Anda di halaman 1dari 102

Hl

m.135-
229 Sept
ember2016
ISSN 1412-9183

LINGUA
Jurnal Ilmiah Bahasa dan Budaya

Vol. 12 No. 1 September 2016

Penanggung Jawab
Dewi Ariantini Yudhasari

Ketua Dewan Redaksi


Yesy Tri Cahyani

Dewan Redaksi
Ekayani R. M. L. Tobing (STBA LIA Jakarta)
Free Hearty (STBA LIA Jakarta)
Agus Aris Munandar (Universitas Indonesia)
Agus Wahyudin (STBA LIA Jakarta)
Risna Saswati (STBA LIA Jakarta)
Sissy Rahim (STBA LIA Jakarta)

Sekretariat
Muhardani Sudjudi

Alamat Redaksi
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA
Jl. Pengadegan Timur Raya No. 3, Pancoran, Jakarta 12770
Tel. (021) 79181051, Fax. (021) 791 81057
e-mail: redaksilingua@gmail.com
ISSN 1412-9183

LINGUA
Jurnal Ilmiah Bahasa dan Budaya

Vol. 12 No. 1 September 2016

Daftar Isi

Perempuan di Medan Perang: Pengalaman Penulis Perempuan 135-154


Mikawa Kiyo dalam Otobiografi Yoru No Notorudamu
(Fitriana Puspita Dewi)

Bahasa Indonesia dalam Judul Iklan Majalah Femina 155-174


(Sri Hapsari Wijayanti)

Perempuan dalam Dua Budaya: Representasi Diaspora dan 175-197


Identitas Hibrid Perempuan Zainichi Korea Generasi Kedua
dalam Novel Koku Karya Lee Yangji
(Dewi Ariantini Yudhasari)

Penilaian Kualitas Terjemahan Novel Where There is Smoke 198-210


Karya Sandra Brown
(Sulistini Dwi Putranti)

Penerjemahan Phrasal Verbs Bahasa Inggris ke dalam 211-229


Bahasa Indonesia
(Ambarari Tri Retnoadi)
PEREMPUAN DI MEDAN PERANG:
PENGALAMAN PENULIS PEREMPUAN MIKAWA KIYO
DALAM OTOBIOGRAFI YORU NO NOTORUDAMU

Fitriana Puspita Dewi


Program Doktor Kajian Sastra Jepang
Fakultas Sastra Universitas Ritsumeikan, Kyoto
Program Studi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya
Jl. Veteran, Malang 65145
fitrianapd@gmail.com

ABSTRACT
Battlefront always identified as men`s zone. In the Asia Pacific War, Japan
genderized the war zone, that man fight in battlefront, while woman protect the homefront
(Otoko wa Zensen de tatakai, Onna wa jugo wo mamoru). This term differentiated gender
role between man and women in wartime era, that man should be in battlefront outside
Japan to fight for their country, while woman`s role is to support them from behind (in
Japan). Because the war become more complicated and multidimensional, Japan
Government made a policy to mobilize all Japanese people to participate in war
supporting activities. This order gave a chance for Japanese women writer to go to
battlefront to observe, gathering information for war propaganda purpose, and writing
war reportage. One of the Japanese women writer who have sent to battlefront is Mikawa
Kiyo. She was dispatched to Indonesia in 1942-1943, traveling around Java and Bali for
about a half of year. Her experienced in Battlefront is written in her autobiography Night
in Notredame, which published in 1978, 4 months after her husband`s death. This
research will review the background of participation of woman writer in war activities,
how their experiences in battlefront and examinate her position as a woman toward
family and state order.

Keywords: war, gender, women writer, military, battlefront

ABSTRAK

Medan perang selalu diidentikkan sebagai dunia laki-laki. Di masa perang Asia
Pasifik, area perang tergenderisasi. Muncul istilah otoko wa zensen de tatakai, onna wa
jugo wo mamoru (laki-laki bertempur di medan perang, perempuan menjaga garis
belakang). Istilah ini membagi peran kerja antara laki-laki dan perempuan semasa
perang bahwa yang selayaknya maju ke medan perang adalah laki-laki, sementara tugas
perempuan adalah memberikan dukungan baik moril dan materiil di dalam negeri.
Namun perang yang berkepanjangan dan semakin kompleks meleburkan perbedaan ini
karena pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memobilisasi semua warga negara
agar turut serta mendukung perang. Perintah ini memberi kesempatan kepada penulis
perempuan untuk pergi ke medan perang, melakukan observasi dan mengumpulkan
informasi dan menghasilkan karya dengan latar belakang perang. Mikawa Kiyo yang
merupakan seorang penulis perempuan dan juga istri dari pelukis Chokai Seiji
menuturkan pengalaman dan perjalanannya di masa perang dalam otobiografi Yoru no
Notorudamu. Dari pengalamannya ini dilihat latar belakang keterlibatan perempuan
dalam perang, bagaimana pengalaman perempuan di medan perang, serta menguji

Perempuan di Medan Perang (Fitriana Puspita Dewi) 135



hubungan antara perintah negara, kewajiban terhadap keluarga, dan karir penulis
perempuan di masa itu.

Kata kunci: perang, gender, penulis perempuan, militer, medan perang

PENDAHULUAN

Mikawa Kiyo adalah penulis perempuan Jepang yang lahir pada tahun 1900
di Yokohama. Ia memulai debutnya sebagai penulis di Tahun 1926 dengan
menerbitkan karya Derike-to no Jidai pada majalah sastra Mita Bungaku. Salah
satu karya lainnya yang terkenal adalah novel Joryuu Sakka yang ditulis tahun
1940, tentang dilema seorang penulis perempuan antara karier dan cinta. Dalam
cerita itu, pada akhirnya perempuan tersebut memilih karier dan meninggalkan
pasangannya.
Tahun 1942, Mikawa Kiyo mendapat perintah dari penerbit Hakubunkan
untuk ditugaskan ke medan perang di Cina. Oleh pemerintah militer Jepang,
Mikawa Kiyo dipilih sebagai perwakilan kaum ibu Jepang ke Cina bagian Utara
hingga ke Gurun Uyghur untuk mengumpulkan data tentang perang,
menyemangati para tentara dan menulis kisah-kisah heroik mereka di surat kabar-
surat kabar Jepang.
Tak lama sekembalinya dari Cina pada akhir bulan Oktober 1942, bersama
lima penulis perempuan lain, Mikawa Kiyo bertolak dari Pelabuhan Ujina
Hiroshima ke Asia Tenggara. Setelah berlayar selama tiga minggu akhirnya ia tiba
di Singapura. Ia kemudian melanjutkan perjalanan ke Johor Malaysia sebelum
akhirnya ditugaskan di Indonesia. Di Indonesia Mikawa Kiyo ditugaskan di Jawa
dan melakukan perjalanan di pulau Jawa dan Bali sampai dengan Mei 1943.
Pengalaman dan hasil observasinya banyak dimuat di surat kabar lama seperti
Djawa Baroe, Asia Raya, dan lain sebagainya.
Pengalamannya bertugas ke medan perang yakni Cina dan negeri Asia
Tenggara dimuat juga pada satu bab dalam otobiografinya yang berjudul Yoru no
Notorudamu. Pada bab yang berjudul Watashi no Chugoku, Nanpou Ryoko
(perjalananku ke Cina dan Selatan), diceritakan keberangkatannya ke medan
perang, pengalamannya berada di antara hidup dan mati, serta dilemanya antara
karir, perintah negara dan rumah tangga.

136 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016



Yoru no Notorudamu adalah otobiografi yang ditulis empat bulan setelah
kematian suami Mikawa Kiyo, Chokai Seiji, pada tahun 1978. Otobiografi ini
memuat kenangan pernikahan mereka dari awal bertemu, masa-masa pengantin
baru, hal-hal penting yang terjadi pada perjalanan pernikahan mereka, hingga
pasca kematian sang suami. Setelah menikah dengan pelukis Chokai Seiji,
Mikawa Kiyo menjadi perempuan yang selalu mengedepankan rumah tangga
daripada karirnya karena ia sangat mencintai suaminya. Sesuai dengan penelitian
terdahulu, Shimizu Michiko dari Chugoku Junior College menyatakan sebagai
berikut:






(
1991: 324)

Terjemahan:
Sejak bertemu dengan lukisan Night in Notredame, Mikawa Kiyo terpikat pada gaya
hidup pelukisnya, Chokai Seiji, yang tidak menyukai popularitas. Mikawa Kiyo
akhirnya menikah dengannya. Setelah menikah ia berniat untuk menyeimbangkan
antara pekerjaan dan rumah tangga, tapi karena ia tahu bahwa itu tidak mungkin,
akhirnya ia menyerah pada profesinya sebagai penulis, dan memilih jadi penyokong
dalam rumah tangga (Michiko, 1991: hlm. 324).

Tetapi pada masa perang, prinsip Mikawa Kiyo tentang rumah tangga ini
tidak lagi berlaku. Keterlibatan negara dalam kehidupan rumah tangga akhirnya
membawa Mikawa Kiyo pada satu keputusan yang berbeda dengan pilihan
hidupnya. Tidak berapa lama setelah jatuhnya serangan udara pertama Amerika di
Tokyo Tahun 1941, Mikawa Kiyo menerima tugas negara untuk diutus sebagai
perwakilan kaum ibu ke medan perang di Cina, meninggalkan keluarga dan
suaminya. Bisa dikatakan Kiyo yang semula berprinsip mengedepankan rumah
tangga daripada karir, dengan adanya perintah dari militer menjadi lebih
mengedepankan karir daripada rumah tangga.
Melihat hubungan antara diri pengarang, rumah tangga, karier dan negara
dengan latar belakang perang membuat penulis ingin mengkaji pengalaman
perempuan di medan perang berdasarkan perjalanan Mikawa Kiyo dalam

Perempuan di Medan Perang (Fitriana Puspita Dewi) 137



otobiografi Yoru no Notorudamu. Hubungan ini akan ditinjau dari perspektif
feminisme dan gender serta kaitannya dengan perang itu sendiri.

GENDER DAN PERANG

Dalam perang, umumnya laki-laki berperan sebagai pejuang, sementara


peran perempuan lebih bervariasi seperti pendukung tentara, perawat,
penyemangat perang secara psikologis, orang yang menciptakan perdamaian, dan
lain-lain. Meskipun sudah banyak terjadi perubahan berkat perkembangan gerakan
feminisme, situasi bagi perempuan tidak banyak berubah. Perempuan masih tidak
banyak dilibatkan dalam perang.
Frederich Engels dan Karl Marx sudah lebih dahulu membahas sexism dan
perang. Pada era masyarakat agrikultural, sistem yang berlaku adalah matriarki
(dimana tidak ada perang dan perempuan yang memegang kekuasaan). Tetapi,
sejak adanya masyarakat industri dan kelas sosial, orang-orang saling berebut hak
kepemilikan dan kekuasaan. Sistem keluarga juga berubah dari matriarki menjadi
patriarki. Posisi perempuan melemah dan laki-laki yang lebih mendominasi.
Banyak yang menganggap bahwa perang bukanlah wilayah perempuan.
Dalam sistem perang, posisi laki-laki dan perempuan tergenderisasi. Laki-laki
dianggap memiliki sifat agresif, identik dengan militer dan power, sementara
perempuan diidentikkan dengan kepasifan, perdamaian dan cinta. Joshua
Goldstein (2011) menyatakan bahwa pembagian peran antara laki-laki dan
perempuan di dalam sistem perang bukan dikarenakan masalah fisik, melainkan
adalah nilai-nilai yang diinternalisasikan oleh masyarakat. Untuk memperkuat
maskulinitas laki-laki, maka dibuatlah image bahwa perempuan itu lemah
sehingga perbandingan kontras antara keduanya menonjolkan sisi kekuatan laki-
laki.

PANDANGAN FEMINIS TENTANG PERANG

Joshua Goldstein (2011) membagi pandangan feminis tentang perang


menjadi tiga bagian, yaitu Liberal Feminism, Difference Feminism, dan
Postmodern Feminism. Liberal Feminism mengangkat hal yang mengacu pada

138 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016



diskriminasi seksual dalam perang. Pandangan ini menginginkan kesetaraan
kemampuan antara laki-laki dan perempuan di medan perang, bahwa perempuan
juga bisa menjadi pejuang dan memiliki keahlian militerisme yang sama. Sebagai
contoh, setelah Perang Vietnam, perempuan lebih banyak terintergrasi dalam
militer Amerika.
Difference Feminism berbeda dengan Liberal Feminism. Difference
Feminism lebih mengakar pada perbedaan gender secara biologis dan keuntungan
dari hal tersebut. Perempuan karena secara natural memiliki insting keibuan akan
lebih efektif dalam penyelesaian konflik dan pencipta perdamaian dalam perang.
Difference Feminism mengklaim bahwa laki-laki relatif kasar, sementara
perempuan cenderung lebih damai. Laki-laki juga cenderung otonomi sementara
perempuan terkoneksi dengan hubungan sosial. Laki-laki dengan naluri
kompetitifnya cenderung mengejar posisi tertinggi dalam hirarki dan lebih
memilih sendiri di puncak hirarki karena menganggap yang datang mendekat akan
merebut posisinya. Di sisi lain perempuan digambarkan seperti berada di tengah
jaring laba-laba yang justru takut akan isolasi. Oleh karena itu, antar perempuan
memiliki hubungan mutual support dan lebih kooperatif. Terakhir, Postmodern
Feminism menganggap bahwa gender dalam perang adalah sesuatu yang bersifat
arbitrer dan kontekstual sehingga pandangan ini masih sulit untuk dijelaskan.
Penelitian kali ini akan menggunakan perspektif Difference Feminism untuk
mencari latar belakang keterlibatan perempuan dalam perang. Dikirimnya Mikawa
Kiyo sebagai perwakilan ibu-ibu Jepang di wilayah pendudukan sebagai salah
satu implikasi kebijakan militer pada masa itu menunjukkan adanya hubungan
kuat antara militer dan peran gender di masa perang.

PENULIS PEREMPUAN DI MEDAN PERANG

Pada masa perang, genderisasi area juga berperan dalam pembagian


pekerjaan antara laki-laki dan perempuan. Istilah seperti Dansei wa senzen de
tatakai, josei wa jugo wo mamoru (laki-laki bertarung di medan perang, sementara
perempuan menjaga garis belakang) banyak bermunculan di masa perang.

Perempuan di Medan Perang (Fitriana Puspita Dewi) 139



Istilah Jugo () yang secara harfiah berarti di belakang peluru ini
muncul sejak perang Jepang-Rusia (1904-1905) pada novel Sakurai Tadayoshi
yang berjudul Jugo (). Pada saat itu istilah Jugo tidak ada hubungannya
dengan perempuan. Tapi sejak pecah perang Jepang-China II yang memakan
waktu bertahun-tahun, Jugo mengalami perubahan arti. Menurut Yayoi
Aoki(1983), Zensen atau medan perang didefinisikan sebagai daratan China
sementara Jugo atau garis belakang adalah wilayah seluruh negeri Jepang dan
jajahannya termasuk Taiwan, Korea dan Karafuto. Dengan semakin meluasnya
wilayah perang ke Asia dan Pasifik, definisi Zensen pun ikut meluas. Perang Asia
Pasifik yang merembet menjadi Perang Dunia II cukup memakan waktu lama dan
menjadi bersifat multidimensi hingga membutuhkan keterlibatan perempuan
untuk terjun ke medan perang.Tetapi mereka didatangkan ke medan perang bukan
sebagai pejuang melainkan sebagai jurnalis.
Miyamoto Yuriko (1955) pada bukunya yang berjudul Fujin to Bungaku
memaparkan bahwa sejak tahun 1939, peran penulis perempuan dalam perang
semakin kuat. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Yakni pertama untuk mengikis
gerakan sastra proletar yang kuat menentang perang. Kedua, pada saat itu ada
tekanan dari pihak militer kepada para penulis lewat kebijakan mobilitasi total
(Soudouin) berupa para penulis diwajibkan untuk ikut terlibat dalam aktivitas
yang mendukung perang. Pada masa ini banyak penulis perempuan dikirim ke
medan perang untuk meliput kisah heroik para tentara karena tulisan mereka yang
dianggap melankolis akan memicu semangat dukungan kepada perang dari
rakyat di dalam negeri Jepang.
Meski sama-sama menulis karya dengan latar perang, tulisan perempuan
dianggap masih dangkal sebagai karya sastra dibanding tulisan laki-laki karena
lebih menekankan unsur perasaan daripada observasi mendalam tentang medan
perang. Oleh karena itu daripada menulis karya sastra, Militer memanfaatkan
perasaan dan melankolis mereka dengan mengalihkan para penulis
perempuan tersebut menjadi jurnalis perang.
Sata Ineko (1947) menggambarkan aktivitas para penulis perempuan ini
dalam karyanya yang berjudul Onnasakka yang diterbitkan pada tahun 1947. Para
penulis perempuan dikirim ke medan perang oleh percetakan dan surat kabar.

140 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016



Mereka mendapat perintah dari Angkatan Darat untuk mengumpulkan informasi
di medan perang. Pekerjaan mereka adalah mendengarkan kisah perjuangan para
tentara, semangat patriotik mereka juga kesepian mereka. Kisah-kisah sedih dan
mengharukan ini akan menggugah naluri keperempuanan para penulis perempuan
hinga akhirnya mereka bisa menulis karya yang akan mengundang air rmata. Jika
tulisan mereka sudah berhasil membuat pembacanya menangis, mereka dianggap
telah berhasil menyelesaikan tugas dari militer.
Selain menulis, aktivitas penulis perempuan di medan perang adalah
mengajarkan bahasa Jepang kepada penduduk lokal. Kegiatan lainnya adalah ikut
mempropagandakan semangat Asia Timur Raya lewat media, berinteraksi dengan
perempuan di wilayah pendudukan, dan menanamkan prinsip dan sistem yang ada
di Jepang seperti Tonarigumi (Rukun Tetangga), peran istri dalam keluarga, dan
sebagainya. Semua aktivitas ini bermuara pada satu hal yaitu dukungan terhadap
perang.

RINGKASAN CERITA OTOBIOGRAFI YORU NO NOTORUDAMU

Yoru no Notorudamu adalah otobiografi yang ditulis Mikawa Kiyo


berdasarkan kenangan akan suaminya Chokai Seiji. Kenangan sejak awal mereka
bertemu, menikah, pindah ke rumah baru dan kejadian-kejadian penting lainnya
dalam rumah tangga mereka hingga akhirnya Chokai Seiji meninggal karena sakit.
Salah satu kejadian penting dalam rumah tangga mereka adalah ketika
Mikawa Kiyo dikirim ke medan perang sebagai perwakilan kaum Ibu Jepang.
Peristiwa ini dijelaskan pada bab Watashi no Chugoku, Nanpou Ryokou. Bab
ini tidak hanya memberikan gambaran tentang aktivitas Mikawa Kiyo selama
penugasannya di medan perang, tapi juga memberikan ilustrasi bagaimana
posisinya sebagai perempuan yang terikat kewajiban pada rumah tangga tetapi
juga pada negara.
Bab ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama diawali dengan
serangan udara Amerika di Tokyo yang berlanjut pada penugasan Mikawa Kiyo
ke Cina. Di tengah-tengah padatnya aktivitas Mikawa Kiyo di Cina ia mendapati
dirinya hamil. Karena medan perang adalah tempat yang beresiko bagi perempuan

Perempuan di Medan Perang (Fitriana Puspita Dewi) 141



untuk mengandung, ia memutuskan untuk aborsi. Setelah aborsi, ia dipulangkan
ke Jepang. Sekembalinya ke Jepang, ia mendapatkan laporan tentang perilaku
suaminya selama ia tidak di rumah. Ia merefleksikan pengalamannya di medan
perang pada hubungan suami-istri dan pembagian peran gender di masa perang.
Kemudian tiga bulan berikutnya ia bersama empat orang penulis perempuan
lainnya dikirim ke Asia Tenggara dengan menumpang kapal rumah sakit tentara
dari Hiroshima dan kemudian mendarat di Singapura, sebelum akhirnya ke
Indonesia.
Bagian kedua bercerita tentang keajaiban-keajaiban yang terjadi ketika
Mikawa Kiyo terselamatkan dari maut. Bagian kedua ini lebih banyak berlatar di
Indonesia. Kejadian yang pertama adalah ketika Mikawa Kiyo menginap di
Selekta, Batu-Malang. Ia diremehkan oleh tentara dan dianggap membawa sial
sehingga tidak diperbolehkan duduk di depan atau di mobil yang berada di urutan
paling depan. Nyatanya mobil yang berada paling depan justru mengalami
kecelakaan dan menewaskan semua penumpangnya. Termasuk dua diantaranya
adalah wartawan dari Tokyo.
Kejadian kedua adalah ketika ia ingin pulang ke Jepang, ia tidak diizinkan
naik pesawat karena pesawat tersebut lebih diprioritaskan untuk pejabat militer
dan tentara. Ternyata pesawat tersebut ditembak oleh musuh sesaat setelah lepas
landas. Terakhir, masih tentang seputar kepulangan Mikawa Kiyo ke Jepang, ia
tidak diberi informasi bahwa kapal yang seharusnya mengangkutnya pulang sudah
pergi. Tapi kejadian ini membawa hikmah pada Mikawa Kiyo karena ternyata di
tengah perjalanan kapal itu diledakkan musuh di perairan Filipina. Semua
ketidakberuntungan yang awalnya Mikawa Kiyo dapatkan ternyata berbalik
menyelamatkan nyawanya.

KETERLIBATAN PEREMPUAN DALAM PERANG

Sejak penulis perempuan dikirim ke medan perang (dimulai sejak


pengiriman Hayashi Fumiko ke Nanking pasca kejatuhannya), perang berangsur-
angsur menjadi tempat yang bisa dimasuki perempuan. Para penulis perempuan
ini menggunakan transportasi yang sama dengan tentara, tinggal di tempat yang

142 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016



sama, menghadapi bahaya yang sama, seperti maut yang senantiasa mengintai
tanpa membeda-bedakan jenis kelamin.
Penulis perempuan berdatangan ke medan perang dan menciptakan tren
baru yakni sastra berlatar belakang perang dari perspektif perempuan. Tren ini
diawali karya Koyama Itoko tentang kisah pembangunan dam serta
perkembangan teknologi pada industri perminyakan di Manchuria pada karya
Oiru Sheeru () dan Neppuu (), serta tentang medan
perang di Nanking dan Manchuria pada Hokugan Butai () karya
Hayashi Fumiko.
Meski sudah banyak karya yang dihasilkan dari tangan penulis perempuan,
tetap ada anggapan bahwa kualitas tulisan mereka tidak bisa disamakan dengan
tulisan pengarang laki-laki. Tulisan penulis perempuan masih dianggap cengeng
dan dangkal. Unsur perasaan yang kuat pada tulisan perempuan ini dimanfaatkan
militer dan menjadikan mereka jurnalis perang daripada penulis sastra perang.
Dengan mengeksploitasi unsur perasaan dan naluri keibuan dari para
penulis perempuan ini, militer memerintahkan mereka untuk meliput semangat
heroik para tentara, kesepian dan penderitaan mereka, dan hal ini akan menggugah
semangat serta dukungan pembaca terhadap perang di dalam negeri Jepang.
Banyaknya perempuan yang dikirim ke medan perang oleh percetakan surat kabar
ini membuat tahun 1939 disebut sebagai kebangkitan penulis perempuan dalam
dunia jurnalisme.

Gambar 1. Ilustrasi Semangat Kerjasama dan Persatuan dari Tentara dan Perempuan Jepang
Menghadang Media Asing (dibuat oleh Ono Saseo dan dimuat di koran Jawa Shinbun, 1943)

Perempuan di Medan Perang (Fitriana Puspita Dewi) 143



Menurut Hirose Reiko (2004), manuver budaya yang dilakukan di wilayah
pendudukan menitikberatkan pada pendidikan Bahasa Jepang, propaganda
semangat, dan filosofi orang Jepang kepada penduduk lokal. Perempuan dianggap
lebih tepat dan efektif untuk mengemban tugas ini daripada laki-laki karena hal ini
membutuhkan interaksi sosial dengan penduduk lokal dalam pelaksanaannya
Selain strategi militer, teknik propaganda juga dilakukan militer Jepang di
daerah pendudukan dengan tujuan minshin haaku (mengambil hati rakyat).
Perempuan juga dilibatkan dalam aktivitas ini karena berbeda dengan image laki-
laki yang terlihat sebagai agresor, perempuan lebih terkesan sebagai mediator
yang menghubungkan penduduk lokal dan pemerintahan militer di daerah
pendudukan. Dalam hal ini terjadi pragmatisme antara militer dan kaum
perempuan. Pemerintahan militer mendapatkan keuntungan dengan adanya
perempuan yang menjembatani kepentingan militer dan interaksi dengan
penduduk lokal. Di sisi lain, dilihat dari perspektif difference feminism, naluri
negosiasi perempuan menjadi salah satu kunci penting dalam perang. Pada dunia
yang penuh simbol maskulinitas tersebut, perempuan mampu berkontribusi dan
berperan secara aktif.
Nagahara Kazuko (2012) juga menambahkan karena perempuan pada
awalnya melihat perang hanya dari sudut pandang sebagai korban kekerasan,
mereka hanya memahami sistem perang dari posisi di garis belakang. Mereka
tidak bersentuhan secara langsung ikut ambil bagian dalam aktivitas perang.
Tetapi faktanya, dengan penugasan penulis perempuan ke medan perang
menunjukkan adanya kerjasama perempuan dalam aktivitas perang baik secara
langsung atau tidak langsung.
Dengan latar belakang tersebut Mikawa Kiyo menjadi bagian dari penulis
perempuan yang dikirim ke medan perang dan ikut berperan aktif di dalamnya.
Awalnya ia dikirim ke Cina bersama pengarang Watanabe Keishuke, tidak berapa
lama setelah serangan udara pertama Amerika di Tokyo. Aktivitas yang padat
serta medan yang berat sempat membuat fisiknya melemah. Ditambah lagi, di
tengah kondisi perang yang seperti itu Mikawa Kiyo hamil. Karena medan perang
dianggap bukan tempat yang aman untuk membesarkan kandungan, Mikawa Kiyo
lalu memutuskan aborsi. Di saat itu ia menyadari bahwa medan perang bukan

144 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016



tempat yang seharusnya didatangi perempuan. Dalam pernyataannya, Onna no
kuru beki basho dewanakatta to, koukai shita, ia mengungkapkan penyesalannya
bahwa perang bukanlah tempat yang seharusnya didatangi perempuan. Karena
selain beresiko membahayakan diri sendiri, bagi seorang perempuan yang
mengandung hal ini akan membahayakan janin yang dikandungnya. Setelah
aborsi, karena fisiknya semakin melemah, Mikawa Kiyo akhirnya dipulangkan ke
Jepang.
Meski secara fisik ia menjadi lemah, tapi Mikawa Kiyo menyadari bahwa
ada perubahan dalam dirinya. Ia yang semula hanya ibu rumah tangga dalam
sistem keluarga yang tradisional dan hanya berkutat dengan urusan domestik,
merasakan adanya kepercayaan dan kekuatan diri setelah pulang dari Cina.
Aktivitas yang padat serta medan yang berat serta pengalaman di antara hidup dan
mati di medan perang menjadikan pribadi Mikawa Kiyo lebih tegar dan kuat.
Ia menyadari hal tersebut ketika baru tiba di Jepang, saat dijemput suaminya
Chokai Seiji di stasiun Kyoto. Ia yang baru saja kehilangan bayi juga mengalami
kelelahan pasca aborsi dan perjalanan jauh masih bisa terlihat tegar di depan
suaminya dan menolak untuk dirawat di rumah sakit. Ia bahkan tidak
menunjukkan rasa sakit. Terhadap perubahan psikologis yang ia rasakan ini ia
berpendapat, Sensou wa onna no shinrijyoutai made araarashiku chifutoku
henbou saserunodarouka. Menurutnya, perang membuat perubahan besar bagi
sisi psikologis perempuan. Perempuan yang diposisikan sebagai korban akan
menjadikannya trauma, sementara yang berperan aktif justru mendapat kekuatan.
Tujuan dikirimnya Mikawa Kiyo ke medan perang adalah untuk melakukan
observasi dan kemudian melaporkannya di surat kabar di Jepang. Dari sekian
banyak penulis perempuan yang dikirim, tugas Mikawa Kiyo lebih spesifik, yakni
sebagai perwakilan kaum ibu sehingga nantinya baik tulisan dan aktivitasnya
kebanyakan didasarkan pada posisinya sebagai seorang ibu. Mengenai tugas ini,
Mikawa Kiyo memaparkan di otobiografinya sebagai berikut:

(1978: 132)

Terjemahan:
Tugas yang harus diselesaikan adalah melihat dari sudut pandang ibu, kemudian
mengkorespondensikannya ke masing-masing surat-kabar yang memberi tugas.

Perempuan di Medan Perang (Fitriana Puspita Dewi) 145



Pekerjaannya menyenangkan, tapi juga membutuhkan keberanian (Kiyo, 1978: hlm.
132)

Mikawa Kiyo juga menyebutkan soal pekerjaannya selama di medan perang


pada karyanya yang lain, seperti pada Minami no Tabi Kara pada tahun 1944. Di
situ ia menjelaskan bahwa ia mendapat tugas dari Departemen Penerangan
Angkatan Darat untuk melihat secara detail bagaimana daerah di selatan, lalu
melaporkannya ke surat kabar di Jepang. Mikawa Kiyo ditargetkan untuk
menghasilkan 50 lembar catatan perjalanan yang akan dikirim ke surat kabar.
Untuk memenuhi target ini selain harus menjaga diri dari bahaya musuh, Mikawa
Kiyo juga menjaga kesehatannya agar tidak sampai terkena malaria seperti banyak
diderita rekan-rekannya.
Tulisan Mikawa Kiyo tentang Indonesia tersebar di beberapa surat kabar
dan majalah seperti Jawa Shinbun, Asia Raya, dan lain-lain. Tapi karena ia
ditugaskan sebagai perwakilan kaum ibu, observasinya banyak berdasarkan sudut
pandang ibu. Seperti tulisannya di majalah Djawa Baroe, edisi 15 Mei 1943 yang
berjudul Kanak-Kanak di Selatan (Minami no Kodomo Tachi) yang menyoroti
tentang pendidikan Bahasa Jepang di Malaysia dan Indonesia. Juga pada karya
Fuyu no Yowa pada majalah Manshu Koron edisi Februari 1944, yang
menceritakan tentang sekolah dasar di gurun Ordos di daratan Mongolia, dan
sekolah dasar di Malaysia dan Bali.
Menurut Kamiya Tadataka (1984), tulisan pengarang yang ditugaskan ke
daerah selatan dapat dibagi menjadi empat bagian. Yang pertama adalah penulis
yang mempercayai konsep Asia Timur Raya dan mempromosikan ide
tersebutterutama hal yang baik-baiknya saja. Yang kedua adalah tulisan tentang
konfirmasi atas catatan orang-orang yang pergi lebih dahulu ke selatan. Yang
ketiga adalah tipe tulisan yang didapatkan dari hasil pendekatan secara aktif
kepada penduduk lokal. Tulisan seperti ini lebih akurat. Dan yang terakhir adalah
tulisan berdasarkan pengalaman sendiri yang lebih kuat unsur subyektivitasnya.
Jika dilihat, sebagian besar karya Mikawa Kiyo adalah tipe terakhir. Kebanyakan
ditulis dari pengalaman dan sudut pandangnya sebagai seorang ibu karena sedikit
ditemukan adanya interaksi Mikawa Kiyo dan penduduk lokal. Hal ini berbeda
dengan rekannya Hayashi Fumiko yang banyak melakukan interaksi dan menulis
berdasarkan fakta yang ada di lapangan.
146 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016

Yahagi Taisa (1943) menambahkan keterangan mengenai akomodasi para
pengarang selama di Selatan di surat kabar Jawa Shinbun edisi 8 Desember 1942.
Para pengarang yang ditugaskan oleh Departemen Penerangan ini tidak digaji, tapi
transportasi dan akomodasi seluruhnya ditanggung oleh pihak Angkatan Darat,
tentunya dengan menggunakan fasilitas mereka. Oleh karena itu para pengarang
berangkat menumpang kapal tentara, menginap di barak tentara, makan juga
disediakan oleh tentara, serta menggunakan transportasi dari tentara.
Begitu pula yang terjadi pada Mikawa Kiyo ketika ia ditugaskan ke
pedalaman Manchuria hingga gurun di daratan Cina. Ia naik truk di bak belakang
bersama-sama dengan para tentara, ikut berkuda atau berjalan kaki puluhan
kilometer, menyaksikan tentara yang terluka dan tewas di medan perang. Ia bukan
lagi stereotip yang disebut Aoki Yayoi (1983), Otoko wa kokugai no zensen ni,
Onna wa Kokunai no Jugo ni (laki-laki itu di medan pertempuran di luar negeri,
perempuan menjaga garis belakang dalam negeri). Keberadaan Mikawa Kiyo
bersama penulis perempuan lainnya di medan perang ini mengaburkan
pembagian wilayah Ie (uchi dan soto) dalam bidang pekerjaan antara laki-laki
dan perempuan. Sebaliknya hal ini menunjukkan semangat persatuan segenap
warga negara untuk mendukung perang.
Dengan semua akomodasi dan fasilitas dari militer ini, bisa dikatakan bahwa
Mikawa Kiyo hidup berdampingan dengan tentara. Dalam hal ini, genderisasi area
perang seperti yang dijelaskan sebelumnya, telah melebur. Tidak ada pembedaan
laki-laki adalah zensen (medan perang), dan perempuan adalah jugo (garis
belakang). Meski begitu, perempuan juga menerima resiko dan bahaya yang sama
dengan laki-laki, dimana seharusnya mereka bisa lebih aman jika berada di garis
belakang. Mikawa Kiyo menyadari keberadaannya di medan perang memberinya
pengalaman berada di antara hidup dan mati.
Mikawa Kiyo berkali-kali menyebutkan kata Seishi () yaitu antara
hidup dan mati. Perjalanan lewat laut dari Hiroshima ke Singapura dimana musuh
bisa saja meluncurkan torpedo ke kapal yang ditumpangi, Kiyo menyebut
perjalanan ini adalah Seishi no Sakai () atau batas antara hidup dan
mati. Begitu pula ketika ia menyaksikan pesawat yang harusnya mengangkutnya
pulang meledak di udara sesaat lepas landas atau ketika kapal yang

Perempuan di Medan Perang (Fitriana Puspita Dewi) 147



meninggalkannya tanpa informasi diledakkan musuh di perairan Filipina, Kiyo
menyadari nyawa manusia di medan perang itu hanya setipis kertas.

1978: 138

Terjemahan:
Betapa mengerikannya batas antara hidup dan manusia yang hanya setipis kertas itu.
Aku saksikan dengan mata sendiri dan tidak akan pernah bisa kulupakan seumur
hidupku (Kiyo, 1978: hlm. 138)

Berada di tengah-tengah tentara dan hidup bersama mereka memberikan


gambaran bahwa pada saat itu perempuan akhirnya bisa memasuki dunia laki-laki.
Mereka melakukan aktivitas yang sama dan menghadapi bahaya yang sama pula.
Meski begitu, perempuan masih dianggap rendah keberadaannya. Partisipasi
perempuan dalam perang masih diremehkan seperti yang terjadi pada Mikawa
Kiyo dalam kutipan sebagai berikut:




1978: 137

Terjemahan:
Tujuanku datang kesini bukan hanya untuk melihat apa yang diperlihatkan oleh tentara
saja. Aku sudah mempertaruhkan nyawaku untuk datang jadi aku ingin melihat apa
yang ingin kulihat. Meski aku hanya mengatakan hal yang sewajarnya tapi (hal itu)
diinterpretasikan sebagai kelancangan, padahal aku perempuan. `Lakukan semaumu
sana` mereka tidak menghargaiku dan menjauhiku. (Kiyo, 1978: hlm 137)

Mikawa Kiyo hanya ingin melaksanakan tugas sebaik-baiknya tapi tentara


memandangnya rendah, bahkan menganggapnya lancang. Alih-alih dianggap
sebagai partner kerjasama dalam perang, kehadiran Mikawa Kiyo justru dianggap
mengganggu sehingga layak dihindari. Hal ini menurut Wakakumi Midori (1943)
dikarenakan pandangan tentara yang menganggap perempuan sebagai sumber
kekacauan. Tentara membenci perempuan karena dianggap hanya membawa
ketidakberuntungan. Perempuan yang penampilannya sensual akan mengganggu
konsentrasi tentara dan merusak kemurnian semangatnya. Dalam sistem perang
yang hierarkis dan patriarkis ini perempuan memang sulit untuk mendapat tempat.
Tentara takut pada tubuh, seksualitas, nyawa dan darah perempuan karena hanya
membawa kekacauan.

148 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016



Sebenarnya perempuan terlibat dalam aktivitas bela negara bukanlah hal
yang aneh di Jepang. Terutama sejak kebijakan `mobilisasi umum` dikeluarkan,
perempuan juga dituntut patriotismenya tapi dengan cara yang berbeda.
Patriotisme laki-laki dinilai dari pengorbanannya kepada negara dengan terjun ke
medan perang. Patriotisme perempuan dilihat dari aktivitasnya seperti bekerja di
industri perang, menjaga keluarga dan stabilitas pangan di rumah, mengantar
tentara dan memberi dukungan moril bagi mereka yang berangkat ke medan
perang. Meskipun dibentuk organisasi-organisasi seperti Dainippon Kokubo
Fujinkai atau Aikoku Fujinkai yang melatih perempuan untuk bela diri, tujuan
utamanya bukan untuk menerjunkan mereka ke medan perang. Perempuan diberi
tanggung jawab di dalam negeri Jepang, di jugo (garis belakang), mendukung
laki-laki yang sedang bertugas ke medan perang di luar negeri Jepang. Oleh
karena itu, perempuan yang datang ke medan perang dan bekerja bersama para
tentara tidak mendapat respek bahkan cenderung dilecehkan karena dianggap
bukan tempatnya.

HUBUNGAN ANTARA NEGARA, KARIR DAN KELUARGA

Sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga, perintah untuk pergi ke medan
perang tentu tidak mudah diterima oleh Mikawa Kiyo. Ia sempat mengalami
dilema. Terlebih prinsip hidupnya sudah berubah. Sebelumnya ia adalah
perempuan yang mengedepankan karir daripada keluarga. Tapi sejak bertemu
Chokai Seiji, ia menjadi perempuan yang memprioritaskan keluarga lebih dari
apapun. Banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum keberangkatannya ke
Cina dan Indonesia.
Ketika ia menanyakan pendapat suami, justru sang suami memberi
dukungan penuh. Bahkan membelikan buku tentang daerah yang akan didatangi
dan memberi kontak kenalannya di Cina jika terjadi sesuatu. Menurut suami
Mikawa Kiyo, kesempatan baik ini jangan disia-siakan karena berguna menunjang
karirnya sebagai pengarang. Perjalanan ini sepenuhnya dibiayai oleh Angkatan
darat, sehingga bagi penulis-penulis miskin sepertinya kesempatan seperti ini
sangat langka.

Perempuan di Medan Perang (Fitriana Puspita Dewi) 149



Akan tetapi faktor utama yang mendorong Mikawa Kiyo untuk pergi bukan
karena masalah karir. Keingintahuan akan negeri yang belum pernah
dikunjunginya ini yang lebih dominan dalam pengambilan keputusannya. Bahkan
rasa penasaran ini melebihi rasa rasa takut akan bahaya di medan perang. Mikawa
Kiyo berkata,
(Karena hasrat untuk menginjakkan kaki ke dunia yang belum
kukenal lebih kuat daripada kekhawatiranku akan hidup dan mati). Penyebabnya
adalah ia menganggap hidupnya selama ini membosankan hanya disitu-situ saja
sehingga cakrawala pengetahuannya sempit. Pada novel yang ditulis
tahun 1943, ia sempat menuliskan `
(Aku adalah perempuan yang hanya tahu
tentang Jepang, hanya tahu tentang Tokyo, dan hanya tahu kehidupan yang kecil).
Oleh karena itu, tawaran untuk pergi keluar negerimeski itu adalah medan
perangmembuatnya bersemangat dan mengubah prioritas hidupnya lagi.
Namun jika ditelisik lebih dalam akan terlihat hubungan segitiga antara
negara, karir dan keluarga dalam keputusan Mikawa Kiyo. Yang pertama perlu
dilihat adalah kebijakan mobilisasi total atau soudouin yang dikeluarkan oleh
negara. Perintah mobilisasi umum berisi tentang kewajiban seluruh warga negara
untuk mendukung kegiatan perang sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Artinya, seluruh warga negara wajib memberikan kontribusi sekecil apapun itu
demi memenangkan perang. Tanggung jawab untuk memenangkan perang tidak
hanya di tangan tentara yang berada di garda depan medan perang, tapi juga bagi
seluruh warga negara.
Perintah mobilisasi umum ini juga tiba di kalangan sastrawan melalui
majalah Bungei Nenkan edisi 10 Agustus 1943. Di sana tertulis bahwa
Departemen Angkatan Darat membuka lowongan untuk aktivitas manuver budaya,
pengumpulan informasi dan propaganda di Malaysia, Birma, Sumatra dan Jawa.
Pihak media yang akan melakukan seleksi, lalu para pengarang, kritikus, pelukis,
sutradara film diberangkatkan ke medan perang berdasarkan surat kabar atau
penerbit yang memilihnya. Artinya, perintah ke medan perang secara tidak
langsung adalah perintah negara yang wajib dipatuhi. Hubungan antara negara,

150 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016



militer dan sastra terkait penugasan sastrawan ke medan perang ini digambarkan
dengan grafik seperti di bawah ini.
N
Negara

Militer

Sastra

Mikawa Kiyo kerap melakukan penolakan bahwa kepergiannya ke medan


perang adalah karena perintah militer atau perintah dari negara. Ia berulang kali
menulis bahwa seharusnya suaminya bisa menyuruhnya untuk tidak pergi karena
kepergiannya ini bukan berdasarkan perintah militer. Akan tetapi dari kesaksian
rekan sesama penulis perempuan yang dikirim ke Indonesia, Koyama Itoko,
dinyatakan bahwa penugasan mereka adalah murni perintah militer. Dalam novel
Jinsei no Nana Iro, Koyama Itoko menyebutkan bahwa mereka diutus oleh
Departemen Penerangan Militer ke Indonesia dan tidak berhak menolak kecuali
jika dalam keadaan sakit.
Suami Mikawa Kiyo sendiri paham bahwa ini perintah negara sehingga ia
tidak punya pilihan lain selain merelakan istrinya pergi. Hal ini terbukti dari
sikapnya yang mendukung kepergian istrinya dengan menyiapkan segala
kebutuhannya. Terlebih lagi, semasa Mikawa Kiyo tidak ada di rumah, Chokai
Seiji yang biasanya pergi keluar sampai larut malam, justru tidak meninggalkan
rumah sama sekali. Ketika ditanya, alasannya adalah untuk menjaga kehormatan
dan nama baik istrinya yang sedang bertugas ke medan perang. Ketika Mikawa
Kiyo kembali ke Jepang, ia kembali ke kebiasaannya, keluar rumah dan terkadang
tidak pulang berhari-hari.

Perempuan di Medan Perang (Fitriana Puspita Dewi) 151


Nagahara Kazuko (2012) menjelaskan bahwa Jepang adalah negara keluarga
(Kazoku Kokka). Kazoku Kokka () dapat diartikan bahwa negara Jepang
adalah satu keluarga besar, satu Ie dimana kekuasaan tertinggi berada di kepala
keluarga yakni Kaisar. Ayah atau suami dalam keluarga masyarakat Jepang
dianggap sebagai perwakilan kaisar di rumah sehingga harus dihormati. Ia juga
menambahkan bahwa kewajiban seorang istri atau ibu rumah tangga tidak hanya
menciptakan suasana rumah tangga yang nyaman, tapi sebagai anggota keluarga,
perempuan harus mematuhi perintah dari kepala negara. Meski seorang istri
memiliki kewajiban untuk patuh pada suami, tapi karena posisi negara lebih tinggi
daripada keluarga, perintah negara harus lebih diprioritaskan. Dengan alasan
inilah, meski Mikawa Kiyo mengatakan bahwa ia tidak menerima perintah negara,
Chokai Seiji memaklumi dan mematuhi perintah dari yang lebih berkuasa lagi
yakni negara.
Penolakan Mikawa Kiyo bahwa ia tidak menerima perintah negara adalah
untuk menutupi rasa bersalahnya terhadap suami, karena selama kepergiannya
hidup suaminya jadi berantakan. Ia menyesal karena merasa seharusnya ia tidak
pergiatau seharusnya suaminya menahannya untuk tidak pergi, karena ia
menganggap ini semua bukan perintah langsung dari negara. Tapi kenyataannya,
Mikawa Kiyo menerima perintah dari negara meski secara tidak langsung karena
perintah tersebut datang melalui media.
Dilema yang diakibatkan dari hubungan segitiga antara negara, karir dan
keluarga ini memberi gambaran bagaimana negara juga secara tidak langsung
mengintervensi rakyatnya hingga urusan keluarga. Namun dari sisi positifnya,
penugasan ini memberi kesempatan kepada Mikawa Kiyo untuk mengembangkan
karir serta memperluas cakrawala pengetahuannya. Dalam hal ini terjadi
hubungan mutualisme antara negara dan seorang penulis perempuan. Hubungan
mutualisme ini juga berkontribusi dalam penelusuran sejarah sastra perempuan
Jepang

152 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016



SIMPULAN

Otobiografi Mikawa Kiyo yang berjudul Yoru no Notorudamu ini memuat


satu bab yang berisi tentang perjalanan Mikawa Kiyo ke beberapa medan perang
semasa Perang Asia-Pasifik dan Perang Dunia II. Dari analisis bab yang berjudul
Watashi no Chugoku, Nanpou Ryoko itu didapatkan hasil sebagai berikut:

1. Dengan adanya kebijakan mobilisasi total di masa perang, perempuan ikut


ditugaskan ke medan perang untuk menulis sastra perang. Tetapi karena kualitas
tulisan mereka dianggap rendah, pihak militer kemudian memanfaatkan mereka
sebagai jurnalis perang. Hal ini yang melatar belakangi penugasan para penulis
perempuan ke medan perang dengan tujuan observasi dan pengumpulan informasi,
propaganda dan pendidikan Bahasa dan budaya Jepang di daerah pendudukan
2. Jepang menciptakan istilah Jugo (garis belakang) dan Zensen (Medan perang)
yang menggenderisasi peran laki-laki dan perempuan di masa perang. Tetapi
perjalanan dan aktivitas para penulis perempuan di medan perang meleburkan
batasan tersebut, perempuan bekerjasama dengan militer dan terlibat dalam
aktivitas yang mendukung perang.
3. Perempuan, meski merasakan pengalaman yang tidak jauh berbeda dengan
laki-laki dan ikut berkontribusi pada aktivitas di medan perang, tetap dianggap
tidak setara posisinya dengan laki-laki. Hal ini disebabkan karena sistem perang
sangat patriarkis, peran perempuan kurang diakui meski mereka sudah masuk
dalam sistem tersebut.
4. Terdapat dilema pada diri Mikawa Kiyo akibat hubungan negara, karir dan
keluarga terkait keputusannya ke medan perang. Sebagai istri yang baik, ia ingin
tetap di rumah patuh melayani suami. Tetapi di sisi lain, perjalanan ini juga
menjadi kesempatan baik bagi karirnya sebagai pengarang. Di tambah lagi fakta
bahwa negara Jepang sebagai negara keluarga, juga adanya kebijakan mobilisasi
total semakin memperkuat alasan Mikawa Kiyo untuk berangkat ke medan perang.
Secara hierarkis bisa dilihat kepentingan negara yang harus lebih didahulukan
selain karir dan keluarga. Hal ini menunjukkan prioritas tanggung jawab yang
diemban seorang istri di Jepang pada masa perang.

Perempuan di Medan Perang (Fitriana Puspita Dewi) 153



DAFTAR PUSTAKA

Goldstein, Joshua. (2011). War and gender. Cambridge: Cambridge University


Press
Ineko, Sata. (1947). Onna sakka. Tokyo: Shin Nihonbungakukai
Itoko, Koyama. (1991). Jinsei nana iro. Tokyo: Shikaban
Kamiya, Tadataka. (1984). Faculty of Humaniora journal no 20: Nanpou
chouyou sakka. Hokkaido: Hokkaido University
Kazuko, Nagahara. (2012). Kingendai joseishiron: Kazoku-sensou-heiwa. Tokyo:
Yoshikawa Koubunkan
Kishoinkenkyukai. (1943). Kokka soudouin houchokurei setsumei. Tokyo:
Shinkigensha
Kiyo, Mikawa. (1944). Fuyu no yowa-manshuu kouroun no. 3 (2). Tokyo:
Manshuu Kouronsha
-----. (1943). Ichinichi ichihana. Osaka: Toukoudo Shoten
-----.(1944).Minaminokodomotachi-
Shinseinanpouki.Tokyo:Nihonbungakujoukokukai.
-----. (1944). Minami no tabi kara. Niigata: Bunshodo Shoten.
-----. (1978). Yoru no notorudamu. Tokyo: ChuoKoronsha
Michiko, Shimizu. (1991). Chuugoku Junior College Journal No. 22 Edisi 16 Juni
1991: Yoru no notorudamu ni miru Mikawa Kiyo no ikikata. Okayama:
Chuugoku Junior College
Midori, Wakakumi. (1943). Sensou ga tsukuru joseizo. Tokyo: Chikuma Shobo
Reiko, Hirose. (2004). Hokkaido Information University Journal Edisi ke 5 no.2:
Fujin shinbun ni miru manshuu: Ninshoku sensou to jendaa.
Hokkaido: Hokkaido Information University
Taisa, Yahagi. (1942). Jawa shinbun: Bunka sensen no senpei. Jakarta: Jawa
Shinbun
Yayoi, Aoki. (1983). Senso to onnatachi. Tokyo: Origin Shuppan Senta
Yuriko, Miyamoto. (1951). Fujin to bungaku. Tokyo: Chikuma Shobo
-----. (1943). Bungei nenkan. Tokyo: Bunsendo Printing

154 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016



BAHASA INDONESIA DALAM
JUDUL IKLAN MAJALAH FEMINA

Sri Hapsari Wijayanti

Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya


Jl. Jenderal Sudirman 51, Jakarta 12930
sri.hapsari@atmajaya.ac.id

ABSTRACT

The language of advertising holds an important role for successful of commercial


products selling. Almost 75%-80% of the successful advertising determined by the headlines.
This study aims to know the average of length, spelling and short forms, and the type of
headlines. The study used 81 headlines have been written in Indonesian Femina magazines
published on June until December 2015 and used qualitative and quantitative methods. The
condition of data described naturaly by counting the percentage of appearance spelling and
type of headlines. Besides that, this study found that the headlines written in seven words
average. Sixty percent of headlines didnt contain the spellings. Fullstops and comas;
number; and short forms still wrote incorrectly. The type of headline used are command
headline (27%), benefit headline (25%). news headline (23%), and claim headline (10%).
This study concludes that communicative language use of advertising still do not follow the
spelling Indonesian norms which is important as education tool for Indonesian learners.

Key words: discourse, headline, spelling, Indonesian

ABSTRAK
Bahasa iklan memegang peran penting dalam keberhasilan penjualan produk
komersial yang diiklankan. Hampir 75%-80% keberhasilan iklan ditentukan dari judul iklan.
Penelitian ini bertujuan mengungkap rata-rata panjang judul iklan, pemakaian ejaan dan
bentuk ringkas dalam judul iklan, serta tipe judul iklan yang banyak digunakan. Data yang
digunakan adalah 81 judul iklan berbahasa Indonesia dalam majalah Femina, edisi Juni--
Desember 2015. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Dalam
hal ini dideskripsikan kondisi data apa adanya dengan menghitung frekuensi kemuculan
tanda baca dan tipe judul iklan yang banyak digunakan dalam bentuk persentase. Selain itu,
mengungkap apakah kaidah ejaan dalam bahasa Indonesia yang berlaku diterapkan dalam
penulisan judul iklan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata judul iklan ditulis
tujuh kata. Enam puluh persen judul iklan tidak mengandung tanda baca, tetapi sisanya
memanfaatkan tanda baca titik, koma, petik ganda, titik tiga, kurung, tanya, seru, dan
hubung. Tanda baca titik dan koma; penulisan angka dan bilangan; dan bentuk ringkas
masih memperlihatkan ketidaktepatan dalam pemakaiannya. Adapun tipe judul iklan yang
digunakan berturut-turut dari yang terbanyak adalah bentuk perintah (command headline)
(27%), keuntungan (benefit headline) (25%), dan berita terkini (news headline) (23%), dan
klaim (10%). Penelitian ini menyimpulkan bahwa iklan berbahasa Indonesia perlu lebih

Bahasa Indonesia dalam Judul Iklan(Sri Hapsari Wijayanti) 155


kreatif dalam menulis judul yang menarik, dengan tetap memerhatikan pemakaian bahasa
yang komunikatif, tetapi tidak melanggar kaidah ejaan yang berlaku mengingat iklan cetak
merupakan media yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana edukasi bahasa Indonesia.

Kata kunci: wacana, judul iklan, ejaan, bahasa Indonesia

PENDAHULUAN

Sebagai bentuk komunikasi massa, daya tarik pesan yang ditawarkan iklan
begitu menggoda sehingga kadang-kadang yang terjadi adalah konsumen membeli
barang atau menggunakan jasa bukan karena kebutuhan, melainkan karena keinginan.
Iklan merupakan saluran promosi yang dewasa ini terbilang efektif untuk
menginformasikan barang atau jasa hingga membujuk pembaca agar melakukan
tindakan terhadap iklan tersebut. Seperti diungkapkan Hardjanto (2002), Iklan tidak
sekadar menyampaikan informasi tentang suatu komoditas (barang atau jasa), tetapi
mempunyai sifat mendorong dan membujuk agar konsumen menyukai, memilih,
dan kemudian membelinya. Karena itulah, iklan dapat digolongkan sebagai wacana
persuasif (Brewer dan Lichtentien, 1982, dalam Mardikantoro, 2009).
Sebagai wacana persuasif, daya tarik iklan dapat berwujud daya tarik rasional
atau emosional. Daya tarik rasional atau positif berfokus pada praktik, fungsi, atau
kebutuhan konsumen secara optimal terhadap produk, yang menekankan manfaat
atau alasan untuk mempunyai atau menggunakan merek. Daya tarik emosional
berhubungan dengan kebutuhan psikologis konsumen untuk membeli produk. Banyak
konsumen termotivasi mengambil putusan dan membeli karena emosi dan perasaan
terhadap merek dan pernak-pernik produk tersebut (Sunyoto, 2005, pp.104 - 106).
Iklan dikatakan berhasil apabila mampu menggugah perhatian pembaca dan
menimbulkan kesan mendalam. Salah satu aspek penting yang menentukan
keberhasilan iklan adalah bahasa (Wyckham dkk., 1984). Melalui pemilihan kata,
istilah, frasa, dan kalimat, yang didukung oleh gambar, iklan merepsentasikan tujuan
pemasang iklan, memengaruhi sikap dan perilaku konsumen (Wyckham dkk., 1984;
Junaiyah dan Arifin, 2010).

156 Jurnal LINGUA Vol. 12 No.1 September 2016


Bahasa Indonesia dalam iklan telah menarik perhatian peneliti sebelumnya
(lihat Arifin dkk., 1992; Wijana, 1995; Utorodewo, 2000; Hoed, 2001; Hardjanto,
2002; Sumarlam dkk., 2004; Mardikantoro, 2009; Kasmansyah, 2011). Mereka
mengamati iklan di media elektronika atau media cetak ditilik dari unsur kebahasaan,
seperti ragam dan sosiolek, pilihan kata, tema dan objek, modalitas, dan penafsiran
(Mardikantoro, 2009). Arifin dkk (1992), yang memfokuskan penelitian terhadap
iklan berita dan papan reklame, menemukan bahwa iklan banyak menggunakan
frasa, kalimat, dan wacana. Ia mengidentifikasi empat belas cara penyampaian iklan.
Dari sisi pragmatik, yaitu praanggapan (presupposition) dan implikatur, iklan cetak
komersial dalam bahasa Inggris yang terbit dalam Kompas (September hingga
Oktober 2002) telah dilaporkan oleh Suryoputro (2003). Ia menemukan bahwa iklan
yang ditelitinya mengandung lebih dari satu tipe praanggapan yang berfungsi
menawarkan, menghibur, membujuk, juga secara terselubung menasihati.
Iklan, khususnya iklan cetak berbahasa Indonesia, banyak diwarnai kata-kata
bahasa Inggris. Yugianingrum (2006) melaporkan bahwa frekuensi penggunaan
ungkapan bahasa Inggris dalam iklan sudah di luar kewajaran. Ditemukan banyak
campur kode dalam sebuah iklan. Penyebab campur kode adalah ungkapan dalam
bahasa Inggris dianggap lebih tepat daripada padanan bahasa Indonesianya; ungkapan
bahasa Inggris lebih dikenal dan lazim digunakan daripada bahasa Indonesianya;
ungkapan bahasa Inggris lebih berkesan positif, lebih praktis, dan lebih bermakna
halus. Dari penelitiannya diduga rasa kebanggaan berbahasa Indonesia belum tinggi
karena pemakaian bahasa Indonesia tidak diutamakan. Bahasa asing hanya dapat
digunakan jika belum ada padanan kata dalam bahasa Indonesia (Kompas, 14
Oktober 2008).
Selanjutnya, iklan partai politik dalam Pemilu 2009 telah diamati Budiyanto
(2014). Ia menemukan bahwa dari segi isinya, iklan partai politik berisi imbauan
informasional, emosional, dan motivasional, sedangkan dari segi gaya pesannya,
iklan partai politik menggunakan gaya hiperbola, metafora, imperatif, simile,
akronim, sinekdoke, repetisi, ironi, dan pertanyaan retoris. Dari amatan Kasmansyah
(2011) ditekankan bahwa iklan di media cetak berperan penting sebagai pembinaan

Bahasa Indonesia dalam Judul Iklan(Sri Hapsari Wijayanti) 157


bahasa Indonesia, di samping mempertimbangkan masalah bisnis. Karena itu, jangan
mengabaikan aspek kebahasaan dalam iklan.
Fokus pada ejaan dan tanda baca dalam iklan telah dilakukan oleh Utorodewo
(2000). Menurutnya, bahasa iklan mengutamakan bahasa yang komunikatif, tetapi
tetap menaati kaidah tata bahasa, tata ejaan, serta tanda baca. Contoh: Pria punya
selera seharusnya selera laki-laki (kaidah benar), tetapi karena iklan perlu singkat
dan khalayak sasaran harus tepat, ungkapan itu lebih dapat diterima. Menurutnya,
iklan dengan ragam nonformal tidak menyimpang dari aturan bahasa mengingat
khalayak sasarannya remaja.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian Utorodewo. Penelitian ini berfokus
pada ejaan yang terbit dalam majalah wanita Indonesia, yang mencakupi penulisan
huruf, tanda baca, istilah, ditambah dengan bentuk ringkas. Baik ejaan maupun
struktur bahasa dalam bahasa iklan mengikuti kaidah bahasa Indonesia yang baik dan
benar, seperti dikatakan Wyckham dkk., (1984) bahwa bahasa yang digunakan dalam
iklan sebaiknya bahasa standar karena bahasa iklan mudah ditiru atau dapat
memengaruhi penerimaan bahasa standar konsumen.
Tulisan ini membahas pemakaian bahasa Indonesia dalam majalah wanita
Femina. Secara khusus, tulisan ini akan mengungkap rata-rata panjang judul iklan,
penggunaan dan penyimpangan ejaan dan bentuk ringkas dalam judul iklan, hingga
tipe judul iklan yang banyak digunakan. Hasil penelitian ini berguna sebagai masukan
bagi pengajaran bahasa iklan dan bidang periklanan, memberikan sumbangan
terhadap studi komparatif penulisan iklan, khususnya judul iklan di Indonesia.
Penelitian ini juga memberikan temuan bagaimana kondisi penulisan iklan di media
cetak Indonesia (Kasmansyah, 2015, p. 735).

METODE

Penelitian ini dibatasi pada iklan cetak perniagaan (komersial) yang dimuat
dalam majalah Femina, edisi Juni sampai dengan Desember 2015. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif, dengan memerikan tanda

158 Jurnal LINGUA Vol. 12 No.1 September 2016


baca dan tipe judul iklan yang disajikannya dalam tabel frekuensi. Data penelitian
berjumlah 81 judul iklan berbahasa Indonesia. Analisis dilakukan dengan membaca
setiap data secara saksama, mengategorikan tipe iklan berdasarkan fungsinya dan
ejaan berdasarkan kesesuaiannya dengan EyD, dan menghitung frekuensi
kemunculan setiap kategori, lalu menganalisis dan menafsirkannya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kategori Iklan
Target utama iklan dalam Femina adalah wanita dewasa. Target lainnya adalah
anak-anak, bayi, balita dan laki-laki dewasa. Iklan produk kecantikan dan perawatan
kulit, wajah, tubuh, hingga daerah intim wantia merupakan jenis iklan terbanyak
(28%). Hal ini memang menjadi target pasar Femina yang umumnya membidik
wanita karier yang memperhatikan penampilan. Meskipun demikian, sebagai wanita
karier, pengiklan juga menyasar perhatian konsumen wanita untuk masa depan dan
masa kini bagi orang-orang terdekat, seperti sahabat, rekan kerja, dan keluarga.
Karena itu, iklan yang berhubungan dengan wanita karier yang dimuat dalam Femina
meliputi berturut-turut iklan bank dan asuransi (16%), kebutuhan dan perlengkapan
rumah tangga (12%), makanan dan minuman (12%), obat dan suplemen (9%), susu
(7%), toko dan restoran (7%), lain-lain (5%), dan tempat bermain (2%).

Panjang Judul Iklan


Syarat sebuah judul adalah menarik, singkat (5-8 kata), padat makna, bahasanya
sederhana, langsung pada maksud pesan, merangsang minat khalayak, provokatif,
bombatis, mencolok (huruf, warna) (Bolen, 1993; Widyatama, 2011). Judul
mengandung the right appeal (appeal yang tepat sasaran), bisa dipercaya (believable)
dan meyakinkan, judul dan visual terpadu, saling mendukung (artinya jika sudah
dikatakan dalam judul, tidak perlu digambarkan dalam visual), ditulis dalam bentuk
huruf yang mudah dibaca dan ukuran huruf lebih besar daripada isi (Madjadikara,
2004).

Bahasa Indonesia dalam Judul Iklan(Sri Hapsari Wijayanti) 159


Panjang judul iklan dalam data ditemukan 1 - 16 kata, dengan rata-rata 7 kata.
Rata-rata panjang judul iklan ini tidak berbeda jauh dengan panjang judul iklan dalam
bahasa Inggris dan bahasa Persia, masing-masing 4 kata dan 5 kata (Khodabandeh,
2007). Judul iklan terpendek ditemukan pada penggunaannama produk (identification
headline), sedangkan yang terpanjang pada iklan berbentuk perintah (command
headline). Berikut masing-masing contoh iklan terpendek dan terpanjang dalam data:
(1) Sisternet (XL)
(2) Jadikan hari ulang tahun buah hati Anda menjadi momen yang tidak
terlupakan Wujudkan cita-citanya bersama Kidzania (tempat bermain
Kidzania)

Pemakaian Ejaan dan Bentuk Ringkas


Ejaan dalam bahasa tulis penting diperhatikan, tidak terkecuali dalam iklan.
Ejaan dalam penelitian ini difokuskan pada penulisan istilah, huruf, tanda baca, angka
atau bilangan, dan bentuk ringkas.

Istilah
Istilah dalam bahasa Indonesia berasal dari beberapa bahasa, antara lain
bahasa Internasional bahasa Inggris. Untuk dijadikan bahasa Indonesia, istilah asing
tersebut diindonesiakan menurut kaidah yang ditentukan. Akan tetapi, dalam data
masih ditemukan kata asing yang tidak digantikan dengan padanannya dalam bahasa
Indonesia dan tidak pula dibedakan penulisannya dengan huruf miring. Munculnya
kata asing ketika menulis dalam bahasa Indonesia antara lain disebabkan tidak
dikenalnya istilah pengindonesiaannya, tidak dipedulikannya pemakaian kata bahasa
Indonesia karena kurang familiar di telinga masyarakat atau kurang terdengar
bergengsi (chef vs ahli masak). Contoh:
(3) Kayu Putih Aromatherapy Hangat dan Aromanya Menenangkan
seharusnya Kayu Putih Aromaterapi Hangat dan Aromanya Menenangkan
(minyak kayu putih)

160 Jurnal LINGUA Vol. 12 No.1 September 2016


(4) Mengapa KECAP SEDAAP STANDAR CHEF BINTANG 5?
Seharusnya Mengapa KECAP SEDAAP STANDAR AHLI MASAK
BINTANG 5? (kecap Sedaap)
(5) Cetak pekerjaan rumahnya dengan gadget apapun, dari mana saja.
Seharusnya Cetak pekerjaan rumahnya dengan gawai apapun, dari mana
saja. (printer merk HP)

Data di atas memperlihatkan pemakaian campuran antara bahasa Indonesia dan


bahasa Inggris. Kata-kata asing seperti aromatherapy, chef, dan gadget dipertahankan
pemakaiannya. Hal ini menunjukkan pengiklan sengaja menggunakannya, tidak
menyosialisasikan padanan bahasa Indonesianya, atau bisa juga karena pengiklan
kurang mengetahui padanannya. Penggunaan istilah asing dapat tetap dipertahankan
apabila memang belum ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Kendatipun
digunakan kata asing, penulisannya dimiringkan atau digarisbawahi.

Penulisan Huruf
Penulisan huruf dalam judul muncul dalam berbagai kasus yang sangat
bervariasi: semua huruf dikapitalkan, setiap awal kata dikapitalkan, hanya awal kata
pertama dikapitalkan, hanya kata tertentu dikapitalkan, semua kata dimiringkan,
hanya kata tertentu dimiringkan, atau semua kata tidak dikapitalkan. Masing-masing
dapat dilihat dalam contoh berikut:
(6) WUJUDKAN BAHAGIAMU HARI INI DAN ESOK (asuransi
Sequish)
(7) Tetap muda dan cantik walau waktu terus berjalan (pusat kecantikan
Natasha)
(8) Saatnya Berbagi Nikmat Ramadan (McDonald)
(9) Rejeki BNI Taplus (Bank BNI)
(10) menangkan hadiah seru (Bank Mandiri)
(11) NIKMATI KENYAMANAN dan KESEGARAN bersantap sepuasnya
di HANAMASA bersama teman-teman (restoran Hanamasa)

Bahasa Indonesia dalam Judul Iklan(Sri Hapsari Wijayanti) 161


(12) KEBERSIHAN dan KELEMBUTAN DI MANAPUN (sabun Cusson)

Beberapa iklan menggunakan huruf kapital (di awal kata atau seluruh kata)
dalam judul untuk nama produk yang diiklankan. Contoh:
(13) BOTANICAL ANTI DANDRUFF SHAMPOO (sampo)
(14) Cukup aku dan PASEO yang tahu, pontang-pantingku di dapur. (tisu
Paseo)
(15) Wujudkan cita-citanya bersama Kidzania (tempat bermain anak
Kidzania)

Dalam iklan ditemukan penyimpangan pemakaian huruf kapital. Misalnya,


kata Imunitas, dengan, dan Suami seperti contoh di bawah ini seharusnya tidak perlu
dikapitalkan. Contoh:
(16) Waktu. Paparan. Stres. Bagaimana jika kulit Anda memiliki Imunitas?
(perawatan wajah Shiseido)
(17) Perlindungan Nyaman Dengan Harga Ringan (asuransi Avrist)
(18) Aku puas dengan IUD andalan, Suami jadi lebih nurut (alat
kontrasepsi Andalan)

Pemakaian huruf yang lain adalah huruf miring. Huruf miring ditemukan satu-
satunya pada iklan perawatan kulit, yaitu dalam kata penghubung dan untuk
menunjukkan penambahan. Contoh:
(19) KEBERSIHAN dan KELEMBUTAN, DI MANAPUN (sabun Cusson)

Dalam judul di atas, semua kata dikapitalkan untuk menegaskan dan


mendapatkan perhatian segera dari pembaca, kecuali dan dengan huruf miring.
Fungsi huruf miring dalam kaidah EyD adalah untuk digunakan pada kata selain
bahasa Indonesia, juga untuk menekankan kata. Dengan demikian, serupa dengan
huruf kapital, huruf miring dalam judul iklan juga dapat memberi kesan tertentu
kepada pembaca.

162 Jurnal LINGUA Vol. 12 No.1 September 2016


(20) Perlindungan Nyaman Dengan Harga Ringan (asuransi Avirst)
(21) Rejeki BNI Taplus (Bank BNI)
(22) Segarkan kulit lelahmu! (produk kecantikan Pixy)

Penyimpangan pemakaian huruf miring dalam data ditemukan pada kata asing
yang tidak dimiringkan atau diindonesiakan, seperti anti-hair fall defense hair &
scalp tonic, e-banking, dan chef berikut ini.
(23) Memperkenalkan MAKARIZO ADVISOR anti-hair fall defense hair &
scalp tonic (Makarizo Advisor)
(24) Gratis liburan ke Jepang dengan mandiri e-banking. (bank Mandiri)
(25) Mengapa KECAP SEDAAP STANDAR CHEF BINTANG 5?

Satu-satunya huruf tebal ditemukan dalam judul iklan untuk spesifikasi


produk yang diiklankan. Contoh:
(26) Memperkenalkan MAKARIZO ADVISOR anti-hair fall defense hair &
scalp tonic (Makarizo)

Bervariasinya penulisan huruf untuk judul menunjukkan adanya kebebasan


dan kreativitas pengiklan. Tidak ada patokan yang membatasinya. Laras iklan tidak
berbeda dengan laras lainnya mengandung judul yang seyogianya ditulis sesuai
dengan kaidah bahasa Indonesia, yaitu dalam huruf kapital seluruhnya atau kapital
hanya di awal kata. Namun, dalam iklan, lebih mementingkan keserasian judul
dengan gambar, warna, dan produknya serta efek yang hendak ditampilkan. Penulisan
huruf kapital atau huruf miring berguna untuk menonjolkan kata, menarik perhatian,
atau menampilkan keindahan. Hal tersebut juga berpengaruh pada pemilihan jenis
hurufnya, seperti jenis huruf untuk iklan susu anak-anak cenderung digunakan jenis
huruf yang bercorak kekanak-kanakan, seperti comic sans.

Bahasa Indonesia dalam Judul Iklan(Sri Hapsari Wijayanti) 163


Tanda Baca
Dalam judul iklan, umumnya tidak digunakan tanda baca apa pun (60%). Tanda
baca yang terbanyak adalah tanda koma (16%), diikuti tanda hubung (5%) dan tanda
kutip (5%), tanda titik (4%), titik tiga (4%), seru (4%), tanda tanya (1%), dan tanda
kurung (1%). Tanda koma tergolong tanda baca produktif dibandingkan tanda baca
lainnya. Tanda hubung muncul dalam kaitan antara kata asing dan kata Indonesia dan
kata ulang, sedangkan tanda kutip digunakan untuk menyatakan tuturan langsung dari
tokoh di dalam iklan. Terkait dengan ucapan langsung tokoh, tuturan tokoh dipotong
atau ditunda dengan tanda titik tiga. Dengan demikian, tanda baca titik tiga muncul
dalam judul berkaitan dengan tanda baca kutip. Yang menarik lagi, tanda seru (4%)
ternyata lebih banyak digunakan dibandingkan tanda tanya (1%). Tanda seru muncul
sebagai permintaan, ekspresi kejutan, atau kabar menggembirakan kepada pembaca .

Gambar 1. Penggunaan Tanda Baca dalam Judul Iklan

Data memperlihatkan banyak tanda baca yang digunakan dalam judul iklan,
seperti tanda titik, tanda titik tiga, tanda seru, tanda tanya, tanda hubung, tanda kutip,
tanda koma, dan tanda kurung. Berikut penjelasan tanda baca tersebut yang
ditemukan dalam data.
Tanda titik lazim digunakan untuk mengakhiri kalimat. Demikian pula judul
yang berbentuk kalimat ada yang diakhiri tanda titik, khususnya dalam kalimat
perintah dan kalimat pernyataan (deklaratif). Contoh:
(27) Cukup aku dan PASEO yang tahu, pontang-pantingku di dapur. (tisu
Paseo)

164 Jurnal LINGUA Vol. 12 No.1 September 2016


(28) Cetak pekerjaan rumahnya dengan gawai apapun, dari mana saja.
(printer merk HP)

Namun, ditemukan pula judul kalimat deklaratif yang tidak diakhiri dengan tanda
titik. Contoh:
(29) KULIT BERSISIK DIPERBAIKI DALAM 5 HARI (Vaseline)
(30) Dove Body Wash menutrisi kulit lebih baik dari susu (Dove)

Tanda baca lainnya yang ditemukan dalam data adalah tanda tanya. Tanda
tanya dalam judul iklan digunakan untuk menyadarkan konsumen akan situasi
lingkungan yang mengancam dirinya, sekaligus memberikan saran kepada pembaca
terhadap masalah. Contoh berikut menjelaskan masalah kulit akibat perjalanan waktu
(usia), terkena paparan (matahari, AC), dan tekanan pekerjaan atau kehidupan (stres).
Dari masalah yang dirasakan tersebut, pengiklan menyodorkan perlunya kulit
memiliki imunitas (daya tahan).
(31) Waktu. Paparan. Stres. Bagaimana jika kulit Anda memiliki Imunitas?
(perawatan Shiseido)

Selain memberikan saran, kata tanya dalam judul iklan digunakan untuk
memancing keingintahuan pembaca. Contoh:
(32) Mengapa KECAP SEDAAP STANDAR CHEF BINTANG 5? (kecap
Sedaap)

Tanda seru digunakan untuk judul iklan yang bermaksud memerintahkan,


menyarankan, memberikan kejutan atau kabar gembira kepada pembaca. Contoh:
(33) Segarkan kulit lelahmu! (Pixy)
(34) Kini Anda Tak Perlu Menunggu! (pusat perawatan Impression)
(35) Bikin Semua Jadi Ahli Masak! (alat masak Panasonic)

Bahasa Indonesia dalam Judul Iklan(Sri Hapsari Wijayanti) 165


Tanda seru dihilangkan dalam judul iklan berbentuk perintah atau permintaan
yang dimulai dengan kata kerja dasar, imbuhani, -kan. Contoh:
(36) UBAH TAKDIRMU (SK-II)
(37) Cetak pekerjaan rumahnya dengan gadget apapun, dari mana saja.
(printer HP)
(38) LENGKAPI KEHANGATAN SUASANA DENGAN CITA RASA
MONDE BUTTER COOKIES (biskuit Monde)
(39) Rasakan kulit lembut,kenyal dan lembap (Natasha)

Namun, ada pula judul yang diakhiri dengan tanda seru untuk menyatakan
kejutan atau berita menggembirakan kepada pembaca. Contoh:
(40) Bikin semua ahli masak! (Panasonic)
(41) Cewek fit dan cantik, hebat jalani harinya! (minuman ABC Hifit)
(42) KRIPIK PAKE SAMBAL ABC
INI BARU ENAK! (sambal ABC)

Tanda seru di bawah ini berfungsi memerintahkan kepada pembaca. Contoh:


(43) Segarkan kulit lelahmu! (Pixy)

Selanjutnya, dalam kaidah EyD, tanda koma digunakan setelah anak kalimat
dalam kalimat majemuk bertingkat dan untuk perincian terakhir. Akan tetapi, dalam
data ditemukan pemakaian tanda baca yang tidak sesuai kaidah, seperti terlihat
berikut ini, yang tidak perlu disisipi tanda koma.
(44) KEBERSIHAN dan KELEMBUTAN, DI MANA PUN (sabun Cusson)
(45) Cukup aku dan PASEO yang tahu, pontang-pantingku di dapur. (tisu
Paseo)

Perincian terakhir dari judul berikut ini seharusnya menggunakan tanda koma
sebelum dan. Contoh:
(46) Rasakan kulit lembut, kenyal dan lembap (perawatan Natasha)

166 Jurnal LINGUA Vol. 12 No.1 September 2016


Tanda kutip digunakan dalam tuturan langsung seorang tokoh atau artis
terkenal yang seolah-olah mengajak pembaca untuk mengikuti apa yang
diucapkannya. Contoh:
(47) "No. 1 pilihan saya dan ibu Indonesia" (sabun cuci Daia, diucapkan oleh
Feni Rose)
(48) "Lembutnya pengen nyentuh terus. Wanginya pengen nyium terus."
(sabun cuci Daia, diucapkan oleh ibu rumah tangga)
(49) Nikmatnya Mocha Caramello untuk tulangku (susu Anlene, diucapkan
oleh Dian Sastrowardoyo)

Tanda baca lainnya yang ditemukan dalam data adalah tanda hubung. Tanda
ini digunakan untuk mengaitkan antara kata berbahasa Indonesia dan kata asing.
Selain itu, tanda hubung juga untuk pemakaian kata ulang. Contoh:
(50) Memperkenalkan MAKARIZO ADVISOR anti-hair fall defense hair &
scalp tonic (perawatan rambut Makarizo Advisor)
(51) Cukup aku dan PASEO yang tahu, pontang-pantingku di dapur. (tisu
Paseo)

Tanda titik tiga dalam kaidah EyD digunakan untuk memotong kata atau
ungkapan tertentu. Dalam data ditemukan bahwa titik tiga muncul bersamaan dengan
tuturan langsung yang digunakan untuk menunjukkan bahwa penutur menunda
lanjutan tuturan untuk memberikan efek keingintahuan pembaca akan kelanjutan
tuturannya. Contoh:
(52) "Lembutnya pengen nyentuh terus. Wanginya pengen nyium terus."
(sabun cuci Daia, diucapkan oleh ibu rumah tangga)
(53) Aku puas dengan IUD andalan, Suami jadi lebih nurut (alat
kontrasepsi Andalan)

Tanda kurung dalam data ditemukan hanya satu dan digunakan untuk
singkatan. Contoh:

Bahasa Indonesia dalam Judul Iklan(Sri Hapsari Wijayanti) 167


(54) Kulit mulus dengan Laser Intense Pulse Light (IPL) (pusat perawatan
Gaya Medical Aesthetic)

Angka dan Bilangan


Bilangan yang muncul dalam data ditulis dalam bentuk angka, padahal dalam
kaidah EyD diatur jika bilangan tersebut dapat ditulis dalam satu hingga dua kata,
seharusnya ditulis dalam huruf. Contoh:
(55) MEMBANTU MEMPERBAIKI KULIT. 4 X TAMPAK LEBIH
CERAH SEKETIKA (perawatan kulit Vaseline)
(56) KULIT BERSISIK DIPERBAIKI DALAM 5 HARI (perawatan kulit
Vaseline)

Seharusnya, penulisan angka pada kedua judul di atas ditulis dalam huruf,
yaitu empat dan lima, apalagi jika ditulis di awal kalimat. Hal tersebut terjadi karena
iklan memiliki ruang (space) terbatas.
Bentuk Ringkas
Judul iklan dibuat ringkas, padat mengandung pesan yang hendak
disampaikan pengiklan. Keringkasannya itu tampak dalam bentuk penyingkatan kata
dan dan nomor menjadi & dan no. Contoh:
(57) Kelembutan & Keharuman Formulasi Ahli Parfum Kelas Dunia
(pelembut pakaian So Klin)
(58) No. 1 pilihan saya dan ibu Indonesia (sabun cuci Daia)
(59) Kelembutan & Keharuman Formulasi Ahli Parfum Kelas Dunia (So
Klin)

Bentuk ringkas yang paling menonjol adalah kata kerja yang tidak berimbuhan
di tengah judul. Perhatikan kata kerja dan konjungsi yang berhuruf tebal berikut ini.
(60) Sebelum manjakan pasangan, remajakan dulu daerah kewanitaan Anda
(Prive)
(61) Mari buat rumah kita lebih baik (IKEA)

168 Jurnal LINGUA Vol. 12 No.1 September 2016


(62) Kilaunya Hidupkan Semangat (Bimoli)
(63) Cukup aku dan PASEO yang tahu, pontang-pantingku di dapur. (tisu
Paseo)
(64) Tumbuh Alami Tak Sebatas Menjadi Besar atau Tinggi, tapi Juga Jadi
Pemberani (susu Ultra Mini)
(65) Tetap muda dan cantik walau waktu terus berjalan (Natasha)

Pengiklan menanggalkan imbuhan me untuk memanjakan (60), membuat (61),


menghidupkan (62), mengetahui (63), menjadi (64), atau menyingkat-nyingkat kata
sehingga terdengar seperti bahasa sehari-hari seperti tapi (64), walau (65). Hal ini
seharusnya tidak terjadi karena hanya menghilangkan tidak lebih dari empat huruf.
Lazim dalam iklan mengorbankan bahasa, padahal seharusnya tidak demikian.

Tipe Judul Iklan


Judul merupakan bagian penting dalam iklan. Sekitar 75 - 80% keberhasilan
iklan ditentukan oleh judul (Engel, 1980 dalam Khodabandeh, 2007). Berdasarkan
kategori judul iklan dari Bolen (1993); Boduch, (2001), dan Haixin (2004), seperti
dikutip dalam Khodabandeh (2007), dilengkapi kategori dari Widyatama (2011),
judul iklan Femina mengandung delapan tipe seperti dapat dilihat dalam tabel
berikut.
Tabel 2. Tipe judul iklan dalam Femina
Tipe Jumlah (%)
Command headline 27
Benefit headline 25
News headline 23
Claim headline 10
Selective headline 5
Identification headline 4
Quotation headline 4
Question headline 2

Bahasa Indonesia dalam Judul Iklan(Sri Hapsari Wijayanti) 169


Judul iklan terbanyak adalah tipe perintah (command headline) (27%), diikuti
tipe keuntungan (benefit headline) (25%), berita baik (news headline) (23%), dan
klaim (claim headline) (10%). Berikut penjelasan tipe judul iklan masing-masing.
Command Headline
Tipe ini terbanyak ditemukan dalam data (27%). Di sini secara langsung atau
tidak langsung pengiklan meminta kepada pembaca agar melakukan atau merasakan
seperti yang dinyatakan dalam judul. Contoh:
(66) Rasakan kulit lembut, kenyal dan lembap (perawatan Natasha)
(67) Awali cantikmu dengan inspirasi kebaikan. (produk kecantikan Wardah)
(68) Cobain enaknya sushi pake sambal ABC. (sambal ABC)
(69) Mari buat rumah kita lebih baik. (IKEA)

Permintaan kepada pembaca dilakukan dengan penggunaan kalimat perintah,


yang diawali kata kerja tanpa imbuhan atau kata kerja dengan imbuhan kan dan i.
Bahkan, permintaan yang santun menggunakan mari.

Benefit headline
Tipe iklan ini ditemukan sebanyak 25% dalam data, memberikan janji secara
ekonomi atau psikologi kepada pembaca. Keuntungan dari kedua aspek ini
ditonjolkan di dalam judul iklan dan menjadi daya tarik pembaca untuk membaca isi
iklan. Pembaca secara emosional digugah untuk melirik iklan yang bertipe ini.
Contoh:
(70) Perlindungan Nyaman Dengan Harga Ringan (asuransi Avrist)
(71) Gratis liburan ke Jepang dengan mandiri e-banking (Bank Mandiri)
(72) Tetap muda dan cantik walau waktu terus berjalan (Natasha)

News Headline
Dalam tipe ini pembaca diberitahukan adanya produk terbaru, pembaca
diingatkan momen yang tepat, hingga mencoba memengaruhi sikap pembaca. Iklan
berupa berita terkini ini ditemukan 23% dari data. Contoh:

170 Jurnal LINGUA Vol. 12 No.1 September 2016


(73) Saatnya Berbagi Nikmat Ramadan (McDonald)
(74) Kemasan mudah dibuka (susu Frisian Flag)
(75) Memperkenalkan MAKARIZO ADVISOR anti-hair fall defense hair &
scalp tonic (perawatan Makarizo Advisor)
(76) Kini, Suami pun Tak Bisa Jauh Darimu (perawatan Sumber Ayu)

Claim Headline
Tipe ini ditemukan 10% dalam data. Dalam judul tipe iklan ini, terdapat
pengakuan atau pernyataan sepihak (dalam hal ini pengiklan) atas apa yang
dinyatakan dalam judul. Bentuk yang menunjukkan tipe ini adalah pemakaian lebih
baik, asli Indonesia, dan ibu Indonesia, seperti contoh berikut.
(77) Dove Body Wash menutrisi kulit lebih baik dari susu (Dove)
(78) RASA ASLI INDONESIA ADA DALAM KEMEWAHAN
BERKUALITAS (Del Monte sambal terasi)
(79) Untuk ibu terbaik di dunia (susu Indomilk)

Selective Headline
Meskipun hanya 5% dalam data, judul iklan bertipe ini bersifat eksklusif,
hanya menyasar kalangan tertentu, membatasi pada lingkup ibu Indonesia dan aku
atau saya seperti dalam contoh berikut.
(80) Cukup aku dan PASEO yang tahu, pontang-pantingku di dapur. (tisu
Paseo)
(81) No. 1 pilihan saya dan ibu Indonesia (sabun cuci Daia)

Indentification Headline
Judul iklan yang menyebutkan nama produk dikategorikan judul identifiasi
(produk). Judul tipe ini mengedepankan gambar dan detail produk dalam tubuh iklan.
Jumlah dalam data tidak banyak, hanya 4%. Contoh:
(82) Sisternet (XL)
(83) Bio Oil (Bio Oil)

Bahasa Indonesia dalam Judul Iklan(Sri Hapsari Wijayanti) 171


Quotation atau Testimonial Headline
Sama dengan indentification headline, judul dengan tipe ini hanya ada 4%
dalam data. Judul tipe ini baik digunakan untuk mengomentari suatu produk (yang
mungkin berbeda dengan anggapan orang lain) sehingga memuaskan dan
memberikan kepercayaan kepada pembaca (Boduch, 1999). Contoh:
(84) Aku puas dengan IUD andalan.
(85) Suami jadi lebih nurut! (alat kontrasepsi Andalan)
(86) Nikmatnya Mocha Caramel untuk tulangku (susu Anlene)

Question Headline
Dalam data hanya ada satu judul bertipe ini (2%). Bentuknya merupakan
penawaran atas situasi yang dihadapi pembaca. Contoh:
(87) Waktu. Paparan. Stress. Bagaimana jika kulit Anda memiliki Imunitas?
(perawatan Shiseido)

SIMPULAN

Judul iklan dalam majalah Femina rata-rata berjumlah tujuh kata. Dalam
jumlah terbatas tersebut, pengiklan tidak berarti mengabaikan penulisan istilah, ejaan,
dan bentuk kata dalam judul iklan. Semua aspek bahasa perlu mendapat perhatian
pengiklan karena pemakaiannya yang baik dan benar dapat mencerminkan sikap
pengiklan. Dalam judul iklan ditemukan pemakaian istilah yang tidak diubah ke
dalam bahasa Indonesia, juga penggunaan huruf kapital, huruf miring, dan huruf tebal
yang tidak sesuai dengan kaidah ejaan. Sebanyak 60% judul iklan tidak mengandung
tanda baca, tetapi sisanya memanfaatkan tanda baca titik, koma, petik ganda, titik
tiga, kurung, tanya, seru, dan tanda hubung. Tanda baca titik dan koma; penulisan
angka dan bilangan; bentuk ringkas masih memperlihatkan ketidaktepatan dalam
pemakaiannya. Adapun tipe judul iklan yang cukup banyak digunakan berturut-turut
adalah commond headline, benefit headline, news headline, dan claim headline.

172 Jurnal LINGUA Vol. 12 No.1 September 2016


Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa iklan berbahasa Indonesia perlu
lebih kreatif dalam menulis judul yang menarik, dengan tetap memerhatikan
pemakaian bahasa yang komunikatif, tetapi tidak melanggar kaidah ejaan yang
berlaku mengingat iklan cetak khususnya merupakan media yang banyak dibaca
sehingga dapat dijadikan sarana edukasi bahasa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, E.Z., Zulkarnaen, & Jumariam. (1992). Pemakaian bahasa dalam iklan berita
dan papan reklame. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Budiyanto, D. (2014). Aspek persuasif dalam bahasa iklan partai politik. Litera, Vol.
13 No. 1, pp. 43 - 52.
Boduch, R.D. (1999). Great Headlines-Instantly. Http: http://www.v-team-
audio.com/GreatHeadlines.pdf. Diakses tanggal 14 Maret 2016.
Hardjanto, N.J.M.T. (2002). Iklan: Suatu godaan dalam media. Jurnal Linguistik
Indonesia. Th. 20. No. 1, pp. 101 - 112.
Junaiyah dan Arifin, E.Z. (2010). Keutuhan wacana. Jakarta: Grasindo.
Khodabandeh, F. (2007). A contrastive analysis of rhetorical figures in English and
Persian. The Asian ESP Journal, 3, 2, 41 - 64.
Madjadikara, A.S. (2004). Bagaimana biro iklan memproduksi iklan. Bimbingan
praktis penulisan naskah iklan (copywriting). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Mardikantoro, H.B. (2009). Gaya penuturan dan pemanfaatan aspek-aspek
kebahasaan dalam wacana iklan di televisi. Peneroka hakikat bahasa.
Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Mutu berbahasa Indonesia rendah. Kompas, 14 Oktober 2008.
Russell, J.T. & Lane, W.R. (1992). Tata cara periklanan kleppner. Diterjemahkan
oleh Syahrizal Noor & Soesanto Boedidarmo. Jakarta: Elex Media
Komputindo.

Bahasa Indonesia dalam Judul Iklan(Sri Hapsari Wijayanti) 173


Suryoputro, G. (2003). Presupposition and implicature in advertising. Kolita 1, pp. 55
- 58. Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya.
Utorodewo, F.N. (2000). Iklan sebagai media pembinaan bahasa Indonesia. Bahasa
Indonesia dalam era globalisasi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Yugianingrum. (2006). Penggunaan ungkapan berbahasa Inggris dalam beberapa
iklan berbahasa Indonesia. Prosiding Kolita, 4, 155 - 159.
Wells, W., Burnett, J., & Moriarty, S. (2003). Advertising: Principle and practise.
New Jerry: Prentice Hall.
Widyatama, R. (2011). Teknik menulis naskah iklan agar tepat sasaran. Yogyakarta:
Cakrawala.
Wyckham, R.G., Banting, P.M, Wensley, A.K.P. (1984). The language of
advertising: Who controls quality? Journal of Business Ethics, 3,47 - 53.

174 Jurnal LINGUA Vol. 12 No.1 September 2016


Perempuan Dalam Dua Budaya:
Representasi Diaspora dan Identitas Hibrid
Perempuan Zainichi Korea Generasi Kedua
dalam Novel Koku Karya Lee Yangji

Dewi Ariantini Yudhasari

Program Studi Sastra Jepang, Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA


Jl. Pengadegan Timur Raya No. 3 Pancoran Jakarta 12770
dewiay@stbalia.ac.id, dewiayjp@yahoo.co.jp

ABSTRACT

Zainichi Korean Woman named Suni, the main character as drawn in novel Koku
wrote by Author Lee Yangji, is a Korean descendant born and raised in Japan, and hence
she was grow and educated in Japan, she has neither knowledge about Korean language
and Korean culture. This novel Koku described her long journey to find her identity as
Korean descendant living in Japan as first stage, but although she is living and studying at
Seoul, Korea, she could not break off her lineage as Japanese born Korean descendant. In
this paper the author plots out the represented diaspora, the hybrid identity of Zainichi
Korean women approaching from cultural studies and focalization.

Keyword: Zainichi Korean women, representation, diaspora, hybrid identity,


focalization

ABSTRAK

Perempuan Zainichi Korea yang bernama Suni adalah karakter utama yang
tergambar dalam novel Koku karya Lee Yangji, penulis keturunan Korea, lahir dan besar
di Jepang, yang sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang bahasa dan budaya
Korea. Novel Koku menceritakan perjalanan panjang Suni dalam mencari identitas
sebagai generasi kedua keturunan Korea di Jepang. Meskipun ia tinggal dan belajar di
Seoul, Korea, ia tidak dapat melepaskan identitasnya sebagai keturunan Korea yang
lahir di Jepang. Tulisan ini menggambarkan bagaimana pengarang merepresentasikan
diaspora, identitas hibrid perempuan Zainichi Korea melalui pendekatan culture studies
dan fokalisasi.

Kata kunci: perempuan Zainichi Korea, representasi, diaspora, identitas hybrid,


fokalisasi

PENDAHULUAN

Keberadaan orang Zainichi Korea di Jepang dipicu oleh adanya faktor


kolonial dan kebutuhan tenaga kerja bagi berkembangnya sektor pertanian, dan
perindustrian di Jepang setelah masa Restorasi Meiji (1868). Pada masa kolonial
(1910-1945) orang Korea bermigrasi ke Jepang mencari pekerjaan dan menetap di

Perempuan dalam Dua Budaya (Dewi Ariantini Yudhasari) 175


Jepang. Lalu, ketika Jepang menyerah setelah Perang Dunia II, pemerintah Jepang
memulangkan mereka ke Korea. Akan tetapi dalam kenyataannya ada pula orang
Korea yang memutuskan untuk tetap tinggal dan menetap di Jepang karena sudah
mendapatkan pekerjaan dan memiliki mata pencaharian yang lebih baik daripada
di Korea. Mereka inilah yang disebut Zainichi.
Dalam penelitian Lie (2004: hlm. 3) dan Sugihara (1998: hlm. 28), Zainichi
didefinisikan sebagai orang asing yang memilih menetap di Jepang dengan tujuan
tertentu atas kemauannya sendiri dan tanpa paksaan. Senada dengan pernyataan di
atas, So Kyon Sik menambahkan :


...
1

Terjemahan:
Orang yang disebut Zainichi adalah orang yang tinggal di Jepang, maka arti Zainichi
Chosenjin menjadi orang Korea yang tinggal di Jepang... atau artinya orang yang tinggal
di Jepang tetapi bukan orang Jepang .

Lalu, Kim Huna mempertegas bahwa

Terjemahan:
...Dewasa ini orang Chosen, orang Cina atau Amerika dan orang dari berbagai negara
tinggal dan menetap di Jepang, tetapi oleh masyarakat Jepang orang keturunan Cina atau
orang keturunan Amerika tidak dipanggil dengan menggunakan sebutan Zainichi
Chuugokujin atau Zainichi Amerikajin. Sebutan Zainichi digunakan terbatas bagi
orang Korea dan keturunanya yang disebut dengan Zainichi Chousenjin.

Melalui pernyataan di atas kita dapat mengetahui bahwa kata Zainichi


digunakan untuk menyebut orang asing yang tinggal di Jepang seperti Zainichi
Brazil, Zainichi Cina, Zainichi Amerika dan sebagainya dan mereka ini bukan
orang Jepang. Akan tetapi, istilah atau panggilan Zainichi lebih memiliki arti
sempit yaitu diperuntukkan khusus untuk menyebut orang Korea yang tinggal dan
bermukim di wilayah kepulauan Jepang. Fukuoka Yasunori menambahkan bahwa

1 Lihat So Kyon Sik. Zainichi Chosenjintte Donna Hito? 2012,hal 8 dan 40.
2 Lihat Kim Huna. Zainichi Chisenjin Bungakuron. 2004,hal 30.

176 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016


istilah Zainichi didefiniskan sebagai pertama, etnis Korea yang datang ke Jepang
saat Perang Dunia II atau sebelumnya, dan tinggal di Jepang sejak saat itu. Kedua,
keturunan Zainichi Korea yang lahir dan besar di Jepang serta mengganggap
Jepang sebagai tempat menetap3.
Orang Korea yang datang ke Jepang dikategorisasikan dalam beberapa
generasi. Generasi pertama orang Korea yang datang ke Jepang sebelum Perang
Dunia II dan ketika masa kolonial. Kebanyakan orang Korea generasi pertama
lahir dan dibesarkan di Korea. Pada masa kolonial, mereka mendapat
kewarganegaraan Jepang dan datang ke Jepang untuk mencari pekerjaan. Jenis
pekerjaan yang dikerjakan oleh generasi pertama antara lain sebagai buruh
tambang, buruh galian, pedagang dan pekerja kasar.
Setelah Perang Dunia II berakhir, wilayah semenanjung Korea bukan lagi
wilayah koloni Jepang. Sebagai konsekuensi atas perang, pemerintah Jepang
memulangkan orang Korea yang ada di Jepang. Akan tetapi, ada juga yang
memilih tetap tinggal di Jepang karena telah mendapatkan pekerjaan dan
kehidupan yang lebih baik daripada di Korea. Anak dan keturunan orang Korea
generasi pertama baik yang lahir di Korea maupun di Jepang, dan mendapat
pendidikan serta tinggal di Jepang dikelompokkan dalam generasi kedua. Lalu,
orang Korea yang datang ke Jepang pada masa ekonomi Jepang meningkat pesat
(1970-an) disebut dengan sebutan domburako yaitu orang Korea yang
menyeberangi lautan dari pulau Jeju. Mereka bekerja sebagai buruh pabrik
mengisi sektor tenaga kerja di Jepang yang pada saat itu membutuhkan banyak
tenaga kerja. Kelompok ini mendapat perlakuan sebagai orang asing di Jepang.
Mereka mengalami proses asimilasi dan naturalisasi, tetapi masih tetap
mengalami perlakukan diskriminasi di Jepang. Di antara pendatang tersebut
terdapat orang Korea yang datang untuk belajar di Jepang dan sebagai pelajar
yang ingin menuntut ilmu di Jepang sejak tahun 1990an.
Selanjutnya, generasi ketiga adalah orang Korea yang dan lahir dan
mendapat pendidikan di Jepang, hidup membaur dengan orang Jepang dan tidak
lagi berpikir tentang Korea sebagai tempat mereka harus pulang. Mereka hidup
layaknya orang Jepang dan menjalani hidup dalam lingkungan yang berbeda

3 Lihat Fukuoka Yasunori. Lives of Young Korean in Japan. 2000,hal 271.

Perempuan dalam Dua Budaya (Dewi Ariantini Yudhasari) 177


dengan generasi sebelumnya.
Orang Korea yang telah ada di Jepang sejak masa kolonial ada yang menulis
karya berupa puisi, prosa dan drama. Hasil karya mereka tidak dapat
dikategorikan ke dalam kesusasteraan Jepang. Definisi kesusasteraan Jepang
dalam kurun waktu tiga zaman yaitu Meiji (1868-1899), Taisho (1900-1920) dan
awal Shoowa (1920-1989) sebagai berikut:

,
4

Terjemahan:
Singkat kata, definisi kesusasteraan Jepang dibangun berdasarkan unsur nihonjin
yang berarti orang Jepang, unsur nihon yang mengacu pada makna Jepang dan warga
negara Jepang, serta nihongo atau bahasa Jepang sebagai bahasa pengantar yang
menjadi satu kesatuan dalam sanmiitsutai atau tiga bentuk kesatuan yang dijadikan
sebuah pandangan atau konsep.

Melalui pernyataan di atas, definisi kesusasteraan Jepang mengikat pada bahwa


pengarang harus orang Jepang, berwarga negara Jepang dan menggunakan bahasa
Jepang dalam karyanya.
Isogai Jiroo mengatakan pada awal munculnya karya sastra orang Zainichi
Korea, karya tersebut ditulis dalam bahasa Korea agar dapat dinikmati oleh
sesama orang Korea yang tinggal di Jepang. Oleh karenanya, hasil karya sastra ini
tidak dapat dimasukkan dalam kategori kesusasteraan Jepang.5 Seiring perjalanan
waktu, beberapa penulis Zainichi Korea mulai menulis karyanya dalam bahasa
Jepang. Bahasa Korea yang digunakan dalam karya sastra orang Zainichi Korea
mulai bergeser dan digantikan oleh bahasa Jepang. Ketika wacana ini mulai
menyebar sebagian penulis Zainichi menolak hal itu dan merasa terpaksa
menggunakan bahasa Jepang dalam karyanya, seperti Kim Te Sen penulis
Zainichi generasi kedua yang menulis karyanya dalam bahasa Korea dan bahasa
Jepang berjudul Watashi no Ningen Chizu (Shouyusha, 1985).
Fenomena bergesernya bahasa Korea menjadi bahasa Jepang ditandai
dengan munculnya aliran kesusasteraan berbahasa Jepang (Nihongo Bungaku) dan
hasil karya orang Zainichi Korea termasuk di dalamnya. Penulis Zainichi Korea
mulai menulis karyanya menggunakan bahasa Jepang sebagai bahasa

4
Dalam Komori Yoichi. (Yuragi) no Nihon Bungaku. 1998, hlm. 6.
5 Ibid. Isogai. Shigen no Hikari: Zainichi Chosenjin Bungakuron.1979, hal 105-106.

178 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016


pengantarnya. Hasil karya mereka disebut dengan istilah yang beragam, antara
lain Zainichi Chosenjin Bungaku. Istilah ini digunakan sebelum pecah perang
Korea di tahun 1950. Akan tetapi, setelah perang Korea (1950-1953) berakhir dan
Korea memisahkan diri menjadi Selatan dan Utara, para kritikus sastra
menggunakan istilah Zainichi Kankoku-Chosenjin Bungaku. Isogai mengatakan
bahwa penggunaan Kankokujin merujuk pada hasil kesusasteraan orang Korea
Selatan dan istilah Chosenjin merujuk pada hasil kesusasteraan yang dihasilkan
orang Korea Utara.6 Dewasa ini hasil kesusasteraan mereka disebut dengan istilah
Zainichi Bungaku. Penulis Zainichi telah banyak mendapatkan penghargaan
Akutagawa sebagai bentuk apresisasi terhadap hasil karya mereka, contohnya Lee
Yangji mendapatkan penghargaan ke-100 atas karyanya berjudul Yuhi (1988) dan
Yu Miri mendapat penghargaan Akutagawa ke-110 untuk karya berjudul Kazoku
Shinema (2000).

HASIL KESUSASTERAAN ZAINICHI KOREA

Hasil karya sastra orang Zainichi Korea berdasarkan penelitian Kim Huna
dikelompokkan menjadi penulis generasi pertama, kedua, dan ketiga berdasarkan
kemunculan karyanya. Penulis generasi pertama adalah mereka yang
menghasilkan karya sejak zaman setelah perang (1945-1960). Lalu, para penulis
generasi kedua adalah penulis yang menghasilkan karya dari tahun 1960-1980.
Selanjutnya, penulis generasi ketiga yaitu mereka yang menghasilkan karya mulai
tahun 1980- hingga dewasa ini.7
Bagi penulis generasi pertama, bahasa Jepang masih merupakan bahasa
asing bagi mereka. Penulis yang mewakili generasi pertama antara lain Chang
Hyok Ju (1905) yang menulis karyanya berjudul Gakido (1932) diterbitkan pada
majalah Kaizo pada bulan April, lalu, Kim Sa Ryang (1914) dengan karya yang
berjudul Hikari no Naka ni (1940) diterbitkan dalam majalah Bungei Shuto, dan
Kim Darus (1920) yang menulis karyanya berjudul Fuji no Mieru Mura de (1956).
Karya mereka saat itu belum dapat dikategorisasikan ke dalam kesusasteraan

6 Ibid. Isogai. 2004, hal 23-29.


7 Idid. Huna. 2004,hal 17.

Perempuan dalam Dua Budaya (Dewi Ariantini Yudhasari) 179


Jepang.
Tema dari karya penulis generasi pertama berbicara seputar bagaimana
mereka menjalani hidup di Jepang pada masa kolonial Jepang. Hal ini pun
ditegaskan oleh Isogai Jiro (1979: 8) bahwa ciri khas karya sastra pada karya
generasi pertama lebih menonjolkan apa yang disebut sebagai Chosentekina Mono,
dan Chosentekina Nioi. Chosentekina Mono yaitu tema karya yang mengangkat
tentang orang Korea dan segala hal yang bersifat kekoreaan seperti Oya Kobuse
(1939) karya Kim Sa Ryan yang menggambarkan kegigihan orang Korea sebagai
pembentukan imajinasi tentang laki-laki Korea.8
Berbeda dengan generasi pertama, generasi kedua orang Zainichi Korea
sebagian lahir di wilayah semenanjung Korea dan mendapatkan pendidikan di
Jepang. Penulis generasi kedua yang lahir dan dibesarkan di Jepang seperti Kim
Shi Jon (1929), Kim Jae Nam (1932), I Fe Son (1937) dan Kim Ha Gyon (1938)
tergerak untuk aktif mengembangkan kesusasteraan Zainichi Korea karena
muncul kesadaran mereka terhadap asal usul dan identitas mereka sebagai orang
Zainichi Korea. Sebagian besar dari penulis generasi ini menulis karya dalam
bahasa Jepang. Satu hal yang berbeda dengan penulis generasi sebelumnya adalah
penulis generasi ini banyak menulis karya bertemakan perjuangan orang Zainichi
Korea dalam masyarakat Jepang meliputi perjuangan terhadap hak-hak mereka
sebagai orang Zainichi Korea dan tema pencarian identitas baik identitas
kelompok maupun kultural. Contohnya penulis I Fe Son (1937) yang
menghasilkan karya berjudul Mata Futatabi no Michi dan mendapat penghargaan
Gunzo ke-12 menulis tentang kehidupan orang Zainichi Korea generasi kedua
yang memperjuangkan hak-hak orang Zainichi Korea dalam masyarakat Jepang.
Ia merupakan orang Korea pertama yang mendapatkan penghargaan Akutagawa
ke-66 untuk penulis asing dalam karyanya berjudul Kinuta wo Utsu Onna (1972).
Lalu, penulis generasi ketiga yang lahir dan besar di Jepang seperti Kazuaki
Kaneshiro (1968), Yu Miri (1968) dan Sagisawa Megumu (1968) merupakan
penulis yang memiliki tema berbeda dengan penulis generasi sebelumnya. Tema
dan karya mereka lebih mengangkat tema kehidupan sehari-hari. Seperti Yu Miri
(1968) dalam karyanya berjudul Kazoku Shinema (2000) mengangkat tentang

8 Ibid. Isogai.1979,hal 8.

180 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016


representasi kondisi keluarga Jepang dewasa ini. Penulis generasi ketiga ini tidak
lagi mengangkat persoalan jati diri mereka sebagai orang Zainichi Korea. Melalui
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan generasi dalam karya
orang Zainichi Korea menghasilkan karya yang berbeda sebagai bentuk dari karya
sastra yang mewakili zamannya dalam perjalanan perkembangan kesusasteraan
Zainichi Korea.

LEE YANGJI DAN KOKU (1984)

Lee Yangji (1950-1993) muncul sebagai penulis perempuan Zainichi Korea


generasi kedua yang lahir dan besar di Jepang memulai debut karirnya pada tahun
1980-an. Ia muncul di antara penulis perempuan lainnya seperti Fukasawa Kai
(1943) atas karyanya berjudu Yoru no Kodomo yang ditulis ulang tahun 1992,
Chon Chu Ol (1944) dengan karyanya berjudul Saran e (1967), Kaku Sanae
(1956), Kyo Nobuko (1961), Kim Masumi (1961), Kim Ren Ka (1962), Yu Miri
(1968), Sagisawa Megumu (1968), dan sebagainya.
Lee Yangji sebagai perempuan menulis karyanya terkait dengan latar
belakang dan pengalaman hidupnya sebagai Zainichi Korea. Lee Yangji berasal
dari keluarga Zainichi Korea. Ayahnya menyeberang ke Jepang sebagai pedagang
kain sutra keliling dan mengalami diskriminasi dan sulitnya hidup di Jepang
sebagai Zainichi Korea. Lalu, ayah Yangji menikah dengan perempuan Korea dan
membawa keluarganya tinggal di Prefektur Yamanashi yang jauh dari lingkungan
orang Zainichi Korea. Ayahnya memutuskan masuk menjadi warga negara Jepang
tahun 1964 melalui proses naturalisasi dan berganti nama menjadi Tanaka,
sehingga Lee Yangji yang berusia sembilan tahun mengikuti orang tuanya
menjadi warga negara Jepang dan berubah namanya menjadi Tanaka Yoshie.
Lee Yangji bersekolah dan berkehidupan di lingkungan orang Jepang dan
menggunakan bahasa Jepang dalam keluarga. Ia mempelajari budaya Jepang
seperti tarian tradisional Jepang, ikebana dan belajar bermain koto (alat musik
kecapi Jepang). Yangji begitu mencintai kesenian dan ia sangat pandai menari dan
bermain koto. Akan tetapi, pada saat SMA ia mulai belajar sejarah Korea dari
gurunya bernama Kataoka Hidekazu dan tersadarkan akan darah Korea yang

Perempuan dalam Dua Budaya (Dewi Ariantini Yudhasari) 181


selama ini disembunyikannya. Sejak itu, ia kembali menggunakan nama Koreanya
hingga akhir hayatnya.
Kesadaran akan mengalirnya darah Korea dalam dirinya membuat ia terjun
ke dunia politik, dengan ikut berdemo untuk menuntut hak-hak orang Zainichi
Korea kepada pemerintah Jepang. Akan tetapi kegiatan berpolitiknya tidak
berlangsung lama, karena sejak kecil ia hidup di lingkungan orang Jepang dan
tidak mendapatkan diskriminasi layaknya orang Zainichi lainnya, sehingga ia
tidak begitu mendalami persoalan Zainichi Korea. Keinginan dan impian
mendalami Korea membuat ia belajar bahasa dan belajar tarian tradisional Korea.
Kesempatan untuk melanjutkan studi dan belajar tarian tradisional Korea
diperoleh ketika usianya menginjak 25 tahun. Keberadaannya di Korea membuka
pikiran dan pemahamannya tentang bagaimana persoalan politik dan hukum bagi
orang Zainichi Korea dipersoalkan. Akan tetapi, ia tidak memilih untuk
melanjutkan aktivitas politiknya melainkan menenggelamkan dirinya dalam tarian
tradisional Korea.
Hampir keseluruhan karyanya baik novel maupun esai merupakan potongan
kisah pengalaman hidupnya. Lee Yangji (1955-1993) menulis novel sebanyak
sepuluh buah novel, satu buah puisi dan sembilan belas esai. Novelnya antara lain
berjudul Nabitryon (1982) diterbitkan pertama kali pada majalah Gunzo pada
bulan November, Kazukime (1983), Anigose (1983), Koku (1984), Eie no Mukou
(1985), Tabi iro no gogo (1985), Raii (1986), Ao iro no Kaze (1986), Yuhi (1988)
dan Ishi no Koe (1991). Hampir setiap tahun Yangji menghasilkan karya.
Produktivitasnya sebagai penulis semasa hidupnya menujukkan bahwa Yangji
ingin terus menyuarakan persoalan identitas perempuan sebagai orang Zainichi
Korea generasi kedua. Sebagian besar karyanya mengangkat isu pengalanan hidup
perempuan Zainichi Korea, identitas, negara, gender, dan etnis.
Novel Koku (1984) mengangkat isu perempuan, identitas hibrid, ideologi
jender dan negara yang dibingkai dalam perjalanan perempuan ke Korea sebagai
tanah leluhurnya. Koku (1984) yang selanjutnya disingkat K mengisahkan tokoh
perempuan bernama Lee Suni berusia 27 tahun yang selanjutnya disingkat S
sebagai perempuan Zainichi Korea generasi kedua, besar dan bersekolah di
Jepang, tidak dapat berbicara bahasa Korea, berkehidupan layaknya orang Jepang,

182 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016


dan tidak mengenal serta memahami segala sesuatu tentang Korea. Kesadaran
akan adanya darah Korea dalam dirinya membuat ia bercita-cita agar dapat
disebut sebagai orang Korea. Lalu, ia pergi ke Korea untuk belajar menari
tradisional Korea.




(K: 150)

Terjemahan:
Dokter (panggilan untuk dokter di Jepang disebut dengan panggilan sensei seperti
yang lazim digunakan ketika hendak memanggil guru), Aku ingin bersungguh-sungguh
belajar musik kayagum dan menari Korea. Kalau aku terus ada di Jepang dan menyerap
semua itu, akhirnya tidak akan ada artinya, Korea adalah tempat aku dilahirkan dan aku
bisa belajar sambil hidup di sana. Dengan belajar di sekolah sudah pasti bahasa
Koreaku akan menjadi pintar dan aku bermaksud pergi ke Korea. Orang Korea tetapi
tidak dapat berbahasa Korea, maka tidak dapat disebut sebagai orang Korea. (K: hlm.
150)

Kisah dalam novel ini diceritakan oleh narator aku (watashi) yang
berperan sebagai tokoh utama di dalam cerita. Narator aku merupakan orang
pertama maha tahu. Sebagai narator, aku mengetahui karakter dirinya dan tokoh
lain serta peristiwa atau kejadian di dalam cerita. Narator aku di dalam novel ini
sekaligus merupakan fokalisator yang mengisahkan tentang pikiran, perasaan dan
tindakan tokoh. Perjalanan tokoh S melintas batas negara mengindikasikan
terjadinya dua pertemuan kultural yang dapat berupa benturan percampuran,
penolakan budaya dan penerimaan budaya. Alih-alih menelusuri identitas sebagai
Korea melalui bahasa dan kesenian Korea, ia malah dihadapkan pada kenyataan
bahwa ia tetap dianggap sebagai orang asing di Korea. Pengalaman hidup di
Korea merupakan rangkaian pengalaman diaspora tokoh S yang direpresentasikan
dalam bentuk pandangan fokalisator terhadap isi fokalisasi di dalam cerita. Dalam
hal ini, bagaimana tokoh S sebagai perempuan Zainichi Korea memandang Korea
dan orang Korea. Mengapa tokoh S sebagai perempuan Zainichi Korea generasi
kedua mengalami kegamangan identitas?
Sementara itu, berdasarkan penelusuran penelitian terdahulu, beberapa
peneliti telah melakukan penelitian terhadap novel Yuhi (1988), Nabitaryon
(1982) dan Koku (1984) secara terpisah dengan menggunakan pendekatan sejarah,

Perempuan dalam Dua Budaya (Dewi Ariantini Yudhasari) 183


psikologi, sosiologi, sosiolinguistik, dan cultural studies. Belum ditemukan
penelitian yang mengangkat isu perempuan, representasi, diaspora, dan identitas
hibrid dalam isi fokalisasi melalui apa yang disampaikan fokalisator di dalam
cerita. Hal inilah yang menimbulkan ketertarikan saya untuk melihat pandangan
fokalisator tentang perempuan Zainichi Korea generasi kedua, mengenai
pandangan tentang Korea dan lingkungan di Korea.

REPRESENTASI, DIASPORA DAN IDENTITAS HIBRID DALAM


FOKALISASI TOKOH S PADA NOVEL K KARYA LEE YANGJI

Dalam teorinya tentang representasi, Hall mengatakan .representastion is


the production of the meaning of concept in our mind through the language...
between concept dan language to refer the real world of object or people and
event.9 Dengan kata lain, suatu makna dapat diproduksi dan dipertukarkan di
antara kelompok masyarakat melalui representasi. Representasi bekerja melalui
sistem representasi yang meiliki dua unsur di dalamnya yaitu melalui relasi antara
konsep yang ada dalam pikiran kita dan bahasa.
Manusia hidup dalam kelompok masyarakat yang memiliki budaya yang
berbeda-beda dan mereka memiliki cara masing-masing dalam memaknai sesuatu.
Setiap kelompok masyarakat memiliki pemaknaan yang bisa jadi sangat berbeda
dengan kelompok masyarakat lainnya. Latar belakang pemahaman suatu
kelompok masyarakat tidak sama terhadap kode budaya tertentu yang diproduksi
oleh kelompok masyarakat lainnya. Dalam hal ini, makna merupakan suatu
kontruksi yang ditandai melalui kode. Kode ini merupakan hasil dari proses
konvensi sosial yang dapat membuat kelompok masyarakat di suatu wilayah atau
tempat kelompok budaya tinggal sama-sama mengerti dan memahami serta
menggunakan secara bersama-sama kode tersebut dalam menyebutkan sesuatu.
Dalam hal ini ketika kita memikirkan Zainichi maka kelompok masyarakat
yang memiliki pemahaman yang sama akan menggunakan kata Zainichi untuk
mengkomunikasikan kode yang dimaksud kepada orang lain. Dalam hal ini
Zainichi merupakan kode yang disepakati oleh masyarakat Jepang untuk

9 Stuart Hall. Representation: Cultural Representation and Signifing Practice. 1997, hal 17.

184 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016


memaknai suatu konsep mengenai Zainichi yang ada dalam pikiran kita (orang
Korea yang tinggal dan menetap di Jepang setelah Perang Dunia II). Melalui kode
ini kita dapat melihat bahwa terdapat korelasi antara sistem konseptual yang ada
dalam pikiran dengan sistem bahasa yang kita gunakan. Makna yang muncul
tersebut tidak akan dapat dikomunikasikan dengan orang lain tanpa adanya bahasa.
Dengan kata lain, representasi dibutuhkan dalam hal ini agar kelompok yang
memproduksi makna dan mempertukarkan makna dengan kelompok tertentu
memiliki suatu pengetahuan yang (hampir) sama dalam menciptakan suatu
pemahaman. Dengan demikian, dalam proses berpikir dan merasakan berada
dalam sistem representasi yang berfungsi memaknai sesuatu yang dapat
diproduksi dan dipertukarkan di antara kelompok masyarakat yang memiliki latar
belakang konsep, gambar, dan ide (cultural code) yang sama. Teori representasi
ini dibutuhkan untuk memaknai kehidupan tokoh perempuan Zainichi Korea.
generasi kedua dalam mengkontruksikan narasi identitas.
Selanjutnya, penelitian ini bertolak pada perempuan Zainichi Korea
bernama S yang mengalami berbagai bentuk pertemuan kultural di Korea. Konsep
diaspora digunakan dalam penelitian ini untuk mengacu pada konteks globalisasi
yang meniadakan jarak dan mempersempit batas-batas wilayah dan negara.
Konsep diaspora ini merujuk pada adanya wisata, perjalanan, penyebaran,
ketersebaran, ketercerabutan dari tempat asal (displacement), rumah dan
perbatasan. Menurut Gilroy, konsep diaspora membantu kita untuk memikirkan
pertama, identitas dalam ketidakpastian dan perselisihan. Kedua, identitas yang
bergerak ketimbang yang mutlak. Ketiga, konsep diaspora ini lebih
mementingkan melihat adanya perjalanan (rute) ketimbang menelusuri akar (root).
Keempat, konsep diaspora memikirkan kesamaan yang berubah (changing same)
dari proses diaspora. Dalam hal ini proses diaspora membentuk budaya yang telah
mengalami kreolisasi, sinkretisasi, hibriditas dan ketidakmurnian. Dengan kata
lain, konsep diaspora memikirkan identitas dalam konteks ketidakpastian dan
keterpecahan dan identitas yang berkonflik yang terus bergerak dinamis
ketimbang kondisi yang statis.10
Lalu, Barker mengatakan bahwa pertemuan kultural yang mengindikasikan

10 Lihat Paul Gilroy (dalam Barker, 2009) hal 211.

Perempuan dalam Dua Budaya (Dewi Ariantini Yudhasari) 185


terjadinya kreolisasi, sinkretisasi dan hibridisasi. Selanjutnya, konsep hibriditas
dimaknai sebagai adanya pertemuan kultural yang dapat menghasilkan
bentuk-bentuk budaya baru. Hibriditas menjelaskan proses pertemuan kultural dan
bercampurnya dua budaya atau lebih. Dalam pertemuan kultural tersebut, menurut
Barker terdapat pertama, dua tradisi kultural yang berlainan dibiarkan tetap
terpisah dalam konteks ruang dan waktu. Kedua, dua tradisi kultural yang terpisah
dipertemukan dalam ruang dan waktu. Ketiga, kebudayaan bersifat translokal dan
melibatkan aliran global. Keempat, tradisi kultural berkembang di tempat terpisah
namun mengembangkan identifikasi yang didasarkan atas persepsi tentang
kemiripan dan kesamaan tradisi dan situasi. Kelima, suatu tradisi kultural yang
menyerap atau menghapus tradisi kultural lain dan menciptakan kemiripan yang
efektif. Keenam, bentuk-bentuk baru identitas yang dibentuk dari adanya
keperdulian bersama terhadap kelas, etinisitas, jender dan lainnya.11
Lalu, untuk menggali pandangan fokalisator terhadap isi fokalisasi tokoh Y
digunakan teknik fokalisasi. Menurut Genette (1980) sudut pandang yang
berbeda-beda dapat dilihat melalui siapa yang berbicara dalam peristiwa, apa dan
bagaimana tindakan dilakukan. Genette menggunakan istilah fokalisasi sebagai
pengganti istilah perspektif atau sudut pandang dalam menelaah bagaimana sudut
pandang dimunculkan dari komunikasi yang dilakukan oleh pencerita (narator)
yang dapat bertindak sebagai fokalisator melalui isi fokalisasi di dalam cerita.
Fokalisator merupakan istilah yang digunakan oleh Genette (1980) untuk
menyebutkan subjek sudut pandang yaitu orang yang melihat.
Genette (1980) membedakan fokalisasi menjadi tiga jenis yaitu fokalisasi
zero, internal dan eksternal. Fokalisasi zero merujuk pada pengertian bahwa
ketika narator mengetahui dan memvokalisasikan sesuatu lebih dari yang
diketahui oleh tokoh. Fokalisasi internal mengandung arti bahwa ketika narator
mengetahui dan memfokalisasikan sesuatu dari apa yang dikethui oleh tokoh.
Sedangkan, fokalisasi eksternal mengandung pengertian bahwa ketika narator
mengetahui lebih sedikit dari apa yang diketahui tokoh.
Sementara itu, Mieke Bal (1985) berpendapat bahwa fokalisasi zero dan
internal yang dikemukakan oleh Genette (1980) dapat dipahami dengan

11 Ibid. Barker. 2009, hal 213

186 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016


memperhatikan subyek yang memandang peristiwa dalam cerita. (dalam hal ini
posisi pertama ditempati oleh narator dan posisi kedua ditempat oleh tokoh).
Lebih jauh Bal menambahkan bahwa fokalisasi internal dan eksternal bukan
merupakan persoalan subyek yang melihat peristiwa melainkan menitikberatkan
pada obyek yang dilihat.
Bal (1985) membagi fokalisasi ke dalam dua jenis yaitu, fokalisasi
karakter-terikat atau internal (merujuk pada vokalisasi internal Genette) dan
fokalisasi eksternal (merujuk pada vokalisasi eksternal dan zero menurut Genette).
Dalam hal ini, yang menjadi obyek fokalisasi adalah objek yang tidak terlihat dan
terasa (pemikiran dan perasaan) dan obyek yang terlihat (tindakan, penampilan)
Dalam mendefinisikan fokalisasi Bal (1985) dan Kenan (2003) berpendapat
bahwa fokalisasi memiliki dua peran yang berbeda. Pertama, subyek fokalisasi
yaitu fokalisator yang berperan sebagai agen dalam mengarahkan persepsi cerita
dalam narasi. Kedua, objek fokalisasi merupakan apa yang dilihat dan
direpresentasikan oleh sesuatu atau seseorang. Kedua hal ini disebut sebagai
subyek fokalisasi dan objek fokalisasi. Objek fokalisasi dapat berupa benda, orang
dan situasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Narator dan Fokalisator


Narator (pencerita) di dalam novel K diposisikan sebagai tokoh utama yang
menyebut dirinya aku dan diperankan oleh Lee Suni, seorang perempuan
Zainichi Korea berusia 27 tahun. Narator dalam novel K bertindak sebagai orang
pertama yang memandang peristiwa, tindakan tokoh lain, perasaan dan pikiran
baik yang terlihat maupun tidak terlihat. Dengan kata lain, narator sekaligus
bertindak sebagai fokalisator. Dalam novel K, jenis fokalisasi yang dibawakan
mengacu pada pandangan Bal (1985) yaitu fokalisasi karakter-terikat (internal)
yang dapat dipahami dengan memperhatikan subyek yang memandang peristiwa
dalam cerita. (dalam hal ini posisi pertama ditempati oleh narator dan posisi kedua
ditempat oleh tokoh). Lalu, dalam novel K yang menjadi subjek fokalisasi
bertindak juga sebagai agen yang mengarahkan persepsi cerita dalam narasi.

Perempuan dalam Dua Budaya (Dewi Ariantini Yudhasari) 187


Sementara itu, objek fokalisasinya berupa apa yang dilihat dan direpresentasikan
oleh tokoh S dalam memandang peristiwa, kejadian, lingkungan dan orang Korea.
Seperti kutipan di bawah ini.



Terjemahan:
Sebelum datang ke Seoul, aku juga membeli tempat alat rias dan semua barang-barang
itu aku beli di Jepang. Sudah hampir 4 bulan, dan aku melihat jam tanganku, aku tidak
menghitung berapa kali aku sudah membuka tempat rias ini. Barang-barang ini 4 bulan
sebelumnya bentuknya sama dan warnanya pun sama sekarang semua ada di depanku.
Fungsinya pun masih terus akan sama.

Isi fokalisasi di atas hendak mengarahkan bahwa barang-barang yang


dibawa S ke Korea adalah barang-barang yang dibelinya di Jepang. Isi fokalisasi
tersebut juga hendak mengatakan bahwa barang-barang itu berfungsi sama seperti
ketika masih di Jepang. Subyek fokalisasi mengarahkan pada pembentukan
persepsi tentang Jepang melalui barang-barang Jepang yang masih digunakan
ketika di Korea dan hal itu merupakan benang merah untuk mengingat keberadaan
Jepang dalam pikiran tokoh S.

Pandangan Fokalisator tentang Keberadaan Orang Zaincihi Korea di Korea


Sebagian dari orang Zainichi Korea generasi kedua, ketiga dan seterusnya
yang lahir dan besar di Jepang tidak memahami bahasa dan budaya Korea. Oleh
karenanya, beberapa dari mereka pergi ke Korea untuk tujuan belajar bahasa
Korea. Hal ini dilakukan dengan berbagai alasan di antaranya pertama, bahwa
mereka ingin disebut sebagai orang Korea. Kedua, agar mereka memahami
budaya tempat asal nenek moyang mereka dan sebagainya. Lalu, bagaimana
kondisi mereka selama belajar bahasa dan budaya di Korea? Bagaimana
penerimaan orang Korea terhadap mereka?
Hal ini tercermin dalam isi fokalisasi melalui fokalisator ketika tokoh S dan
sesama orang Zainichi Korea belajar bahasa Korea. Tokoh S merasakan kesulitan
untuk mengucapkan pelafalan bunyi dalam bahasa Korea. Seperti kutipan di
bawah ini:

188 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016








(K: 162)

Terjemahan:
Perhatikan hal ini, kalian masih menggunakan cara pengucapan seperti orang Jepang
kalau kalian buka mulut kalian pasti akan keluar suara dari mulut. Guru mengatakan
hal itu kepada murid dengan mengulang-ulang kata yang sama. Pada waktu itu, apa
boleh buat dengan wajah yang tidak begitu suka kami lakukan hal itu. Hal itu selalau
sama dilakukan di dalam pelajaran. Murid-murid menunduk terdiam dan kelihatannya
tidak nyaman. Seperti angin yang tidak berhembus ke dalam kelas kami dan terasa
panas sekali. Lalu, aku bicara kepada guru, Ya, guru benar, seharusnya kami
mengucapkan pelafalan bunyi dalam bahasa Korea, ya, kataku sambil tertawa. Tetapi,
berasa panas dan berasa tidak tahan terhadap kondisi itu. (K: hlm. 162)





()

()






(K:163-164)

Terjemahan:
Guru, kami adalah sesama orang Zainichi Korea. Lahir dan dibesarkan di Jepang dan
kami menggunakan bahasa Jepang dalam kehidupan. Sehari-hari kami hidup di
lingkungan dengan asimiliasi dan kehilangan identitas serta kami tidak dapat
menentukan keberadaan kami secara etnis. Murid-murid yang ada di sini,
masing-masing memiliki motivasi dan menentukan untuk belajar di tanah leluhur..
Tetapi, ada satu hal kesamaan yang kami memiliki, yaitu harus belajar urimaru
bahasa negara (bahasa Korea), sedangkan kami di Jepang mengalami perasaan rendah
diri dan setelah kami berada di tanah leluhur urunara kami mengalami diskriminasi
pula. Seberapa pun kami berusaha, orang Korea selalu melecehkan kesalahan
pengucapan kami. Hal itu dapat diartikan bahwa kami tidak mengatasi rasa rendah diri
itu.Aku mengutamakan bunyi pengucapannya satu per satu. Padahal di dalam
kepala masih harus menerjemahkan ke dalam bahasa Jepang dan jika satu persatu
kata-kata diingat pasti bisa diurutkan. Kadang-kadang sambil berpikir kata-kata itu
menjadi terputus-putus. Perasaan heroic itu muncul dan rasnaya menyenangkan. Aku
merasa kata-kata yang harus diucapkan membuat perasaanku tertekan. (K: hlm.
163-164)
Melalui fokalisasi di atas diketahui bahwa orang Zainichi Korea mengalami
diskriminasi di Jepang dan di Korea. Penyataan itu mempertegas bahwa Jepang

Perempuan dalam Dua Budaya (Dewi Ariantini Yudhasari) 189


dan Korea tidak menerima keberadaan orang Zainichi Korea. Mereka berpikir
bahwa mereka akan diterima di tanah leluhur sebagai bagian dari tanah leluhur
dan orang Korea. Akan tetapi, dalam kenyataannya tidak demikian. Orang
Zainichi Korea secara hukum tidak memiliki kejelasan akan kewarganegaraan
mereka. Di Jepang mereka diperlakukan secara khusus dan diberikan kesempatan
untuk tinggal di Jepang sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah Jepang atas
perang. Orang Zainichi Korea yang tidak masuk menjadi warga negara Jepang
melalui proses naturalisasi dikategorisasikan ke dalam warga negara asing di
Jepang. Sementara itu, mereka yang tetap memegang paspor Korea tidak serta
merta dikategorisasikan ke dalam warga negara Korea karena dalam praktik
kehidupan sehari-hari mereka tidak membayar pajak kepada negara. Salah satu
syarat menjadi warga negara Korea adalah kewajiban membayar pajak. Hal ini
tidak dilakukan oleh orang Zainichi Korea yang tinggal dan menetap di Jepang.
Orang Zainichi Korea menurut Taikin (1990) adalah orang yang tidak
memiliki sense of belonging terhadap Jepang dan Korea. Oleh karena itu
menurutnya, tidak lama lagi keberadaan orang Zainichi Korea ini akan berakhir
dan hal tersebut dapat ditunjukkan lewat data statistik yang mengatakan bahwa
jumlah orang Zainichi Korea di Jepang semakin berkurang. Pada tahun 1945
jumlah orang Korea di Jepang sebesar 1.155.594 jiwa. Setelah Perang Dunia II
berakhir, orang Korea dipulangkan ke Korea sehingga jumlah penduduk Korea
mengalami penurunan. Pada tahun 1980 berjumlah 664.536 jiwa, serta tahun 2010
berjumlah 565.989 jiwa12. Jumlah orang Zainichi Korea ini menurun dikarenakan
pertama, meninggal dunia. Kedua, memilih naturalisasi menjadi warga negara
Jepang. Ketiga, masuk menjadi warga negara Korea.
Isi fokalisasi di atas juga mengambarkan bahwa tokoh S merasa tertekan
berada di Korea dikarenakan ketidakbisaannya di dalam mempelajari bahasa
Korea. Bahasa adalah pintu memahami dunia, demikian sebuah frase yang pernah
kita dengar. Akan tetapi, bagi S mempelajari bahasa Korea merupakan tekanan
secara psikologis bagi dirinya. Impiannya menjadi orang Korea dengan
mempelajari bahasa Korea lama kelamaan menjadi luntur dan S merasa semakin
terdiskriminasi di Korea.

12 Lihat Kang Choul. Zainichi Chosenjin Nempyo. 1983, hal 681.

190 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016











(K:143)

Terjemahan:
Sedikit demi sedikit bahasa Koreaku pun meningkat. Sekolah ini adalah tempat
berkumpulnya sesama orang Zainichi Korea yang datang dari Jepang sehingga ketika
masuk jam istirahat mereka semua akhirnya menggunakan bahasa Jepang dan itu
merupakan masalah. Seperti sekarang ini, jika aku mengirim surat kepada dokter Fujita
aku menggunakan bahasa Jepang. Apa boleh buat, aku masih ingin menggunakan
bahasa Jepang untuk bersurat. Di lorong sekolah ada tulisan bermimpilah dalam
bahasa Korea tetapi mimpi ku masih dalam bahasa Jepang. Dalam mimpi aku masih
memanggil Fujita dalam bahasa Jepang sambil berjalan. Fujita tahu nggak ya kalau
bahasa Korea itu sensei dalam bahasa Korea sonsennimu. Jadi Fujita sensei
menjadi Fujita sonsenimu. Karena aku masih memikirkan F maka aku tidak dapat
melupakan bahasa Jepang. (K: hlm. 143)

Melalui isi fokalisasi di atas, diperoleh kesimpulan bahwa keberadaan orang


Zainichi Korea di Korea dianggap sebagai bukan bagian dari Korea dalam
pandangan orang Korea. Dalam pandangan orang Korea, S adalah orang asing.
Sementara itu, keberadaan mereka di Jepang dan Korea seolah seperti alien dan
diskriminasi tidak terelakkan lagi bagi mereka baik di Jepang maupun di Korea.
Sementara itu, bahasa Korea yang dipelajari dalam tekanan tentunya tidak akan
dapat mengakibatkan terlupanya bahasa Jepang yang mereka dapatkan sejak lahir.
Oleh karenya, mimpi mereka masih dalam bahasa Jepang. Hal ini menunjukkan
bahwa mereka tetap tidak dapat melupakan bahasa Jepang yang mereka miliki.

Pandangan Fokalisator tentang Korea


Penggambaran tokoh S yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Korea
menjadi bentuk penelusuran keterikatan dirinya dengan Korea melalui bahasa dan
budaya yang ingin dipelajarinya agar dapat disebut sebagai orang Korea. Alih-alih
hendak menelusuri identitasnya, S malah mendapatkan gambaran tentang
bagaimana orang Korea, lingkungan dan negara Korea sehingga terlihat
bagaimana S dapat memposisikan dirinya sebagai perempuan Zainichi Korea di
antara kedua negara tersebut.

Perempuan dalam Dua Budaya (Dewi Ariantini Yudhasari) 191


Kondisi kehidupan di Korea tentunya tidak sama dengan kondisi kehidupan
di Jepang akhir tahun 1980-an yang menjadi latar belakang novel K ini. Jepang
memiliki ekonomi yang mapan dan menjadi negara yang metropolis, sementara
itu, Korea masih merupakan negara yang sedang berkembang. Pertemuan kultural
antara Jepang dan Korea tidak dapat dielakkan oleh S dikarenakan adanya
benturan budaya. Lalu, bagaimana S mengatasi hal ini. Apakah S menerima atau
menolak hal tersebut? Pengalaman hidup di Korea merupakan bagian dari
pengalaman diaspora S.
Sebagai mahasiswa asing, S bersekolah di universitas ternama di Korea.
Sehari-hari S harus naik bis dari rumah ke tempat S belajar. Pengalaman S
mengunakan transportasi umum di Korea merupakan pengalaman yang
membenturkan dirinya pada kondisi yang belum pernah S alami di Jepang, seperti
dalam kutipan di bawah ini.




()


(K:159)

Terjemahan:
Aku tidak bilang bahwa tidak suka naik bis karena berisiknya volume suara radio.
Penumpang dan supir bis yang mendengar itu kenapa mereka bisa tenang mendengar
volume suara radio itu. Aku juga tidak bisa bilang tentang bau busuknya bis dan orang
di situ. Ketika aku meliaht kondektur, aku merasa tertekan. Waktu naik dan turun aku
belum terbiasa terburu-buru. Aku merasa sedih dengang tingkahku yang lambat.
Terkadang aku sampai sakit jantung ketika kondektur mendorong aku untuk turun
dengan mengatakan cepat, cepat. Kondektur melihat ke arahku dengan pandangan
tajam. Ia melihat tajam ke arah bajuku dengan tajam. Aku dilihat seperi apa dengan
pakai baju bagus tetapi gerakanku lambat. Aku merasa menyesal memikirkan hal
seperti itu. (K: hlm 159)







()

192 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016



(K:162)

Terjemahan:
Pada jam istirahat aku ke toilet. Menggosok gigi dan mencuci tangan. Rasa ngantuk
menjadi hilang. Setiap hari aku gosok gigi dan mencuci tangan dan saat itu aku merasa
hidup dan merasa senang. Melihat tangan yang sudah bersih aku tersenyum.
Bagaimana kalau sampai kekurangan air, aku pasti akan menjadi panik. Aku pasti tidak
akan menggunakan air itu untuk minum tetapi aku menggunakan air itu untuk gosok
gigi dan cuci tangan. Di kota Seoul, jarang ada tempat untuk mencuci tangan. Toilet di
coffe shop sering kali tidak ada tempat mencuci tangan, kalau pun ada biasanya tidak
ada air. Di sekolah pun pernah ada kejadian tidak ada air. Setelah aku tinggal di Seoul,
aku merasa kulitku menjadi kering, hal itu mungkin disebabkan karena udara dan angin
yang kencang. (K: hlm. 162)

Melalui isi fokalisasi di atas terkesan bahwa fokalisator hendak menggambarkan


suasana lingkungan di Korea ketika naik kendaraan umum. Suara keras di bis dan
perlakukan kondektur yang melihat S merupakan pengalaman yang belum pernah
S alami di Jepang. Benturan budaya itu memicu ketidaknyamanan S terhadap
kondisi di Korea. Selain itu, S juga memandang Korea sebagai negara yang belum
tertata dan kotor, berdebu dan pemerintahnya tidak perduli dengan kondisi itu.

(K:153).



(K:156)

Terjemahan:
Dibanding apapun, negara ini inovatif, katanya. (K: hlm. 153)
Toko yang ada di depan tanjakan itu semuanya merupakan rumah-rumah yang kecil.
Ruangan depan sebesar nijoo (dua tatami) digunakan untuk toko sedangkan di
belakangnya dipakai untuk tempat tinggal, Sampai saat ini aku masih kaget tidak
karuan sebegitu sempitnya ruangan itu, bagaimana mereka bisa hidup di rumah yang
seperti itu. (K: hlm. 156)

Dalam percakapan sesama orang Zainichi Korea, S dan J mengutarakan


pandangannya terhadap Korea dan pandangan tokoh J sebagai representasi
perempaun Zainichi Korea dalam mengungkapkan pandangannnya tentang Korea
dan Jepang seperti di bawah ini :
J : ?
S :




J :

Perempuan dalam Dua Budaya (Dewi Ariantini Yudhasari) 193


S :
J :

S :
Narator:


J :
S : ?
J : ?
S : ?
J :
Narator :

S :
J :
Narator :
S :

Narator :





J :
Narator :

S :
J :
S :
J :
Narator :
S :
J :
Narator :

(K: 213-215)

Terjemahan:
J : Buat Suni Korea itu seperti apa?
S :
Aku merasa menyesal tetapi diam dan diam itu bukan jawabannya.
Aku selalu merasa diguncang oleh negara ini. Walaupun demikian, aku masih
mencintainya.
J : Suni, aku juga rindu Korea (urinara).
S :
J : Kita sebagai orang Zainichi Korea sulit menentukan Korea itu buat kita. Tetapi
kita selalu memperhatikan Korea.
S : Ya benar

194 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016


Narator : Aku pun memanggut-manggut. Aku baru merasa bau badannya Chunja. Ia pun
sepertiku tampil di depan orang dengan berbagai macam wajah.
J : Suni
S : Apa
J : Kamu ingin hidup seperti apa di masa depan.
S : Masa depan?
J :Ya
Narator : Aku terdiam. Diam itu menjadi jawabanku tetapi aku merasa malu tidak menjawab
karena selama ini hidup dilakukan dengan dan hidup menyembunyikan diri
sebagai Zainichi Korea
S : Aku menyembunyikannya
J : Hah
Narator : Chunja bertanya kembali. Melihat wajahnya, ternyata memang di cantik sekali.
S : Aku berusaha hidup untuk menyembunyikan dan untuk sekarang ini itu adalah
kata-kata yang terbaik untuk diucapkan
Narator : Pintu toko penjual Jam dan dikunci dengan rapat. Penjual toko sudah kembali dan
sudah beristirahat di rumahnya. Sudah empat bulan ini aku melihat wajahnya. Aku
bisa mengerti asal usulnya orang itu dan bagaimana kehidupannya ketika aku
bertanya kepada ajinomi di tempat kos. Tetapi aku tidak menanyakannya karena
tidak berarti buatku. Aku dan Chunja berjalan tanpa bicara. Terkadang angin
sejuk menerpa dan hal itu menyenangkan hati. Kalau kita berdua di Jepang kita
menyembunyikan dengan apa ya, kata Chunja sambil mengingat sesuatu.
J : Kalau di Jepang kamu selalu menembunyikan sesuatu yang menonjol pada kita
Narator : Chunja membuka mulut dan mengingat sesuatu seperti dia mencari sesuatu.
S : Aku menyembunyikan suatu benda, kataku.
J : .
S : Menyembunyikan sesuatu yang biasa kita sembunyikan seperti tentang seseorang,
benda dan lainnya
J : benda ya
Narator : Chunja menggumam
S : Diisolasikan itu juga punya arti kan
Narator : Aku tidak tahu sampai dimana Chunja memahami kata-kataku
Jepang itu menyenangkan lalu aku tutup mulut dan dalam hati aku berkata..
iritirit..iritsambil tertawa.

Dalam percakapan dengan tokoh S dan J diperoleh pandangan bahwa tokoh


S selalu menyembunyikan identitas dirinya sebagai Zainichi Korea. Sementara itu,
tokoh J dengan kebingungannya bertanya tentang masa depan mereka. Tokoh J
beranggapan bahwa Jepang adalah negara yang nyaman dan ramah terhadap orang
Zainichi Korea seperti mereka. Sedangkan, tokoh S lebih menekankan
pandangannya pada barang Jepang yang tidak dapat dilupakannya. Lalu, S
mengatakan bahwa mereka juga mencintai Korea dan ingin menjadi bagian dari
Korea. Apapun pandangan dua perempuan Zainichi Korea tersebut di atas
sebenarnya menggambarkan bahwa identitas itu menjadi lebih cair setelah melihat
kondisi di Korea dan Jepang merupakan tempat untuk hidup di masa depan dan
tidak perlu lagi untuk menyembunyikan identitas mereka di antara Jepang dan
Korea. Perjalanan ke Korea diidentifikasikan sebagai narasi perempuan Zainichi

Perempuan dalam Dua Budaya (Dewi Ariantini Yudhasari) 195


Korea generasi kedua yang hidup dalam dua budaya dan kultural yang terus
menjadi (becoming) dalam proses perjalanannya.

SIMPULAN

Narator dalam novel K adalah watashi (Suni). Dalam hal ini narator
sekaligus merupakan fokalisator di dalam cerita. Jenis fokalisasi dalam kisah ini
adalah fokalisasi internal yang memosisikan narator sebagai yang lebih tahu dari
apa yang diketahui tokoh. Fokalisator dalam kisah ini merupakan agen yang
bertindak sebagai objek untuk merepresentasikan narasi perempuan Zainichi
Korea generasi kedua. Dalam hal ini representasi tersebut ditunjukkan oleh
pengalaman diaspora tokoh yang mengindikasikan adanya penolakan akibat
pertemuan kultural di antara Jepang dan Korea.
Sementara itu, melalui isi fokalisasi yang dinarasikan oleh fokalisator
diperoleh gambaran bahwa kedudukan perempuan Zainichi Korea baik di Jepang
maupun di Korea dinarasikan sebagai orang asing. Lebih jauh, narasi perempuan
yang diusung dalam kisah ini mengindentifikasikan perempuan yang hidup dalam
dua budaya sebagai bentuk diaspora dan identitas hibriditas perempuan Zainichi
Korea generasi kedua.

DAFTAR PUSTAKA

Bal, Mieke. (1985). Narratology: Introduction of the theory of narrative. Toronto:

University of Toronto Press

Barker, Chris. (2009). Cultural studies: Teori dan praktik. Bantul: Kreasi Wacana

Genette, Gerard. (1980). Narrative discourse. USA: Cornell Univeristy

Hall, Stuart. (1997) Representation: Cultural representation and signifing

practice. London: Sage Publication Ltd.

_____. (2003). Theorizing diaspora. Braziel, Jana Evans, and Mannur, Anita. ed.

United State: Blackell Publishing

196 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016


Isogai, Jirou. (1977). Shigen no hikari: Zainichi hcosenjin bungakuron. Tokyo:

Soujusha

_____, (2004). (Zainichi) Bungakuron. Tokyo: Shinchosha

Kang Choul. (1983). Zainichi chosenjin nempyo. Tokyo: Yukankaku

Kim Huna. (2004). Zainichi chosenjin josei bungakuron. Tokyo: Sakuhinsha

Komori, Yoichi.(1998). (Yuragi) no Nihon Bungaku. Tokyo: NHK

_____, (2004). Zadankai showa bungaku shi, Vol 5. Tokyo: Shuueisha

O Son Fa. (2012). Kankoku geigo e no michi kanzenpan. Tokyo: Bungei Shunju

Rimmon-Kenan, Slomith. (2005). Narrative fiction. London and New York:

Routledge

Tanaka, Hiroshi. (1993). Yi Yangjii zenshu. Tokyo: Kodansha

Tei Taikin. (2004). Zainichi-kyouseirenkoo no shinwa. Tokyo: Bengei Shunjun

Perempuan dalam Dua Budaya (Dewi Ariantini Yudhasari) 197


PENILAIAN KUALITAS TERJEMAHAN
NOVEL WHERE THERE IS SMOKE
KARYA SANDRA BROWN

Sulistini Dwi Putranti

Program Studi Bahasa Inggris, Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA


Jl. Pengadegan Raya No. 3 Pancoran Jakarta 12770
sulistini@stbalia.ac.id, sulistinidp@gmail.com

ABSTRACT
This research analyzes three aspects of translation: readability, acceptability, and
equivalency of Sandra Browns novel Where There Is Smoke and its Indonesian
translation Pencarian. This research uses qualitative descriptive method to describe and
explain all the data thoroughly. The evaluation is conducted by two evaluators based on
criteria provided. The result shows that the readability of this novel is high which means
good because almost all sentences are easy to understand by the readers in SL. The
acceptability is moderate because there are still many sentences in ST which are read as
pieces of translation. The equivalency of this novel is low since there are many sentences
which are not translated correctly. Some sentences are omitted and the others are
paraphrased which make the messages in those sentences are not well-transferred.

Key words: readability, acceptability, equivalency

ABSTRAK
Penelitian ini menganalisis tiga aspek terjemahan yaitu aspek keberterimaan dan
aspek kesepadanan novel Where There Is Smoke karya Sandra Brown dan terjemahannya
yang berjudul Pencarian. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif
untuk dapat memerikan atau mendeskripsikan data secara rinci dan teliti. Penilaian
dilakukan oleh dua orang evaluator dengan kriteria yang telah ditentukan. Hasil evaluasi
menunjukan bahwa tingkat keterbacaan novel ini cukup tinggi, artinya hampir semua
kata, frasa, klausa dan kalimat dalam BSa mudah dimengerti oleh pembaca dalam BSa.
Aspek keberterimaan dinilai sedang karena masih terdapat kalimat-kalimat yang terbaca
seperti hasil terjemahan. Aspek kesepadanan dinilai rendah karena banyak frasa, klausa
maupun kalimat yang tidak diterjemahkan dengan tepat, dihilangkan atau dihaluskan,
sehingga pesan tidak tersampaikan dengan baik.

Kata kunci: keterbacaan, keberterimaan, kesepadanan

PENDAHULUAN

Dewasa ini banyak sekali novel-novel roman berbahasa Inggris yang


diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh berbagai penerbit di Indonesia,

198 Penilaian Kualitas Terjemahan (Sulistini Dwi Putranti)


misalnya seri-seri Chicklits, Harlequin, Mills and Boons dan sebagainya. Novel-
novel tersebut biasanya ditujukan untuk kalangan pembaca wanita mulai usia
remaja, dewasa muda, bahkan sampai ibu-ibu. Novel-novel tersebut disukai
pembaca karena sifatnya yang menghibur, berisi jalinan atau alur cerita yang tidak
rumit, dan biasanya diakhiri dengan tokoh utama wanita yang akhirnya
menemukan pangeran pujaan hati dan hidup bahagia dengannya. Novel seperti itu
berfungsi sebagai media bagi pembaca untuk melarikan diri dari realitas,
melupakan segala kesulitan hidup dan menemukan fantasi tentang hal yang ideal,
perwujudan dunia khayalan atau impian. Pembaca diundang untuk dengan bebas
mengidentifikasi diri mereka dengan tokoh-tokoh fiksi yang masalah dan konflik
hidupnya hampir selalu dipecahkan dan diatasi secara ajaib (Hall dan
Whannel,1989:52).
Hampir semua novel tersebut dibumbui dengan adegan percintaan dan
hubungan seksual antara tokoh-tokohnya, baik yang secara tersirat dengan
penggambaran metaforis dan analogis, maupun yang bersifat vulgar dan terus
terang. Adegan seksual tersebut kebanyakan tidak menjadi pusat atau inti cerita
melainkan sebagai pelengkap dan bumbu agar ceritanya menjadi menarik, seru,
dan mendebarkan. Karena sifatnya yang hanya bumbu penyedap cerita, adegan-
adegan tersebut biasanya menghiasi tidak lebih dari 10% jumlah lembaran buku.
Dengan sifat adegan seksual sebagai bumbu di dalam novel, dan tidak terlalu
banyak porsinya di dalam cerita, seharusnya tidak akan menjadi masalah apabila
adegan-adegan tersebut dihilangkan. Kenyataannya hal ini tidak mungkin
dilakukan karena meskipun sifatnya minor, kejadian atau adegan seksual tersebut
berkait erat dengan alur cerita secara keseluruhan, sehingga menghilangkan
bagian tersebut akan membingungkan pembaca karena mereka akan kehilangan
koherensi keutuhan cerita.
Adegan atau kegiatan seksual itu merujuk pada pengalaman dan ekspresi
manusia tentang seksualitas mereka. Dari waktu ke waktu, manusia terlibat dalam
berbagai kegiatan seksual dengan berbagai alasan. Kegiatan seksual ini biasanya
dimulai dengan munculnya gairah seksual yang ditandai dengan perubahan fisik
baik yang nampak secara nyata maupun yang tidak. Tujuan dari kegiatan seksual
adalah untuk mencapai kepuasan seksual yang biasanya berbentuk orgasme yang

Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016 199


dialami para pelakunya. Kegiatan seksual ini termasuk juga ucapan, tindakan, atau
perbuatan yang dimaksudkan untuk membangkitkan gairah orang lain/pasangan.
Di dalam novel, adegan seksual ini digambarkan dengan tulisan yang
mengandung ungkapan-ungkapan dan pencitraan seksual baik yang dengan
gamblang menyebutkan organ vital seksual maupun yang sifatnya halus dan
simbolis.
Di masyarakat Indonesia perkara persetubuhan tabu dibicarakan secara
terbuka karena pengaruh agama dan norma yang dianut penduduknya. Standar
nilai dan norma yang ada di dalam masyarakat Indonesia kebanyakan diperoleh
dari agama yang mereka anut. Hampir 90% masyarakat Indonesia menganut
agama Islam, sedangkan sisanya menganut agama lain yaitu Kristen, Katolik,
Hindu, Buddha, dan Konghucu serta beberapa aliran kepercayaan. Seluruh agama
resmi maupun aliran kepercayaan tersebut mempunyai aturan dan pendapat yang
kurang lebih sama dalam menyikapi kegiatan seksual (atau yang lebih umum
disebut sebagai pornografi), yang bahkan dituangkan dalam peraturan pemerintah
berbentuk undang-undang yang mengatur dan melarang pornografi. Peraturan ini
dituangkan ke dalam Undang-undang No. 44 tahun 2008 tentang pornografi,
dengan definisi pornografi sebagai berikut: "Pornografi adalah gambar, sketsa,
ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan,
gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media
komunikasi dan/ atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau
eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat." Dari
definisi ini dapat dipahami bahwa segala bentuk eksploitasi seksual adalah
dilarang, termasuk apabila dijabarkan dalam bentuk tulisan.
Yang kemudian menimbulkan pertanyaan adalah bagaimana perlakuan
terhadap semua novel dan cerita yang memuat gambaran tentang kecabulan atau
eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Hal ini
patut dipertanyakan karena meskipun sudah ada undang-undang tentang
pornografi tersebut di atas, novel yang memuat adegan seksual masih banyak
dijumpai dijual secara bebas di toko buku. Selain itu, definisi kecabulan dan
norma kesusilaan yang dapat dipakai sebagai acuan untuk menentukan bagian

200 Penilaian Kualitas Terjemahan (Sulistini Dwi Putranti)


mana yang cabul dan tidak, mana yang masih dalam koridor kesopanan dan tidak
melanggar norma kesusilaan belum ada pedoman khususnya.
Kualitas terjemahan novel-novel tersebut perlu juga dipertanyakan apakah
sudah sesuai dengan kaidah norma yang ada di dalam masyarakat. Dari hasil
observasi terlihat adanya variasi yang sangat beragam dalam terjemahan novel,
terutama yang berkaitan dengan adegan-adegan seksual yang ada di dalamnya.
Beberapa novel memuat adegan seksual yang digambarkan secara halus dan tidak
vulgar, namun beberapa yang lain memuat adegan yang vulgar dan terus terang.
Untuk itu, peneliti mengambil satu sampel novel yang diterbitkan oleh PT
Gramedia Pustaka Utama untuk diteliti bagaimana penerjemah menerjemahkan
adegan-adegan seksual yang ada di dalamnya. Novel yang dianalisis diambil yang
bermuatan adegan seksual, meskipun adegan tersebut tidak mendominasi
keseluruhan cerita. Peneliti akan meminta dua orang evaluator untuk memberi
nilai pada kualitas terjemahan, dengan berdasarkan pada pedoman penilaian yang
telah disediakan oleh peneliti.

TINJAUAN PUSTAKA

Aysenaz Kos (desain riset dipertahankan tahun 2008, dan pada saat itu riset
masih berlangsung) dari Universitat Rovira di Spanyol sedang menulis disertasi
tentang Promoting Simone de Beauvoir and Le Deuxime Sexe through the Male
in Turkey. Penelitiannya membahas tentang terjemahan Le deuxime sexe karya
Simone de Beauvoir terutama yang berkaitan dengan terminologi seksual dan hal-
hal yang merujuk pada seksualitas. Peneliti membandingkan dengan TSu dan
memberi komentar pada pengaruh terminologi seksual yang diciptakan dalam
terjemahannya, serta menjelaskan kemungkinan-kemungkinan perubahan yang
terjadi dari perspektif analisis wacana. Bagian lain dari penelitian tersebut
menganalisis fitur paratekstual terjemahan buku-bukunya Beauvoir dalam bahasa
Turki. Masalah dalam penerjemahan terminologi dan referensi seksual diangkat
melalui isu sensitivitas seksual dan sereotip jender dan klise, terutama karena
fakta bahwa hampir semua penerjemah karya Beauvoir ke dalam bahasa Turki
adalah laki-laki. Sayangnya isu penerjemahan terutama yang berkaitan dengan
terminologi seksual kurang digali secara mendalam, sehingga tidak dapat dilihat

Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016 201


apakah ada perbedaan signifikan antara hasil terjemahan karya Beauvoir yang
diterjemahkan oleh penerjemah laki-laki dan perempuan. Demikian juga tidak
terlalu jelas dipaparkan apakah isu sensitivitas seksual dan stereotip jender dan
klise tersebut berpengaruh besar terhadap kualitas terjemahan secara umum.
Penelitian yang lain dilakukan oleh Chen Chapman (Chapman, 2005) dari The
Hongkong Polytechnic University yang dimuat di Jurnal Quaderns Revista de
traducci pada tahun 2005. Judul penelitiannya adalah On the Hong Kong
Chinese Subtitling of the Erotic Dialogue in Kaufmans Quills. Chen Chapman
beranggapan bahwa di Hong Kong subtitel film perlu melibatkan bahasa lokal
yaitu bahasa Kanton agar menumbuhkan empati yang lebih besar dari masyarakat.
Dengan demikian ekspresi makian dan vulgar dalam bahasa Inggris perlu
diterjemahkan dalam bahasa Kanton agar spirit aslinya dapat tertangkap dengan
lebih jelas. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebagian besar dialog erotis
yang diterjemahkan secara literal dalam bahasa Cina hasilnya menjadi datar dan
kurang mengandung rasa bahasa (Cina) karena adanya perbedaan budaya.
Demikian juga metafora dan gaya bahasa lain yang digunakan di situ yang juga
diterjemahkan secara literal terdengar janggal, asing dan bahkan tidak dapat
dipahami oleh para penutur bahasa Cina. Dalam pendapatnya menetralisasi dialog
erotis sering kali mengakibatkan hilangnya rasa sastra yang ada di dalam Bsu,
sehingga cerita kehilangan gregetnya.
Dalam simpulannya Chapman menyatakan bahwa penggabungan tiga
bahasa yaitu bahasa Cina klasik, Cina gaul, dan bahasa Kanton sebenarnya dapat
digunakan untuk menghasilkan subtitel ungkapan erotis dengan baik. Penerjemah
juga dapat merujuk pada karya-karya (teks) erotis Cina kuno yang dulunya
dilarang untuk dapat lebih mendekatkan erotisme barat yang ada di film pada
penonton lokal tanpa mengekspos kevulgarannya. Selain itu dia juga
menunjukkan perlunya memperbaiki kondisi kerja para penerjemah film agar
memperoleh situasi kerja yang kondusif sehingga dapat menghasilkan terjemahan
yang baik pula. Hasil penelitian tersebut sangat menarik untuk dikaji dan
digunakan sebagai rujukan bagi penelitian ini. Analisis yang digunakan Chapman
dalam membandingkan hasil subtitel film dengan dialog erotis yang sudah ada
dengan beberapa usulan yang dia berikan berdasarkan tiga bahasa yang

202 Penilaian Kualitas Terjemahan (Sulistini Dwi Putranti)


disebutkan di atas, serta berdasarkan pada teks erotis Cina kuno menunjukkan
subtitel yang lebih dinamis. Untuk menganalisis data pada penelitian ini nanti
perlu juga dipertimbangkan untuk membandingkannya dengan teks-teks kuno
yang berisi erotisme lokal namun tidak vulgar yang berasal dari seluruh penjuru
tanah air, contohnya serat Centini yang sudah diterjemahkan dalam bahasa lain.
Perbedaan utama antara penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah pada
unsur karyanya yang berbeda, bahasa sasaran yang juga berbeda, dan perspektif
kajian yang berbeda sehingga hasil analisis tidak akan terjadi persamaan.

METODE PENELITIAN

Penelitian dikatakan kualitatif karena penelitian tersebut memiliki bingkai


asli yang sesuai dengan kondisi alamiah naturalnya, seperti yang diutarakan oleh
Sutopo (1996:35) bahwa topik penelitian kualitatif diarahkan pada kondisi asli di
mana subjek penelitian berada. Jenis penelitian ini menekankan pada deskripsi
data, yaitu data berupa kata-kata, kalimat atau gambar yang memiliki arti lebih
dalam dibandingkan sekadar angka saja. Oleh karena itu penelitian ini
menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif, karena dapat menangkap
berbagai informasi kualitatif dengan cara diperikan atau dideskripsikan secara
rinci, teliti dan dari berbagai sudut kajian. Namun penelitian ini tidak hanya
berhenti pada kualitatif deskriptif saja, karena peneliti akan menganalisis data
yang tersedia dengan mendalam sehingga dapat menghasilkan simpulan yang
tajam dan akurat.
Pengambilan data dilakukan dengan cara sampling bertujuan karena peneliti
akan memilih sampling dengan kriteria-kriteria tertentu yang sudah ditetapkan.
Kriteria dibuat sesuai dengan keperluan penelitian, sehingga kegiatan akan
menjadi terarah, dan hasil analisis akan tajam dan terkupas dengan baik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini menganalisis tiga aspek terjemahan yaitu aspek keterbacaan,


aspek keberterimaan dan aspek kesepadanan. Aspek keterbacaan meliputi

Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016 203


bagaimana hasil terjemahan secara umum dapat dipahami oleh pembaca. Aspek
ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu aspek keterbacaan tinggi/ mudah, aspek
keterbacaan sedang dan aspek keterbacaan rendah/ sulit dipahami oleh pembaca.
Aspek yang ke dua yaitu aspek keberterimaan juga terbagi menjadi tiga yaitu
keberterimaan mudah/ berterima, sedang/ kurang berterima dan tidak berterima.
Sedangkan aspek kesepadanan dibagi menjadi tiga yaitu akurat, kurang akurat dan
tidak akurat. Dari hasil evaluasi terhadap novel Where There is Smoke dan
terjemahannya yang berjudul Pencarian yang dilakukan oleh dua orang evaluator
diperoleh hasil sebagai berikut: secara keseluruhan novel ini mempunyai tingkat
keterbacaan yang tinggi yang berarti bahwa hampir semua kata, frasa, klausa dan
kalimat dalam BSa mudah dimengerti oleh pembaca bahasa sasaran. Kedua
evaluator sepakat bahwa terjemahan mengalir dengan baik dan alur cerita dalam
novel enak untuk diikuti dan dicerna. Namun ada beberapa catatan yang dibuat
baik oleh evaluator pertama maupun kedua.
Evaluator pertama memberi catatan bahwa untuk data no 2 kalimatnya
terlalu panjang karena menggunakan beberapa klausa. Hal ini membuat kalimat
kehilangan fokus antara kalimat induk dan anak-anak kalimatnya. Penggunaan
subyek yang diulang-ulang juga membuat pembaca harus berpikir dua kali dalam
mengidentifikasi kata ganti mana yang menggantikan subjek apa. Pada data 11
evaluator mencatat bahwa ada dua tokoh yang diceritakan pada data ini, yaitu
Bowie dan Janellen. Pada saat yang sama, kata ganti nya juga banyak digunakan
dalam BSu. Tidak seperti bahasa Inggris yang memiliki her dan his, bahasa
Indonesia hanya memiliki nya untuk menunjukkan kepemilikan. Oleh karena itu,
banyaknya penggunaan nya pada data ini membuat pembaca lebih berhati-hati
dalam mengidentifikasi referen nya. Penerjemah juga cenderung menggunakan
lebih dari satu kata kerja di dalam satu kalimat yang sebenarnya mengindikasikan
lebih dari seorang pelaku dalam kalimat tersebut. Hal itu agak menghambat
pemahaman pembaca terhadap siapa yang sedang melakukan perbuatan apa.
Namun secara umum evaluator pertama menyimpulkan bahwa secara umum,
tingkat keterbacaan BSa mudah. Baik kata, frasa, klausa, dan kalimat dapat
dengan mudah dipahami. Namun, penggunaan apositif dan kata ganti harus
diperhatikan, agar jangan sampai penggunaannya membuat pembaca sulit

204 Penilaian Kualitas Terjemahan (Sulistini Dwi Putranti)


memahami situasi yang dideskripsikan. Evaluator kedua tidak memberi catatan
apa-apa terhadap kriteria aspek keterbacaan dan menyimpulkan bahwa semua
kata, frasa klausa dan kalimat dalam BSa mudah dipahami oleh pembaca, tidak
ada kesulitan apapun yang ditemukan.
Aspek kedua yang dinilai adalah aspek keberterimaan yang menilai
terjemahan natural atau tidak. Evaluasinya didasarkan pada skala terjemahan
terasa natural apabila istilah khusus yang digunakan lazim dijumpai di bidang-
bidang yang menggunakan istilah tersebut. Istilah tersebut harus akrab bagi
pembaca, dan kata, frasa, klausa maupun kalimat dalam terjemahan sesuai
denngan kaidah bahasa Indonesia. Apabila terjadi kesalahan gramatikal atau
ketidak-tepatan penggunaan istilah khusus penerjemahan akan kurang atau bahkan
tidak natural sama sekali.
Evaluator pertama menunjukkan beberapa kekurangtepatan dan kesalahan
terjemahan, baik gramatikal maupun penggunaan istilah. Pada data empat
evaluator member catatan bahwa koma tidak boleh dipakai ditengah kalimat,
misalnya dalam kalimat: Menurutnya, ia tidak bisa.. . Demikian juga dalam
kalimat .. jati diri lelaki itu, karena . . Klausa yang menyatakan alasan ada di
tengah kalimat, koma tidak boleh digunakan. Preposisi di seharusnya hanya
digabung dengan kata kerja, selain kata kerja harus dipisah, misalnya .
dibalik (seharusnya di balik). Dalam data no 6 ada dua frasa yang tidak
mempunyai subjek, yaitu frasa: namun sekaligus juga penasaran; dan frasa: Dan
bernafsu . Penerjemah secara konsisten juga memakai kata namun untuk
menghubungkan klausa, sedangkan seharusnya kata namun digunakan untuk
menghubungkan kalimat. Pada data no 16 frasa sama sekali tanpa memikirkan
konsekuensinya tidak mempunyai subjek. Demikian juga pada data no 33
menyusul berikutnya celana panjangnya.. tidak mempunyai subjek. Pada data 45
kalimat menggunakan kata-kata walaupun , namun . Kalimat menjadi anak
kalimat semua, seharusnya kalau sudah menggunakan satu kata penghubung
kalimat berikutnya menjadi kalimat utama/ induk. Kalimat sebaiknya direvisi
menjadi: Walaupun Janellen sudah dewasa dan memiliki dua kakak laki-laki, ia
menyimpan.. . Sebagai konklusi untuk aspek keberterimaan, evaluator pertama
menyatakan bahwa secara umum masih banyak kesalahan-kesalahan gramatikal,

Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016 205


yang meskipun tidak sampai membuat maknanya terdistorsi, dia berpendapat
penerjemah tetap wajib menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan
benar. Penerjemah harus keluar dari kaidah bahasa sumber.
Evaluator kedua menyatakan bahwa pada umumnya terjemahan sudah
terasa natural. Hampir semua kata, frasa, klausa maupun kalimat sudah
diterjemahkan dengan baik ke dalam bahasa Indonesia. Namun ada beberapa
kalimat yang masih terasa seperti karya terjemahan. Bahasa masih kaku dan
kurang berterima. Hal ini terdapat di data no 7 dan 21. Data no 7 BSu: The gentle
feathering of his tongue across her nipples had pushed Heather to a sexual height
shed never achieved before. Yearningly, she brushed her hand across the fly of
his shorts. He made a strangled, groaning sound. Please, Heather. (133)
Dengan terjemahannya Heather nyaris tidak tahan lagi ketika Tanner mulai
menciumi payudaranya. Tangannya membelai celana Tanner dengan penuh
damba. Tanner mengerang dengan suara tercekik. Please, Heather. (193)
Terjemahan ini terlihat menyederhanakan BSu. Penerjemah terlihat tidak mau
menerjemahkan frasa yang terlalu vulgar sehingga menghilangkan frasa tersebut
dalam BSa. Meskipun tidak terlalu mendistorsi makna, efek yang ditimbulkan
kepada pembaca terasa berbeda antara BSu dan BSa. Pada data 21 BSu: The
silence was dense, the tension was tangible. Although she wasnt looking at him,
she felt his eyes moving over her. Her skin tingled, as though his gaze were
actually touching her, leaving brush strokes of heat. Breasts, belly, sex, thighs, all
were touched with his eyes. (303) BSa: Kesunyian terasa mencekam, ketegangan
tak tertahankan lagi. Walaupun tidak melihat, Lara bisa merasakan mata Key
melahap sekujur tubuhnya. Perasaan menggelitik merayapi kulitnya, seolah Key
benar-benar menyentuhnya, membuat tubuhnya panas membara. Tak ada yang
luput dari pandangan lelaki itu. (435) Penerjemah juga tidak menerjemahkan kata-
kata dan frasa yang dianggap terlalu vulgar yaitu kata-kata yang merujuk pada
organ seksual: breasts, belly, sex, thighs, dan memilih penerjemahan langsung
pada kalimat terakhir.
Pada aspek kesepadanan, dua evaluator sepakat bahwa terdapat banyak
frasa, klausa maupun kalimat yang tidak diterjemahkan dengan tepat, banyak
bagian-bagian yang dihilangkan atau dihaluskan terjemahannya. Banyak pesan

206 Penilaian Kualitas Terjemahan (Sulistini Dwi Putranti)


tidak tersampaikan dengan sempurna, sehingga terdapat banyak distorsi makna.
Kedua evaluator juga sepakat bahwa terjemahan kurang ekspresif, tidak seperti
naskah asli dalam BSu. Namun demikian hal tersebut tidak mengganggu
keruntutan pesan yang disampaikan secara keseluruhan.
Berikut catatan-catatan yang diberikan oleh evaluator pertama: terjemahan
data pertama dianggap kurang akurat karena pada BSu terdapat objek kata kerja,
sehingga jelas siapa yang dikenai perbuatan. Sedangkan BSa hanya menggunakan
kata kerja tanpa diikuti objek, sehingga frasa menggosok-gosokkan tubuh
tidak jelas pada apa atau siapa perbuatan tersebut dilakukan. Frasa to have you
finish what you have started then diterjemahkan menjadi memilikimu
seutuhnya. adalah pengalihan pesan yang kurang tepat. BSu menunjukkan
bahwa subjek dalam frasa sedang melakukan sesuatu dan objek yang dikenai
perbuatan menginginkan si subjek untuk menyelesaikan apapun perbuatan yang
sedang dia lakukan. Dalam BSa frasanya diubah menjadi aktif, yaitu si objek
berubah menjadi subjek yang ingin melakukan sesuatu, yaitu memiliki diri subjek.
Pergeseran maknanya menjadi mengganggu pemahaman.
Data 5 tidak diterjemahkan, sehingga makna yang disampaikan menjadi
tidak lengkap. Penerjemah menambahkan satu kata dalam terjemahan data 6 yang
kemudian menghasilkan makna yang rancu. Dalam BSu kegiatan yang dilakukan
bukan kegiatan yang sulit, sehingga tidak memerlukan usaha ekstra, namun dalam
BSa ditambahkan kata berhasil yang memberi kesan setelah mencoba berbagai
hal, akhirnya berhasil melakukannya. Data 12 pada frasa connected to hers
tidak diterjemahkan, padahal frasa ini menggambarkan kegiatan yang sangat
ekspresif yang dilakukan oleh subjek dan objek yang ada di dalam kalimat
tersebut. Demikian juga kata delightful pada frasa delightful discovery tidak
diterjemahkan, padahal kata ini menekankan bahwa mereka berdua sama-sama
baru saja merasakan nikmatnya berciuman.
Data 15 dalam BSu tertulis they kissed again and again, each kiss
piercingly sweet. dalam BSa diterjemahkan menjadi mereka berciuman lagi,
kali ini ciuman mereka terasa manis. Makna yang timbul adalah mereka
berciuman sekali lagi, dan ciuman itu terasa lebih manis dibandingkan dengan
ciuman-ciuman sebelumnya. Makna ini berbeda dari makna yang timbul pada

Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016 207


Bsu. Hal ini juga terjadi dalam data 22 yang dalam BSu berbunyi although she
wasnt looking at him yang diterjemahkan menjadi walaupun tidak bisa
melihat. Terjemahannya memiliki makna yang ambigu: tidak bisa melihat lawan
bicaranya atau tidak bisa melihat karena buta. Sedangkan pesan yang disampaikan
dalam BSu adalah si subjek memang sengaja sedang tidak melihat ke arah dia
(him). Hal ini terjadi juga pada data no 24, 27, 28, 29, 30, 31, 33, 34, dan 41.
Sebagian besar yang tak diterjemahkan tersebut mengganggu pengalihan pesan
yang tepat dan akurat.
Sebagai simpulan, evaluator pertama menyatakan bahwa pergeseran makna
yang terjadi disebabkan oleh tidak diterjemahkannya kata, frasa, klausa maupun
kalimat karena pertimbangan tertentu dari si penerjemah. Sebagian besar juga
diperhalus terjemahannya, dengan menghilangkan detil-detil yang dianggap
terlalu vulgar atau mengganggu. Meskipun banyak detil yang yang hilang, situasi
yang dideskripsikan dalam terjemahan, tentang bagaimana para tokoh
berinteraksi masih tetap dapat dipahami. Mengingat mayoritas pembaca di
Indonesia masih memegang adat ketimuran dan memandang bahwa persetubuhan
pria dan wanita adalah hal yang tabu untuk dibicarakan, sudah sepantasnya jika
penerjemah menghilangkan deskripsi detil tersebut.
Evaluator yang kedua juga sependapat dengan yang pertama, terutama
untuk data 1315. Menurutnya pada data-data ini penerjemah masih bisa
mengganti dengan ungkapan maupun frasa yang lebih umum, dibanding
menghilangkannya. Kata, frasa, klausa dan kalimat dalam Bsu secara umum
sudah diterjemahkan secara akurat kedalam Bsa, namun ada beberapa bagian
kalimat yang terganggu penyampaian pesannya karena ada makna yang hilang.
Selain itu penyampaian pesan yang tidak sesuai dengan bahasa sumber menjadi
kurang akurat karena bagian-bagian yang diterjemahkan secara umum sehingga
maknanya atau pesannya menjadi kurang ekspresif, tidak seekspresif dalam BSu.

SIMPULAN

Menilai kualitas terjemahan memang bukan sesuatu yang mudah, terutama


apabila menerjemahkan teks yang bermuatan kata, frasa, klausa, maupun kalimat

208 Penilaian Kualitas Terjemahan (Sulistini Dwi Putranti)


yang mengandung unsur SARA, pornografi dan sebagainya. Dibutuhkan keahlian
penerjemah dalam mengalihkan pesan dari BSu ke BSa agar pesan tersampaikan
dengan akurat namun tidak menyalahi kaidah dan norma yang terdapat dalam
budaya masyarakat di BSa.
Analisis kualitas terjemahan novel Where There Is Smoke yang ditulis oleh
Sandra Brown, dengan terjemahannya Pencarian yang diterjemahkan oleh
Monica Dwi Chresnayani dilakukan oleh dua orang evaluator yang telah
memenuhi kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.
Hasil analisis dari sekitar 44 data yang diambil dari novel tersebut
dievaluasi melalui tiga aspek yaitu aspek keterbacaan, aspek keberterimaan, dan
aspek kesepedanan. Aspek keterbacaan memperoleh nilai yang tinggi, dalam
artian hampir semua, kata, frasa, klausa dan kalimat diterjemahkan dengan baik
dan runtut, sehingga pembaca dapat memahami cerita secara utuh dan lengkap.
Pembaca tidak mengalami kesulitan sama sekali dalam mengikuti alur cerita
terjemahan.
Aspek keberterimaan juga memperoleh nilai yang tinggi dari kedua
evaluator yang menyatakan bahwa hampir semua kalimat dalam novel terjemahan
tersebut terasa wajar dan natural. Kata, frasa, klausa dan kalimat dalam Bsa sudah
sesuai dengan kaidah struktur dan gramatika bahasa Indonesia, meskipun terdapat
beberapa ungkapan dan kalimat yang masih kurang wajar, dan terbaca sebagai
karya terjemahan.
Aspek kesepadanan memperoleh nilai sedang dari kedua evaluator karena
banyaknya kata, frasa, klausa maupun kalimat yang tidak diterjemahkan dengan
akurat ke dalam Bsa. Hal ini disebabkan si penerjemah memilih memperhalus
atau bahkan membuang bagian-bagian yang dirasa kurang pantas untuk
diterjemahkan. Bagian tersebut dianggap terlalu vulgar, terlalu terus terang dan
eksplisit dalam menggambarkan kegiatan seksual, ataupun organ intim manusia.
Si penerjemah lebih memilih bermain aman karena penerjemahan yang terlalu
eksplisit pasti juga akan disensor oleh pihak penerbit. Namun karena kehati-hatian
penerjemah dalam mengalihkan pesan tersebut telah menyebabkan kekurang
akuratan hasilnya. Masih banyak frasa maupun ungkapan yang lebih halus yang

Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016 209


dapat digunakan untuk mengalihkan pesan tanpa harus mendistorsi makna secara
keseluruhan.
Sebagai rekomendasi untuk penelitian yang akan datang, peneliti perlu
mencari bagaimana kata, frasa, klausa dan dan kalimat yang bermuatan unsur
SARA maupun pornografi dapat dicarikan padanan yang lebih halus namun masih
berterima di dalam kaidah dan norma di masyarakat dalam Bsa. Hal ini perlu
dilakukan agar terjadi keseragaman dan ada aturan yang dapat dianut, sehingga
para penerjemah mengetahui dengan pasti apa yang harus dilakukan ketika
menghadapi dilema penerjemahan seperti itu.

DAFTAR PUSTAKA

Catford J.C. (1965). A Linguistic theory of translation. London: Oxford


University Press
Hoed, Benny H. (2006) Penerjemahan dan kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
ILT Learning Team. (2007). Todi dress up and smile. Yogyakarta: Nyo-nyo
Karneidi, dan Agus Riyanto. (2007). Teori terjemahan: Sebuah pengantar.
Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka
Keraf, Gorys. ( 2008). Diksi dan gaya bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
Larson, Mildred L. (1989). Penerjemahan berdasarkan makna: Pedoman untuk
pemadanan antarbahasa, Alihbahasa: Kencanawati Taniran. Jakarta Arca
Machali, Rochayah. (2000). Pedoman bagi penerjemah. Jakarta: Grasindo
Melis, Nicole Martinez dan Amparo Hurtado Albir. (2001). Assessment In
translation studies: Research needs. Meta XLVI, 2.
Newmark, Peter. (1991). About translation. Multilingual Matters.
Nida, E.A. dan Ch. R. (1969). Taber, The theory and practice of translation.
Den Haag: Brill
Sneill-Hornby, Mary. (1988/ 1955). Translation studies. Amsterdam/
Philadelphia: John Benjamin Publishing Company.
Williams, Malcolm. (2009). Translation quality assessment. Mutatis Mutandis.
Vol. 2

210 Penilaian Kualitas Terjemahan (Sulistini Dwi Putranti)


PENERJEMAHAN PHRASAL VERBS BAHASA INGGRIS
KE DALAM BAHASA INDONESIA

Ambarari Tri Retnoadi

Program Studi Bahasa Inggris Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA


Jl. Pengadegan Raya No. 3 Pancoran Jakarta 12770
ambarari.tr@gmail.com

ABSTRACT
The objective of this research is to analyze the problems related to the translation
of phrasal verbs such as translation forms, translation strategies, translation equivalence
and translation mistakes found in the novel Narnia #5: The Voyage of the Dawn Treader
by C. S. Lewis. The novel was written in English and was translated into Indonesian. The
methodology used in this research is qualitative research. Translation strategies from
Newmark are used to analyze the data. The technique of collecting data was conducted by
analyzing the source text compared to its translation in target text. The data were
analyzed and categorized based on the translation strategies used. The findings showed
that all of the English phrasal verbs had changed in forms when they were translated into
Indonesian. The research also showed that the translator applied several translation
strategies to obtain dynamic equivalence from SL to TL. The strategies are transposition,
modulation, expansion, reduction and couplet. The concept of phrasal verbs which is not
found in TL, the differences in the system and grammatical features in both of the
languages required the translator to apply those strategies to help revealing the meaning
of SL to TL and achieve acceptable translation. The research found seven data with the
mistakes regarding diction which resulted unnatural meaning; therefore, the message
was not transferred to TL.

Keywords: phrasal verbs, strategies, equivalence, shift

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang
penerjemahan phrasal verbs yang terkait dengan bentuk penerjemahan, strategi
penerjemahan, kesepadanan penerjemahan dan penyimpangan yang terdapat dalam
terjemahan phrasal verb novel Narnia #5: The Voyage of the Dawn Treader karya C. S.
Lewis dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Metode dalam penelitian ini
adalah kualitatif .Teori strategi penerjemahan Newmark digunakan sebagai pisau
analisis dalam penelitian ini. Data-data yang ditemukan kemudian dianalisis dan
dikelompokkan sesuai dengan strategi penerjemahannya. Setelah itu kesimpulan dibuat
sebagai hasil akhir dari penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua
penerjemahan phrasal verbs mengalami perubahan bentuk ketika diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia. Penerjemah menerapkan beberapa strategi penerjemahan guna
mencapai kesepadanan dinamis. Strategi-strategi yang digunakan adalah transposisi,
modulasi, ekspansi, reduksi dan couplet. Konsep phrasal verbs yang tidak didapatkan
dalam BSa, perbedaan sistem dan ciri tata bahasa kedua bahasa mengharuskan
penerjemah menerapkan strategi penerjemahan yang sesuai untuk membantu
pengungkapan pesan BSu ke dalam BSa agar menghasilkan terjemahan yang sepadan

Penerjemahan Phrasal Verbs (Ambarari Tri Retnoadi) 211


dan berterima dalam hal makna. Hasil analisis menemukan tujuh data yang terdapat
penyimpangan karena kesalahan pilihan kata terjemahan yang berdampak terhadap
makna yang tidak sepadan sehingga menghasilkan pesan yang kurang berterima dengan
konteks cerita.

Kata kunci: phrasal verbs, strategi penerjemahan, kesepadanan penerjemahan,


Pergeseran

PENDAHULUAN

Penerjemahan dapat menjadi sulit tatkala beberapa istilah dalam bahasa


sumber (untuk selanjutnya disebut BSu) tidak ditemukan dalam bahasa sasaran
(untuk selanjutnya disebut BSa) sehingga penerjemah perlu mencari padanan kata
tanpa mengubah esensi makna kalimat yang dimaksud. Berbekal kenyataan itulah
maka kesepadanan teks sumber (untuk selanjutnya disebut TSu) dengan teks
sasaran (untuk selanjutnya disebut TSa) adalah suatu hal yang problematik oleh
karena adanya perbedaan-perbedaan yang ditemukan pada aspek linguistis
(morfologis, sintaksis, semantis) dan juga pada aspek kultural antara BSu dan
BSa. Seperti yang dinyatakan oleh Nord (1991) yang membagi masalah
penerjemahan ini dalam empat kategori: masalah penerjemahan yang berkenaan
dengan fitur spesifik dalam BSu seperti permainan kata-kata, masalah
penerjemahan pragmatis, masalah penerjemahan yang berkaitan dengan
perbedaan budaya, dan masalah penerjemahan yang timbul dari perbedaan
struktur BSu dan BSa.
Phrasal verb dalam bahasa Inggris dapat menjadi masalah dalam
penerjemahan karena phrasal verb adalah bentuk khusus yang tidak terdapat
dalam konsep bahasa Indonesia. Phrasal verbs merupakan materi yang selalu
ditemukan dalam buku-buku teks sumber bahasa Inggris, seperti novel dan buku-
buku ajar dari tingkat pemelajar dasar bahasa Inggris (beginner) sampai tingkat
lanjut (advanced). Contoh phrasal verb adalah look after. Terbentuk dari verba
look yang secara literal artinya melihat dan preposisi after yang artinya sesudah.
Penggabungan keduanya kemudian membentuk beberapa arti kata kerja yang
sama sekali baru dari arti literalnya yakni menjaga, memelihara, atau mengurus
sesuatu atau seseorang (Echols dan Shadily, 2000). Kata terjemahan mana yang
dipilih harus disesuaikan dengan konteks kalimat dimana look after terdapat

212 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016


didalamnya. Dari contoh ini dapat terlihat bagaimana gabungan dua kata dapat
membentuk satu kata yang benar-benar baru artinya.
Penerjemah tidak hanya berhadapan dengan perbedaan-perbedaan sistem
kedua bahasa, tetapi juga harus mampu memasukkan pesan yang sama dengan
pesan yang ingin disampaikan penulis asli kepada pembaca dengan pertimbangan
pembaca target yang berperan penting dalam menentukan hasil terjemahan
phrasal verbs. Ketidaktahuan penerjemah mengenai salah satu dari aspek-aspek
itu akan menghasilkan terjemahan yang tidak berterima.
Penulis memilih serial novel The Chronicles of Narnia yang adalah serial
novel fantasi yang dikarang oleh penulis dan pengarang fiksi, non fiksi dan puisi
terkenal yaitu Clive Staples Leiws atau lebih dikenal dengan sebutan C.S. Lewis
(1898-1963). Alasan pertama, tujuh serial novelnya termasuk novel laris yang
tetap menjadi favorit hingga sekarang tidak hanya untuk anak-anak dan remaja,
tapi juga untuk semua lapisan umur yang membacanya. Tercatat ada lebih dari 95
juta kopi serial novel Narnia telah terjual ke seluruh dunia sejak pertama kali
diterbitkan tahun 1950. Ditambah lagi serial novel ini telah diterjemahkan ke
dalam 41 bahasa. Narnia ditulis oleh Lewis pada rentang tahun 1950 sampai 1956
dan menjadi karya terbaiknya sepanjang masa. Alasan kedua karena novel ini
sarat dengan pesan moral dengan menghadirkan cerita fantasi khas anak-anak dan
remaja. Dengan kata lain, kekhasan dunia anak-anak tetap harus tampak dalam
terjemahannya.
Dari semua novelnya, penulis mencoba menelaah penerjemahan phrasal
verbs dalam The Voyage of the Dawn Treader yang diterjemahkan menjadi
Petualangan Dawn Treader. Kalimat bermuatan phrasal verbs banyak ditemukan
dalam novel ini yang dapat dijadikan data dalam kajian penelitian ini.

TEORI PENERJEMAHAN

Penerjemahan seperti yang dikatakan Bell (1991) adalah penggantian teks


dari bahasa pertama dengan teks yang sepadan menggunakan bahasa kedua. Ini
berarti penerjemahan harus sedapat mungkin mendekati kesepadanan dengan
pesan yang ingin disampaikan dalam BSu. Hal ini senada dengan yang diutarakan

Penerjemahan Phrasal Verbs (Ambarari Tri Retnoadi) 213


Hoed (2006) bahwa idealnya TSa berisi pesan yang sepadan dengan pesan dalam
TSu. Dalam hal ini, maknalah yang harus dipertahankan walaupun harus
mengubah bentuk (Larson, 1984). Kesepadanan yang coba didapatkan dalam hasil
terjemahan membuat penerjemah harus menerapkan prosedur atau strategi yang
tepat. Strategi yang dipilih akan membawa pergeseran dalam penerjemahan oleh
karena perbedaan sistem dan kultural antara BSu dan BSa.
Metode penerjemahan menjadi salah satu landasan bagi penerjemah dalam
menentukan hasil terjemahannya. Newmark mengemukakan delapan metode
penerjemahan yang menjadi acuan para penerjemah dalam menghadapi teks
terjemahan dari berbagai disiplin ilmu. Empat metode penerjemahan berorientasi
pada BSu yaitu penerjemahan kata demi kata, penerjemahan harfiah,
penerjemahan setia, penerjemahan semantis, dan empat lainnya berorientasi pada
BSa yaitu saduran, penerjemahan bebas, penerjemahan idiomatis, penerjemahan
komunikatif. Metode penerjemahan ini selanjutnya mengarah pada strategi yang
dikembangkan oleh penerjemah yang keberadaannya sangat ditentukan oleh
tujuan penerjemahan serta pembaca target TSa.
Penelitian ini selanjutnya mengacu pada teori yang diusung oleh Newmark
sebagai pisau analisis dalam mengelompokkan jenis-jenis strategi yang digunakan
penerjemah untuk menerjemahkan phrasal verbs dalam novel yang dianalisis oleh
penulis. Strategi penerjemahan yang dijabarkan oleh Newmark (1988) lebih
terperinci. Newmark menyebut strategi penerjemahan ini dengan istilah prosedur
penerjemahan. Prosedur penerjemahan yang diusulkan oleh Newmark yaitu
transferensi, naturalisasi, ekuivalensi budaya, ekuivalensi fungsional, ekuivalensi
deskriptif, sinonimi, lintas-terjemah (calque), transposisi, modulasi, penerjemahan
resmi, kompensasi, reduksi dan ekspansi, couplets, parafrasa, pemberian catatan.

PHRASAL VERBS

Beberapa pakar memberikan definisi phrasal verbs yang banyak ditemukan


dalam bahasa Inggris ini. Kridalaksana (2008) memberikan definisi phrasal verbs
sebagai konsep yang ada dalam bahasa Inggris yang merupakan verba yang terdiri
dari verba penuh dan partikel seperti get up dan take off. Bentuk ini unik dan khas

214 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016


karena merupakan makna baru yang dihasilkan dari kombinasi satu kata kerja
dengan satu partikel (kata keterangan atau preposisi).Hasil dari penggabungan ini
bersifat idiomatis. Artinya, makna tidak dapat diperoleh langsung dengan
mengartikan kata itu secara terpisah atau tidak dapat langsung merujuk pada arti
leksikalnya dalam kamus.
Makna yang berbeda dari arti literalnya juga terjadi pada idiom, namun
perbedaan antara phrasal verbs dan idiom terletak pada pembentukan frasanya.
Phrasal verbs terbentuk dari verba dan partikel yaitu adverbia atau preposisi atau
dapat juga keduanya, sehingga ketika verba digabungkan bukan dengan partikel
tapi dengan nomina, misalnya, maka itu bukanlah phrasal verbs. Jaszczolt (2002)
memberikan contoh perbedaan antara phrasal verb dan idiom yaitu put up with
yang terbentuk dari verba dan partikel adalah phrasal verb sedangkan kick the
bucket yang terbentuk dari verba dan nomina adalah idiom. Makna dari kata-kata
itu dapat muncul dengan cara memeriksa kaitannya dengan konteks kalimat dan
sistem bahasa yang diacunya.
Greenbaum dan Nelson (2002) menyatakan phrasal verbs atau disebut juga
dengan kata kerja multi-kata (multi-word verbs) adalah kombinasi dari sebuah
kata kerja (verba) dengan satu kata atau lebih. Bentuk ini disebut kata kerja multi-
kata karena berfungsi sebagai kata kerja tunggal. Hornby (2000) juga menegaskan
hal yang sama bahwa phrasal verbs yang terkadang juga disebut kata kerja multi-
kata adalah verba yang terdiri dari dua, atau kadang tiga kata. Kata yang pertama
adalah verba yang diikuti oleh adverbia (seperti turn down) atau preposisi (seperti
eat into) atau keduanya (seperti put up with). Adverbia atau preposisi yang
mengikuti verba ini juga dapat disebut dengan partikel. Dengan demikian, phrasal
verb adalah bentuk yang khas yang dimiliki oleh bahasa Inggris secara khusus
karena bahasa Inggris kerap menggunakan bentuk seperti ini untuk membuat
kalimat yang tidak terlalu formal.
Pembentukan phrasal verb tidak memiliki aturan khusus dalam
penggabungan verba dan partikelnya, sehingga terkadang makna dari phrasal verb
itu pun tidak dapat diprediksi apalagi diterjemahkan secara bebas tanpa melihat
konteks kalimatnya. Terlebih lagi, satu phrasal verb dapat memiliki beberapa arti
baru yang sama sekali berbeda artinya satu sama lain. Contohnya phrasal verb

Penerjemahan Phrasal Verbs (Ambarari Tri Retnoadi) 215


carry out yang mempunyai arti menyelesaikan atau dapat juga berarti
melaksanakan. Bahasa Inggris mempunyai variasi dan arti phrasal verb yang
sangat beragam serta frekuensi penggunaan yang tinggi. Oleh karena itu, phrasal
verb dapat dengan mudah didapatkan dalam .berbahasa Inggris, bahkan dipelajari
mulai dari tingkat dasar pemelajar bahasa Inggris sampai tingkat lanjut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian, maka penelitian ini


merupakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik analisis isi (content
analysis), yaitu teori penerjemahan berdasarkan teks terjemahannya. Di dalam
penelitian ini, fakta yang dimaksud adalah data phrasal verbs yang terdapat di
dalam novel Narnia #5: The Voyage of the Dawn Treader sebagai teks sumber
yang diperbandingkan dengan terjemahannya dalam novel yang berjudul
Petualangan Dawn Treader.
Prosedur penelitian yang membandingkan TSu dengan TSa membuat
penelitian ini tergolong sebagai penelitian yang berorientasi kepada teks sumber.
Karena penelitian ini menggunakan hasil karya seseorang yang merupakan
sumber data, maka penelitian ini dapat digolongkan sebagai penelitian
kepustakaan (studi kepustakaan).
Data penelitian ini adalah penerjemahan phrasal verbs yang banyak terdapat
dalam novel Narnia #5: The Voyage of the Dawn Treader sebagai TSu karya C.S.
Lewis yang pertama kali diterbitkan tahun 1952, dan terjemahannya dalam bahasa
Indonesia sebagai TSa yang terjemahannya dikerjakan oleh Indah S. Pratidina dan
pertama kali diterbitkan tahun 2010 oleh PT Gramedia Pustaka Utama dengan
judul Petualangan Dawn Treader. Teks sumber terdiri atas 248 (dua ratus empat
puluh delapan) halaman, sedangkan teks sasaran terdiri atas 340 (tiga ratus empat
puluh) halaman. Keduanya memiliki 16 (enam belas) bab. Dari 16 bab yang ada
dalam TSu dan TSa, peneliti akan menganalisis delapan bab pertama yang diambil
sebagai sampel. Sampel yang dipilih adalah kalimat-kalimat bermuatan phrasal
verbs yang dianggap sudah mewakili persyaratan sebagai bahan kajian.

216 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016


Penentuan phrasal verbs dilakukan secara purposive. Kalimat-kalimat
bermuatan phrasal verbs yang diterjemahkan dalam novel Narnia #5: The Voyage
of the Dawn Treader dikumpulkan untuk kemudian dianalisis bentuk, strategi,
kesepadanan dan penyimpangan yang terdapat dalam penerjemahannya. Teknik
analisis data yang digunakan yaitu teknik analisis isi model Philipp Mayring.
Secara kualitatif, analisis isi dapat melibatkan suatu jenis analisis, dimana isi
komunikasi (percakapan, teks tertulis, wawancara, fotografi, dan sebagainya)
dikategorikan dan diklasifikasikan. Keabsahan data dilakukan dengan kriteria
kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas dan konfirmabilitas (Emzir, 2010).
Untuk itu, dalam menganalisis data, langkah-langkah yang akan penulis lakukan
adalah sebagai berikut:
1. Mencatat semua kalimat yang mengandung phrasal verbs yang terdapat
dalam teks sumber. Kemudian data-data tersebut dikelompokkan dan
diberi nomor urut.
2. Mencatat semua kalimat dalam teks sasaran yang merupakan terjemahan
dari kalimat yang mengandung phrasal verbs dalam teks sumber. Data-
data tersebut juga dikelompokkan berdasarkan strategi penerjemahannya
dan diberi nomor urut.
3. Selanjutnya semua data tersebut akan dianalisis, untuk mengetahui apakah
phrasal verbs dalam teks sumber yang diterjemahkan ke dalam teks
sasaran mengalami perbedaan makna, bentuk dan terjadi penyimpangan.
Untuk menjamin keakuratan analisis, phrasal verb yang ditemukan dalam
TSu akan dirujuk kepada kamus ekabahasa Inggris-Inggris Phrasal Verbs terbitan
Longman (2000) dan terjemahannya dalam bahasa sasaran kepada kamus
bilingual Inggris-Indonesia (Echols dan Shadily, 2000). Kamus phrasal verbs
ekabahasa Inggris-Inggris terbitan Longman dipilih penulis karena kamus ini
direkomendasikan oleh Newmark sebagai kamus terpercaya untuk penerjemah
mencari arti phrasal verbs (Newmark, 1988).
Tidak ada penemuan penerjemahan phrasal verb yang sama dalam segi
bentuk. Artinya, penerjemahan tidak mementingkan pada kesepadanan kelas kata,
struktur atau gramatika dalam hasil terjemahan, melainkan lebih mementingkan
aspek tercapainya kesepadanan makna. Penerjemahan phrasal verbs akhirnya

Penerjemahan Phrasal Verbs (Ambarari Tri Retnoadi) 217


memang mengalami pergeseran oleh karena penerjemah harus menggunakan
beberapa strategi yang tidak dapat dihindarkan guna mendapatkan kesepadanan
makna BSu ke dalam BSa. Maka penerjemahan novel ini menggunakan metode
komunikatif yang, seperti dikatakan Newmark (1988), mencoba memberikan
pesan atau arti kontekstual yang terdapat dalam TSu dengan setepat mungkin,
sehingga baik segi bahasa maupun isinya berterima dan dapat dimengerti tanpa
harus menerjemahkan secara bebas.
Sebagian besar penerjemahan phrasal verbs dalam data yang ditemukan
bergeser menjadi verba. Strategi yang paling banyak digunakan oleh penerjemah
adalah transposisi. Strategi ini terbukti efektif dalam mempertahankan makna
yang sepadan dari BSu ke dalam BSa.
Terdapat seratus empat puluh satu kalimat bermuatan phrasal verbs di
dalam novel Narnia #5: The Voyage of the Dawn Treader. Phrasal verbs itu
diterjemahkan menggunakan strategi yang berbeda. Ada lima strategi yang
digunakan penerjemah yakni transposisi, modulasi, ekspansi, reduksi dan couplet.
Berikut ini adalah sebaran penerjemahan phrasal verbs Narnia #5: The Voyage of
the Dawn Treader dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dalam bentuk tabel
persentase:

No. Penerjemahan Phrasal Verbs Bahasa Inggris Jumlah Persentase


ke dalam Bahasa Indonesia

1. Transposisi 72 51,06%

2. Ekspansi 29 20,57%

3. Modulasi 14 9,93%

4. Couplet 13 9,22%

5. Reduksi 6 4,26%

6. Penyimpangan 7 4,96%

Jumlah 141 100%

Berikut ini contoh kalimat yang diterjemahkan dengan menggunakan strategi


transposisi:

218 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016


Data 1
BSu: He realized that he was a monster cut off from the whole human race. (hlm. 92)
BSa: Dia menyadari kini dia monster yang tersingkirkan dari seluruh umat manusia.
(hlm. 130).

Yang pertama, phrasal verb cut off mengalami pergeseran bentuk menjadi
verba. Yang kedua, pada BSu, phrasal verb cut off ini dinyatakan dalam bentuk
partisium. Artinya, kalimat pada BSu sebenarnya mengandung pronominal relatif
who was, sehingga kalimat penuhnya seharusnya He realized that he was a
monster (who was) cut off from the whole human race. Namun pronominal
relatif ini bersifat manasuka sehingga dapat dihilangkan keberadaannya dalam
kalimat tanpa mengubah arti kalimat itu sendiri. Pada BSa, bentuk ini dinyatakan
secara penuh dan eksplisit dengan menaruh perangkai yang. Perangkai yang
wajib hadir dalam penerjemahannya karena tanpa yang ada konstruksi lain, yaitu
kalimat monster tersingkirkan dari seluruh umat manusia. Bandingkan dengan
frasa anak (yang) cerdas. Frasa ini menggunakan perangkai yang secara
manasuka (optional). Artinya, baik frasa anak cerdas maupun anak yang
cerdas mempunyai arti yang sama, sehingga perangkai tidak wajib digunakan
(Sulistyowati, 2012).
Penerjemahan di atas menunjukkan telah terjadi pergeseran bentuk untuk
menerjemahkan phrasal verbs cut off sesuai dengan yang dikatakan Machali
(2009) bahwa pergeseran dapat dilakukan karena alasan kewajaran ungkapan,
yang jika diterjemahkan secara harfiah ke dalam BSa melalui cara gramatikal,
akan menghasilkan padanan yang kaku dan tidak berterima dalam BSa.
Sebagian besar penggunaan strategi transposisi dari data yang ditemukan
menggeser kelas kata yaitu dari phrasal verb menjadi verba, meskipun tidak
sedikit juga terjadi pergeseran unit dari phrasal verb ke frasa. Akibatnya, kalimat
terjemahan menjadi lebih panjang dari TSu karena ada bagian yang disesuaikan di
dalam TSa. Berikut diberikan contohnya:

Data 2
BSu: After a bit the lion took me out and dressed me (hlm.110)
BSa: Setelah beberapa lama si singa menyuruhku keluar dan memakaikanku baju
(hlm. 153)

Penerjemahan Phrasal Verbs (Ambarari Tri Retnoadi) 219


Phrasal verb took out yang ada pada kalimat di atas, tidak diterjemahkan
oleh penerjemah menjadi verba mengeluarkan melainkan dengan frasa
menyuruhku keluar. Pilihan untuk menerjemahkan phrasal verb ini ke dalam
bentuk frasa karena kalimat di atas bercerita mengenai suatu kondisi dimana si
tokoh, yaitu Eustace, dilempar ke air dan bertemu dengan singa yang agung
yang merupakan representasi dari seseorang yang dimuliakan serta mempunyai
kuasa penuh atas diri Eustace. Maka dapat dikatakan bahwa terjemahan yang
diberikan menjadi tepat dan sejalan dengan pertalian cerita oleh karena kalau
diteliti sebenarnya, dalam cerita, sang singa tidak secara harfiah mengeluarkan
tokoh Eustace, tapi memberi perintah untuk keluar selayaknya seorang
pemimpin besar memberi perintah yang harus dipatuhi.
Ada 14 kalimat yang diterjemahkan dengan menggunakan strategi modulasi.
Contoh berikut merupakan kalimat bermuatan phrasal verb yang diterjemahkan
dengan menggunakan strategi tersebut:

Data 3
BSu: Caspian now suggested that they might like to be shown over the ship before
supper, but Lucys conscience smote her. (hlm. 23-24)
BSa: Caspian kini mengajukan ide bahwa mereka mungkin ingin melihat-lihat kapal
sebelum makan malam, tapi hati kecil Lucy menyadarkannya (hlm. 38)

Hoed (2006) mengatakan, dalam modulasi, penerjemah memberikan


padanan yang secara semantik berbeda sudut pandang artinya atau cakupan
maknanya, tetapi dalam konteks, yang bersangkutan memberikan pesan atau
maksud yang sama. Pada contoh kalimat di atas, kita melihat makna pasif atau
sudut pandang pasif diterjemahkan menjadi aktif. Bentuk pasif dalam bahasa
Inggris salah satunya dibentuk dari ovula (to be) yang diikuti oleh kata kerja
bentuk ketiga atau dinamakan past participle (Murphy, 1985). Jadi kalimat di atas
yaitu to be shown over yang terdapat phrasal verbs show over didalamnya
adalah bentuk pasif. Terbentuk dari verba show yang diturunkan ke bentuk ketiga
atau past participle yaitu shown dan diletakkan setelah ovula be.
Penerjemah menggeser sudut pandang dari bentuk pasif menjadi aktif untuk
tetap menitikberatkan pada subjek yang sama, yaitu pada tokoh dan bukan pada

220 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016


kapal agar sejalan dengan kalimat dimana terdapat dua kegiatan yang dilakukan
oleh subjek yang sama didalamnya, yaitu para tokoh yang ingin melihat-lihat
kapal dan sebelum mereka pergi makan malam. Dengan melakukan pergeseran ke
dalam bentuk aktif, kalimat menjadi runtut dan dapat lebih mudah diikuti.
Sebagian besar penerjemahan phrasal verb yang menggunakan strategi
modulasi mengubah sudut pandang dari aktif menjadi pasif. Strategi ini berhasil
dalam mempertahankan makna dan pesan cerita dengan tetap menerjemahkan
phrasal verb yang terkandung dalam kalimat secara berterima. Berikut ini akan
dibahas contoh penerjemahan modulasi yang paling banyak ditemukan, yaitu yang
mengubah sudut pandang aktif menjadi pasif:

Data 4
BSu: Let everything be as trim and scoured as if it were the morning of the first battle in
a great war between noble kings with all the world looking on. (hlm. 51)
BSa: Persiapkan segalanya serapi dan seberkilau mungkin seolah pagi ini adalah pagi
pertempuran pertama dan dalam perang besar antara raja-raja mulia yang disaksikan
seluruh dunia. (hlm. 74)

Kalimat di atas bermuatan phrasal verb yaitu looking on yang terbentuk


dari verba look yang ditambahkan ing dan preposisi on menandakan bahwa
phrasal verb itu mempunyai bentuk aktif. Perlu untuk dipahami bahwa kalimat
aktif dalam bahasa Inggris mempunyai beberapa cara dalam pembentukannya.
Dua diantaranya dapat dengan meletakkan verba asli (infinitive) langsung setelah
subjek jamak, atau dapat juga verba ini diletakkan setelah ovula (to be). Untuk
verba yang diletakkan setelah ovula, maka verba tersebut harus diberi tambahan
ing (Murphy, 1985). Oleh sebab itu, jika diteliti kembali, phrasal verb di atas
merupakan bentuk partisium atau sebenarnya ada pronominal relatif yang
dilesapkan namun bersifat manasuka karena tidak mungkin all the world
langsung diikuti oleh verba looking tanpa sebelumnya diletakkan ovula are
atau were. Klausa dengan muatan phrasal verb itu seharusnya dapat ditulis all
the world (which were) looking on yang dapat diterjemahkan ke dalam bentuk
aktif juga yaitu (yang) seluruh dunia menyaksikan. Dalam hal ini, makna

Penerjemahan Phrasal Verbs (Ambarari Tri Retnoadi) 221


kalimat dalam BSu akan tetap sama tanpa harus menaruh pronominal relatif
which were.
Namun ternyata penerjemah lebih memilih untuk mengubah sudut pandang
agar tidak terjadi kerancuan subjek antara perang besar antara raja-raja mulia
dan dunia. Jika tidak diubah menjadi bentuk pasif, terjemahan menjadi kurang
rapi dan terkesan tidak wajar. Penerjemah juga secara cermat menaruh hal yang
lebih penting dan disoroti yang berkaitan dengan kesinambungan isi cerita kepada
perang besar antara raja-raja mulia, yang dikatakan dalam kalimat di atas untuk
dipersiapkan segalanya serapi dan seberkilau mungkin, sebagai subjek dan
bukan kepada dunia yang menyaksikan. Untuk itu, terjemahannya pun harus
disesuaikan dengan menempatkan dunia sebagai objek, dan itu berarti
menggesernya ke dalam bentuk pasif.
Selanjutnya, penerjemah tetap menaruh perangkai yang meskipun
perangkai ini sebenarnya dimasukkan dalam makna implisit pada BSu. Hal ini
sejalan dengan yang dikatakan Larson (1984) bahwa makna implisit harus dapat
disampaikan dengan baik dalam terjemahan karena makna implisit tetap
merupakan bagian dari teks jadi tidak boleh ditinggalkan. Ia kemudian
menambahkan penerjemahan makna implisit perlu dilakukan jika penerjemah
merasa perlu menyampaikan makna yang lebih tepat atau untuk mendapatkan
kewajaran bentuk dalam terjemahan. Makna implisit ini perlu dieksplisitkan jika
TSu mempunyai pesan yang tidak dapat dialihkan jika tidak dituliskan. Dalam hal
ini terlihat sekali lagi bahwa penerjemah secara jitu melihat bahwa untuk menjaga
fokus cerita dan kenikmatan membaca, diperlukan penyesuaian dengan strategi
modulasi untuk menyampaikan pesan secara lebih efektif. Dikatakan oleh
Nababan (2003) bahwa gaya bahasa sastra termasuk gaya bahasa yang indah, jadi
diperlukan suatu sudut pandang yang tepat. Jika demikian halnya, pihak pembaca,
dengan mempertimbangkan pertalian alur cerita bagi kenikmatan membaca TSa,
perlu mendapatkan perhatian.
Penggunaan strategi couplet cukup menjadi pilihan penerjemah dalam
menerjemahkan phrasal verb dalam novel. Penerjemah menggunakan strategi
gabungan ini untuk menerjemahkan satu kalimat dimana terdapat lebih dari satu
phrasal verbs yang memerlukan cara pendekatan yang berbeda dalam

222 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016


penerjemahannya karena berkaitan dengan struktur, alur cerita ataupun gaya
bahasa yang dianggap paling tepat dan wajar. Berikut adalah contoh kalimat yang
diterjemahkan dengan strategi couplet:

Data 5
BSu: He thought of course that they were making it all up; and as he was far too stupid
to make anything up himself, he did not approve of that. (hlm.7)
BSa: Tentu saja dia berpikir anak-anak Pevensie telah mengarang semua cerita, dan
karena dia terlalu bodoh untuk bisa mengarang apa pun sendiri, dia tidak menyukai ini.
(hlm. 16)

Kalimat di atas mempunyai dua phrasal verb yang terbentuk dari verba
make dan preposisi up, namun dengan bentuk yang berbeda yaitu making it all up
dan make anything up. Make up dalam kalimat ini bermakna mengarang (cerita)
atau mengada-ada. Making merupakan derivasi dari verba dasar make. Dalam
bahasa Inggris, bentuk verba yang diberi tambahan ing mengindikasikan kata itu
memakai bentuk kala continuous yang digunakan untuk kejadian yang sedang
berlangsung (Murphy, 1985). Jika diamati lagi, maka terlihat bahwa aspek kala
yang digunakan pada phrasal verb making it all up adalah past continuos tense.
Aspek kala ini dapat terlihat dari pemberian ovula were sebelum verba making.
Artinya konteks kalimat ini merujuk pada kegiatan yang berlangsung di masa
tertentu pada waktu yang lampau. Penerjemah menggeser aspek kala ini menjadi
kegiatan yang sudah selesai dilakukan tokoh dengan memberikan adverbia telah.
Berarti terjadi pergeseran tataran atau transposisi.
Masih kalimat yang sama, terdapat satu lagi phrasal verb yaitu make
anything up. Penerjemah menambahkan modalitas bisa dan partikel penegas
-pun. Hal ini dilakukan pada phrasal verb yang kedua meskipun sebenarnya
mempunyai arti yang mirip dengan yang pertama, berfungsi untuk mengeraskan
arti kata yang diiringi partikel penegas itu. Kedua phrasal verbs di atas yang
diterjemahkan dengan strategi couplet ini menghasilkan terjemahan yang terjaga
gaya bahasanya.
Terdapat 1 data yang memakai strategi couplet walaupun hanya terdapat 1
phrasal verb didalamnya. Hal itu dilakukan penerjemah karena memang kalimat

Penerjemahan Phrasal Verbs (Ambarari Tri Retnoadi) 223


belum mencapai keakuratan jika diterjemahkan hanya dengan satu pendekatan
atau strategi.

Data 6
BSu: At least, if its really goldsolid golditll be far too heavy to bring up. (hlm.
125)
BSa: Setidaknya, kalau itu memang benar-benar terbuat dari emasemas murnibakal
terlalu berat untuk bisa diangkat ke permukaan. (hlm.174)

Phrasal verb bring up dalam kalimat di atas adalah verba aktif yang
mempunyai arti mengangkat. Hal ini dapat ditelusuri pada penggunaan kata to
dan diikuti oleh verba asli bring yang berarti kalimat itu mempunyai bentuk aktif.
Salah satu pembentukan kalimat aktif pada bahasa Inggris adalah dengan
menggunakan bentuk to ditambah dengan verba asli (infinitif). Untuk membuat
kalimat menjadi pasif, bentuknya harus menjadi to+be+past participle.
Pada penerjemahannya, penerjemah menggeser bentuk aktif ini ke dalam
bentuk pasif. Strategi yang diterapkan penerjemah adalah strategi modulasi.
Machali (2009) menyebut konsep modulasi seperti ini sebagai modulasi wajib
yang dilakukan apabila suatu kata, frasa, atau struktur tidak ada padanannya
dalam BSa. Machali selanjutnya memberikan contoh kalimat dengan infinitive of
purpose yang mempunyai bentuk aktif dalam bahasa Inggris yakni the problem is
hard to solve yang diterjemahkan menjadi masalah itu sukar dipecahkan. Jika
penerjemah tetap mempertahankan bentuk aktif untuk menerjemahkan kalimat di
atas, tentu makna dan pesannya menjadi berbeda sekaligus membingungkan bagi
pembaca.
Phrasal verb bring up di atas juga menggunakan strategi yang kedua yaitu
strategi ekspansi dengan menambahkan frasa preposisional ke permukaan dan
modalitas bisa sebelum verba pasif. Strategi ini tepat dilakukan berkenaan dengan
kesinambungan cerita untuk menggambarkan suatu benda yang terlalu berat untuk
diangkat dari dasar kolam sehingga perlu ditambahkan frasa preposisional ke
permukaan, dan perlu ditegaskan dengan modalitas bisa.

224 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016


Penggunaan strategi couplet merupakan strategi yang dapat dijadikan
alternatif ketika satu strategi saja belum mampu untuk membuat terjemahan
akurat, jelas dan wajar seperti kriteria terjemahan yang baik yang dikemukakan
Larson (1984). Vinay dan Darbelnet (2000) mengatakan bahwa berbagai strategi
yang digunakan untuk pendekatan penerjemahan dapat digunakan sendiri ataupun
dikombinasikan dengan satu atau lebih strategi yang lain.
Strategi ekspansi merupakan strategi yang banyak dipakai oleh penerjemah
dalam novel ini untuk memperoleh terjemahan phrasal verb yang berterima
dengan konteks dalam cerita. Berikut ini contoh kalimat yang diterjemahkan
dengan menggunakan strategi ekspansi:

Data 7
BSu: While she was noting these things and wondering at a sinister change which had
come over the very noise of the wind, Drinian cried, All hands on deck. (hlm. 68)
BSa: Ketika Lucy memperhatikan hal-hal ini dan bertanya-tanya apa yang menyebabkan
perubahan mengerikan yang datang bersamaan suara angin, Drinian berteriak, Semua
awak di dek. (hlm. 97)

Phrasal verb come over pada kalimat di atas yang diartikan datang.
Phrasal verb pada BSu langsung diikuti oleh pelengkap the very noise of the
wind, namun dalam penerjemahannya ditambahkan kata bersamaan karena
terjemahan menjadi tidak berterima apabila verba datang langsung diikuti oleh
pelengkap suara angin. Itu berarti ekspansi atau penambahan pada kalimat di atas
memang wajib dilakukan.
Penggunaan strategi reduksi menempati urutan terakhir untuk strategi yang
digunakan penerjemah dalam menerjemahkan phrasal verb. Artinya, strategi ini
bukanlah pilihan utama penerjemah dan phrasal verb, yang meskipun
keberadaannya khas dalam bahasa Inggris, ternyata masih dapat diterjemahkan
dengan dicari padanannya. Perlu dicermati bahwa penggunaan strategi reduksi
tidak terlepas dari kesatuan makna dalam konteks cerita. Berikut adalah contoh
kalimat yang diterjemahkan dengan strategi reduksi:

Penerjemahan Phrasal Verbs (Ambarari Tri Retnoadi) 225


Data 8
BSu: You are one of those seven lords of Narnia whom my Uncle Miraz sent to sea and
whom I have come out to look for (hlm. 46)
BSa: Kau salah satu dari tujuh lord Narnia yang dikirim pamanku Miraz mengarungi
lautan dan yang kucari dalam perjalanan ini (hlm. 68)

Kalimat di atas mempunyai dua phrasal verbs didalamnya, yaitu come out
yang berarti keluar dan look for yang berarti mencari. Namun penerjemah
ternyata hanya menerjemahkan satu phrasal verb saja yaitu look for karena jika
come out diterjemahkan, kalimat akan menjadi kaku atau tidak wajar serta tidak
berpadanan dengan konteks cerita. Penerjemah hanya menerjemahkan look for
yang diterjemahkan kucari agar kalimat menjadi natural dan tidak mengubah
makna kalimat. Dengan menggunakan strategi ini, kalimat di atas menjadi akurat,
wajar dan tidak terjadi redundansi. Seperti yang dikatakan Baker (1992), strategi
ommision mungkin terdengar agak drastis, tapi dalam konteks tertentu,
penghilangan sebuah kata atau ungkapan dalam menerjemahkan justru untuk
mempermudah pemahaman makna, jika kata atau ungkapan itu sebenarnya tidak
terlalu penting dalam pengembangan teks.
Pada akhirnya, semua penerjemahan yang ditemukan dengan menggunakan
berbagai strategi di atas telah mencapai kesepadanan makna dan berterima dengan
baik dalam TSa karena pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca utuh dan
tidak ada yang menimbulkan kerancuan.
Selain temuan strategi penerjemahan yang digunakan, ada tujuh terjemahan
phrasal verbs atau 4,96% yang terdapat penyimpangan. Penyimpangan ini
merupakan akibat kesalahan leksikal yaitu kesalahan dalam memilih dan
menentukan padanan kata dari BSu ke BSa yang dapat berakibat pada
kekurangakuratan dalam penyampaian pesan yang terdapat dalam BSu. Sager di
dalam Basil Hatim dan Ian Mason (1997) memberikan salah satu tipe yang dapat
mengindikasikan telah terjadinya penyimpangan dalam penerjemahan yaitu jika
terjadi deviasi atau penyimpangan makna.

226 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016


Data 9
BSu: Most boys, on meeting a reception like this, would either have cleared out or flared
up. (hlm. 8)
BSa: Sebagian besar anak lelaki, bila mendapat perlakuan seperti ini, kalau tidak pergi
menjauh maka akan terbakar emosinya. (hlm. 17)

Menurut kamus phrasal verb terbitan Longman (2000: 79), clear out
berarti to leave a place or building quickly or suddenly sehingga penerjemahan
phrasal verb clear out menjadi frasa pergi menjauh untuk menggambarkan
situasi dimana tokoh dalam cerita gusar dan ingin cepat-cepat pergi dari
tempatnya tidak natural.
Untuk mendapatkan situasi dimana terjadi kegusaran dan pertentangan yang
harus dihadapi tokoh, maka clear out akan lebih tepat jika diterjemahkan segera
pergi yang bertujuan agar suasana emosi yang dirasakan tokoh pada saat itu juga
turut dirasakan oleh pembaca TSa. Maka penerjemahan selain untuk mengalihkan
informasi faktual, juga bertujuan untuk mempertahankan emosi yang ditimbulkan
oleh penulis asli ke dalam BSa. Dengan begitu, penerjemahan kalimat di atas
dapat menjadi Sebagian besar anak lelaki, bila mendapat perlakuan seperti ini,
akan segera pergi atau akan terbakar emosinya.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian tentang penerjemahan phrasal verbs pada novel


Narnia #5: The Voyage of the Dawn Treader karya C. S. Lewis dari bahasa
Inggris ke bahasa Indonesia diperoleh beberapa temuan sebagai berikut: Bentuk
penerjemahan phrasal verbs dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia tidak
ada yang benar-benar sama. Semua phrasal verb akhirnya bergeser ke dalam
tataran, kelas kata, atau unit yang lain. Dengan demikian, penerjemahan yang
terdapat dalam novel ini adalah komunikatif. Penerjemahan phrasal verbs juga
ternyata tidak melulu diterjemahkan ke dalam bentuk satu kata kerja tunggal,
namun dapat juga diterjemahkan menjadi adjektiva, adverbia, frasa atau mungkin
juga terjadi pergeseran tata bahasa.

Penerjemahan Phrasal Verbs (Ambarari Tri Retnoadi) 227


Kesepadanan yang dihasilkan dalam penerjemahan phrasal verbs di novel
ini adalah kesepadanan dinamis. Kesepadanan dinamis tercapai karena
digunakannya lima strategi yaitu transposisi, ekspansi, modulasi, couplet dan
reduksi. Itu berarti memang akan terjadi pergeseran dan akibatnya strategi harfiah
atau peminjaman tidak dapat digunakan sama sekali. Dari penelitian dan data-data
yang dikumpulkan terlihat, meskipun ada lima strategi yang digunakan untuk
menerjemahkan phrasal verb yang bersifat idiomatis, namun penerjemah tetap
dapat menyampaikan pesan yang ada dalam TSu dengan sangat baik ke dalam
TSa.
Kesalahan yang ditemukan dalam penerjemahan phrasal verbs dari bahasa
Inggris ke dalam bahasa Indonesia adalah kesalahan leksikal, yaitu kesalahan
pilihan kata yang menyebabkan kalimat sedikit melenceng dalam menggambarkan
isi cerita. Hanya terdapat tujuh data yang diterjemahkan dengan pilihan kata
terjemahan yang kurang tepat. Oleh karenanya, hal ini tidak terlalu berpengaruh
terhadap jalannya isi cerita keseluruhan.

DAFTAR PUSTAKA

Baker, M. (1992). In other words: A course book on translation. London:


Routledge.
Bell, Roger T. (1982). Translation and translating: Theory and practice. Essex:
Longman Group UK Limited.
Echols, J.M., dan Shadily, H. (2000). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:
PT.Gramedia Pustaka Utama
Emzir. (2010) Analisis data: Metode penelitian kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers.
English, A. dan English, L. (2004). NorthStar: Reading and writing high
intermediate. New York: Longman Pearson Education.
Greenbaum, S. dan Nelson, G. (2002). An Introduction to English grammar.
London: Longman Pearson Education.
Hatim, B. dan Mason, I. (1997). The Translator as communicator. London:
Routledge
Hoed, B.H. (2006). Penerjemahan dan kebudayaan. Jakarta: PT Dunia
Pustaka Jaya

228 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 1 September 2016


Hornby, A.S. (2000). Oxford advanced learners dictionary of current English.
Oxford: Oxford University Press.
Jaszczolt, K.M. (2002). Semantics and pragmatics. London: Longman
Pearson Education.
Kridalaksana, H. (2008). Kamus linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Larson, M. L. (1984). Meaning-based translation. Lanham: University Press of
America.
Lewis, C.S. (1952). The Chronicles of Narnia: The Voyage of the dawn treader.
New York: Harper Collins.
Lewis, C.S. (2010) The Chronicles of Narnia: The Voyage of the dawn treader
Terjemahan Indah S. Pratidina, Petualangan Dawn Treader. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Longman. (2000). Phrasal verbs dictionary. New York: Pearson Education
Limited.
Machali, R. (2009). Pedoman bagi penerjemah. Bandung: Kaifa.
Murphy, R. (1985). English grammar in use. Cambridge: Cambridge
University Press.
Nababan, R. (2003). Teori menerjemah bahasa Inggris. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Newmark, P. (1988). A Textbook of translation. London: Routledge.
Nord, C. (1991). Text analysis in translation. Amsterdam-Atlanta, GA:
Rodopi.
Sulistyowati, H. (2012). Mengenal struktur atributif frasa. Malang: Madani.
Vinay, J.P. dan Darbelnet, J. (2000) A Methodology for translation dalam The
Translation Studies Reader diedit oleh Lawrence Venuti. New York:
Routledge.

Penerjemahan Phrasal Verbs (Ambarari Tri Retnoadi) 229


Pedoman Penulisan Artikel Jurnal LINGUA

1. Naskah belum pernah dimuat/ diterbitkan di media lain (jurnal ilmiah, majalah, surat kabar, website/
blog, sosial media).

2. Naskah yang dimuat dalam jurnal meliputi artikel hasil penelitian, kajian, atau pemikiran tentang
metodologi dan pendekatan baru penelitian dalam bidang linguistik, sastra, budaya, pengajaran
bahasa, kebijakan pemerintah tentang pendidikan atau kebudayaan, dan pengembangan ilmu bahasa
baik bahasa Inggris dan Jepang yang ditulis dalam ragam bahasa ilmiah.

3. Naskah diketik dengan Microsoft Word versi 2007 (DOC atau DOCX), jarak 1,5 spasi pada kertas
A4 dengan huruf Times New Roman berukuran 12, sebanyak 15-30 halaman.

4. Secara umum, naskah memuat judul artikel maksimal 15 kata (tidak termasuk sub judul dan kata
penghubung), nama penulis, alamat email, nama lembaga afiliasi penulis, abstrak yang disertai kata
kunci, pendahuluan, metode, hasil bahasan, simpulan, dan daftar pustaka.

5. Naskah diketik dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah bahasa Indonesia diketik dengan
memperhatikan kaidah bahasa Indonesia sesuai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia 2015.
Naskah bahasa Inggris diketik dalam bahasa Inggris ragam resmi (American English atau British
English) dengan memperhatikan kaidah bahasa yang baku.

6. Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, dalam satu paragraf yang terdiri atas
150250 kata dengan 35 kata kunci. Abstrak berisikan tujuan penulisan, metode penelitian,
analisis, dan simpulan.

7. Naskah memuat judul, nama penulis, alamat e-mail penulis, abstrak dan kata kunci (dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris), dan isi. Struktur dan sistematika isi serta persentase jumlah halaman
sebagai berikut:

a. Pendahuluan meliputi latar belakang, perumusan masalah, kajian literatur yang mencakup kajian
teori serta hasil penelitian yang relevan, dan tujuan penelitian (10%).
b. Metode penelitian berisi rancangan/ model, populasi dan sampel, data, tempat dan waktu, teknik
pengumpulan data, serta teknik analisis data (20%).

c. Hasil dan Pembahasan (50%).

d. Simpulan dan Saran (20%).

e. Pustaka Acuan, pada artikel hasil penelitian minimal berjumlah 10. Dari jumlah tersebut 80%
berasal dari sumber primer yaitu artikel yang diterbitkan pada jurnal/ majalah ilmiah, disertasi,
dan tesis terbitan 10 tahun terakhir, kecuali pustaka acuan klasik (tua) yang memang
dimanfaatkan sebagai bahan kajian historis.

8. Khusus naskah hasil penelitian yang disponsori oleh pihak tertentu harus ada pernyataan
acknowledgement yang berisi informasi sponsor yang mendanai dan ucapan terima kasih kepada
sponsor tersebut.

9. Naskah dikirim ke redaksi LINGUA dengan alamat email: redaksilingua@gmail.com.

10. Tata cara penulisan Pustaka Acuan

Cara penulisan acuan menggunakan teknik rujukan berkurung (nama akhir pengarang, tahun terbit)

a) Contoh Rujukan dari buku sebagai berikut.


Dekker, N. 1992. Pancasila sebagai ideologi bangsa: Dari pilihan satu-satunya ke satu-satunya
azas. Malang: FPIPS IKIP Malang.

b) Jika ada beberapa buku yang dijadikan sumber ditulis oleh orang yang sama dan diterbitkan dalam
tahun yang sama pula, data tahun penerbitan diikuti oleh huruf a, b, c, dan seterusnya yang urutannya
ditentukan secara kronologis atau berdasarkan abjad judul buku-bukunya. Contoh sebagai berikut.

Cornet, L. & Weeks, K. 1985a. Career ladder plans. Altanta GA: Career Ladder Clearinghouse.
Cornet, L. & Weeks, K. 1985b. Planning carrer ladder: Lesson from the States. Altanta GA: Career
Ladder Clearinghouse.

c) Rujukan dari buku yang berisi kumpulan artikel (terdapat editornya). Ditambah dengan ed jika satu
editor, eds jika editornya lebih dari satu. Contoh sebagai berikut.
Denzin, N.K., Lincoln, Y. S., eds. 2009. Handbook of qualitative research. Terj. Daryatmo.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

d) Rujukan dari artikel dalam buku kumpulan artikel (ada editornya). Contoh sebagai berikut.

Hasan, M.Z. 1990. Karakteristik penelitian kualitatif. Dalam Aminuddin (Ed.).


Pengembangan penelitian kualitatif dalam bidang bahasa dan sastra. Malang: HISKI
Komisariat dan YA3.

e) Rujukan dari buku yang ditulis lebih dari dua penulis et.al maupun dkk. ditulis lengkap nama
penulis lainnya. Contoh sebagai berikut.
Heo, K. H. G., Cheatham, A., Mary, L. H., & Jina, N. 2014. Korean early childhood educators
perceptions of importance and implementation of strategies to address young childrens
social-emotional competence. Journal of Early Intervention, 36 (1), hlm. 49-66.
f) Rujukan dari artikel dalam jurnal. Contoh sebagai berikut.

Naga, D.S. 1998. Karakteristik butir pada alat ukur model dikotomi. Jurnal Ilmiah Psikologi, III (4),
hlm. 34-42.

g) Rujukan dari artikel dalam majalah atau Koran. Contoh sebagai berikut.

Alka, D.K. 4 Januari 2011. Republik rawan kekerasan? Suara Karya, hlm. 11.

h) Rujukan dari Koran tanpa penulis. Contoh sebagai berikut.


Kompas. 19 September 2011. Sosok: Herlambang Bayu Aji, Berkreasi dengan wayang di Eropa, hlm.
16.

i) Rujukan dari dokumen resmi pemerintah yang diterbitkan oleh suatu penerbit tanpa pengarang dan
tanpa lembaga. Contoh sebagai berikut.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
1990. Jakarta: diperbanyak oleh PT Armas Duta Jaya.

j) Rujukan dari lembaga yang ditulis atas nama lembaga tersebut. Contoh sebagai berikut.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Panduan manajemen sekolah. Jakarta: Direktorat
Pendidikan Menengah Umum.

k) Rujukan dari karya terjemahan, contoh:


Sztompka, P. 2005. Sosiologi perubahan sosial (Terj. Alimandan) Jakarta: Penerbit Prenada.

l) Rujukan berupa skripsi, tesis, atau disertasi. Contoh sebagai berikut.


Indarno, J. 2002. Kontribusi penerapan berbasis sekolah terhadap kualitas penyelenggaraan
pendidikan tingkat dasar di Jawa Tengah. Tesis. Semarang: Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro.
m) Rujukan berupa makalah yang disajikan dalam seminar, penataran, atau lokakarya. Contoh
sebagai berikut.
Siskandar. 2003. Teknologi pembelajaran dalam kurikulum berbasis kompetensi. Makalah: Disajikan
pada Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran pada Tanggal 22-23 Agustus 2003 di
Hotel Inna Garuda Yogyakarta.

n) Rujukan dari internet. Contoh sebagai berikut.


Jamhari, M. Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam,
http://www.ditpertais.net/artikel/jamhari01.asp. diakses tanggal 15 Januari 2012.

Anda mungkin juga menyukai