Anda di halaman 1dari 33

Pengembangan Inovasi Metode Evaluasi Pembelajaran Praktik

Laboratorium dan Klinik Pendidikan Kebidanan


“Script Concordance Test & Evaluasi 360°”

Tugas Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Metode Pembelajaran

Pengampu : Sefita Aryuti Nirmala, S.ST., M.Keb

Disusun Oleh:
Kelompok 3
NIS’ATUL KHOIROH NIM : 131020180303
SOPIAH NIM : 131020180808
JUWITA DESRI AYU NIM : 131020181212
FAUZAH CHOLASHOTUL I’ANAH NIM : 131020181515
INGGRID AGATHA DIRU NIM : 131020182020

PROGRAM STUDI MAGISTER KEBIDANAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJAJARAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya


sehingga tugas makalah yang berjudul “Pengembangan Inovasi Metode
Evaluasi Pembelajaran Praktik Laboratorium dan Klinik Pendidikan
Kebidanan Script Concordance Test & 360°” ini dapat selesai tepat pada
waktunya. Terima kasih penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang
membantu dalam terselesaikannya tugas makalah ini.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode
Pembelajaran. Dalam penyusunan tugas ini, penulis banyak mendapatkan
kontribusi dari berbagai pihak dan semua pihak yang ikut membantu, untuk itu
penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Dalam penyusunan tugas ini, penulis menyadari masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penulis membuka diri untuk segala kritik dan saran yang
membangun. Akhir kata, semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bandung, Oktober 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Tujuan................................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Script Concordance Test....................................................................... 4
B. 360° Degree Evaluation........................................................................ 10
C. Kajian Jurnal......................................................................................... 6

BAB III PENUTUP


A. Simpulan............................................................................................... 22
B. Saran..................................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 23

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator kesehatan
suatu bangsa. Kematian ibu merupakan kematian seorang wanita yang dapat
disebabkan pada saat kondisi hamil atau menjelang 42 hari setelah persalinan.
Hal ini dapat terjadi akibat suatu kondisi yang berhubungan atau diperberat
oleh kehamilannya maupun dalam penatalaksanaan, tetapi bukan termasuk
kematian ibu hamil yang diakibatkan karena kecelakaan.1
Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization
(WHO) mencatat sekitar 830 wanita diseluruh dunia meninggal setiap harinya
akibat komplikasi yang terkait dengan kehamilan maupun persalinan dan
sebanyak 99% diantaranya terdapat pada negara berkembang. Di negara
berkembang, pada tahun 2015 Angka Kematian Ibu mencapai 239 per
100.000 kelahiran hidup, dibandingkan dengan negara maju yang hanya
mencapai 12 per 100.000 kelahiran hidup.2 AKI di Indonesia dalam data
Kemenkes pada tahun 2016 terdapat sekitar 305 per 100.000 kelahiran hidup.3
Sustainable Development Goals (SDGs) adalah agenda global dalam
Pembangunan Berkelanjutan dengan pelaksanaan dari tahun 2016 hingga
tahun 2030 yang merupakan pembaharuan Millenium Development Goals
(MDGs) atau agenda Pembangunan Milenium yang telah resmi berahir pada
tahun 2015. Salah satu tujuan SDGs adalah terciptanya suatu kondisi
kehamilan dan persalinan yang aman, serta ibu dan bayi yang dilahirkan
dapat hidup dengan sehat, yang dilakukan dengan pencapaian target dalam
mengurangi rasio kematian ibu secara global hingga kurang dari 70 per
100.000 kelahiran.4
Kebidanan sebagai profesi yang terus berkembang harus mengikuti
perkembangan dan perubahan globalisasi. Era globalisasi menuntut
tersedianya sumber daya manusia profesional dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Profesionalisme terkait erat dengan kompetensi yang

1
harus dimiliki oleh seorang bidan. Bidan yang berkompeten diharapkan dapat
memberikan pelayanan yang berkesinambungan dan paripurna, berfokus
kepada aspek pencegahan, promosi dengan berlandaskan kemitraan dan
pemberdayaan masyarakat bersama-sama dengan tenga kesehatan lainnya
untuk senantiasa melayani siapa saja yang membutuhkan, kapan saja dan
dimana saja dengan tujuan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
khususnya kesehatan ibu dan anak. Sehingga dapat membantu pemerintah
dalam menurunkan AKI.5
Evaluasi dalam pendidikan merupakan salah satu komponen yang tak
kalah penting dengan proses pembelajaran. Ketika proses pembelajaran
dipandang sebagai proses perubahan tingkah laku siswa, peran evaluasi
proses pembelajaran menjadi sangat penting. Evaluasi merupakan suatu
proses untuk mengumpulkan, menganalisa dan menginterpretasi informasi
untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan pembelajaran oleh peseta didik.
Sistem evaluasi yang baik akan mampu memberikan gambaran tentang
kualitas pembelajaran sehingga pada gilirannya akan mampu membantu
pengajar merencanakan strategi pembelajaran. Bagi peserta didik sendiri,
sistem evaluasi yang baik akan mampu memberikan motivasi untuk selalu
meningkatkan kemampuannya.6
Dari pemaparan tersebut maka institusi kebidanan tidak hanya harus
memiliki kurikulum yang relevan tetapi harus memiliki metode pembelajaran
dan metode evaluasi yang menunjang agar mampu menghasilkan lulusan yang
siap pakai di masyarakat. Banyak inovasi yang sudah dikembangkan dalam
metode pembelajaran maupun metode evaluasi pembelajaran yang dipakai
dalam bidang kesehatan. Salah satunya script concordance test dan evaluasi
360 derajat (360- degree Evaluation).
Script Concordance Test (SCT) biasanya digunakan dalam pendidikan
profesi kesehatan untuk menilai aspek tertentu dari kompetensi penalaran
klinis dimana mampu untuk menafsirkan informasi medis dalam kondisi yang
tidak menentu.7 Evaluasi 360 derajat (360-degree Evaluation) adalah
penilaian yang dilakukan oleh beberapa orang sesuai dengan sudut

2
pandangnya masing-masing terhadap seseorang yang di uji yang bertujuan
menilai kinerja individu dan memberikan umpan balik.8 Oleh karena itu
diperlukan pemahaman lebih dalam mengenai metode evaluasi penilaian
dalam pembelajaran menggunakan metode script concordance test dan
evaluasi 360°.

B. Tujuan
Untuk mengetahui metode assessment script concordance test dan
evaluasi 360° dalam pembelajaran.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Script Concordance Test


1. Kemampuan Penalaran Klinis (Clinical Reasoning Skills)
Kemampuan penalaran klinis (clinical reasoning skills)
mempunyai peran penting dalam praktik klinis. Penalaran klinis dapat
didefinisikan sebagai serangkaian proses pembuatan keputusan atau
pemecahan masalah yang terlibat dalam suatu masalah kesehatan. Sebagai
bagian kompetensi klinis, kemampuan penalaran klinis menjadi tujuan
pendidikan kedokteran, pada semua tingkat pendidikan (sarjana, pasca
sarjana, profesi dokter, spesialis, sampai pada pendidikandokter
berkelanjutan).9
Beberapa metode telah dikembangkan untuk menilai kemampuan
penalaran klinis, seperti: extended matching question–pertanyaan
menjodohkan yang diperluas, pilihan ganda yang didesain untuk menilai
kemampuan penalaran klinis, progress test, key feature, dan diskusi
berbasis kasus.10,11,12,13,14
Tetapi prinsip-prinsip dari setiap metode tersebut harus disadari
sebelum metode tersebut digunakan. Di sisi lain, ketidakpastian telah
disadari sebagai konteks dari ilmu kedokteran.15 Dalam penilaian
kompetensi yang diharapkan, metode penilaian seharusnya senyata
mungkin dengan konteks praktis.
The script concordance test (SCT) menawarkan penilaian dalam
konteks ketidakpastian yang sulit dinilai dengan metode tes lain. 16 SCT
mungkin merupakan metode yang lebih baik dalam menilai mahasiswa,
yang diajar oleh sejumlah ahli daripada menggunakan pertanyaan pilihan
ganda dengan satu jawaban benar.17 SCT dapat membedakan peserta tes
sesuai dengan tingkat pengalamannya secara akurat (dari pemula sampai
ahli) dalam berbagai bidang ilmu seperti: dalam penguasaan materi
diabetes, peresepan obat anti inflamasi nonsteroid, radiasi onkologi,

4
urologi, ortopedi, kegawatdaruratan, atau neurologi.18,19,20,21,22,23,24 SCT
dapat menjadi alat yang berguna untuk mengukur kemajuan mahasiswa.17
Brownel25 menyatakan bahwa SCT mempunyai relevansi praktis
untuk pendidikan klinis dengan beberapa argument : memperkenalkan
suatu alat penilaian berbasis bukti, SCT mempunyai potensi besar sebagai
evaluasi formatif, suatu alat untuk evaluasi sumatif pada berbagai jam 13
tingkat pendidikan berbeda, dan suatu alat self assessment bagi mahasiswa.
2. Format Tes SCT
Format tes SCT didasarkan pada teori dan hasil penelitian empirik
tentang clinical reasoning, problem solving dan pengorganisasian ilmu.
Teori illness script berasumsi seorang ahli yang berpengalaman
mempunyai pengetahuan yang terorganisasi dan saling bertautan yang bisa
dirangkai menjadi suatu cerita penyakit dan diberi nama script, yang
meliputi berbagai aspek patofisiologi penyakit yang relevan untuk praktek
sehari hari. Script-script ini muncul dari pengalaman dan bertambah
banyak hari demi hari, semakin detail dan tajam tentang pasien/kasus
penyakit tertentu tergantung situasi dan kondisi yang memungkinkan.26
Pada perjalanannya ilmu yang berbasis biomedikal dibawa ke konsep
klinis dengan masih terbuka untuk pengembangannya, dengan
membandingkan kasus baru dengan pengetahuan sebelumnya
menimbulkan peningkatan kemampuan pemecahan masalah. Memahami
kompleksitas masalah nyata dan keterbatasan dalam mensimulasikan data
dalam berbagai masalah memaksa seorang ahli untuk mengambil
keputusan dalam keadaan ketidakpastian.
Saat ini para peneliti setuju bahwa problem klinis sangat spesifik
dalam konteks dan memakai model cara penyelesaian analogi dari satu
kasus dengan kasus lain kadang terbatas. Seorang ahli yang
berpengalaman akan memecahkan suatu masalah dengan cara yang
beragam bahkan pada situasi yang sama, mereka tidak harus memakai alur
yang sama untuk mencapai hasil yang sama. Sebagain besar strategi
mereka dipengaruhi oleh pengenalan pola dan pengalaman pilihan yang

5
berhasil. Mereka jarang memakai penalaran terstruktur deduksi atau
pengujian.
Masalah yang dihadapkan pada peserta assesmen dipilih yang
sesuai dengan persoalan kondisi dan menantang penyelesaian seperti
kejadian nyata. Konsekwensinya peracangan SCT ditujukan untuk
asesmen yang menekankan pentingnya autentitas level tinggi untuk
menjaga validitas asesmen. Untuk menggabungkan masalah data yang ada
dengan persoalan yang nyata, tidak seperti pertanyaan dengan satu
jawaban yang benar, kesesuaian jawaban pada sebuah SCT di dasarkan
pada padanan professional judgements dari sebuah panel ahli. Pilihan
jawaban peserta asesmen akan dipadankan dengan referensi jawaban panel
ahli, tingkat kemufakatan jawaban suatu kasus antara peserta dengan
jumlah ahli dalam panel yang memilih jawaban yang sama akan
menentukan skor peserta didik.26

3. Pertimbangan Pemilihan Suatu Instrumen Asesmen


Pemilihan suatu instrumen asesmen memerlukan pertimbangan
dari aspek validitas, reliabilitas, mempunyai nilai pembelajaran,
kepraktisan dan defensible saat dipakai mengambil kesimpulan. SCT di
rancang sebagai instrumen asesmen dengan tingkat autentisitas yang
cukup tinggi dengan tujuan untuk bisa menilai kemampuan persepsi,
interpretasi dan penalaran kesimpulan dari sebuah citra radiografi dalam
keadaan ill-defined problem. Standarisasi pada pelaksanaan SCT meliputi

6
keseragaman administrasi, perintah di setiap item tes, waktu dan cara
penilaian.27
SCT akan semakin praktis pelaksanaannya apabila digunakan
secara berkelanjutan oleh karena mudah direplikasi dan dimodifikasi untuk
kesempatan asesmen selanjutnya. Suasana autentik yang tinggi dapat
menjadi tantangan bagi pengembang soal dan peserta didik dan diharapkan
membuat backwash yang positif. 27
4. Tujuan Script Concordance Test (SCT)
Sebuah alat ukur penilaian tertulis lain yang dapat menilai
penalaran klinik mahasiswa adalah Script Concordance Test (SCT). Alat
ukur ini dirancang untuk mengukur organisasi pengetahuan yang
digunakan untuk menginterpretasikan data dalam penalaran klinik. 28 SCT
juga menggunakan kasus yang autentik ada di klinik dalam praktik
profesional.
Kasus yang digunakan dalam alat ukur ini adalah ill defined
problem, yang masing-masing ahli tidak selalu mempunyai
pendekatan/cara berpikir yang sama dan prinsip-prinsip yang sama
tentangnya, sehingga kasus yang ada ini digunakan untuk membandingkan
keputusan (penilaian) mahasiswa dibandingkan dengan klinisi. Nilai yang
didapat pada SCT akan membandingkan derajat urutan penampilan
mahasiswa dibandingkan dengan panel review.29 SCT menilai kompetensi
klinik dalam situasi yang autentik dan membutuhkan kemampuan kognitif
yang cukup baik.17
Dalam alat ukur ini, kemampuan penalaran klinik mahasiswa
didasarkan pada kemampuan pembentukan illness script yang dibentuk
dari latihan/kemampuan individu dan pengalaman klinik yang pernah
dialami. Pada perjalanan profesional seorang dokter, keterampilan dan
pengalaman yang dimiliki akan berbeda karena terdapat proses elaborasi
pengalaman dan pengetahuan terkait dengan hal-hal rutin yang
dilakukan.30 Kemampuan mendiagnosis secara efektif dan akurat

7
membutuhkan pengetahuan klinik dan keterampilan penalaran klinik yang
memadai.31
Beberapa penelitian terdahulu yang sudah menggunakan SCT
sebagai alat ukur penalaran klinik menyatakan bahwa SCT memiliki
kelebihan, yaitu dapat mengukur kemampuan mahasiswa dalam
menyelesaikan diagnosis klinik yang terkait dengan ketidakpastian,32
sehingga yang dinilai pada SCT adalah tidak hanya sekedar factual recall
saja. SCT disusun untuk dapat mengukur hal yang spesifik dan penting
dalam penalaran klinik, yaitu interpretasi data klinis.32 Dalam mengerjakan
SCT mahasiswa membuat keputusan dalam masalah terkait dengan
penyakit seperti pada praktik profesional yang akan mereka lalui.
5. Kelemahan SCT
Salah satu kelemahan SCT adalah validitas interpretasinya belum
ditetapkan dalam alur yang baku.33 Sistem scoring dalam SCT yang
melibatkan ahli merupakan sistem yang cukup kompleks dalam
implementasinya. Kelemahan dari SCT yang lain adalah banyaknya
jumlah ahli yang dibutuhkan untuk standard setting.17 Selain itu pembuatan
soal yang sesuai dan cocok dengan situasi klinik ini merupakan hal yang
sulit dan membutuhkan waktu yang panjang.
Validitas dan reliabilitas SCT dalam menilai penalaran klinik telah
lebih jauh dilihat dalam beberapa bidang ilmu seperti radiologi, neurologi,
radio-onkologi, surgery, atau kegawatdaruratan.32
Dari beberapa penelitian terdahulu telah terbukti bahwa SCT
terbukti reliabel dengan cronbach alpha coefficient sampai pada nilai 0,75
dan menunjukkan adanya construct validity, bahwa item-item dalam SCT
dapat membedakan kemampuan berdasarkan pengalaman klinis.32
6. Persepsi Mahasiswa Terhadap Penggunaan SCT Sebagai Alat Ukur
Penalaran Klinik
Berdasarkan kuesioner yang dibagikan kepada mahasiswa,
menurut pendapat mahasiswa, 33 mahasiswa (76,74%) menyatakan setuju
SCT dapat menilai penalaran klinis. Beberapa alasan yang dikemukakan

8
bahwa SCT dapat mengarahkan diagnosis dan terapi, kasusnya dapat
mencerminkan kemampuan petugas kesehatan dalam memberikan terapi.
Terkait dengan kemampuan SCT dalam menilai kemampuan
interpretasi data klinik, 80,29% mahasiswa menyatakan setuju, karena
SCT membantu mahasiswa berpikir kritis, aplikatif dan mirip dengan
kasus klinik yang dihadapi. Selain itu 19,21% (7 orang) mahasiswa
menyatakan cukup.
Beberapa alasan yang dikemukakan adalah bingung akan pilihan
jawaban, ada perbedaan antara data klinik yang ditemukan dan teorinya.
SCT dapat menilai kemampuan mahasiswa menentukan terapi pada
penyakit terkait kesehatan anak menurut 81,39% (35 orang) mahasiswa.
Alasan yang mereka kemukan antara lain adalah karena dapat
menggambarkan kasus yang sering ditemui, informasi kasus dan
kebutuhan terapi yang akan diberikan. Sebagian mahasiswa (18,60%)
menyatakan SCT kurang tepat menilai keputusan memberikan terapi
karena terapi di masing-masing RS dirasa berbeda protapnya. Untuk
menentukan diagnosis, 34 mahasiswa (79,09%) menyatakan setuju dengan
metode SCT karena bentuk kasus mirip dengan yang terjadi di
masyarakat.34
7. Format Butir Soal
Pengembangan tes berdasar kasus digunakan untuk menilai
kemampuan peserta tes. Kasus merupakan skenario pendek yang
mengandung ketidakpastian. Beberapa pertanyaan dikembangkan dalam
beberapa tinjauan yaitu : promosi dan pencegahan; diagnosis; terapi; dan
rehabilitasi.
Gagnon et al.35 menyarankan bahwa suatu SCT yang reliabel
(memiliki koefisien reliabilitas lebih dari 0,80) dapat terdiri dari beberapa
pertanyaan per kasus. Sebaiknya sejumlah 20–30 kasus yang diikuti
dengan 3–5 pertanyaan per kasus. Penggunaan lebih dari 30 kasus
menyebabkan beban kerja yang berlebih bagi pembuat soal dan peserta tes.

9
Setiap format tes terdiri dari tiga bagian mengikuti setiap kasus
yang diberikan, yaitu: bagian pertama berisi pilihan diagnosis atau tata
laksana yang sesuai; bagian kedua menunjukkan suatu temuan klinis,
seperti tanda fisik, kondisi tertentu, hasil pencitraan atau pemeriksaan
laboratorium; dan bagian ketiga sebagai suatu skala Likert untuk memotret
keputusan peserta tes.36
8. Optimalisasi
SCT dapat dilaksanakan secara paper based, computer based atau
melalui sistem online.36,37 Penggunaan computer memberikan kemudahan
dalam mengelola tes obyektif seperti SCT seperti kemudahan untuk
pengumpulan nilai tanpa adanya human error, terutama bila peserta tes
berjumlah besar. Dengan bantuan komputer sangat mudah mengelola data
dan melaksanakan tes, bahkan bila dilaksanakan pada tempat yang
berjauhan. Tetapi, disamping keuntungannya, pemilihan komputer
dan/atau internet ke dalam penilaian membutuhkan persiapan sumber daya
yang baik (seperti hardware pendukung, pengembangan software, dan
sumber daya manusia yang terlatih).

B. Metode Evaluasi 360 Derajat


1. Pengertian
Evaluasi 360 derajat (360- degree Evaluation) adalah penilaian
yang dilakukan oleh beberapa orang sesuai dengan sudut pandangnya
masing-masing terhadap seseorang yang di uji yang bertujuan menilai
kinerja individu dan memberikan umpan balik.8
Penilaian kinerja 360 derajat yaitu instrumen yang digunakan
untuk mengukur perilaku kerja karyawan berdasarkan evaluasi dari dua
atau lebih sumber, seperti manajer, rekan kerja atau bawahan bahkan
melibatkan pihak luar seperti pelanggan.38,39,40
Penilaian kinerja 360 derajat feedback adalah penilaian kinerja
multisource yang merupakan proses penilaian dengan mengkombinasikan
upward, downward, lateral dan self assessment. Dalam sistem penilaian
kinerja 360 derajat feedback karyawan menerima feedback dari berbagai
10
sumber termasuk dari dirinya sendiri sehingga memiliki standar obyektif
dalam mengevaluasi kinerja. Kolaborasi pihak internal, eksternal dan
setiap individu membentuk sinergi dalam mengembangkan kompetensi
karyawan dan perusahaan. Manager SDM harus mengarahkan sistem
penilaian menjadi strategi fungsional dan menyesuaikan dengan strategi
korporat untuk menciptakan keunggulan kompetitif.41
Metode evaluasi 360 derajat merupakan suatu proses pengumpulan
data dan umpan balik secara sistematis mengenai kinerja individu atau
suatu kelompok kerja (Ward,1995). Sedangkan Lepsinger (1997)
mengemukakan bahwa sistem metode evaluasi 360 derajat merupakan
kumpulan persepsi tentang kelakuan, pengetahuan, kemampuan individu
yang dinilai oleh atasan, rekan sekerja, bawahan, pelanggan dan diri
sendiri. Sementara Lassiter (1999) juga menyebutkan bahwa metode
evaluasi 360 derajat menghasilkan data beberapa sumber referensi, sistem
ini menunjukkan arah dan perbedaan pandangan mengenai diri kita dari
pandangan orang lain dan kita sendiri. Lebih lanjut bahwa sistem metode
evaluasi 360 derajat adalah suatu proses yang mencakup pengumpulan
persepsi mengenai perilaku kerja seseorang dan dampaknya. Metode ini
disebut juga sebagai sistem penilaian multi sumber, multi penilai,
penilaian putaran penuh (Sullivan, 1999).42
Metode Evaluasi 360° yang dilakukan oleh beberapa penilai
dengan menggunakan survey atau kuesioner untuk mengumpulkan
informasi tentang kinerja individu pada beberapa topik (misalnya,
kerjasama tim, komunikasi, keterampilan manajemen, pengambilan
keputusan). Penilaian dapat dilakukan dengan menggunakan skala rating
untuk menilai seberapa sering perilaku tersebut dilakukan (misalnya skala
1 sampai 5, dengan 5 berarti “sepanjang waktu” dan 1 berarti “tidak
pernah”), yang dapat menjadi evaluator yaitu : atasan, rekan kerja,
bawahan, pasien beserta keluarga.8

2. Tujuan Evaluasi 360°

11
Tujuan Evaluasi 360° yaitu dapat menilai kinerja individu, menilai
keterampilan komunikasi, interpersonal, perilaku profesional, keperdulian
terhadap pasien, kerja sama dengan tim, keterampilan manajemen,
pengambilan keputusan dan sistem berbasis praktik dan memberikan
umpan balik.8,42,43
Mc Carthy & Garavan (2001) menyimpulkan ada 6 tujuan
potensial dari evaluasi 360o.
a. Mengembangkan pengertian akan kekuatan dan kelemahan individu
dan organisasi
b. Meningkatkan perubahan budaya
c. Penilaian performa sumatif
d. Mengevaluasi potensi individu, misalnya pemilihan karir dan seleksi
e. Meningkatkan efektivitas tim
f. Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan untuk system.43,44
3. Kelebihan dan Kelemahan Evaluasi 360°
Kelebihan dari evaluasi 360o adalah sebagai berikut :
a. Penilaian dilakukan oleh beberapa orang penilai, sehingga mencegah
hasil penilaian yang berubah-ubah atau bias, karena itu evaluasi 360o
ini bersifat objektif.
b. Dengan membandingkan penilaian diri sendiri dengan penilaian orang
lain, orang yang dinilai lebih memiliki kesadaran diri dan keyakinan
diri yang lebih baik, yang merupakan dasar untuk perbaikan melalui
umpan balik.
c. Pasien yang digunakan pasien nyata.
d. Biaya lebih murah.
e. Waktu yang dibutuhkan singkat.
f. Penilaian mudah dilakukan.43,44
Kelemahan Evaluasi 360°
a. Relatif baru.
b. Hanya memberikan kesan global suatu sikap dan perilaku.43,44

12
4. Contoh Penerapan Metode Evaluasi 360° pada Keterampilan
Komunikasi
Proses pelaksanaan penilaian keterampilan komunikasi dengan
metode evaluasi 360° ini dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
pengamatan, persiapan, penyusunan formulir penilaian (kuesioner),
melakukan penilaian, pengolahan umpan balik dan refleksi.
Penilaian keterampilan komunikasi mahasiswa dalam memberikan
asuhan langsung kepada klien yang dilakukan beberapa penilai dengan
cara menggunakan kuesioner. Proses pelaksanaan evaluasi 360° dilakukan
melalui tahapan sebagai berikut :
a. Pengamatan : Mengamati situasi tempat dimana mahasiswa sedang
melaksanakan kerja praktik.
b. Persiapan : Mempersiapkan semua kebutuhan implementasi metode
evaluasi 360°.
c. Penyusunan formulir penilaian : Menyusun item-item yang dibutuhkan
dan menyusun formulir penilaian.
d. Melakukan penilaian : Laporan yang memuat persepsi dari penilai
dalam bentuk angka.
e. Pengolahan umpan balik : Hasil laporan diolah secara statistik disusun
dan dikomunikasikan dan merupakan sebagai umpan balik.
f. Refleksi : Meliputi proses analisis, diskusi dengan fasilitator serta hal-
hal yang memerlukan klarifikasi.45,46

PENGAMATAN
N NN

REFLEKSI
PERSIAPAN

PENGOLAHAN PENYUSUNAN
UMPAN BALIK FORM PENILAIAN
13

MELAKUKAN
PENILAIAN
Gambar 1. Proses pelaksanaan penilaian metode evaluasi 360°
5. Proses Penilaian Evaluasi 360°
Menurut Antonioni (1996) perusahaan dalam mengembangkan
proses penilaian kinerja 360 derajat feedback akan mendapatkan manfaat
seperti: meningkatkan kesadaran individu terhadap apa yang diharapkan
oleh penilai (appraiser), meningkatkan management learning, mengurangi
penilaian buruk atau prasangka terhadap appraiser dan meningkatkan
kinerja.

14
Perusahaan harus menetapkan tujuan yang akan dicapai dari
penerapan penilaian kinerja. Untuk mendapatkan manfaat optimal dari
sistem penilaian kinerja 360 derajat feedback, perusahaan harus
mempersiapkan persyaratan minimal. Menurut Edward dan Ewen (1996),
perusahaan harus memiliki persyaratan minimal, seperti: kejelasan proses

komunikasi, training untuk mendukung kelancaran informasi, partisipasi


stakeholder terhadap multisource assessment, kesiapan sarana penilaian
yang valid dan dukungan teknologi yang tepat dan proses penilaian secara
jujur. Perusahaan harus mempersiapkan sarana dan teknologi sebagai
proses penilaian feedback dan mempertimbangkan kondisi eksternal
atau pihak yang berkaitan langsung selama proses penilaian, seperti:
tingkat permintaan pasar, kredibilitas dan validitas hasil penilaian,
dukungan konsultasi perusahaan dan dukungan karyawan dan pengalaman
melakukan penilaian. (Edward dan Ewen: 1996) Penelitian Tornow dan
London menemukan bahwa sistem penilaian 360 derajat feedback
digunakan untuk memperkirakan kebutuhan training, menentukan produk
dan layanan, dan layanan baru yang dibutuhkan oleh konsumen, mengukur
reaksi anggota tim dan memprediksi permasalahan perusahaan.47

a. Input
15
Input meliputi praktik-praktik atau aktivitas yang biasa
dilakukan sebelum penilai melakukan tugasnya dan orang yang dinilai
melakukan umpan balik. Tujuan dari penerapan konsep 360 derajat
feedback untuk membantu individu agar melakukan perbaikan dan
perubahan yang positif sedangkan instrumen penilaian berfungsi
sebagai kerangka referensi mengenai parilaku kerja yang diinginkan.
Disini feedback berupa laporan penilaian akan memberikan informasi
bagi individu yang dinilai untuk membantu mentargetkan perilaku
kerja yang memerlukan perbaikan. Anonymyty appraisers sangat
penting karena penilai yang memberi nilai cenderung memberikan nilai
yang lebih tinggi dari penilai yang anonim karena mereka khawatir
akan reaksi para manajer terhadap evaluasi tersebut. Selanjutnya
adalah mengadakan pelatihan bagi penilai karena sering ditemui
penilai dan yang dinilai menghadapi ketakutan dan ketidaknyamanan
dalam melakukan penilaian. Dalam penilaian kinerja tersebut peranan
pembimbing diperlukan karena banyak karyawan yang tidak
mengetahui hal-hal yang seharusnya dilakukan dengan umpan balik
yang mereka terima. Setelah dilakukan penilaian, individu yang dinilai
akan menerima hasil penilaian atau laporan tentang dirinya.
b. Proses
Pekerjaan penilai sebenarnya dimulai ketika mereka yang
dinilai menerima hasil penilaian. Pada tahap ini mereka bertanggung
jawab untuk bekerja dengan umpan balik yang mereka terima dari para
penyelia dan para profesional sumberdaya manusia juga bertanggung
jawab untuk membantu mereka dalam membuat manfaat yang lebih
baik dari umpan balik penilaian. Proses harus memastikan peningkatan
pada kesadaran dan persepsi pada diri mereka tentang adanya
komitmen untuk memperbaiki bidang-bidang yang mereka targetkan.
c. Outcomes
Merupakan laporan yang diperoleh dari proses penilaian 360
derajat feedback. Proses penilaian 360 derajat feedback menghasilkan

16
kesadaran individu tentang harapan penilaian yang besar terhadap
dirinya. Dengan kesadaran diri dan tanggung jawab yang besar untuk
merespon hasil penilaian akan menghasilkan perbaikan pada kinerja.
6. Unsur-unsur Keberhasilan Proses Evaluasi 360°
Untuk mengetahui berhasilnya proses implementasi 360 derajat
feedback dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan Timereck
dan Bracken (1997) mendefinisikan keberhasilan sebagai proses yang
menciptakan fokus, perubahan tingkah laku yang berlanjuta dan atau
pengembangan keahlian dalam sebuah kecukupan beberapa orang sebagai
hasil meningkatnya keefektifan organisasi. Definisi ini dimaksudkan
bahwa keberhasilan tidak dapat dicapai organisasi jika tidak
mempertimbangkan definisi dari keberhasilan dari semua unsur kelompok.
Keberhasilan dari proses 360 derajat feedback yang diartikan dalam unsur-
unsur yang berbeda adalah sebagai berikut:47
a. Penilai
Arti keberhasilan adalah persepsi bahwa feedback dapat
diterima dan perilaku yang dinilai dapat ditingkatkan, meningkatkan
hubungan kerja, tidak ada reaksi yang negatif, dan meningkatnya
feedback. Faktor yang mempunyai kontribusi untuk keberhasilan
adalah anonimitas, bertanggung jawab yang dinilai, multiple
adminitrasi, kebijaksanaan dan pelaksanaan komunikasi dan adanya
hotline laporan masalah.
b. Yang dinilai
Arti keberhasilan adalah menerima feedback yang fair,
membangun, sah, dapat dipercaya. Selain itu juga meningkatkan
komunikasi, meningkatkan hubungan kerja, meningkatkan feedback
dan mengkatkan kinerja. Faktor yang mempunyai kontribusi untuk
keberhasilan adalah konsistensi, kepercayaan diri, pelatihan penilai,
tanggung jawab panilai, konsistennya seksi penilai, cukupnya
pengetahuan penilai, sah dan instrumen yang realible, komitmen

17
organisasi, akses penilai untuk follow-up, pengembangan dan tindakan
perencanaan.
c. Atasan
Arti keberhasilan adalah kualitas feedback tepat digunakan
dalam manajemen kinerja dan atau untuk pengembangan, feedback
dijalankan dengan tujuan yang benar oleh organisasi, peningkatan
penilai yang konsisten dengan tujuan proses, meningkatkan kelompok
kerja yang dinilai, meningkatkan feedback. Faktor yang mempunyai
kontribusi untuk keberhasilan adalah jika atasan menerima data yang
jelas dan relevan,atasan menerima pelatihan pada data yang digunakan
dengan tepat, komitmen organisasi, proses merupakan administrasi
yang dijalankan dengan teratur, konsisten. Selain itu tanggung jawab
atasan juga merupakan faktor yang berkontribusi dalam keberhasilan.
d. Organisasi
Arti keberhasilan adalah difokuskan pada perubahan perilaku
individu yang mengarah pada keefektifan organisasi, kelangsungan
dari proses (sustainable), meningkatkan feedback, mendukung
lingkungan pembelajaran. Faktor yang mempunyai kontribusi untuk
keberhasilan adalah komitmen manajemen puncak, sistem
pengimplementasian yang luas, sumberdaya untuk mengembangkan
proses yang valid, instrumen yang valid dan realible, biaya
pengumpulan data dan proses serta pelaporan yang efektif dan efisien.
7. Keterbatasan dan Penanggulangan Penilaian Kinerja 360° Feedback
Menurut Kanouse (1998) Kegagalan dalam penerapan sistem
penilaian kinerja 360 derajat feedback secara efektif ini disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu :47
a. Kesalahan memanfaatkan sistem penilaian,
b. Keterbatasan pengetahuan keterampilan appraiser,
c. Keterbatasan pola komunikasi antara pihak internal dan eksternal atau
kesalahan waktu dalam menerapkan sistem penilaian 360 derajat

18
Menurut Lepsinger dan Lucia (1998), beberapa alasan kegagalan
implementasi sistem ini antara lain :47
a. Penetapan tujuan secara tidak jelas,
b. Keterbatasan strake-holder dalam merencanakan sistem penilaian,
c. Persepsi negatif terhadap sistem penilaian 360 derajat feedback atau
pemusatan perhatian strake-holder pada penggunaan umpan balik.
Untuk mengantisipasi kegagalan diperlukan panduan untuk
mendesain, melaksanakan dan mengevaluasi selama proses penilaian
(Antonioni: 1996; Kanaose: 1998; Lepsinger dan Lucia: 1998). Panduan
tersebut penting bagi manajer dalam membentuk lingkungan yang baik
selama penilaian. Pada sistem penilaian 360 derajat feedback ini manajer
harus dilakukan secara efektif dengan mempertimbangkan reaksi umpan
balik, peningkatan kinerja, komunikasi dan sebagainya. Dengan
mempertimbangkan input dan prosesnya perusahaan akan memperoleh
outcomes atau manfaat secara optimal pada penilian 360 derajat. Selain itu
menurut Kanouse (1998) dalam mengembangkan 360 derajat feedback
maka haruslah:47
a. Melakukan pemisahaan sistem penilaian dari keseluruhan sistem
Ini bertujuan agar feedback mempunyai pengaruh yang kuat
dalam perusahaan di mana karyawan dapat memahami arti feedback
secara spesifik.
b. Menetapkan tujuan secara jelas
Ini bertujuan untuk memudahkan karyawan dalam
menindaklanjuti perencanaan dan program perusahaan,
mengembangkan kompetensi utama dan mengembangkan kemampuan.
c. Mengkomunikasikan strategi penilaian kinerja pada seluruh
anggota organisasi.
Dengan pemahaman terhadap strategi penilaian menyebabkan
anggota organisasi dapat memahami secara jelas penggunaan, manfaat
dan jebakan dari implementasi strategi.
d. Memilih program secara tepat

19
Program harus dipilih perusahaan secara tepat agar berhasil
dalam pelaksanan penilaian 360 derajat feedback.
e. Mengembangkan program pelatihan bagi karyawan
Perlunya pelatihan bagi karyawan agar karyawan mampu
dalam pelaksanaan penilaian kinerja 360 derajat feedback.
f. Menjamin keyakinan dari sistem (ensure confidentiality)
Dengan melindungi kerahasiaan hasil penilaian karyawan dan
jaminan terhadap hasil penilaian dan identitas penilai akan
menghindari permasalahan yang potensial.
g. Penerapan sistem top-down
Penerapan penilaian kinerja 360 derajat feedback pada
perusahaan dimulai dari CEO dan eksekutif senior yang akan menjadi
pilot project
h. Perusahan harus mengakui terjadinya kesalahan dalam proses penilaian
kinerja
Terjadinya kesalahan dalam proses penilaian harus diakui oleh
perusahaan, maka komunikasi sangat diperlukan dalam menghadapi
permasalahan.
Konsep penilaian 360 derajat feedback, setiap individu dapat
menilai diri mereka sendiri melalui orang lain dan menerima feedback
dari teman atau rekan kerja, atasan, maupun konsumen. Semua pihak
bertanggung jawab menilai kinerjanya masing-masing melalui proses
penilaian 360 derajat feedback. Setiap pihak berusaha menunjukkan
kinerja yang berkualitas dihadapan atasan, bawahan, rekan kerja,
konsumen dan pihak internal lainnya. Setiap individu mendapatkan
umpan balik dari berbagai sumber termasuk dari dirinya sendiri dalam
mengevaluasi kontribusinya dalam setiap pekerjaan yang dikerjakan.12
Penilian kinerja 360 derajat feedback menyebabkan proses
penilaian sederhana, bersifat subjektif (Longeenecker, Giola dan Sims:
1987). Untuk mengatasi subjektif diperlukan keterlibatan beberapa
pihak seperti: atasan, bawahan, rekan sekerja, karyawan yang

20
bersangkutan, konsumen dan pihak internal lainnya. Keterlibatan ini
memberikan hasil yang efektif, tidak bias dan memotivasi peningkatan
kinerja.47
Beberapa keuntungan dari sistem penilaian kinerja 360
derajat yaitu informasi yang diperoleh tentang karyawan lebih akurat
dan komprehensif (Bernadin & Russel, 1998, Kreitner & Kinicki,
2001, Rynes, Gerhart & Park, 2005), organisasi menjadi lebih datar
dan lebih efisien (Bernadin & Russel, 1998, Kreitner & Kinicki, 2001,
Rynes, Gerhart & Park 2005), meningkatkan kepercayaan, kerjasama
dan komunikasi antara partisipan dengan yang dinilai serta partisipasi
manajemen dan pemberdayaan karyawan (Nowack, 2005), dinilai lebih
adil, berpotensi untuk pengembangan dan penetapan tujuan, dapat
diandalkan dan dipercaya (Bernadin & Russel, 1998, Rynes dkk,
2005).47
Sistem penilaian kinerja 360 derajat feedback ini dipandang
sejalan dengan aturan pokok dalam prosedur yang dikatakan adil
apabila :
a. Penilaian kinerja yang konsisten diterapkan pada semua pihak
dengan standar yang telah ditetapkan.
b. Mampu meminimalkan bias.
c. Informasi yang didapatkan lebih akurat.
d. Melibatkan karyawan dalam proses pengambilan keputusan.
e. Dapat diperbaiki.
f. Apabila prosedur yang dijalankan sejalan dan dipandang sebagai
hal yang penting dan etis.47

C. Kajian Jurnal
1. Metode Script Concordance Test
a. Nama Jurnal : Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia48
Volume 1, Nomor 3, November 2012

21
“Script Concordance Test untuk Menilai Kemampuan Penalaran
Klinis Dokter: Bagaimana Mengembangkan Butir Soalnya
Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia?”
Simpulan : SCT menilai keterampilan penalaran klinis yang sulit
dilakukan dengan metode tertulis obyektif lainnya. Beberapa studi
telah menunjukkan kapasitas SCT pada berbagai tingkat pengalaman
dan beberapa studi menunjukkan hasil yang baik.yang mana SCT bisa
digunakan sebagai tambahan untuk menilai keterampilan penalaran
klinis secara komprehensif, tetapi tidak menggantikan metode
penilaian kompetensi klinis lain.

b. Nama Jurnal : Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia49


Volume 5, Nomor 3, November 2016
“Study Concurrent Validity Antara Script Concordance Test
(SCT) Dan Multiple Choice Questions (MCQ) Dalam Menilai
Penalaran Klinik Mahasiswa Kedokteran”
Simpulan : Hasil Concurrent validity antara SCT dengan MCQ tidak
memiliki hubungan yang kuat pada penilaian penalaran klinik. SCT
digunakan untuk melengkapi penilaian penalaran klinik agar lebih
spesifik dan mendekatkan pada real setting (keadaan yang sebenarnya).
c. Nama Jurnal : European Journal of General Practice50
Volume 23, Nomor 1, Halaman 208-213, Tahun 2017
“Reliability and validity of the Script Concordance Test for
Postgraduate Students of General Practice”
Simpulan : SCT terbukti dapat diandalkan (sahih) dan bisa digunakan
untuk membedakan ranah kemampuan, sehingga merupakan metode
yang valid untuk menguji keterampilan dan pengetahuan klinis secara
umum.

22
2. Metode Evaluasi 360°
a. Nama Jurnal : Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia51
Volume 5, Nomor 1, November 2016
“Implementasi Dan Evaluasi Modul Pembelajaran Ilmu
Pendidikan Kedokteran Untuk Mahasiswa Kedokteran Tahap
Preklinik”
Simpulan : Aktivitas pembelajaran yang digunakan sebagian besar
adalah metode SCL (62,7%) dan terdiri dari 8 metode pembelajaran.
Aktivitas assessment menggunakan kombinasi beberapa metode
assessment untuk menilai aspek kognitif, keterampilan, dan perilaku
profesional. Tiap mahasiswa juga diminta untuk melakukan self
evaluation melalui tulisan reflektif dan mendapat feedback 360 derajat.
Masing-masing mahasiswa mendapatkan 1 orang mentor untuk
membimbing mereka sepanjang blok. Evaluasi blok dilakukan melalui
pengisian kuesioner yang dilakukan oleh mahasiswa di akhir blok.
Hasilnya adalah Lebih dari separuh mahasiswa (52,24%) menyatakan
bahwa awalnya mereka terpaksa untuk mengikuti blok ini karena
pilihan pertama blok elektif mereka sudah penuh. Akan tetapi, diakhir
blok, semua mahasiswa mengalami perubahan paradigma dan setuju
bahwa blok ini merupakan blok yang menarik dan bermanfaat bagi
mereka.
b. Nama Jurnal : Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia52
Volume 2, Nomor 1, Maret 2013
“Persepsi Mahasiswa Terhadap Instruktur Sebaya Pada
Praktikum Pendengaran Di Laboratorium Ilmu Faal Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada”
Simpulan : Dengan menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan
rancangan potong-lintang/cross-sectional, didapatkan hasil bahwa
berdasarkan jawaban pertanyaan terbuka dan Focus Group Discussion
didapatkan berbagai harapan dan saran mahasiswa terhadap model
pembelajaran instruktur sebaya yang diujicobakan. Mahasiswa

23
memberikan persepsi positif terhadap model pembelajaran instruktur
sebaya. Instruktur sebaya yang diharapkan mahasiswa adalah yang
pandai berkomunikasi, terstandarisasi secara akademik serta mampu
mengarahkan mahasiswa.
c. Nama Jurnal : JGIM (J Gen Intern Med)53
Volume 25, Nomor 5, Halaman 465-469, Februari 2010
“Update in Medical Education”
Simpulan : Berdasarkan study review pada 12 publikasi pendidikan
kesehatan, ditemukan bahwa pendidikan kedokteran dengan internis
akademik paling bedampak pada pengetahuan dan keterampilan,
dengan 4 metode utama yaitu : feedback dan evaluasi, penilaian
pengetahuan dan retensi, kurikulum dan praktik klinik
berkesinambungan.

24
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Script Concordance Test (SCT) biasanya digunakan dalam pendidikan
profesi kesehatan untuk menilai aspek tertentu dari kompetensi penalaran
klinis dimana mampu untuk menafsirkan informasi medis dalam kondisi yang
tidak menentu. SCT mungkin merupakan metode yang lebih baik dalam
menilai mahasiswa, yang diajar oleh sejumlah ahli daripada menggunakan
pertanyaan pilihan ganda dengan satu jawaban benar. SCT dapat membedakan
peserta tes sesuai dengan tingkat pengalamannya secara akurat (dari pemula
sampai ahli) dalam berbagai bidang ilmu.
Evaluasi 360 derajat (360-degree Evaluation) adalah penilaian yang
dilakukan oleh beberapa orang sesuai dengan sudut pandangnya masing-
masing terhadap seseorang yang di uji yang bertujuan menilai kinerja individu
dan memberikan umpan balik. Metode Evaluasi 360° dilakukan oleh beberapa
penilai dengan menggunakan survey atau kuesioner untuk mengumpulkan
informasi tentang kinerja individu pada beberapa topik (misalnya kerjasama
tim, komunikasi, keterampilan manajemen, pengambilan keputusan).

B. Saran
Setiap dosen sudah seyogyanya terus mengembangkan dan terus
melakukan pembaharuan terkait dengan keilmuannya. Selain itu juga terkait
dengan pengembangan dalam metode pembelajaran yang dilaksanakan
dalam perkuliahan ataupun saat praktikum, sehingga inovasi-inovasi tersebut
mampu meningkatkan pemahaman mahasiswa dan juga mencapai capaian
pembelajaran yang diinginkan.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Maternity, D., Putri, R.D., Aulia, D.L.N. Asuhan Kebidanan Komunitas


Disesuaikan dengan Rencana Pembelajaran Kebidanan. Yogyakarta :
ANDI. 2017

2. WHO. Fact Sheet on Maternal Mortality : Key Fact, Where do Maternal Death
Occur?. 2018. [Diakses pada 08 Oktober 2019]. Tersedia dalam: Restrived
from http://www.who.int/en/news-room/fact- sheets/detail/maternal-mortality

3. Astuti, I. Angka Kematian Ibu Masih Tinggi. 2016. [Diakses pada 08


Oktober 2019]. Tersedia dalam:
https://www.google.coid/amp/www.metrotvnews.com/amp/yNLyOwqb-
angka-kematian-ibu-masih-tinggi

4. WHO. World Health Statistics 2017 Monitoring Health for the SDGs,
Sustainable Development Goals. France. 2017

5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2019 Tentang


Kebidanan. 2019

6. Daryanto, H.M. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2008

7. Giet D, Massart V, Gagnon R, Charlin B. Le test de concordance de script en


20 questions. Pédagogie Médicale. 2013;14(1):39-48.

8. HPEQ-Dikti. Mahasiswa Kesehatan harus tahu! Kumpulan Referensi


Mengenai Pendidikan Tinggi Ilmu Kesehatan

9. Sibert L, Giorgi R, Dahamna B, Doucet J, Charlin B, Darmoni SJ. Is a web-


based concordance test feasible to assess therapeutic decision-making skills in
a e168.

10. Beullens J, Struyf E, van Damme B. Do extended matching multiple-choice


questions measure clinical reasoning? Medical Education. 2005;39: 410–7.

11. Elstein AS. Beyondmultiple-choice question and essay: the need for a new
way to assess clinical competence. Academic Medicine. 1993; 68(4):244-9.

12. Boshuizen HPA, van der Vleuten C, Schmidt HG, Maciels-Bongaerts M.


Measuring knowledge and clinical reasoning skills in a problem-based
curriculum. Medical Education. 1997;31: 115-21.

26
13. Pinnock R, Jones A. An undergraduate paediatric curriculum based on clinical
presentations and ‘key features’. Journal of Paediatrics and Child Health.
2008;44:661–4.

14. Norcini J, Burch V. Workplace-based assessment as an educational tool:


AMEE guide no. 3.Medical Teacher. 2007;29: 855–71.

15. De la Fish, Cole. Curriculum Development, Open University Press, 2005.

16. Fournier JP, Demeester A, Charlin B. Script concordance tests: guidelines for
construction.BMC Medical Informatics and Decision Making. 2008; 8:18.

17. Duggan P. Development of a script concordance test using an electronic


voting system. Ergo. 2007;1:35– 41.

18. Khonputsa P, Besinque K, Fisher D, and Gong WC. Use of script concordance
test to assess pharmaceutical diabetic care: a pilot study in Thailand. Medical
Teacher. 2006;28(6): 570–3.

19. Labelle M, Beaulieu M, Paquette D, Fournier C, Bessette L, Choquette D,


Rahme E, Thivierge RL. An integrated approach to improving appropriate use
of anti-inflammatory medication in the treatment of osteoarthritis in Que´bec
(Canada): the CURATA model. Medical Teacher. 2004;26(5): 463–70.

20. Lambert C, Gagnon R, Nguyen D, Charlin B. The script concordance test in


radiation oncology: validation study of a new tool to assess clinical reasoning.
Radiation Oncology. 2009;4:7.

21. Sibert L, Darmoni SJ, Dahamna B, HellotMF,Weber J,Charlin B.On line


clinical reasoning assessment with script concordance test in urology: results
of a French pilot study. BMC Medical Education. 2006; 6:45.

22. Cohen LJ, Fitzgerald SG, Lane S, Boninger ML, Minkel J, McCue M.
Validation of the seating and mobility script concordance test. Assistive
Technology. 2009;21:47-56.

23. Humbert A. Assessing the clinical reasoning skills of emergency medicine


clerkship students using a script concordance test. Acad. Emerg. Med. 2008;
15(5):S231.

24. Lubarsky S, Chalk C, Kazitani D, Gagnon R, Charlin B. The script


concordance test: a new tool assessing clinical judgment in neurology.Can. J.
Neurol. Sci.2009;36: 326-31.

25. Brownel AKW. The script concordance tests.Can. J. Neurol. Sci.


2009;36:272-3.

27
26. Brazeau-Lamontagne L, Charlin B, Gagnon R, Samson L, van der Vleuten C.
Measurement of perception and interpretation skills during radiology training:
utility of the script concordance approach. Med Teach [Internet].
2004;26(4):326–32. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15203845.

27. Utomo BP, Rahayu GR, Hidayah RN. Pengukuran Validitas Konstruk Dan
Reliabilitas Konsistensi Internal Serta Penerapan Script Concordance Test
Dalam Menilai Kemampuan Interpretasi Citra Radiologi. Jurnal Radiologi
Indonesia ; (Volume 1, Nomor 3); [Januari, 2016]; 2016. p.159-165.

28. Sibert L, Charlin B, Corcos J, Gagnon R, Grisse P, Vleuten CVD. Stability of


clinical reasoning assessment result with the script concordance test across
two different linguistic, cultural, and learning environments. Medical Teacher,
2002;24(5):522-7.

29. Hernandez SZ, Rodriguez MC, Lopez VO, Montero RE, Cordoba AR.
Validation of the script concordance test as an instrument to assess clinical
reasoning of residents in pediatric emergency medicine in mexico. Bol Med
Hosp Infant Mex, 2011;68(5):369-73.

30. Charlin B, Roy L, Brailovsky C, Goulet F. The Script concordance test: A tool
to assess the reflective clinician. Teaching and Learning in Medicine,
2000;12(4):189-95.

31. Lee A, Joynt GM, Lee AKT, Groves M, Vlantis AC, Ronald CW, Colman SC,
Cindy ST. Using illness script to teach clinical reasoning skill to medical
students, Fam Med; 2010;42(4):255-61.

32. Duggan P, Charlin B. Summative assessment of 5th year medical students’


clinical reasoning by script concordance test:requirement and challenges.
BMC Medical Education, 2012;12(29).

33. Lubarsky S, Charlin B, Cook DA, Chalk C. Sript concordance testing: a


review of published validity evidence. Medical Education, 2011;45:329-38.

34. Cahyaningrum Yd, Rahayu Gr, Suryadi E. Study Concurrent Validity Antara
Script Concordance Test (SCT) Dan Multiple Choice Questions (MCQ)
Dalam Menilai Penalaran Klinik Mahasiswa Kedokteran. Jurnal Pendidikan
Kedokteran Indonesia; (Vol. 5 , No. 3); [November, 2016]; 2016. p.163-172.

35. Gagnon R, Charlin B, Lambert C, Carrie‘re B, vander Vleuten C. Script


concordance testing: more cases or more questions? Adv in Health Sci. Educ.
2009; 14:367–75.

28
36. Sibert L, Darmoni SJ, Dahamna B, Weber J, Charlin B. Online clinical
reasoning assessment with the script concordance test: a feasibility study.
BMC Medical Informatics and Decision Making. 2005; 5:18.

37. Dubois JM, Michenaud C, Isidori P. A new way to assess medical


competencies: the script concordance test (SCT) on line. Current
Developments in Technology-Assisted Education. 2006; 1143-7.

38. Beehr,T.A., Ivanitskaya, L., Hansen, C.P., Erofeev, D., & Gudanowski, D.M.
Evaluation of 360 degree Feedback Ratings: Relationship with each other and
with Performance and Selection Predictors. Journal of Organizational
Behavior. 2001; 22, 775–784

39. Bernadin, J. & Roussell. Human Resource Management Second Edition. New
York : McGraw-Hill Companies, Inc. 1998

40. Kreitner, R., & Kinicki, A. Organizational Behavior Fifth Edition. New York :
Mc Grow- Hill Company, Inc. 2001

41. Buku Rancangan Pengajaran (BRP) Modul Praktik Klinik Ilmu Kedokteran
Komunitas FKUI 2016-2017

42. Jac J, Andrews W, Violato C, Ansari A, Donnon T, Pugliese G. Assessing


Psychologists in Practice: Lessons From the Health Professions Using
Multisource Feedback. Professional Psychology: Research and Practice 2013,
Vol. 44, No. 4, 193–207

43. Accreditation Council for Graduate medical education. Advancing education


in interpersonal and communication skills. 2005

44. Davies H. et al Multi Source Feedback: Development and Practical Aspects.


December 2005 Volume 2| No 2| www.theclinicalteacher.com

45. Murphy DJ, David B, Kevin W E. Workplace based assessment for general
practitioners : using stakeholder perception to aid blueprinting of an
assessment battery. 2008; 96-103

46. Irawati D. 360 Degree Feedback Model: An Alternative for Executing A


Better Performance Appraisal System, Universitas Muhammadiyah
Purworejo. http://ejournalumpwracid/indexphp/segmen/article/view/5/73.
2018

47. Widya Rita, Penilaian Kinerja dengan Menggunakan Konsep 360 derajat
feedback. Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan : Yogyakarta; 2004

29
48. Prihartanto, FSI. Script Concordance Test untuk Menilai Kemampuan
Penalaran Klinis Dokter: Bagaimana Mengembangkan Butir Soalnya
Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia?. Jurnal Pendidikan
Kedokteran Indonesia. 2012; Vol 1 No. 3. 159-167

49. Cahyaningrum YD, Rahayu GR, Suryadi E. Study Concurrent Validity


Antara Script Concordance Test (SCT) Dan Multiple Choice Questions
(MCQ) Dalam Menilai Penalaran Klinik Mahasiswa Kedokteran. Jurnal
Pendidikan Kedokteran Indonesia. 2016; Vol 5, No.3: 163-172

50. Subra J, Chicoulaa B, Stillmunkes A, Mesthe P, Oustric S, Bugat ME.


Reliability and validity of the Script Concordance Test for Postgraduate
Students of General Practice. European Journal of General Practice. 2017; Vol
23, No. 1. 208-213.

51. Puspadewi N, Rukmini E. Implementasi Dan Evaluasi Modul Pembelajaran


Ilmu Pendidikan Kedokteran Untuk Mahasiswa Kedokteran Tahap Preklinik.
Jurnal Pendidikan Kedokteran Indonesia. 2016; Vol 5, No. 1. 15-21

52. Pakarti GE, Wasityastuti W, Prabandari YS. Persepsi Mahasiswa Terhadap


Instruktur Sebaya Pada Praktikum Pendengaran Di Laboratorium Ilmu Faal
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Jurnal Pendidikan Kedokteran
Indonesia. 2013; Vol 2, No. 1. 26-35

53. Bates CK, Chheda SG, Dunn K, Pinsky L, Karani R . Update in Medical
Education. J Gen Intern Med. 2010; Vol 25, No. 5. 465-469

30

Anda mungkin juga menyukai