ANALISIS DATA
Istilah urenokori dan too ga tatsu adalah sebutan bagi wanita Jepang yang belum
menikah pada umur 25 tahun keatas ( kira – kira pada 30 tahun yang lalu ). Pandangan
suatu keharusan, karena masyarakat secara tidak langsung memberikan tekanan sosial
bagi mereka yang belum menikah pada umur tersebut. Namun akhir – akhir ini tekanan
masyarakat kepada wanita yang dianggap sudah mencapai umur yang tepat untuk
Menurunnya angka kelahiran di Jepang membuat semua mata tersorot pada wanita
Jepang karena jumlah populasi anak – anak di Jepang setiap tahunnya semakin menurun.
Hal ini disebabkan oleh wanita Jepang saat ini telah menemukan hal yang mereka
anggap lebih penting dan menarik daripada memiliki keluarga dan anak, yaitu karir,
keuangan, kemerdekaan, dan kebebasan pribadi. Minat mereka untuk menjadi seorang
istri dan seorang ibu lama – kelamaan semakin menurun. Menurunnya angka kelahiran
Jepang hingga posisi 1,42 meresahkan pemerintah Jepang, karena angka kelahiran 1,42
( http://www.uic.edu/classes/osci/osci590/153%20Population%20Growth%20II.htm ).
15
Menurunnya populasi di Jepang dari tahun 1950, 2004 hingga perkiraan jumlah
populasi di Jepang pada tahun 2050 dapat dilihat pada diagram 3.1 ( Piramida Perubahan
Populasi di Jepang ).
( http://www.stat.go.jp/english/data/handbook/c02cont.htm ) 2006
Dari diagram diatas, menurut analisis saya Jepang saat ini mengalami penurunan
populasi anak. Diagram populasi pada tahun 1950 menunjukkan bahwa proporsi antara
persentase penduduk yang muda lebih besar dibandingkan dengan persentase penduduk
yang berusia lanjut. Kemudian diagram pada tahun 2004 menunjukkan suatu perubahan
16
yang sangat signifikan yaitu persentase punduduk yang berusia muda lebih kecil
Menurut analisis saya, menurunnya populasi anak – anak di Jepang saat ini
disebabkan oleh sangat rendahnya angka kelahiran di Jepang. Hal ini disebabkan oleh
banyaknya masyarakat Jepang saat ini yang memutuskan untuk menjadi single ataupun
untuk tidak memiliki anak. Jika hal ini terus – menerus berlanjut maka untuk masa
mendatang di Jepang akan terlihat didominasi oleh orang yang lanjut usia. Seperti yang
ditunjukkan grafik perkiraan populasi pada tahun 2005, terlihat penduduk yang lanjut
usia jumlahnya tiga kali lipat jumlah penduduk yang berusia muda.
wanita Jepang untuk melahirkan anak untuk meningkatkan angka kelahiran Jepang.
Salah satu cara yang dilakukan adalah mengembangkan fasilitas perawatan anak,
id=3998 ). Menurut laporan yang dikeluarkan oleh The National Institute of Population
and Social Security angka kelahiran Jepang menurun sangat drastis dibandingkan
menurunnya minat masyarakat Jepang akan perkawinan dan semakin meningkatnya usia
– usia penundaan terhadap perkawinan. Pada grafik 3.1 ( Grafik Perubahan Angka
Pernikahan dan Angka Perceraian) Kita dapat melihat semakin menurunnya jumlah
orang yang menikah tiap tahunnya di Jepang dan tabel 3.1 ( Tabel Rata – Rata Umur
Pernikahan Pertama ) kita dapat melihat semakin meningkatnya usia orang yang
17
Grafik 3.1 Perubahan Angka Kelahiran dan Angka Perceraian
( http://www.stat.go.jp/english/data/handbook/c02cont.htm ) 2006
( http://www.stat.go.jp/english/data/handbook/c02cont.htm ) 2006
18
Dari grafik 3.1 saya menganalisis bahwa dari tahun ke tahun, jumlah pasangan yang
menikah semakin berkurang dan penundaan umur pernikahan dapat kita lihat dari table
3.1 di atas, bahwa setiap tahun umur pria dan wanita Jepang yang menikah untuk
pertama kalinya semakin bertambah usianya. Oleh karena itu salah satu faktor yang
yang dulunya merupakan suatu keharusan sekarang ini hanyalah menjadi sebuah pilihan.
Secara tidak langsung berarti bahwa perkawinan itu sendiri tidak menjadi keharusan.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Iwao ( 1993 ) yang menyatakan perkawinan hanya
Menurut analisis saya, menurunnya minat masyarakat untuk menikah ini dikarenakan
berpindahnya minat mereka kepada karir. Mereka menjadikan karir mereka sebagai
fokus utama mereka. Jika mereka memilih karir sebagai tujuan mereka, maka secara
otomatis mereka akan menunda pernikahan, bahkan ada juga yang memutuskan untuk
menjadi single. Terutama bagi pria Jepang yang menyadari betul bahwa pekerjaan
adalah hal yang paling utama, jadi jika ia menikah ia mengharapkan seorang istri yang
bertanggung jawab penuh terhadap rumah dan anak. Karena pria Jepang akan lebih
tempat kerja dan wajib menomor duakan keluarga. Sedangkan semenjak berlakunya
undang – undang Persamaan Kesempatan Kerja tahun 1986, kesempatan kerja yang
sama antara pria dan wanita mengakibatkan banyak wanita yang menunda pernikahan
19
Pemerintah juga menyadari betul jika ingin meningkatkan angka kelahiran di Jepang,
harus ada kemudahan bagi pekerja wanita sehingga mereka dapat membentuk suatu
keluarga ( http://www.ipsnews.net/news.asp?idnews=31709 ).
Hal ini sesuai dengan pernyataan Iwao ( 1993 ) bahwa jika ditanya kepada pria Jepang
mana yang lebih penting, keluarga atau pekerjaan maka ia akan mengatakan keluargalah
yang terpenting, namun pada kenyataannya mereka sangat tunduk akan pekerjaan
mereka. Hunter ( 1993 ) juga mengatakan bahwa wanita yang memiliki anak tidak dapat
bekerja, karena mereka tidak akan memiliki waktu luang untuk keluarganya dan para
wanita ini tidak akan mampu mengurus pekerjaan rumah tangganya secara menyeluruh.
Pro dan kontra antara tugas suami sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah dan
istri yang seharusnya tinggal di rumah untuk merawat keluarga tiap tahunnya mengalami
perubahan, yang dapat kita lihat dari tabel 3.2 ( Tabel Perubahan Kesadaran dan Aturan
Keluarga Menurut Umur dan Gender ) dalam pertanyaan ”Apakah menurut anda seorang
suami harus bekerja di luar rumah dan seorang istri harus mengurus rumah tangga?”
berikut ini.
20
Tabel 3.2 Perubahan Kesadaran dan Aturan Keluarga Menurut Umur dan Gender
( http://www.dawncenter.or.jp/publication/edawn/pdf/edawn2004.pdf ) 2004
harus bekerja di luar dan seorang istri harus merawat keluarganya ” memperlihatkan
kepada kita bahwa pada tahun 1972 baik pria maupun wanita Jepang setuju akan
pernyataan tersebut, namun sejak tahun 1984, 1992 dan 2002 ketidak setujuan akan
Pendapat bahwa dulu wanita harus di rumah melakukan tugasnya sebagai seorang istri
yang baik dan seorang ibu yang bijaksana atau yang biasa disebut dengan ryousaikenbo
menurut Davies ( 2002 ) benar – benar terlihat pada tabel tahun 1972.
Seiring dengan semakin banyaknya jumlah orang yang tidak setuju terhadap pendapat
bahwa wanita sebaiknya berada di rumah saja, jumlah pekerja wanita tiap tahunnya
semakin meningkat. Terlebih lagi sejak adanya peraturan mengenai kesetaraan pekerja
pria dan wanita, pekerja – pekerja wanita semakin dipermudah dalam mencapai karirnya.
21
Di Jepang pekerja – pekerja wanita semakin meningkat jumlahnya, sebagian dari
pekerja – pekerja ini masih ada yang tinggal bersama orang tuanya. Hal ini merupakan
kesenangan sendiri bagi mereka yang masih menumpang tinggal bersama orang tuanya
walaupun sudah memiliki pekerjaan dan penghasilan yang cukup tinggi. Mereka sering
Dari grafik 3.2 ( Grafik Persentase dari Pekerja Wanita Single yang Tinggal dengan
Orangtuanya ) dapat dilihat jumlah pekerja wanita yang masih tinggal bersama orang
Grafik 3.2 Persentase dari Pekerja Wanita Single yang Tinggal dengan
Orangtuanya
( http://www.dawncenter.or.jp/english/publication/edawn/0212/women.html )2003
Menurut analisis saya, dari tabel diatas, kita dapat melihat persentase wanita yang
bekerja cukup besar, terutama pada umur – umur produktif untuk menikah. Orang yang
sudah bekerja namun masih tinggal bersama orang tuanya biasa disebut sebagai parasite
single. Parasite single ini, menikmati kenyamanan hidup dengan bergantung kepada
kemampuan sang ibu dalam mengurus rumah tangga dan kemampuan ekonomi sang
ayah sehingga tidak heran jika parasite single ini menganggap pernikahan bukanlah hal
22
yang menarik. Mereka menggunakan gaji dari hasil bekerja untuk bersenang – senang
dengan teman – teman, membeli barang – barang bermerk yang tentunya sangat mahal.
Sesuai dengan pendapat 美智子 ( 2000 ) yang mengatakan bahwa para parasite single
Karir, keuangan, kemerdekaan dan kebebasan pribadi yang mereka miliki saat ini
akan hilang begitu saja jika mereka memutuskan untuk menikah dan mempunyai anak.
Karena mereka mengetahui dengan jelas bahwa pekerjaan rumah mereka tidak akan
dapat dikerjakan secara menyeluruh jika mereka bekerja sambil mengurus rumah tangga
menunjukkan sebagian besar masyarakat Jepang baik pria maupun wanita setuju jika
23
Gambar 3.1 Perubahan Perbedaan di dalam Pandangan Ketenaga Kerjaan
( http://www.jiwe.or.jp/english/situation/working.html ) 2004
Sampai saat inipun sebagian besar wanita Jepang yang memiliki anak kembali bekerja
sesudah anak mereka sudah dianggap besar. Namun bagi wanita Jepang, hal ini akan
menghambat karir mereka, karena untuk beberapa waktu karir mereka akan terhenti saat
mereka menikah dan mempunyai anak. Mereka harus keluar dari pekerjaan mereka
untuk mengurus dan merawat keluarga mereka. Oleh karena itu mereka lebih memilih
menjadi single.
24
Sesuai dengan pendapat Davies ( 2002 ), bahwa jika wanita Jepang memilih karir
mereka, akan memilih untuk menjadi single, karena jika ia menikah dan memiliki anak
maka saat itu ia akan mengambil cuti dari tempat ia bekerja, kemudian saat anaknya
sudah cukup besar dan ia ingin kembali bekerja maka akan sulit untuk mendapatkan
Jumlah wanita yang memutuskan untuk tidak menikah rata – rata tiap tahunnya terus
meningkat hingga 10 % pertahun. Gaya hidup single yang dulunya selalu menjadi bahan
perbincangan, sekarang ini perlahan – lahan sudah dapat diterima masyarakat yang
/0503/03/123828.htm ).
Ada sebagian masyarakat Jepang yang menganggap bahwa dengan kehadiran seorang
bayi maka hal itu akan memberikan kerugian. Hal ini dapat kita lihat dari grafik 3.3
25
Grafik 3.3 Kerugian Memiliki Bayi
( http://www.mhlw.go.jp/english/database/db-hw/babies02/10.html ) 2002
Dari tabel di atas, saya menganalisis bahwa sebagian masyarakat Jepang merasa
bahwa jika memiliki seorang bayi maka ia akan mengalami beberapa kerugian antara
lain : akan memberatkan atau menambah pekerjaan mereka karena harus mengurus
seorang bayi, mereka akan kecapaian, selain itu juga kehadiran seorang bayi akan
kelemahan bayi. Dengan adanya pernyataan dari para orang tua bahwa memiliki anak
akan menimbulkan kerugian, maka hal ini secara tidak langsung mendukung para
masyarakat muda Jepang untuk memiliki anak, terutama bagi mereka yang benar – benar
26
ingin mencapai kesuksessan dalam karir mereka. Maka mereka akan mengabaikan hal –
Yang dimaksud dengan kesuksesan menurut mayarakat Jepang adalah seorang yang
memiliki penghasilan yang tinggi dan memiliki pekerjaan yang dapat meningkatkan
prestisenya. Seperti salah satu tokoh yang dianggap sukses di Jepang yaitu Kuroyanagi
Tetsuko. http://www.indiana.edu/~japan/LP/LS32.html
Berdasarkan kasus – kasus yang ada di Jepang dari berbagai sumber yakni artikel dan
internet kita dapat melihat data – data dengan jelas mengenai hubungan karir dengan
menurunnya angka kelahiran di Jepang khususnya pria dan waniya yang berumur antara
Nishio adalah seorang lulusan matematika, berumur 38 tahun yang bekerja selama
empat tahun sebagai salaryman sebelum memulai bekerja sebagai konsultan sistem
komputer miliknya 10 tahun yang lalu. Dia dulunya memiliki pacar – hubungan
membicarakan tentang pernikahan. ” Saya tidak memiliki suatu rencana hidup yang
terencana, ” kata Nishio. Saya tidak pernah berpikir, saya harus menikah sekarang, harus
memiliki anak sebelum saya mapan, menurut saya yang terpenting adalah ekonomi.
Krisis ekonomi di tahun 1992 menyebabkan saya konsentrasi pada pekerjaan saya. Saya
27
Nishio tidak sendiri dalam hal memandang pernikahan dan orangtuanya yang
pengangguran berkata bahwa, cinta saja sudah cukup untuk mempertahankan hubungan
yang lama. Menurut Nishio cinta hanya bertahan untuk dua atau tiga tahun pertama
( http://observer.guardian.co.uk/international/story/0,6903,1499544,00.html ).
Berdasarkan kasus di atas, menurut analisis saya bahwa Nishio melewati waktu yang
cukup panjang dalam meniti karirnya hingga ia dapat membuka kantor konsultan sistem
komputer. Bagi Nishio, perekonomian lebih penting dibandingkan dengan hal yang
lainnya, termasuk hal menikah. Saya berpendapat bahwa di Jepang saat ini sudah ada
pergeseran batas umur yang dianggap cukup bagi seorang pria untuk menikah. Seperti
pendapat Iwao ( 1993 ) pada tahun 1990 umur rata – rata bagi seorang pria untuk
menikah adalah umur 28,5 tahun, sedangkan berdasarkan kasus di atas Nishio berumur
Nishio tidak setuju akan pendapat orang tuanya yang mengatakan bahwa cinta akan
membuat suatu hubungan dapat bertahan lama, karena orang tuanya sekarang tidak
bekerja lagi, maka mereka tidak merasakan pentingnya pekerjaan tersebut bagi Nishio.
Sedangkan Nishio saat ini sedang menfokuskan diri pada pekerjaan karena baginya uang
adalah yang terpenting. Dia merasa ia belum mapan untuk memiliki anak.
memfokuskan pada pekerjaannya serta tidak ingin memikirkan hal yang berhubungan
dengan pernikahan maka hal ini membuktikan bahwa minat masyarakat Jepang untuk
menikah semakin menipis, dan tentunya berdampak pada semakin menurunnya angka
kelahiran di Jepang.
28
Ketidaktertarikan akan pernikahan ini sesuai dengan pendapat Iwao ( 1993 ) yaitu
pernikahan itu sendiri dijadikan sebagai suatu pilihan. Mereka memilih antara
pernikahan dan pekerjaan, dan jika mereka memilih untuk pekerjaan maka mereka akan
mengesampingkan pernikahan itu sendiri. Terlebih lagi bagi pria Jepang yang sangat
mengutamakan pekerjaan, hal ini sesuai dengan pendapat Iwao ( 1993 ) yang
mengatakan bahwa pria Jepang akan lebih mendedikasikan diri mereka terhadap
pekerjaan mereka.
3.2.2 Kasus pada Miki Takasu yang Berkarir dan Merasa Bahagia dengan Tidak
Menikah
Miki Takasu, berumur 26 tahun, cantik, mengendarai BMW dan membawa tas merk
Chanel dengan harga $2,800. Ia juga memiliki dompet Gucci, Prada, dan Vuitton.
Liburan yang menyenangkan ke Switzerland, Thailand, Los Angles, New York, dan
Hawai. Bahagia dengan tidak menikah, tinggal bersama orang tuanya sambil bekerja
sebagai teller di bank. Orang – orang seperti Miki biasa disebut sebagai parasit single.
( http://www.washingtonpost.com/wp-srv/WPcap/2000-02/10/101r-021000idx.html ).
10 Februari 2000.
Takatsu hanya sebuah gambaran dari sekian banyak parasite single yang sekarang ini
semakin meningkat di Jepang. Takasu memiliki semua yang diinginkan wanita Jepang
yaitu karir, kendaraan mewah, accesories yang mewah, perjalanan luar negri. Hal ini
dapat ia miliki dari pekerjaannya. Jika semua hal yang diinginkan oleh wanita sudah ia
Dengan memiliki segala sesuatu yang diinginkan wanita Jepang secara umum dan
tinggal bersama orang tua sehingga tidak perlu memikirkan kredit rumah, serta makanan
29
yang senantiasa disediakan oleh ibunya, maka tentu saja pernikahan menjadi sesuatu
( http://www.kcn.ne.jp/~ca001 /I22.htm ).
Menurut analisis saya, semakin meningkatnya pekerja yang menjadi parasite single di
Jepang tentu saja mengakibatkan semakin menurunnya angka kelahiran di Jepang. Para
parasite single ini hidup dengan memiliki penghasilan yang tinggi yang digunakan
untuk membeli barang – barang mewah, berkumpul dengan teman – teman mereka
sesama single, dan tidak perlu mengurusi pekerjaan rumah karena semuanya sudah
diurus oleh ibunya sehingga bagi parasite single mereka lebih nyaman untuk bekerja
dan menikmati kesenangan mereka tanpa adanya keluarga yang nantinya akan
Kasus diatas sesuai dengan pendapat Iwao ( 1993 ) yang mengatakan bahwa
pernikahan bukanlah merupakan sumber ekonomi lagi, karena wanita Jepang sekarang
sudah mendapatkan kesempatan yang sama dengan pria Jepang dalam hal pekerjaan.
Saat parasite single seperti Takasu dapat memiliki semuanya tanpa menikah, maka
bagi mereka pernikahan bukanlah sesuatu yang menarik lagi, hal ini sesuai dengan
pendapat 美 智 子 ( 2000 ) yang mengatakan bahwa para parasite single ini tidak
merasakan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang menarik, dan hal ini terjadi pada
kehidupan Takasu karena ia bahagia dengan hidup bebas dan mewah tanpa ada
30
3.2.3 Kasus Pada Yuriko Kuramochi yang Tidak Ingin Menjadi Ibu Rumah
Yuriko Kuramochi berumur 26 tahun, bekerja sebagai distributor film dan dia yakin
tidak ingin menjadi seorang ibu rumah tangga. Kuramochi berkata ” tidak ada wanita
yang seumuran dia yang tidak ke kampus”, dan ia juga berkata ” kami pergi bekerja dan
bertemu banyak orang yang berbeda, itu membuat kita lebih mengenal diri kita ”.
adalah bahwa para suami selalu tidak menginginkan istri – istri mereka bekerja dan bagi
mereka yang bekerja, ketika memiliki anak maka akan sangat memberatkan pekerjaan
mereka.
( http://www.washingtonpost.com/wp-srv/WPcap/2000-02/10/101r-021000idx.html ).
10 Februari 2000.
Menurut analisis saya, Kuramochi menyadari perubahan yang terjadi di Jepang. Para
wanita yang seumuran dia rata – rata berkuliah, dan secara otomatis hal ini
mengakibatkan wanita – wanita Jepang berkarir. Karir atau pekerjaan ini merupakan
tujuan mereka, dan melalui karir mereka mereka dapat mengaplikasikan hal – hal yang
telah mereka dapatkan selama mereka kuliah dan dapat mengembangkan potensi yang
Menurut analisis saya, keputusan Kuramochi untuk tidak ingin menjadi seorang ibu
rumah terlihat jelas pada pernyataannya yang mengatakan bahwa dengan pekerjaannya
ia dapat bertemu dengan banyak orang dan lebih mengenal dirinya sendiri. Dengan karir
yang telah menjadi pilihannya maka menjadikannya sebagai suatu yang mustahil untuk
31
Hal diatas sesuai dengan pendapat Lebra ( 1984 ) mengenai karir, yakni bahwa karir
bertentangan sekali dengan aturan rumah tangga, jika seseorang sudah memilih untuk
berkarir maka ia tidak akan dapat memperhatikan rumah tangganya karena karir itu
sendiri menuntut komitmen seumur hidup dan merupakan sumber mata pencaharian
utama. Terlebih lagi karir merupakan pengembangan diri dan tempat dimana seseorang
mengumpulkan keahlian.
Menurut analisis saya, ketidakinginan Kuramochi untuk menjadi ibu rumah tangga
adalah karena jika ia memilih untuk menikah dan memiliki anak sementara ia masih
tetap berkarir maka ia tidak dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik dan juga
tidak dapat mengurus rumah tangganya secara baik. Karena saat memiliki anak, maka
secara otomatis kewajiban merawat dan mengurus anak terletak di pundak seorang
wanita.
Menurut Hunter ( 1993 ) seorang wanita yang sudah memiliki anak tidak dapat
bekerja karena ia akan kekurangan waktu luang untuk keluarganya dan hal itu akan
3.2.4 Kasus Pada Hiroe Shibata yang Mementingkan Karir dan Tidak Menjadikan
berkata bahwa prioritasnya adalah karir. Ia menyukai anak – anak, namun ketika ditanya
memikirkannya ”. Hiroe Shibata juga berkata ” jika kamu menikah, orang tuamu akan
32
mengharapkan kamu mempunyai bayi, jika kamu mempunyai bayi dan hal itu akan
menjadi hal yang sukar untuk mengatur pekerjaan dan dan mendidik anak.
( http://news.bbc.co.uk/1/hi/world/asia-pacific/3694230.stm ).
28 September 2004.
Berdasarkan kasus diatas, saya menganalis bahwa wanita Jepang saat ini tidak terlalu
berkarir walaupun umur mereka sudah melewati umur sewajarnya seorang wanita untuk
menghadapi hidup ini. Sekarang ini pandangan tentang pernikahan yang dulunya
dianggap sebagai suatu yang dapat menopang perekonomian sudah berubah. Wanita
dapat menghasilkan uang yang kurang lebih sama dengan pria Jepang.
Walaupun Shibata mengakui bahwa ia menyukai anak – anak namun saat disinggung
mengenai umur biologisnya, yang secara tidak langsung mengarah tentang statusnya
yang masih single, ia agak terganggu dan berkata jika ada waktu akan memikirkannya.
Wanita Jepang saat ini benar – benar menyadari bahwa mereka akan menghadapi
suatu hal yang sulit jika memilih untuk mempertahankan karir apabila mereka sudah
menikah dan memiliki anak. Karena dengan menikah dan mempunyai anak maka
mereka akan kehilangan banyak hal, salah satunya adalah karirnya. Karena akan sulit
Rata – rata wanita yang sudah memiliki anak akan berhenti dari bekerja, namun bagi
wanita yang memilih karir maka mereka akan memutuskan untuk tidak memiliki anak
bahkan untuk tidak menikah. Oleh karena itu bagi mereka yang memprioritaskan
karirnya, mereka akan menganggap penikahan itu bukanlah suatu hal yang penting.
33
Hal diatas sesuai dengan pendapat Davies ( 2002 ), yang mengatakan bahwa bagi
wanita yang masih single pernikahan bukanlah suatu hal yang penting, karena menurut
sudah bekerja dan dapat memenuhi kebutuhan ekonominya sendiri. Selain itu menurut
Hunter ( 1993 ), jika wanita yang bekerja ini memiliki anak maka tidak akan dapat
bekerja lagi karena akan sulit dalam memperhatikan keluarga dan pekerjaan. Mereka
Suzuki ( 2003 ) juga mengatakan bahwa dengan memiliki anak maka mereka akan
kehilangan banyak hal di antaranya kebebasan mereka untuk berkarir, waktu luang
mereka untuk bersenang – senang dan juga mereka akan kehilangan uang karena biaya
3.2.5 Kasus Pada Akiko Yahagi yang Lebih Menyukai Pekerjaan Daripada
Menikah
bekerja pada bank asing. Ia mengatakan bahwa perkawinan adalah sesuatu yang jauh
dari mimpi,” saya terlalu sibuk menikmati pekerjaan saya untuk memulai suatu
keluarga”.
( http://www.ipsnews.net/news.asp?idnews=31709 ).
2006.
34
Berdasarkan kasus diatas, saya dapat menganalisis mengenai cara pandang wanita
modern Jepang saat ini. Kesibukan mereka untuk berkarir, menikmati pekerjaan mereka
perkawinan adalah sebuah pilihan yang boleh diambil atau tidak. Hal ini tentu saja
mereka yang single pun sudah tidak begitu buruk, sejauh mereka tidak merugikan orang
lain.
Menurut analisis saya, Yahagi tidak menginginkan ia harus keluar dari pekerjaan yang
ia senangi dikarenakan ia menikah dan memiliki anak. Karena jika ia memiliki anak
maka ia harus mengambil cuti dan saat ia ingin kembali bekerja saat anaknya sudah
cukup besar maka akan sulit sekali menduduki posisi yang sama.
Hal ini sesuai dengan pendapat Iwao ( 1993 ) yang mengatakan bahwa wanita muda
Jepang saat ini sedang mengaktualisasikan diri mereka kepada pekerjaan atau karir
Menurut Davies ( 2002 ) bahwa akan ada kesulitan bagi wanita Jepang saat ia
meninggalkan posisinya di kantor untuk alasan rumah tangga seperti cuti yang panjang.
Mereka akan sulit mendapatkan posisi yang sama seperti saat mereka meninggalkan
kantornya.
Dengan bertambahnya usia, dan dengan hidup sendiri maka para single ini akan
merasa sepi tanpa pasangan. Namun jika mendapatkan pasangan yang merepotkan, yang
tidak dapat mengerti maka seumur hidup akan tersiksa. Hal ini menjadikan wanita
35
Oleh karena itu menurut analisis saya, hal inilah yang mengakibatkan wanita – wanita
Jepang yang sangat menyenangi pekerjaannya enggan untuk menikah karena upaya yang
3.2.6 Kasus Pada Mariko Kumoi yang Menganggap Pernikahan Seperti Sebuah
Mariko Kumoi menikmati banyak hal indah dalam hidupnya sebagai wanita Jepang
modern, yakni prestasi kerja dengan posisi utama, liburan luar negeri, bermalam di kota
daerah hiburan di Tokyo. Pada usia 31 tahun, dia kekurangan satu hal untuk melengkapi
hidupnya, yaitu seorang suami. Dulu hal ini membuat dia khawatir. Sekarang ketika
saudara dan keluarganya memberi nasehat maka ia akan langsung teringat akan cerita
ketidak terimakasihan suami terhadap pekerjaan rumah tangga dan bagaimana suami
yang sibuk dan terfokus dengan pekerjaannya. Banyak temannya yang sudah menikah
mengatakan bahwa mereka mempunyai ruangan yang terpisah dan suami mereka terlalu
lelah untuk melakukan hubungan suami istri. ” Perkawinan tampak seperti kontrak,
namun saya sudah mendapatkan hal – hal lain yang ingin saya lakukan sebagai
( http://www.time.com/time/magazine/1997/int/970901/asia.unmarried.html )
2006.
Menurut analisa saya, Kumoi memiliki hal – hal yang menyenangkan, prestasi dalam
pekerjaan, kehidupan mewah yang sangat glamour dan semua hal yang dapat membuat
wanita – wanita lain kagum. Dengan kemandirian dan kemapanannya ia merasa tidak
36
mengenai kewajiban seorang istri yang harus mengurus rumah dan suami yang tidak
menghargai hasil kerja mereka, ditambah lagi dengan suami yang hanya menfokuskan
diri pada pekerjaan dan menyerahkan urusan rumah tangga kepada istri membuat Kumoi
Menurut analisis saya, Kumoi mendapatkan semua yang ia inginkan dari hasil kerja
kerasnya dan tentu saja ia tidak ingin menyerahkan semua yang ia miliki kepada
perkawinan yang akan mengekangnya, ditambah dengan image perkawinan yang buruk
yang didapatnya dari teman – temannya. Ia merasa semua yang ia dapatkan dari hasil
Hal ini sesuai dengan Iwao ( 1993 ) yang mengatakan bahwa pernikahan bukan untuk
tujuan sosial dan ekonomi lagi karena wanita dapat memenuhi semua kebutuhannya
sendiri. Iwao juga berpendapat bahwa kebebasan yang mereka dapatkan sewaktu single
akan hilang digantikan dengan rasa ketertarikan pada keluarga yang akan menuntut
tenaga, waktu serta dedikasi sebagai seorang istri dan seorang ibu. Oleh karena itu
menurut analisa saya, pekerjaan yang wanita jalani sekarang ini membuat semua hal
menjadi lebih baik, maka tidak heran jika banyak dari mereka yang tetap ingin menjadi
kesenangan yang telah di dapatkan dalam pekerjaan hilang menjadi suatu beban.
Masyarakat Jepang saat ini sudah mulai menerima mereka yang memutuskan untuk
menjadi single, terutama masyarakat di kota – kota besar. Para single ini
37
mengaktualisasikan diri secara maksimal pada pekerjaan mereka dan merasa tidak
leluasa dan tidak nyaman jika pasangan mereka mengontrol bahkan menghambat karir
mereka.
Sepanjang para single ini dapat menghidupi diri sendiri dan tidak merepotkan saudara
atau orang lain, maka orang tuan dapat menerima pilihan anaknya. Orang – orang di
/news/0503/03/123828.htm ).
Namun beda halnya dengan parasite single, masyarakat menganggap para parasite
single ini adalah orang – orang yang merusak masyarakat. Sikap para parasite single ini
dianggap memberatkan orang tuanya, karena secara jasmani dan rohani mereka sehat,
dapat bekerja dan menghasilkan uang. Sudah sewajarnya bagi seseorang yang dewasa
harus mandiri dan tidak bergantung pada orang tua lagi namun jumlah masyarakat
Jepang yang memilih untuk tinggal bersama orang tuanya walaupun sudah mempunyai
Seperti yang telah diungkapkan oleh Iwao ( 1993 ) bahwa pandangan masyarakat
Jepang terhadap perkawinan sekarang ini telah mengalami pergeseran arti. Sekarang,
menikah bukan lagi untuk tujuan sosial dan ekonomi karena masyarakat jepang
khususnya wanita sudah mendapatkan kesetaraan dalam hal pekerjaan dan penghasilan
Kebutuhan seks yang pastinya juga merupakan kebutuhan bagi para single ini,
khususnya bagi para pria karena di Jepang banyak tersedia hal – hal yang berhubungan
38
dengan pornografi dan industri seks yang senantiasa akan memenuhi kebutuhan seks
mereka di Jepang.
Seorang psikoloq yang bernama Kim Myong Gan, yang memiliki klinik di daerah
pinggiran Tokyo berkata bahwa pria tidak pernah menganggap seks sebagai suatu
masalah jika mereka tidak melakukan seks dengan pasangannya, karena mereka
memiliki hal – hal yang bersifat pornografi dan industri seks yang mampu memenuhi
banyak yang menjadi ” sex volunteers ”. Hal ini tidak dianggap sebagai suatu hal yang
( http://trishwilson.typepad.com/blog/2005/04/japans_virgin_w.html ).
Selain menjadi ” sex volunteers ” sebagian dari wanita single ini ada yang tinggal
bersama lawan jenis tanpa menikah ( namun persentasenya semakin menurun ), ada
yang mengalihkan ke hal – hal yang lain seperti hobi atau pekerjaan. Namun
berdasarkan survey dari Durex ( salah satu merk kondom ) pada tahun 2001, Jepang
menduduki angka kematian pada frekuensi berhubungan seks di antara 28 negara, yaitu
36 kali dalam satu tahun, sedangkan Amerika menduduki peringkat pertama dengan
/world/2004-06-02-japan-women-usat_x.htm ).
Para single ini sangat menikmati hidup mereka, dan mereka tidak menyerah begitu
com/peggy/articles/parasites.htm ).
39
3.5 Analisis Masa Tua para Single di Jepang
Menurut analisis saya, para single ini tidak perlu khawatir akan hari tua mereka, jika
suatu saat nanti mereka merasa kesepian maka mereka akan mencari cara untuk
membeli boneka yang menyerupai bayi yang sekarang ini sudah diproduksi di Jepang.
Boneka yang menyerupai bayi ini mempunyai berat sama dengan berat seorang anak
kecil. Saat menggendong boneka buatan perusahaan Tomy ( perusahaan yang terkenal di
seluruh dunia dengan mainan robot bagi anak ) ini, boneka ini dapat mengatakan bahwa
ia mencintai anda dan boneka ini dapat memberikan perasaan nyaman bagi wanita
kesepian yang menggendongnya. Sebagian besar konsumen yang membeli boneka ini
Boneka yang banyak dibeli oleh para single yang sudah tua
( http://www.bbc.co.uk /indonesian/indepth/story/2006/05/060502_adulttoys.shtml ).
Dengan bertambahnya usia, dan dengan hidup sendiri maka para single ini akan
merasa sepi tanpa pasangan. Namun jika mendapatkan pasangan yang merepotkan, yang
tidak dapat mengerti maka seumur hidup akan tersiksa. Hal ini menjadikan wanita
40
Hal ini sesuai dengan jejak pendapat yang di adakan oleh 読 売 新 聞 ( yomiuri
shinbun ) bahwa semakin tua responden semakin sedikit yang mengatakan bahagia
hidup melajang. Dari survei ini, ditemukan 74 persen wanita dan pria single pada usia 20
– an merasa yakin jika wanita lebih bahagia jika menjadi single namun jumlah ini
menurun menjadi 66 persen ketika ditanyakan pada responden yang berusia 30 – an, dan
( http://www.kompas.com/kesehatan/news/0503/03/123828.htm ).
Table 3.3 Persentase Pria dan wanita Jepang yang Merasa Bahagia Dengan
Menjadi Single.
41