara pria dan wanita. Pasal 14 dari UUD yang

berbunyi semua orang sama menurut undang-undang dan tidak akan ada
diskriminasi dalam hubungan politik, ekonomi, atau sosial dikarenakan ras,
kepercayaan, jenis kelamin, status sosial ataupun asal keluarga.Selain itu,
Undang Pokok Pendidikan telah diamandemen untuk memberi kesempatan
pendidikan yang sama bagi laki-laki dan perempuan. Dari kedua hukum baru
tersebut, merupakan jalan baru bagi masyarakat Jepang, khususnya perempuan,
untuk tidak selalu terkungkung dalam urusan keluarga. Mereka dapat keluar
rumah dan tidak lagi semata-mata mengurus pekerjaan rumah tangga, namun
dapat berbaur menjadi kelompok pekerja.
Kemajuan Jepang di bidang ekonomi yang kemudian menyebabkan
tingginya permintaan tenaga kerja, membuat peran perempuan muda semakin
eksis di dunia kerja. Meski pada kenyataannya, di dunia kerja masih terdapat
supremasi pekerja laki-laki atas pekerja perempuan.
Baik laki-laki maupun perempuan muda yang bekerja dan berpendidikan
serta telah mapan secara finansial dan juga mandiri, kemudian merasa lebih
nyaman untuk hidup bebas tanpa ikatan pernikahan. Selain itu, banyak yang
menganggap bahwa pernikahan justru akan mempersulit ekonomi dan
manghambat profesionalitas dalam bekerja. Bagi wanita, pernikahan akan
mengikatnya ke dalam pekerjaan rumah tangga dan juga akan menghambatnya
bekerja.Hal inilah yang kemudian membuat banyak generasi muda Jepang yang
memutuskan untuk menunda pernikahan atau bahkan memutuskan untuk tidak
menikah sama sekali, meski pernikahan miai kokkei sudah jarang menjadi acuan
dalam pernikahan.
Karena banyak pemuda dan pemudi Jepang yang menunda atau tidak
menikah, yang terjadi adalah mereka masih tinggal dan menumpang dengan orang
tua (dalam hal ini mereka yang tidak menerapkan tanshei setai) dan disebut
parasitosinguru.Istilah ini didefinisikan sebagai pemuda pemudi Jepang yang
belum menikah dan menggantungkan hidup kepada orangtuanya, meski beberapa
telah mapan dan mandiri secara finansial.

Shoushika

Kebalikan dengan fenomena koureika shakai, fenomena shoushika dapat


didefinisikan sebagai keadaan menurunnya angka kelahiran secara terus menerus
hingga mencapai di tingkat rendah dari standar yang dibutuhkan untuk
mempertahankan jumlah populasi.
Terjadinya fenomena shoushika dilatarbelakangi oleh beberapa hal, dan pada
dasarnya disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam nilai-nilai di masyarakat
Jepang khususnya fenomena penundaan pernikahan atau bankonka. Bergesernya
pandangan mengenai pernikahan yang bagi laki-laki maupun perempuan muda di
Jepang sebagai hambatan dalam karier maupun hal-hal pribadi yang lain. Baik
laki-laki dan perempuan muda menghindari pernikahan karena alasan ingin
terbebas dari tanggung jawab dan urusan rumah tangga. Sementara itu, dari alasan
menunda pernikahan kemudian menimbulkan tingkat produktivitas menjadi
rendah, disebabkan menikah di usia tinggi (30 tahun ke atas). Fenomena ini
disebut dengan bansanka, yang dari kedua fenomena ini berpengaruh kepada
rendahnya kelahiran anak. Melahirkan di usia yang tinggi akan menimbulkan
resiko sehingga pasangan suami istri memutuskan untuk memiliki anak dengan
jumlah sedikit.
Pasca Perang Dunia II, jumlah rata-rata kelahiran anak mengalami pasang surut,
namun sejak tahun 1975 rata-rata tingkat kelahiran anak di Jepang terus menurun
dengan stabil dan tidak mengalami peningkatan hingga tahun 2003. Turunnya
angka kelahiran artinya populasi anak berkurang, dan mengakibatkan terus
berkurangnya jumlah

populasi usia produktif, yang berarti bahwa jumlah sumber daya manusia di
Jepang pun mengalami penurunan. Faktor yang menyebabkan pasangan suami istri
memutuskan untuk memiliki sedikit anak selain faktor resiko melahirkan di usia
tinggi dan produktivitas yang menurun antara lain adalah beratnya beban ekonomi
yang akan ditanggung untuk mengasuh dan membesarkan anak.
Biaya mengasuh anak dan terutama biaya pendidikan di Jepang cenderung mahal.
Untuk membesarkan anak di Jepang rata-rata dibutuhkan biaya 13,000,000 yen
atau setara dengan 1,3 milyar rupiah per anak. Biaya pendidikan yang dinilai
mahal, disebabkan karena para orangtua meskipun memiliki sedikit anak tetapi
ingin membesarkan anaknya di dalam dunia pendidikan yang terbaik sehingga
reputasi sekolah sangat diperhitungkan. Para pelajar berlomba untuk dapat masuk
di sekolah terbaik agar kemudian dapat melanjutkan ke universitas terbaik pula.
Hal itu disebabkan perusahaan-perusahaan di Jepang lebih mengutamakan
perekrutan karyawan dari universitas terbaik. Untuk menunjang kepentingan itu,
para orangtua harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mengikutkan anaknya
pada les pelajaran agar dapat unggul dan diterima di sekolah dan universitas
terbaik. Sementara, biaya tambahan tidak mudah didapatkan jika orangtua,
terutama ibu, mengambil cuti panjang untuk mengurus anak. Karena itu banyak
dari para ibu yang memutuskan untuk tetap bekerja setelah melahirkan, dan
meskipun pemerintah Jepang memberikan kebijakan cuti bagi pekerja wanita yang
melahirkan sampai anak berumur satu tahun, namun tak sedikit yang tidak
mengambil jatah cuti tersebut.
Di samping mahalnya biaya pendidikan, fasilitas yang tersedia untuk
membesarkan anak di Jepang cenderung kurang. Meski Jepang merupakan negara
maju, tetapi fasilitas yang berkaitan dengan anak dan keluarga kurang memadai. Di
tahun 2007, jumlah dana yang dialokasikan pemerintah untuk sektor masyarakat
yang berkaitan dengan anak

dan keluarga seperti usaha tempat penitipan anak dan dana bantuan lain hanya
sebesar 0,75% dari total GDP Jepang.
Fenomena shoushika mengakibatkan banyak kerugian di berbagai bidang. Salah
satunya ialah berkurangnya jumlah anak-anak dan generasi muda secara
keseluruhan di Jepang. Pada tahun 2010, populasi berusia 0-14 tahun sebanyak
16,8 juta jiwa, yang meliputi 13,2% dari total populasi Jepang sebanyak
128.056.000 jiwa. Di bidang ekonomi, fenomena shoushika akan mengakibatkan
berkurangnya jumlah tenaga kerja dan penduduk berusia produktif di masa depan.
Untuk menanggulangi masalah shoushika ini, Pemerintah Jepang mengeluarkan
kebijakan berupa bantuan pemeliharaan anak, yaitu dengan pemberian subsidi
5.000 yen per anak (jika jumlah anaknya 1-2 anak); 10.000 yen per anak (jika
anaknya lebih dari 2); serta jaminan biaya kesehatan gratis bagi anak sampai
dengan umur 3 tahun (di beberapa prefektur ada yang sampai 5 tahun). Selain itu
dilakukan upaya-upaya yang disebut dengan Angel Plan, yaitu upaya pemerintah
menanggulangi masalah shoushika, dengan cara bimbingan konseling,
menciptakan infrastuktur yang mendukung orangtua yang bekerja, serta
mengukuhkan kerjasama orangtua dalam pengasuhan dan pendidikan anak.
Fasilitas-fasilitas seperti Child Care Center ditambah, berdasarkan data tahun
2004, di seluruh Jepang terdapat 22.570 tempat penitipan anak yang terdiri dari
12.090 fasilitas yang dikelola oleh pemerintah daerah dan 10.480 yang dikelola
oleh swasta. Di tahun yang sama, tercatat 1.993.684 anak yang terdaftar dalam
tempat penitipan tersebut. Akan tetapi semua fasilitas tersebut tidak cukup untuk
menampung semua anak yang membutuhkan jasa ini. Tercatat 24.245 anak yang
masih berada pada daftar tunggu di tempat penitipan anak di seluruh Jepang

Meninjau Masa Depan Jepang dari Melihat Segala Fenomena-fenomena yang


Terjadi Sekarang Ini
Bertansformasinya Jepang menjadi negara modern, dengan perubahan kepada
tingkat ekonomi yang maju, ternyata tidak menjadikan Jepang terbebas dari
masalah-masalah sosial, meskipun secara garis besar, ekonomi yang maju tersebut
menyebabkan tingkat kesejahteraan masyarakatnya membaik.
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi sejatinya tidak terlepas dari
perkembangan ekonomi, di mana pasca Perang Dunia II, perkembangan ekonomi
secara tidak langsung menuntut adanya urbanisasi yang kemudian menggeser
sistem Ie, yang meski telah dihapus, tetapi telah tertanam dalam budaya
masyarakat Jepang. Pergeseran itu melahirkan budaya individualistik bagi
masyarakat Jepang modern yang ternyata cukup krusial, dengan maraknya
fenomena koureika shakai, bankonka, dan shoushika yang telah dipaparkan
sebelumnya.
Fenomena-fenomena tersebut melahirkan beragam masalah yang cukup serius
bagi Jepang bahkan hingga saat ini. Salah satunya, perihal uang pensiun yang
diberikan untuk kaum lansia. Tingkat koureika shakai yang tinggi membuat dana
pensiun yang dikeluarkan oleh pemerintah semakin besar. Dengan
ketidakseimbangan populasi usia produktif dengan populasi lansia, beban ekonomi
yang harus ditanggung oleh orang-orang yang berada pada usia produktif menjadi
semakin besar.
Dalam kehidupan sosial di Jepang terdapat sebuah pemikiran yang bernama
nihonjinron yang memiliki dua paham utama, yaitu: pertama, bahwa masyarakat
Jepang memiliki keunikan yang unik dan kedua, orientasi masyarakat Jepang
adalah pada kelompok. Orientasi kelompok ini kemudian menjadi pola
kebudayaan dominan yang membentuk perilaku orang Jepang. Premis utama
nihonjinron adalah bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat yang homogen
(tanitsuminzoku), yang membentuk sebuah bangsa yang secara ras sama (tanitsu
minzoku kokka).
Populasi generasi muda yang semakin sedikit akan sangat berpengaruh pada masa
depan Jepang. Dengan fenomena shoushika ini, di kemudian hari Jepang akan

mengalami krisis, utamanya dalam tenaga kerja dan keberlangsungan generasi


penerus Jepang. Fenomena krisis tenaga kerja memang sudah terjadi, dengan
maraknya tenaga kerja asing di Jepang. Akan tetapi, hal itu kemudian
menimbulkan masalah lain, yaitu kurang diterimanya para pekerja asing itu di
tengah masyarakat Jepang. Suatu faham mengenai nihonjinron yang telah melekat
dalam masyarakat Jepang membentuk Jepang menjadi sebuah bangsa yang
homogen, kemudian membuat masyarakat Jepang umumnya kurang menerima
orang asing.

Meninjau fenomena-fenomena yang terjadi terkait dengan keluarga di Jepang


dengan teori modernisme dan teori pertumbuhan ekonomi transformasi Jepang dari
masyarakat tradisional menuju masyarakat madani yang modern, tidak akan
terlepas dengan perubahan dan dinamika yang ada dalam masyarakat sosialnya.
Setelah Jepang terpuruk akibat kekalahan perang dan kemudian dilarang memiliki
angkatan bersenjata oleh pihak Amerika Serikat, Jepang kemudian bangkit melalui
jalur ekonomi. Kebangkitan Jepang dalam ekonomi ini kemudian mendesak
masyarakat Jepang untuk secara tidak langsung menyesuaikan diri dengan
perubahan dengan cara meninggalkan perlahan-lahan nila-nilai yang telah dianut
selama berabad-abad. Penyesuaian ini ternyata berakibat positif dari segi
kesejahteraan yaitu bertransformasinya Jepang menjadi negara maju (baca:
modern). Transisi Jepang menuju modernitas meniru Barat, dengan cara
memperkuat ekonomi. Meski Jepang pada dasarnya telah meniru Barat sejak era
Meiji.
Sementara Rostow dalam teorinya menyebutkan bahwa salah satu sebab dari
pembangunan ekonomi yaitu perubahan pandangan masyarakat mengenai jumlah
anak dalam keluarga, yaitu dari menginginkan banyak anak menjadi lebih sedikit.
Mengamini pernyataan Rostow dan melihat keterkaitannya dalam kasus Jepang,
dapat disebutkan bahwa masyarakat dengan tingkat ekonomi yang maju akan terus
berfokus kepada materi dan hal ini menyebabkan mereka cenderung individualsitik
yang lebih mementingkan profit akibat desakan dan tuntutan ekonomi, terlebih
karena persaingan dalam dunia kerja. Hal itu kemudian menyebabkan banyak
generasi muda Jepang yang menunda menikah atau enggan memiliki banyak
keturunan yang dianggap menjadi beban. Masyarakat muda Jepang nampaknya
sedang nyaman dalam kondisi developed, hal yang patut dikhawatirkan yaitu
ketidaksiapan masyarakat muda Jepang untuk menghadapi desakan mempunyai
keturunan di masa paruh bayanya untuk keberlangsungan generasi Jepang. Selain
itu, dengan fenomena shoushika ini, akan menimbulkan interaksi yang sedikit di
antara anak-anak Jepang. Di kemudian hari, hal ini tentu akan menjadi fenomena
maupun masalah baru.

Mengenai masalah koureika shakai, sepatutnya bukan menjadi suatu hal yang
buruk dengan fenomena banyaknya lansia dengan angka harapan hidup yang
tinggi. Hal itu tidak lain menunjukkan bahwa Jepang tidak hanya maju secara
ekonomi, tetapi juga dalam aspek kesehatan. Yang justru menjadi masalah adalah
ketidakseimbangan populasi lansia dengan populasi generasi muda. Karena itu
perlu kiranya pemerintah Jepang lebih memperhatikan fenomena bankonka dan
shoushika. Akibat dari penundaan pernikahan itu yang berimbas kepada
melahirkan anak di usia yang rentan untuk melahirkan. Dengan semakin
ditanggulanginya masalah shoushika ini, akan berakibat positif kepada masa depan
Jepang dan juga untuk menyeimbangkan populasi lansia. Meski memang, masalahmasalah terkait dengan lansia kini banyak terjadi. Hal itu sebenarnya dapat saja
diminimalisir jika masyarakat Jepang yang individualistik dengan sistem kaku
kazoku mau meluangkan waktunya untuk tetap merawat orang tua mereka yang
telah berusia lanjut meski telah hidup terpisah. Untuk saat ini mungkin masih
banyak yang berpendapat bahwa waktu mereka tidak cukup karena didedikasikan
penuh untuk pekerjaan dan perusahaan.
Seperti yang telah dikatakan, fenomena-fenomena ini akan sangat berpengaruh
bagi masa depan Jepang, terutama bagi keberlangsungan generasi penerus.
Fenomena ini kemudian juga menjadi salah satu faktor bagi banyaknya tenaga
kerja asing yang menetap di Jepang. Hal itu disebabkan tingginya kebutuhan
tenaga kerja yang hanya dapat dipenuhi dengan mendatangkan para tenaga kerja
dari luar Jepang. Dengan adanya fenomena-fenomena yang telah dijelaskan,
terutama shoushika, bukan tidak mungkin di kemudian hari populasi masyarakat
asli Jepang dengan populasi masyarakat asing yang menetap di Jepang akan
berimbang, seperti contohnya adalah negara Singapura. Keadaan seperti itu boleh
jadi akan membuat perubahan-perubahan yang lebih kompleks lagi, termasuk
dengan kepercayaan homogenitas Jepang.
Jika masyarakat Jepang masih tetap berpegang teguh dengan nilai-nilai homogen
yang tercantum dalam nihonjinron, sudah sepatutnya masyarakat Jepang dewasa
ini meninjau kembali kepada sistem Ie yang telah dihapus dan telah bergeser.
Nilai-nilai yang bersifat individualistik semestinya harus diminimalisir, agar

masalah-masalah yang terkait dengan koureika shakai, bankonka, dan shoushika


ini dapat terselesaikan.
Pola Asuh Terhadap Anak
Untuk mengetahui bagaimana pola asuhan terhadap anak yang mereka terapkan,
marilah kita simak kisah / cerita Warga Negara Indonesia ini.
Ketika pindah ke negeri sakura ini, waktu itu si sulung masih berumur 6 bulan.
Gimana ngurusnya seorang bayi di sebuah tempat yang bukan negeri sendiri sempat
membuat saya khawatir dan was-was. Untungnya suami bisa menangkap saya rasa cemas
saya dan menawarkan untuk sementara kita semua tinggal dulu bersama di rumah orang
tuanya. Tawaran yang langsung saya sambut baik. Sambil kami mencari rumah tinggal,
saya pun bisa konsen belajar tentang Jepang. Beradapatasi dilingkungan baru itu ternyata
tidak mudah, apalagi saya bukan bawa badan sendiri tapi ada anak kecil yang butuh
ayoman dan didikan yang sesuai dengan tempat tinggalnya yang sekarang ini.
Berguru pada ibu mertua, saya mulai belajar bagaimana mengurus seorang bayi
berumur 6 bulan. Saat itu anak sulung saya sudah bisa duduk dan mulai mendapatkan
makanan tambahan selain ASI. Ibu mertua saya melihat bagaimana saya kerepotan
menyuapi makan anak saya yang mulai merangkak kesana kemari. Belum lagi kalau
dilepeh/dimuntahkan.
Suatu hari okaasan (panggilan untuk ibu mertua), mengajak saya ke toko
peralatan bayi. Disana ia menyarankan untuk membeli kursi makan anak. Jadi nantinya
saya bisa taruh si anak duduk di situ saat sedang memberi makan, gak perlu kejar kejaran
lagi. Oh, bagus juga begitu, pikir saya. Karena setelah dicoba, wow sekali! anak saya bisa
konsen dan jadi cepat selesai makannya, dan itu tidak disuapin!! Okaasan mengajarkan
agar saya membuat onigiri yang di pulung bulat-bulat dengan maksudnya mudah untuk
dicomot dan langsung di caplok oleh si kecil, lalu lauknya? Dengan bentuk yang sama
dan ukuran yang sama semua makanan saya sajikan buat si sulung, dan senangnya itu
semua selalu dihabiskan oleh si kecil.

Lalu pindahlah saya ke rumah baru, saat itu saya baru lahiran anak kedua.
Kebayang bagaimana repotnya ada 2 bayi di rumah (jarak hanya 1.5 tahun) tanpa ada
seorang pun membantu kecuali suami. Kelimpungan dan pentalitan sendiri menghadapi
urusan RT dan mengurus bayi-bayi. Untungnya saya sidah sedikit belajar bagaimana
menangani anak bayi pengalaman si sulung saat tinggal bareng di Pondok Mertua Indah
dulu. Dan teknik-teknik yang dulu pun saya terapkan juga untuk si bungsu.
Memberikan makan tanpa disuapin, duduk dikursi saat makan adalah pengalaman
yang tak bisa saya lupakan karena kenyataannya, cara itu tidak saya lihat dan susah untuk
diterapkan di Indonesia. Kenapa? Karena ada si mbak, tante, saudara, kakak, dll Dan saya
pun sebagai anak pertama dari empat bersaudara, merasakan benar bagaimana harus lari
sana sini menyuapi adik-adik saya saat mereka masih kecil dulu.
Beranjak besar dan masuk TK, suami sudah memberikan tugas untuk anak-anak
dirumah, si sulung tugas untuk menyiram tanaman, dan sibungsu membantu melipat baju
yang habis dijemur, dan tugas berdua yaitu kegiatan membereskan piring dan makan
yang habis dipakai untuk ditaruh di dapur. Semuanya ini saya rasakan luar biasa karena
saat seumuran mereka saya tidak melakukannya!!!
Sering saya dengar dari suami, dulu keluarganya termasuk yang kibishii (strict).
Kibishii gimana, kata saya ingin tahu? Menurutnya, ia tidak bisa seenak udelnya minta
dibelikan mainan Karena biasanya harus tunggu dulu timingnya, entah itu ulang tahun,
nilai ujian bagus atau christmast day (ada budaya saat natal (anak-anak di Jepang
mendapakan hadiah dari sinterklas, yg tentu saja orang tuanya yg kasih hehe).
Belum lagi saat saya SMA, saat itu ingin sekali ia punya gitar listrik, yang selama
ini saya hanya bisa main dan pegang saja di toko. Kalau melihat harganya tidak mungkin
ia beli, apalagi sampai minta ke orangtuanya!
Jalan lain yang harus dilakukan agar mimpinya jadi kenyataan adalah dengan
kerja sebagai Arubaito, part timer! Bukan hal yang aneh lagi kalau anak-anak SMA di
Jepang banyak yang melakukan arubaito ini. Arubaito jadi pelayan restoran, penjaga toko
bahkan loper koran atau tukang pos keliling. Semuanya itu dilakukan asal tidak

mengganggu pelajaran. Biasanya sih, sehabis pulang sekolah atau pas hari libur. Setelah
kumpul uang hasil kerjanya, baru deh bisa ia (suami) membeli gitar idaman. Karena
belinya pakek keringet sampe ke pantat-pantat katanya haha makanya gak heran deh saya
lihat tuh gitar di eman-eman banget walopun tidak pernah dipakai lagi sekarang. Katanya
sebagai kenangan gimana susahnya mencari uang saat itu.
Melihat dan mendengar langsung gimana mandiri dan tidak manjanya remajanya
untuk mendapatkan keinginan yang ternyata tidak semudah membalik telapak tangan!
Usaha itu membuat mereka tidak gampang untuk hanya menengadahkan tangan ke
orangtua, walo berat kerjaannya namun itu dilakukan terus dengan penuh tanggung
jawab. Saya yakin saat melakukan pekerjaan itu, banyak nilai yang bisa mereka petik,
gimana saat melakukan kesalahan lalu dimarahi oleh pemilik toko, saat itulah hati kita
menjadi dewasa, bersikap sabar dan timbul rasa untuk bekerja secara cermat dan
sungguh-sungguh. Saat susah itulah sebenernya emosi dan pribadi kita ditempa. Sabar,
tekun dan tanggung jawab dalam bekerja tanpa mengenal itu kata lelah, malu dan gengsi!
Berbicara tentang gengsi, kalau temen-temen main kesini, coba deh perhatiin saat
masuk toko dan restoran, coba lihat itu banyak cewek-cewek muda dan enerjik bekerja di
restoran sambil bawa bawa nampan yang penuh piring dan gelas kotor. Atau lihat cowokcowok muda gagah perkasa yang angkat-angkat kerdus atau dorong-dorong troli sambil
ngatur minuman dan makanan untuk ditaruh di rak-rak pada sebuah convinient store,ah
indah sekali pemandangan ini. Bekerja dengan satu tujuan, mencari uang dengan jalan
yang benar. Walau masih muda tapi mau merasakan gimana susah payahnya mencari
penghasilan walaupun saya yakin itu mungkin saja bukan buat nafkah hidup sehari
harinya. Mereka sampai mau sampai ngesot-ngesot kerja ngucur-ngucur keringet, banting
tulang, geret-geret gerobak atau angkat-angkat piring kotor untuk menghasilkan uang
yang mungkin saja untuk membeli sesuatu yang mereka idamkan dan impi impikan.
Kalau dipikir, lah itu saja mereka sampai jabanin apalagi uang itu buat biaya hidupnya?
Saya yakin kesungguhan kerja mereka bisa 10 kali lipet dari yang sekarang ini.
Suami pernah bercerita, saat ia kuliah gimana `sengsaranya` nya karena dulu
hanya dikasih uang transport dan uang kuliah saja oleh orang tuanya. Trus gimana dong

buat senang-senang, tahu lah jaman dan seusia segitu katanya, ya kluyuran nongkrong
sana sini sama teman-teman suatu hal yang lumrah dan biasa. Dan katanya, nongkrong
dan jalan sana sini tetap bisa dia lakukan, tapi ya itu malemnya mereka ngos-ngos an berarubaito-an (part time). Maknyus katanya hehehe demi seonggok gitar atau sepasang
sepatu trendy hahaha
Dan tak lupa juga sambil mengenang gimana hebohnya dia melakukan berbagai
macam kerja part time saat itu. Bekerja di pasar kembang yang harus nyalurkan bungabunga ke toko-toko saat dini hari, jadi loper koran dan jadi tukang pos keliling dimana
saat mengantarkan surat atau paket yang dialamatkan pada suatu rumah, perutnya
mendadak mules karena kata orang-orang di daerah situ, rumah itu adalah sarang
kumpulnya para yakuza!! hahahaha dan yang bikin deg deg duar kalo sekali salah omong
atau kelihatan gemeteran bisa tuh di gebuk atau dibentak-bentak sampai pada pipis
dicelana wkwkwkwk makanya pernah ia dikerjain sama teman-temannya sesama
arubaito, kalau tugas kasih surat ke sarang yakuza dilimpahkan ke dirinya sebagai plonco
anak baru, apes banget katanya wkwkwk
Setelah dewasa, lulus kuliah dan mulai memasuki dunia kerja, orang tuanya
mengusir anak-anaknya untuk keluar dari rumah. Waktu itu saya kaget dan cukup
tercekat dengan pola didik mertua saya, tapi lambat laun saya jadi mengerti dan
memahaminya. Mengusir bukan karena tidak sayang dan merasa susah untuk menghidupi
mereka lagi. Ternyata begitu banyak makna yang tersembunyi.
Mertua saya melakukan itu dengan berbagai sebab, dan alasan yang pertama tentu
saja mandiri. Karena mereka sudah punya penghasilan, maka mereka harus belajar memanage kehidupannya sendiri, mencari apartemen untuk disewa, belanja kepasar dan
memasak, melakukan pekerjaan rumah saat libur kantor, berinteraksi dengan tetangga dan
lingkungan, dan lain sebagainya.
Rasakanlah hidup seperti itu, rasakan suka dan duka dan bagaiman mengatasi
persoalan yang ada, karena masalah yang kamu alami sekarang ini besarnya masih
sebiji beras saja kalau dibandingkan dengan masalah yang nanti akan kamu hadapi.Ya,

hidup mandiri. Dan dari mulut anak-anaknya itu, mereka sepertinya tidak masalah atau
bahkan mengalami kesulitan saat harus `lepas` dari orangtuanya. Kenapa? Ya, tempaan
dan didikan sedari kecil untuk tidak menyusahkan orang lain dan harus mengerjakan
pekerjaan yang dia mampu kerjakan membuat mereka tidak jadi lebay panik menata
kehidupan saat jauh dari orang tua.
Pergilah dari rumah ini, jalani hidup kita sendiri-sendiri. Maksudnya apa?
Artinya, melihat anak-anaknya yang sudah punya penghasilan sendiri dan lambat laun
harus pula mencari pasangan hidup, lalu menikah, mempunyai anak dan akhirnya
membentuk keluarga kecil. Maka, konsenlah dengan kehidupannya yang sekarang. Lalu
bagaimana dengan hidup orang tuanya? Ya, makna yang tersirat adalah kalau mereka
tidak perlu dinomor satukan lagi. Karena ada yang lebih penting dari itu, yaitu
kelanggengan hidup keluarga anak-anaknya, karena ketenangan hati orang tua adalah
melihat anak-anaknya hidup bahagia bersama keluarganya.
Bukan bermaksud menggurui dan sudah sukses, karena sekarang pun saya sedang
menerapkannya untuk anak-anak dirumah.Walaupun kadang terasa gak tega dan kasihan
juga terhadap anak-anak yang masih kecil ini tapi suami selalu meyakinkan dan
menguatkan saya kalau ini semua adalah untuk kebaikan mereka juga nantinya.
Orang tua tidak akan memberikan tugas yang melebihi dari kemampuan anaknya
sendiri, sering itu saya bilang ke anak-anak saya saat si sulung yang kadang masih mata
setengah tidur onegai (memohon) karena masih ngantuk untuk minta libur tugasnya
mengambil koran papanya pagi hari, atau si bungsu yang ngambek tidak mau
membereskan mainannya karena sudah dipanggil main diluar oleh teman-temannya, tapi
karena sudah tahu tidak mungkin ditawar dan ada keringanan dari kami, maka mau tak
mau dan suka tak suka semua dijalankan walau kadang sambil misuh-misuh ngedumel
sendiri wkwkwkwk
Ya, menjaga, melindungi dan menyayangi bukan berarti memanjakan. Walau itu
ada garis halus yang memisahkan tapi efek yang ada saat kita bisa menerapkan disiplin
kepada si kecil, maka sang anak suatu saat akan berterima kasih kepada orang tuanya,

karena pribadinya yang tegar saat jatuh dan terpuruk lalu kemudian berusaha untuk
bangkit itu adalah suatu tempaan hidup yang tidak bisa didapatkan ilmunya di bangku
sekolah.
Salam Hangat, wk
Dari kisah yang diceritakan seorang WNI di atas, kita bisa menangkap bahwa
anak-anak di Jepang dari kecil sudah di ajarkan mengenai kemandirian. Kemandirian
yang membuat rasa ketergantungan pada orang lain itu menghilang. Dan nantinya
membuat anak akan terbiasa dalam mengatasi keinginan diri dengan mandiri.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Jepang memiliki Jepang adalah salah satu negara dengan pengaruh budaya yang
kuat, dilihat dari tinjauan sejarah peradaban Jepang yang cukup kompleks. Budaya
Jepang menjadi salah satu jalan Jepang berkembang sebagai satu dari sekian negara maju
di dunia.
Banyak hal yang menarik dari Jepang. Seperti pola kehidupan
keluarga yang mereka jalani selama ini setelah perang dunia II. Mulai
dari perkawinan & perceraian, system keluarga, sampai pola asuh
terhadap anak-anak mereka.
Saran
Semoga segala hal positif yang telah kami jabarkan di atas, bisa menjadi suatu referensi
yang berguna sebagai penambah pengetahuan kita yang selanjutnya bisa kita jadikan
panutan untuk kita teladani dalam kehidupan sehari-hari

DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Yogayanti, Sri Setyo, Skripsi: Hubungan Antara Perubahan Nilai-Nilai Terhadap Keluarga, Anak,
dan Pernikahan Pasca Perang Dunia II dengan Perubahan Persepsi Perempuan Jepang Terhadap
Perceraian dalam Masyarakat Jepang Kontemporer, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,
Program Studi Jepang, Universitas Indonesia, 2012
Frank, Andre Gunder, penerj. Budiman, Arif Sosiologi Pembangunan Dan Keterbelakangan
Sosiologi, Jakarta: Pustaka Pulsar, 1984
Setiadi, Elly M., et.al., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Kencana, 2011Yoshio Sugimoto,
An Introduction to Japanese Society, Cambridge University Press: 1993
Emiko, Ochiai, The Japanese Family System in Transition: A Sociological Analysis of Family
Change in Postwar Japan, Tokyo: 1994
Tobing, Ekayani, Keluarga Tradisional Jepang Dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial,
Depok: ILUNI KWJ, 2006
Motonobu, Mukai, Modernization and Divorce in Japan, Marshal University, 2004
Evangela, Sherlina, Skripsi: Representasi Fenomena Shoushika dalam Drama Televisi Jepang:
Studi Kasus Drama Umareru dan Watashi Ga Renai Dekinai Riyuu, Fakultas Ilmu Budaya,
Program Studi Jepang, Universitas Indonesia, Depok: 2012
Saleha, Amaliatun, Parasite Single, Sebuah Fenomena Sosial Kontemporer di Jepang, Program
Studi Sastra Jepang, Fakultas Sastra, Universitas Padjajaran Bandung, 2006
Pratita, Ina Ika, Menguak Kehidupan Kaum Wanita Jepang, Lentera, Jurnal Studi Perempuan,
Vo. 1/No. 2/Desember 2005, ISSN 1858-4845 20

Database Online
Anne E Imamura, The Japanese Family, 1990, dikutip dari
http://www.exeas.org/resources/pdf/japanese-family-imamura.pdf, diakses 4 Februari 2014
NN, dikutip dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37838/3/Chapter%20II.pdf,
diakses 5 Februari 2014
NN, Gambaran Umum Mengenai Keluarga Ie, dikutip dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37191/3/Chapter%20II.pdf, diakses 3 Februari
2014
NN, Isu Jepang Kontemporer, dikutip dari
https://www.fitrianapd.lecture.ub.ac.id/files/2013/09/shoshika.pptx diakses 5 Februari 2014
NN, Jepang Upayakan Cegah Lansia Meninggal dalam Kesepian, 3 Agustus 2011, dikutip dari
http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/08/03/lpcsaj-jepang-upayakan-cegahlansia-meninggal-dalam-kesepian, diakses 5 Februari 2014
Satoshi Sakata, Historical Origin of the Japanese Ie System, dikutip dari
http://www.yomiuri.co.jp/adv/chuo/dy/opinion/20130128.htm, diakses 3 Februari 2014
Sri Dewi Adriani, Dampak Peningkatan Jumlah Lansia Terhadap Munculnya Fenomena Sosial
Kodokushi (Dying Alone) (Studi Kasus Pada Gempa Bumi Kobe 1995), dikutip dari
http://japanese.binus.ac.id/2013/12/14/dampak-peningkatan-jumlah-lansia-terhadap-munculnyafenomena-sosial-kodokushi%E5%AD%A4%E7%8B%AC%E6%AD%BBdying-alone-studikasus-pada-gempa-bumi-kobe-1995/ diakses 5 Februari 2014

Anda mungkin juga menyukai