Anda di halaman 1dari 4

Judul : Gambaran Post Traumatic Growth pada Perempuan yang Bercerai

Akibat Perselingkuhan

BAB 1

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Semua pasangan yang menikah pasti mengharapkan untuk selalu bersama sampai
maut memisahkan. Hal ini sudah menjadi cita-cita di dalam sebuah pernikahan.
Dalam membangun dan menjaga sebuah pernikahan pastinya tidak terlepas dari
berbagai macam masalah. Hurlock (1980) menjelaskan ketidakmampuan seseorang
yang telah dewasa (suami dan istri) dalam mengatasi permasalahan perkawinan
menjadikan mereka cenderung cemas, kecewa dan tidak bahagia, namun bagi mereka
yang mampu mengatasinya menjadi pribadi yang teguh, mantap dan tenteram.
Masalah yang biasa hadir di dalam kehidupan pernikahan diantaranya; masalah
ekonomi, komunikasi, dan bahkan perselingkuhan. Perselingkuhan sendiri menjadi
masalah yang cukup berat untuk dihadapi dalam sebuah pernikahan. Moller dan
Vossler (2015) mendefinisikan perselingkuhan sebagai sebuah pelanggaran yang
dilakukan oleh seseorang yang sudah memiliki pasangan terhadap norma yang
mengatur tingkat keintiman emosional atau fisik dengan orang-orang di luar
hubungannya dengan pasangan. Terdapat dua jenis perselingkuhan yakni
perselingkuhan emosional dan perselingkuhan seksual (Nagurney &Thornton ,2011).
Jika didalam suatu pernikahan terdapat pasangan yang berselingkuh tentunya hal
tersebut akan memberikan dampak yang cukup besar bagi pasangan lainnya. Dampak
dari perselingkuhan diantaranya pasangan yang diselingkuhi dalam hal ini adalah
korban akan mengalami berbagai tekanan emosional dan psikologis setelah
perselingkuhan, seperti depresi, kecemasan, penurunan kepercayaan diri dan seksual,
serta penurunan harga diri (Bird et al., 2007; Fife et al., 2013). Selain itu
perselingkuhan adalah salah satu penyebab perceraian yang paling sering
terjadi.Dikutip dari data Badan Pusat Statistik (2017) angka kasus perceraian yang
terjadi di Indonesia pada tahun 2015 sebanyak 2.064 kasus. Kasus tersebut kian
bertambah tiap tahunnya.
Perceraian pastinya masih menjadi hal yang menakutkan bagi semua pasangan yang
menikah. Hal ini dikarenakan dampak dari perceraian yang tidak mudah untuk
dilewati. Hurlock (1980) mengemukakan bahwa efek traumatik yang ditimbulkan
akibat perceraian biasanya lebih besar dari pada efek kematian, karena sebelum dan
sesudah perceraian sudah timbul rasa sakit dan tekanan emosional, serta
mengakibatkan celah sosial. Perempuan cenderung lebih sulit untuk menerima
dampak dari perceraian. Dikatakan dalam Asiyah (2020) bahwa wanitalah yang lebih
sering merasakan kecemasan dan ketakutan dalam menghadapi kehidupan pasca
bercerai. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian dari Jonathan&Herdiana (2020)
yang mengatakan bahwa pasca bercerai pada ibu tunggal menunjukan gejala stres
yang dialami partisipan berupa tekanan darah meningkat, sering menunda pekerjaan,
mudah marah, perubahan pola makan, peningkatan konsumsi rokok, dan mengalami
gangguan tidur. Dampak ini akan lebih berat dirasakan oleh perempuan jika penyebab
dari perceraian adalah karena perselingkuhan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
dari A Paragholapati pada tahun 2020 dengan judul Pengalaman Seseorang yang
Bercerai Karena Perselingkuhan di Kota Bandung : Fenomenologi, mengungkapkan
bahwa dampak psikologis yang dirasakan oleh lima orang partisipan diantaranya
perubahan mood, gangguan tidur, cemas, depresi, kecewa, rasa malu, dan pikiran
untuk mengakhiri hidup.
Meskipun perceraian mempunyai dampak yang negatif bagi perempuan, tetapi tidak
jarang juga ada perempuan yang mengalami hal positif pasca perceraian. Hal ini
dinamakan post traumatic growth. Tedeschi dan Calhoun (2004) mengemukakan
bahwa post traumatic growth merupakan perkembangan positif yang terjadi dalam
hidup individu setelah mengalami pengalaman buruk. Dengan adanya post traumatic
growth yang dialami perempuan pasca perceraian dapat meningkatkan faktor
psikologis seperti terciptanya pemikiran baru akibat kejadian traumatis sebagai hasil
dari proses pengungkapan dan perenungan diri. Hal inlah yang menjadi minat peneliti
untuk mengetahui mengenai gambaran post traumatic growth yang dialami oleh
perempuan pasca bercerai akibat perselingkuhan serta faktor apa saja yang
mempengaruhi terjadinya post traumatic growth.
II. Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran post traumatic growth pada wanita yang bercerai akibat
perselingkuhan?
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi terbentuknya post traumatic growth ?
III. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dan faktor yang
mempengaruhi terbentuknya post traumatic growth pada wanita yang bercerai akibat
perselingkuhan.
IV. Manfaat Penelitian
 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah sebagai sumbangan informasi literatur
dalam bidang ilmu psikologi, terutama mengenai gambaran mengenai post traumatic
growth pada wanita yang bercerai akibat perselingkuhan . Sumbangan informasi ini
dapat berguna bagi peneliti lain yang tertarik untuk meneliti topik yang serupa terkait
post traumatic growth. Penelitian ini juga diharapkan dapat mendukung
pengembangan ilmu psikologi positif dan menunjang kesehatan mental.
 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah untuk membantu profesional dalam
mengetahui gambaran mengenai post traumatic growth yang dialami oleh perempuan
akibat dari perceraian . Harapannya, penelitian ini mampu memberikan titik terang
dalam upaya menumbuhkan kesejahteraan psikologis bagi seluruh masyarakat,
terutama perempuan yang mengalami dampak psikologi negatif pasca perceraian agar
bisa mengembangkan diri menjadi lebih positif.
DAFTAR PUSTAKA

Adam, A. (2020). Dampak Perselingkuhan Suami Terhadap Kesehatan Mental dan Fisik
Istri. AL-WARDAH: Jurnal Kajian Perempuan, Gender dan Agama, 14(2), 177-186.

Amalia, R. (2020). Post Traumatic Growth pada Wanita yang Bercerai. Indonesian
Psychological Research, 2(1), 22-28.

Amatullah, S. S., & Rachmawati, R. (2019). GAMBARAN STRATEGI COPING PADA


SINGLE PARENT YANG BERCERAI KARENA PERSELINGKUHAN
PASANGAN. Psychology Journal of Mental Health, 1(1), 29-39.

Bird, M. H., Butler, M. H., & Fife, S. T. (2007). The process of couple healing following
infidelity. Journal of Couple & Relationship Therapy: Innovations in Clinical and
Educational Interventions, 64, 1–25. https://doi.org/10.1300/J398v06n04_01

Hurlock, E. B. (1980). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang


Kehidupan (Ed. 5). Terjemahan oleh: Istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.

Jonathan, A. C., Herdiana, I., Psikologi, D., Psikologi, F., & Airlangga, U. (2020). Coping
Stress Pascacerai: Kajian Kualitatif Pada Ibu Tunggal. INSAN Jurnal Psikologi Dan
Kesehatan Mental, 5(1), 71.

Moller, N. P., & Vossler, A. (2015). Defining infidelity in research and couple counseling: A
qualitative study. Journal of Sex & Marital Therapy, 41, 487–497.
https://doi.org/10.1080/0092623X.2014. 931314

Nagurney, A., & Thornton. (2011). What is infidelity? perceptions based on biological sex
and personality. Psychology Research and Behavior Management, 4, 51–58.
https://doi.org/10.2147/ PRBM.S16876

Pragholapati, A. (2020). Pengalaman Seseorang Yang Bercerai Karena Perselingkuhan Di


Kota Bandung: Fenomenologi. Jurnal Surya Muda, 2(2), 66-75.

Shaleha, R. R. A., & Kurniasih, I. Ketidaksetiaan: Eksplorasi Ilmiah tentang


Perselingkuhan. Buletin Psikologi, 29(2), 218-230.

Tedeschi, R. G., & Calhoun, L. G. (2004). Post Traumatic Growth: Conceptual Foundations
and Empirical Evidence. Psychological Inquiry, 15(1), 1-18

Anda mungkin juga menyukai