Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap manusia, siapapun itu baik pria maupun wanita pasti menginginkan suatu kehidupan yang
baik. Semua kerja keras yang dilakukan oleh manusia berorientasi pada kehidupan yang baik untuk diri
sendiri ataupun orang lain di masa depan. Untuk itu manusia berusaha untuk mencari tahu bagaimana
cara mencapai suatu kehidupan yang baik tersebut.
Jeremy Bentham (1789/1948) menganggap bahwa kehidupan yang baik dapat tercapai jika
kebahagiaan hadir dan perasaan sedih atau sakit berkurang. Para pakar subjective well-being
mengemukakan, jika seorang individu memiliki kegembiraan yang berlimpah ruah maka dia memiliki
kunci untuk mempunyai kehidupan yang baik (Ed. Snyder dan Lopes, 2002: 63).
Dalam penelitian mengenai konsep kebahagian ini diketahui bahwa seseorang dikatakan
memiliki kebahagiaan yang tinggi jika mereka memiliki kepuasan hidup, sering merasa gembira dan
jarang mengalami perasaan sedih dan marah. Sebaliknya orang yang merasa tidak puas dalam
hidupnya, memiliki pengalaman menggembirakan yang kurang, dan sering merasakan emosi yang
negatif seperti marah atau gelisah akan menyebabkan individu tersebut memiliki kebahagian yang
rendah (Ed Diener, Eunkook Suh, and Shigehiro Oishi, 1997).
Menurut Bradburn (dalam Ryff, 1989) kebahagiaan (happiness) merupakan hasil dari
kesejahteraan psikologis (psychological well-being) dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai
oleh setiap manusia. Bagi Ryff, kesejahteraan psikologis dapat diartikan sebagai penggambaran sejauh
mana individu merasa nyaman, damai, dan bahagia berdasarkan penilaian subjektif serta bagaimana
mereka memandang pencapaian potensi – potensi mereka sendiri. Dengan kata lain, kebahagian
tercapai jika kesejahteraan tercapai dan akan membuahkan kehidupan yang baik.
Untuk mendapatkan psychological well-being (PWB) dapat diketahui melalui beberapa dimensi.
Dimensi – dimensi tersebut antara lain otonomi, penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi,
hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup, serta penerimaan diri (Ryff, 1989). Sejumlah
penelitian menyatakan bahwa ada kaitan yang erat antara peran yang dijalankan dalam kehidupan
sehari – hari dengan PWB seseorang. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa wanita (istri) yang
melaksanakan perannya secara tradisional mengalami beban peran yang berlebih dan depresi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan wanita (istri) yang lebih modern dan wanita (istri) dengan peran
tradisional ini mengalami gejala distress dan menunjukkan ketidakpuasan hidup (Sollie & Leslie,
Spence dkk, dalam Strong & Devault, 1989).
Istri secara tradisional dengan norma sosial di masyarakat menuntut untuk bersikap feminim dan
monogami, dimana seorang istri dituntut harus patuh, mengabdi, pasif, mengurus rumah tangga,
bergantung pada orang lain serta harus setia pada satu pasangan. Selain itu, dalam rumah tangga
nantinya seorang istri memiliki peran untuk menjadi teman hidup dan partner seksual suami, seorang
ibu dan pendidik untuk anak – anaknya, bertanggung jawab untuk mengatur rumah tangga, serta
partisipan aktif di lingkungan sosial (Kartono, 1992: 8).

1
Pada penelitian yang menyatakan istri yang menjalankan perannya sesuai norma sosialnya akan
mengalami beban peran yang berlebih dan depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita (istri)
yang lebih modern dan wanita (istri) dengan peran tradisional ini mengalami gejala distress dan
menunjukkan ketidakpuasan hidup. Di saat dirinya tidak mendapat kepuasan hidup dan jenuh dengan
rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga, istri lebih membutuhkan perhatian dari suami. Ketika suami
tidak dapat memberikan perhatian yang diinginkan istri, maka ridak sedikit istri yang mencari perhatian
dari lawan jenisnya dan timbullah perselingkuhan.

Beberapa pakar menyatakan bahwa istri yang menjalankan perannya sehari – hari hanya sebagai
ibu rumah tangga akan lebih cepat merasa bosan walaupun sebenarnya rutinitas itu menandakan hidup
seseorang sehat dan sejahtera. Zainoel B. Biran (psikolog sosial Fakultas Psikologi UI dalam
www.tabloidnova.com, 19 Agustus 2010) menyatakan bahwa istri yang menyukai variasi dan
perubahan, rutinitas mudah sekali membuat istri tenggelam dalam kebosanan. Namun, tidak sedikit
pula istri yang menjalankan peran ganda sesuai dengan potensi yang dimilikinya (PWB tinggi) juga
akan merasa jenuh dan bosan.
Joko Iswanto (psikolog asal Samarinda pada situs www.kaltimpost.co.id, 31 Mei 2010)
menyatakan bahwa saat wanita mulai dalam keadaan tertekan menjalani suatu hubungan, akan muncul
pemberontakan dan mencari perhatian dari pasangannya. Beliau juga menyatakan bahwa wanita yang
melakukan skandal perselingkuhan berharap agar pasangannya menyadari tentang tekanan yang sedang
dihadapinya. Beberapa penyebab perselingkuhan menurutnya, antara lain: kurungnya hubungan
seksual, masalah kepercayaan diri, balas dendam, kurangnya keintiman, dan merasa tidak diperhatikan.
Fenomena ini terjadi pada Princess Dian (Lady Di) yang berselingkuh dengan milyarder. Seperti
yang diberitakan di sebuah harian pada edisi 31 Agustus 1997 menurunkan tulisan berjudul “Diana
Jatuh Cinta, Diana oh Diana”, bersumber dari Woman’s Day, yang menceritakan makin intimnya Lady
Di (36) dengan milyader Dodi al-Fayed (42) (www.wordpress.com, 27 Februari 2010).

. Di kota Semarang, seorang istri pengusaha warung makan yang telah berselingkuh dengan seorang
guru ngaji dan sudah tiga kali kepergok suaminya sehingga suaminya melakukan penganiayaan pada
istri dan selingkuhan istrinya tersebut dan menyebabkan suaminya masuk rumah tahanan
(www.news.okezone.com, 31 Mei 2010). Selain itu, di kota Surabaya perempuan bergaya hidup bebas
juga mencari laki-laki macho. Perempuan-perempuan haus sentuhan pria perkasa ini adalah para istri
pengusaha, istri muda atau istri simpanan para pejabat Jakarta yang rela merogoh koceknya Rp 1,5 juta
hingga Rp 2 juta sekali kencan. Selain Surabaya, perselingkuhan wanita-wanita papan atas bermotifkan
uang ini juga sudah menjamur di sejumlah kota besar seperti Jakarta, Medan, Semarang, dan Makassar.
Bahkan di Jawa Timur, sudah menjalar ke Malang, Kediri, dan Madiun (www.tribunnews.com, 11
Februari 2010).

Pada penggalian data awal peneliti menemukan subjek berinisial Ny. Mr (07 Juni & Agustus
2010) yang merupakan istri seorang pengusaha dan ibu rumah tangga dengan keseharian mengurus
rumah serta anak – anaknya. Subjek berselingkuh dengan sopirnya karena subjek lebih sering bertemu

2
dengan sopirnya, sedangkan suaminya yang seorang pengusaha hanya bisa menyempatkan waktu luang
sebentar saja.

Ada pula kasus perselingkuhan istri yang dilakukan oleh istri pada saat dirinya menjalankan
potensi diri dan berada di puncak karir. Seperti fenomena perselingkuhan beberapa artis di antaranya
CT dengan Ar serta KD dengan RL, dimana kedua artis ini berselingkuh di saat dirinya mencapai
potensi yang dimiliki dan telah berada di puncak karir masing – masing (www.showbiz.liputan6.com,
29 Juli 2010). Selain itu, pada harian Kompas (dalam situs sosbud.kompasiana.com, 31 Mei 2010)
dimuat pemberitaan bahwa ada perempuan desa yang bekerja di perkebunan sawit di kota Banda Aceh
melakukan perselingkuhan di kebun sawit bersama rekan kerjanya yang juga buruh sawit. Pada
penggalian data awal di lapangan, peneliti menemukan subjek yang juga wanita karir telah
berselingkuh dengan teman fitnessnya. Hal ini subjek lakukan karena ingin balas dendam pada suami
yang juga pernah berselingkuh, merasa kesepian dan tertekan dalam menjalankan peran gandanya
tersebut. Subjek menjalin hubungan secara emosional dengan fitnessnya, dimana subjek sering pergi
makan berdua setelah selasai fitness dan saling berkirim pesan mesra lewat handphone.
Di lihat dari fenomena, ternyata perselingkuhan yang dilakukan oleh istri tidaklah sedikit.
Bahkan ternyata fenomena ini semakin meningkat setiap tahunnya. Sebuah penelitian yang dilakukan
oleh psikolog asal Amerika Stanley Glass (dalam situs www.wordpress.com, 9 Juni 2010) diketahui
bahwa 46% istri di Amerika telah melakukan perselingkuhan dengan kolega kerjanya. Menariknya,
perselingkuhan yang dilakukan kalangan istri justru meningkat secara signifikan dari 1982 – 1990, 38%
istri melakukan perselingkuhan dengan rekan kantor berbanding dengan 50% istri tidak setia dari tahun
1991 – 2000. Di Indonesia sendiri diketahui dari hasil survey majalah wanita “Kartini” edisi minggu
pertama tahun 2005 bahwa 40% istri di Jakarta melakukan selingkuh dan dari hasil riset Sukiat
(Psikolog & Konselor Perkawinan dalam http://.blog.friendster.com, 31 Mei 2010) diketahui pula
bahwa lebih dari 70% wanita di Jakarta memiliki PIL (Pria Idaman Lain) atau satu dari tiga wanita
pada saat ini berada dalam status selingkuh. Sedangkan penilitian Yudiana Ratnasari (Psikolog
Universitas Indonesia (UI) pada situs www.kompas.com, 20 Mei 2010) dinyatakan bahwa 15% wanita
yang berselingkuh adalah mereka yang sudah bekerja dengan alasan lebih bersifat emosional, seperti
cinta (love) dan perhatian (care).
Dari hasil survey dan fenomena kasus perselingkuhan yang dilakukan istri dapat diketahui bahwa
istri berselingkuh karena merasa jenuh, bosan, tertekan, kurang perhatian dari suami, dan juga di saat
suami atau dirinya sendiri berada di puncak karir. Perselingkuhan ini tidak hanya terjadi pada istri yang
menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga saja tetapi juga pada istri memiliki peran ganda
(wanita karir) dan berada di puncak karir. Dimana hal ini mempengaruhi perasaan sejahtera
(psychological well-being) dirinya. Oleh karena itu, peneliti sangat tertarik dengan gambaran perasaan
sejahtera (psychological well-being) yang dirasakan oleh istri yang berselingkuh. Maka, peneliti
mengemukakan judul penelitian Psychological Well-Being Pada Istri yang Berselingkuh.

3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu;
bagaimanakah gambaran psychological well being pada istri yang berselingkuh?

C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah tersebut tujuan penelitian yang diharapkan peneliti adalah untuk
mengetahui lebih dalam mengenai gambaran psychological well being pada istri yang berselingkuh.

D. Manfaat Penelitian
Ditinjau dari aspek praktis dan teoritis, manfaat penelitian yang diharapkan oleh peneliti adalah:
a. Secara Praktis
Diharapkan penelitian ini dapat menumbuhkan sikap kritis peneliti terhadap kasus
perselingkuhan yang marak terjadi pada kaum perempuan khususnya mengenai psychological
well being pada istri yang berselingkuh. Serta memberikan kontribusi bagi individu baik pada
peneliti sendiri, istri maupun suami, masyarakat serta konselor perkawinan dalam memahami
perselingkuhan yang dilakukan oleh istri. Selain itu juga dapat memberikan gambaran pada
pasangan suami istri khususnya istri agar dapat mencegah perselingkuhan dalam hubungan
rumah tangga mereka.
b. Secara Teoritis
Selain secara praktis, penelitian ini diharapkan juga dapat memberi manfaat secara
teoritis sebagai refrensi tambahan bagi pengembangan ilmu Psikologi pada umumnya,
terutama Psikologi Perkawinan dan Psikologi Sosial mengenai psychological well being
pada istri yang berselingkuh.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Psychological Well-Being
1. Pengertian Psychological Well-Being

Konsep Ryff berawal dari adanya keyakinan bahwa kesehatan yang positif tidak sekedar tidak
adanya penyakit fisik saja. Kesejahteraan psikologis terdiri dari adanya kebutuhan untuk merasa
baik secara psikologis (psychologically-well). Ia menambahkan bahwa PWB merupakan suatu
konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan
sehari-hari serta mengarah pada pengungkapan perasaan – perasaan pribadi atas apa yang dirasakan
oleh individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya.

4
Ryff (1989: 1071) memandang bahwa psychological well-being merupakan suatu keadaan
dimana individu mampu menerima dirinya apa adanya, mampu membentuk hubungan hangat
dengan orang lain, memiliki arti dalam hidup serta mampu mengontrol lingkungan eksternal,
memiliki arti dalam hidup serta mampu merealisasikan potensi dirinya secara kontinu.

Sejalan dengan hal tersebut, Bradburn (dalam Ryff, 1989) mendefinisikan psychological well-
being (PWB) sebagai kebahagian dan dapat diketahui melalui beberapa deminsi. Dimensi – dimensi
tersebut antara lain otonomi, penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, hubungan positif dengan
orang lain, tujuan hidup, serta penerimaan diri. Ryff juga menyebutkan bahwa PWB
menggambarkan sejauh mana individu merasa nyaman, damai, dan bahagia berdasarkan penilaian
subjektif serta bagaimana mereka memandang pencapaian potensi – potensi mereka sendiri.
Menurut Diener (2000) menyatakan bahwa psychological well-being berkaitan dengan perasaan
sejahtera (well-being) dan bahagia yang sifatnya subjektif bagi tiap individu. Perasaan ini (bahagia)
muncul melalui proses evaluasi masing – masing individu terhadap kehidupannya (Papalia, Olds, &
Feldman, 2004: 604).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa psychological well-being (kesejahteraan


psikologis) adalah kondisi individu yang ditandai dengan adanya perasaan bahagia, mempunyai
kepuasan hidup dan tidak ada gejala-gejala depresi. Kondisi tersebut dipengaruhi adanya fungsi
psikologis yang positif seperti penerimaan diri, relasi sosial yang positif, mempunyai tujuan hidup,
perkembangan pribadi, penguasaan lingkungan, dan otonomi.

2. Dimensi – Dimensi Psychological Well-Being

Komponen individu yang mempunyai fungsi psikologis yang positif, yaitu:

a. Penerimaan Diri (Self-Acceptance)


b. Hubungan Positif dengan Orang Lain ( Positive Relations with Others)
c. Otonomi (Autonomy)
d. Tujuan Hidup (Purpose in Life)
e. Perkembangan Pribadi (Personal Growth)
f. Penguasaan terhadap Lingkungan (Environmental Mastery)

3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being


a. Dukungan Sosial
b. Ideologi Peran Jenis Kelamin
c. Status Sosial Ekonomi
d. Jaringan Sosial
e. Religiusitas
f. Kepribadian

5
B. Istri
1. Pengertian Istri

Istri menurut kamus besar Indonesia adalah seorang wanita yang menjadi pasangan dan atau
pendamping hidup resmi seorang pria. Dalam arti istri adalah julukan bagi seorang wanita yang
sudah menikah.

2. Peran Istri dalam Rumah Tangga


Menurut Kartono (1992: 8) dalam buku Psikologi Wanita menyatakan bahwa peran istri dalam
rumah tangga adalah sebagai berikut:
a. Sebagai istri dan teman hidup (companion)
b. Sebagai partner seksual
c. Sebagai pengatur rumah tangga (home-maker)
d. Sebagai ibu dari anak – anak dan pendidik
e. Sebagai makhluk sosial yang berpartisipasi aktif dalam lingkungan sosial.

C. Selingkuh
1. Pengertian Selingkuh

Baswardono (2003: 11) mengatakan bahwa penyelewengan terjadi bila dua orang terlibat
hubungan seksual dan emosional dimana salah satu diantaranya sudah menikah atau menjalin
hubungan (memiliki komitmen) dengan orang lain.

Selingkuh menurut Bambang (2004: 72) berarti berbuat zina, dan zina adalah segala bentuk
hubungan intim (suami-istri) antara laki – laki dengan perempuan yang bukan istrinya, atau
sebaliknya.

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian perselingkuhan merupakan
tindakan penghianatan terhadap hubungan cinta yang dilakukan oleh seorang pria maupun wanita
yang telah terikat dalam perkawinan dengan orang lain baik secara emosional maupun fisik.

2. Macam – Macam Selingkuh

Beberapa bentuk perselingkuhan adalah sebagai berikut:

a. Serial Affair

b. Flings

c. Romantic Love Affair

d. Long Term Affair

6
3. Sebab – Sebab Selingkuh

Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perselingkuhan. Menurut Sawitri (2005:
111 – 112) perselingkuhan dapat disebabkan berbagai penyebab internal dan eksternal.

4. Faktor yang Mempengaruhi Perselingkuhan

Satiadarma (2001: 63 – 88) mengemukakan pendapatnya tentang faktor – faktor penyebab


terjadinya perselingkuhan:

a. Alasan Psikofisik
b. Alasan Sosial
c. Alasan Psikologis

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma penelitian fenomenologis, jenis penelitian yang tepat
adalah penelitian kualitatif dengan metode kualitatif deskriftif.
Jenis penelitian dengan metode kualitatif deskriftif ini adalah suatu metode dalam meneliti status
kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas
peristiwa pada masa sekarang dengan tujuan membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta – fakta, sifat – sifat, serta hubungan antar fenomena yang
diselidiki (Nazir, 2005: 54).

B. Batasan Istilah

Peneliti menggunakan batasan istilah sebagai berikut:


1. Psychological well-being adalah kondisi kesejahteraan psikologis individu yang ditandai
dengan adanya perasaan bahagia, mempunyai kepuasan hidup, dan tidak ada gejala – gejala
depresi dalam memandang pencapaian potensi – potensi mereka sendiri. Kondisi tersebut
dipengaruhi adanya fungsi psikologis yang positif seperti penerimaan diri, relasi sosial yang
positif, mempunyai tujuan hidup, perkembangan pribadi, penguasaan lingkungan, dan otonomi.
2. Istri yang berselingkuh adalah seorang wanita yang telah memiliki pasangan yang sah
(menikah) dengan seorang pria (suami), namun melakukan penghianatan terhadap suaminya

7
dengan cara menjalin hubungan emosional maupun fisik dengan pria lain yang bukan pasangan
sahnya secara intensif dan dilakukan secara diam – diam.

C. Subjek Penelitian

Pengambilan sampel untuk subjek penelitian ini dengan cara purposive sampling. Dimana
peneliti akan menentukan sendiri subjek penelitian berdasarkan karakteristik dan ketentuan yang sesuai
dengan permasalahan. Adapun karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah:
1. Seorang istri yang telah menjalani usia perkawinan 2 – 5 tahun lebih.
2. Istri pernah menjalin hubungan dengan pria lain.

D. Sumber Data

Sumber data akan di dapat dari data primer dan apabila memungkinkan juga dari data sekunder.
Data primer akan diperoleh dari subjek penelitian itu sendiri yaitu istri yang berselingkuh, sedangkan
data sekunder merupakan data alternatif untuk memperoleh informasi seputar data subjek dari orang –
orang terdekat subjek atau informan lain yang bisa memberikan informasi terkait dengan dengan
masalah penelitian, yaitu tentang perselingkuhan subjek.

E. Metode Pengumpulan Data


Peneliti akan menganalisis secara terperinci bagaimana subjek memahami dan memaknai
psychological well-being yang subjek rasakan sehingga subjek berselingkuh. Oleh karena itu, peneliti
membutuhkan sarana atau metode pengumpulan data yang lebih mendalam untuk mengetahui
psychological well-being subjek. Maka peneliti akan menggunakan metode penelitian dengan cara
wawancara semi-terstruktur. Dimana dengan wawancara ini peneliti berupaya untuk membangun
hubungan dengan subjek, agar peneliti lebih bebas untuk meneliti wilayah – wilayah menarik yang
muncul sesuai dengan permasalahan, dan peneliti dapat mengikuti minat atau perhatian subjek
(Jonathan A. Smith, 2009: 76). Alat bantu yang digunakan untuk pengumpulan data ini buku catatan,
alat tulis, dan recorder (handycam atau tape).

F. Instrumen Penelitian
Salah satu ciri penelitian kualitatif adalah manusia sebagai instrument atau alat penelitian.
Dimana manusia tersebut akan menjadi segalanya dari keseluruhan proses penelitian, yaitu menjadi
perencana, pelaksana, pengumpul data, dan akhirnya menjadi pelapor hasil penelitian (Faisal, 1990:
132). Manusia yang dimaksud adalah peneliti itu sendiri.

G. Tahap – Tahap Penelitian

Beberapa tahapan yang akan dilakukan peneliti dalam penelitian ini adalah:

1. Tahapan Persiapan (Pra Lapangan)

8
2. Tahapan Eksplorasi (Pekerjaan Lapangan)
3. Tahap Pengolahan Data

H. Metode Analisa Data


Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan analisa data penelitian sebagai berikut:
1. Analisa Sebelum di Lapangan
2. Analisa Selama di Lapangan
a. Data reduction
b. Data display
c. Conclustion drawing/verification,

I. Keabsahan Data
Dalam penelitian ini keabsahan data atau validitas data akan diperoleh dari beberapa cara, yaitu:
1. Mengadakan member check terhadap temuan lapangan, peneliti akan melakukan proses
pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada pemberi data dan informan lainnya.
2. Triangulasi sumber, dimana peneliti melakukan keabsahan data dengan cara mendapatkan data
dari sumber yang berbeda – beda (informan lain) yang mengetahui tentang keadaan subjek
dengan melakukan wawancara secara semi-terstruktur pula.
3. Melakukan peer debriefing (diskusi) dengan auditor independen yang bertujuan untuk
mendiskusikan hasil wawancara awal dan analisis data peneliti sehingga dapat menghasilkan
beberapa penilaian yang sama – sama sah terhadap hasil penelitian serta dapat
mensistematikkan dan transparasi penyusunan hasil penelitian. Auditor independen disini
adalah dosen pembimbing peneliti.

Anda mungkin juga menyukai