Anda di halaman 1dari 22

Kebijakan Pemerintah Terhadap Penyediaan Tenaga Kerja di Indonesia dan

Jepang

Dosen Pengampu : Dr. Siti Komariyah, S.E.,M.Si.

Disusun oleh :

1. Ayunda putri kamala (220810101146)


2. Maya Aulia Riyanto (220810101148)
3. Nathasya Putri S. R (220810101151)
4. Amelia Ariadna M.C (220810101155)
5. Munajah Almakkiyah (239919990687)

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS JEMBER
2024
PENDAHULUAN
Di era globalisasi ini, kebijakan pemerintah terhadap penyediaan tenaga
kerja menjadi aspek penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara.
Penyediaan tenaga kerja merupakan salah satu aspek krusial dalam pembangunan
ekonomi suatu negara. Indonesia dan Jepang, sebagai dua negara yang memiliki
karakteristik dan tantangan yang berbeda, memiliki kebijakan pemerintah yang
beragam dalam mengelola sumber daya manusia untuk memenuhi kebutuhan
pasar tenaga kerja.
Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar, memiliki tantangan
tersendiri dalam mengatur sumber daya manusianya. Indonesia dan Jepang, kedua
negara yang memiliki hubungan ekonomi dan politik yang signifikan, memiliki
beberapa perbedaan dalam kebijakan pemerintah terhadap penyediaan tenaga
kerja. Dalam hal ini, kedua negara memiliki kebutuhan yang berbeda dalam
mencapai tujuan ekonomi dan sosial yang mereka inginkan.
Indonesia sebagai negara yang memiliki populasi yang sangat besar,
memiliki kebutuhan yang signifikan dalam mencapai tujuan pengembangan
ekonomi dan peningkatan kesejahteraan. Pemerintah Indonesia telah
mengembangkan beberapa kebijakan yang berpengaruh dalam penyediaan tenaga
kerja, seperti program pendidikan dan pelatihan, perlindungan hak asasi manusia,
dan pengembangan industri. Namun, ada beberapa perbedaan dalam kebijakan
pemerintah yang mempengaruhi penyediaan tenaga kerja di Indonesia, seperti
pendekatan yang lebih fokus pada industri dan pendidikan terlambat.
Jepang, sebagai negara yang memiliki ekonomi terbuka dan penduduk
yang sangat berpengalaman, memiliki kebutuhan yang berbeda dalam mencapai
tujuan ekonomi dan sosial. Jepang sebagai negara dengan populasi yang menua
dan tingkat kelahiran yang rendah, menghadapi kekurangan tenaga kerja. Untuk
mengatasi hal ini, pemerintah Jepang telah menerapkan kebijakan untuk
menerima tenaga kerja asing melalui berbagai program seperti Technical Intern
Training Program (TITP) dan Specified Skilled Workers (SSW). Kebijakan ini
mencerminkan upaya Jepang dalam menjaga keseimbangan demografis dan
mempertahankan pertumbuhan ekonominya.
Dengan membandingkan kedua negara, kita dapat melihat bagaimana
kebijakan pemerintah memainkan peran kunci dalam mengatasi tantangan
demografis dan ekonomi yang berbeda. Esai ini akan mengkaji lebih lanjut
kebijakan-kebijakan tersebut dan dampaknya terhadap penyediaan tenaga kerja di
kedua negara.
PEMBAHASAN
Faktor Yang Mempengaruhi Penyediaan Tenaga Kerja Jepang
Jepang merupakan salah satu negara maju di dunia dimana memiliki
perekonomian terbesar ketiga di dunia. Selain itu, Jepang menduduki posisi ketiga
dalam industri manufaktur mobil dan elektronik serta masuk dalam daftar
negara-negara inovatif utama di dunia. Di era saat ini, pesaing utama Jepang
merupakan Tiongkok dan Korea Selatan yang merupakan tetangganya sendiri. Di
samping memiliki persaingan dengan negara tetangganya, Jepang pun memiliki
tantangan yang lebih penting yang mana muncul di dalam negaranya sendiri.
Tantangan itu berupa kekurangan tenaga kerja yang diakibatkan oleh munculnya
krisis demografi di Jepang.
Penyusutan jumlah populasi serta Jepang yang muncul sebagai pelopor
tren global dalam penuaan populasi menunjukkan permasalahan yang sedang
dihadapi Jepang. Perubahan demografis ini begitu mempengaruhi pasar tenaga
kerja dan kesejahteraan ekonomi bagi setiap individu di Jepang, terutama di
kalangan wanita dengan menambah permintaan akan tenaga kerja pada industri
layanan kesehatan.
Jepang, dengan masyarakat yang mayoritasnya pekerja keras dan memiliki
etos kerja yang tinggi, menghadapi tantangan ekonomi yang signifikan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyediaan tenaga kerja di Jepang dapat
dikelompokkan menjadi beberapa kategori, seperti demografi, industri, dan
kultura kerja.
1. krisis demografi
Krisis demografi merupakan faktor yang mempengaruhi penyediaan
tenaga kerja di Jepang karena ia menyebabkan penurunan jumlah penduduk dan
pengurangan kelahiran, yang akhirnya mempengaruhi ketersediaan tenaga kerja
lokal dan pekerja asing. Negara ini tengah menghadapi isu penuaan populasi yang
cukup parah. Kini, lebih dari 20% penduduk Jepang berusia diatas 65 tahun. Di
tahun 2030 mendatang, satu dari tiga penduduk akan berusia 65 tahun ke atas dan
satu dari lima orang akan berusia 75 tahun ke atas. Ada 2 aspek fundamental di
balik populasi Jepang yang terus menua. Pertama, meningkatnya proporsi lansia
dalam total populasi. Dan kedua, pertumbuhan populasi yang lebih lambat akibat
menurunnya angka kelahiran. Aspek pertama berdampak pada performa ekonomi
Jepang dengan meningkatkan beban sosial, sementara aspek kedua memiliki
dampak langsung pada pertumbuhan ekonomi dengan mengurangi tenaga kerja
yang merupakan faktor utama produksi.
Piramida penduduk tahun 1950 menunjukkan bahwa Jepang memiliki
piramida berbentuk standar dengan basis yang luas. Namun, bentuk piramida ini
telah berubah secara dramatis karena tingkat kelahiran dan tingkat kematian telah
menurun. Pada tahun 2016, jumlah populasi lansia (65 tahun keatas) adalah 34,59
juta, yang mana merupakan 27,3% dari total populasi (yaitu, satu dari setiap
empat orang) dan menandai rekor tinggi.
Berdasarkan data dari Ministry of Internal Affairs and Communications,
jumlah populasi pekerja Jepang pada tahun 1960 adalah 45,11 juta orang, namun
pada tahun 2014 jumlah ini meningkat menjadi rata-rata 65,87 juta orang.
Sedangkan, pada tahun 1960, rasio angkatan kerja Jepang adalah 69,2%, tetapi
menurun menjadi 59,4% pada tahun 2014 (The Japan Institute for Labour Policy
and Training, 2016).
Jepang merupakan salah satu negara dengan penuaan masyarakat tercepat
di dunia, dengan orang-orang berusia 65 tahun atau lebih tua berjumlah lebih dari
satu per empat jumlah populasi Jepang–suatu bagian yang diperkirakan akan
meningkat dengan cepat ke depan. Untuk mengatasi peningkatan kekurangan
tenaga kerja yang diakibatkan penuaan ini, pemerintah sejak tahun 1990-an telah
beralih ke imigrasi, meskipun dalam jumlah yang sangat kecil dan sebagian besar
tanpa debat publik. Dalam beberapa tahun terakhir, sementara pemerintah
nasional telah mengklaim untuk mempromosikan partisipasi tenaga kerja pekerja
lanjut usia dan wanita atas peningkatan imigrasi, tenaga kerja asing penduduk
sebenarnya terus meningkat, tumbuh 40% sejak tahun 2013 saja. Politisi tetap
enggan, bagaimanapun, untuk menarik perhatian pada pertumbuhan ini atau
memberikannya label hasil keputusan kebijakan eksplisit (Green, 2017).
Krisis tenaga kerja di Jepang yang semakin kronis membuat pemerintah
mau tidak mau harus mengambil langkah membuka pintu imigrasi bagi tenaga
kerja asing. Kekurangan tenaga kerja yang saat ini terjadi di Jepang merupakan
suatu fenomena yang disebabkan oleh berbagai hal yang saling berkaitan. Suatu
hal yang menjadi suatu permasalahan akan mengakibatkan permasalahan baru
yang begitu terus menerus. Kekurangan tenaga kerja di Jepang ini dapat dikatakan
sebagai suatu permasalahan yang disebabkan oleh rentetan permasalahan.
Permasalahan ini diawali dengan berkembangnya Jepang menjadi negara industri.
Jepang yang perlahan mulai menunjukkan kekuatannya dalam bidang ekonomi
tak hanya terjadi dalam sekejap. Pencapaian Jepang sebagai salah satu negara
dengan perekonomian terbesar ketiga di dunia tak luput dari masyarakat Jepang
yang melakukan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh
2. Industri
Jepang merupakan negara non-Barat pertama yang dapat setara dengan
negara-negara Barat dan berhasil dalam industrialisasi. Industrialisasi sendiri
merupakan perkembangan sektor industri di suatu negara atau wilayah dimana
terjadi proses perubahan sosial dan ekonomi dari masyarakat agraris menjadi
masyarakat industri. Industrialisasi dapat dimaknai juga sebagai suatu proses
dimana masyarakat di suatu negara terfokus terhadap perkembangan ekonomi
yang erat hubungannya dengan inovasi teknologi. Industrialisasi atau revolusi
industri sendiri muncul pertama kali di Britania Raya pada sekitar akhir tahun
1700-an dan menyebar ke beberapa negara di Eropa dan Amerika seperti Belgia,
Perancis, Jerman dan Rusia. Dalam revolusi industri, terdapat beberapa sektor
industri yang secara signifikan mengalami transformasi yaitu tekstil, transportasi,
komunikasi dan perbankan (History Editors, 2009).
Keberhasilan Jepang sebagai negara dengan perekonomian yang maju dan
menjadi negara industri seperti saat ini tidak dapat terlepas dari sejarah
panjangnya. Perkembangan sejarah dan ekonomi Jepang sendiri dapat diringkas
dalam tiga periode utama yaitu Periode Edo (1603- 1868), Periode Pra Perang
(1868-1945), dan Periode Pasca Perang (1945-sekarang). Pada periode
Edo–selama kurang lebih 220 tahun–Jepang menjalankan politik isolasi atau
sakoku. Pada Periode Pra Perang, muncul gerakan pembaharuan yang dipelopori
oleh Kaisar Meiji–dikenal dengan Restorasi Meiji (1866-1869). Di bawah
kekuasaan Kaisar Meiji, Jepang menganut ide-ide dan teknologi Barat sebagai
upaya untuk mengejar ketertinggalan Jepang dengan negara-negara Barat. Periode
Pasca Perang (1945-sekarang) merupakan periode pertumbuhan utama
perekonomian Jepang. Berakhirnya Perang Dunia II membuat Jepang mengalami
hiperinflasi dimana disebabkan oleh meningkatnya permintaan terkait
rekonstruksi nasional akibat perang yang diikuti dengan kapasitas produksi yang
rendah. Selama tahun 1960-an, Jepang mengurangi pengeluarannya untuk
pertahanan dan fokus pada pengembangan industrinya.
Industri merupakan faktor yang mempengaruhi penyediaan tenaga kerja di
Jepang karena adanya kebutuhan yang tinggi dalam sektor industri, terutama
dalam industri manufaktur yang memiliki teknologi canggih. Kebutuhan tenaga
kerja tinggi akibat rendahnya angka kelahiran menjadi salah satu faktor pemicu
mengapa Jepang membuka lebih banyak kesempatan untuk kerja di Jepang.
Industri IT merupakan salah satu industri yang paling favorit bagi tenaga kerja
asing di Jepang. Sebagian besar pekerjaan di Jepang adalah pekerjaan yang
memerlukan kemampuan tinggi, sehingga membutuhkan tenaga kerja yang
memiliki kompetensi tinggi. Kebutuhan tenaga kerja tinggi juga disebabkan oleh
urbanisasi yang membawa kekurangan tenaga kerja yang memadai.
3. Kultur kerja
Kultur kerja merupakan faktor yang mempengaruhi penyediaan tenaga
kerja di Jepang karena ia mempengaruhi kinerja karyawan lokal dan pekerja asing
di Jepang. Jepang dikenal sebagai dengan masyarakat yang mayoritasnya pekerja
keras dan mempunyai etos kerja yang tinggi. Dalam sehari para pekerja di Jepang
menghabiskan waktu bekerja selama 10-12 jam, dengan rata-rata jam lembur
kurang lebih 100 jam/bulan. Etos atau semangat kerja yang tinggi yang dimiliki
masyarakat Jepang yang rela bekerja melebihi batas waktu dibandingkan para
pekerja di negara lain, menjadi salah satu penyebab para pekerja kelelahan dan
stress bahkan sampai bunuh diri atau yang disebut sebagai karoushi. Karoushi
merupakan salah satu masalah yang sulit diatasi oleh pemerintah Jepang, selain
sumber daya manusia di Jepang yang semakin berkurang sementara permintaan
tenaga kerja banyak dibutuhkan dalam sektor-sektor tertentu (Melba 2021).
Upaya Pemerintah Jepang dalam pengurangan jam lembur yang
membatasi jam kerja dengan hanya 60 jam/bulan serta peraturan-peraturan yang
dibuat oleh pemerintah Jepang, ternyata masih belum efektif untuk mengatasi dan
mengurangi etos kerja masyarakat Jepang yang tinggi. Bahkan para pekerja masih
saja mengambil jam lembur diatas waktu yang ditentukan, terbukti dalam Buku
Putih pemerintah Jepang yang dikeluarkan pada bulan Oktober 2017 (Handoko
2016), semakin menegaskan bahwa masih ada para pegawai di beberapa
perusahaan di Jepang yang bekerja dan lembur dengan mencapai 80 jam/bulan
(Sunandar 2019). Budaya pekerja keras yang dimiliki oleh masyarakat di Jepang
terlihat dari pengambilan jam kerja yang tinggi, dedikasi dan kedisiplinan yang
diberikan perusahaan di tempat bekerja
Pada tanggal 1 April 2019, pemerintah Jepang secara resmi mengeluarkan
sebuah program kerja baru yaitu Tokutei Ginou atau program kerja
berketerampilan spesifik. Program Tokutei Ginou dibuat oleh pemerintah Jepang
dengan tujuan untuk mengurangi etos kerja yang tinggi pada masyarakat Jepang.
Melalui kebijakan program kerja Tokutei Ginou, pemerintah Jepang membuka
peluang kerja yang terbagi dalam 14 sektor ketenagakerjaan diantaranya yaitu
keperawatan, kebersihan bangunan, pertanian, industri perikanan, manufaktur
makanan dan minuman atau pengolahan hasil laut, restoran, industri bahan baku,
industri mesin, industri elektronik, konstruksi, industry kelautan atau pembuatan
kapal, pemeliharaan mobil, penerbangan, dan penginapan atau perhotelan, dengan
total kuota untuk seluruh negara adalah 345.150 tenaga kerja.
Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Penyediaan Tenaga Kerja Di Indonesia
Tenaga kerja adalah penduduk yang telah memasuki usia kerja, baik yang
sudah bekerja atau aktif mencari kerja, yang masih mau dan mampu untuk
melakukan pekerjaan. Masalah angkatan kerja dan tenaga kerja di Indonesia
sangat membutuhkan tenaga kerja yang mempunyai keahlian dengan kualifikasi
tertentu. Berbagai lapangan pekerjaan terbuka setiap waktu di seluruh Indonesia,
tapi pencari pekerjaan jauh lebih banyak dibandingkan kuota yang tersedia.
Faktor faktor yang mempengaruhi penyediaan tenaga kerja di Indonesia
terdiri dari berbagai aspek. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh adalah
jumlah penduduk, yang mempengaruhi jumlah angkatan kerja yang tersedia.
Jumlah penduduk yang besar akan menghasilkan angkatan kerja yang besar pula.
Angkatan kerja yang besar jika dapat dimanfaatkan dengan baik akan mampu
meningkatkan kegiatan perekonomian yang pada akhirnya akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Namun, hal itu baru dapat dicapai apabila angkatan
kerja seluruhnya terserap oleh kesempatan kerja. Kesempatan kerja adalah suatu
keadaan yang menggambarkan ketersediaan lapangan pekerjaan di masyarakat.
Pernyataan itu dapat dilihat dari kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Jumlah
penduduk Indonesia yang besar ditambah dengan tingginya laju pertumbuhan
penduduk yang seharusnya menjadi pendorong peningkatan kegiatan ekonomi
justru menjadi beban bagi pembangunan ekonomi. Akan tetapi tingkat
pertumbuhan penduduk tinggi itu tidak diiringi oleh pertumbuhan kesempatan
kerja. Ini adalah penyebab utama terjadinya pengangguran.
Masalah lain yaitu mutu tenaga kerja yang relatif rendah. Rendahnya
tingkat pendidikan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi mutu tenaga kerja
Indonesia. Karena rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan tenaga kerja
Indonesia minim dalam penguasaan pengetahuan dan teknologi. Akibatnya,
jumlah hasil produksi yang dihasilkan rendah sedangkan biaya produksi tinggi.
Tingginya biaya produksi mengakibatkan hasil produksi Indonesia sulit bersaing
dengan produk negara lain. Selain itu, mutu tenaga kerja berpengaruh pula pada
tinggi rendahnya upah tenaga kerja. Upah buruh di Indonesia masih relatif rendah
dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Serbia, Cina, Rusia, Singapura,
dan Malaysia.
Selain itu persebaran tenaga kerja yang tidak merata. Di samping sumber
daya manusia yang relatif masih rendah, sektor ketenagakerjaan di Indonesia juga
dihadapkan kepada masalah penyebaran tenaga kerja yang tidak merata. Sebagian
besar tenaga kerja di Indonesia berada di Pulau Jawa. Sementara, di daerah lain
yang wilayahnya lebih luas masih kekurangan tenaga kerja, terutama untuk sektor
pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Akibatnya, di Pulau Jawa banyak terjadi
pengangguran. Sementara, di daerah lain masih banyak sumber daya alam yang
belum dikelola dan dimanfaatkan secara maksimal.
Penyebab lainnya adalah, jumlah angkatan kerja yang tidak sebanding
dengan kesempatan kerja mengakibatkan tidak semua angkatan kerja dapat
diserap oleh lapangan kerja (pengangguran). Hal ini lebih diperparah dengan
banyaknya tenaga kerja yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK). Selain itu,
pengangguran juga terjadi sebab angkatan kerja tidak dapat memenuhi persyaratan
yang diminta oleh dunia usaha. Pengangguran dikelompokan menjadi dua, yaitu:
a. Pengangguran berdasar sifatnya
- Pengangguran terbuka adalah angkatan kerja yang tidak bekerja dan tidak
mempunyai pekerjaan.
- Setengah pengangguran adalah tenaga kerja yang bekerjanya tidak
optimum dilihat dari jam kerja. Dengan kata lain, jam kerja dalam satu
minggu kurang dari 36 jam.
- Pengangguran terselubung adalah tenaga kerja yang bekerja tidak
optimum sebab kelebihan tenaga kerja. Umpamanya, seorang petani yang
menggarap sawah sebenarnya cukup hanya dikerjakan oleh satu orang.
Namun, sebab anaknya tidak punya pekerjaan dia ikut menggarap tanah
itu. Anak petani itu termasuk penganggur terselubung.
b. Pengangguran berdasar penyebabnya
- Pengangguran struktural adalah pengangguran yang disebabkan adanya
perubahan dalam struktur perekonomian, misalnya dari agraris menjadi
industri. Otomatis kondisi itu mengakibatkan tenaga kerja yang
mempunyai keahlian di sektor pertanian tidak terserap di sektor industri,
sehingga mereka akan menganggur.
- Pengangguran friksional adalah pengangguran yang disebabkan
pergeseran yang tiba-tiba pada penawaran dan permintaan tenaga kerja,
sehingga sulit mempertemukan pencari kerja dengan lowongan kerja.
- Pengangguran musiman adalah pengangguran yang disebabkan oleh
perubahan musim. Contohnya, buruh tani akan bekerja pada waktu panen,
tetapi kalau sudah habis masa panen dia akan menganggur.
- Pengangguran voluntary. Pengangguran jenis ini terjadi sebab adanya
orang yang sebenarnya masih dapat bekerja, tetapi dengan sukarela dia
tidak bekerja (minta berhenti bekerja). Contohnya, seorang pegawai
sebuah perusahaan berhenti bekerja sebab punya uang yang banyak.
Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan, dia memperoleh dari penghasilan
uang yang didepositokan atau dengan menyewakan rumah. Pengangguran
teknologi adalah pengangguran yang terjadi sebab adanya mekanisasi atau
penggantian tenaga manusia dengan tenaga mesin. Pengangguran
deflasioner disebabkan oleh pencari kerja lebih banyak dibandingkan
dengan kesempatan kerja yang tersedia.

Kebijakan pemerintah terhadap tenaga kerja di Jepang


Kebijakan pemerintah terhadap tenaga kerja di Jepang merupakan isu yang
kompleks dan terus berubah seiring dengan perkembangan ekonomi, demografi,
dan dinamika sosial di negara tersebut. Sejak akhir Perang Dunia II, Jepang telah
mengalami transformasi ekonomi yang luar biasa, dari negara yang hancur
menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Namun, di samping
prestasi ekonominya, Jepang juga menghadapi tantangan besar terkait dengan
populasi yang menua, perubahan struktur sosial, dan masalah ketenagakerjaan
yang berkembang. Dalam uraian ini, saya akan mengulas beberapa aspek penting
kebijakan pemerintah terhadap tenaga kerja di Jepang.
1. Keterlibatan Tenaga Kerja Asing
Jepang mengalami masalah serius terkait dengan penurunan jumlah
populasi dan penuaan penduduk. Ini mengakibatkan kekurangan tenaga kerja
dalam sejumlah sektor ekonomi, terutama di bidang-bidang yang
membutuhkan keterampilan khusus seperti industri teknologi dan perawatan
kesehatan. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah Jepang telah memperlonggar
kebijakan imigrasi untuk menarik lebih banyak tenaga kerja asing. Program
ini mencakup visa kerja baru, perubahan dalam peraturan tinggal, dan
upaya-upaya untuk mempercepat proses rekrutmen tenaga kerja asing.
2. Kebijakan Pendidikan dan Pelatihan
Pemerintah Jepang telah mengadopsi pendekatan yang proaktif dalam
pengembangan keterampilan tenaga kerja lokal melalui pendidikan dan
pelatihan. Salah satu strategi utamanya adalah bekerja sama erat dengan
industri dan lembaga pendidikan untuk memahami dan merespons kebutuhan
tenaga kerja di pasar secara tepat waktu. Ini dilakukan dengan mengadakan
dialog reguler antara pemerintah, perusahaan, dan institusi pendidikan untuk
mengidentifikasi tren dan permintaan dalam industri. Berdasarkan informasi
ini, pemerintah dapat menyelaraskan kurikulum pendidikan dengan
kebutuhan industri, memastikan bahwa lulusan memiliki keterampilan yang
relevan dan dapat diterapkan secara langsung di tempat kerja. Selain itu,
pemerintah juga mendorong program-program pelatihan yang dirancang
untuk meningkatkan keterampilan pekerja yang sudah ada di pasar tenaga
kerja, termasuk pelatihan lanjutan dalam teknologi terbaru, manajemen
proyek, atau keterampilan komunikasi yang efektif. Dengan pendekatan ini,
pemerintah berharap untuk meningkatkan daya saing tenaga kerja Jepang
secara keseluruhan, sekaligus memenuhi kebutuhan industri yang terus
berkembang.
Melalui kerjasama antara pemerintah, industri, dan lembaga
pendidikan, Jepang mengimplementasikan berbagai inisiatif untuk
memperkuat keterampilan tenaga kerja lokal. Program pendidikan dan
pelatihan yang diselaraskan dengan kebutuhan industri tidak hanya membantu
meningkatkan kualitas lulusan, tetapi juga memfasilitasi adaptasi terhadap
perubahan teknologi dan persyaratan pasar. Selain itu, investasi dalam
pelatihan untuk pekerja yang sudah ada di pasar tenaga kerja membantu
meningkatkan produktivitas dan keterampilan yang relevan dengan tuntutan
pasar kerja saat ini. Dengan memberikan akses yang lebih luas terhadap
pendidikan dan pelatihan yang berkualitas, pemerintah Jepang tidak hanya
mempersiapkan tenaga kerja untuk menanggapi tantangan ekonomi yang
kompleks, tetapi juga meningkatkan mobilitas sosial dan kesempatan bagi
individu untuk meningkatkan diri mereka dalam karier profesional mereka.
Sebagai hasilnya, upaya ini diharapkan dapat mendukung pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, serta memperkuat posisi Jepang
dalam persaingan global.
3. Reformasi Pasar Tenaga Kerja
Reformasi pasar tenaga kerja telah menjadi salah satu fokus utama
dalam upaya untuk meningkatkan fleksibilitas dan daya saing ekonomi
Jepang. Pemerintah Jepang telah mengambil langkah-langkah penting untuk
mengurangi regulasi yang membatasi fleksibilitas di pasar tenaga kerja. Salah
satu langkah yang diambil adalah deregulasi dalam hal kontrak kerja. Ini
mencakup upaya untuk mengurangi hambatan administratif dan birokratis
dalam proses perekrutan dan pengaturan kontrak kerja, sehingga
memungkinkan perusahaan untuk lebih cepat menyesuaikan tenaga kerja
dengan kebutuhan bisnis mereka. Deregulasi ini juga bertujuan untuk
mendorong inovasi dalam model kontrak kerja, seperti kontrak sementara
atau kontrak fleksibel, yang dapat memberikan fleksibilitas lebih besar bagi
pekerja dan perusahaan.
Pemerintah Jepang juga berupaya mengurangi pembatasan yang
terkait dengan pemutusan hubungan kerja. Ini mencakup upaya untuk
menyederhanakan prosedur pemutusan hubungan kerja dan mengurangi biaya
yang terkait dengan pemutusan hubungan kerja. Dengan mengurangi
hambatan-hambatan ini, diharapkan perusahaan akan lebih bersedia untuk
merekrut pekerja baru dan melakukan restrukturisasi organisasi jika
diperlukan, tanpa terlalu khawatir tentang konsekuensi hukum atau biaya
yang tinggi.
4. Kesetaraan Gender dalam Tenaga Kerja
Meskipun Jepang telah membuat kemajuan dalam memperjuangkan
kesetaraan gender di tempat kerja, masih ada kesenjangan yang signifikan
antara laki-laki dan perempuan dalam hal upah dan kesempatan karier.
Pemerintah terus memperkenalkan kebijakan dan insentif untuk mendorong
partisipasi perempuan dalam angkatan kerja, seperti program pengasuhan
anak yang lebih terjangkau dan kampanye kesadaran gender.
5. Upaya Meningkatkan Kondisi Kerja
Pemerintah Jepang telah memprioritaskan reformasi pasar tenaga
kerja untuk meningkatkan fleksibilitas dan daya saing ekonomi.
Langkah-langkah ini mencakup deregulasi kontrak kerja, pengurangan
pembatasan pemutusan hubungan kerja, dan promosi pola kerja yang lebih
fleksibel seperti kerja paruh waktu dan kerja jarak jauh. Langkah-langkah ini
bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi
pertumbuhan bisnis dan investasi, serta memperluas kesempatan bagi
individu untuk berkontribusi dalam pasar tenaga kerja.
Selain itu, pemerintah Jepang juga berupaya meningkatkan kondisi
kerja secara keseluruhan. Mereka mengatur jam kerja yang lebih wajar,
memberikan akses yang lebih baik untuk layanan kesehatan dan
kesejahteraan, serta meningkatkan keselamatan dan perlindungan di tempat
kerja. Upaya ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja,
meminimalkan risiko cedera atau kecelakaan kerja, dan menciptakan
lingkungan kerja yang lebih aman dan sehat bagi semua tenaga kerja di
Jepang.
6. Stimulus Ekonomi
Dalam menghadapi tantangan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi
COVID-19, pemerintah Jepang telah meluncurkan berbagai paket stimulus
ekonomi untuk mendukung lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan
ekonomi. Langkah-langkah ini termasuk insentif fiskal untuk perusahaan
yang mempertahankan tenaga kerja, bantuan bagi pekerja yang kehilangan
pekerjaan, dan proyek-proyek infrastruktur yang bertujuan untuk
menciptakan lapangan kerja baru.
7. Pengaturan Migrasi Pekerja
Pemerintah Jepang tidak hanya berfokus pada penarikan lebih banyak
tenaga kerja asing, tetapi juga pada pengaturan migrasi pekerja dengan lebih
baik. Langkah-langkah ini termasuk perbaikan dalam sistem visa untuk
memudahkan masuknya tenaga kerja asing yang dibutuhkan, serta
peningkatan pengawasan terhadap agen perekrut tenaga kerja untuk
memastikan proses perekrutan yang adil dan transparan. Selain itu,
pemerintah juga memberikan perhatian khusus pada perlindungan hak-hak
pekerja asing di Jepang, dengan memberlakukan undang-undang dan regulasi
yang mengatur upah, jam kerja, serta kondisi kerja secara umum bagi pekerja
asing. Langkah-langkah ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan kerja
yang adil dan aman bagi semua pekerja, baik lokal maupun asing, serta untuk
mengurangi risiko eksploitasi dan penyalahgunaan tenaga kerja asing di
Jepang.

Kebijakan pemerintah terhadap tenaga kerja di Indonesia


Kebijakan pemerintah dalam perlindungan tenaga kerja diatur dalam
Undang-undang (UU) Ketenagakerjaan. Kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia
yang ditetapkan pemerintah berfungsi dalam mengatur hubungan antara
pengusaha dan tenaga kerja. Kebijakan pemerintah dalam memberikan
perlindungan tenaga kerja tertuang dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun
2003. Selain itu, kebijakan terkait tenaga kerja imigran juga tertuang dalam UU
Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2023. Kebijakan ini bertujuan untuk menjamin hak
dan kewajiban tenaga kerja, termasuk warga negara Indonesia, tenaga kerja asing
(TKA), dan imigran. Berikut adalah beberapa contoh kebijakan ketenagakerjaan
yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia:
1. Kebijakan Upah Minimum bagi Tenaga Kerja di Indonesia
Upah minimum adalah standar minimum yang digunakan oleh
pekerja atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pekerja. Pasal
90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) pada prinsipnya telah mengatur
bahwa pengusaha dilarang memberikan upah di bawah upah
minimum.Kemudian Pasal 91 UU Ketenagakerjaan mempertegas dengan
menyebutkan bahwa pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas
kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan
yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penetapan upah minimum, yaitu untuk menunjukkan arti dan
peranan pekerja/buruh sebagai subsistem dalam suatu hubungan kerja,
untuk melindungi kelompok kerja dari adanya sistem pengupahan yang
sangat rendah dan yang secara materiil kurang memuaskan, untuk
mendorong kemungkinan diberikannya upah yang sesuai dengan nilai
pekerjaan yang dilakukan, untuk mengusahakan terjaminnya ketenangan
dan kedamaian kerja dalam perusahaan , mengusahakan adanya dorongan
peningkatan dalam standar hidup secara normal.
Upah minimum dalam suatu sistem pengupahan nasional
merupakan salah satu aspek penting dalam perlindungan tenaga kerja
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 88 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Tenaga kerja berhak memperoleh upah minimum yang memenuhi
penghidupan yang layak sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah
dilakukan. Dengan demikian, pemerintah harus dapat menetapkan suatu
system pengupahan yang berisi kebijakan pengupahan untuk melindungi
tenaga kerja.
2. Kebijakan kesetaraan gender atau Kebijakan antidiskriminasi tempat
kerja
Kesetaraan gender di tempat kerja telah diatur dalam Pasal 5 UU
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu “setiap tenaga kerja
memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh
perkerjaan.” Dan Pasal 6 “setiap pekerja/buruh berhak memperoleh
perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha” Negara
menetapkan sejumlah prosedur yang harus diikuti perusahaan untuk
mewujudkan hak kerja yang sama bagi pekerja laki-laki dan perempuan.
Tenaga kerja memegang peranan penting bagi perusahaan. Oleh karena itu,
ketika sebuah perusahaan menjalankan bisnisnya, selain mengutamakan
keuntungan, juga memiliki kewajiban untuk mensejahterakan pihak
internalnya. Karyawan berada di dalam perusahaan dan dapat menentukan
keberlangsungan dan keberhasilan perusahaan. Jika perusahaan
menghormati karyawannya, karyawan akan menghormati perusahaan.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan bahwa perempuan pekerja harus mendapatkan
perlindungan berupa jaminan perlindungan fungsi reproduksi perempuan
yang meliputi pemberian istirahat pada saat hamil dan melahirkan,
pemberian kesempatan dan fasilitas untuk menyusui anaknya,
perlindungan hak-haknya sebagai pekerja yaitu perlindungan keselamatan
dan kesehatan kerja, serta perlindungan kesejahteraan dan jaminan sosial
tenaga kerja. Undang-undang tersebut menjamin persamaan hak, termasuk
hak untuk bekerja, menerima imbalan yang adil, dan melarang
diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Dalam konteks hukum
ketenagakerjaan, penting untuk memastikan bahwa tidak ada diskriminasi
gender dalam hal gaji, promosi, akses ke peluang kerja, dan perlakuan
lainnya di tempat kerja. Prinsip kesetaraan gender harus diterapkan
sepenuhnya dan dihormati agar mencapai lingkungan kerja yang inklusif
dan adil bagi semua pekerja, tanpa memandang jenis kelamin mereka
3. Kebijakan izin tenaga kerja asing (TKA)
Tenaga Kerja Asing disingkat TKA di Indonesia telah diatur dalam
UU No. 13 Tahun 2003. Namun, sebelum lahirnya UU tentang
Ketenagakerjaan (UUK) tersebut, penggunaan Tenaga Kerja Asing di
Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang
Penempatan Tenaga Kerja Asing (UUPTKA). Indonesia dalam
mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (TKA), melakukan mekanisme dan
prosedur yang sangat ketat. Salah satunya mewajibkan bagi perusaahan
atau korporasi yang mempergunakan TKA bekerja di Indonesia dengan
membuat Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA)
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Nomor
PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja
Asing.
UU Ketenagakerjaan menegaskan bahwa setiap pengusaha dilarang
mempekerjakan orang-orang asing tanpa izin tertulis dari Menteri.
Pengertian Tenaga Kerja Asing juga dipersempit yakni warga negara asing
pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia. Pada
ketentuan tersebut juga dipertegas kembali bahwa setiap pemberi kerja
yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari
Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Hal tersebut bertujuan memberikan
kesempatan kerja yang lebih luas kepada tenaga kerja Indonesia (TKI),
pemerintah membatasi penggunaan tenaga kerja asing dan melakukan
pengawasan.
4. Kebijakan perlindungan pekerja magang
Aturan magang Indonesia terdapat di dalam Pasal 21 hingga Pasal
29 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal-pasal tersebut
tidak diubah maupun dicabut oleh UU Cipta Kerja, sehingga saat ini masih
berlaku. Selain aturan dari UU Ketenagakerjaan, aturan mengenai anak
magang juga ditetapkan dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan
(Permenaker) No.6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di
Dalam Negeri.
Menurut peraturan perundang-undangan magang, seorang
karyawan magang memiliki perjanjian magang dengan pihak perusahaan.
Hal ini dijelaskan dalam Pasal 22 UU Ketenagakerjaan, yaitu:
1. Program magang dilaksanakan atas dasar perjanjian peserta
magang atau karyawan magang dengan pihak perusahaan secara
tertulis.
2. Dalam perjanjian program magang sesuai dengan yang dimaksud
dalam ayat (1) harus memuat hak dan kewajiban karyawan magang
serta jangka waktu maksimal peserta magang.
3. Program magang yang diselenggarakan tanpa melakukan sebuah
perjanjian pemagangan, dianggap tidak sah dan akan dianggap
sebagai pekerja/buruh perusahaan tersebut.
Hak peserta pekerja magang diatur dalam Pasal 13 Peraturan
Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) RI No. 6 Tahun 2020 sebagai
berikut:
● Memperoleh bimbingan dari pembimbing pemagangan atau
instruktur;
● Memperoleh pemenuhan hak sesuai dengan perjanjian
pemagangan;
● Memperoleh fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja selama
mengikuti pemagangan;
● Memperoleh uang saku;
● Diikutsertakan dalam program jaminan sosial, dan:
● Memperoleh sertifikat pemagangan atau surat keterangan telah
mengikuti pemagangan.
5. Kebijakan larangan pekerja anak
Larangan pengusaha mempekerjakan anak diatur dalam UU
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 68 berbunyi,
“Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.” Dalam undang-undang ini,
batas usia minimal tenaga kerja di Indonesia adalah 18 tahun. Bagi
pengusaha atau pihak-pihak yang melanggar aturan ini akan dikenakan
sanksi hukum. Para pelanggar akan dijerat pidana penjara paling singkat
satu tahun dan paling lama empat tahun dan/atau denda paling sedikit Rp
100 juta dan paling banyak Rp 400 juta.
Meski undang-undang telah melarang tegas pengusaha
mempekerjakan anak di bawah umur, namun terdapat pengecualian bagi
anak di bawah 18 tahun yang hendak bekerja. Anak dibolehkan melakukan
pekerjaan ringan, bekerja sebagai bagian dari kurikulum pendidikan, serta
bekerja untuk mengembangkan bakat dan minatnya. Selain itu, anak yang
dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja atau buruh dewasa, tempat
kerjanya harus dipisahkan. Anak yang berumur antara 13 sampai 15 tahun
dapat dikecualikan untuk melakukan pekerjaan ringan. Namun, pekerjaan
tersebut tidak boleh mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik,
mental, dan sosial anak.
Selain itu, pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan
ringan juga harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
● Ada izin tertulis dari orang tua atau wali;
● Ada perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
● Waktu kerja maksimum tiga jam;
● Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
● Memperhatikan keselamatan dan kesehatan kerja;
● Ada hubungan kerja yang jelas; dan
● Anak menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Poin pertama, kedua, keenam, dan ketujuh dapat dikecualikan bagi
anak yang bekerja pada usaha keluarganya.

Perbedaan tenaga kerja di Indonesia dan di Jepang

Perbedaan antara tenaga kerja di Jepang dan di Indonesia dapat dilihat


dari beberapa aspek seperti budaya kerja, jam kerja, ketenagakerjaan,
kebijakan pemerintah, teknologi dan inovasi, dan pengaturan tenaga kerja
asing. Berikut adalah penjelasan secara lengkap mengenai perbedaan tersebut:

a. Ketenagakerjaan

Indonesia dan Jepang sama-sama menghadapi masalah ketenagakerjaan.


Bedanya, Jepang kekurangan tenaga kerja, sementara Indonesia dengan
jumlah penduduk yang banyak, mayoritas belum memiliki pekerjaan. Atase
Tenaga Kerja Kedutaan Jepang yang diwakili oleh Sasaki Hiroki mengatakan,
kekurangan tenaga kerja di Jepang bahkan sudah menjadi masalah sosial. Saat
ini, perusahaan-perusahaan di Jepang sangat membutuhkan tenaga kerja
asing, khususnya dari Indonesia.

b. Jam kerja

Budaya kerja sudah tidak asing lagi bagi sebuah organisasi yang sedang
aktif karena budaya etika sangat diperlukan didunia pekerjaan. Walaupun
tidak semua daerah memiliki budaya bekerja yang sama seperti perbandingan
Jepang dan Indonesia. Di mana sistem waktu kerja Jepang sekitar 143 jam
perminggu nya sedangkan Indonesia hanya 40 jam perminggu.

c. Teknologi dan inovasi

Jepang dikenal dengan teknologi canggih dan inovasi dalam berbagai


sektor, yang mengharuskan tenaga kerja untuk terus mengikuti perkembangan
teknologi. Di Indonesia, meskipun ada upaya untuk meningkatkan inovasi,
masih ada tantangan dalam hal infrastruktur dan akses terhadap teknologi
terkini di beberapa wilayah.

d. Gaya kerja

jepang merupakan negara maju yang terkenal dengan etos kerjanya yang baik.
Seperti :

1. referensi Lamanya Waktu yang Dipakai untuk Perencanaan

Pada perusahaan Jepang biasanya periode dari diputuskannya suatu proyek


sampai dengan dilaksanakannya proyek tersebut akan memakan waktu yang
lama. Salah satu alasan lamanya periode ini adalah karena mereka selalu
memikirkan segala kemungkinan-kemungkinan dan risiko yang bisa terjadi di
setiap tahap pelaksanaan proyek tersebut. Oleh karena itu, terkadang orang
asing sulit menerima kondisi ini karena pemikiran akan risiko tersebut
dianggap terlalu berlebihan.

2. Pembuatan Jadwal Kerja yang Tertata dengan Timeline

Meskipun waktu yang digunakan untuk merencanakan suatu proyek itu


bisa disebut panjang, tetapi orang Jepang selalu membuat timeline (jadwal
kerja) yang jelas. Tentu dengan tujuan agar proyek selesai tepat pada
waktunya tanpa ada masalah. Timeline kerja ini biasanya dijadikan sebagai
tolak ukur seberapa efektif pekerjaan yang dilakukan, juga seberapa keras
usaha yang harus dilakukan agar proyek selesai sesuai dengan jadwal yang
telah ditentukan.

3. Penyelesaian Masalah Pekerjaan

Bila terjadi masalah dalam suatu pekerjaan, perusahaan cenderung fokus


terhadap pencarian hal yang menjadi masalah bukan terhadap siapa yang
melakukan kesalahan. Dari hal ini mereka akan membuat
pencegahan-pencegahan agar kemudian hari tidak terjadi kesalahan yang
sama.

4. Tuntutan untuk menjadi generalis dibandingkan spesialis

Perusahaan Jepang mengharapkan setiap karyawannya dapat mengerjakan


berbagai pekerjaan, sehingga tidak akan ada karyawan yang ditempatkan di
dalam divisi yang sama secara terus-menerus. Hal ini dilakukan agar
karyawan memiliki pengetahuan mendalam mengenai perusahaan melalui
pekerjaan yang dilakukan oleh semua bidang yang ada di perusahaan tersebut.
Hal tersebut tidak berlaku jika karyawan tersebut berada di divisi
pengembangan bisnis yang selalu mengerjakan pekerjaan berbeda di setiap
proyeknya. Budaya kerja yang disebutkan di atas bisa saja berubah sesuai
dengan budaya perusahaan masing-masing. Namun, sebagian besar
perusahaan menjalankan budaya di atas sebagai budaya standar kerja di
Jepang.

e. kepimpinan Jepang

seorang atasan sangat memerlukan pendapat bawahan yang diterima dan


sangat dihargai jika diindonesia pendapat bawahan sedikit kurang dihargai
karena terkadang bawahan tidak bisa bebas dalam memberikan pendapat.
Dalam berbahasa, Jepang menggunakan bahasa Jepang dan setidaknya bagi
pekerja luar Jepang yang bekerja di Jepang menggunakan bahasa Inggris.
Kalau diindonesia menggunakan bahasa yg lebih baik jika berkomunikasi
dengan atasan ataupun di suatu organisasi karena sebagai pekerja juga harus
menjaga tutur bahasa. Namun ada dibeberapa daerah menggunakan bahasa
dialek hokkien atau ada yang bisa berbahasa Mandarin atau Inggris akan
menjadi nilai tambah bagi pekerja.

f. Budaya kerja

Di Jepang, budaya kerja sangatlah dihormati dan seringkali


mengedepankan loyalitas terhadap perusahaan. Konsep "karoshi" atau
"kematian akibat kelelahan kerja" mencerminkan budaya bekerja keras di
Jepang. Di Indonesia, budaya kerja cenderung lebih santai dan terkadang
fleksibel. Meskipun produktivitas bisa tetap tinggi, tetapi pendekatan
terhadap waktu kerja seringkali lebih fleksibel.

g. Pengaturan tenaga kerja asing

Indonesia Jepang
Cuti Tahunan Cuti yang diberikan Cuti yang diberikan
adalah 12 hari, adalah 10 hari,
pekerja telah bekerja pekerja telah bekerja
minimal 1 tahun minimal 6 bulan

Serikat Buruh Perundingan Perundingan boleh


menggunakan secara kolektif /
perwakilan agar bersama-sama dan
tidak terjadi pemberi kerja boleh
keributan menolak
Izin tenaga kerja Pemberi kerja wajib Pemberi kerja
asing membuat RPTKA, membuat laporan
IMTA dan menyerahkan
kepada dinas
ketenagakerjaan
daerah
Tenaga kerja asing Tenaga kerja asing
wajib mengurus wajib memiliki
Vitas dan Itas status of residence
Apabila tenaga kerja Tenaga kerja asing
asing memilki yang beralih profesi
pekerjaan lain maka atau melakukan
harus membuat kegiatan lain yang
RPTKA dan IMTA mendapatkan upah
baru maka tenaga kerja
asing harus
mengurus extra
status activitis
Apabila tenaga kerja Apabila tenaga kerja
asing pindah jabatan asing pindah jabatan
tetapi masih dalam tetapi masih dalam
satu perusahaan satu perusahaan
maka pemberi kerja maka tenaga kerja
harus mengurus asing harus
RPTKA dan IMTA mengubah extra
perubahan status activitis
Pengawasan tenaga Dinas Labor inspection
kerja asing ketenagakerjaan office disetiap
wilayah

KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Admin disnaker. 2019. Masalah Tenaga kerja dan Angkatan Kerja Di indonesia.
https://disnaker.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/masalah-ten
aga-kerja-dan-angkatan-kerja-di-indonesia-56. [Diakses pada 23
Maret 2023].
Anya. 2021. Bagaimana Dampak Penuaan Populasi Terhadap Ekonomi
Jepang?.https://japanesestation.com/lifestyle/japan-fact/bagaimana-da
mpak-penuaan-populasi-terhadap-ekonomi-jepang [Diakses Pada 23
Maret 2023].
Repository UMY. Bab 3 Krisis Tenaga Kerja Di Jepang.
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/25932/04%20
BAB%20III.pdf?sequence=7&isAllowed=y. [Diakses pada 23 Maret
2023]
Tombalisa, N.F., Fathurachmi, E., dan Wirawan, R. 2022. Kerjasama Jepang dan
Indonesia di Bidang Ketenagakerjaan dalam Program Tokutei Ginou
tahun 2019. Journal of International Studies. 3(2): 76-77.
Fairuz, F. R. (2016). Kebijakan Pemerintah Jepang Menerima Tenaga Kerja
Filipina Di Bidang Kesehatan Dalam Japan-Philippines Economic
Partnership Agreement. 5(1), 1689–1699.
https://revistas.ufrj.br/index.php/rce/article/download/1659/1508%0A
http://hipatiapress.com/hpjournals/index.php/qre/article/view/1348%5
Cnhttp://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/09500799708666915
%5Cnhttps://mckinseyonsociety.com/downloads/reports/Educati
Fauzan, M. R., & Paramasatya, S. (2022). Upaya Jepang dalam Melindungi
Tenaga Kerja Asing Pada Technical Intern Training Program. Journal
of International Relations Universitas Diponegoro, 8(2), 239–247.
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jihi/article/view/33575
Ardiyanto Marhandika. 2018. Studi Komparasi Pengaturan Tenaga Kerja Asing di
IndonesiadanJepang.
https://eskripsi.usm.ac.id/files/skripsi/A11A/2014/A.131.14.0239/A.1
31.14.0239-15-File-Komplit-20190125080424.pdf [Diakses Pada 23
Maret 2023].
Iftitah, A. (2023). Kesetaraan Gender Dalam Hukum Ketenagakerjaan. Jurnal
Ilmu Hukum dan Administrasi Negara, 31-46.
Jannah, M. R. (2023, September 19). Begini Aturan Tenaga Kerja Asing Atau
TKA di Indonesia dalam UU Ketenagakerjaan. Diambil kembali dari
tempo.co:
https://bisnis.tempo.co/read/1773818/begini-aturan-tenaga-kerja-asing
-atau-tka-di-indonesia-dalam-uu-ketenagakerjaan [Diakses pada 24
Maret 2023]
Situmorang, S. G. (2021, Agustus 23). Kebijakan Upah Minimum Bagi Tenaga
Kerja Di Indonesia. Diambil kembali dari kompasiana.com:
https://www.kompasiana.com/116swantogunawansitumorang9482/61
2296750101906d5c05c4c2/kebijakan-upah-minimum-bagi-tenaga-ker
ja-di-indonesia [Diakses pada 24 Maret 2023]
Wahyuni, W. (2022, Desember 1). Bentuk Perlindungan Hukum Tenaga Kerja
Magang. Diambil kembali dari hukumonline.com:
https://www.hukumonline.com/berita/a/bentuk-perlindungan-hukum-t
enaga-kerja-magang-lt6387e0d961cdf/ [Diakses pada 24 Maret 2023]

Anda mungkin juga menyukai