Anda di halaman 1dari 48

PERKEMBANGAN KELUARGA BERENCANA (KB) DI

INDONESIA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengembangan Asuhan Kebidanan


Pada Keluarga Berencana

Dosen Pengampu : Dr.Wiyawan Permadi,dr.,SpOG(K)

Disusun Oleh :
Kelompok 1
1. Nur A H (131020180501) 7. Heti Mulyati (131020180507)
2. Hasni Rahmah (131020180502) 8. Sopiah (131020180508)
3. Nis’atul K (131020180503) 9. Verlina Maya G (131020180509)
4. Shandy K (131020180504) 10. Dessy MR (131020180510)
5. Oriza Sativa (131020180505) 11. Ima Rohmawati (131020180512)
6. Tiara Rica D (131020180506) 12. Juwita Desri A (131020180503)

PROGRAM STUDI MAGISTER KEBIDANAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PAJAJARAN
BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan berkah, rahmat serta
hidayah-Nya sehingga makalah dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktu
yang telah ditentukan. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat, dan orang-orang di jalannya.
Makalah yang berjudul “Perkembangan Keluarga Berencana (KB) Di
Indonesia” ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pengembangan Asuhan
Kebidanan Pada Kehamilan di Program Studi Magister Kebidanan Fakultas
Kedokteran Universitas Pajajaran Bandung.
Penyusunan makalah ini masih kurang sempurna, untuk itu sangat diharapkan
kritik ataupun saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Bandung, 05 Oktober 2019

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1

A. Latar Belakang............................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah........................................................................................ 3

C. Tujuan Penulisan ......................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN TEORI......................................................................... 5


A. Sejarah Perkembangan Keluarga Berencana (KB) Di Indonesia................ 5
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Keluarga Berencana
(KB) Di Indonesia........................................................................................ 7
C. Organisasi-Organisasi Keluarga Berencana (KB) Di Indonesia.................. 13
D. Kondisi Program Keluarga Berencana (KB)Terkini.................................... 18
E. Masalah Keluarga Berencana (KB) Di Indonesia........................................ 20

F. Kampung Keluarga Berencana (KB)........................................................... 34


G. Kajian Jurnal................................................................................................ 37

BAB III PENUTUP......................................................................................... 41


A. Simpulan ..................................................................................................... 41
B. Saran............................................................................................................ 41
31

ii
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk terbanyak di dunia.
Ledakan penduduk ini terjadi karena laju pertumbuhan penduduk yang sangat
tinggi. Kondisi ini jelas menimbulkan dua sisi yang berbeda. Disatu sisi kondisi
tersebut bisa menjadi salah satu kekuatan yang besar untuk Indonesia. Tetapi di
satu sisi kondisi tersebut menyebabkan beban negara menjadi semakin besar.
Selain menjadi beban negara juga menimbulkan permasalahan lain. Banyaknya
jumlah penduduk yang tidak disertai dengan ketersediaan lapangan pekerjaan yang
mampu menampung seluruh angkatan kerja bisa menimbulkan pengangguran,
kriminalitas, yang bersinggungan pula dengan rusaknya moralitas masyarakat.1
Karena berhubungan dengan tinggi rendahnya beban negara untuk memberikan
penghidupan yang layak kepada setiap warga negaranya, maka pemerintah
memberikan serangkaian usaha untuk menekan laju pertumbuhan penduduk agar
tidak terjadi ledakan penduduk yang lebih besar. Salah satu cara yang dilakukan
oleh pemerintah adalah dengan menggalakkan program KB (Keluarga Berencana).
Program KB pertama kali dilaksanakan pada masa pemerintahan Soeharto yaitu
saat Orde Baru. Melalui KB masyarakat diharuskan untuk membatasi jumlah
kelahiran anak, yaitu setiap keluarga memiliki maksimal dua anak. Tidak
tanggung-tanggung, KB diberlakukan kepada seluruh lapisan masyarakat, dari
lapisan bawah hingga lapisan atas dalam masyarakat. Oleh sebab itu makalah ini
disusun untuk mengetahui seluk beluk mengenai penyelenggaraan KB di
Indonesia, mulai dari sejarah, proses pelaksanaan, kelebihan dan kekurangan dari
KB, serta dampak positif maupun dampak negatf dari pelaksanaan KB.1
Gerakan Keluarga Berencana (KB) yang kita kenal sekarang ini diperoleh oleh
beberapa tokoh, baik dalam negeri maupun luar negeri. Pada awal abad ke-19 Di

1
Inggris upaya KB mula-mula timbul atas prakarsa sekelompok orang yang
menaruh perhatian pada masalah kesehatan ibu.2
Di Indonesia keluarga berencana modern mulai dikenal pada tahun 1953. Pada
waktu itu sekelompok ahli kesehatan, kebidanan dan tokoh masyarakat telah mulai
membantu masyarakat. Pada tanggal 23 Desember 1957 mereka mendiri¬kan
wadah dengan nama perkumpulan keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan
bergerak secara silent operation membantu masyarakat yang memerlu¬kan
bantuan secara sukarela, jadi di Indonesia PKBI adalah pelopor pergerakan
keluarga Berencana nasional yang diketuai oleh dr. R. Soeharto.3
Di Indonesia juga ada program untuk menekan laju pertumbuhan penduduk
yaitu Program Keluarga Berencana yang dilaksanakan sejak tahun 1970 sukses
berjalan. dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia No.8
Tahun 1970, maka dibentuklah Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
yang disingkat BKKBN. Program keluarga Berencana salah satunya pencegahan
masalah kependudukan, yang merupakan bagian yang terpadu untuk mencapai
program pembangunan nasional dan bertujuan untuk turut serta menciptakan
kesejahteraan ekonomi, spiritual, sosial dan budaya. Keluraga berencana pada
hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan kepedulian dan peran serta masyarakat
melalui Pendewasaan usia perkawinan,pengaturan kelahiran dan pembinaan
ketahanan keluarga yang akan memberikan kontribusi meningkatnya kesejahteraan
keluarga dalam rangka mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera.4
Permasalahan yang sering terjadi di masyarakat adalah pasangan suami istri
yang kurang memiliki program atau perencanaan dalam berkeluarga, kapan
memiliki anak, berapa jumlah anak yang diinginkan tentunya yang sesuai dengan
kemampuan. Karena kurangnya perencanaan ini sehingga banyak keluarga yang
akhirnya memiliki anak banyak, padahal jika dilihat dari kondisi ekonomi mereka
kekurangan. Akibat dari permasalahan ini adalah anak menjadi terlantar dan tidak
terurus, kurang mendapat perhatian dari orang tua, pendidikan anak tidak
diperhatikan.

2
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi jumlah
penduduk maka dicanangkannya Keluarga Berencana (KB). Dalam Keluarga
Berencana diidealkan sebuah keluarga hanya terdiri dari orang tua dan dua anak.
Dengan hanya memiliki dua anak saja, diharapkan beban keluarga berkurang,
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. Orang tua dapat
menyekolahkan anak-anaknya, dapat memenuhi semua kebutuhan anak-anak dan
sebagianya.2
Tujuan gerakan KB Nasional adalah mewujudkan keluarga kecil sejahtera yang
menjadi dasar terwujudnya masyarakat sejahtera melalui pengendalian kelahiran
dan pertumbuhan penduduk Indonesia Setelah menyadari betapa pentingnya
mengetahui perkembangan KB Di Indonesia. Maka dalam makalah ini akan
difokuskan membahas tentang Perkembangan KB Di Indonesia.5
Dasar pemikiran lahirnya KB di Indonesia adalah adanya permasalahan
kependudukan. Aspek-aspek yang penting dalam kependudukan adalah: jumlah
besarnya penduduk, jumlah pertumbuhan penduduk, jumlah kematian penduduk,
jumlah kelahiran penduduk, jumlah perpindahan penduduk.1
Dengan demikian, perlu pemahaman yang baik mengenai Perkembangan KB di
Indonesia sampai saat ini. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menyusun
makalah mengenai perkembangan KB di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah keluarga berencana (KB) di Indonesia?
2. Apa saja yang termasuk dalam faktor-fakor yang mempengaruhi perkembangan
keluarga berencana (KB) di Indonesia ?
3. Apa saja yang termasuk dalam organisasi keluarga berencana (KB) di
Indonesia ?
4. Bagaimana kondisi terkini mengenai program keluarga berenca (KB)?
5. Apa saja yang termasuk dalam permasalahan keluarga berencana (KB) di
Indonesia?

3
6. Apa yang dimaksud dengan kampung keluarga berencana (KB)?
7. Bagaimana kajian jurnal terkait perkembangan keluarga berencana (KB) ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui mengenai sejarah perkembangan keluarga berencana (KB) di
Indonesia.
2. Untuk mengetahui dan menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan keluarga berencana (KB) di Indonesia.
3. Untuk mengetahui organisasi-organisasi keluarga berencana (KB) di Indonesia.
4. Untuk mengetahui dan menganalisa kondisi terkini mengenai program keluarga
berencana (KB).
5. Untuk mengetahui dan menganalisa masalah-masalah dalam keluarga
berencana (KB) di Indonesia.
6. Untuk mengetahui dan menganalisa tentang program kampung keluarga
berencana (KB).
7. Untuk mengkaji dan menganalisa jurnal terkait perekembangan keluarga
berencana (KB).

4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Sejarah Perkembangan Keluarga Berencana (KB) Di Indonesia


Di Indonesia keluarga berencana modern mulai dikenal pada tahun 1953. Pada
waktu itu sekelompok ahli kesehatan, kebidanan dan tokoh masyarakat telah mulai
membantu masyarakat.
Pada tanggal 23 Desember 1957 mereka mendirikan wadah dengan nama
perkumpulan keluarga Berencana Indonesia (PKBI ) dan bergerak secara silent
operation membantu masyarakat yang memerlukan bantuan secara sukarela, jadi di
Indonesia PKBI adalah pelopor pergerakan keluarga Berencana nasional.
Untuk menunjang dalam rangka mencapai tujuan, berdasarkan hasil
penandatanganan Deklarasi Kependudukan PBB 1967 oleh beberapa Kepala
Negara Indonesia, maka dibentuklah suatu lembaga program keluarga Berencana
dan dimasukkan dalam program pemerintah sejak pelita 1 (1969) berdasar
instruksi presiden nomor 26 tahun 1968 yang dinamai Lembaga Keluarga
Berencana Nasional (LKBN ) sebagai lembaga semi pemerintah.
Pada tahun 1970 ditingkatkan menjadi Badan pemerintah melalui Keppres No.
8 tahun 1970 dan diberi nama Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) yang bertanggung jawab kepada presiden dan bertugas
mengkoordinasikan perencanaan, pengawasan dan penilaian pelaksanaan program
keluarga Berencana.
Melalui Keppres no. 33 tahun 1972 dilakukan penyempurnaan struktur
organisasi, tugas pokok dan tata kerja BKKBN. Dengan Keppres no 38 tahun 1978
organisasi dan struktur BKKBN disempurnakan lagi, dimana fungsinya diperluas
tidak hanya masalah KB tetapi juga kegiatan-kegiatan lain, yaitu kependudukan
yang mendukung KB (beyond family planning). Sesuai dengan perkembangan
program pembangunan nasional, ditetapkan adanya Menteri Negara Kepen-
dudukan dan Lingkungan Hidup (KLH ) dengan Keppres no 25 tahun 1983 yang

5
bergerak langsung dalam bidang kependudukan, maka dilakukan lagi
penyempurnaan organisasi BKKBN dengan keppres no 64 tahun 1983 dengan
tugas pokok adalah menyiapkan kebijaksanaan umum dan mengkoordinasikan
penyelenggaraan program secara menyeluruh dan terpadu.
1. Peristiwa Bersejarah Dalam Perkembangan KB Di Indonesia
a. Pada bulan Januari 1967 di adakan symposium kontrasepsi di Bandung yang
diikuti oleh masyarakat luas melalui media masa
b. Pada bulan Februari 1967 diadakan kongres PKBI pertama yang
mengharapka agar KB sebagai program pemerintah segera dilaksanakan
c. Pada bulan April 1967 Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin menganggap
bahwa sudah waktunya kegiatan KB dilancarkan secara resmi di Jakarta
dengan menyelenggarakan proyek KB DKI Jakarta Raya
d. Tanggal 16 agustus 1967 gerakan KB di Indonesia memasuki era peralihan
pidato pemimpin Negara selama orde lama. Organisasi pegerakan dilakukan
oleh tenaga suka rela dan beroperasi secara diam- diam karena kepala
Negara waktu itu anti terhadap KB , maka dalam orde baru gerakan KB di
akui dan di masukan dalam program pemeritah
e. Bulan Oktober 1968 berdiri lembaga KB nasional ( LKBN ) yang sifatnya
semi pemerintah yang dalam tugasnya di awasi dan di bombing oleh mentri
Negara kesejahteraan rakyat, merupakan kristalisasi dan kesungguhan
pemerintah dalam kebijakan KB. Peristiwa peristiwa bersejarah didalam
perkembangan di Negara Indonesia adalah masuknya program KB itu
kedalam repelita I. adanya KUHP pasal 283 yang melarang
menyebarluaskan gagasan KB sehingga kegiatan penerangan dan pelayanan
masih dilakukan secara terbatas.

2. Tahap –Tahap Program KB Nasional


Adapun tahap kebijakan pemerintah dalam penyelenggarakan program KB
Nasional di Indonesia adalah :

6
a. Tahun 1970 – 1980 di kenal dengan Manajement For The
1. Pemerintah lebih banyak berinisiatif
2. Partisipasi masyarakat rendah sekali
3. Terkesan kurang demokratif
4. Ada unsur pemaksaan
5. Berorientasi pada target
b. Tahun 1980 – 1990 terjadi perubahan pada Management With The People
1. Pemaksaan di kurangi
2. Di mulainya program safari pada awal 1980 an
c. Tahun 1985 – 1988 pemerintah menetapkan program KB Lingkaran Biru,
dengan kebijakan:
1. Masyarakat bebas memilih kontrasepsi yang akan dipakainya meskipun
masih tetap dipilhkan jenis kontrasepsi
2. Dari 5 jenis kontrasepsi di pilihkan salah satu dari jenisnya
d. Tahun 1988 terjadi perkembangan kebijakan, pemerintah menerapkan
program Kb Lingkar Emas yaitu:
1. Pilih alat kontrasepsi sepenuhnya diserahkan pada peserta, asal jenis
kontrasepsi sudah terdapat di departemen kesehatan.
2. Masyarakat sudah mulai membayar sendiri untuk alat kontrasepsinya
e. Tahun 1998 terjadi peningkatan kesejahteraan keluarga melalui peningkatan
pendapatan kelurga ( Income Generating ) pada tanggal 29 juni 1994
presiden Suharto di sidoarjho melaksanakan plesterisasi / lantainisasi rumah-
rumah secara gotong royong untuk keluarga presejahteraan.6

B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Keluarga Berencana


(KB) Di Indonesia
Program KB sejak tahun 1970-an telah menekan angka kelahiran per wanita
usia subur (Total Fertility Rate/ TFR) sebesar 50 % dari sekitar 5,6 anak menjadi
sekitar 2,2 anak per wanita usia subur saat ini. Selain itu program KB juga

7
berperan besar untuk mencapai pengurangan AKI melalui perencanaan keluarga
dengan mengatur kehamilan yang aman, sehat dan diinginkan.7
Keterkaitan manfaat KB dengan penurunan AKI melahirkan seringkali tidak
dirasakan. Salah satu penyebab kematian ibu antara lain karena masih rendahnya
pemahaman tentang KB dan kesehatan reproduksi. Rendahnya akses terhadap
pelayanan KB juga akan meningkatkan AKI. Banyak Pasangan Usia Subur (PUS)
tidak mendapat pelayanan KB (unmet need), padahal hal itu berisiko
meningkatkan jumlah kematian ibu karena aborsi yang tidak aman.
1. Kesiapan Layanan
Sesuai dengan UU RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada pasal
78 disebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab dan menjamin
ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat dalam memberikan
pelayanan keluarga berencana yang aman bermutu dan terjangkau oleh
masyarakat.7
a. Alat Dan Obat Kontrasepsi (Alokon)
Pada saat ini Pemerintah menyediakan secara gratis tiga jenis alokon di
seluruh wilayah Indonesia, yaitu kondom, Alat Kontrasepsi Dalam Rahim
(AKDR), dan susuk KB. Terdapat 7 provinsi yang menyediakan alokon
lainnya juga secara gratis, yaitu Aceh, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Di provinsi lain,
selain kondom, AKDR, dan susuk KB, jenis alokon lainnya hanya tersedia
secara gratis bagi masyarakat miskin (Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga
Sejahtera 1). Dengan demikian memang ada sebagian masyarakat yang harus
membayar sendiri penggunaan alokon yang dibutuhkannya.
b. Fasilitas Kesehatan
Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan dasar diharapkan
memberikan kontribusi terbesar dalam memberikan pelayanan KB di
masyarakat. Namun sejak tahun 1997 telah terjadi pergeseran pemanfaatan
fasilitas pelayanan kontrasepsi oleh peserta KB dari pelayanan pemerintah

8
ke pelayanan swasta, seperti ditunjukkan dalam hasil SDKI tahun 1997,
2003 dan 2007. Kecenderungan pemanfaatan fasilitas pelayanan swasta
untuk pelayanan kontrasepsi meningkat secara konsisten dari 42% menjadi
63% dan kemudian 69%, sedangkan di fasilitas pelayanan pemerintah
menurun dari 43%, menjadi 28% dan kemudian 22%.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan tempat
terbanyak masyarakat mendapatkan pelayanan KB di sektor swasta adalah
Bidan Praktek Mandiri, yaitu 52,5%. Fasilitas pelayanan pemerintah seperti
rumah sakit, puskesmas, pustu dan poskesdes atau polindes digunakan oleh
sekitar 23,9% peserta KB.
Hasil Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) 2011, kegiatan pelayanan
KIA/KB telah dilaksanakan di 97,5% puskesmas. Pelayanan KIA dan KB
termasuk 6 (enam) pelayanan wajib puskesmas, maka seharusnya setiap
puskesmas menyediakan layanan tersebut. Namun, masih ada puskesmas
yang belum memberikan pelayanan KIA dan KB, seperti di Provinsi Papua
terdapat 18,4% puskesmas yang belum memberikan layanan KIA dan KB,
Papua Barat 5,8%, dan Maluku 3,1%.
Didapatkan pula bahwa sebanyak 32,6% puskesmas memiliki ruangan
poliklinik khusus KB. Persentase puskesmas yang memiliki poliklinik
khusus KB terbesar terdapat di DKI Jakarta (66,4%) dan terendah di
Provinsi Sulawesi Tenggara (12,9%). Di daerah perkotaan sekitar 43,2%
puskesmas memiliki poliklinik khusus KB sementara di daerah perdesaan
sekitar 29%.
Meskipun 97,5% puskesmas telah melaksanakan pelayanan KIA/KB,
namun puskesmas yang petugasnya telah mendapat pelatihan KB baru 58%
dan hanya terdapat 32,2% puskesmas yang memiliki kecukupan sumber
daya dalam program KB. Kecukupan sumber daya tersebut meliputi
kompetensi pelayanan, ketersediaan petugas di puskesmas, ketersediaan
pedoman dan Standar Prosedur Operasional (SPO), dan bimbingan teknis.

9
2. Kualitas Layanan
a. Pemilihan Metode
Penggunaan Non-MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka Panjang) dan
MKJP setiap tahun semakin tinggi, atau pemakaian kontrasepsi non-MKJP
lebih besar dibandingkan dengan pemakaian kontrasepsi MKJP. Padahal
Couple Years Protection (CYP) Non-MKJP yang berkisar 1-3 bulan
memberi peluang besar untuk putus penggunaan kontrasepsi (20-40%).
Sementara itu CYP dari MKJP yang berkisar 3-5 tahun memberi peluang
untuk kelangsungan yang tinggi, namun pengguna metode ini jumlahnya
kurang banyak. Hal ini mungkin disebabkan karena penggunaan metode ini
membutuhkan tindakan dan keterampilan profesional tenaga kesehatan yang
lebih kompleks.
b. Kepuasan Penggunaan KB
Salah satu yang mempengaruhi kepuasan dalam menggunakan alat/cara
KB adalah masalah/efek samping yang timbul. Masalah yang timbul dalam
pemakaian alat/cara KB menurut metode yang dipakai. Diantaranya: berat
badan naik, berat badan turun, perdarahab, hipertensi, pusing kepala, mual,
tidak haid dan lainnya. IUD, yang merupakan salah satu metode MKJP,
paling sedikit menimbulkan keluhan dibandingkan pil, suntikan dan susuk
KB.

3. Dampak
a. Pengetahuan Pengguna KB
Metode KB dapat dibedakan menjadi KB cara modern dan cara
tradisional. Metode KB cara modern adalah sterilisasi, pil, IUD, suntik,
susuk KB, kondom, intravagina/diafragma, kontrasepsi darurat dan Metode
Amenorea Laktasi (MAL). Sedangkan cara tradisional misalnya pantang
berkala dan senggama terputus.

10
Suntik dan pil adalah cara KB modern yang paling diketahui oleh
masyarakat di semua golongan usia, termasuk pada usia risiko tinggi di atas
35 tahun. Kedua jenis kontrasepsi tersebut dinilai kurang efektif untuk
mencegah kehamilan. Jenis kontrasepsi yang efektif untuk mencegah
kehamilan bagi wanita risiko tinggi adalah MKJP seperti IUD, sterilisasi
wanita dan sterilisasi pria.
Berdasarkan jenis tempat tinggal, pengetahuan mengenai sterilisasi, IUD,
kondom, diafragma, kontrasepsi darurat dan MAL di perkotaan cenderung
lebih tinggi, sedangkan pil, suntik dan implan di perkotaan juga lebih tinggi
namun tidak jauh berbeda dengan perdesaan.
Pada setiap tingkatan pendidikan, baik yang tidak sekolah, tidak tamat
SD, tamat SD, tidak tamat SMA, maupun tamat SMA, metode yang paling
diketahui adalah suntik dan pil. Sedangkan yang kurang diketahui, di setiap
tingkat pendidikan juga hampir sama, yaitu MAL, kontrasepsi darurat, dan
diafragma.
b. Total Fertility Rate (TFR)
CPR terus meningkat dari kurun waktu tahun 1991-2012, namun angka
TFR pada periode tahun yang sama hanya mengalami sedikit penurunan
yaitu 3 pada tahun 1991 dan hanya menurun menjadi 2,6 pada tahun 2012.
c. Age Specific Fertility Rate
ASFR untuk usia 15-19 tahun menggambarkan banyaknya kehamilan
pada remaja usia 15-19 tahun. Hasil SDKI 2012, ASFR untuk usia 15-19
tahun adalah 48 per 1.000 perempuan usia 15-19 tahun sedangkan target
yang diharapkan pada tahun 2015 adalah 30 per 1.000 perempuan usia 15-19
tahun.
d. Drop-Out (DO) rate KB
Angka ketidaklangsungan (drop-out) metode non-MKJP (pil dan
suntikan) lebih tinggi dibandingkan metode MKJP (implant dan IUD) .

11
e. Contraceptive Prevalence Rate (CPR)
Angka Kesertaan ber-KB (CPR) peningkatannya sangat kecil, hanya
0,5% dalam 5 tahun terakhir, baik pada semua cara KB maupun pada cara
modern. Target RPJMN 2014 untuk cara modern sebesar 60,1% dan MDG
2015 sebesar 65%, namun capaian tahun 2012 baru sebesar 57,9%.
f. Unmet Need
Kelompok orang yang membutuhkan pelayanan KB tapi tidak
mendapatkannya (unmet need) angkanya masih tinggi.

4. Tatalaksana Masalah Kualitas Dan Akses Pelayanan Terhadap Metode


Yang Dipilih Dan Digunakan.
Dalam penyediaan metode kontrasepsi termasuk kriteria pemberian layanan,
terdapat banyak sekali pertimbangan yang relevan secara universal dalam
memulai dan menindaklanjuti penggunaan semua metode kontrasepsi:8
a. Klien sebaiknya diberikan informasi untuk membantu dalam memilih
metode kontrasepsi dengan sukarela dan penuh pemahaman. Informasi yang
perlu disampaikan untuk setiap metode kontrasepsi:
1. Efektivitas relatif
2. Cara penggunaan
3. Mekanisme kerja
4. Efek samping
5. Keuntungan dan risiko medis
6. Tanda dan gejala
7. Kembali subur setelah penghentian
8. Perlindungan dari IMS
b. Informasi harus diberikan dengan bahasa dan format yang mudah dipahami
dan diakses oleh klien.
c. Wanita yang sering melakukan kesalahan ataupun ingin mencegah terjadinya
kesalahan saat penggunaan kontrasepsi secara mandiri (contoh pil

12
kontrasepsi, kontrasepsi hormonal kombinasi transdermal, cincin vagina
kontrasepsi kombinasi atau kontrasepsi penghalang) sebaiknya diberikan
konseling mengenai metode kontrasepsi lain yang lebih efektif dan
penggunaannya tidak secara mandiri (contoh sterilisasi, alat kontrasepsi
dalam Rahim (AKDR), implan atau kontrasepsi suntik).
d. Ketersediaan tenaga kesehatan yang terampil dan fasilitas yang memadai
serta prosedur pencegahan infeksi yang tepat penting sekali untuk
pelaksanaan kontrasepsi dengan metode operasi, insersi, pemasangan dan
pelepasan (contoh sterilisasi, implan, AKDR, diafragma, tudung serviks).
e. Ketersediaan alat yang tepat dan memadai perlu dijaga (contoh komoditas
kontrasepsi dan penyediaan alat untuk pencegahan infeksi).
f. Penyedia layanan kesehatan perlu dibekali dengan pedoman, kartu pasien
dan atau alat skrining yang diperlukan.

C. Organisasi-Organisasi Keluarga Berencana (KB) Di Indonesia


1. PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia)
Terbentuk tanggal 23 Desember 1957, di jalan Sam Ratulangi No. 29
Jakarta. Atas prakarsa dari dr. Soeharto yang didukung oleh Prof. Sarwono
Prawirohardjo, dr. H.M. Judono, dr. Hanifa Wiknjosastro serta Dr. Hurustiati
Subandrio.9
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) merupakan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang mempelopori gerakan Keluarga Berencana di
Indonesia. Lahirnya PKBI dilatarbelakangi oleh keprihatinan para pendiri
PKBI, yang terdiri dari sekelompok tokoh masyarakat dan ahli kesehatan
terhadap berbagai masalah kependudukan dan tingginya angka kematian ibu di
Indonesia.9
Pelayanan yang diberikan berupa nasehat perkawinan termasuk pemeriksaan
kesehatan calon suami isteri, pemeriksaan dan pengobatan kemandulan dalam
perkawinan dan pengaturan kehamilan.

13
a. Visi PKBI
Pusat Unggulan (Center of Excellence) Pengembangan Program dan
Advokasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi yang mandiri pada tahun
2020.9
b. Misi PKBI
1. Mengembangkan pusat informasi, edukasi dan konseling serta
pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi ditekankan pada  pelayanan
Keluarga Berencana  yang berkualitas, berbasis hak dan berperspektif
jender, melalui peningkatan peran PKBI yang profesional, kredibel, 
mandiri dan berkelanjutan.
2. Memberdayakan masyarakat, agar mampu mengambil keputusan terbaik
bagi dirinya dan berperilaku bertanggungjawab dalam hal Kesehatan
Seksual dan Reproduksi.
3. Mempengaruhi para pengambil kebijakan untuk memberikan dukungan
dan komitmen atas terjaminnya pemenuhan hak-hak seksual dan
reproduksi.9

2. BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional)


Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 1970 tentang pembentukan badan untuk
mengelola program KB yang telah dicanangkan sebagai program nasional.
Penanggung jawab umum penyelenggaraan program ada pada presiden dan
dilakukan sehari-hari oleh Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat yang dibantu
Dewan Pembimbing Keluarga Berencana.
a. Dasar Pertimbangan Pembentukan BBKBN
1. Program keluarga berencana nasional perlu ditingkatkan dengan jalan
lebih memanfaatkan dan memperluas kemampuan fasilitas dan sumber
yang tersedia.
2. Program perlu digiatkan pula dengan pengikut sertaan baik masyarakat
maupun pemerintah secara maksimal.

14
3. Program keluarga berencana ini perlu diselenggarakan secara teratur dan
terencana kearah terwujudnya tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
b. Tugas Pokok BBKBN
Melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengendalian penduduk dan
penyelenggaraan keluarga berencana.10

3. Perkembangan BBKBN dimasa sekarang


a. Visi
Menjadi lembaga yang handal dan dipercaya dalam mewujudkan
penduduk tumbuh seimbang dan keluarga berkualitas.10
b. Misi
1. Mengarus-utamakan pembangunan berwawasan Kependudukan.
2. Menyelenggarakan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi.
3. Memfasilitasi Pembangunan Keluarga.
4. Mengembangkan jejaring kemitraan dalam pengelolaan Kependudukan,
5. Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga.
6. Membangun dan menerapkan budaya kerja organisasi secara
konsisten.10
c. Fungsi BKKBN
1. Perumusan kebijakan nasional, pemaduan dan sinkronisasi kebijakan di
bidang KKB;
2. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang KKB;
3. Pelaksanaan advokasi dan koordinasi di bidang pengendalian penduduk
dan KB;
4. Penyelenggaraan komunikasi, informasi dan edukasi di bidang KKB;
5. Penetapan perkiraaan pengendalian penduduk secara nasional;
6. Penyusunan desain Program KKBPK;
7. Pengelolaan tenaga penyuluh KB/petugas lapangan KB (PKB/PLKB);

15
8. Pengelolaan dan penyediaan alat dan obat kontrasepsi untuk kebutuhan
Pasangan Usia Subur (PUS) nasional;
9. Pengelolaan dan pengendalian sistem informasi keluarga
10. Pemberdayaan dan peningkatan peran serta organisasi kemasyarakatan
tingkatnasional dalam pengendalian pelayanan dan pembinaan kesertaan
ber-KB dan Kesehatan Reproduksi (KR);
11. Pengembangan desain program pembangunan keluarga melalui
pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga;
12. Pemberdayaan dan peningkatan peran serta organisasi kemasyarakatan
tingkat nasional dalam pembangunan keluarga melalui ketahanan dan
kesejahteraan keluarga;
13. Standardisasi pelayanan KB dan sertifikasi tenaga penyuluh KB/petugas
lapangan KB (PKB/PLKB);
14. Penyelenggaraan pemantauan dan evaluasi di bidang pengendalian
penduduk dankeluarga berencana; dan
15. Pembinaan, pembimbingan dan fasilitas di bidang KKB.

Selain menyelenggarakan fungsi tersebut, BKKBN juga


menyelenggarakan fungsi:
1. Penyelenggaraan pelatihan, penelitian dan pengembangan di bidang
KKB;
2. Pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas administrasi umum di
lingkunganBKKBN;
3. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung
jawab BKKBN;
4. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BKKBN; dan
5. Penyampaian laporan, saran dan pertimbangan di bidang KKB.10

d. Landasan Hukum

16
Presiden Republik Indonesia. Peraturan Presiden RI No. 62 Tahun 2010
tentang Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.11
e. Filosofi BBKBN
Menggerakkan peran serta masyarakat dalam keluarga berencana.
f. Grand Strategi
1. Menggerakkan dan memberdayakan seluruh masyarakat dalam program
KB.
2. Menata kembali pengelolaan program KB.
3. Memperkuat SDM operasional program KB.
4. Meningkatkan ketahanan dan kesejahteraan keluarga melalui pelayanan
KB.
5. Meningkatkan pembiayaan program KB.

Nilai-nilai yang terkandung dalam grand strategi adalah integritas, energik,


profesional kompeten, partisipatif, konsisten, organisasi pembelajaran, kreatif/
inovatif.
Kebijakan dari adanya grand strategi adalah pndekatan pemberdayaan,
pendekatan desentralisasi, pendekatan kemitraan, pendekatan kemandirian,
pendekatan segmentasi sasaran, pendekatan pemenuhan hak (rightbased),
pendekatan lintas sektor.
a. Strategi
1. Re-Establishment adalah mmbangun kembali sendi-sendi pogram KB
nasional sampai ke tingkat lini lapanngan pasca penyerahan
kewenangan.
2. Sustainability adalah memantapkan komitmen program dan
kesinambungan dukungan oleh segenap stakeholders dari tingkat pusat
sampai dengan tingkat daerah.

b. Tujuan

17
1. Keluarga dengan anak ideal.
2. Keluarga sehat.
3. Keluarga berpendidikan.
4. Keluarga sejahtera.
5. Keluarga berketahanan.
6. Keluarga yang terpenuhi hak-hak reproduksinya.
7. Penduduk tumbuh seimbang (PTS )

D. Kondisi Program Keluarga Berencana (KB) Terkini


1. Isu-Isu Terkait Dengan Sumber Daya Manusia Dalam Program Keluarga
Berencana
Kajian yang dilakukan oleh UNFPA pada tahun 2012 (UNFPA, 2012)
menunjukkan banyak tantangan yang dihadapi pemerintah kabupaten/kota
dalam melaksanakan program keluarga berencana. Tantangan-tantangan
tersebut meliputi tidak tersedianya para petugas lapangan keluarga berencana
(PLKB/PKB), kurangnya kapasitas pengelola program, dan terbatasnya
pendanaan untuk program keluarga berencana. Rendahnya kapasitas pengelola
program keluarga berencana di tingkat kabupaten/kota telah diidentifikasi
sebagai tantangan utama, bahkan untuk kabupaten/kota yang memiliki Badan
Kependudukan Keluarga Berencana Daerah yang berfungsi penuh dan
independen. Disamping itu, masalah penting lain yang dihadapi oleh
kabuipaten/kota adalah ketersediaan PLKB/PKB. Seorang PLKB/PKB sedianya
bertanggung jawab untuk mengelola sebanyak-banyaknya 2 desa. Namun, saat
ini perbandingan PLKB/PKB dengan jumlah desa yang ditanganinya sangat
bervariasi dengan rasio yang sangat rendah di sebagian besar kabupaten/kota,
terutama di wilayah timur Indonesia, dimana rata-rata 1 orang PLKB/PKB
melayani 3,6 desa.11
Kemampuan dan kapasitas Organisasi Perangkat Daerah KB (OPD KB)
untuk memberikan advokasi kepada para pembuat keputusan anggaran di

18
kabupaten/kota, seperti Walikota/Bupati, Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah (Bappeda), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga masih
terbatas, sebagaimana dilaporkan dalam hasil kajian. Tingginya pergantian staf
dan perpindahan posisi kerja ke tempat yang berbeda, latar belakang pendidikan
yang tidak sesuai, dan kurangnya pengalaman kerja dalam program keluarga
berencana merupakan sebagian dari temuan-temuan utama yang berulang kali
ditemukan di banyak kabupaten/kota.11
Hal ini berkontribusi pada rendahnya alokasi dana untuk program keluarga
berencana. Isu penting lainnya adalah ketersediaan petugas kesehatan seperti
bidan di lapangan. Bidan adalah penyedia pelayanan keluarga berencana utama
di Indonesia. Meskipun jumlah dan distribusi bidan dilaporkan lebih baik
dibandingkan dengan dengan petugas kesehatan lainnya seperti dokter umum
dan dokter spesialis, namun distribusi bidan juga masih tidak merata dan
terkonsentrasi di kota-kota besar. Rasio petugas kesehatan menurut jumlah
penduduk dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini :

Tabel 1. Rasio Petugas Kesehatan Menurut Jumlah Penduduk

E. Masalah Keluarga Berencana (KB) Di Indonesia


1. Analisis Situasi Pelayanan Keluarga Berencana (KB)

19
Teori yang dikembangkan oleh Philips dan Morrison (1998)
menggambarkan bahwa beberapa faktor yang memengaruhi pemanfaatan
pelayanan kesehatan, yaitu : (1) faktor lingkungan yang secara rinci melihat
hubungan antara sistem layanan kesehatan dengan lingkungan luarnya, dan (2)
karakteristik populasi yang mencakup karakteristik pendukung (predisposing
factors), faktor pemungkin (enabling factors) dan faktor kebutuhan (needs).12

Kedua faktor tersebut akan mempengaruhi pola perilaku kesehatan yang terdiri
dari pilihan kesehatan perorangan dan penggunaan pelayanan kesehatan. Ketiga
kelompok variabel yang saling berhubungan tersebut pada gilirannya akan
memberi dampak pada derajat kesehatan, yang digambarkan antara lain dengan
tingkat morbiditas dan mortalitas.12
Pada analisis situasi Pelayanan KB berikut ini yang akan dikaji sebagai
indikator dampak adalah AKI dan TFR. Indikator lainnya adalah KTD dan ASFR
usia 15-19 tahun. Yang dimaksud dengan faktor lingkungan luar adalah
implementasi JKN, sistem perencanaan, pengadaan dan distribusi logistik, dan
sistem perencanaan dan pemberdayaan tenaga kesehatan; sedangkan yang
termasuk dalam faktor sistem pelayanan kesehatan adalah ketersediaan sumber
daya untuk Pelayanan KB, keterjangkauan Pelayanan KB dan kualitas Pelayanan
KB. Karakteristik pendukung yang akan dibahas meliputi jumlah, laju
pertumbuhan dan komposisi penduduk, pola pernikahan, dan penyebaran

20
penduduk. Pada faktor pemungkin akan dikaji tingkat pendidikan dan pengetahuan
dan kepercayaan (beliefs), sedangkan faktor kebutuhan adalah keinginan memiliki
anak dan jumlah anak ideal. Analisis tentang pilihan kesehatan perorangan akan
mencakup pernikahan dini, pemilihan jenis alokon, dan partisipasi pria; sedangkan
analisis tentang penggunaan pelayanan kesehatan akan mencakup unmet need,
kesertaan KB aktif dan disparitas antar wilayah.12

2. Dampak Program Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional


a. Angka Kematian Ibu
AKI merupakan salah satu indikator untuk menilai tidak saja derajat
kesehatan perempuan tetapi juga derajat kesejahteraan perempuan.
Tingginya AKI di Indonesia disebabkan oleh berbagai penyebab langsung
dan tidak langsung. Penyebab langsung yang utama adalah perdarahan,
hipertensi dalam kehamilan (HDK), dan infeksi. Kematian ibu tidak hanya
disebabkan secara langsung oleh komplikasi kehamilan dan persalinan,
tetapi juga oleh berbagai penyakit seperti tuberkulosis, anemia, malaria, dan
penyakit jantung. Kehamilan dan persalinan dapat memperberat penyakit-
penyakit ini dan sebaliknya penyakit-penyakit ini dapat meningkatkan risiko
terjadinya komplikasi kehamilan dan persalinan.12
b. Total Fertility Rate (TFR)
TFR adalah gambaran tentang rata-rata jumlah anak yang dilahirkan
seorang perempuan dari usia 15 sampai 49 tahun sampai masa akhir
reproduksinya. Perbandingan TFR antar daerah dapat menunjukkan
keberhasilan daerah dalam melaksanakan pembangunan sosial
ekonominya. TFR yang tinggi merupakan cerminan rata-rata usia kawin
yang rendah, tingkat pendidikan yang rendah (terutama pada perempuan),
tingkat sosial ekonomi rendah atau tingkat kemiskinan yang tinggi, selain
tentu saja menunjukkan tingkat keberhasilan Program KKB. 12

21
Gambar berikut ini memperlihatkan perbedaan TFR yang cukup tinggi
antar berbagai daerah di Indonesia. Beberapa provinsi telah mencapai TFR
antara 2,1-2,42; sementara beberapa provinsi lainnya masih mencapai
3,39-3,7. Wilayah Papua, Papua Barat dan beberapa wilayah di Sumawesi
Barat memiliki TFR >3,0. 12

Gambar 1. Kesenjangan TFR Antar Berbagai Wilayah di Indonesia

c. Kejadian Kehamilan Yang Tidak Diinginkan


KTD (unwanted pregnancy) adalah kehamilan yang dialami oleh
seorang perempuan yang sebenarnya belum atau sudah tidak menginginkan
hamil (BKKBN, 2007). Penyebab terjadinya KTD antara lain adalah
perkosaan, kurangnya pengetahuan tentang kontrasepsi, terlalu banyak anak,
alasan kesehatan janin, usia ibu terlalu muda atau belum siap menikah,
pasangan tidak siap menikah atau hubungan dengan pasangan yang belum
matang, dan masalah ekonomi (World Health Organization, 2000). Di
Indonesia kejadian KTD tergolong tinggi, data SDKI 2007 menunjukkan
kejadian KTD sebesar 17% diantara PUS. 12

22
KTD yang terjadi dengan “4 Terlalu” akan meningkatkan risiko
terjadinya komplikasi dan kematian pada ibu hamil, disamping dapat
menyebabkan terjadinya aborsi tidak aman yang berkontribusi dalam
meningkatnya AKI. KTD dan kehamilan tidak tepat waktu (mistimed
pregnancy) dapat dikategorikan sebagai unmet need. Studi tentang unmet
need yang dilakukan oleh Prihastutik (2004) pada wanita menikah usia 15-
49 tahun menemukan bahwa 50% wanita menikah di Indonesia berkeinginan
untuk tidak mempunyai anak lagi. Persentase wanita menikah yang
ber- keinginan untuk tidak mempunyai anak lagi, lebih tinggi didaerah
perdesaan (5%) dari- pada di perkotaan (2,1%). SDKI 2012 menemukan
bahwa di antara wanita yang berstatus menikah, sekitar 47% tidak
menginginkan anak lagi, bahkan 3% telah melakukan sterilisasi.12
d. Angka Kelahiran Pada Remaja
SDKI 2012 menunjukkan ASFR perempuan usia 15-19 tahun mencapai
48 per 1000 perempuan usia 15-19 tahun. Angka ini sedikit menurun
dibandingkan SDKI 2007 yaitu 51 per 1000 perempuan usia 15-19 tahun.
Persentase perempuan usia 15-19 tahun yang pernah melahirkan di pedesaan
(13,7%) lebih tinggi daripada di perkotaan (7,3%). Angka melahirkan pada
perempuan usia 15-19 tahun juga lebih tinggi pada mereka yang tidak
bersekolah (13,6%) dibandingkan dengan yang masih bersekolah di SMU
(3,8%).12
Masih tingginya ASFR perempuan usia 15-19 tahun mengindikasikan
masih tingginya pernikahan dini dan hubungan seks pranikah di kalangan
remaja. Hasil SDKI 2012 menunjukkan bahwa median umur kawin pertama
perempuan usia 25-49 tahun adalah 20,4 tahun dan median umur kawin
pertama perempuan usia 25-49 tahun yang pernah menikah adalah 20,1
tahun. Kehamilan yang terjadi pada usia di bawah 20 tahun memiliki risiko
kesehatan yang lebih tinggi baik bagi ibu maupun bayinya. Perempuan yang
hamil pada usia muda lebih berisiko untuk mengalami pendarahan ketika dia

23
menjalani proses persalinan dan juga lebih rentan melahirkan bayi dengan
berat badan lahir rendah.12

3. Faktor Lingkungan
a. Sistem Lingkungan Luar
Di dalam Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2013 tentang Jaminan
Kesehatan dinyatakan bahwa Pelayanan KB adalah salah satu pelayanan
promotif dan preventif. Pelayanan KB yang dijamin meliputi konseling,
kontrasepsi dasar, vasektomi dan tubektomi. Pelayanan KB yang ditanggung
oleh JKN adalah pelayanan bagi peserta KB yang bersifat Upaya Kesehatan
Perorangan (UKP), pelayanan pemasangan dan penggantian kontrasepsi,
pelayanan komplikasi KB dan jasa pelayanan KB. Dalam Peraturan
Presiden ini juga diatur fasilitas Pelayanan KB, kompetensi tenaga
Pelayanan KB, ketersediaan alokon dan sarana penunjang, dan sistem
pencatatan dan pelaporan.12
Mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan No 71 tahun 2013 tentang
pelayanan kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional, penyelenggara
pelayanan kesehatan meliputi semua Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama
dengan BPJS Kesehatan berupa Fasilitas Kesehatan tingkat pertama dan
Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan. Fasilitas kesehatan tingkat
pertama yang dimaksud dapat berupa Puskesmas, praktik dokter, praktik
dokter gigi, klinik pratama dan Rumah Sakit Kelas D Pratama. Sementara
untuk fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan berupa klinik utama,
rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. 12
Obat dan alat kesehatan yang telah ditanggung oleh Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah, tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan, termasuk alat
kontrasepsi dasar, yang pengadaannya dilakukan oleh fasilitas kesehatan dan
sarana penunjang yang melaksanakan program JKN melalui e-purchasing
berdasarkan e-catalogue sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

24
Obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang digunakan dalam
pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama harus dibayar
dengan dana kapitasi yang diperoleh dari BPJS Kesehatan. 12
Apabila dilihat angka pemanfaatan sumber pelayanan kontrasepsi antar
provinsi, maka dari 33 provinsi, ada 27 provinsi dengan pemanfaatan
pelayanan swasta lebih dari 60% dan 6 provinsi masih mengandalkan
sumber pelayanan pemerintah lebih dari 40%. Dari 6 provinsi ini Gorontalo,
Sulawesi Selatan, dan NTB diantara 40.5% - 42.4%, sedangkan NTT, Papua
Barat dan Papua diatas 50%. Tantangan yang dihadapi adalah, perlu
dilakukan upaya meningkatkan pemanfaatan sumber pelayanan swasta
secara umum, namun bagi beberapa daerah masih perlu dilakukan
peningkatan di sektor pemerintah. Hal ini penting sebagai dasar perencanaan
dalam BPJS membuat perjanjian kerja sama dengan fasilitas pelayanan
swasta. Pada saat ini Pemerintah menyediakan secara gratis tiga jenis alokon
di seluruh wilayah Indonesia, yaitu kondom, AKDR dan susuk KB dan
diperuntukkan bagi masyarakat miskin (Keluarga Pra-Sejahtera dan
Keluarga Sejahtera 1). Ada 7 provinsi yang selain tiga jenis alokon tersebut,
alokon lainnya juga disediakan secara gratis. Ketujuh provinsi tersebut
adalah Aceh, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku,
Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Ada sebagian masyarakat yang
harus membayar sendiri penggunaan alokon yang dibutuhkannya. Dalam
JKN alokon untuk peserta JKN disediakan oleh BKKBN yang berkoordinasi
dengan jajaran Kementerian Kesehatan dan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS).12

b. Sistem Layanan Kesehatan


1. Ketersediaan Sumber Daya Untuk Pelayanan KB
Ketersediaan tenaga kesehatan sebagai pemberi Pelayanan KB
semakin membaik, walaupun belum mencapai target yang diinginkan dan

25
belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Target yang diinginkan
adalah tersedianya 100 bidan per 100.000 penduduk. Saat ini baru
tersedia 49,5 bidan per 100.000 penduduk. 12
Hasil Riskesdas tahun 2010 menunjukan masyarakat mendapatkan
pelayanan KB di sektor swasta adalah Bidan Praktik Mandiri, yaitu
52,5%, sementara fasilitas pelayanan pemerintah seperti rumah sakit,
Puskesmas, Pustu dan Poskesdes atau Polindes
23,9%.12
2. Keterjangkauan Layanan KB
Akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar meningkat
sejalan dengan meningkatnya jumlah Puskesmas (termasuk Pustu),
adanya Poskesdes dan Polindes di tiap desa, dan dijaminnya pelayanan
kesehatan dasar bagi masyarakat miskin. Walaupun demikian akses
terhadap pelayanan kesehatan ini belum merata di seluruh wilayah
Indonesia. Di Daerah Tertinggal Terpencil Perbatasan dan Kepulauan
(DTPK) ketersediaan sarana dan tenaga pelayanan kesehatan terbatas.
DTPK menjadi prioritas karena disparitas. 12
Antar wilayah DTPK dan non DTPK. Kondisi geografis yang sulit dan
iklim/cuaca yang sering berubah, terbatasnya prasarana dasar (akses
transportasi, listrik, air, komunikasi, pendidikan, kesehatan), tingginya
biaya hidup, keterbatasan SDM berkualitas, tingginya angka
kemiskinan, dan belum terpadunya pelaksanaan kegiatan di
perbatasan, pembangunan bersifat parsial dan terbatasnya penanaman
modal. 12

3. Kualitas Pelayanan KB
Pelayanan KB yang berkualitas berdampak pada kepuasan pada klien
yang dilayani dan terpenuhinya tata cara penyelenggaraan Pelayanan KB
sesuai dengan kode etik dan standar pelayanan yang telah ditetapkan.

26
Ditinjau dari sudut standar pelayanan, Pelayanan KB yang berkualitas
adalah bila tingkat komplikasi, ketidakberlangsungan dan kegagalan
rendah atau berada dalam batas toleransi. Kompetensi tenaga yang
memberikan Pelayanan KB merupakan faktor yang sangat memengaruhi
kualitas Pelayanan KB selain faktor-faktor lain seperti prasarana dan
sarana penunjang, alat dan obat kontrasepsi, ketersediaan pedoman
pelayanan dan upaya untuk menjaga mutu. Peningkatan kapasitas tenaga
kesehatan dalam pelayanan KB baik pre service maupun in service. 12

4. Karakteristik Populasi
a. Karakteristik Pendukung
1. Jumlah, Laju Pertumbuhan Dan Komposisi Penduduk
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-
2025 menyebutkan pada bagian lampiran bahwa pembangunan Sumber
Daya Manusia (SDM) diarahkan pada peningkatan kualitas SDM
Indonesia yang ditandai antara lain dengan meningkatnya Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Pembangunan Gender (IPG),
serta tercapainya kondisi penduduk tumbuh seimbang yang ditandai
dengan Net Reproductive Rate (NRR) sebesar 1 dan TFR sebesar 2,1.12
2. Pola Pernikahan
Hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa dari total penduduk
berusia di atas 10 tahun yang sudah menikah, sekitar 2,1% berusia
dibawah 19 tahun. Hampir 37% penduduk berusia di bawah 19 tahun
sudah memiliki anak dan 2,5% memiliki anak lebih dari 1. Selanjutnya,
proporsi penduduk laki-laki yang belum kawin lebih tinggi daripada
perempuan. Proporsi penduduk dengan status cerai hidup dan cerai mati
lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki. 12
3. Penyebaran Penduduk

27
Penyebaran penduduk di Indonesia tidak merata. Ketidakseimbangan
penyebaran penduduk disebabkan antara lain oleh tingginya urbanisasi.
Cepatnya laju pertumbuhan penduduk kota akibat urbanisasi
menimbulkan berbagai masalah, antara lain menurunnya kualitas
lingkungan hidup, munculnya pemukiman yang kurang sehat,
berkurangnya lapangan pekerjaan dan masalah sosial ekonomi lainnya.
Pertumbuhan penduduk yang cepat harus diimbangi dengan peningkatan
pemenuhan kebutuhan hidup dalam mutu dan jumlah yang besar pula. 12

b. Faktor Pemungkin
1. Tingkat Pendidikan
Sekitar 8,4% penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas tidak/belum
menamatkan pendidikan tingkat Sekolah Dasar (SD), 25% telah
menyelesaikan pendidikan tingkat SD, 21% menamatkan pendidikan
tingkat Sekolah Menengah Pertama dan 30% menamatkan pendidikan
tingkat Sekolah Menengah Atas. Cukup tingginya proporsi penduduk usia
15 tahun ke atas yang tidak/belum tamat SD dan hanya tamat SD
menunjukkan bahwa kualitas SDM di Indonesia masih rendah. 12
Pendidikan perempuan mempunyai hubungan terbalik dengan umur
hamil pertama. Perempuan dengan pendidikan rendah cenderung mulai
hamil pada umur lebih muda. Sekitar 16% remaja yang tidak sekolah
telah mulai mempunyai anak dibandingkan dengan 1% remaja
berpendidikan SMA atau lebih. Tingkat pendidikan pada umumnya
berkorelasi positif dengan tingkat ekonomi, yang kemudian ditemukan
berhubungan dengan usia nikah. Data SDKI 2012 menunjukkan bahwa
sekitar 17% remaja yang berada pada kuintil status ekonomi terbawah
sudah menjadi ibu, sedangkan di antara remaja pada kuintil status
ekonomi teratas hanya 3% yang sudah menjadi ibu. 12
2. Pengetahuan Dan Kepercayaan (Beliefs)

28
Pengetahuan merupakan faktor dominan yang membentuk tindakan
seseorang. Salah satu aspek pengetahuan mengenai pembatasan kelahiran
dan KB yang penting adalah pengetahuan tentang berbagai alat/cara
kontrasepsi yang tersedia. Berdasarkan SDKI 2012 diketahui bahwa 99%
wanita yang sudah menikah pernah mendengar suatu metode/ cara
kontrasepsi. Metode kontrasepsi yang paling dikenal adalah pil KB (97%)
dan suntik KB (98%). Secara umum kelompok umur 30-34 tahun yang
berdomisili diwilayah perkotaan dan memiliki tingkat pendidikan yang
tinggi mempunyai pengetahuan tertinggi mengenai metode kontrasepsi.
Sedangkan wanita yang sudah menikah berusia 15-24 tahun, tinggal di
pedesaan dan berpendidikan rendah, memiliki pengetahuan terendah
tentang metode kontrasepsi. 12
Sekitar 97% pria menikah mengetahui tentang metode kontrasepsi.
Namun demikian hanya sekitar 63% yang mengetahui tentang susuk KB
dan 65% mengetahui tentang Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR).
Hal ini disebabkan karena masih terbatasnya paparan terhadap informasi
tentang kontrasepsi dan kesehatan reproduksi di antara pria menikah.
Sekitar 40% pria menikah tidak terpapar terhadap pesan-pesan KB
melalui media massa maupun melalui kontak langsung dengan petugas
kesehatan dan atau petugas lapangan KB. 12

c. Kebutuhan
1. Keinginan Memiliki Anak Dan Jumlah Anak Ideal
Hampir 50% wanita menikah menyatakan tidak ingin mempunyai anak
lagi (termasuk yang telah disterilisasi). Kelompok ini diharapkan akan
melakukan penjarangan kelahiran. Sekitar 15% wanita menikah
menyatakan ingin menambah anak segera; 6% belum memutuskan kapan
ingin menambah anak; dan 5% belum memutuskan apakah akan
menambah anak. Sebagian besar (sekitar 50%) responden SDKI 2012,

29
baik wanita maupun pria, menyatakan ingin memiliki 2 anak dan sekitar
20% menginginkan 3 anak. Relatif sedikit yang menyebutkan ingin
memiliki 5 anak atau lebih, wanita dan pria di Indonesia memiliki anak
lebih banyak dibandingkan dengan yang mereka inginkan. Sebanyak 43%
pria yang memiliki 5 anak atau lebih menyatakan jumlah anak ideal yang
lebih kecil dari jumlah anak yang mereka miliki. Lebih dari separuh
wanita dan pria yang belum memiliki anak menyebutkan 2 anak sebagai
jumlah anak ideal. 12

d. Perilaku Kesehatan
1. Pilihan Kesehatan Perorangan
a) Pernikahan Dini
Hasil analisis menunjukkan bahwa proporsi responden yang
menikah pertama kali pada usia di bawah 18 tahun pada kelompok
yang menikah 5-10 tahun yang lalu lebih tinggi daripada kelompok
yang menikah ≥15 tahun yang lalu. Terlihat bahwa proporsi wanita
yang menikah dini meningkat kembali dalam 10 tahun terakhir setelah
sebelumnya sempat menurun (SDKI, 2007). 12
b) Pemilihan Jenis Alat/Obat Kontrasepsi
Sebagian besar peserta KB aktif menggunakan kontrasepsi
hormonal dan bersifat jangka pendek, dengan penggunaan terbanyak
pada suntik KB. Kecenderungan ini terjadi sejak tahun 1987.
Penggunaan suntik KB meningkat dari 28% pada tahun 2002 (SDKI
2002−2003) menjadi 31,6% pada tahun 2007 (SDKI 2007) dan
menjadi 31,9% pada tahun 2012 (SDKI2012). Pemakaian metode
kontrasepsi yang jangka panjang seperti sterilisasi (tubektomi dan
vasektomi), AKDR, dan susuk KB cenderung menurun. Penggunaan
AKDR, misalnya, menurun dari sekitar 6,4% pada tahun 2002 (SDKI

30
2002−2003) menjadi 4,8% pada tahun2007 (SDKI 2007) dan 3,9%
pada tahun 2012 (SDKI 2012). 12
c) Partisipasi Pria
Hasil SDKI 2002-2003 menunjukkan hanya sekitar 1,3% pria
menggunakan kotrasepsi, di mana 0,9% menggunakan kondom dan
0,4% Metode Operasi Pria (MOP). Persentase ini sedikit meningkat
pada tahun 2012 menjadi 2,7% (SDKI 2012), yang terdiri dari 0,3%
MOP dan 2,5% kondom. Rendahnya partisipasi pria dalam
menggunakan kontrasepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
pengetahuan, sikap pria terhadap KB dan kondisi sosio- budaya
masyarakat. Pria yang tidak mempunyai pengetahuan yang cukup
tentang KB, tidak akan termotivasi untuk berperan serta dalam
menggunakan kontrasepsi. 12
2. Pemanfaatan Pelayanan Keluarga Berencana
a) Unmet Need
Hasil SDKI 2012 yang menggunakan perhitungan baru
menunjukkan bahwa 11% wanita berstatus menikah di Indonesia
mempunyai kebutuhan pelayanan KB yang tidak terpenuhi. Di antara
mereka ini 4% sebenarnya ingin menunda kelahiran berikutnya untuk
jangka waktu 2 tahun atau lebih dan 7% sebenarnya tidak ingin
mempunyai anak lagi. Dari sekitar 62% kebutuhan ber-KB yang
terpenuhi, 27% menggunakan kontrasepsi untuk menjarangkan
kelahiran dan 35% untuk membatasi jumlah anak. Persentase wanita
menikah yang memerlukan Pelayanan KB di Indonesia saat ini sekitar
73%. Sekitar 85% di antara mereka telah terpenuhi kebutuhannya.
Jadi, jika semua kebutuhan ber-KB terpenuhi, maka prevalensi
kontrasepsi di antara wanita menikah di Indonesia saat ini dapat
ditingkatkan dari 62% menjadi 73%.12

31
Kebutuhan akan pelayanan KB yang tidak terpenuhi bervariasi
menurut kelompok umur. Wanita menikah berusia tua 35-49 tahun
cenderung mempunyai kebutuhan pelayanan kontrasepsi yang lebih
besar dibandingkan dengan wanita berusia muda 15-34 tahun.
Pemenuhan kebutuhan Pelayanan KB tidak berbeda antara wanita
perkotaan dan wanita perdesaan, tetapi kebutuhan Pelayanan KB di
perkotaan adalah untuk membatasi kelahiran, sedangkan wanita
perdesaan lebih untuk menjarangkan kelahiran. 12
Jumlah kebutuhan ber-KB yang terpenuhi meningkat sejalan
dengan naiknya tingkat pendidikan wanita, mulai dari 76% untuk
wanita yang tidak sekolah sampai dengan 87% untuk wanita yang
tamat SMTA. Kebutuhan ber-KB yang terpenuhi juga meningkat
seiring dengan bertambahnya jumlah anak lahir hidup; yaitu dari 66%
pada wanita yang tidak punya anak menjadi 71% atau lebih tinggi
untuk wanita yang punya anak 1 atau lebih. 12
Apabila unmet need dihitung dengan cara lama, akan tampak bahwa
situasi yang digambarkan oleh hasil SDKI 2012 tidak jauh
berubah dibanding dengan situasi yang digambarkan oleh hasil SDKI
2007. Gambar berikut ini menyajikan unmet need berdasarkan hasil
SDKI Tahun 1991 sampai dengan Tahun 2012.12
Beberapa faktor yang diperkirakan berpengaruh terhadap terjadinya
unmet need antara lain umur, pendidikan, jumlah anak masih hidup,
sikap suami terhadap KB, pernah pakai KB, aktivitas ekonomi dan
indeks kesejahteraan hidup. Unmet need banyak terjadi berkaitan
dengan ketakutan terhadap efek samping dan ketidaknyamanan
pemakaian kontrasepsi. 12
Sebesar 12,3% perempuan usia 15-49 tahun tidak ingin
menggunakan alokon karena takut efek samping, 10,1% karena
masalah kesehatan dan 3,1% karena dilarang oleh suami (alasan unmet

32
need bisa lebih dari satu). Data ini menunjukkan bahwa untuk
menurunkan unmet need dibutuhkan penguatan pelayanan konseling,
baik jangkauan maupun kualitasnya. Terlihat pula bahwa unmet need
juga berkaitan dengan rendahnya kualitas Pelayanan KB. 12
Unmet need dan CPR akan mempengaruhi TFR, yang pada
gilirannya akan mempengaruhi AKI. Unmet need dapat menyebabkan
terjadinya KTD, yang kejadiannya di Indonesia termasuk tinggi.
Diperkirakan sekitar 6%-16% kematian ibu disebabkan oleh praktik
aborsi yang tidak aman yang dilakukan dalam menanggulangi masalah
KTD. 12
b) Contraceptive Prevalence Rate
Hasil SDKI tahun 2007 dan 2012 memperlihatkan tidak adanya
peningkatan CPR yang berarti. CPR untuk cara modern berubah dari
57,4% pada tahun 2007 menjadi 57,9% pada tahun 2012. Kesenjangan
CPR antar provinsi mengindikasikan kurang meratanya jangkauan
Pelayanan KB di wilayah Indonesia. Angka tersebut tampak tidak
bergerak/ stagnan secara nyata selama sepuluh tahun belakangan ini. 12
c) Disparitas Antar Wilayah
CPR yang tidak merata di berbagai wilayah Indonesia. Angka
pemakaian kontrasepsi secara umum meningkat seiring dengan makin
tingginya tingkat pendidikan dan tingkat sosial ekonomi. Unmet need
pada perempuan dengan tingkat pendidikan rendah lebih tinggi
dibandingkan dengan perempuan dengan tingkat pendidikan tinggi.
Dari berbagai informasi diatas maka dapat disimpulkan
masalah/tantangan KB di Indonesia antara lain : 12
1) Kurangnya komitmen para pemangku kepentingan, baik pemerintah
maupun non pemerintah dalam penyelenggaraan Pelayanan KB.

33
2) Masih rendahnya permintaan atas Pelayanan KB akibat
terjadinya perubahan nilai tentang jumlah anak ideal dalam
keluarga.
3) Belum optimalnya ketersediaan, keterjangkauan, dan kualitas
Pelayanan KB, termasuk pelayanan KIE dan Konseling.
4) Masih tingginya kejadian kehamilan yang tidak diinginkan akibat
tingginya unmet need dan ketidakberlangsungan penggunaan
kontrasepsi.
5) Masih tingginya kejadian kehamilan dan persalinan pada remaja
perempuan usia 15-19 tahun.

F. Kampung Keluarga Berencana (KB)


1. Kampung KB, Upaya 'Mendengungkan' Kembali Keluarga Berencana
Perempuan Indonesia makin banyak menggunakan kontrasepsi dan sadar
kesehatan reproduksi, namun angka kelahiran mengalami stagnasi pada tingkat
yang relatif tinggi dengan jumlah ibu melahirkan lebih dari dua anak. Dan
inisiatif Kampung Keluarga Berencana (KB) menjadi upaya pemerintah untuk
mendengungkan kembali program KB, sejalan dengan semakin tingginya
kesadaran perempuan di negara-negara akan pentingnya kontrasepsi dan
kesehatan reproduksi.13
Hingga Juli 2017, lebih dari 309 juta wanita dan perempuan di 69 negara
mengakses alat kontrasepsi modern atau meningkat 38.8 juta ketimbang lima
tahun sebelumnya pada 2012, berdasar laporan terbaru dari Family Planning
2020 (FP2020). Menurut laporan yang baru saja diterbitkan pada 5 Desember,
penggunaan kontrasepsi modern di negara-negara mulai Juli 2016-Juli 2017
mencegah 84 juta kehamilan yang tidak diinginkan, 26 juta aborsi yang tidak
aman, dan 125.000 kematian maternal. FP2020 adalah kemitraan global yang
mendukung hak perempuan dan anak perempuan untuk memutuskan, secara

34
bebas, dan untuk diri mereka sendiri, apakah, kapan, dan berapa banyak anak
yang mereka inginkan. 13
Lebih dari separuh gadis dan wanita yang dianggap 'pengguna tambahan' ada
di Asia, sebanyak 21,9 juta dan Indonesia termasuk salah satunya. Peningkatan
ini salah satunya lantaran imbas dari program pemerintah Kampung Keluarga
Berencana (KB). Mulai tahun 2016, Badan Keluarga Kecil Berencana Nasional
(BKKBN) memprakarsai inisiatif baru yang disebut "Kampung KB" dengan
sasaran miskin, daerah perkotaan padat penduduk, desa nelayan, daerah kumuh
dan daerah tertinggal lainnya. 13
Kampung KB diharapkan akan membuat Program KB bergema kembali dan
dapat menjangkau masyarakat, terutama yang berada di desa-desa, dusun-
dusun, dan kampung-kampung di seluruh Indonesia. Hingga September 2017,
sebanyak 1.200 kampung KB telah terbangun di seluruh kota dan kabupaten di
Indonesia. Salah satu Kampung KB terletak di Kelurahan Mangga Dua Selatan
(Madusela), Kecataman Sawah Besar, yang baru saja diresmikan sebulan lalu.
Peresmian tersebut dilangsungkan di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak
(RPTRA) Madusela, yang terletak persis dibawah jalur kereta stasiun Pangeran
Jayakarta, Jakarta Pusat. 13
3. Angka Kelahiran Masih Tinggi
Seperti diketahui, pemerintah mencanangkan gerakan keluarga berencana
pada akhir 1970an dengan tujuan meningkatkan jumlah penduduk untuk
menggunakan alat kontrasepsi dan menurunkan jumlah angka kelahiran bayi.
Jumlah anak dalam sebuah keluarga yang dianggap ideal adalah dua. Meski
telah dijalankan selama sekitar 30 tahun, nilai-nilai keluarga kecil sejahtera
tampaknya tidak hidup, terbukti dengan fertilitas penduduk Indonesia yang
berada pada tingkat 2,6 per ibu, tergolong relatif tinggi.13
Provinsi di Indonesia bagian timur, seperti di Nusa Tenggara Timur dan
Sulawesi Barat mencatat angka cukup tinggi, 2.5. Di beberapa provinsi lain,
seperti di DKI Jakarta, Jawa Timur dan DI Yogyakarta, angka kelahiran

35
menyentuh angka dibawah 2. Sementara angka pengguna kontrasepsi masih
sekitar 57% dengan dominasi penggunaan KB jangka pendek, dan fertilitas
remaja dengan usia berkisar 15-19 tahun masih tinggi, yaitu 48 kelahiran per
1.000 wanita. 13
Berdasar suvei PMA2020 yang dilakukan atas kerjasama BKKBN,
Universitas Sumatra Utara dan Universitas Hasanudin atas bantuan Bill
Melinda Gate Foundation melalui John Hopkins USA, angka kelahiran rata-rata
di Indonesia berada di level 2,3. Berdasar laporan FP2020 Rasio penggunaan
kontrasepsi modern di Indonesia pada 2016 adalah 44,3%, artinya jumlah
perempuan yang menggunakan kontrasepsi meningkat sekitar 1,2 juta
ketimbang 2012. Sementara kebutuhan yang belum terpenuhi sekitar 13,8%.13
Sebagian besar atau 45% perempuan Indonesia lebih banyak menggunakan
kontrasepsi suntik, sementara sisanya mengkonsumsi pil (22,6%), implan
(7,5%), intrauterine device (IUD) atau dikenal dengan KB Spiral (8,1%), KB
steril (6.4%), sementara sisanya menggunakan kondom (2.6%). Dengan
penggunaan alat kontrasepsi ini, 8,8 juta kehamilan yang tidak diinginkan bisa
dicegah, 3 juta aborsi yang tidak sehat dan 13.000 kematian maternal juga juga
bisa dicegah. 13
4. Remaja Aktif Secara Seksual
Analisis data dari survey demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) 2012
yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat lebih dari 1,5 juta
remaja putri Indonesia dibawah umur berusia 15-19 tahun saat ini aktif secara
seksual -baik yang belum menikah dan pernah berhubungan seks dalam dalam
tiga bulan terakhir atau mereka dalam pernikahan atau tinggal bersama. 13
Rata-rata perempuan yang melakukan hubungan seks sebelum usia 20 tahun,
melakukannya pada usia 17,3 tahun sedang di antara remaja yang belum
menikah, sekitar 1,2% di antaranya melaporkan pernah berhubungan seksual
dan 0,4% mengaku aktif secara seksual. Adapun saat ini BPS sedang
melakukan survey SDKI 2017. Namun, BKKBN memproyeksikan jumlah

36
remaja perempuan akan berjumlah 22,48 juta atau 14,72% dari jumlah total
perempuan. Semakin meningkatnya perilaku seksual remaja di luar nikah
membawa dampak yang sangat berisiko, yaitu terjadinya kehamilan yang tidak
diinginkan. Setiap tahun, terdapat sekitar 1,7 juta kelahiran dari dari perempuan
berusia dibawah 24 tahun, yang sebagian adalah kehamilan tidak diinginkan.
Artinya, ada beberapa 'anak Indonesia yang sudah mempunyai anak'. 13
Pada 2019, Indonesia menargetkan sedikitnya 2,8 juta pengguna tambahan
dengan rasio penggunaan alat kontrasepsi modern mencapai 65%. Dengan
begitu, kebutuhan kontrasepsi modern perlu ditingkatkan sebesar 0,7% tiap
tahunnya. Adapun saat ini pengguna kontrasepsi di Indonesia mencapai 30 juta.
Dengan upaya-upaya ini, angka kelahiran ditargetkan bisa ditekan menjadi 2,33
per anak per ibu, kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi sebesar 10,26%,
peserta KB aktif 21,7% dan tingkat putus pakai kontrasepsi 25,3%.13

G. Kajian Jurnal
1. Kajian Jurnal 1
a. Judul
Levels, trends and correlates of unmet need for family planning among
postpartum women in Indonesia: 2007–2015
b. Peneliti
Siswanto Agus Wilopo, Althaf Setyawan, Anggriyani Wahyu Pinandari,
Titut Prihyugiarto, Flourisa Juliaan, Robert J. Magnani
c. Penerbit
BMC Women’s Health, 2017 Volume 17 issue 1 halaman 1-14. DOI:
10.1186/s12905-017-0476-x
d. Tujuan
Indonesia memiliki prevalensi kontrasepsi yang relatif tinggi, namun KB
pasca persalinan belum menjadi titik penekanan khusus. Artikel ini bertujuan
melaporkan hasil analisis yang dilakukan untuk (1) lebih memahami tingkat

37
dan tren kebutuhan yang tidak terpenuhi untuk keluarga berencana di antara
wanita postpartum, (2) menilai sejauh mana kebutuhan yang tidak terpenuhi
terkonsentrasi di antara sub-kelompok populasi tertentu, dan ( 3) menilai
prioritas kebijakan yang harus dimiliki pada kb pascasalin dalam kaitannya
dengan intervensi lain
e. Metode
Analisis ini didasarkan pada data dari Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia 2007 dan 2012 (IDHS) dan survei PMA pada tahun 2015.
Penggunaan kontrasepsi postpartum dan kebutuhan yang tidak terpenuhi
dianalisis untuk wanita yang melahirkan dalam 3-5 tahun sebelum survei
masing-masing yang diperpanjang pada periode postpartum pada saat survei
berlangsung. Faktor yang terkait dengan penggunaan kontrasepsi dan tidak
terpenuhi adalah dinilai melalui regresi logistik multivariabel menggunakan
data gabungan dari ketiga survei. Berbagai macam biologis, faktor
demografi, sosial ekonomi, geografis dan program sangat dipertimbangkan.
f. Hasil
Penggunaan kontrasepsi selama periode pascapersalinan yang tinggi di
Indonesia, dengan lebih dari 74% wanita post-partum saat ini menggunakan
metode keluarga berencana dalam survei PMA 2015. Dari 68% di tahun
2007 dan 70% di tahun 2012. Total kebutuhan yang tidak terpenuhi adalah
28% di tahun 2007, turun sedikit menjadi 23% di tahun 2012 dan 24% di
tahun 2015. Namun, waktu inisiasi kontrasepsi masih kurang optimal.
Dengan enam bulan postpartum, hanya 50% dari ibu yang sudah mulai
menggunakan kontrasepsi. Kebutuhan yang tidak terpenuhi adalah yang
tertinggi di antara wanita yang lebih tua, wanita dengan 4+ anak, dengan
pengetahuan terbatas tentang metode kontrasepsi, membuat lebih sedikit
kunjungan ANC, dari keluarga miskin dan penduduk di pulau selain Jawa
dan Bali.
g. Kesimpulan

38
Kebutuhan yang tidak terpenuhi untuk keluarga berencana di antara wanita
postpartum di Indonesia rendah dibandingkan dengan negara berpenghasilan
rendah dan menengah lainnya. Namun, karena terbatasnya durasi pemberian
ASI eksklusif, banyak wanita Indonesia tidak memulai kontrasepsi lebih
awal setelah melahirkan anak. Pada prevalensi kontrasepsi, ditargetkan
wanita postpartum untuk meningkatkan perhatian program keluarga
berencana.14

2. Kajian Jurnal 2
a. Judul
Faktor Struktural Keikutsertaan Pria Dalam Ber-Keluarga Berencana (KB)
Di Indonesia (Analisis Data SDKI 2007)
b. Peneliti
Musafaah, Frieda Ani Noor
c. Penerbit
Bulletin of Health Research (Bull heal res) 2013 Volume 40 Halaman 149-
156
d. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran mengenai pengetahuan
tentang KB dan sikap terhadap KB pada pria dan mengetahui hubungan
pengetahuan tentang KB dan sikap terhadap KB dengan keikutsertaan pria
dalam ber-KB
e. Metode
Penelitian ini menggunakan Data Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) 2007 dengan sampel sebesar 6013 responden.
Pengetahuan tentang KB terdiri dari 4 pertanyaan pada kuesioner no.301,
302F, 309 dan 310, dikategorikan menjadi: baik (skor > 75%) dan kurang
(skor < 75%). Sikap terhadap KB terdiri dari 8 pernyataan negatif dan 1

39
pernyataan positif pada kuesioner no. 323 dan 328, dikategorikan menjadi:
negatif (skor < 66,6%) dan positif (skor > 66,6%).
f. Hasil
Hasil Penelitian menunjukkan belum dapat membuktikan hipotesis
penelitian ini yaitu ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan
terhadap KB dengan keikutsertaan pria dalam ber-KB (p-value > 0,05)
sedangkan sikap terhadap KB mempunyai hubungan yang bermakna
terhadap keikutsertaan pria dalam ber-KB dengan OR = 4,44 yang artinya
pria menikah dengan sikap terhadap KB yang positif memiliki
kecenderungan 4,44 kali untuk ber-KB daripada pria menikah dengan sikap
terhadap KB yang negatif.
g. Kesimpulan
Pada penelitian ini diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1)
Pengetahuan pria tentang KB perlu ditingkatkan agar keikutsertaan pria
dalam ber-KB secara langsung dapat pula meningkat, dan 2) Pria yang
bersikap positif terhadap KB lebih memiliki kecenderungan untuk ber-KB
daripada pria yang bersikap negatif terhadap KB.15

40
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Permasalahan yang sering terjadi di masyarakat adalah pasangan suami istri
yang kurang memiliki program atau perencanaan dalam berkeluarga, kapan
memiliki anak, berapa jumlah anak yang diinginkan tentunya yang sesuai dengan
kemampuan. Karena kurangnya perencanaan ini sehingga banyak keluarga yang
akhirnya memiliki anak banyak, padahal jika dilihat dari kondisi ekonomi mereka
kekurangan. Akibat dari permasalahan ini adalah anak menjadi terlantar dan tidak
terurus, kurang mendapat perhatian dari orang tua, pendidikan anak tidak
diperhatikan. Program KB mempunyai peran besar dalam meningkatkan indeks
pembangunan manusia.
Kesiapan layanan berupa ketersediaan alat KB secara keseluruhan dan
tersedianya fasilitas dan tenaga kesehatan yang mendukung memiliki pengaruh
terhadap kualitas pelayan KB yang mana dalam hal ini berupa pemilihan metode
yang tepat dan kepuasan dari akseptror KB, memiliki peranan penting akan
keberhasilan program Keluarga Berencana yang sudah terbentuk sejak 52 tahun
yang lalu (PKBI).

B. Saran
Dengan berdirinya wadah yang menaungi program keluarga berencana seperti
PKBI dan BKKBN diharapkan agar dapat mengatasi masalah kependudukan dan
menjadikan kualitas kesehatan keluaga lebih sejahtera. Namun, perlu dilakukan
pembinaan dan mengoptimalkan pelayanan baik di Rumah Sakit Pemerintah,
Swasta dan menjamin ketersediaan alat kontrasepsi baik jumlah maupun jenis bagi
keluarga miskin di tempat pelayanan kesehatan statis maupun mobile, termasuk
posyandu. Penanggulangan masalah kesehatan reproduksi merupakan salah satu
aspek program KB Nasional yang perlu ditingkatkan melalui promosi di tempat

41
pelayanan KB dan kesehatan, agar seluruh keluarga terhindar dari masalah
kesehatan reproduksi.

42
DAFTAR PUSTAKA

1
Saifuddin AB. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta : Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2006.
2
Sulistiawati. Pelayanan Keluarga Berencana. Jakarta : Salemba Medika; 2014.
3
Suratun d. Pelayanan Keluarga Berencana Dan Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta :
Natawijaya; 2013.
4
Setianingrum E. Pelayanan Keluarga Berencana. Jakarta : CV. Trans Info Media;
2016.
5
Meilani NSD. Pelayanan Keluarga Berencana. Yogyakarta: Fitramaya; 2012.
6
Nuryati T. Keluarga Berencana Indonesia. Available (http://www.Keluarga
berencanaindonesia.blogspot.com). Diakses pada tanggal 06 Agustus 2015, di
unduh pada tanggal 05 Oktober 2019.
7
Kementrian Kesehatan RI. Buletin Jendela Data & Informasi Kesehatan. Volume
2, Semester 2; 2013.
8
Kementrian Kesehatan RI. Rekomendasi Praktik Terpilih Pada Penggunaan
Kontrasepsi. Edisi Ketiga; 2016.
9
BKKBN. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia. Available
(http://pkbi.or.id/tentang-kami/visi-misi-strategi/); 2017.
10
BKKBN. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Available
(https://www.bkkbn.go.id/); 2019.
11
Surapaty SC, Subandi, Sugihantono A, Robertson AS, Armstrong S. Strategi
Pelaksanaan Program Keluarga Berencana Berbasis Hak untuk Percepatan Akses
terhadap Pelayanan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi yang
Terintegrasi dalam Mencapai Tujuan Pembangunan Indonesia. UNFPA; 2012.
12
Kementerian Kesehatan RI : Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan
Anak. Rencana Aksi Nasional Pelayanan Keluarga Berencana Tahun 2014-2015.
Jakarta : Kementerian Kesehatan RI; 2013.
13
Amindoni A. Kampung KB, Upaya 'Mendengungkan' Kembali Keluarga
Berencana. BBC Indonesia. Available (https://www.bbc.com/indonesia/majalah-
42225648). Diakses pada tanggal 12 Desember 2017, di unduh pada tanggal 05
Oktober 2019.
14
Wilopo SA, Setyawan A, Pinandari AW, Prihyugiarto T, Juliaan F, Magnani RJ.
Levels, Trends And Correlates Of Unmet Need For Family Planning Among
Postpartum Women In Indonesia: 2007-2015. BMC Womens Health.
2017;17(1):1–14.
15
Musafaah, Noor FA. Faktor Struktural Keikutsertaan Pria Dalam Ber-Keluarga
Berencana (Kb) Di Indonesia (Analisis Data SDKI 2007). Bull Heal Res.
2013;40(3 Sep):149–56.

Anda mungkin juga menyukai