Anda di halaman 1dari 42

ANALISIS ADAPTASI PSIKOLOGI PADA NEONATUS DAN KONSEP

DASAR KEBUTUHAN BBL , NEONATUS, BAYI, BALITA, DAN ANAK


PRA SEKOLAH SESUAI EVIDENCE BASED
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Pengembangan Asuhan
Neonatus, Bayi, Balita dan Anak Pra Sekolah

Dosen Pengampu: Dr. Eddy Fadlyana, dr., SpA (K)., M.Kes

Disusun oleh:
Kelompok 1
Nama NPM
Keke Susilowati Sholehah (130121180514)
Nur Imtihana Makmur (130121180516)
Dyah Retnoningrum (131020180519)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEBIDANAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2019

1
KATA PENGANTAR

Segala Puji syukur dan limpahan Rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan


makalah yang berjudul “Analisis Adaptasi Psikologi Pada Neonatus Dan Konsep
Dasar Kebutuhan BBL, Neonatus, Bayi, Balita, Dan Anak Pra Sekolah Sesuai
Evidence Based”. dan semoga makalah ini bisa bermanfaat dan bernilai untuk
para pembaca yang membutuhkan referensi tentang Pengembangan Asuhan
Neonatus, Bayi, Balita dan Anak Pra Sekolah khususnya Pengantar
Pengembangan Asuhan Neonatus, Bayi, Balita dan Anak Pra Sekolah.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kelompok mata kuliah
Pengembangan Asuhan Neonatus, Bayi, Balita dan Anak Pra Sekolah. Makalah
ini membahas segala aspek yang berkaitan dengan Pengantar Pengembangan
Asuhan Neonatus, Bayi, Balita dan Anak Pra Sekolah.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, penyusun mengharap kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini di kemudian hari. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi
penyusun khususnya dan pembaca pada umumnya.

Bandung, Oktober
2019

Tim Penyusun

2
DAFTAR ISI

Halaman
Kata pengantar...................................................................................................................
Daftar isi...........................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..............................................................................................................
B. Tujuan...........................................................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Perkembangaan Emosi..................................................................................................
B. Perkembangaan Perilaku.............................................................................................
C. Kebutuhan dasar Neonatus, bayi, balita dan anak prasekolah....................................
D. Telaah Jurnal ..............................................................................................................

BAB III PENUTUP


A. Simpulan ....................................................................................................................
B. Saran ..........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bayi Baru Lahir (BBL) atau neonatus adalah bayi umur 0-28 hari.
Bayi juga merupakan salah satu kelompok yang rentan terhadap gangguan
kesehatan maupun serangan penyakit. Kesehatan bayi dan balita harus
dipantau untuk memastikan kesehatan mereka selalu dalam kondisi optimal.
Pelayanan kesehatan bayi termasuk salah satu dari beberapa indikator yang
bisa menjadi ukuran keberhasilan upaya peningkatan kesehatan bayi dan
balita1.
Adaptasi adalah suatu cara makhluk hidup untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Selain itu, adaptasi
merupakan salah satu persyaratan penting bagi terciptanya kesehatan jiwa
dan mental individu dan merupakan pertahanan yang  dibawa sejak
lahir atau diperoleh dari hasil belajar dan pengalaman. Penyesuaian atau
adaptasi tidak hanya dapat dilakukan oleh orang dewasa namun
neonatus juga b e r a d a p t a s i 2.
Oleh karena itu akan banyak proses adaptasi yang akan dilalui oleh
neonatus. Proses adaptasi neonatus tidak hanya pada Fisiologis dan
lingkungan. Namun, neonatus pun juga mengalami proses adaptasi secara
psikologis. Sebagai seorang petugas kesehatan yang mempunyai
kompetensi memberikan asuhan kebidanan pada neonatus, bidan harus
memahami bagaimana prosesa daptasi psikologis pada neonatus. Selain itu,
bidan juga dituntut agar dapat menjelaskan kepada klien dan berusaha
memberikan solusi yang terbaik jika ada masalah mengenai proses adaptasi
psikologis pada neonatus2.
Proses tumbuh kembang anak dapat berlangsung secara alamiah, tetapi
proses tersebut sangat tergantung kepada orang dewasa atau orang tua.
Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita. Pada masa
inipertumbuhan dasar akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan
anak selanjutnya. Pada masa balita ini perkembangan kemampuan berbahasa,

4
kreativitas, kesadaran sosial, emosional, dan intelegensia berjalan sangat
cepat dan merupakanlandasan perkembangan berikutnya. Perkembangan
moral serta dasar-dasar kepribadian juga dibentuk padamasa ini. Pada masa
periode ini, diperlukan rangsangan atau stimulasi yang berguna agar
potensinya berkembang. Perkembangan anak akan optimal bila interaksi
diusahakan sesuai dengan kebutuhan anak pada berbagai tahap
perkembangannya, bahkan sejak bayi masih dalam kandungan1.
Untuk bisa merawat dan membesarkan anak secara maksimal tentu
kita perlu mengetahui banyak hal yang berkaitan dengan anakitu sendiri, yang
pada gilirannya akan menjadi bekal yang sangat berharga bagi kita dalam
merawat dan membesarkan buah hati kita. Kualitas anak masa kini
merupakan penentu kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dimasa yang akan
datang. Pembangunan manusia masa depan dimulai dengan pembinaan anak
masa datang. Masa depan manusia perlu dipersiapkan, agar anak bisa tumbuh
dan berkembang seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuannya1.

B. Tujuan
Untuk Mengethaui Analisis Adaptasi Psikologi Pada Neonatus Dan
Konsep Dasar Kebutuhan BBL, Neonatus, Bayi, Balita, Dan Anak Pra
Sekolah Sesuai Evidence Based”

BAB II

5
TINJAUAN TEORI

A. Perkembangan Emosi
1. Pengertian Perkembangan Emosi
Perkembangan (development) adalah bertambahnya kemampuan
(skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang
teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan.
Disini menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan
tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa
sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga
perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi
dengan lingkungannya.3
Sedangkan emosi merupakan suatu keadaan atau perasaan yang
bergejolak dalam diri individu yang sifatnya disadari. Oxford English
Dictionary mengartikan emosi sebagai suatu kegiatan atau pergolakan
pikiran, perasaan, nafsu atau setiap keadaan mental yang hebat.3
2. Pembagian Perkembangan Emosi
Squires et al. (2002) dalam Wijirahayu (2016) membagi perkembangan
sosial emosi anak menjadi tujuh dimensi, yaitu:
a. self-regulation
Kemampuan anak untuk menenangkan atau menyesuaikan diri
dengan kondisi fisiologis, lingkungan dan stimulasi
b. Compliance
Kemampuan anak untuk menyesuaikan diri dengan arahan orang
lain dan mengikuti aturan
c. Communication
Kemampuan anak untuk menanggapi atau memulai sinyal verbal atau
non-verbal untuk menunjukkan perasaan, afektif

d. Adaptive functioning

6
Keberhasilan atau kemampuan anak untuk mengatasi kebutuhan
fisiologisnya, misalnya: jam tidur, makan dan keselamatan diri
e. Autonomy
Kemampuan anak untuk memulai diri atau merespon tanpa
bimbingan
f. Affect
Kemampuan anak untuk menunjukkan perasaannya sendiri dan
empati terhadap orang
g. Interaction with people
Kemampuan anak untuk menanggapi atau memulai tanggapan
sosial dengan orang tua, orang dewasa lainnya, dan teman.4
3. Perkembangan Emosi berdasarkan umur
a. Bayi yang masih menyusu (0-2 tahun)
Kebutuhan bayi bermacam-macam, dan jika kebutuhan tersebut tidak
terpenuhi, bayi akan bereaksi dengan menangis atau dengan gerakan-gerakan
yang tidak beraturan. Awalnya bayi tidak akan peduli siapa yang memenuhi
kebutuhannya, akan tetapi seiring bayi belajar membedakan, dia akan mulai
bergantung pada seseorang yang selalu merawatnya. Jika ia selalu dirawat
oleh ibunya, bayi akan bergantung pada ibunya termasuk kasih sayangnya.
Bila percaya diri telah berkembang, bayi akan dapat membedakan
dirinya dengan dunia luar. Besar kecilnya rasa percaya yang diperoleh bayi
sebagian besar tergantung pada bakatnya sendiri dan sebagian lagi pada sikap
orang-orang disekitarnya.dalam tingkat ini perasaan bayilah yang terpenting.
Kerentanan bayi dalam rangsangan dari luar berbeda-beda, ada yang lebih
rentan dengan penglihatan, ada juga yang rentan dengan suara. Seorang anak
yang sangat rentan akan dapat membedakan rangsang yang diterimanya
dengan baik.
Perkembangan mental selanjutnya ditentukan oleh sifat ibu dan
bayinya. Pendapat ahli psikologi bahwa pada tahun pertamalah saat yang
sangat penting bagi bayi untuk membentuk hubungan baik dengan ibunya dan
juga untuk membentu rasa percaya diri kepada bayi.5

7
Perkembangan emosi dan sosial pada umur ini mula-mula emosi
tenang atau senang dan terangsang (exited) timbul sehubungan dengan
rangsangan fisik (misalnya bayi kenyang dan merasa nyaman nampak tubuh
mengendor, tdur nyenyak, berceloteh, dan tertawa). Pada kira-kira bulan ke 3
emosi senang dan tidak senang muncul karena rangsang psikis (misalnya bayi
tersenyum kalau melihat wajah manusia). Pada bulan-bulan selanjutnya
variasi emosi muncul (misalnya emosi takut, marah, kecewa, benci dan
sebagainya).
Dengan memperlihatkan suatu respon emosional tertentu, bayi
memperoleh reaksi balasan dari orang lain, dan hadirnya orang lain ini
merupakan faktor yang sangat penting. Masa bayi dipandang sebagai fase
dimana bayi pertama kali menjalin keterikatan dengan orang lain. Bila
kebutuhan keterikatan terpenuhi, akan terpupuk rasa aman dan rasa percaya.
Kedua hal ini merupaka dasar penting bagi perkembangan emosi dan sosial
seseorang.6
b. Umur 2- 6 tahun
Pada usia ini sifat tergantungan sudah berkurang, sedangkan
kemampuan berdiri sendiri bertambah cepat. Hal ini disebabkan pertama
karena cepatnya perkembangan pada bahasa, gerakan dan pengamatan
seorang anak yang memberitahukan kebutuhannya melalui bahasa. secara
motorik anak lebih matang, ia akan berusaha meraih dan memegang, berjalan
sehingga dunia anak menjadi lebih luas. Anak mulai memahami perbedaan
antara dirinya dengan dunia luar dengan lebih jelas. Anak setelah umur 2-3
tahun mencapai fase gemar memperotes, mengatakan tidak pada setiap
ajakan. Fase ini disebut “berkeras kepala” (kopingheid’s periode), berpegang
teguh pada suatu pendirian.
Faktor kedua adalah jenis kelamin. Anak perempuan rata-rata lebih
cepat dari anak laki-laki. Faktor ketiga adalah aktifitas anak yang aktif tidak
ingin diam didalam tempat tidur, sedangkan anak yang tidak aktif akan duduk
diam dan manis ditempatnya. Kemampuan untuk berdiri sendiri ditentukan

8
oleh keperibadian yang ada pada anak sejak lahir, oleh pengalaman pada fase
sebelumnya dan oleh pengaruh keadaan di sekitarnya.5
Pada usia 2 tahun keatas kemampuan bahasa anak belumlah
berkembang. Anak akan cenderung mengungkapkan amarah dengan
berteriak, memukul, membanting barang, rewel/uring-uringan, melakukan
aksi tutup mulut, atau menangis. penelitian yang dilakukan psikolog Alber
Mehrabian terhadap anak-anak menunjukkan 55% perasaan diungkapkan
melalui isyarat nonverbal, misalnya melalui ekspresi wajah dan sikap tubuh.
Sementara itu, 38% perasaan yang tersisa disampaikan melalui nada suara.
Sisanya 7% diungkapkan melalui kata-kata.
c. Usia 3-5 tahun
Anak dapat mulai diajak bekerja sama untuk mengungkapkan
perasaan marahnya karena pada usia ini ia mulai mengusai banyak
pembendaharaan kata dan mulai dapat melihat suatu hal dari sudut pandang
orang lain disekitar.9
Kruizinga, et al. (2011) Salah satu perkembangan yang penting
pada anak usia prasekolah adalah perkembangan sosial emosi. Anak usia
prasekolah merupakan anak usia 3-6 tahun yang mempunyai tanggung
jawab besar dalam aktivitas mereka sehari -hari dan menunjukkan tingkat
yang lebih matang untuk dapat berinteraksi dengan orang lain.
Perkembangan sosial emosi yang tidak tercapai secara optimal dapat
menimbulkan masalah sosial emosi pada anak.4
Berdasarkan Teori Erikson (1950), perkembangan sosial emosi
anak usia prasekolah meliputi dua tahapan penting. Pertama, adalah
tahapan autonomy vs shame/doubt atau yang juga dikenal sebagai
kemandirian vs malu/ragu. Tahapan ini terjadi ketika anak berada pada usia
2-4 tahun. Pada tahap ini anak memiliki kemampuan untuk dapat
mengendalikan diri (self-regulation), dan mulai berkembangnya rasa
kepercayaan diri. Oleh karenanya, anak perlu diberikan peluang untuk
melakukan sendiri apa saja yang bisa dilakukan tanpa dibantu orang lain
sehingga proses pembentukan kemandiriannya dapat berjalan dengan baik.

9
Orang tua sebaiknya tidak terlalu banyak melarang dan memarahi karena
dapat membuat anak merasa tidak mampu dan ragu dengan kemampuan
dirinya. Akibatnya, rasa percaya diri anak akan sulit untuk tumbuh.
Tahapan kedua yaitu initiative vs guilt yang juga disebut sebagai tahap
inisiatif vs rasa bersalah yang berlangsung pada usia 4–6 tahun. Pada
tahap ini anak aktif bereksperimen, berimajinasi, berani mencoba, berani
mengambil risiko, dan senang bergaul dengan temannya. Apabila anak
pada masa ini sering dikritik maka emosi yang timbul adalah negatif,
merasa apa yang dikerjakan selalu salah sehingga anak cenderung
bersikap apatis (kurang antusias), takut salah, dan tidak berani mencoba atau
mengambil risiko.
d. Umur 5-7 tahun
Perkembangan berlangsung baik dan anak dapat memasuki taman
kanak-kanak jika perkembangan anak sebelumnya berlangsung baik. Ia
mendapat banyak pelajaran dari lingkungan dan keluarga. Pada fase ini ia
ingin mengetahui apa dan bagaimana sesuatu terjadi. Anak pada umur ini
akan selalu ingin tahu dan bertanya. Kemampuan melihat dan menerima
pengertian masih terbatas, cara berfikirnya masih terbatas apa yang di lihat
dan di alami sendiri. Masa ini juga ditentukan oleh faktor-faktor luar
contohnya faktor perbedaan waktu dan kemahiran mengerjakan sesuatu.
Sehingga dapat dilihat dan dibedakan anak yang melakukan pekerjaan dengan
cepat dan anak yang lambat.
Pada masa ini, di perlukan dukungan ibu dan ayah. Jika ibu
memaksakan anak untuk mempercepat pekerjaannya, maka timbul
ketegangan dan pertentangan pada anak. Jika ibu menyelesaikan atau
meminta bantuan kakak untuk menyelesaikan pekerjaannya, maka timbul
sifat ketergantungan pada orang lain.5
Pada masa ini juga mulai terpupuk kata hati, maka bila ajaran moral
dan disiplin ditanamkan terlalu keras dan kaku, pada anak akan timbul
perasaan bersalah.6
e. Umur 6-12

10
Umur 7- 11 tahun keseimbangan antara sifat ketergantungan dan sifat
mampu berdiri sendiri dilakukan secara baik oleh seseorang yang baru datang
dari sekolah. Seorang anak mulai menyembunyikan sifat ketergantungan
pada orang tua. Akan tetapi, jika anak memperlihatkan ketergantungan yang
terang-terangan pada ibunya, menunjukkan bahwa perkembangannya tidak
wajar. Sebab pada masa ini, anak seharusnya sudah mulai berdiri-sendiri dan
hanya kadang-kadang bergantung pada orang lain.
Masuk sekolah berarti menyesuaikan diri dengan orang dewasa yan
berkuasa dan teman-teman sebaya dan menghendaki peralihan dari sikap
bermain ke sikap bekerja. Anak wajib mengembangkan kemampuan berdiri
sendiri, rasa tanggung jawab, dan rasa mempunyai kewajiban. Pada umur ini
anak diajarkan untuk disiplin dan bekerja bersungguh-sungguh.
Disini sikap orang tua sangat penting, jika orang tua memberikan
kebebasan, kurang mengharuskan anak belajar, bertindak dan mengerjakan
tugas dengan baik, maka sikap bermain anak akan bertambah dan anak tidak
belajar mengatasi kesukaran dan menjadi lebih terikat dengan apa yang di
inginkan. Pada masa ini anak harus mampu bekerja dengan sungguh-sungguh
sehingga bisa mengembangkan inisiatif dan kemampuan berdiri-sendiri dan
merasakan pelajaran sebagai permainan. Anak hendaknya diberi ruang yang
cukup untuk bermain dengan teman sebayanya.5
Pada masa anak sekolah ini, anak-anak membandingkan dirinya
dengan teman-temannya dimana ia mulai dihinggapi rasa ketakutan dan
kegagalan dan ejekan teman. Bila masa ini ia sering gagal dan merasa cemas,
akan tumbuh rasa rendah diri. Sebaliknya, bila ia tahu tentang bagaimana dan
apa yang perlu dikerjakan dalam menghadapi tuntutan masyarakatnya dan ia
berhasil mengatasi masalah hubungan teman dan prestasi sekolahnya, akan
timbul motivasi yang tinggi terhadap karya.
Dalam usia ini anak mulai belajar mengendalikan emosinya dengan
berbagai cara dan tindakan yang diterima dilingkungannya (misalnya tidak
lagi menjerit-jerit dan berguling kalau keinginannya tidak terpenuhi karena
reaksi semacam itu dianggap seperti “anak kecil”).6

11
f. Pubertas dan remaja (11-19)
Dalam proses ini terjadi proses pematangan seksuil dan hal ini
diperlukan untuk membentuk ciri-ciri kelakukan dalam pergaulan anak-anak
berlainan jenis kelamin.5
Perubahan psikososial pada remaja di bagi tiga tahap yaitu remaja
awal (early adolescent) pertengahan (middle adolescent), dan akhir (late
adolescent). Periode pertama disebut remaja awal terjadi pada usia 12-14
tahun. Karekteristik periode remaja awal ditandai dengan perubahan-
perubahan seperti:7
1) Krisis identitas
2) Jiwa labil
3) Meningkatnya kemampuan verbal untuk ekspresi diri
4) Pentingnya teman dekat/sahabat
5) Berkurangnya rasa hormat terhadap orangtua, kadang-kadang berlaku
kasar
6) Menunjukkan kesalahan orangtua
7) Mencari orang lain yang disayangi selain orangtua
8) Kecendrungan berlaku kekanak-kanakan
9) Terdapat pengaruh sebaya terhadap hobi dan pakaian.
Periode selanjutnya adlah middle adolescent terjadi antara usia 15-17
tahun, yang ditandai dengan perubahan-perubahan sebagai berikut:
1) Mengeluh orang tua terlalu ikut campur dalam kehidupannya
2) Sangat memperhatikan penampilan
3) Berusaha untuk mendapat teman baru
4) Tidak atau kurang menghargai pendapat orangtua
5) Sering sedih/moody
6) Mulai menulis buku harian
7) Sangat memperhatikan kelompok main secara selektif dan kompetitif
8) Mulai mengalamai periode sedih karena ingin lepas dari orangtua
Periode late adolescent ditandai dengan:
1) Identitas diri menjadi lebih kuat

12
2) Mampu memikirkan ide
3) Mampu mengekspresikan perasaan dengan kata-kata
4) Lebih menghargai orang lain
5) Lebih konsisten terhadap minatnya
6) Bangga dengan hasil yang dicapai
7) Selera humor lebih berkembang
8) Emosi stabil
4. Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi
Perkembangan dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam (bawaan) dan
faktor luar (lingkungan, pengalaman, pengasuhan). Walaupun semua orang
mengikuti pola perkembangan yang kurang lebih sama, kecepatan
perkembangan pada suatu aspek pada tiap orang berbeda-beda misalnya anak
dengan umur yang sama tidak selalu mencapai titik atau tingkat
perkembangan fisik, mental, sosial emosi yang sama. Variasi dalam
perkembangan ini banyak hubangannya dengan faktor kematangan, belajar
atau pengalaman, bawaan dan faktor lingkungan.6
Faktor yang berhubungan dengan perkembangan sosial emosi anak
antara lain pola asuh, teman sebaya dan status kesehatan 8. Antara lain:
a. Pola asuh
Pola asuh merupakan gaya gaya yang diterapkan dalam
berinteraksi dengan anaknya baik dalam bentuk otoriter, demokratis,
dan permisif. Adanya hubungan dengan pengasuhnya merupakan dasar
bagi perkembangan emosional dan sosial anak. Pola asuh ottoriter
adalah penentu segala-galanya sehingga anak hanya mengikuti gaya
orang tua. Melalui pola ini anak menjadi pribadi penuh rasa curiga
dan cenderung menarik diri dari pergaulan sosialnya. Pola asuh
demokratis tidak saling memaksakan kehendak, menghargai dan
menghormati perbedaan sehingga setiap anak dapat berkembangan
sesuai potensi yang menghormati perbedaan sehingga setiap anak
dapat berkembangan sesuai dengan potensi yang dimilikinya, anak akan
menjadi pribadi yang memiliki kepercayaan diri dan dengan

13
lingkungan sosialnya. Pola asuh permisif cenderung selalu
memberikan kebebasan pada anak tanpa memberikan kontrol sama
sekali sehingga akan menjadikan anak tidak mandiri dan tergantung
pada orang lain.8
Kemampuan anak untuk mengungkapkan perasaannya tergantung
pada lingkungan sosial atau budaya di tempat mereka dibesarkan. Ada
anak yang berani mengungkapkan rasa marahnya, sementara anak yang
lain mungkin takut mengungkapkannya. Hal ini tergantung hubungan
timbal balik antara orang tua dengan anak dan anak dengan orang lain.
Seorang anak yang tumbuh dalam keluarga yang terbiasa
mengungkapkan dan membahas perasaan secara terbuka akan lebih
mudah pula mengembangkan pembendaharaan kata untuk
mengkomunikasikan perasaannya. Sementara itu, keluarga yang terbiasa
menekan perasaan dan menganggap ungkapan marah adalah hal yang
negatif akan membuat anak enggan dan merasa tidak nyaman untuk
mengungkapkan perasaannya.9
Penelitian yang dilakukan Ika Fadhilah dkk (2010) menunjukkan
adanya hubungan yang signifikan antara tipe pola asuh orang tua dengan
Emotional Quotient (EQ) pada anak usia sekolah (3-5 tahun) di TK
Islami AL-Fattah Purwokerto.10
b. Interaksi dengan teman sebaya
Menurut Ahmad dan Mubiar (2014) Pada anak usia 4-5 tahun
mengalami perkembangan yang cukup pesat terutama pada
perkembangan sosial emosi yang terlihat dalam kehidupan sehari-
hari. Perkembangan sosial yang terjadi pada anak usia 4-5 tahun
misalnya anak mulai berinteraksi antara teman sebayanya dengan
cara berbicara, bermain, menangis dan pergaulan sosial mulai
berkelompok dengan jenis kelamin yang sama. Sedangkan
perkembangan emosional pada anak usia 4-5 tahun yaitu anak akan
menunjukan rasa emosionalnya dengan cara menangis, tertawa,
tersenyum, ketakutan, marah, menyerang.

14
Berdasarkan hasil penelitian Rohayati (2016) dengan judul faktor
faktor yang mempengaruhi perkembangan emosional anak menunjukkan
faktor yang paling mempengaruhi perkembangan sosial emosi anak yaitu
interaksi dengan teman sebaya dan kondisi lingkungan.8
Interaksi teman sebaya merupakan kondisi pada setiap anak yang
mempunyai perkembangan sosial yang baik, maka secara alami dapat
berinteraksi dengan teman sebayanya tanpa harus diperintah atau
ditemani orang tua karena anak memiliki arahan yang jelas. Interaksi
teman sebaya sangat mempengaruhi perkembangan sosial anak, dimana
anak dapat melakukan segala aktifitasnya dengan baik apabila terjalin
interaksi.8
c. Lingkungan
Kondisi lingkungan meliputi fisik dan sosial yang mempengaruhi
perasaan atau emosi anak. Emosi anak yang baik saat berada
dilingkungan yang tenang anak akan merasa senang dan nyaman,
sedangkan pada anak dengan emosi yang buruk, anak akan merasa takut,
cemas, bahakan menangis, bertingkah tidak baik pada teman dan orang-
orang disekitarnya jika berada dilingkungan yang asing.8
Penelitian yang dilakukan Dwi Hastuti, dkk (2011) “Kualitas
Lingkungan pengasuhan dan perkembangan sosial emosi anak usia balita
di daerah rawan pangan menunjukkan kualitas lingkungan pengasuhan
adalah faktor yang paling terkait dengan perkembangan sosial emosi
anak
Melalui lingkungan sosial yang diperoleh dari keluarga, anak akan
mendapatkan kualitas lingkungan pengasuhan sehingga anak dapat
belajar mengenal lingkungan alam sekitar. Anak yang mendapatkan
stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang
dibanding dengan anak yang kurang atau tidak mendapatkan stimulasi.
Kualitas lingkungan pengasuhan yang diperoleh anak berhubungan
dengan karakteristik anak dan karakteristik keluarga (Priatini, Latifah, &
Guhardja, 2004).

15
Selain itu, kualitas lingkungan pengasuhan berhubungan
signifikan dengan alokasi sumber daya keluarga. Keluarga dengan
sumber daya yang memadai diharapkan dapat mengalokasikan sumber
daya yang dimiliki dengan tepat, termasuk dalam pemberian kualitas
lingkungan pengasuhan dengan anaknya. menyatakan bahwa orang tua
dengan sumber daya yang memadai, lingkungan keluarga yang
mendukung, serta karakteristik dasar anak yang baik, maka peluang anak
untuk mencapai kompetensi sosial emosi lebih tinggi. Sebaliknya orang
tua yang memiliki sumber daya yang terbatas, dukungan lingkungan
yang tidak memadai, serta karakteristik anak yang sulit, maka peluang
untuk menumbuhkan kematangan sosial emosi anak menjadi rendah.11
d. Status kesehatan
Pada penelitian rohayati didapatkan hasil dari 33 responden
dengan status kesehatan anak sehat, ada 26 orang (78,8%) dengan
perkembangan sosioemosional pada kategori aktif. Kesehtan fisik
maupun kesehatan mental mempengaruhi emosional anak. Anak dengan
sehat fisik dan mental akan mempu mengarahkan emosionalnya sesuai
dengan keadaan yang sesungguhnya.8
5. Kelainan Perkembangan Mental Emosional
a. Kelainan mental emosional12
1) Autism
Autism adalah sindrom prilaku akibat disfungsi neurologis,
dengan karakteristik berupa gangguan pada interaksi sosial timbal
balik, gangguan komunikasi verbal dan nonverbal, miskin dalam hal
aktifitas imaginatif, serta aktifitas dan minat yang sangat terbatas.
b. Kelainan Prilaku
1) Gangguan pemusatan perhatian hiperaktifitas (GPPH)
Gejala GPPH harus muncul sebelum usia 7 tahun dan
menetap paling sedikit 6 bulan sebelum diagnosa ditegakkan.
Perilaku harus tidak sesuai dengan perkembangan (secara bermakna
berbeda dengan anak lain dengan usia dan tingkat perkembangan

16
yang sama) dan muncul di 2 atau lebih lingkungan (misalnya rumah
dan sekolah).
Tiga gejala utama GPPH adalah inatensi, impulsifitas, dan
hiperaktifitas. Berdasarkan Diagnostic and Statistic Manual of
Mental Disorders edisi IV (DSM-IV) terdapat 3 subtipe GPPH,
yaitu: tipe predominan inatentif, tipe predominan hiperaktif-impulsif
dan tipe kombinasi. Kebanyakan anak dan remaja dengan GPPH
merupakan tipe kombinasi, yang menunjukkan gejala inatensi dan
hiperaktivitas impulsivitas.
c. Manifestasi klinis
Anak dengan GPPH memiliki masalah dengan perhatian:
1) Sering gagal memberi perhatian penuh untuk hal yang rinci atau
membuat kesalahan ceroboh
2) Sering memiliki kesulitan mempertahankan perhatian pada tugas
yang membutuhkan waktu lama
3) Kesulitan mengikuti instruksi dan mengorganisasi tugas dan
aktifitas juga merupakan karakteristik anak dengan GPPH
4) Kontrol impuls yang buruk menyebabkan anak memiliki kesulitan
menunggu giliran, sering menjawab pertanyaan sebelum pertanyaan
selesai diucapkan, dan sering mengintrupsi atau memotong orang
lain.
d. Gejala hiperaktivitas berupa:
1) Keresahan/kegelisahan
2) Sering mengalamai kesulitan untuk duduk diam atau bermain
dengan tenang
3) Serta perasaann tidak dapat beristirahat pada remaja
4) Kesulitan dalam hubungan sosial dan mudah frustasi juga sering
ditemukan pada anak dengan GPPH

B. Perkembangan Prilaku
1. Pengertian Perkembangan Prilaku

17
Kepribadian dan keterampilan kognitif berkembang dengan cara yang
sama dengan pertumbuhan biologis pencapaian baru terbentuk pada
keterampilan yang sudah dikuasai sebelumnya. Banyak aspek yang
tergantung pada pertumbuhan fisik dan maturasi.Ini bukanlah jumlah
komprehensif dari banyaknya aspek dalam perkembangan kepribadian dan
prilaku. Banyak aspek terintegrasi dalam perkembangan emosi dan sosial
anak yang akan dibahas dalam diskusi selanjutnya mengenai berbagai
kelompok usia.13
2. Tahapan Perkembangan Prilaku
a. Dasar Teoretik Perkembangan Kepribadian
Menurut freud semua prilaku manusia digerakan oleh kekuatan
psikodinamik dan energi fisik ini dibagi menjadi tiga komponen
kepribadian : ego, super ego, pikiran bawah sadar merupakan komponen
dari lahir yang digerakkan oleh insting. Ego, pikiran sadar memberikan
prinsip-prinsip realita.Berfungsi sebagai kesadaran atau pengendalian
diri yang mampu menemukan arti realistik tentang memuaskan insting
sambil menghambat pikiran emosional.Superego, suara hati berfungsi
sebagai hakim moral dan mewakili ideal.Superego merupakan
mekanisme insting yang tidak diinginkan yang dapat mengancam tatanan
sosial.
b. Tahap Perkembangan Kepribadian
1) Perkembangan Psikoseksual (Freud)
Freud menganggap insting seksual sebagai sesuatu yang
signifikan dalam perkembangan kepribadian. Ia menggunakan
istilah psikoseksual untuk menjelaskan segala kesenangan seksual.
Selama masa kanak-kanak bagian-bagian tubuh tertentu memiliki
makna psikologis yang menonjol sebagai sumber kesenangan baru
dan konflik baru secara bertahap bergeser dari satu bagian tubuh ke
bagian tubuh yang lain pada tahap-tahap perkembangan tertentu:
Tabel 2.4 Perkembangan Psikoseksual (Freud) 13
Tahap oral Selama masa bayi sumber utama mencari

18
(lahir - 1 tahun) kesenangan berpusat pada aktivitas oral seperti
menghisap, menggigit, mengunyah dan berbicara.
Anak boleh memilih salah satu dari yang di sebut
kan ini dan metode pemuasan kebutuhan oral yang
dipilih dapat memberikan beberapa indikasi
kepribadian yang sedang mereka bentuk.
Tahap anal Ketertarikan selama tahun kedua kehidupan berpusat
(1- 3 tahun) pada bagian anal saat otot-otot sfingter berkembang
dan anak-anak mampu menahan atau mengeluarkan
feses sesuai keinginan. Pada tahap ini suasana
disekitar toilet training dapat menimbulkan efek
seumur hidup pada kepribadian anak.
Tahap falik Selama tahap falik, genital menjadi area tubuh yang
(3-6 tahun) menarik dan sensitif. Anak mengetahui perbedaan
jenis kelamin dan menjadi ingin tahu tentang
perbedaan tersebut. Pada periode ini terjadi masalah
yang kontroversial tentang Oedipus dan Electra
kompleks, penis envy, ansietas terhadap kastrasi.
Periode laten Selama periode laten anak-anak melakukan sifat dan
(6-12 tahun) keterampilan yang telah diperoleh. Energi fisik dan
psikis diarahkan pada mendapatkan pengetahuan dan
bermain.
Tahap genital Tahap signifikan yang terakhir dimulai pada saat
(12 tahun ke atas) pubertas dengan maturasi sistem reproduksi dan
produksi hormon-hormon seks. Organ genital
menjadi sumber utama ketegangan dan kesenangan
seksual, tetapi energi juga digunakan untuk
membentuk persahabatan dan persiapan pernikahan.

2) Perkembangan Psikososial (Erikson)


Teori perkembangan kepribadian yang paling banyak di terima adalah
teori yang dikembangkan oleh Erikson (1963). Meskipun dibuat berdasarkan teori
Freud, teori ini dikenal sebagai perkembangan psikososial dan menekankan pada
kepribadian yang sehat, bertentangan dengan pendekatan patologik.Erikson juga
menggunakan konsep-konsep biologis tentang periode kritis dan epigenesis,
menjelaskan konflik atau masalah inti yang harus dikuasai individu selama
periode kritis dalam perkembangan kepribadian.Keberhasilan pencapaian atau
penguasaan terhadap setiap konflik inti ini terbentuk berdasarkan keberhasilan
pencapaian atau penugasan inti sebelumnya.

19
Setiap tahapan psikososial mempunyai dua komponen aspek yang
menyenangkan dan tidak menyenangkan dari konflik inti dan perkembangan ke
tahap selanjutnya bergantung pada penyelesaikan konflik ini.Tidak ada konflik
inti yang pernah dikuasai secara lengkap melainkan tetap menjadi masalah yang
kerap timbul seumur hidup. Pendekatan rentang Erikson terhadap perkembangan
kepribadian terdiri atas delapan tahap namun hanya lima pertama yang berkaitan
dengan masa kanak-kanak yaitu
Tabel 2.5Perkembangan Psikososial (Erikson) 13
Percaya vs tidak percaya Hal pertama dan yang paling penting bagi perkembangan
(lahir sampai 1 tahun) kepribadian yang sehat adalah rasa percaya dasar.
Pembentikan rasa percaya ini mendominasi tahun
pertama kehidupan dan menggambarkan semua
pengalaman kepuasan anak pada usia ini. Berkaitan
dengan tahap oral Freud, saat ini merupakan saat untuk
“mendapatkan” dan “mengambil” apa pun melalui
semua indra. Hal ini hanya terjadi dalam kaitannya
dengan sesuatu atau seseorang. Oleh karena itu asuhan
yang konsisten dan penuh kasih oleh orang yang
berperan sebagai ibu merupakan hal yang sangat penting
bagi perkembangan rasa percaya. Rasa tidak
percayaterjadi jika pengalaman yang meningkatkan
tidak terpenuhinya rasa percaya atau jika kebutuhan
dasar tidak terpenuhi secara konsisten atau adekuat.
Meskipun pecahan-pecahan rasa tidak percaya terjadi di
seluruh kepribadian namun rasa percaya dasar terhadap
orang tua membentuk rasa percaya terhadap dunia, orang
lain dan diri sendiri. Hasilnya kepercayaan dan
optimism.

Autonomi vs malu dan Jika di kaitkan dengan tahap anal Freud, masalah
ragu-ragu autonomi dapat dicirikan dengan menahan atau
(1-3 tahun) merelaksasi otot sfingter. Perkembangan autonomi
selama periode todler berpusat pada peningkatan
kemampuan anak untuk mengendalikan tubuh mereka,
diri merka dan lingkungan mereka. Mereka ingin
melakukan hal-hal untuk diri mereka sendiri,
menggunakan keterampilan motorik yang baru mereka
peroleh seperti berjalan, memanjat, dan memanipulasi
serta menggunakan kekuatan mental mereka dalam
memilih dan membuat keputusan. Pembelajaran yang
mereka peroleh sebagian besar didapat dari meniru
aktivitas dan prilaku orang lain. Perasaan negarif seperti

20
ragudan malumuncul ketika anak-anak diremehkan,
ketika pilihan-pilhan mereka membahayakan atau ketika
mereka dipaksa untuk bergantung dalam beberapa hal
yang sebenarnya mereka mampu melakukannya. Hasil
yang diharapkan adalah kontrol diri dan ketekunan.
Inisiatif vs rasa bersalah Tahap inisiatif berkaitan dengan tahap falik Freud dan
(6 sampai 12 tahun) dicirikan dengan prilaku yang instrusif dan penuh
semangat, berani berupaya dan imajinasi yang kuat.
Anak-anak mengeksplorasi dunia fisik dengan semua
indra dan kekuatan mereka. Mereka membentuk suara
hati. Tidak lagi hanya dibimbing oleh pihak luar,
terdapat suara dari dalam yang memperingatkan dan
mengancam. Anak-anak terkadang memiliki tujuan atau
melakukan aktivitas yang bertentangan dengan yang
dimiliki orang tua atau orang lain dan dibuat merasa
bahwa aktivitas atau imajunasi mereka merupakan hal
yang buruk sehingga menimbulkan rasa bersalah. Anak-
anak harus belajar mempertahankan rasa inisiatif tanpa
mengenai hak dan hak istimewa orang lain. Hasil
akhirnya arahan dan tujuan.

Industri vs inferioritas Tahap industri adalah periode laten dari freud. Setelah
(6 sampai 12 tahun) mencapai tahap yang lebih penting dalam perkembangan
kepribadian, anak-anak siap untuk bekerja dan
berproduksi. Mereka mau terlibat dalam tugas dan
aktivitas yang dapat mereka lakukan sampai selesai,
mereka memerlukan dan menginginkan pencapaian yang
nyata, anak-anak belajar berkompetesi dan bekerja sama
dengan orang lain dan mereka juga mempelajari aturan-
aturan. Periode ini merupakan periode pemantapan
dalam hubungan sosial mereka dengan orang lain rasa
ketidakadekuatanatauinferioritasdapat terjadi jika
terlalu banyak yang diharapkan dari mereka atau jika
mereka percaya bahwa mereka tidak dapat memenuhi
standar yang ditetapkan orang lain untuk mereka.
Kualitas ego yang berkembang dari rasa industri adalah
kompetensi.
Identitas vs kebingungan Berhubungan dengan periode genital freud,
(12 sampai 18 tahun) perkembangan identitas dicirikan dengan perubahan fisik
yang cepat dan jelas. Rasa percaya terhadap tubuh
mereka yang sudah terbentuk sebelumnya mengalami
kegoncangan dan anak-anak menjadi sangat terpaku
dengan penampilan mereka dimata orang lain
dibandingkan penampilan mereka dimata orang lain
dibandingkan dengan konsep diri mereka. Remaja
berusaha menyesuaikan diri dengan peran yang mereka

21
mainkan dan mereka berharap dapat bermain dalam
peran dan gaya baru yang dilakukan oleh teman-teman
sebaya mereka, untuk mengintegrasi konsep dan nilai-
nilai mereka terhadap lingkungan dan pembuatan
keputusan okupasi. Ketidakmampuan untuk
menyelesaikan konflik inti menyebabkan terjadinya
kebingungan peran. Hasil dari penguasaan yang sukses
adalah kesetiaan dan ketaatan terhadap orang lain serta
terhadap nilai-nilai dan ideologi.

3. Faktor Penyebab Gangguan Perilaku Pada Anak


Faktor-faktor yang mempengaruhi gangguan perilaku pada anak
dan remaja13 :
a. Karakteristik Kepribadian.
Anak yang menderita gangguan perilaku, pada masa kecilnya
seringkalimengalami gangguan dalam hubungansosial yang disebabkan oleh
banyak faktor. Peneletian yang dilakukan ani menunjukkan bahwagangguan
perilaku mulai tampak padausia 10 tahun lalu penderitanya
berlanjutmengalami gangguan-gangguanpsikiatrik lain pada masa dewasa.
Holcomb & Kashani (1991) mengatakan bahwa penderita
gangguanperilaku cenderung overestimate akankemampuan diri sendiri,
merasa superiordan kurang ekspektasi sosialnya,cenderung sangat
disorganisasi dalampekerjaan sehari-hari dan sulit diprediksisituasi kehidupan
mereka selanjutnya. Mereka kurang respek terhadap oranglain dan cenderung
mendominasi orang. Mereka tumpul, tidak menyenangkandan tidak sabar.
Mereka cenderung salahmenginterpretasi maksud orang lain dantidak toleran
terhadap perbedaan dankesalahan orang lain. Mereka memilikisuasana hati
yang tidak stabil, pesimisdan berprilaku yang tidak menentu.Kemarahan juga
menjadi cirianak/remaja yang mengalami gangguanperilaku dan ini
merupakan hubunganyang negatif pada masa kecil dan dapatmenetap
sepanjang hidupnya.
Holcomb & Kashani (1991) jugamenjelaskan tentang apa yang
dirasakanoleh orang-orang yang mengalamigangguan perilaku yaitu mereka
tidaknyaman dengan situasi keluarga jugadengan pola asuh yang merekadapatkan.

22
Mereka merasa bahwakeluarga mereka mengalami terlalubanyak kekacauan.
Mereka kurangpercaya diri di sekolah dan cenderungtidak peduli terhadap orang
laindikarenakan mereka merasa adakesenjangan antara apa yang merekaharapkan
tentang diri mereka dan apayang nyata pada diri mereka.
b. Temperamen dan Karakter
Temperamen merupakan salahsatu resiko awal untuk terjadinyagangguan
perilaku (Conley 1995). Anak yang mengalami gangguan perilaku memiliki
temperamen yang keras yang disebabkan oleh faktor genetik.
Temperamen didefinisikan sebagai perbedaan-perbedaan individual yang
menetap dalam kualitas dan intensitas reaksi emosional, tingkat aktifitas dan
perhatian serta pengaturan emosional. Hal ini mau tidak mau harus dihadapi oleh
orang tua dan pengasuh. Jika orang tua dan pengasuh tidak siap menghadapinya
ini dapat menjadi faktor resiko yang mengganggu fase awal perkembangan.
Kelekatan merupakan tonggak yang pokok dalam perkembangan. Jika tonggak
initerusik/terganggu maka jalur perkembangan si anak juga terganggu dan ke
depan akan menimbulkan perkembangan karakter dengan pola pemikiran,
perasaan dan kepercayaan yang negatif.
c. Fungsi Kognitif
Hubungan antara fungsi kognitif dengan gangguan perilaku
merupakansesuatu yang kompleks. Fungsi kognitif merupakan proses berpikir
seseorangatau pola/cara berpikirnya. Fungsi kognitif berhubungan dengan tingkat
intelegensi seseorang yang dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan.
Inimenimbulkan perdebatan antara pendapat mengenai pengaruh genetik dengan
pola asuh/lingkungannya.Fungsi kognitif merupakan proses perkembangan yang
berlangsung secara terus menerus sepanjang hidup. Banyak psikolog atau ahli
psikologi sependapat bahwa pada masa anak dan remaja terdapat masa-masa
dimana proses perkembangan melalui tahapan kritis. Ada tugas-tugas tertentu
yang harus dijalani pada setiap fase ini. Untuk melakukannya, seseorang harus
dapat mengatasi proses-proses kompleks dalam menginterpretasi pesan-pesan dari
lingkungan sekitarnya dalam suatu pola yang membutuhkan fleksibilitas dan
kepercayaan (Matthys, dkk, 1995).

23
d. Organik dan Neurologis
Kebanyakan literatur mengenai gangguan perilaku, menitik beratkanpada
hubungan faktor-faktor psikologis dan sosial. Suatu model perkembangan yang
juga penting untuk diperhatikan secara berimbang yaitu faktor/bidang neurologis
dan hal-hal yang berkaitan dengan otak (organ otak). Terdapat pemahaman yang
terbatas mengenai hubungan fungsi otak dengan gangguan perilaku. Tapi
bagaimana pun terdapat cukup bukti untuk menerangkan bahwa seorang anak
dapat mengalami gangguan perilaku sebagai akibat fungsineorologis yang
abnormal. Abnormalitas-abnormalitas tersebut belakangan ini telah dapat
diprediksi dan diketahui dengan baik. Pada penelitian yang dilakukan oleh Galvin
(1994) mereka menemukan bahwa neurotransmitter dapatterganggu oleh keadaan
child abuse(kekerasan pada anak), penolakan dankesalahan-kesalahan pola
asuh /perawatan yang lain. Gangguan-gangguanyang terjadi pada masa awal
kehidupan akan lebih berakibat negatif pada anak. Oleh karena itu, stres pada
masa anak akan mengganggu fungsinormal sitem syaraf pusat lalu selanjutnya
menimbulkan efek negatif pada perkembangan sosial dan perilakunya.
e. Dinamika Keluarga
Meskipun faktor biologis berperan dalam gangguan perilaku, namun
variabel genetik dan kondisi keluarga tampaknya juga menjadi faktor yang
dominan bagi terbentuknyagangguan perilaku. Banyak dari anak dan orang
dewasa yang mengalami gangguan perilaku ternyata dulunya mengalami
penolakan, kekerasan, pelecehan seksual, kemiskinan, gelandangan dan lain
sebagainya. Oleh karena itu, kita perlu menelaah lebih jauh tentang pola yang
komprehensif antara individu dan keluarganya. Dalam masalah dinamika
keluarga, kita harus mempertimbangkan perlunya melihat keadaan satu generasi.
Mc.Millen & Rideout (1996), mengatakan bahwa kekerasan fisik,pelecehan
seksual, alkohol, penyalahgunaan obat, depresi, gelandangan (out-of-home
placement), kehamilan pada usia belasan tahun, perceraian, kemiskinan berat
merupakan masalah yang menetap pada keluarga tertentu dari satu generasi ke
generasi berikutnya.

24
Menurut Abrams (1999), trauma dalam keluarga dapat diteruskan dari
generasi ke generasi. Trauma yang dapat mengarah ke bunuh diri, kekerasan
dalam keluarga, pelecehanseksual, masalah asimilasi kultural (perbauran budaya)
atau insiden-insiden lain dapat membuat keluarga berada pada kondisi
disorganisasi dan terganggu.
f. Faktor Sosial dan Lingkungan
Perilaku bermasalah seseorang yang mengalami gangguan perilaku akan
mempengaruhi diri dan keluarganya. Kondisi lingkungan/sosial tidak hanya dalam
satu arah mempengaruhi masalah perilaku, kognitif dan emosional. Tapi secara
timbal balik gangguan perilaku tersebut memberikan dampak negatif terhadap
lingkungan dan sosial. Werry (1997) menyatakan bahwa seorang anak dan remaja
yang mengalami gangguanperilaku akan menghabiskan dana sosial yang besar, ini
disebabkan karena orangorang yang mengalami gangguan perilaku rendah
produktivitasnya, tidak dapat bermanfaat secara langsung bagi masyarakat,
khususnya pelanggaran hukum, masalah keluarga, perawatan kesehatan dan
ancaman terhadap orang lain. Hal ini selanjutnya menimbulkan permasalahan
sosial, krisis kepercayaan terhadap mereka yang mengalami gangguan perilaku
Masyarakat akan mulai menyimpan kemarahan/perasaan tidak suka
terhadap mereka yang mengalami gangguan perilaku dan membuat mereka
tergerak untuk menjaga jarak terhadap mereka. Ini akan mengganggu
perkembangan anak yang mengalami gangguan perilaku. 14
g. Perkembangan Mental
Istilah kognisi merujuk pada proses ketika individu yang sedang
berkembang mengenal dunia dan isinya. Anak-anak dilahirkan dengan potensi
yang diturunkan untuk pertumbuhan intelektual, tetapi mereka harus
mengembangkan potensi tersebut melalui interaksi dengan lingkungan. Dengan
mengasimilasi informasi melalui indra, memprosesnya dan melakukannya,
mereka semakin memahami hubungan antar objek dan antara diri mereka dan
dunia. Dengan perkembangan kognitif, anak-anak membutuhkan kemampuan
untuk berfikir secara abstrak untuk berfikir secara logis dan untuk mengatur
fungsi intelektual atau kinerja kedalam susunan struktur yang lebih tinggi.

25
Perkembangan bahasa, moral, spiritual muncul saat kemampuan kognitif telah
meningkat. 13
h. Perkembangan Kognitif (Piaget)
Perkembangan kognitif terdiri atas perubahan-perubahan terkait usia yang
terjadi dalam aktivitas mental. Teori yang paling terkenal tentang cara berfikir
anak, dan teori perkembangan yang lebih komprehensif dibuat oleh psikolog
swiss bernama Jean Piaget (1969), Menurut piaget, intelegensia memungkinkan
individu melakukan adaptasi terhadap lingkungan sehingga meningkatkan
kemungkinan bertahan hidup dan melalui prilakunya, individu membentuk dan
mempertahankan keseimbangan dengan lingkungan.
Piaget mengemukakan tiga tahap berfikir : (1) intuisi, (2) operasional
konkret, dan (3) operasional formal. Ketika mereka memasuki tahapan berfikir
konkret pada usia kira-kira 7 tahun, anak-anak mampu membuat kesimpulan
logis, mengklasifikasi dan menghadapi banyaknya hubungan mengenai hal0hal
konkret. Tidak sampai remaja mereka mampu berfikir abstrak dengan tingkat
kompetensi tertentu. Setiap tahap muncul dan dibentuk berdasarkan pencapaian
tahap sebelumnya dengan proses yang kontinue.
Jalannya perkembangan intelektual bersifat maturasional dan tetap dan di bagi
menjadi tahap-tahap berikut ini (usia dalam rata-rata):
a. Sensomotor ( lahir-2 tahun)
Tahap sensori motor dari perkembangan intelektual terdiri atas enam sub
tahap yang dikendalikan oleh sensasi tempat terjadinya pembelajaran sederhana.
Anak-anak mengalami perkembangan aktifitas refleks dari prilaku berulang
sederhan ke prilaku imitatif. Mereka membentuk rasa “sebab dan akibat” pada
saat mereka mengarahkan prilaku terhadap suatu objek. Penyelesaian maslah
biasanya bersifat uji coba. Mereka menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi,
eksperimentasi, dan menyukai hal-hal baru serta mulai membentuk rasa diri
karena mereka mampu membedakan diri mereka dari lingkungannya. Mereka
menyadari bahwa objek memiliki sifat permanen-bahwa semua onjek tetap ada
walaupun tidak terlihat. Di akhir periode sensorimotor anak-anak mulai
menggunakan bahasa dan cara berfikir repsentasional.

26
b. Praoperasional (2-7 tahun)
Ciri menonjol tahap praoperasional dalam perkembangan intelektual
adalah egosentrisme, hal ini bukan berarti egois atau berpusat pada diri sendiri,
tetapi ketidakmampuan untuk menempatkan diri di tempat orang lain. Anak-anak
menginterpretasikan objek dan peristiwa, tidak dari segi umum, melainkan dari
segi hubungan mereka atau penggunaan mereka terhadap objek tersebut. Mereka
tidak dapat melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda dengan yang
dimilikinya, mereka tidak dapat melihat sudut pandang orang lain, mereka juga
tidak mengetahui alasan untuk melakukannya.
Berpikir praoperasional bersifat konkrit dan nyata. Anak-anak tidak dapat
berfikir melebihi yang terlihat, dan mereka kurang mampu membuat deduksi atau
generalisaasi. Pemikiran didominasi oleh apa yang mereka lihat, dengar, atau
alami. Akan tetapi, mereka semakin menggunakan bahasa dan simbol utnuk
mewakili objek yang ada dilingkungan mereka. Melalui bermain imajinatif,
bertanya, interaksi lainnya, mereka mulai membuat konsep dan membuta
hubungan sederhana antar-ide. Pada tahap akhir periode ini pemikiran mereka
bersifat intuitif (mis; bintang harus pergi tidur karena mereka juga tidur) dan
mereka baru mulai menghadapi maslah berat badan, tinggi badan, ukuran, dan
waktu. Cara berfikir juga bersifat transduktif-karena dua kejadian terjadi
bersamaan, mereka saling menyebabkan satu sama lain, atau pengetahuan tentang
satu ciri dipindahkan ke ciri lain (mis; semua wanita yang berperut besar pasti
hamil)
c. Operasional konkret (7-11 tahun)
Pada usia ini cara berfikir menjadi sangat logis dan masuk akal. Anak-
anak mampu mengklarifikasi, mengurutkan, menyusun, dan mengatur fakta
tentang dunia untuk menyelesaikan masalah. Mereka membentuk konsep baru
tentang permanen-konservasi. Mereka menyadari bahwa faktor-faktor fisik seperti
volume, berat badan, dan jumlah tetap sama sekalipun tampilan luarnya berubah.
Mereka mampu menghadapi sejumlah aspek berbeda dalam sebuah situasi secara
bersamaan. Mereka tidak memiliki kemampuan utnuk menghadapi sesuatu yang
abstrak; mereka menyelesaikan masalah secara konkret dan sistematis

27
berdasarkan apa yang mereka rasakan. Cara berfikir bersifat induktif. Melalui
perubahan progresif dalam proses berfikir dan berhubungan dengan orang lain,
cara berfikir tidak terlalu berpusat pada diri sendiri. Mereka dapat
mempertimbangkan sudut pandang orang lain yang berbeda dan sudut pandang
mereka sendiri. Cara berfikir menjadi semakin tersosialisasi.
d. Operasional formal (11-15 tahun)
Berfikir operasional formal dicirikan dengan adaptibilitas dan fleksibilitas.
Remaja dapat berfikir menggunakan istilah-istilah abstrak , menggunakan simbol
abstrak, dan menarik kesimpula logis dari serangkaian observasi. Jika A lebih
besar dari B, dan B lebih besar dari C, simbol mana yang paling besar?
(jawabannya adalah A). mereka dapat membuat hipotesis dan mengujinya; mereka
dapat mempertimbangkan hal-hal yang bersifat abstrak, teori, dan filosofi.
Meskipun mereka mungkin bingung antara sesuatu yang ideal dengan yang
praktis, sebagian besar kontra indikasi di sunia dapat di atasi dan diselesaikan. 13
e. Perkembangan Bahasa
Anak-anak dilahirkan dengan mekanisme dan kemampuan utnuk
mengembangkan bicara dan keterampilan berbahasa. Bagaimanapu, mereka tidak
dapt berbicara secara sepontan. Lingkungan harus memberikan cara bagi mereka
utnuk menguasai keterampilan ini. Keahlian bicara membutuhkan struktur dan
fungsi fisiologis yang utuh (termasuk pernafasan, pendengaran dan otak)
ditambah intelegensi, kebutuhan untuk berkomunikasi dan stimulasi.
Lalu perkembangan secara bervariasi dari satu anak ke anak lain dan
berkaitan langsung dengan kompetensi neulologik dan perkembangan kognitif.
Bahasa tubuh memdahului kemampuan bicara, dan dengan cara ini anak
mengkomunikasikan rasa puasnya. Pada saat kemampuan bicara
berkembang,bahasa tubuh berkurang namun tidak pernah hilang sepenuhnya.
Disemua tahap perkembnagan bahasa, pemahaman anak terhadap
pembendaharaan kata (kata yang mereka pahami) lebih besar dari
pembendaharaan kata yang mereka ekspresikan (yang mereka ucapkan), dan
perkembangan ini mercerminkan proses modifikasi yang kontinu yang melibatkan
perolehan kata-kata baru, dan perluasan atau penghalusan arti kata-kata yang

28
dipelajari sebelumnya. Pada saat mereka mulai berjalan, anak anak mulai mampu
menyebutkan nama objek dan orang.
Bagian dari bicara yang pertama kali digunakan adalah kata benda,
terkadang kata kerja (mis. “pergi”), dan gabungan kata-kata (seperti “da-da”).
Respons biasanya tidak lengkap secara struktural selama periode todler, meskipun
artinya sudah jelas. Kemudian mereka mulai menggunakan kata sifat dan kata
keterangan untuk mengualifikasikan kata benda, diikuti kata keterangan untuk
menguakifikasi kata benda dan kata kerja. Kemudian kata ganti dan kata yang
bersifat gender ditambahkan. Pada saat anak mulai masuk sekolah, mereka
mampu menggunakan kalimat sederhana yan lengkap secara struktural yang rata-
rata terdiri dari 5 sampai7 kata. 11
f. Perkembangan Moral (Kohlberg)
Anak-anak juga mendapatkan cara berfikir moral dalam urutan
perkembangan. Perkembangan moral, seperti yang dijelaskan oleh kohlberg
(1968), dibuat berdasarkan teori perkembangan kognitif dan terdiri dari tiga
tingkat utama berikut ini, masing-masing meliputi dua tahap:
1) Tingkat prakonvensional
Tingkat prakonvensional dalam perkembangan moral sejajar dengan
tingkat praoperasional dalam perkembangan kkognitif dan pemikiran intuitif.
Terorientasi secara budaya dengan label baik/buruk dab benar/salah, anak-
anak mengintegrasikan label ini dalam konsekuensi fisik atau konsekuensi
menyenangkan dari tindakan mereka. Awalnya, anak-anak menetapkan baik
atau buruknya suatu tindakan dari konsekuensi tindakan tersebut. Mereka
menghindari hukuman tanpa bertanya siapa yang berkuasa untuk menentukan
dan memperkuat aturan dan label. Mereka tidak memiliki konsep tatanan
moral dasar yang mendukung konsekuensi ini. Anak-anak kemudian
menentukan bahwa prilaku yang benar terdiri atas sesuatu yang memuaskan
kebutuhan mereka sendiri (dan terkadang kebutuhan orang lain). Meskipun
unsur-unsur keadilan, emmeberi dan menerima, dan pembagian yang adil
juga terlihat pada tahap ini, hal tersebut diinterpretasikan dengan cara yang
sangat praktis dan konkret tanpa kesetiaan, rasa terima kasih, atau keadilan.

29
2) Tingkat konvensional
Pada tahap ini anak-anak terfokus pada kepatuhan dan loyalitas.
Mereka menghargai negara pemeliharaan harapan keluarga, kelompok, atau
negara tanpa memedulikan konsekuensinya. Prilaku yang disetujui dan
disukai atau membantu orang lain dianggap sebagai prilaku yang baik.
Seseorang mendapat persetujuan dengan bersikap “baik”. Mematuhi aturan,
melakukan tugas seseorang, menunjukkan rasa hormat terhadap wewenang,
dan menjaga aturan sosial merupakan prilaku yang tepat. Tingkat ini
berkaitan dengan tahap operasional konkret dalam perkembangan kognitif.
3) Tigkat pascakonvensional, autonomi, atau prinsip
Pada tahap ini individu telah mencapai tahap kognitif operasional
formal. Perilaku yang tepat cenderung didefinisikan dari segi hak-hak dan
standar umum individu yang telah di uji dna disetujui masyarakat. meskipun
aturan prosedural untuk mencapai konsesus menjadi penting dengan
penekanan pada sudut pandang hukum, terdapat juga kemungkinan untuk
mengubah hukum berdasarkan kebutuhan masyarakat dan pertimbangan
sosial.
Tingkat perkembangan moral yang paling lanjut adalah ketika prinsip
etis yang dipilih sendiri memandu mengambilan keputusan hati nurani.
Prinsip-prinsip tersebut berupa prinsip-prinsip kejadian dan hak assasi
manusia yang bersifat abstrak dan etis yang menghargai martabat seseorang
sebagai individu. Diyakini bahwa sebagian kecil orang mencapai tahap
pemikiran moral ini. 13
g. Perkembangan Spritual
Keyakinan spiritual sangat berkaitan dengan bagian moral dan etis dalam
konsep diri anak dan, oleh karena itu, harus dipertimbangkan sebagai bagian sari
pengkajian kebutuhan dasar anak. Anak-nak perlu memiliki arti, tujuan dan
harapan dalam hidupnya. Tidak hanya itu, mereka juga membutuhkan pengakuan
dan pemberian maaf, sekalipun pada abak yang masih sangat kecil. Selai agama
(serangkaian keyakinan dan praktik yang terorganisasi), spiritualitas memengaruhi
seluruh bagian dalam diri seseorang: pikiran, tubuh, jiwa (clutter, 1991). Fowler

30
(1974) telah mengidentifikasi tujuh perkembangan keimanan, empat diantaranya
berkaitan erat dan sejajar dengan perkembangan kognitif dan psikososial di masa
anak-anak
Tahap perkembangan ini menekankan periode masa bayi ketika anak tidak
memiliki konsep benar atau salah, tidak memiliki keyakinan, dan tidak ada
keyakinan yang membimbing prilaku mereka. Meski demikian, awal keimanan
terbentuk dari pengembangan rasa percaya dasar melalui hubungannya dengan
perberi asuhan primer.
h. Tahap 1: intuitive-projective
Masa todler merupakan waktu utama untuk meniru prilaku orang lain.
Anak-anak menirukan gerakan dan prilaku keagamaan orang lain tanpa
memahami makna atau pentingnya aktiviitas tersebut. Selama usia prasekolah
anak-anak meneyerap beberapa nilai dan keyakinan orang tua mereka. Sikap
orang tua terhadap kode moral dan keyakinan beragama menyampaikan kepada
anak tentang apa yang mereka anggap baik dan buruk. Pada usia ini anak-anak
masih meniru prilaku dan mengikuti keyakinan orang tua sebagai bagian dari
kehidupan mereka sehari-hari bukan atas dasar pemahaman mengenai konsep
dasarnya.

31
Tabel 2.6 Intisari Perkembangan Kepribadian, Kognitif, Dan Moral11
Tahap Usia Tahap Tahap Tahap Kognitif Tahap penilaian
Psiko- Psikososial (Piaget) Moral (Kohlberg)
seksual (Erikson)
(Freud)
Masa Bayi (0- Oral Percaya vs Sensori motor (lahir
2 tahun) sensori tidak percaya sampai 2 tahun)
Masa todler (1- Anal- Autonomi vs Pikiran Tingkat
3 tahun) uretral malu dn ragu praoperasional, fase prakonvensional
prakonseptual (pramoral)
(berfikir transduktif Orientasi pada
hukuman dan
kepatuhan
Masa kanak- Falik – Inisiatif vs rasa Pikiran Tingkat
kanak awal (3- lokomosi bersalah praoperasional, prakonvensional
6 tahun) berfikir fase intuitif (pramoral)
(berfikir transduktif)
(4-7 tahun)
Masa kanak- Latensi Industri vs Orientasi konkret Tingkat
kanak inferioritas (berfikir induktif dan konvensional.
pertengahan mulai logis) (7-11) Orientasi pada anak
(6-12 tahun) laki-laki yang baik,
anak perempuan
yang manis,
orientasi pada
hukum dan
peraturan
Masa remaja Genetalit Identitas dan Oprasional formal Tingkat prinsip dan
12-18 tahun as penolakan vs (berpikir deduktif dan pascakonvensional.
kebingungan abstrak) (11-15 tahun) Orientasi kontrak-
identitas sosial.
Orientasi prinsip
etis universal (tidak
ada lagi dalam teori
yang di revisi

32
C. KEBUTUHAN DASAR NEONATUS, BAYI, BALITA DAN ANAK
PRASEKOLAH
Tumbuh dan kembang seorang anak secara optimal dipengaruhi oleh hasil

interaksi antara faktor genetis, herediter, dan konstitusi dengan faktor lingkungan.

Agar faktor lingkungan memberikan pengaruh yang positif bagi tumbuh kembang

anak, maka diperlukan pemenuhan atas kebutuhan dasar tertentu. Kebutuhan dasar

ini dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu asuh, asih, dan asah. 15

1. Kebutuhan Fisik – biologis (asuh)

Kebutuhan fisik dipenuhi dengan nutrisi yang mencukupi dan seimbang.

Pemberian nutrisi secara mencukupi pada anak harus sudah dimulai sejak dalam

kandungan, yaitu:

a. Nutrisi

Pemberian nutrisi yang cukup memadai pada ibu hamil. Setelah lahir,

harus diupayakan pemberian ASI secara eksklusif, yaitu pemberian ASI saja

sampai anak berumur 4-6 bulan. Sejak berumur enam bulan, sudah waktunya

anak diberikan makanan tambahan atau makanan pendamping ASI.

Pemberian makanan tambahan ini penting untuk melatih kebiasaan makan

yang baik dan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang mulai meningkat pada

masa bayi dan prasekolah, karena pada masa ini pertumbuhan dan

perkembangan yang terjadi adalah sangat pesat, terutama pertumbuhan otak.16

b. Imunisasi

Anak perlu diberikan imunisasi dasar lengkap agar terlindung dari

penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

33
c. Kebersihan

Meliputi kebersihan makanan, minuman,udara, pakaian, rumah,

sekolah, tempat bermain dan transportasi

d. Bermain, aktivitas fisik, tidur

Anak perlu bermain, melakukan aktivitas fisik dan tidur karena hal ini

dapat merangsang hormon pertumbuhan, nafsu makan, merangsang

metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein merangsang pertumbuhan otot

dan tulang merangsang perkembangan

e. Pelayanan Kesehatan

Anak perlu dipantau/diperiksa kesehatannya secara teratur.

Penimbangan anak minimal 8 kali setahun dan dilakukan SDIDTK minimal 2

kali setahun. Pemberian kapsul Vitamin A dosis tinggi setiap bulan Februari

dan bulan Agustus. Tujuan pemantauan yang teratur untuk : mendeteksi

secara dini dan menanggulangi bila ada penyakit dan gangguan tumbuh-

kembang, mencegah penyakit serta memantau pertumbuhan dan

perkembangan anak.16

2. Kebutuhan kasih sayang dan emosi (ASIH):

Pada tahun-tahun pertama kehidupannya (bahkan sejak dalam kandungan),

anak mutlak memerlukan ikatan yang erat, serasi dan selaras dengan ibunya untuk

menjamin tumbuh kembang fisik-mental dan psikososial anak dengan cara:

a. Menciptakan rasa aman dan nyaman, anak merasa dilindungi

b. Diperhatikan minat, keinginan, dan pendapatnya

c. Diberi contoh (bukan dipaksa)

34
d. Dibantu, didorong/dimotivasi, dan dihargai

e. Dididik dengan penuh kegembiraan, melakukan koreksi dengan

kegembiraan dan kasih sayang (bukan ancaman/ hukuman)

3. Kebutuhan Stimulasi (ASAH)

Anak perlu distimulasi sejak dini untuk mengembangkan sedini

mungkin kemampuan sensorik, motorik, emosi-sosial, bicara, kognitif,

kemandirian, kreativitas, kepemimpinan, moral dan spiritual anak. Dasar

perlunya stimulasi dini:

a. Milyaran sel otak dibentuk sejak anak di dalam kandungan usia 6 bulan

dan belum ada hubungan antar sel-sel otak (sinaps)

b. Orang tua perlu merangsang hubungan antar sel-sel otak

c. Bila ada rangsangan akan terbentuk hubungan-hubungan baru (sinaps)

d. Semakin sering di rangsang akan makin kuat hubungan antar sel-sel otak

e. Semakin banyak variasi maka hubungan antar se-sel otak semakin

kompleks/luas

f. Merangsang otak kiri dan kanan secara seimbang untuk mengembangkan

multipel inteligen dan kecerdasan yang lebih luas dan tinggi.- stimulasi

mental secara dini akan mengembangkan mental-psikososial anak

seperti: kecerdasan, budi luhur, moral, agama dan etika, kepribadian,

g. Ketrampilan berbahasa, kemandirian, kreativitas, produktifitas.16

D. Telaah Jurnal

35
1. The Relationship between Gentle Tactile Stimulation on the Fetus and Its
Temperament 3 Months after Birth.17
Penelitian ini dilakukan terhadap 302 orang ibu yang memiliki bayi
baru lahir usia 3 bulan dengan wawancara studi kohort retrospektif. 76 ibu
rutin melakukan stimulasi taktil pada janin saat hamil, 62 ibu memiliki
stimulasi taktil yang tidak teratur pada janin saat hamil, dan sisanya dari 164
ibu yang tidak memiliki stimulasi taktil berfungsi sebagai kelompok kontrol
yang tidak diberi perlakuan. Temperamen dinilai menggunakan EITS (a
ninedimensional scale of temperament).

Hasil dari penelitian ini yaitu, kelompok ibu hamil yang secara rutin
melakukan rangsangan taktil dengan lembut pada saat hamil, janin yang
dilairkannya memiliki pola perilaku yang lembut saat ia berusia 3 bulan,
dengan prosentase sebanyak 73,7% lebih banyak dibanding kelompok yang
melakukan rangsangan taktil tidak teratur selama kehamilannya ((53.2%, P=
0.012). Dibandingkan dengan bayi yang tidak siberikan rangsangan taktil
selama kehamilannya, bayi yang diberikan rangsangan taktil memiliki mood
dan tempramen yang lebih baik saat berusia 3 bulan setelah dilahirkan.
Mereka memiliki kemampuan beradaptasi yang baik (P=0.001), lebih dekat
dengan ibu (P=0.001) dan lebih bersemangat/gigih (P=0.001).

36
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu rangsangan taktil pada ibu saat hamil
memberikan pengaruh terhadap bayi yang dilahirkannya, mereka cenderung
memiliki mood dan temprament yang lebih baik dibanding bayi yang lahir tanpa
rangsangan taktil saat dalam kandungan.
2. Families: Influences in Children’s Development and Behaviour, From Parents
and Teachers’ Point of View
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Cláudia dan Filomena bahwa
keluarga berperan penting dalam perkembangan dan perilaku anak, maka
perceraian orang tua bisa menjadi pengalaman yang sangat menegangkan.
Keluarga sebagai dinamika spesifik dan otomasi spesifik, oleh karena itu orang
tua mempengaruhi anak dan anak pun ikut berperilaku apa yang orang tuanya
praktekan. Dinamika keluarga juga berubah dengan evolusi anggota keluarga nya.
Sekitar usia enam tahun terjadi perubahan kognitif, anak mulai memahami dunia
disekitarnya, mendapatkan keterampilan untuk menyelesaikan masalah,
menemukan solusi baru, belajar untuk mencerminkan, menilai, dan memahami hal
lain, memiliki sudut pandang yang berbeda dan dapat membawa konsekuensi
kepada mereka dan interaksi di antara keduanya.
Perceraian melibatkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perilaku,
emosi, dan kesehatan. Perspektif menganggap bahwa perceraian sebagai sebuah
peristiwa yang menyebabkan rasa sakit dan penderitaan pada anak-anak, serta
perasaan tidak aman dan takut sehingga perubahan perilaku atau masalah dapat
terjadi. Selain itu, seorang anak yang tidak biasa menghadapi perceraian orang tua
akan mengalami masalah perilaku seperti menjadi apatis dan menyangkal
kenyataan keluarga baru.17
3. Nature, Nurture, and Human Behavior; an Endless Debate
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Eman Ahmed Zaky bahwa
aspek perilaku adalah hasil dari sifat diwariskan yaitu genetik dan pengasuhan
(diperoleh yang dipelajari) atau interaksinya tak berujung. Terlepas dari konflik
filosofis antara nativis yang siapa mengambil posisi genetik yang ekstrem yaitu
menghubungkan faktor biologis (alam) dan lingkungan yang meyakini bahwa cara
kita dibesarkan (nurture) benar-benar mengatur psikologis Aspek perkembangan

37
masa kanak-kanak kita melalui pembelajaran, memang tidak hari ini untuk
menerima salah satu dari posisi ekstrim ini.18
Faktor keturunan dan lingkungan tidak bertindak mandiri mempertahankan
nativis yang ekstrim. Dalam psikopatologi, keduanya bersifat predisposisi genetik
dan pemicu lingkungan yang mengakibatkan berkembang gangguan perilaku.
Anak-anak dari orang tua yang bermasalah mengalami peningkatan risiko
masalah emosional dan perilaku, khususnya ditandai peningkatan kelainan
perilaku. Fakta itu bisa dijelaskan oleh gen, lingkungan, anak-anak keterpaparan
terhadap permusuhan dan perselisihan orang tua. Orang tua dengan gangguan
kepribadian (apakah antisosial atau sebaliknya) lebih banyak dibandingkan orang
tua yang memiliki gangguan psikis atau psikis anak yang mengalami kelainan
perilaku. Orangtua dengan gangguan kepribadian cenderung memusuhi anak
mereka khususnya mereka yang berada kepribadian temperamen.18

38
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Adaptasi adalah suatu cara makhluk hidup untuk
menyesuaikan diri d e n g a n lingkungannya. Selain itu, adaptasi
merupakan salah satu persyaratan penting bagi terciptanya kesehatan jiwa
dan mental individu dan merupakan pertahanan yang  dibawa sejak
lahir atau diperoleh dari hasil belajar dan pengalaman. Penyesuaian atau
adaptasi tidak hanya dapat dilakukan oleh orang dewasa namun
neonatus juga b e r a d a p t a s i .
Perkembangan (development) adalah bertambahnya kemampuan
(skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang
teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan.
Sedangkan emosi merupakan suatu keadaan atau perasaan yang bergejolak
dalam diri individu yang sifatnya disadari.
Tumbuh dan kembang seorang anak secara optimal dipengaruhi oleh
hasil interaksi antara faktor genetis, herediter, dan konstitusi dengan faktor
lingkungan. Agar faktor lingkungan memberikan pengaruh yang positif bagi
tumbuh kembang anak, maka diperlukan pemenuhan atas kebutuhan dasar
tertentu. Kebutuhan dasar ini dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu asuh,
asih, dan asah.

B. Saran
Pemahaman tentang pertumbuhan dan perkembangan neonatus, bayi,
balita dan anak prasekolah yang bai kakan sangat mendukung anda dalam
memberikan asuhan kebidanan pada anak. Oleh karena anak mempunyai ciri-
ciri tersendiri pada setiap tahap pertumbuhan dan perkembangan, maka
pemahaman tentang pertumbuhan perkembangan anak akan mampu
mendasari kita dalam memberikan asuhan kebidanan secara baik dan benar.

39
40
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiyani A, Sukesi, Esyuananik. Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi, Balita dan


Anak Pra Sekolah. KEMENKES RI: Jakarta; 2016.

2. Rahmah N. Proses Adaptasi Psikologi bayi Dan Balita [Internet]. Academia. 2015 [Cited 05
Oktober 2019]. avaiilable from: https://www.academia.edu/15064735/proses_adaptasi_
psikologi_bayi_dan_balita

3. Donna, Panji Rama. 2012. Asesmen Aspek Emosi untuk mengetahui


perkembangan emosi anak prasekolah . Bandung : Universitas Pendidikan
Indonesia.

4. Wijirahayu A, Krisnatuti D, Muflikhati I. Kelekatan ibu-anak, pertumbuhan anak,


dan perkembangan sosial emosi anak pra sekolah. Jur. Ilm.Kel. & Kons: Vol 9.
No 3; 2016. P: 171-182.

5. Staf pengajar ilmu kesehatan anak FK UI. Buku kuliah 1 ilmu kesehatan anak.
Jakarta: percetakan infomedika jakarta. 1998

6. Gunarsa SD & Gunarsa YS. Editor. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.
Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. 2008

7. Batubara JRL. Adolescent Development (Perkembangan Remaja). Sari Pediatri:


Vol 12. No 1; 2010

8. Rohayati. Faktor Yang Berhubungan Dengan Perkembangan Sosial Emosi Anak.


Jurnal Keperawatan: Volume XII. No 1; 2016

9. Mulyadi, Seto. Editor: Vini, Theresia & Eddy, MH. 2004. Seri Cerdas Emosi:
Membantu Balita mengelola Amarahnya. PT Gelora Aksara Pratama

10. Achmad IF, Latifah L, Husadayanti DN. Hubungan Tipe Pola Asuh Orang Tua
dengan Emotionalquotient (EQ) Pada Anak Usia Prasekolah (3-5 T Ahun) Di Tk
Islam Al-Fatt Aah Sumampir Purwokerto Utara. Jurnal Keperawatan Sudirman:
Volume 5. No 1; 2010

11. Hastuti D, Fiemanti DYI, Guhardja S. Kualitas Lingkungan Pengasuhan dan


Perkembangan Sosial Emosi Anak Usia Balita di Daerah Rawan Pangan.
Jur.Ilm.Kel. & Kons: Vol 4. No 1; 2011. p:57-65

12. Kementrian Kesehatan. Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat.


Pedoman Penanganan kasus rujukan Kelainan Tumbuh kembang Balita. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI. 2010
13. Wong, Donna. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Volume 1. Jakarta : EGC

41
14. Anisah, Ani. Gangguan Prilaku Pada Anak Dan Implikasinya Terhadap
Perkembangan Anak Usua Sekolah Dasar. Banten : Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.

15. Soetjiningsih. 2000. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC

16. Wijaya, A.M. 2011. Hidup Sehat Hidup Bahagia: Kebutuhan Dasar Anak untuk
Tumbuh Kembang yang optimal. Direktorat Jendral Kesehatan Masyarakat. 2015
[Cited 05 Oktober 2019]. avaiilable from: http://www.kesmas.kemkes.go.id/portal/konten/~rilis-
berita/021113-kebutuhan-dasar-anak-untuk-tumbuh-kembang-yang-optimal

17. Zhe-Wei Wang, Jing Hua, and Yu-Hong Xu. The Relationship between Gentle
Tactile Stimulation on the Fetus and Its Temperament 3 Months after Birth.
Hindawi Publishing Corporation. Behavioural Neurology. Volume 2015, Article
ID 371906.

18. Cláudia Rodrigues Sequeira de Figueiredo, Filomena Valadão Dias. 2012.


Families: Influences in Children’s Development and Behaviour, From Parents
and Teachers’ Point of View. Psychology Research, 693-705.

19. Eman Ahmed Zaky. 2015. Nature, Nurture, and Human Behavior; an Endless
Debate. J Child Adolesc Behav, 3:6.

42

Anda mungkin juga menyukai