Anda di halaman 1dari 18

MASALAH SOSIAL JEPANG KONTEMPORER

FENOMENA KODOKUSHI PADA ORANG LANSIA JEPANG


Melalui Pendekatan Perspektif Disorganisasi Sosial

Dosen Pengampu:
Dr. Kurniawaty, S.Sos., M.A.

Oleh :
Nisia Nur Dwi Agusta 1806258161

KAJIAN WILAYAH JEPANG


SEKOLAH KAJIAN STRATEJIK DAN GLOBAL
UNIVERSITAS INDONESIA
Depok, 2018
1. Latar Belakang
Negara Jepang sedang mengalami permasalahan sosial terkait dengan
demografi penduduk yang menua atau ageing society. Ageing society yang terjadi di
Jepang ini disebabkan oleh menurunya angka kelahiran, kenaikan jumlah masyarakat
yang belum menikah dan tidak menikah, serta baiknya sistem kesehatan dan
kesejahteraan negara Jepang sehingga peluang masyarakat Jepang menjalani hidup
dengan umur yang panjang lebih besar (longevity society). Seperti yang Anda lihat dari
grafik di bawah ini, terlihat bahwa masyarakat Jepang di masa depan akan terus
bergerak menuju masyarakat yang menua, diperkirakan satu dari tiga orang akan
menjadi orang tua di atas 65 tahun pada tahun 20351. Ageing society yang sedang
melanda negara Jepang ini tentu saja membawa satu masalah sosial tersendiri yaitu

fenomena kodokushi ( 孤独死).

https://e-hinseiri.com/blog/522

Allison mendefinisikan kodokushi ialah orang yang mati sendirian dan jasadnya
ditemukan beberapa hari atau minggu setelah kejadian.2 Kodokushi oleh Fukukawa
didefinisikan sebagai ‘solitary death’ atau meninggal sendiri di rumah dan tidak

1
https://last-cleaning.com/lonely-death-7271
2
Allison, Anne. 2017. Managing Solitary Existence in Japan. Duke University Press. Social Text
130. Vol. 35, No. 1. pp. 18

1
diketahui oleh siapapun.3 Kodokushi erat kaitanya dengan orang lansia yang tinggal
sendiri dan tidak memiliki hubungan interaksi dengan keluarga, teman ataupun
tetangga. Sampai saat ini belum ada definisi tetap secara hukum untuk kodokushi tapi
terkadang disebut sebagai "kematian tunggal" atau "solitare death". Hal tersebut
disebabkan karena kematian tunggal memiliki faktor penyebab yang rumit sehingga
tidak dapat ditentukan oleh satu kata namun beberapa lembaga administrasi dan para
ahli telah mendefinisikan kodokushi sebagai "kematian kesepian" atau “lonely death”.4

Grafik di bawah ini memperlihatkan bahwa jumlah kodokushi dari tahun 2005
sampai 2015 meningkat secara dramatis ketika memasuki usia 60 tahun. Saat
membandingkannya berdasarkan jenis kelamin, kodokushi pada pria lebih banyak terjadi
dibanding wanita. Kodokushi pada pria banyak terjadi pada usia 60 tahun dan usia 70
tahun pada wanita.

https://e-hinseiri.com/blog/522

Cukup sulit untuk mendapatkan data fenomena kodokushi yang terjadi pada
masyarakat Jepang berusia 60 tahun keatas di seluruh kota di Jepang. Hanya Pusat

3
Fukukawa, Yasuyuki. 2011. SOLITARY DEATH: A NEW PROBLEM OF AN AGING SOCIETY IN
JAPAN.
Department of Psychology School of Humanities and Social Sciences Waseda University Tokyo.
VOL. 59, NO. 1. pp. 174
4
https://e-hinseiri.com/blog/522

2
Inspektorat Kesehatan Metropolitan Tokyo yang mengeluarkan data terkait fenomena
kodokushi yang terjadi pada masyarakat Jepang yang tinggal sendiri dan berusia 65
tahun ke atas dengan mengambil sampel di 23 bangsal yang ada di Tokyo. Terlihat dalam
data di bawah ini bahwa fenomena kodokushi mengalami kenaikan setiap tahunya,
bahkan mengalami kenaikan dua kali lipat dari 1451 pada tahun 2003 menjadi 3127
pada tahun 2015.

http://www8.cao.go.jp/kourei/whitepaper/w-2017/html/gaiyou/s1_2_6.html

Kenaikan fenomena kodokushi disebabkan karena semakin banyak orang lanjut


usia yang tinggal sendiri dan kurang berinteraksi dengan keluarga dan tetangga. Hal
tersebut disebabkan oleh keadaan yang mereka yang tidak memungkinkan sehingga
banyak orang lanjut usia dihadapkan dengan keadaan yang terisolasi dan sendirian di
masyarakat yang kemudian mengalami kodokushi. Menurut "Awareness Survey on
Economic Life of the Elderly (2011)" yang diterbitkan oleh Kantor Kabinet, 1 diantara 5
orang lansia yang hidup sendiri menjawab bahwa "Tidak ada orang yang dapat
diandalkan ketika mereka dalam kesulitan". Dapat dikatakan bahwa ada banyak orang
lanjut usia yang berada dalam situasi di mana mereka tidak dapat meminta bantuan
kepada seseorang ketika mereka tiba-tiba kehilangan kondisi fisik atau terluka di rumah
mereka.

3
Pada tahun 2015 jumlah lansia berusia 65 atau lebih yang tinggal sendiri di
seluruh Jepang telah mencapai 6 juta dan pada tahun 2025 diperkirakan akan melebihi
7 juta orang.5 Para lansia yang harus tinggal sendiri dipicu oleh berbagai faktor seperti
anak yang diharuskan bekerja di kota yang berbeda, kemiskinan, perceraian, tidak
menikah atau ditinggal meninggal oleh pasanganya. Orang lansia yang hidup sendiri
menciptakan suatu struktur keluarga dengan satu orang anggota (tanshin setai) yang
lebih lanjut dapat mengarah kepada meningkatnya fonemena kodokushi pada orang
lanjut usia tersebut. Melihat grafik di bawah ini membuktikan bahwa dari tahun 2005
sampai 2015 orang lansia usia 60 sampai 80 tahun baik pria (kiri) maupun wanita (kanan)
yang menjalani hidup sendiri mengalami peningkatan. Jumlah terbanyak diduduki oleh
wanita karena wanita lebih memiliki kesempatan untuk hidup lebih lama dibanding pria.

https://e-hinseiri.com/blog/7075

Terlihat dalam grafik dibawah ini bahwa ada peningkatan jumlah orang yang
tidak menikah dari tahun-tahun sebelumnya. Keputusan tidak menikah oleh orang tua
maupun anak muda laki-laki (warna biru) maupun wanita (warna merah) menyebabkan
jumlah orang yang hidup sendirian meningkat dan sebagai hasilnya nanti adalah
peningkatan fenomena kodokushi. Oleh karena itu, hidup sendiri dapat dikatan sebagai
faktor terbesar kodokushi bagi orang lansia. Dengan bertambahnya usia resiko
mengalami kematian mendadak pasti akan meningkat dan karena sudah menurunya
kebugaran fisik mereka tidak dapat sempat untuk meminta bantuan. Kodokushi

5
https://e-hinseiri.com/blog/522

4
cenderung terjadi di lingkungan yang sepi dan tetangga yang tidak peduli sehingga
ketika seseorang yang hidup sendiri mati mendadak penemuan jasad sering tertunda.

https://last-cleaning.com/lonely-death-7271

Masyarakat Jepang terkenal dengan budaya berfikir untuk tidak merepotkan


orang lain (meiwaku wo kakenai) dan sangat menjunjung tinggi privasi kehidupan
pribadi mereka. Nilai budaya ini sudah ditanamkan semenjak masyarakat Jepang muda
dan dipertahankan hingga mereka memasuki usia lanjut, tidak heran bila para lansia di
Jepang sangat mandiri meskipun mereka hidup sendiri. Kebiasaan yang membudaya di
masyarakat Jepang lainya adalah kebiasaan masyarakat Jepang yang sangat bertanggung
jawab akan eksistendi mereka di kehidupan (jiko sekinin). Hal ini juga sudah
diinternalisasi semenjak mereka kecil tidak heran jika hal tersebut mempengaruhi pola
interaksi antarsesama manusia. Kedua nilai budaya ini secara tidak langsung
mempengaruhi rengganya hubungan interaksi antar keluarga maupun masyarakat
dalam bertetangga khususnya di ibu kota Tokyo. Kota Tokyo sendiri menunjukan
kehidupan masyarakat modern dengan pola interaksi kaum urban yang cenderung
individual yang dapat memicu meningkatnya kodokushi di kalangan orang lanjut usia.
Sejak revolusi industri yang dimulai pada masa Restorasi Meiji dan kemajuan
ekonomi yang pesat pada tahun 1980-an menyebabkan banyak masyarakat Jepang
meninggalkan pedesaan dan beralih mencari pekerjaan diperkotaan seperti Tokyo
karena menyediakan peluang pekerjaan dan pendapatan yang lebih baik. Namun setiap
negara pasti mengalami masa-masa buruk, begitupun Jepang yang pernah mengalami
kemrosotan ekonomi pada tahun 1990-an yang disebut bubble economy. Masa pasang

5
surut perubahan ekonomi ini mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat Jepang yang
hidup pada masa itu dan berdampak pada kehidupan mereka saat ini yang telah
memasuki masa lanjut usia. Dampak dari perubahan yang cepat dan tidak teratur ini
menyebabkan sistem sosial kehidupan masyarakat mengalami perubahan tidak sesuai
dengan semestinya. Terlihat adanya perubahan struktur keluarga Jepang menjadi
tanshin setai dan perubahan hubungan interaksi antarmasyarakat yang mulai tidak ada
(muen shakai).

2. Rumusan Masalah

Fenomena meningkatnya kasus kodokushi dikalangan orang lansia Jepang yang


dipicu oleh berbagai faktor eksternal maupun internal ini mendorong penulis untuk
menganalisis fenomena ini lebih lanjut. Penulis akan menganalisis fenomena kodokushi
ini melalui pendekatan perspektif disorganisasi sosial. Menurut Robert E.Park
urbanisasi, industrialisasi, masyarakat modern, perubahan sosial yang cepat dapat
menganggu kestabilan pengaruh kekuasaan sistem sosial tradisional yang menghasilkan
disorganisasi sosial (1989:64). Tidak stabilnya sistem sosial menghasilkan aturan yang
rusak sehingga masalah sosial tidak dapat dihindari.

3. Kerangka Teori
1. Disorganisasi Sosial

Perspektif disorganisasi sosial menyebut migrasi, urbanisasi dan industrialisasi


berkontribusi membawa masalah sosial yang mempengaruhi susunan aturan sosial di
dalam masyarakat. Disorganisasi sosial menunjukan kegagalan aturan yang
penyebabnya adalah perubahan sosial dan teknologi, demografik, serta perubahan
budaya mempercepat kegagalan terjadi (Rubington, 1989:61). Disorganisasi adalah
proses berpudarnya atau melemahnya norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakat
akibat suatu perubahan (Soekanto,331:1986). Perubahan sosial menyebabkan terjadinya
bagian sistem sosial keluar dari jalurnya, mengubah atau bahkan merusak (breakdown)
sistem, mempengaruhi manusia sehingga menghasilkan “disoraganisasi personal” dan
ketidakseimbangan sistem sosial di masyarakat. Faris dan Dunham percaya bahwa
disorganisasi sosial menjurus pada masalah sosial yang merusak kontrol primary group

6
(Rubington, 1989:66). Cooley memformulasikan perbedaan antara hubungan primary
group dan secondary group. Hubungan primary group didefinisikan sebagai kelompok
yang ditandai dengan pergaulan dan kerjasama tatap muka yang intim seperti keluarga,
teman bermain, rukun warga, serta komunitas orang dewasa (Sunarto, 2018:129)
sedangkan hubungan secondary group adalah jarang dan bukan kontak pribadi. Cooley
melihat bahwa perpindahan dari kota ke area urban diikuti oleh terganggunya kontrol
primary group dan menganggap bahwa disorganisasi sosial menghancurkan tradisi.
Cooley berargumen aspek terburuk dari disorganisasi sosial adalah adanya standar sosial
yang kemungkinan rendah (Rubington, 1989:58). Thomas dan Znaniecke mendifinisikan
disorganisasi sosial sebagai penganggu pengaruh aturan pada individu. (Rubington,
1989:57)

Keluarga dan tetangga adalah sebuah organisasi yang ada berdasar kebiasaan
dan tradisi. Keluarga dan lingkungan bertetangga adalah sarana untuk mendisiplinkan
dan mengontrol individu. Bila pengaruh kontrol sosial sudah sangat dirusak dan
diremehkan oleh masing individu maka akan melahirkan “individualisasi”, dilihat dari sisi
makrososiologi yaitu masyarakat “individualisasi” disebut sebagai disorganisasi sosial
(Rubington, 1989:63).

Menurut Faris dan Dunham hubungan urbanisme dan disorganisasi sosial telah
lama diakui dan dibuktikan dengan tingkat disorganisasi sosial paling tinggi terjadi di
pusat kota (Rubington, 1989:66). Terutama kota yang menjadi pusat perkembangan
indutrialisasi yang memiliki tingkat kejahatan, perceraian, dan bunuh diri lebih sering
terjadi. Populasi diisi oleh orang muda yang tidak atau belum menikah dan pekerja kerah
putih (white colar workers). Di area ini memiliki karakteristik hubungan sosial yang
anonymity dan isolasi, tidak mengetahui tetangganya dan tidak ada yang peduli apa
yang tetangnya pikirkan atau katakan dan sosialitas yang berdasar ikatan hubungan
jangka panjang. Isolasi akan mudah diderita oleh generasi lansia karena ditinggalkan
oleh keluarga atau tetangga mereka.

Thomas dan Znaniecki menyebut masyarakat yang semakin modern


menghasilkan disorganisasi keluarga dan hal tersebut tidak dapat dihindari. (Rubington,
1989:77). Disorganisasi keluarga terjadi karena nilai tradisional keluarga berubah
menjadi seperangkat nilai baru yang mengharuskan manusia fokus untuk yang terbaik

7
pada diri mereka sendiri bukan untuk kelompoknya. Giddens mendefinisikan bahwa
dunia modern sebagai refleksi dan berpendapat bahwa refleksi kemodernan itu meluas
ke dalam inti diri sendiri, diri sendiri sebagai sebuh “proyek refleksi” yang menjadikan
diri sendiri menjadi sesuatu yang bisa diubah bahkan dicetak (Ritzer, 2012:555). Refleksi
dari kemodernan pada diri sendiri adalah kepuasan hedonistik dan individualistik.
Kecenderungan individualistik ini memunculkan disorganisasi berupa kehilangan minat
kepada keluarga dan bila sikap disorganisasi primary group mulai jauh mengontrol diri
individu maka akan membuat individu makin merasa bebas dari keluarga dan
masyarakatnya, efeknya mungkin akan menjadi putus hubungan melalui isolasi.
Begitupun sebaliknya bila ada rasa integrasi dan solidaritas primary group untuk
melawan individualistik dan menjaga kesadaran individu untuk bertahan di
kelompoknya maka individu akan berfikir bahwa kecenderungan individualistik adalah
salah (Rubington, 1986:76). Clinard mengemukakan keadaan disorganisasi sering
dianggap sebagai salah satu gangguan kontrol sosial atas perilaku individu (Rubington,
1989: 85).

2. Teori Anomie

Istilah anomie yang diperkenalkan oleh Durkheim dalam bukunya yang berjudul
The Division of Labour untuk menggambarkan kurangnya regulasi di sebuah masyarakat
dan memuliakan individu yang terisolasi dan menahan diri dari memberi tahu orang-
orang tentang apa yang harus mereka lakukan, anomie oleh Durkheim dianggap sebagai
suatu gejala “abnormal” pada pembagian kerja di masyarakat modern (Ritzer, 2012:90).
Lebih lanjut istilah anomie masih digunakan oleh Durkheim dalam bukunya berjudul
Suicide yang menyebutkan anomie terjadi bila kekuatan yang mengatur masyarakat di
ganggu, gangguan itu berupa meninggalkan individu dalam keadaan tidak puas karena
ada sedikit kontrol atas apa yang mereka inginkan. Gangguan bisa berupa positif
(economic boom) dan negatif (bubble economy), gangguan ini dapat merubah orang ke
dalam situasi yang baru yang mana norma lama sudah tidak lagi digunakan dan norma
baru belum berkembang (Ritzer, 2012:95). Gangguan negatif dapat menyebabkan
individual menjadi depresi dan gangguan positif dapat menyebakan kesuksesan.
Durkheim berpendapat kesuksesan yang tiba-tiba dapat mengarahkan individu jauh dari
struktur tradisional yang sudah mereka tanam. Ketika aturan tradisional hilang

8
kekuasaanya dan muncul hadiah sehingga membuat mereka lebih giat dan tidak sabar
dalam kendali dan menghasilkan keadaan yang deregulasi atau anomie (Durkheim,
1979:253). Homans mengungkapkan konsep anomie Durkheim sebagai kurangnya
interaksi antara kelompok dan hilangnya kontrol atas individu (Rubington, 1989:83).
Menurunnya kontrol sosial kelompok untuk mengatur, merawat dan mendukung
tingkah laku serta keseimbangan individu di bawah guncangan hidup itu dapat
menyebabkan rusaknya kepribadian individu (Rubington, 1989:84).

3. Teori Struktural Fungsionalisme

Perhatian utama dalam teori struktur fungsionalis sosial adalah struktur sosial
dan institusi, hubungan timbal balik, dan efek desakan oleh aktor (Ritzer, 2012:238).
Talcott Person salah satu ahli struktural fungsionalis yang perhatianya terpusat pada
sistem sosial dengan menekankan hubungan struktur sosial dan aktor dalam proses
integrasi norma dan nilai melalui sosialisasi dan internalisasi. Sosialisasi norma dan nilai
ditransfer kepada aktor melalui sistem. Bila sosialisasi norma dan dan nilai berhasil,
norma dan nilai akan diinternalisasi dan mereka akan menjadi bagian dari “kesadaran”
aktor.

Sistem sosial menurut Parsons adalah interdependensi antar komponen, bagian,


dan proses yang mengatur hubungan di masyarakat bila satu komponen hilang maka
sistem akan mengalami keguncangan. Struktur sosial terdiri atas pola perilaku, institusi,
kelompok, dan masyarakat, saling terkaitnya struktur sosial akan menghasilkan interaksi
antar manusia dan antar kelompok (Sunarto, 2012:52). Komblum mendifinisikan
institusi adalah suatu struktur status dan peran yang diarahkan untuk pemenuhan
keperluan dasar antar anggota masyarakat (Sunarto, 2012:54). Salah satu keperluan
dasar manusia adalah afiksasi, afiksasi dapat didapatkan melalui level mikro yaitu
institusi keluarga yang berperan dalam mensosialisasi nilai afiksasi, sehingga dapat
dikatakan bahwa keluarga menjadi salah satu agen sosialisasi terpenting di masyarakat.
Bila sistem ini terus terjaga maka interaksi masyarakat akan terus terjaga di pusat
keseimbangan dan akan mampu untuk mengontrol masyarakat yang keluar dari pusat
keseimbangan.

9
4. Analisis Menggunakan Perspektif Disorganisasi Sosial

Definisi : Kodokushi ialah keadaan seseorang yang meninggal sendirian


dirumahnya, tidak diperhatikan oleh siapapun, tidak diketahui penyebab pasti
kematianya dan jasadnya ditemukan beberapa waktu setelah kejadian. Di beberapa
kasus jasad orang yang mengalami kodokushi ini disadari dan ditemukan beberapa hari,
minggu, bulan bahkan hingga tahun setelah kejadian. Kodokushi sering dialami oleh
orang lansia Jepang karena ada kesalahan aturan yang terjadi disebabkan oleh sistem
sosial yang mengalami keguncangan dan melahirkan peningkatan fenomena kodokushi.
Sistem sosial terjalin atas interaksi antar struktur di masyarakat tapi interaksi antar
struktur tidak berjalan baik hingga melahirkan rusaknya sistem sosial dan aturan yang
tidak dapat dihindari. Aturan dimasyarakat dibentuk untuk mengontrol dan mengatur
kehidupan masyarakat agar tercipta kehidupan sosial yang teratur dan tetap berada
dipusat keseimbangannya.

Penyebab : Industrialisasi, modernisasi, urbanisasi dan perubahan ekonomi


termasuk boom economy dan bubble economy yang dialami negara Jepang terdahulu
membawa perubahan sosial yang memicu masalah sosial. Perubahan sosial adalah
segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyrakatan di dalam suatu
masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai,
norma-norma, sikap-sikap, pola-pola berperilaku diantara kelompok-kelompok di
masyarakat (Soekanto, 334:1986). Dimulai dengan goyahnya hubungan intim antar
individu maupun kelompok. Aspek struktural dari organisasi sosial juga mengalami
perubahan meliputi norma-norma dan unsur-unsur di masyarakat. Perubahan sosial
berdampak pada perubahan sturktur keluarga, pola interaksi antar manusia, lahirnya
pengangguran dan kemiskinan sampai penyakit mental seperti alkoholik.

Struktur keluarga Jepang yang awalnya berbentuk keluarga besar (extended family)
dan keluarga batih (nuclear family) sekarang berubah menjadi keluarga tunggal - single
household (tanshin setai) yang terdiri atas satu orang anggota saja dalam rumah tangga.
Struktur keluarga single household dialami oleh lansia karena tidak menikah,
pasangannya telah meninggal, anak tidak bisa mengurus orang tua karena harus bekerja
di lain wilayah, menikah tapi tidak memiliki anak, bercerai dan kemiskinan.

10
Menurut grafik yang penulis paparkan diatas terkait meningkatnya jumlah
masyarakat Jepang yang tidak menikah diatas, Giddens berpendapat bahwa hidup
membujang yang berkembang saat ini menunjukan gaya hidup yang menyimpang dalam
pola kehidupan perkawinan dan kehidupan berkeluarga yang semula berlaku. Pada usia
lebih lanjut kehidupan membujang yang melanda orang lansia cenderung disebabkan
oleh perceraian atau meninggalnya pasangan kalaupun memang tidak menikah itu
karena keinginan untuk tetap hidup bebas (Sunarto, 2012: 65).

Ketika orang lansia hidup sendiri tentu saja membawa masalah tersendiri karena
menurunnya kualitas kesehatan mereka yang terkadang menyebabkan mereka terisolasi
dilingkungan tempat tinggalnya. Terutama orang lansia yang tinggal di wilayah
perkotaan atau urban akan lebih sering merasakan isolasi sosial karena masyarakat
cenderung lebih individualistik dan tidak berinteraksi satu sama lain sehingga peran
masyarakat sebagai kontrol sosial tidak berjalan baik. Waktu senggang yang
berhubungan dengan interaksi dan tradisi mulai memudar dengan akibat industrialisasi
dan modernisasi. Bagi orang yang sudah lanjut usia dianggap sudah tidak dapat
berperan dalam mengisi waktu senggangnya di masyarakat sehingga dapat
menimbulkan disorganisasi sosial dalam masyarakat yang acapkali menyebabkan orang-
perorangan menarik diri dari kegiatan masyarakat dengan cara langsung maupun tidak
langsung (Soekanto, 332:1986).

Beberapa kasus kodokushi yang ditemukan bahwa orang lansia juga tidak
beinteraksi dengan keluarganya kalaupun beinteraksi itu sangat jarang sehingga isolasi
tidak hanya dirasakan di masyarakat tapi di dalam keluarga. Isolasi di dalam keluarga
bisa terjadi karena komunikasi dan kontrol keluarga terhadap individu hilang sehingga
interaksi antar individu di dalam keluarga juga akan cenderung hilang. Soekanto
menyebutkan bahwa Komunikasi dan kontak berperan penting dalam mewujudka
interaksi sosial dan ketidakmampuan untuk menciptakan atau mengadakan interaksi
sosial dengan pihak-pihak lain dikatakan sebagai kehidupan terasing atau isolasi
(57:1986). Kesepian dan isolasi sosial bertolak belakang dengan kebutuhan dasar
manusia akan cinta dan memiliki. Kebutuhan manusia untuk memiliki dan terhubung
dengan orang lain, memberi dan menerima cinta serta kasih sayang, dan kebutuhan
untuk afiliasi (menjadi bagian dari suatu kelompok dan kebutuhan untuk hubungan

11
intim dan teman). Hal tersebut sangatlah penting tidak hanya untuk berkembang tetapi
juga bagi keamanan dan kelangsungan hidup sesorang. Kesepian dan isolasi sosial
merupakan kegagalan dalam pemenuhan kebutuhan manusia yang paling mendasar
untuk hubungan sosial dan kepemilikan.Keluarga dan masyarakat termasuk lingkungan
bertetangga adalah agen untuk mendisiplinkan dan mengontrol individu agar tetap
hidup dalam keseimbangan sosial (social equilibrum) di masyarakat. Terutama keluarga
sebagai primary group yang paling fundamental di masyarakat memiliki peran
terpenting dalam sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai dan norma kebutuhan dasar
manusia sehingga kepribadian setiap individu tidak rusak.

Kondisi : Kurangnya kontrol sosial dari keluarga dan masyarakat menyebabkan


intensitas interaksi antar individu melemah atau bahkan tidak ada yang dalam bahasa
Jepang disebut sebagai muen shakai. Muen shakai akan makin terbentuk sempurna di
masyarakat urban seperti Tokyo karena masyarakat cenderung lebih individualistik,
menjaga privasi pribadi, tidak mau berurusan dengan orang lain yang cenderung
menganggu, dan tidak mau ikut campur urusan orang lain. Ditambah dengan masyarakat
Jepang tidak suka merepotkan orang lain dan hal itu juga dilakukan oleh orang lansia
sehingga muen shakai akan makin terbentuk. Menurunnya frekuensi interaksi antar
individu atau kelompok dan berkurangnya jumlah aktivitas yang dilakukan bersama
dalam kelompok akan menurunkan sejauh mana suatu norma-norma itu umum dan
jelas. Berkurang interaksi antar individu atau kelompok akan akan membawa
berkurangnya kekuatan ikatan interpersonal yang diikiuti juga dengan menurunya
sistem internal di masyarakat tersebut. Grafik dibawah berkaitan dengan tingkat
sosialisasi orang lansia 60 tahun dengan orang lain di sekitar area tempat tinggal.
Terlihat prosentase laki-laki yang tidak berinteraksi adalah 26,5% dan wanita 18,8%
sehingga tidak heran bila kodokushi banyak dialami oleh laki-laki ketika memasuki usia
60 tahun. Pada usia tersebut laki-laki sudah memasuki masa pensiun yang menimbulkan
semacam ada kesenjangan aktivitas yang mereka rasakan. Kesenjangan aktivitas ini
disikapi kurang positif sehingga kaum laki-laki terjebak stress dan penyakit mental
alkoholik. Disorganisasi personal ini akan diperparah bila laki-laki tidak bersosialisasi,
tidak menikah atau mengalami perceraian maka akan menjurus pada kodokushi.

12
http://www8.cao.go.jp/kourei/whitepaper/w-2018/html/zenbun/s1_2_4.html

Konsekuensi : Meningkatnya fenomena kodokushi di kalangan orang lansia Jepang


tentu membawa beban finansial yang ditanggung oleh pemerintah dan pemiliki mansion
atau apato. Biaya harus dikeluarkan oleh pemerintah dan pemilik mansion ketika orang
lansia yang meninggal karena kodokushi tidak memiliki keluarga ataupun relasi. Hal itu
tentu saja menambah beban finansial yang harus dikeluarkan oleh pemerintah daerah
ataupun kota dan pemilik mansion atau apato. Beban finansial berupa pembersihan
tempat tinggal dan pemakaman yang diketahui cukup mahal. Tarif untuk pembersihan
tempat tingga saja berkisar 30000 sampai 600000 yen tergantung dengan berapa
banyak ruangan di tempat tinggal tersebut.6 Selain itu ada tambahan biaya penghilang
bau busuk, pembersihan ruangan dengan gas ozon, pembunuh serangga, penggantian
tatami dan pemberian desinfektan yang masing-masing tarifnya kisaran 15000 hingga
100000 yen.7 Untuk biaya pemakaman dengan level terendah adalah 59000 yen dan
tertinggi 177000 yen.8 Biaya pemakaman seharusnya menjadi tanggung jawab keluarga,
tapi terkadang ada keluarga yang menolak jasad orang tersebut sehingga tanggung
jawab pemakaman kembali pada pemerintah atau pemilik mansion/apato.

Konsekuensi lain dari kodokushi adalah membawa ketakutan dan keresahan di


dalam masyarakat khusunya tetangga yang tinggal berdekatan dengan lokasi kejadian.
Perlu diketahui salah satu indikator tetangga dapat mengetahui seseorang mengalami
kodokushi ialah bau tidak sedap sekitar tempat tinggal dan banyaknya lalat yang masuk

6
https://m-ihinseiri.jp/article-service/tokushuseisou/
7
https://last-cleaning.com/loneliness-death-cleaning-expense-1045
8
https://www.japantimes.co.jp/news/2016/11/26/business/burn-aging-japans-growing-
numbers-dead/#.XAPtcB8xXIV

13
di rumah tetangga. Efek dari jasad yang telah membusuk ini tentu saja mengganggu
kenyaman tetangga dan menakuti tetangga yang akan berfikir apakah nanti kodokushi
juga akan terjadi pada dirinya. Jepang terkenal dengan menjaga kebersihan dan
kesehatan lingkungan, kasus kodokushi sendiri dianggap akan membawa virus bakteri
tersendiri karena jasad kodokushi ini meninggal dengan keadaan yang tidak bersih dan
membusuk. Dengan adanya kasus kodokushi disuatu daerah tempat tingga akan
membawa stigma negatif masyarakat bahwa daerah tempat tinggal tersebut tidak
aman. Turunya harga properti juga menjadi salah satu konsekuensi yang harus ditanggu
oleh pemilik mansion/apato bila ada penghuni yang meninggal karena kodokushi.
Seperti yang disebutkan diatas bahwa kodokushi ini dianggap membawa virus bakteri
meskipun sudah diberi desinfektan pun bau busuk masih tetap tercium. Hal ini yang
menyebabkan ada mansion yang dirubuhkan atau dilelangnya dengan harga murah.
Fenomena kasus kodokushi yang terus meningkat ini dilihat sebagai peluang untuk
membuka jasa pembersihan kamar di Jepang. Tidak dipungkiri bahwa permintaan
datang pihak mansion agar mansionnya dapat memberikan keuntungan kembali. Hidote
Kone wakil presiden Asosiasi Disposisi Momento memperkirakan bahwa di Jepang
sampai Februari 2017 ada sekitar 4000 perusahaan pembersihan kamar karena
kodokushi.9

Solusi : 1). Membuat diagnosis masalah dengan tepat 2). Perencanaan sosial
digunakan sebagai alat untuk mendapatkan perkembangan sosial dengan cara
menguasai serta memanfaatkan kekuatan alam dan sosial agar menciptakan ketertiban
sosial yang mana perkembangan masyarakat juga terjamin keberlangsunganya.
Menyesuaikan lembaga-lembaga kemasyarakatan dengan kondisi-kondisi perubahan
yang terjadi. Mengembalikkan peran struktur sosial sesuai tempatnya agar mencapai
sosialisasi dan kontrol sosial di masyarakat. Sosialisasi dan kontrol sosial adalah
mekanisme utama yang menyebabkan sistem sosial untuk tetap terjaga di pusat
keseimbanganya melalui sistem kehidupan sosial masyarakat dapat di kontrol. Kontrol
sosial tersirat dalam hubungan sistem sosial , setiap perubahan kontrol harus ditentukan
oleh perubahan dalam hubungan. 3). Dihidupkanya kembali solidaritas dan kekuatan
“collective concience” antar masyarakat.

9
https://www.aljazeera.com/indepth/features/2017/10/woman-cleans-lonely-deaths-japan-
171012115412607.html

14
5. Kesimpulan

Modernisasi, industrialisasi, urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi yang fluktuatif


membawa perubahan sosial yang cepat yang menyebabkan perubahan demografik dan
masalah sosial bagi negara Jepang. Jepang sedang menghadapi tantangan ageing society
yang tentu saja membawa satu masalah sosial tersendiri yaitu fenomena kodokushi atau
lonely death yang banyak menyerang kaum lansia Jepang. Orang lansia yang mengalami
kodokushi dipicu oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal datang dari
keluarga dan masyarakat yang tidak menjalankan status dan perannya dengan
sempurna dan faktor internal individu yang menarik diri dari lingkungan masyarakat.

Berpijak pada perspektif disorganisasi sosial dengan teori pendukung anomie dan
struktural fungsionalis kodokushi terjadi akibat dari tidak berjalan baiknya status dan
peran keluarga dan masyarakat dalam mengontrol individu untuk tetap berada di pusat
keseimbangan sosialnya. Kurangnya kontrol keluarga dan masyarakat terlihat pada
kurang intensitasnya hubungan interaksi antar individu ataupun kelompok sehingga
tidak adanya ikatan interpersonal yang kuat dan mendukung satu sama lain. Kurangnya
ikatan interaksi ini meningkatkan fenomena kodokushi pada lansia yang cenderung
lemah fisiknya dan tidak mau merepotkan satu sama lain.

Single household juga sebagai salah satu faktor internal yang menyebabkan
peningkatan kasus kodokushi pada lansia Jepang. Single household memicu terciptanya
muen shakai di masyarakat Jepang karena orang lansia jarang berkomunikasi dengan
keluarga ataupun tetangganya sehingga makin meningkatkan orang lansia beresiko
terkena fenomena kodokushi. Anggapan bahwa orang lansia sudah tidak dapat berperan
dalam mengisi waktu senggangnya di masyarakat menimbulkan keinginan orang lansia
untuk menarik diri dari masyarakat dan mengisolasi diri sendiri dari lingkungan. Isolasi
sosial dipicu juga oleh kurangnya interaksi pada masyarakat perkotaan sehingga dapat
ditemui kasus kodokushi banyak terjadi di perkotaan. Mementingkan kepentingan
individu dari pada kepentingan orang lain menyebabkan hilangnya rasa empati dan
solidaritas antarsesama manusia. Meskipun lansia sudah menjalin interaksi dengan
antarindividu atau kelompok namun masyarakat di sekitar masih tidak peduli satu sama
lain maka resiko peningkatan lansia yang terkena kodokushi pun tidak dapat dihindari.

15
DAFTAR PUSTAKA

Allison, Anne. 2017. Managing Solitary Existence in Japan. Duke University Press. Social
Text 130. Vol. 35, No. 1. pp. 17-19

Allison, Anne. 2015. Lonely Death. University of California Press. pp. 662-674

Emile, Durkheim. Suicide A Study in Sociology.Routledge & Kegan Paul. London. 1979

Kim, Hae Sung. 2017. Lonely Death Among Elderly People: Challanges and Solutions.
Department of Social Welfare. Kangnam University. Vol. 20. Number 12. pp. 8445-8452

Tamaki, Teiko. 2014. Live and Die in Solitude Away from the Family: Issue Relating to
Unattended Death Kodokushi in Japan. Housei Riron. Vol.46 No. 4 pp. 203-218

Rubington, Earl., Weinberg, Martin S. The Study of Social Problems. Oxford University
Press (Edisi Keempat). 1989.

Ritzer, George. Sociological Theory. The McGraw-Hill Companies, Inc. (Edisi Kedelapan).
2012

Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas


Indonesia (Edisi Revisi). 2018.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : CV. Rajawali Indonesia (Edisi
Revisi). 1986.

https://m-ihinseiri.jp/article-service/tokushuseisou/ (diakses pada 21 November 2018 pukul


13.05 WIB)

https://www8.cao.go.jp/kourei/whitepaper/w-2017/html/gaiyou/s1_2_6.html (diakses pada 21


November 2018 pukul 13.45 WIB)

https://www8.cao.go.jp/kourei/whitepaper/w-2017/html/zenbun/s1_1_1.html (diakses pada 21


November 2018 pukul 13.45 WIB)

http://ihinseiri-willcare.com/column/%E5%AD%A4%E7%8B%AC%E6%AD%BB/ (diakses pada 21


November 2018 pukul 19.37 WIB)

https://e-hinseiri.com/blog/522 (diakses pada 22 November 2018 pukul 16.15 WIB)

https://www8.cao.go.jp/kourei/whitepaper/w-2018/html/zenbun/s1_2_4.html (diakses pada 22


November 2018 pukul 17.25 WIB)

https://www8.cao.go.jp/kourei/whitepaper/w-2017/html/zenbun/s1_2_6.html (diakses pada 22


November 2018 pukul 17.25 WIB)

https://www.aljazeera.com/indepth/features/2017/10/woman-cleans-lonely-deaths-japan-
171012115412607.html (diakses, 30 November 2018 pukul 16.49 WIB)

https://last-cleaning.com/loneliness-death-cleaning-expense-1045 (diakses, 30 November 2018


pukul 16.23 WIB)

16
https://www.independent.co.uk/news/long_reads/lonely-deaths-japan-die-alone-clean-
apartments-japanese-industry-next-homes-clear-a8182861.html (diakses, 30 November 2018
pukul 16.05 WIB)

https://www.japantimes.co.jp/news/2016/11/26/business/burn-aging-japans-growing-numbers-
dead/#.XAQKjh8xXIW (diakses, 30 November 2018 pukul 16.32 WIB)

https://www.independent.co.uk/news/long_reads/lonely-deaths-japan-die-alone-clean-
apartments-japanese-industry-next-homes-clear-a8182861.html (diakses, 30 November 2018
pukul 17.20 WIB)

17

Anda mungkin juga menyukai