Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sebagai negara maju, Jepang juga memiliki berbagai masalah sosial, salah

satu dari masalah sosial tersebut adalah penundaan pernikahan bagi para wanita
Jepang. Kasus penundaan pernikahan ini merupakan masalah yang sangat penting
bagi masyarakat Jepang, karena dapat mempengaruhi jumlah kelahiran dan
jumlah usia tua pada penduduk Jepang.
Penundaan pernikahan di Jepang diawali dengan oil shock, yaitu
melambungnya harga minyak yang terjadi pada tahun 1973, apalagi sebagian
besar kebutuhan minyak di Jepang dipenuhi dengan impor dari luar negeri.
Kemudian berlanjut ke pasca bubble economy yang terjadi pada awal tahun
1990an yang menyebabkan resesi berkepanjangan, seperti yang diungkapkan oleh
Retherford dan Ogawa:
After the 1973 oil shock, SMAM (Singulate Mean Age at Marriage)
began to climb steeply for both men and women. Between 1975 and
2000, SMAM increased from 27.6 to 30.8 years for men and from 24.5 to
28.8 years for women( Ogawa, 2005: 3).
Setelah goncangan minyak tahun 1973, SMAM (kecenderungan makin
tingginya usia rata-rata pernikahan pertama) mulai meningkat dengan
pesat untuk laki-laki dan perempuan. Antara tahun 1975-2000, SMAM
meningkat dari 27,6 menjadi 30,8 untuk laki-laki dan dari 24,5 menjadi
28,8 untuk perempuan ( Ogawa, 2005: 3).
Setelah oil shock tahun 1973, terjadi resesi di Jepang selama tiga tahun
yang diikuti dengan inflasi sebesar 53% selama lebih dari tiga tahun. Maka
perserikatan buruh meminta kenaikan gaji untuk pegawai tetap perusahaan,

sehingga banyak perusahaan mulai merekrut pekerja tidak tetap yang dapat digaji
rendah dan bisa dipecat kapan saja oleh bagi perusahaan saat terjadi kemerosotan
ekonomi yang mungkin terjadi. Kebanyakan dari pekerja paruh waktu tersebut
adalah wanita, sehingga banyak wanita yang semula menjadi ibu rumah tangga,
mulai bekerja di luar rumah. Seperti yang diungkapkan Retherford dan Ogawa :
Most part time workers were women, many of whom previously did piece
work at home but now work in production work outside the home. As a
consequence of these and other developments, age at marriage started
rising again and TFR started falling again. (Retherford, 2005: 2)
Kebanyakan pekerja paruh waktu adalah wanita, banyak dari mereka
sebelumnya melakukan beberapa pekerjaan di rumah, tetapi sekarang
bekerja pada pekerjaan produksi di luar rumah. Sebagai akibat dari hal
ini dan perkembangan lainnya, usia pernikahan mulai meningkat lagi dan
TFR mulai berkurang lagi. (Retherford, 2005: 2)
Resesi yang berkepanjangan membuat persaingan dalam mencari
pekerjaan semakin kompetitif. Oleh sebab itu, banyak wanita yang mulai
melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini dimaksudkan
agar mereka bisa mendapat nilai lebih dalam persaingan mencari pekerjaan.
Dengan meningkatnya tingkat pendidikan dan peluang untuk bekerja, membuat
wanita semakin menunda usia pernikahan mereka
Karena faktor oil shock di atas, secara tidak langsung menyebabkan
terjadinya fenomena bankonka di Jepang, sedangkan arti bankonka
adalah kecenderungan makin tigginya usia rata-rata pernikahan pertama (Mean
Age at First Marriage atau disingkat menjadi MAFM) apabila dibandingkan
dengan usia umum rata-rata pernikahan pertama sebelumnya, atau melemahnya
kecenderungan laki-laki dan perempuan untuk menikah pada usia pantas menikah

kekkon no tekireiki () (Duhita, 2007:4). Oleh karena itu, tiap tahun


usia pernikahan pertama semakin bertambah, seperti terdapat pada tabel 1.
Tabel 1.
Perubahan Usia Rata-Rata Pernikahan Pertama Pada Perempuan dan Laki-Laki
Jepang
Tahun
Laki-laki
Perempuan
1950
25.9
23.0
1955
26.6
23.8
1960
27.7
24.4
1965
27.7
24.5
1970
26.9
24.2
1975
27.0
24.7
1980
27.8
25.2
1985
28.2
25.5
1990
28.4
25.9
1995
28.5
26.3
2000
28.8
27.0
2005
29.8
28.0
2010
30.5
28.8
2011
30.7
29.0
2012
30.8
29.2
Sumber: Menteri kesehatan, tenaga kerja dan kesejahteraan Jepang Tahun 2013
Di dalam bankonka, terdapat istilah hikonka (), yaitu wanita Jepang
yang memilih untuk tidak menikah, seperti yang dinyatakan Chikako Ogura
dalam Duhita, 2007:4 :


(Ogura 2003: 32)
Rupanya istilah bankonka merujuk pada suatu fenomena yang terjadi
pada perempuan yang berusia di bawah 40 tahun. Sedangkan bagi
perempuan yang berusia di atas 40 tahun, status mereka sudah bukan
belum menikah lagi, melainkan menjadi tidak menikah. Tampaknya
mereka sudah berkomitmen untuk hidup melajang. Sepuluh tahun
sesudahnya, mereka akan dimasukkan dalam data statistik sebagai

perempuan yang seumur hidup tidak menikah. Oleh karena itu, untuk
menyelidiki penyebab meningkatnya kasus bankonka ini, yang harus
dijadikan sebagai target adalah perempuan berusia maksimal 39 tahun...
(Ogura 2003: 32)
Jika naiknya rata-rata pernikahan di Jepang dibiarkan dan terjadi terus
menerus, secara tidak lansung akan memiliki dampak buruk pada berbagai bidang,
seperti bidang demografi penduduk dan perekonomian Jepang. Semakin wanita
menunda usia pernikahan mereka, semakin lama bagi wanita untuk memiliki
keturunan. Sedangkan definisi pernikahan menurut Goodenough (170:4) dalam
Tokuhiro (2010:6) adalah:
[it is] a contractual union of a man and a woman and involves sexual
privilege, economic cooperation, cohabitation, the production of
children, and responsibility for the children's care, socialization, and
education.

[ini] adalah penyatuan berdasarkan perjanjian antara seorang pria dan


wanita dan melibatkan hak seksual, kerja sama ekonomi, kohabitasi atau
tinggal bersama, menghasilkan keturunan, dan tanggung jawab untuk
perawatan, sosialisasi, dan pendidikan anak.
Karena itu pernikahan dan kelahiran merupakan hal yang sangat penting
dan memiliki hubungan timbal balik, terutama di Jepang yang masih menghormati
kaikon shakai ( ) yang berarti masyarakat yang mana pernikahan
merupakan suatu norma (Tokuhiro, 2010:2), sehingga jika memiliki anak di luar
pernikahan merupakan sesuatu yang di luar norma kebiasaan masyarakat Jepang.
Jika banyak wanita Jepang yang menunda usia pernikahan mereka, maka akan
berdampak pula pada demografi penduduk yaitu berupa jumlah penduduk usia
muda lebih sedikit dari pada jumlah penduduk usia tua.

Dalam serial drama Jepang yang berjudul Kekkon Shinai karya sutradara
Ishii Yusuke menggambarkan secara jelas terjadinya fenomena bankonka pada
wanita Jepang. Drama Kekkon Shinai ini menceritakan tentang tiga tokoh
perempuan yang memilih menunda ataupun tidak menikah, ketiga tokoh tersebut
adalah Tanaka Chiharu sudah berusia 34 tahun, bekerja sebagai pekerja kontrak di
sebuah agen perjalanan, merupakan wanita ingin menikah suatu saat, Chiharu
sebenarnya ingin menikah tapi masih belum menemukan pasangan untuk dirinya
sendiri dan berharap suatu saat nanti akan menikah. Kemudian Kirishima Haruko
berusia 44 tahun, bekerja sebagai perancang kebun, merupakan wanita yang
tidak ingin menikah dan lebih mencintai pekerjaannya daripada menikah.
Kemudian seorang mahasiswi bernama Sakura Mai yang masih berusia 20 tahun
dan seorang pekerja paruh waktu di sebuah toko bunga, walaupun masih berusia
belia Sakura Mai sudah memikirkan akan masa depannya untuk menikah atau
tidak, kemudian setelah bertemu Haruko, Mai pun menentukan jalan pilihannya
untuk tidak menikah drama Kekkon Shinai dan terus mengejar karir karena
baginya Haruko yang tidak menikah dan mengejar karir terlihat sebagai wanita
yang hebat dan keren di matanya.
Drama karya sutradara Ishii Yusuke ini ditayangkan di Fuji TV mulai dari
tanggal 11 Oktober 2012 hingga 20 Desember 2012. Drama Kekkon Shinai yang
dalam bahasa Inggris berjudul Wonderful Single Life ini menerima banyak kesan
positif dari para penonton, terbukti dengan terpilihnya drama ini sebagai drama
terfavorit musim gugur TOP 10 2012 yang dipilih oleh 91 dari 1000 wanita pada
majalah Cage Star.

Kemudian dalam Television Academy Award yang diselenggarakan empat


kali dalam setahun yang mengkombinasikan voting dari pembaca majalah, juri
tim majalah dan jurnalis televisi yang menentukan pemenang dari tiap kategori,
Kekkon Shinai menempati posisi tiga besar sebagai aktris terbaik oleh Miho Kano
sebagai Tanaka Chiharu yang dipilih oleh pembaca dan jurnalis, sedangkan Yuki
Amami yang berperan sebagai Kirishima Haruko mendapatkan peringkat lima
besar sebagai aktris terbaik pilihan jurnalis. Selain itu Hiroshi Tamaki sebagai
Kudo Junpei terpilih sebagai tiga besar aktor pembantu pilihan pembaca dan
peringkat tiga besar dalam kategori best theme song pilihan pembaca. Ayano
Fukuda sebagai Mariko Suzumura juga memenakan penghargaan sebagai top 3
best rookie actress award yang dipilih oleh pembaca Navi TV.
Dalam drama ini penulis ingin membahas tentang tiga tokoh perempuan
pada drama serial Kekkon Shinai yang masih melajang di usia produktif, baik itu
menunda untuk menikah ataupun memilih untuk tidak menikah. Dari drama
Kekkon Shinai ini, penulis menjadi tertarik untuk menulis skripsi yang berjudul
Fenomena Bankonka Pada Masyarakat Jepang yang Tercermin Pada Tiga Tokoh
Perempuan Dalam Drama Serial Kekkon Shinai Karya Sutradara Ishii Yusuke.

Rumusan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan sosiologi


sastra untuk menganalis drama serial Kekkon Shinai, kemudian yang menjadi
pertanyaan mendasar pada penelitian ini adalah:
1 Bagaimanakah fenomena bankonka yang terjadi pada masyarakat Jepang,
khususnya pada wanita Jepang yang tercermin pada tiga tokoh wanita
2

dalam drama serial Kekkon Shinai.


Apakah penyebab dan akibat dari fenomena bankonka dalam masyarakat
Jepang yang tercermin pada tiga tokoh wanita dalam drama Kekkon

shinai.
Tujuan
1 Untuk mendeskripsikan seperti apakah fenomena bankonka yang sedang
melanda mayarakat Jepang yang tercermin pada tiga tokoh wanita dalam
2

drama serial Kekkon Shinai.


Untuk mengetahui sebab-sebab dan akibat dari terjadinya fenomena
bankonka dalam masyarakat Jepang dalam drama Kekkon Shinai.

Anda mungkin juga menyukai