Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PERMASALAHAN KEPENDUDUKAN DI JEPANG


Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Dasar Kependudukan yang diampu oleh:
Nasir Ahmad, S.KM., M.Kes

Disusun Oleh :
M. Ilham Adhi N 113121004
Astifa Rizki M 113121005
Raninda Anggraeni D 113121018
Nabila Salsabila Yude 113121021

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT (S1)


FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan tugas makalah Dasar
Kependudukan mengenai Permasalahan Kependudukan di Jepang. Kami berharap semoga
makalah yang kami buat ini dapat bermanfaat untuk memenuhi tugas mata kuliah ini. Dan
kami berharap semoga dengan tugas makalah ini kami menjadi lebih giat dalam membaca
buku dan memiliki keingintahuan yang semakin besar.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen
pengampu mata kuliah Dasar Kependudukan Nasir Ahmad, S.KM., M.Kes yang telah
memberikan tugas terhadap kami.
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan.
Maka dari itu kami mohon saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan
dalam menyempurnakan makalah ini

Cimahi, 15 Desember 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................3
1.3 Tujuan Masalah...........................................................................................................3
BAB II.......................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.......................................................................................................................4
2.1 Permasalahan Penduduk dan Kondisi Masyarakat di Jepang.......................................4
2.1.1 Kesenjangan Gender di Jepang..................................................................................4
2.1.2 Penurunan Angka Kelahiran......................................................................................5
2.2 Baby Boom...................................................................................................................6
2.3 Shouitsuka.....................................................................................................................7
BAB III....................................................................................................................................10
PENUTUP...............................................................................................................................10
3.1 Kesimpulan................................................................................................................10
3.2 Saran..........................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dewasa ini, perubahan demografi atau kependudukan menjadi salah satu
permasalahan yang banyak terjadi di beberapa negara di dunia. Permasalahan demografi ini
bukan lagi hanya permasalahan domestik suatu negara saja, namun telah menjadi
permasalahan dunia internasional. Perubahan demografi dapat berupa pertumbuhan jumlah
penduduk yang meningkat secara cepat (over population), penurunan jumlah penduduk
(declining population) maupun penuaan populasi (aging population). Perubahan demografi
ini pun dapat mempengaruhi berbagai sektor kehidupan negara seperti dalam bidang
ekonomi, sosial, pertahanan, keamanan, kesehatan, dan lain sebagainya. Berdasarkan
perkembangan ekonomi dan tingkat fertilitas, negara-negara dapat dikelompokkan menjadi
tiga kategori yaitu (1) negara berkembang dengan tingkat fertilitas tinggi seperti Nigeria dan
Kongo; (2) negara berkembang dengan penurunan tingkat fertilitas namun tetap dapat
melanjutkan pertumbuhan populasi seperti Brazil, Meksiko, Mesir, Tiongkok, India dan
Indonesia; dan (3) negara maju dengan tingkat fertilitas berada di ambang batas yang mana
memerlukan populasi pengganti seperti Jerman dan Jepang (Nichiporuk, 2000).
Jepang telah mengalami periode yang panjang dalam penurunan angka kelahiran.
Pada tahun 1930 selama perang, pemerintah mendorong perempuan untuk memiliki banyak
anak di bawah slogan umeyo fuyaseyo (Mari melahirkan! Mari meningkatkan!), dengan
harapan setiap keluarga setidaknya memiliki lima orang anak. Pada tahun 1946 setahun
setelah kekalahan Jepang, angka kelahiran pun menurun drastis.
Pada tahun 1947 sampai 1949 angka kelahiran Jepang mengalami peningkatan yang tinggi,
jumlah populasi yang meningkat ini dikenal dengan istilah baby boom pertama. Jumlah
kelahiran tahunan melebihi 2,6 juta.
Proses modernisasi yang pada mulanya untuk merubah bangsa Jepang agar dapat
sejajar dengan bangsa Barat, pada kenyataannya seiring dengan berjalannya waktu,
modernisasi ini merubah kehidupan masyarakat Jepang dari zaman ke zaman. Kebudayaan,
tingkah laku, pola pikir, serta nilai-nilai di dalamnya pun mengalami perubahan. Adat Istiadat
yang bersifat tradisional juga ikut berubah disesuaikan dengan perubahan zaman.
Kemudian, karena perubahan di atas ini menyebabkan Jepang mendapatkan masalah dengan
demografinya yang sudah ditingkat mengkhawatirkan. Demografi Jepang ditingkat

1
mengkhawatirkan, ditandai dengan penurunan tingkat kelahiran secara terus menerus dan
adanya peningkatan harapan hidup yang menyebabkan penduduk Jepang semakin menua.
Penurunan fertilitas juga menyebabkan turunnya jumlah penduduk di Jepang. Sehingga
Jepang membentuk piramida terbalik yaitu, angka kelahiran bayi semakin menurun dan
jumlah lansia terus bertambah.
Penurunan jumlah populasi anak-anak di Jepang merupakan sebuah tantangan besar
yang harus dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat Jepang. Menurunnya angka kelahiran
yang berarti populasi anak berkurang, dan jumlah lansia yang terus bertambah. Sehingga
menyebabkan semakin berkurangnya jumlah usia produktif di Jepang.
Jika permasalahan penurunan angka kelahiran ini terus berlanjut, akan berakibat fatal untuk
Jepang. Masalah penurunan angka kelahiran akan berdampak pada kemajuan dan
perkembangan dari Bangsa Jepang, karena jumlah lansia yang terus meningkat ini akan
mengakibatkan menurunnya daya juang dan daya saing Jepang, dikarenakan jumlah
penduduk yang berusia produktif semakin berkurang.
Selain itu, jika angka kelahiran di Jepang terus menurun, lama-lama Hari Anak pada
05 Mei 3011 hanya akan dirayakan oleh seorang anak saja. Seratus detik kemudian, tidak
akan ada lagi anak yang tersisa. (Hiroshi Yoshida, 2012). Kemudian, tidak tertutup
kemungkinan bahwa Jepang akan punah karena tidak adanya regenerasi. Fenomena
menurunnya angka kelahiran di Jepang disebut dengan istilah shoushika ( 少子化 ) .
Shoushika terajadi secara signifikan setelah baby boom kedua, yaitu pada tahun 1970.
Angka Total Fertility Rate di Jepang setelah baby boom kedua pada tahun 1975 mengalami
penurunan menjadi 1,91, kemudian turun secara perlahan ditahun-tahun berikutnya. Sehingga
semakin kecilnya angka Total Fertility Rate di suatu negara menandakan semakin sedikitnya
jumlah anak yang dilahirkan pada negara tersebut.
Florian Coulmas mengatakan penyebab shoushika adalah ketika industrialisasi dan
modernisasi mulai masuk ke Jepang. Hal ini membawa perubahan tentang nilai, tren sosial,
kegiatan ekonomi, dan struktur keluarga. (Jerre Bush, 2011 : hal 16).
Pada paruh pertama abad ke-20 proses modernisasi untuk mendorong pertumbuhan
penduduk. Tetapi, pada kenyataannya pertumbuhan pendudukpun tidak berjalan dengan baik,
tingkat kelahiran masih jauh dari yang diharapkan pada tahun 1950 (Jerre Bush, 2011 : hal
20). Selain itu, masalah shoushika juga terjadi karena adanya penundaan pernikahan
(bankonka) dan semakin meningkatnya masyarakatnya yang tidak ingin menikah (mikonka).

2
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana permasalahan penduduk dan kondisi masyarakat di Jepang?
2. Apa yang dimaksud dengan baby boom?
3. Bagaimana kebijakan pemerintah Jepang pada fenomena baby boom?
4. Apa yang dimaksud dengan shousika?
5. Apa yang menjadi penyebab munculnya shousika di dalam masyarakat Jepang?
6. Bagaimana kebijakan pemerintah Jepang pada fenomena shousika?

1.3 Tujuan Masalah


1. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami permasalahan kependudukan di
Jepang
2. Mahasiswa mampu mengetahui dampak dari permasalan kependudukan di Jepang.
3. Mahasiswa mampu menganalisis solusi dari permasalahan kependudukan di Jepang.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Permasalahan Penduduk dan Kondisi Masyarakat di Jepang


2.1.1 Kesenjangan Gender di Jepang
Permasalahan penduduk di Jepang adalah terdapatnya ketidaksetaraan gender di
Jepang, dimana ketimpangan secara gender dapat terlihat dengan jelas terutama dalam aspek
sosial – ekonomi dan politik. Beberapa hal yang menjadi indikasi terciptanya ketidaksetaraan
gender di Jepang, diantaranya adalah ketidaksetaraannya upah yang diterima oleh tenaga
kerja laki-laki dan perempuan dalam dunia kerja, pada tahun 2015 OECD melaporkan jika
ketimpangan penerimaan upah bagi pekerja laki-laki dan perempuan sebesar 25.7% hal ini
dikarenakan perempuan di Jepang dihadapkan dengan pilihan yang tidak mudah antara
meninggalkan karir mereka dan merawat anak atau tetap bekerja namun dengan upah yang
tidak seimbang.
World Economic Forum ( WEF ) mengeluarkan laporan mengenai kesetaraan gender
di berbagai negara termasuk Jepang, dimulai dari kurun waktu 2016 hingga 2020 Jepang
secara konsisten berada di peringkat bawah untuk kesetaraan gender dengan kata lain,
ketidaksetaraan gender di Jepang masih terjadi. Tahun 2016, World Economic Forum
melaporkan untuk negara Jepang berada di ranking 111 dari 144 negara di dunia dengan
perolehan skor sebesar 0.660 atau sebesar 66 % dengan kategori aspek kesehatan Jepang
berada di tingkat 40 dengan perolehan skor sebesar 0.979, aspek pendidikan berada di tingkat
76 dengan perolehan skor 0.990 dan aspek terendah adalah partisipasi ekonomi dan politik
yang berada di tingkat 118 dengan perolehan score 0.569 dan peringkat 103 dengan score
0.103.
Aspek fundamental dalam membahas ketidaksetaraan gender di Jepang tidak terlepas
dari peranan aspek ekonomi dimana keterkaitan antara ekonomi hampir berkesinambungan
dengan aspek-aspek lainnya yang juga merupakan faktor yang melatar belakangi terjadinya
ketidak setaraan gender di Jepang seperti sosial-politik dan kebudayaan, ketika Jepang
dihadapkan dengan rendah nya partisipasi perempuan dalam dunia kerja dan rendah nya upah
yang diterima oleh perempuan karena perempuan di Jepang hanya menduduki sektor pekerja

4
paruh waktu atau hanya sebagai pegawai biasa dan kecil kemungkinan bagi para pekerja
perempuan di Jepang untuk dapat mencapai posisi sektor strategis atau dengan kata lain
manajerial, direktur hingga CEO.

2.1.2 Penurunan Angka Kelahiran


Penurunan angka kelahiran yang terjadi di Jepang selama bertahun-tahun semakin
bertambah angka harapan hidup dan kematian serta semakin menurun angka kelahiran dan
angka usia produktif di kalangan pekerja, menjadikan krisi demografi di Jepang berada di
tingkat terburuk bahkan sejak abad ke 18.
Pada tahun 2019, data yang diperoleh dari Kementerian Kesehatan, Perburuhan dan
Kesejahteraan (Ministry of Health, Labour and Welfare) jika angka kelahiran di Jepang
menyentuh angka terendah sebesar 864.000 dibandingkan dengan tahun sebelumnya 2018
angka ini terus berkurang sejauh 54.000 perbedaan yang terlihat secara signifikan terjadi
dengan angka kematian yang juga meningkat sebesar 1,376 dengan jumlah penduduk Jepang
saat ini berjumlah 124.000.000 jiwa.
Dengan rendah nya angka kelahiran ini ditandai dengan permasalahan – permasalahan
sebagai latar belakang, diantaranya adalah pembagian waktu yang dirasa sulit terutama bagi
para tenaga pekerja perempuan penuh waktu dalam membagi tugas termasuk dalam
mengurus anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, sedikitnya peran dari suami dalam
membantu tugas istri baik dalam mengurus anak dan mengurus rumah tangga masih jarang
ditemukan hal ini dikarenakan masih terdapatnya prinsip-prinsip sosial politik konservatif di
Jepang untuk lebih memberatkan terhadap perempuan untuk menyerahkan sepenuhnya
pekerjaan rumah tangga sementara laki-laki hanya berkontribusi sedikit dalam pengerjaan
nya.
Jika perempuan yang bekerja secara penuh di Jepang harus menghabiskan setidaknya
sekitar rata-rata adalah 20 hingga 27 jam per minggu untuk mengurus urusan rumah tangga
maka kontribusi sedikit yang bisa diberikan oleh pasangan mereka hanya berkisar antara 3
hingga 5.3 jam per minggu nya. Jumlah penduduk Jepang dengan usia 60 sampai 65
sebanyak 35.15 juta jiwa, 27,7 % dari total 126.71 juta jiwa total populasi Jepang per tahun
2017 hingga pertengahan 2018.
Faktor lain yang mempengarungi tingkat penurunan kelahiran dilihat dari tingkat
kesuburan perempuan di Jepang, mengingat perempuan di Jepang saat ini lebih memilih
untuk bekerja dibandingkan dengan menjadi ibu rumah tangga sehingga pilihan untuk

5
cenderung menunda pernikahan atau bahkan sama sekali tidak ada keinginan untuk memiliki
anak menjadi hal yang sering terjadi di Jepang saat ini.
Dengan demikian, perkiraan proyeksi di masa depan mengenai kelangsungan tingkat
kelahiran di Jepang menurut Lembaga Penelitian Kependudukan dan Jaminan Sosial
Nasional (National Institute of Population and Social Security Research) jika tingkat
kesuburan (fertility) untuk perempuan di Jepang terutama pada perempuan berusia 30 hingga
40 tahun terus mengalami penurunan dari tahun 2010 hingga 2015 sehingga angka kelahiran
di tahun 2050 mendatang akan mengalami penurunan sebesar 8,98 juta atau sebesar 10,2%
dari total populasi yang diperkirakan sebesar 80.08 juta jiwa di tahun yang sama. Dengan
penjelasan di atas, penurunan kelahiran bayi di Jepang menjadi yang terendah di sepanjang
sejarah sejak Jepang mengalami “ledakan kelahiran bayi” atau dikenal dengan “baby
booming” sejak Perang Dunia II dan tahun 1989.
Intensitas keinginan untuk menikah dari pasangan Jepang juga turut menurun
dibandingkan dengan tahun 1979 hingga 1989 menurut data dari Menteri Kesehatan, Buruh
dan Kesejahteraan jika keputusan untuk menunda pernikahan berdampak pada keputusan
untuk memiliki anak, data dari Menteri Kesehatan, Buruh dan Kesejahteraan pada tahun 2016
bahwa perempuan di Jepang rata-rata memutuskan untuk menikah di usia 29 tahun keatas
sedangkan untuk pria Jepang memutuskan menikah di usia 31 tahun keatas.
2.2 Baby Boom
Fenomena baby boom merupakan keadaan dimana angka fertilitas suatu Negara
meningkat secara drastis dalam kurun waktu yang sangat singkat. Lonjakan penduduk Jepang
yang terjadi sekitar tahun 1947 sampai 1949. Hal ini diakibatkan merosotnya populasi
penduduk Jepang akibat pengeboman kota Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat
pada tahun 1945 yang menewaskan 90.000-146.000 orang di Hiroshima dan 39.000-80.000
orang di Nagasaki. Fenomena baby boom yang terjadi di Jepang hanya terjadi pada satu titik
periode saja dan pada periode berikutnya peningkatan kelahiran lebih sedikit (pada kasus ini
terjadi di tahun 1947 sampai 1949) sehingga membuat populasi yang lahir pada periode
tersebut terlihat lebih mencolok.
Baby boom ini terjadi karena pada masa perang, orang-orang tidak berani untuk
melahirkan seorang anak, karena jika melahirkan ketika zaman perang anak-anak akan
meninggal akibat perang. Sehingga banyak yang menunda pernikahan dan tidak memiliki
anak. Setelah perang usai, dan keadaan sudah kembali tenang, hal ini membuat masyarakat
Jepang banyak yang melakukan pernikahan. Sehingga ledakan populasi pun terjadi pada
zaman setelah perang.

6
Namun, setelah kekalahan yang dialami Bangsa Jepang di Perang Dunia ke II oleh
tentara Sekutu. Kekalahan Jepang ini menyebabkan tatanan sosial ekonomi dan politik di
Jepang menjadi kacau. Jaringan distribusi dan produksi hampir lumpuh. Sehingga hampir
seluruh rakyat Jepang hidup dalam kemiskinan.
Hal ini menyebabkan mereka putus harapan, sehingga cenderung apatis, malas, tidak
disiplin dan boros. Kriminalitas seperti, perampokan, pelacuran, penipuan, penyalahgunaan
obat meningkat drastis. Sanitasi dan gizi yang sangat buruk ini menyebabkan kondisi
kesehatan rakyat Jepang sangat buruk, sehingga produktivitas rakyat Jepang juga rendah.
Generasi Baby Boom Jepang adalah kelompok besar dalam hal demografis, mereka memiliki
berbagai dampak terhadap kehidupan di Jepang, dari mulai mereka lahir, memasuki usia
sekolah dimana sekolah – sekolah dasar dan sekolah lanjutan lainnya bergegas untuk
menambah jumlah kelas, hingga kehidupan perkerjaan, dan masyarakat pada umumnya.
Mereka kemudian memberikan kontribusi besar bagi ekonomi Jepang dan mereka juga
menjadi pusat perhatian ketika mereka bersiap untuk pensiun.
Pada tahun 2007 generasi pertama Baby Boom yang lahir pada tahun 1947, berusia 60
tahun. Karena sebagian besar perusahaan Jepang pada saat itu menetapkan usia pensiun wajib
bagi pekerja mereka di umur 60, sehingga generasi pertama Baby Boom akan pensiun secara
massal pada tahun 2007.
Dampak dari fenomena Baby Boom ini sendiri pada Jepang tahun 2018
mengakibatkan ketidak seimbangan penduduk dimana generasi Baby Boom di tahun 2018
sudah menjadi lansia lebih banyak dibandingkan populasi usia produktif maupun anak- anak.
Peningkatan penduduk di Jepang pun setiap tahunnya terus menurun sehingga mengakibatkan
juga kosongnya para tenaga kerja usia produktif, dimana kebutuhan untuk melanjutkan
ekonomi menjadi semakin sulit. Kekosongaan tenaga kerja ini mangakibatkan Jepang harus
mengambil langkah untuk meningkatkan tenaga kerja asing di Jepang.
2.3 Shouitsuka
Suatu wilayah akan dapat disebut sebagai sebuah negara adalah ketika wilayah
tersebut memiliki pemerintahan, hukum, serta pengakuan nasional lainnya, dan yang
terpenting adalah keberadaan warga negara. Jumlah penduduk suatu negara selama masih ada
perkawinan dan kelahiran, mereka akan terus mengalami perkembangan. Namun terkadang
kependudukan menjadi masalah nasional. Walaupun angka harapan hidup di negara maju
seperti Jepang cenderung tinggi, tetapi angka kelahiran yang rendah menjadi momok
permasalahan di negara ini sehingga di Jepang muncul sebuah fenomena yang disebut dengan
shoushika atau fenomena rendahnya angka kelahiran di masyarakat. Shoushika didefinisikan

7
sebagai situasi dimana jumlah kelahiran terus menerus dibawah tingkat yang dibutuhkan
untuk mempertahankan populasi. Shoushika adalah sebuah masalah besar mengenai krisis
demografi yang sedang dihadapi oleh masyarakat Jepang pada masa ini.
Fenomena Shoushika ini kemudian menjadi semakin marak semenjak semakin bertambahnya
wanita yang bekerja karena merasa sulit untuk mengatur jam kerja dan merawat anak-anak
mereka pada saat yang bersamaan yang berakibat pada penundaan untuk mempunyai anak
atau berkeluarga, hingga kemudian mengakibatkan penurunan pertumbuhan bayi di Jepang
dan akan berkurangnya generasi penerus yang tidak terlepas dari perubahan pandangan
wanita di Jepang tentang masalah pekerjaan yang berakibat pada wanita Jepang, yang
membuat budaya dan etnik menjadi tergerus dan dinilai bisa mengganggu ketentraman
masyarakat Jepang.
Perkembangan fenomena Shoushika cukup pesat hingga dampaknya yang cukup besar
terhadap keamanan non- tradisional bagi negara Jepang. Timbulnya masalah krisis demografi
yang terjadi di negara maju seperti Jepang juga dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab,
satu diantaranya adalah karena kebijakan pemerintah Jepang itu sendiri yang lebih
mengutamakan bidang perekonomian hingga kemudian membuat konstruksi sosial terhadap
rakyatnya terutama bagi para wanita untuk lebih dapat mengutamakan karir dibandingkan
dengan memiliki anak.
Ketidakseimbangan yang terjadi dalam kebijakan pemerintah Jepang terutama pada
masa kepemerintahan Shinzo Abe dalam sektor ekonomi dan demografi ini kemudian
menjadi suatu kajian yang menarik, ditambah jika melihat bagaimana dinamika masyarakat
Jepang yang bersifat homogen dan berintegritas tinggi yang kemudian harus dihadapkan
dengan datangnya pekerja dari luar negeri sebagai suatu akibat dari fenomena shoushika itu
sendiri.
Shoushika juga ditakutkan dapat berdampak pada kelangsungan hidup warisan tradisi dan
budaya masyarakat Jepang. Dari gaya hidup individualistik, hingga peran gender yang telah
berubah, membuat wanita-wanita di negara maju tidak tertarik untuk menjadi bagian dari
sebuah keluarga atau rumah tangga. Konsep keluarga tradisional dianggap kuno dan terlalu
menghabiskan banyak biaya. Sehingga wanita lebih memilih untuk membangun karir dan
men-support kebutuhan diri sendiri. Belum lagi harapan hidup yang tinggi membuat kalangan
individu muda harus menanggung kebutuhan orang tuanya yang telah lanjut usia
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa perubahan cara pandang generasi muda Jepang
terutama wanita dalam menilai sebuah pernikahan, keluarga, dan anak merupakan salah satu
faktor yang turut memengaruhi munculnya fenomena Shoushika di negara Jepang. Pengaruh
8
yang ditimbulkan Shoushika ini turut memengaruhi berbagai sektor seperti ekonomi, sosial,
pendidikan dan tentunya kepada masalah kependudukan.
Fenomena ini turut mengancam keberlangsungan hidup masyarakat jepang dimasa
yang akan datang. Penurunan populasi dan angka kelahiran anak-anak akan berdampak pada
generasi yang semakin menua. Dampak dari Shoushika ini telah menjadikan negara Jepang
kekurangan tenaga pekerja akibat dari minimnya usia produktif masyarakat Jepang itu
sendiri. Hal ini mendorong Jepang untuk mencari tenaga kerja dari luar negeri. Sebagai jalan
keluar untuk mengatasi kebutuhan tenaga kerja dalam negeri yang berkurang, pemerintah
Jepang akhirnya mempermudah visa untuk para pekerja asing, namun sebagian masyarakat
yang masih konservatif mengkhawatirkan kehidupan sosial masyarakat Jepang. Harapan
sebelumnya dari kebijakan ini adalah agar banyak pekerja asing yang dapat mengisi
kekosongan posisi di sektor pekerjaan di Jepang.

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Permasalahan demografi ini bukan lagi hanya permasalahan domestik suatu negara
saja, namun telah menjadi permasalahan dunia internasional. Perubahan demografi dapat
berupa pertumbuhan jumlah penduduk yang meningkat secara cepat (over population),
penurunan jumlah penduduk (declining population) maupun penuaan populasi (aging
population). Perubahan demografi ini pun dapat mempengaruhi berbagai sektor kehidupan
negara seperti dalam bidang ekonomi, sosial, pertahanan, keamanan, kesehatan, dan lain
sebagainya. Jepang telah mengalami periode yang panjang dalam penurunan angka kelahiran.
Maka dari itu Penurunan jumlah populasi anak-anak di Jepang merupakan sebuah tantangan
besar yang harus dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat Jepang. Menurunnya angka
kelahiran yang berarti populasi anak berkurang, dan jumlah lansia yang terus bertambah.
Sehingga menyebabkan semakin berkurangnya jumlah usia produktif di Jepang

3.2 Saran
Pemerintah Jepang pun sudah sangat menekan warganya agar masalah penurunan
tingkat kelahiran ini dapat ditanggulangi, namun banyak dari program dan strategi
pemerintah yang masih belum mendapatkan hasil signifikan karena minimnya tanggapan
positif dari masyarakat. Berbagai cara telah ditempuh oleh pemerintah Jepang sebagi usaha
dalam rangka meningkatkan jumlah kelahiran dan minat untuk memiliki keturunan.
Pemerintah Jepang memulainya dengan mencanangkan semboyan “umeyō, fuyaseyō” yang
bermakna mari meningkatkan kelahiran. Semboyan tersebut diharapkan dapat mengajak

10
masyarakat Jepang agar memiliki anak yang banyak dan dapat meningkatkan jumlah
kelahiran. Selain itu pemerintah Jepang juga telah menarik kembali kebijakan mengenai
aborsi. Pemerintah Jepang menarik lagi aturan kebebasan melakukan aborsi dengan
mengeluarkan larangan untuk melakukan tindakan aborsi kecuali untuk alasan kesehatan.
Pemerintah Jepang berjanji akan memfasilitasi bagi para ibu dan calon ibu yang belum siap
dan belum mau untuk memiliki anak untuk dapat memberikan tanggung bayinya kepada
Pemerintah Jepang untuk selanjutnya dirawat oleh dan dibesarkan oleh sebuah badan yang
diberikan wewenang oleh pemerintah Jepang.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2016. “Latar Belakang Masalah Penuruna Fertilitas di Jepang”,


http://repository.unsada.ac.id/810/2/BAB%20I.pdf, diakses pada 23 Desember 2022
pukul 09.17. Universitas Darma Persada.
Anonim. 2021. “Gambaran Umum Permasalahan Penduduk di Jepang”,
https://eprints.umm.ac.id/69184/3/BAB%20II.pdf, diakses pada 24 Desember 2022
pukul 18.52. Universitas Muhammadiyah Malang.
Anonim. 2016. “Dinamika Permasalahan Demografi di Jepang”,
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/25932/02%20BAB%20I.pdf?
sequence=5&isAllowed=y, diakses pada 24 Desember 2022 pukul 19.03. Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Harun, Yessy, Robihim, Uly Lulu Qur’ani. 2022. “Fenomena Baby Boom dan Dampaknya
pada Populasi Jepang Masa Kini”,
https://jurnal.uai.ac.id/index.php/SH/article/download/1054/pdf_1, diakses pada 24
Desember 19.49.
Br Karo, Mayang Terapulina, , Ihsan Hikmatullah, Maudyta Dwi Puteri, Qotrun Nada Aulia,
Nur Safa Shafira, 2021. “Fenomena Shoushika: Analisis Kebijakan Pemerintah
Jepang Pada Era Kepemimpinan Shinzo Abe”,
https://journal.unpas.ac.id/index.php/transborders/article/download/3939/1889/,
diakses pada 25 Desember 17.00.

11
12

Anda mungkin juga menyukai