m.135-
229 Sept
ember2016
ISSN 1412-9183
LINGUA
Jurnal Ilmiah Bahasa dan Budaya
Penanggung Jawab
Dewi Ariantini Yudhasari
Dewan Redaksi
Ekayani R. M. L. Tobing (STBA LIA Jakarta)
Free Hearty (STBA LIA Jakarta)
Agus Aris Munandar (Universitas Indonesia)
Agus Wahyudin (STBA LIA Jakarta)
Risna Saswati (STBA LIA Jakarta)
Sissy Rahim (STBA LIA Jakarta)
Sekretariat
Muhardani Sudjudi
Alamat Redaksi
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA
Jl. Pengadegan Timur Raya No. 3, Pancoran, Jakarta 12770
Tel. (021) 79181051, Fax. (021) 791 81057
e-mail: redaksilingua@gmail.com
ISSN 1412-9183
LINGUA
Jurnal Ilmiah Bahasa dan Budaya
Daftar Isi
ABSTRACT
Battlefront always identified as men`s zone. In the Asia Pacific War, Japan
genderized the war zone, that man fight in battlefront, while woman protect the homefront
(Otoko wa Zensen de tatakai, Onna wa jugo wo mamoru). This term differentiated gender
role between man and women in wartime era, that man should be in battlefront outside
Japan to fight for their country, while woman`s role is to support them from behind (in
Japan). Because the war become more complicated and multidimensional, Japan
Government made a policy to mobilize all Japanese people to participate in war
supporting activities. This order gave a chance for Japanese women writer to go to
battlefront to observe, gathering information for war propaganda purpose, and writing
war reportage. One of the Japanese women writer who have sent to battlefront is Mikawa
Kiyo. She was dispatched to Indonesia in 1942-1943, traveling around Java and Bali for
about a half of year. Her experienced in Battlefront is written in her autobiography Night
in Notredame, which published in 1978, 4 months after her husband`s death. This
research will review the background of participation of woman writer in war activities,
how their experiences in battlefront and examinate her position as a woman toward
family and state order.
ABSTRAK
Medan perang selalu diidentikkan sebagai dunia laki-laki. Di masa perang Asia
Pasifik, area perang tergenderisasi. Muncul istilah otoko wa zensen de tatakai, onna wa
jugo wo mamoru (laki-laki bertempur di medan perang, perempuan menjaga garis
belakang). Istilah ini membagi peran kerja antara laki-laki dan perempuan semasa
perang bahwa yang selayaknya maju ke medan perang adalah laki-laki, sementara tugas
perempuan adalah memberikan dukungan baik moril dan materiil di dalam negeri.
Namun perang yang berkepanjangan dan semakin kompleks meleburkan perbedaan ini
karena pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memobilisasi semua warga negara
agar turut serta mendukung perang. Perintah ini memberi kesempatan kepada penulis
perempuan untuk pergi ke medan perang, melakukan observasi dan mengumpulkan
informasi dan menghasilkan karya dengan latar belakang perang. Mikawa Kiyo yang
merupakan seorang penulis perempuan dan juga istri dari pelukis Chokai Seiji
menuturkan pengalaman dan perjalanannya di masa perang dalam otobiografi Yoru no
Notorudamu. Dari pengalamannya ini dilihat latar belakang keterlibatan perempuan
dalam perang, bagaimana pengalaman perempuan di medan perang, serta menguji
PENDAHULUAN
Mikawa Kiyo adalah penulis perempuan Jepang yang lahir pada tahun 1900
di Yokohama. Ia memulai debutnya sebagai penulis di Tahun 1926 dengan
menerbitkan karya Derike-to no Jidai pada majalah sastra Mita Bungaku. Salah
satu karya lainnya yang terkenal adalah novel Joryuu Sakka yang ditulis tahun
1940, tentang dilema seorang penulis perempuan antara karier dan cinta. Dalam
cerita itu, pada akhirnya perempuan tersebut memilih karier dan meninggalkan
pasangannya.
Tahun 1942, Mikawa Kiyo mendapat perintah dari penerbit Hakubunkan
untuk ditugaskan ke medan perang di Cina. Oleh pemerintah militer Jepang,
Mikawa Kiyo dipilih sebagai perwakilan kaum ibu Jepang ke Cina bagian Utara
hingga ke Gurun Uyghur untuk mengumpulkan data tentang perang,
menyemangati para tentara dan menulis kisah-kisah heroik mereka di surat kabar-
surat kabar Jepang.
Tak lama sekembalinya dari Cina pada akhir bulan Oktober 1942, bersama
lima penulis perempuan lain, Mikawa Kiyo bertolak dari Pelabuhan Ujina
Hiroshima ke Asia Tenggara. Setelah berlayar selama tiga minggu akhirnya ia tiba
di Singapura. Ia kemudian melanjutkan perjalanan ke Johor Malaysia sebelum
akhirnya ditugaskan di Indonesia. Di Indonesia Mikawa Kiyo ditugaskan di Jawa
dan melakukan perjalanan di pulau Jawa dan Bali sampai dengan Mei 1943.
Pengalaman dan hasil observasinya banyak dimuat di surat kabar lama seperti
Djawa Baroe, Asia Raya, dan lain sebagainya.
Pengalamannya bertugas ke medan perang yakni Cina dan negeri Asia
Tenggara dimuat juga pada satu bab dalam otobiografinya yang berjudul Yoru no
Notorudamu. Pada bab yang berjudul Watashi no Chugoku, Nanpou Ryoko
(perjalananku ke Cina dan Selatan), diceritakan keberangkatannya ke medan
perang, pengalamannya berada di antara hidup dan mati, serta dilemanya antara
karir, perintah negara dan rumah tangga.
Terjemahan:
Sejak bertemu dengan lukisan Night in Notredame, Mikawa Kiyo terpikat pada gaya
hidup pelukisnya, Chokai Seiji, yang tidak menyukai popularitas. Mikawa Kiyo
akhirnya menikah dengannya. Setelah menikah ia berniat untuk menyeimbangkan
antara pekerjaan dan rumah tangga, tapi karena ia tahu bahwa itu tidak mungkin,
akhirnya ia menyerah pada profesinya sebagai penulis, dan memilih jadi penyokong
dalam rumah tangga (Michiko, 1991: hlm. 324).
Tetapi pada masa perang, prinsip Mikawa Kiyo tentang rumah tangga ini
tidak lagi berlaku. Keterlibatan negara dalam kehidupan rumah tangga akhirnya
membawa Mikawa Kiyo pada satu keputusan yang berbeda dengan pilihan
hidupnya. Tidak berapa lama setelah jatuhnya serangan udara pertama Amerika di
Tokyo Tahun 1941, Mikawa Kiyo menerima tugas negara untuk diutus sebagai
perwakilan kaum ibu ke medan perang di Cina, meninggalkan keluarga dan
suaminya. Bisa dikatakan Kiyo yang semula berprinsip mengedepankan rumah
tangga daripada karir, dengan adanya perintah dari militer menjadi lebih
mengedepankan karir daripada rumah tangga.
Melihat hubungan antara diri pengarang, rumah tangga, karier dan negara
dengan latar belakang perang membuat penulis ingin mengkaji pengalaman
perempuan di medan perang berdasarkan perjalanan Mikawa Kiyo dalam
Gambar 1. Ilustrasi Semangat Kerjasama dan Persatuan dari Tentara dan Perempuan Jepang
Menghadang Media Asing (dibuat oleh Ono Saseo dan dimuat di koran Jawa Shinbun, 1943)
Terjemahan:
Tugas yang harus diselesaikan adalah melihat dari sudut pandang ibu, kemudian
mengkorespondensikannya ke masing-masing surat-kabar yang memberi tugas.
Terjemahan:
Betapa mengerikannya batas antara hidup dan manusia yang hanya setipis kertas itu.
Aku saksikan dengan mata sendiri dan tidak akan pernah bisa kulupakan seumur
hidupku (Kiyo, 1978: hlm. 138)
Terjemahan:
Tujuanku datang kesini bukan hanya untuk melihat apa yang diperlihatkan oleh tentara
saja. Aku sudah mempertaruhkan nyawaku untuk datang jadi aku ingin melihat apa
yang ingin kulihat. Meski aku hanya mengatakan hal yang sewajarnya tapi (hal itu)
diinterpretasikan sebagai kelancangan, padahal aku perempuan. `Lakukan semaumu
sana` mereka tidak menghargaiku dan menjauhiku. (Kiyo, 1978: hlm 137)
Sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga, perintah untuk pergi ke medan
perang tentu tidak mudah diterima oleh Mikawa Kiyo. Ia sempat mengalami
dilema. Terlebih prinsip hidupnya sudah berubah. Sebelumnya ia adalah
perempuan yang mengedepankan karir daripada keluarga. Tapi sejak bertemu
Chokai Seiji, ia menjadi perempuan yang memprioritaskan keluarga lebih dari
apapun. Banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum keberangkatannya ke
Cina dan Indonesia.
Ketika ia menanyakan pendapat suami, justru sang suami memberi
dukungan penuh. Bahkan membelikan buku tentang daerah yang akan didatangi
dan memberi kontak kenalannya di Cina jika terjadi sesuatu. Menurut suami
Mikawa Kiyo, kesempatan baik ini jangan disia-siakan karena berguna menunjang
karirnya sebagai pengarang. Perjalanan ini sepenuhnya dibiayai oleh Angkatan
darat, sehingga bagi penulis-penulis miskin sepertinya kesempatan seperti ini
sangat langka.
Militer
Sastra
ABSTRACT
ABSTRAK
Bahasa iklan memegang peran penting dalam keberhasilan penjualan produk
komersial yang diiklankan. Hampir 75%-80% keberhasilan iklan ditentukan dari judul iklan.
Penelitian ini bertujuan mengungkap rata-rata panjang judul iklan, pemakaian ejaan dan
bentuk ringkas dalam judul iklan, serta tipe judul iklan yang banyak digunakan. Data yang
digunakan adalah 81 judul iklan berbahasa Indonesia dalam majalah Femina, edisi Juni--
Desember 2015. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Dalam
hal ini dideskripsikan kondisi data apa adanya dengan menghitung frekuensi kemuculan
tanda baca dan tipe judul iklan yang banyak digunakan dalam bentuk persentase. Selain itu,
mengungkap apakah kaidah ejaan dalam bahasa Indonesia yang berlaku diterapkan dalam
penulisan judul iklan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata judul iklan ditulis
tujuh kata. Enam puluh persen judul iklan tidak mengandung tanda baca, tetapi sisanya
memanfaatkan tanda baca titik, koma, petik ganda, titik tiga, kurung, tanya, seru, dan
hubung. Tanda baca titik dan koma; penulisan angka dan bilangan; dan bentuk ringkas
masih memperlihatkan ketidaktepatan dalam pemakaiannya. Adapun tipe judul iklan yang
digunakan berturut-turut dari yang terbanyak adalah bentuk perintah (command headline)
(27%), keuntungan (benefit headline) (25%), dan berita terkini (news headline) (23%), dan
klaim (10%). Penelitian ini menyimpulkan bahwa iklan berbahasa Indonesia perlu lebih
PENDAHULUAN
Sebagai bentuk komunikasi massa, daya tarik pesan yang ditawarkan iklan
begitu menggoda sehingga kadang-kadang yang terjadi adalah konsumen membeli
barang atau menggunakan jasa bukan karena kebutuhan, melainkan karena keinginan.
Iklan merupakan saluran promosi yang dewasa ini terbilang efektif untuk
menginformasikan barang atau jasa hingga membujuk pembaca agar melakukan
tindakan terhadap iklan tersebut. Seperti diungkapkan Hardjanto (2002), Iklan tidak
sekadar menyampaikan informasi tentang suatu komoditas (barang atau jasa), tetapi
mempunyai sifat mendorong dan membujuk agar konsumen menyukai, memilih,
dan kemudian membelinya. Karena itulah, iklan dapat digolongkan sebagai wacana
persuasif (Brewer dan Lichtentien, 1982, dalam Mardikantoro, 2009).
Sebagai wacana persuasif, daya tarik iklan dapat berwujud daya tarik rasional
atau emosional. Daya tarik rasional atau positif berfokus pada praktik, fungsi, atau
kebutuhan konsumen secara optimal terhadap produk, yang menekankan manfaat
atau alasan untuk mempunyai atau menggunakan merek. Daya tarik emosional
berhubungan dengan kebutuhan psikologis konsumen untuk membeli produk. Banyak
konsumen termotivasi mengambil putusan dan membeli karena emosi dan perasaan
terhadap merek dan pernak-pernik produk tersebut (Sunyoto, 2005, pp.104 - 106).
Iklan dikatakan berhasil apabila mampu menggugah perhatian pembaca dan
menimbulkan kesan mendalam. Salah satu aspek penting yang menentukan
keberhasilan iklan adalah bahasa (Wyckham dkk., 1984). Melalui pemilihan kata,
istilah, frasa, dan kalimat, yang didukung oleh gambar, iklan merepsentasikan tujuan
pemasang iklan, memengaruhi sikap dan perilaku konsumen (Wyckham dkk., 1984;
Junaiyah dan Arifin, 2010).
METODE
Penelitian ini dibatasi pada iklan cetak perniagaan (komersial) yang dimuat
dalam majalah Femina, edisi Juni sampai dengan Desember 2015. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif, dengan memerikan tanda
Kategori Iklan
Target utama iklan dalam Femina adalah wanita dewasa. Target lainnya adalah
anak-anak, bayi, balita dan laki-laki dewasa. Iklan produk kecantikan dan perawatan
kulit, wajah, tubuh, hingga daerah intim wantia merupakan jenis iklan terbanyak
(28%). Hal ini memang menjadi target pasar Femina yang umumnya membidik
wanita karier yang memperhatikan penampilan. Meskipun demikian, sebagai wanita
karier, pengiklan juga menyasar perhatian konsumen wanita untuk masa depan dan
masa kini bagi orang-orang terdekat, seperti sahabat, rekan kerja, dan keluarga.
Karena itu, iklan yang berhubungan dengan wanita karier yang dimuat dalam Femina
meliputi berturut-turut iklan bank dan asuransi (16%), kebutuhan dan perlengkapan
rumah tangga (12%), makanan dan minuman (12%), obat dan suplemen (9%), susu
(7%), toko dan restoran (7%), lain-lain (5%), dan tempat bermain (2%).
Istilah
Istilah dalam bahasa Indonesia berasal dari beberapa bahasa, antara lain
bahasa Internasional bahasa Inggris. Untuk dijadikan bahasa Indonesia, istilah asing
tersebut diindonesiakan menurut kaidah yang ditentukan. Akan tetapi, dalam data
masih ditemukan kata asing yang tidak digantikan dengan padanannya dalam bahasa
Indonesia dan tidak pula dibedakan penulisannya dengan huruf miring. Munculnya
kata asing ketika menulis dalam bahasa Indonesia antara lain disebabkan tidak
dikenalnya istilah pengindonesiaannya, tidak dipedulikannya pemakaian kata bahasa
Indonesia karena kurang familiar di telinga masyarakat atau kurang terdengar
bergengsi (chef vs ahli masak). Contoh:
(3) Kayu Putih Aromatherapy Hangat dan Aromanya Menenangkan
seharusnya Kayu Putih Aromaterapi Hangat dan Aromanya Menenangkan
(minyak kayu putih)
Penulisan Huruf
Penulisan huruf dalam judul muncul dalam berbagai kasus yang sangat
bervariasi: semua huruf dikapitalkan, setiap awal kata dikapitalkan, hanya awal kata
pertama dikapitalkan, hanya kata tertentu dikapitalkan, semua kata dimiringkan,
hanya kata tertentu dimiringkan, atau semua kata tidak dikapitalkan. Masing-masing
dapat dilihat dalam contoh berikut:
(6) WUJUDKAN BAHAGIAMU HARI INI DAN ESOK (asuransi
Sequish)
(7) Tetap muda dan cantik walau waktu terus berjalan (pusat kecantikan
Natasha)
(8) Saatnya Berbagi Nikmat Ramadan (McDonald)
(9) Rejeki BNI Taplus (Bank BNI)
(10) menangkan hadiah seru (Bank Mandiri)
(11) NIKMATI KENYAMANAN dan KESEGARAN bersantap sepuasnya
di HANAMASA bersama teman-teman (restoran Hanamasa)
Beberapa iklan menggunakan huruf kapital (di awal kata atau seluruh kata)
dalam judul untuk nama produk yang diiklankan. Contoh:
(13) BOTANICAL ANTI DANDRUFF SHAMPOO (sampo)
(14) Cukup aku dan PASEO yang tahu, pontang-pantingku di dapur. (tisu
Paseo)
(15) Wujudkan cita-citanya bersama Kidzania (tempat bermain anak
Kidzania)
Pemakaian huruf yang lain adalah huruf miring. Huruf miring ditemukan satu-
satunya pada iklan perawatan kulit, yaitu dalam kata penghubung dan untuk
menunjukkan penambahan. Contoh:
(19) KEBERSIHAN dan KELEMBUTAN, DI MANAPUN (sabun Cusson)
Penyimpangan pemakaian huruf miring dalam data ditemukan pada kata asing
yang tidak dimiringkan atau diindonesiakan, seperti anti-hair fall defense hair &
scalp tonic, e-banking, dan chef berikut ini.
(23) Memperkenalkan MAKARIZO ADVISOR anti-hair fall defense hair &
scalp tonic (Makarizo Advisor)
(24) Gratis liburan ke Jepang dengan mandiri e-banking. (bank Mandiri)
(25) Mengapa KECAP SEDAAP STANDAR CHEF BINTANG 5?
Data memperlihatkan banyak tanda baca yang digunakan dalam judul iklan,
seperti tanda titik, tanda titik tiga, tanda seru, tanda tanya, tanda hubung, tanda kutip,
tanda koma, dan tanda kurung. Berikut penjelasan tanda baca tersebut yang
ditemukan dalam data.
Tanda titik lazim digunakan untuk mengakhiri kalimat. Demikian pula judul
yang berbentuk kalimat ada yang diakhiri tanda titik, khususnya dalam kalimat
perintah dan kalimat pernyataan (deklaratif). Contoh:
(27) Cukup aku dan PASEO yang tahu, pontang-pantingku di dapur. (tisu
Paseo)
Namun, ditemukan pula judul kalimat deklaratif yang tidak diakhiri dengan tanda
titik. Contoh:
(29) KULIT BERSISIK DIPERBAIKI DALAM 5 HARI (Vaseline)
(30) Dove Body Wash menutrisi kulit lebih baik dari susu (Dove)
Tanda baca lainnya yang ditemukan dalam data adalah tanda tanya. Tanda
tanya dalam judul iklan digunakan untuk menyadarkan konsumen akan situasi
lingkungan yang mengancam dirinya, sekaligus memberikan saran kepada pembaca
terhadap masalah. Contoh berikut menjelaskan masalah kulit akibat perjalanan waktu
(usia), terkena paparan (matahari, AC), dan tekanan pekerjaan atau kehidupan (stres).
Dari masalah yang dirasakan tersebut, pengiklan menyodorkan perlunya kulit
memiliki imunitas (daya tahan).
(31) Waktu. Paparan. Stres. Bagaimana jika kulit Anda memiliki Imunitas?
(perawatan Shiseido)
Selain memberikan saran, kata tanya dalam judul iklan digunakan untuk
memancing keingintahuan pembaca. Contoh:
(32) Mengapa KECAP SEDAAP STANDAR CHEF BINTANG 5? (kecap
Sedaap)
Namun, ada pula judul yang diakhiri dengan tanda seru untuk menyatakan
kejutan atau berita menggembirakan kepada pembaca. Contoh:
(40) Bikin semua ahli masak! (Panasonic)
(41) Cewek fit dan cantik, hebat jalani harinya! (minuman ABC Hifit)
(42) KRIPIK PAKE SAMBAL ABC
INI BARU ENAK! (sambal ABC)
Selanjutnya, dalam kaidah EyD, tanda koma digunakan setelah anak kalimat
dalam kalimat majemuk bertingkat dan untuk perincian terakhir. Akan tetapi, dalam
data ditemukan pemakaian tanda baca yang tidak sesuai kaidah, seperti terlihat
berikut ini, yang tidak perlu disisipi tanda koma.
(44) KEBERSIHAN dan KELEMBUTAN, DI MANA PUN (sabun Cusson)
(45) Cukup aku dan PASEO yang tahu, pontang-pantingku di dapur. (tisu
Paseo)
Perincian terakhir dari judul berikut ini seharusnya menggunakan tanda koma
sebelum dan. Contoh:
(46) Rasakan kulit lembut, kenyal dan lembap (perawatan Natasha)
Tanda baca lainnya yang ditemukan dalam data adalah tanda hubung. Tanda
ini digunakan untuk mengaitkan antara kata berbahasa Indonesia dan kata asing.
Selain itu, tanda hubung juga untuk pemakaian kata ulang. Contoh:
(50) Memperkenalkan MAKARIZO ADVISOR anti-hair fall defense hair &
scalp tonic (perawatan rambut Makarizo Advisor)
(51) Cukup aku dan PASEO yang tahu, pontang-pantingku di dapur. (tisu
Paseo)
Tanda titik tiga dalam kaidah EyD digunakan untuk memotong kata atau
ungkapan tertentu. Dalam data ditemukan bahwa titik tiga muncul bersamaan dengan
tuturan langsung yang digunakan untuk menunjukkan bahwa penutur menunda
lanjutan tuturan untuk memberikan efek keingintahuan pembaca akan kelanjutan
tuturannya. Contoh:
(52) "Lembutnya pengen nyentuh terus. Wanginya pengen nyium terus."
(sabun cuci Daia, diucapkan oleh ibu rumah tangga)
(53) Aku puas dengan IUD andalan, Suami jadi lebih nurut (alat
kontrasepsi Andalan)
Tanda kurung dalam data ditemukan hanya satu dan digunakan untuk
singkatan. Contoh:
Seharusnya, penulisan angka pada kedua judul di atas ditulis dalam huruf,
yaitu empat dan lima, apalagi jika ditulis di awal kalimat. Hal tersebut terjadi karena
iklan memiliki ruang (space) terbatas.
Bentuk Ringkas
Judul iklan dibuat ringkas, padat mengandung pesan yang hendak
disampaikan pengiklan. Keringkasannya itu tampak dalam bentuk penyingkatan kata
dan dan nomor menjadi & dan no. Contoh:
(57) Kelembutan & Keharuman Formulasi Ahli Parfum Kelas Dunia
(pelembut pakaian So Klin)
(58) No. 1 pilihan saya dan ibu Indonesia (sabun cuci Daia)
(59) Kelembutan & Keharuman Formulasi Ahli Parfum Kelas Dunia (So
Klin)
Bentuk ringkas yang paling menonjol adalah kata kerja yang tidak berimbuhan
di tengah judul. Perhatikan kata kerja dan konjungsi yang berhuruf tebal berikut ini.
(60) Sebelum manjakan pasangan, remajakan dulu daerah kewanitaan Anda
(Prive)
(61) Mari buat rumah kita lebih baik (IKEA)
Benefit headline
Tipe iklan ini ditemukan sebanyak 25% dalam data, memberikan janji secara
ekonomi atau psikologi kepada pembaca. Keuntungan dari kedua aspek ini
ditonjolkan di dalam judul iklan dan menjadi daya tarik pembaca untuk membaca isi
iklan. Pembaca secara emosional digugah untuk melirik iklan yang bertipe ini.
Contoh:
(70) Perlindungan Nyaman Dengan Harga Ringan (asuransi Avrist)
(71) Gratis liburan ke Jepang dengan mandiri e-banking (Bank Mandiri)
(72) Tetap muda dan cantik walau waktu terus berjalan (Natasha)
News Headline
Dalam tipe ini pembaca diberitahukan adanya produk terbaru, pembaca
diingatkan momen yang tepat, hingga mencoba memengaruhi sikap pembaca. Iklan
berupa berita terkini ini ditemukan 23% dari data. Contoh:
Claim Headline
Tipe ini ditemukan 10% dalam data. Dalam judul tipe iklan ini, terdapat
pengakuan atau pernyataan sepihak (dalam hal ini pengiklan) atas apa yang
dinyatakan dalam judul. Bentuk yang menunjukkan tipe ini adalah pemakaian lebih
baik, asli Indonesia, dan ibu Indonesia, seperti contoh berikut.
(77) Dove Body Wash menutrisi kulit lebih baik dari susu (Dove)
(78) RASA ASLI INDONESIA ADA DALAM KEMEWAHAN
BERKUALITAS (Del Monte sambal terasi)
(79) Untuk ibu terbaik di dunia (susu Indomilk)
Selective Headline
Meskipun hanya 5% dalam data, judul iklan bertipe ini bersifat eksklusif,
hanya menyasar kalangan tertentu, membatasi pada lingkup ibu Indonesia dan aku
atau saya seperti dalam contoh berikut.
(80) Cukup aku dan PASEO yang tahu, pontang-pantingku di dapur. (tisu
Paseo)
(81) No. 1 pilihan saya dan ibu Indonesia (sabun cuci Daia)
Indentification Headline
Judul iklan yang menyebutkan nama produk dikategorikan judul identifiasi
(produk). Judul tipe ini mengedepankan gambar dan detail produk dalam tubuh iklan.
Jumlah dalam data tidak banyak, hanya 4%. Contoh:
(82) Sisternet (XL)
(83) Bio Oil (Bio Oil)
Question Headline
Dalam data hanya ada satu judul bertipe ini (2%). Bentuknya merupakan
penawaran atas situasi yang dihadapi pembaca. Contoh:
(87) Waktu. Paparan. Stress. Bagaimana jika kulit Anda memiliki Imunitas?
(perawatan Shiseido)
SIMPULAN
Judul iklan dalam majalah Femina rata-rata berjumlah tujuh kata. Dalam
jumlah terbatas tersebut, pengiklan tidak berarti mengabaikan penulisan istilah, ejaan,
dan bentuk kata dalam judul iklan. Semua aspek bahasa perlu mendapat perhatian
pengiklan karena pemakaiannya yang baik dan benar dapat mencerminkan sikap
pengiklan. Dalam judul iklan ditemukan pemakaian istilah yang tidak diubah ke
dalam bahasa Indonesia, juga penggunaan huruf kapital, huruf miring, dan huruf tebal
yang tidak sesuai dengan kaidah ejaan. Sebanyak 60% judul iklan tidak mengandung
tanda baca, tetapi sisanya memanfaatkan tanda baca titik, koma, petik ganda, titik
tiga, kurung, tanya, seru, dan tanda hubung. Tanda baca titik dan koma; penulisan
angka dan bilangan; bentuk ringkas masih memperlihatkan ketidaktepatan dalam
pemakaiannya. Adapun tipe judul iklan yang cukup banyak digunakan berturut-turut
adalah commond headline, benefit headline, news headline, dan claim headline.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, E.Z., Zulkarnaen, & Jumariam. (1992). Pemakaian bahasa dalam iklan berita
dan papan reklame. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Budiyanto, D. (2014). Aspek persuasif dalam bahasa iklan partai politik. Litera, Vol.
13 No. 1, pp. 43 - 52.
Boduch, R.D. (1999). Great Headlines-Instantly. Http: http://www.v-team-
audio.com/GreatHeadlines.pdf. Diakses tanggal 14 Maret 2016.
Hardjanto, N.J.M.T. (2002). Iklan: Suatu godaan dalam media. Jurnal Linguistik
Indonesia. Th. 20. No. 1, pp. 101 - 112.
Junaiyah dan Arifin, E.Z. (2010). Keutuhan wacana. Jakarta: Grasindo.
Khodabandeh, F. (2007). A contrastive analysis of rhetorical figures in English and
Persian. The Asian ESP Journal, 3, 2, 41 - 64.
Madjadikara, A.S. (2004). Bagaimana biro iklan memproduksi iklan. Bimbingan
praktis penulisan naskah iklan (copywriting). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Mardikantoro, H.B. (2009). Gaya penuturan dan pemanfaatan aspek-aspek
kebahasaan dalam wacana iklan di televisi. Peneroka hakikat bahasa.
Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Mutu berbahasa Indonesia rendah. Kompas, 14 Oktober 2008.
Russell, J.T. & Lane, W.R. (1992). Tata cara periklanan kleppner. Diterjemahkan
oleh Syahrizal Noor & Soesanto Boedidarmo. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
ABSTRACT
Zainichi Korean Woman named Suni, the main character as drawn in novel Koku
wrote by Author Lee Yangji, is a Korean descendant born and raised in Japan, and hence
she was grow and educated in Japan, she has neither knowledge about Korean language
and Korean culture. This novel Koku described her long journey to find her identity as
Korean descendant living in Japan as first stage, but although she is living and studying at
Seoul, Korea, she could not break off her lineage as Japanese born Korean descendant. In
this paper the author plots out the represented diaspora, the hybrid identity of Zainichi
Korean women approaching from cultural studies and focalization.
ABSTRAK
Perempuan Zainichi Korea yang bernama Suni adalah karakter utama yang
tergambar dalam novel Koku karya Lee Yangji, penulis keturunan Korea, lahir dan besar
di Jepang, yang sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang bahasa dan budaya
Korea. Novel Koku menceritakan perjalanan panjang Suni dalam mencari identitas
sebagai generasi kedua keturunan Korea di Jepang. Meskipun ia tinggal dan belajar di
Seoul, Korea, ia tidak dapat melepaskan identitasnya sebagai keturunan Korea yang
lahir di Jepang. Tulisan ini menggambarkan bagaimana pengarang merepresentasikan
diaspora, identitas hibrid perempuan Zainichi Korea melalui pendekatan culture studies
dan fokalisasi.
PENDAHULUAN
...
1
Terjemahan:
Orang yang disebut Zainichi adalah orang yang tinggal di Jepang, maka arti Zainichi
Chosenjin menjadi orang Korea yang tinggal di Jepang... atau artinya orang yang tinggal
di Jepang tetapi bukan orang Jepang .
Terjemahan:
...Dewasa ini orang Chosen, orang Cina atau Amerika dan orang dari berbagai negara
tinggal dan menetap di Jepang, tetapi oleh masyarakat Jepang orang keturunan Cina atau
orang keturunan Amerika tidak dipanggil dengan menggunakan sebutan Zainichi
Chuugokujin atau Zainichi Amerikajin. Sebutan Zainichi digunakan terbatas bagi
orang Korea dan keturunanya yang disebut dengan Zainichi Chousenjin.
1 Lihat So Kyon Sik. Zainichi Chosenjintte Donna Hito? 2012,hal 8 dan 40.
2 Lihat Kim Huna. Zainichi Chisenjin Bungakuron. 2004,hal 30.
Terjemahan:
Singkat kata, definisi kesusasteraan Jepang dibangun berdasarkan unsur nihonjin
yang berarti orang Jepang, unsur nihon yang mengacu pada makna Jepang dan warga
negara Jepang, serta nihongo atau bahasa Jepang sebagai bahasa pengantar yang
menjadi satu kesatuan dalam sanmiitsutai atau tiga bentuk kesatuan yang dijadikan
sebuah pandangan atau konsep.
4
Dalam Komori Yoichi. (Yuragi) no Nihon Bungaku. 1998, hlm. 6.
5 Ibid. Isogai. Shigen no Hikari: Zainichi Chosenjin Bungakuron.1979, hal 105-106.
Hasil karya sastra orang Zainichi Korea berdasarkan penelitian Kim Huna
dikelompokkan menjadi penulis generasi pertama, kedua, dan ketiga berdasarkan
kemunculan karyanya. Penulis generasi pertama adalah mereka yang
menghasilkan karya sejak zaman setelah perang (1945-1960). Lalu, para penulis
generasi kedua adalah penulis yang menghasilkan karya dari tahun 1960-1980.
Selanjutnya, penulis generasi ketiga yaitu mereka yang menghasilkan karya mulai
tahun 1980- hingga dewasa ini.7
Bagi penulis generasi pertama, bahasa Jepang masih merupakan bahasa
asing bagi mereka. Penulis yang mewakili generasi pertama antara lain Chang
Hyok Ju (1905) yang menulis karyanya berjudul Gakido (1932) diterbitkan pada
majalah Kaizo pada bulan April, lalu, Kim Sa Ryang (1914) dengan karya yang
berjudul Hikari no Naka ni (1940) diterbitkan dalam majalah Bungei Shuto, dan
Kim Darus (1920) yang menulis karyanya berjudul Fuji no Mieru Mura de (1956).
Karya mereka saat itu belum dapat dikategorisasikan ke dalam kesusasteraan
8 Ibid. Isogai.1979,hal 8.
Terjemahan:
Dokter (panggilan untuk dokter di Jepang disebut dengan panggilan sensei seperti
yang lazim digunakan ketika hendak memanggil guru), Aku ingin bersungguh-sungguh
belajar musik kayagum dan menari Korea. Kalau aku terus ada di Jepang dan menyerap
semua itu, akhirnya tidak akan ada artinya, Korea adalah tempat aku dilahirkan dan aku
bisa belajar sambil hidup di sana. Dengan belajar di sekolah sudah pasti bahasa
Koreaku akan menjadi pintar dan aku bermaksud pergi ke Korea. Orang Korea tetapi
tidak dapat berbahasa Korea, maka tidak dapat disebut sebagai orang Korea. (K: hlm.
150)
Kisah dalam novel ini diceritakan oleh narator aku (watashi) yang
berperan sebagai tokoh utama di dalam cerita. Narator aku merupakan orang
pertama maha tahu. Sebagai narator, aku mengetahui karakter dirinya dan tokoh
lain serta peristiwa atau kejadian di dalam cerita. Narator aku di dalam novel ini
sekaligus merupakan fokalisator yang mengisahkan tentang pikiran, perasaan dan
tindakan tokoh. Perjalanan tokoh S melintas batas negara mengindikasikan
terjadinya dua pertemuan kultural yang dapat berupa benturan percampuran,
penolakan budaya dan penerimaan budaya. Alih-alih menelusuri identitas sebagai
Korea melalui bahasa dan kesenian Korea, ia malah dihadapkan pada kenyataan
bahwa ia tetap dianggap sebagai orang asing di Korea. Pengalaman hidup di
Korea merupakan rangkaian pengalaman diaspora tokoh S yang direpresentasikan
dalam bentuk pandangan fokalisator terhadap isi fokalisasi di dalam cerita. Dalam
hal ini, bagaimana tokoh S sebagai perempuan Zainichi Korea memandang Korea
dan orang Korea. Mengapa tokoh S sebagai perempuan Zainichi Korea generasi
kedua mengalami kegamangan identitas?
Sementara itu, berdasarkan penelusuran penelitian terdahulu, beberapa
peneliti telah melakukan penelitian terhadap novel Yuhi (1988), Nabitaryon
(1982) dan Koku (1984) secara terpisah dengan menggunakan pendekatan sejarah,
9 Stuart Hall. Representation: Cultural Representation and Signifing Practice. 1997, hal 17.
Terjemahan:
Sebelum datang ke Seoul, aku juga membeli tempat alat rias dan semua barang-barang
itu aku beli di Jepang. Sudah hampir 4 bulan, dan aku melihat jam tanganku, aku tidak
menghitung berapa kali aku sudah membuka tempat rias ini. Barang-barang ini 4 bulan
sebelumnya bentuknya sama dan warnanya pun sama sekarang semua ada di depanku.
Fungsinya pun masih terus akan sama.
Terjemahan:
Perhatikan hal ini, kalian masih menggunakan cara pengucapan seperti orang Jepang
kalau kalian buka mulut kalian pasti akan keluar suara dari mulut. Guru mengatakan
hal itu kepada murid dengan mengulang-ulang kata yang sama. Pada waktu itu, apa
boleh buat dengan wajah yang tidak begitu suka kami lakukan hal itu. Hal itu selalau
sama dilakukan di dalam pelajaran. Murid-murid menunduk terdiam dan kelihatannya
tidak nyaman. Seperti angin yang tidak berhembus ke dalam kelas kami dan terasa
panas sekali. Lalu, aku bicara kepada guru, Ya, guru benar, seharusnya kami
mengucapkan pelafalan bunyi dalam bahasa Korea, ya, kataku sambil tertawa. Tetapi,
berasa panas dan berasa tidak tahan terhadap kondisi itu. (K: hlm. 162)
()
()
(K:163-164)
Terjemahan:
Guru, kami adalah sesama orang Zainichi Korea. Lahir dan dibesarkan di Jepang dan
kami menggunakan bahasa Jepang dalam kehidupan. Sehari-hari kami hidup di
lingkungan dengan asimiliasi dan kehilangan identitas serta kami tidak dapat
menentukan keberadaan kami secara etnis. Murid-murid yang ada di sini,
masing-masing memiliki motivasi dan menentukan untuk belajar di tanah leluhur..
Tetapi, ada satu hal kesamaan yang kami memiliki, yaitu harus belajar urimaru
bahasa negara (bahasa Korea), sedangkan kami di Jepang mengalami perasaan rendah
diri dan setelah kami berada di tanah leluhur urunara kami mengalami diskriminasi
pula. Seberapa pun kami berusaha, orang Korea selalu melecehkan kesalahan
pengucapan kami. Hal itu dapat diartikan bahwa kami tidak mengatasi rasa rendah diri
itu.Aku mengutamakan bunyi pengucapannya satu per satu. Padahal di dalam
kepala masih harus menerjemahkan ke dalam bahasa Jepang dan jika satu persatu
kata-kata diingat pasti bisa diurutkan. Kadang-kadang sambil berpikir kata-kata itu
menjadi terputus-putus. Perasaan heroic itu muncul dan rasnaya menyenangkan. Aku
merasa kata-kata yang harus diucapkan membuat perasaanku tertekan. (K: hlm.
163-164)
Melalui fokalisasi di atas diketahui bahwa orang Zainichi Korea mengalami
diskriminasi di Jepang dan di Korea. Penyataan itu mempertegas bahwa Jepang
Terjemahan:
Sedikit demi sedikit bahasa Koreaku pun meningkat. Sekolah ini adalah tempat
berkumpulnya sesama orang Zainichi Korea yang datang dari Jepang sehingga ketika
masuk jam istirahat mereka semua akhirnya menggunakan bahasa Jepang dan itu
merupakan masalah. Seperti sekarang ini, jika aku mengirim surat kepada dokter Fujita
aku menggunakan bahasa Jepang. Apa boleh buat, aku masih ingin menggunakan
bahasa Jepang untuk bersurat. Di lorong sekolah ada tulisan bermimpilah dalam
bahasa Korea tetapi mimpi ku masih dalam bahasa Jepang. Dalam mimpi aku masih
memanggil Fujita dalam bahasa Jepang sambil berjalan. Fujita tahu nggak ya kalau
bahasa Korea itu sensei dalam bahasa Korea sonsennimu. Jadi Fujita sensei
menjadi Fujita sonsenimu. Karena aku masih memikirkan F maka aku tidak dapat
melupakan bahasa Jepang. (K: hlm. 143)
Terjemahan:
Aku tidak bilang bahwa tidak suka naik bis karena berisiknya volume suara radio.
Penumpang dan supir bis yang mendengar itu kenapa mereka bisa tenang mendengar
volume suara radio itu. Aku juga tidak bisa bilang tentang bau busuknya bis dan orang
di situ. Ketika aku meliaht kondektur, aku merasa tertekan. Waktu naik dan turun aku
belum terbiasa terburu-buru. Aku merasa sedih dengang tingkahku yang lambat.
Terkadang aku sampai sakit jantung ketika kondektur mendorong aku untuk turun
dengan mengatakan cepat, cepat. Kondektur melihat ke arahku dengan pandangan
tajam. Ia melihat tajam ke arah bajuku dengan tajam. Aku dilihat seperi apa dengan
pakai baju bagus tetapi gerakanku lambat. Aku merasa menyesal memikirkan hal
seperti itu. (K: hlm 159)
()
Terjemahan:
Pada jam istirahat aku ke toilet. Menggosok gigi dan mencuci tangan. Rasa ngantuk
menjadi hilang. Setiap hari aku gosok gigi dan mencuci tangan dan saat itu aku merasa
hidup dan merasa senang. Melihat tangan yang sudah bersih aku tersenyum.
Bagaimana kalau sampai kekurangan air, aku pasti akan menjadi panik. Aku pasti tidak
akan menggunakan air itu untuk minum tetapi aku menggunakan air itu untuk gosok
gigi dan cuci tangan. Di kota Seoul, jarang ada tempat untuk mencuci tangan. Toilet di
coffe shop sering kali tidak ada tempat mencuci tangan, kalau pun ada biasanya tidak
ada air. Di sekolah pun pernah ada kejadian tidak ada air. Setelah aku tinggal di Seoul,
aku merasa kulitku menjadi kering, hal itu mungkin disebabkan karena udara dan angin
yang kencang. (K: hlm. 162)
(K:153).
(K:156)
Terjemahan:
Dibanding apapun, negara ini inovatif, katanya. (K: hlm. 153)
Toko yang ada di depan tanjakan itu semuanya merupakan rumah-rumah yang kecil.
Ruangan depan sebesar nijoo (dua tatami) digunakan untuk toko sedangkan di
belakangnya dipakai untuk tempat tinggal, Sampai saat ini aku masih kaget tidak
karuan sebegitu sempitnya ruangan itu, bagaimana mereka bisa hidup di rumah yang
seperti itu. (K: hlm. 156)
Terjemahan:
J : Buat Suni Korea itu seperti apa?
S :
Aku merasa menyesal tetapi diam dan diam itu bukan jawabannya.
Aku selalu merasa diguncang oleh negara ini. Walaupun demikian, aku masih
mencintainya.
J : Suni, aku juga rindu Korea (urinara).
S :
J : Kita sebagai orang Zainichi Korea sulit menentukan Korea itu buat kita. Tetapi
kita selalu memperhatikan Korea.
S : Ya benar
SIMPULAN
Narator dalam novel K adalah watashi (Suni). Dalam hal ini narator
sekaligus merupakan fokalisator di dalam cerita. Jenis fokalisasi dalam kisah ini
adalah fokalisasi internal yang memosisikan narator sebagai yang lebih tahu dari
apa yang diketahui tokoh. Fokalisator dalam kisah ini merupakan agen yang
bertindak sebagai objek untuk merepresentasikan narasi perempuan Zainichi
Korea generasi kedua. Dalam hal ini representasi tersebut ditunjukkan oleh
pengalaman diaspora tokoh yang mengindikasikan adanya penolakan akibat
pertemuan kultural di antara Jepang dan Korea.
Sementara itu, melalui isi fokalisasi yang dinarasikan oleh fokalisator
diperoleh gambaran bahwa kedudukan perempuan Zainichi Korea baik di Jepang
maupun di Korea dinarasikan sebagai orang asing. Lebih jauh, narasi perempuan
yang diusung dalam kisah ini mengindentifikasikan perempuan yang hidup dalam
dua budaya sebagai bentuk diaspora dan identitas hibriditas perempuan Zainichi
Korea generasi kedua.
DAFTAR PUSTAKA
Barker, Chris. (2009). Cultural studies: Teori dan praktik. Bantul: Kreasi Wacana
_____. (2003). Theorizing diaspora. Braziel, Jana Evans, and Mannur, Anita. ed.
Soujusha
O Son Fa. (2012). Kankoku geigo e no michi kanzenpan. Tokyo: Bungei Shunju
Routledge
ABSTRACT
This research analyzes three aspects of translation: readability, acceptability, and
equivalency of Sandra Browns novel Where There Is Smoke and its Indonesian
translation Pencarian. This research uses qualitative descriptive method to describe and
explain all the data thoroughly. The evaluation is conducted by two evaluators based on
criteria provided. The result shows that the readability of this novel is high which means
good because almost all sentences are easy to understand by the readers in SL. The
acceptability is moderate because there are still many sentences in ST which are read as
pieces of translation. The equivalency of this novel is low since there are many sentences
which are not translated correctly. Some sentences are omitted and the others are
paraphrased which make the messages in those sentences are not well-transferred.
ABSTRAK
Penelitian ini menganalisis tiga aspek terjemahan yaitu aspek keberterimaan dan
aspek kesepadanan novel Where There Is Smoke karya Sandra Brown dan terjemahannya
yang berjudul Pencarian. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif
untuk dapat memerikan atau mendeskripsikan data secara rinci dan teliti. Penilaian
dilakukan oleh dua orang evaluator dengan kriteria yang telah ditentukan. Hasil evaluasi
menunjukan bahwa tingkat keterbacaan novel ini cukup tinggi, artinya hampir semua
kata, frasa, klausa dan kalimat dalam BSa mudah dimengerti oleh pembaca dalam BSa.
Aspek keberterimaan dinilai sedang karena masih terdapat kalimat-kalimat yang terbaca
seperti hasil terjemahan. Aspek kesepadanan dinilai rendah karena banyak frasa, klausa
maupun kalimat yang tidak diterjemahkan dengan tepat, dihilangkan atau dihaluskan,
sehingga pesan tidak tersampaikan dengan baik.
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
Aysenaz Kos (desain riset dipertahankan tahun 2008, dan pada saat itu riset
masih berlangsung) dari Universitat Rovira di Spanyol sedang menulis disertasi
tentang Promoting Simone de Beauvoir and Le Deuxime Sexe through the Male
in Turkey. Penelitiannya membahas tentang terjemahan Le deuxime sexe karya
Simone de Beauvoir terutama yang berkaitan dengan terminologi seksual dan hal-
hal yang merujuk pada seksualitas. Peneliti membandingkan dengan TSu dan
memberi komentar pada pengaruh terminologi seksual yang diciptakan dalam
terjemahannya, serta menjelaskan kemungkinan-kemungkinan perubahan yang
terjadi dari perspektif analisis wacana. Bagian lain dari penelitian tersebut
menganalisis fitur paratekstual terjemahan buku-bukunya Beauvoir dalam bahasa
Turki. Masalah dalam penerjemahan terminologi dan referensi seksual diangkat
melalui isu sensitivitas seksual dan sereotip jender dan klise, terutama karena
fakta bahwa hampir semua penerjemah karya Beauvoir ke dalam bahasa Turki
adalah laki-laki. Sayangnya isu penerjemahan terutama yang berkaitan dengan
terminologi seksual kurang digali secara mendalam, sehingga tidak dapat dilihat
METODE PENELITIAN
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRACT
The objective of this research is to analyze the problems related to the translation
of phrasal verbs such as translation forms, translation strategies, translation equivalence
and translation mistakes found in the novel Narnia #5: The Voyage of the Dawn Treader
by C. S. Lewis. The novel was written in English and was translated into Indonesian. The
methodology used in this research is qualitative research. Translation strategies from
Newmark are used to analyze the data. The technique of collecting data was conducted by
analyzing the source text compared to its translation in target text. The data were
analyzed and categorized based on the translation strategies used. The findings showed
that all of the English phrasal verbs had changed in forms when they were translated into
Indonesian. The research also showed that the translator applied several translation
strategies to obtain dynamic equivalence from SL to TL. The strategies are transposition,
modulation, expansion, reduction and couplet. The concept of phrasal verbs which is not
found in TL, the differences in the system and grammatical features in both of the
languages required the translator to apply those strategies to help revealing the meaning
of SL to TL and achieve acceptable translation. The research found seven data with the
mistakes regarding diction which resulted unnatural meaning; therefore, the message
was not transferred to TL.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang
penerjemahan phrasal verbs yang terkait dengan bentuk penerjemahan, strategi
penerjemahan, kesepadanan penerjemahan dan penyimpangan yang terdapat dalam
terjemahan phrasal verb novel Narnia #5: The Voyage of the Dawn Treader karya C. S.
Lewis dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Metode dalam penelitian ini
adalah kualitatif .Teori strategi penerjemahan Newmark digunakan sebagai pisau
analisis dalam penelitian ini. Data-data yang ditemukan kemudian dianalisis dan
dikelompokkan sesuai dengan strategi penerjemahannya. Setelah itu kesimpulan dibuat
sebagai hasil akhir dari penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua
penerjemahan phrasal verbs mengalami perubahan bentuk ketika diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia. Penerjemah menerapkan beberapa strategi penerjemahan guna
mencapai kesepadanan dinamis. Strategi-strategi yang digunakan adalah transposisi,
modulasi, ekspansi, reduksi dan couplet. Konsep phrasal verbs yang tidak didapatkan
dalam BSa, perbedaan sistem dan ciri tata bahasa kedua bahasa mengharuskan
penerjemah menerapkan strategi penerjemahan yang sesuai untuk membantu
pengungkapan pesan BSu ke dalam BSa agar menghasilkan terjemahan yang sepadan
PENDAHULUAN
TEORI PENERJEMAHAN
PHRASAL VERBS
1. Transposisi 72 51,06%
2. Ekspansi 29 20,57%
3. Modulasi 14 9,93%
4. Couplet 13 9,22%
5. Reduksi 6 4,26%
6. Penyimpangan 7 4,96%
Yang pertama, phrasal verb cut off mengalami pergeseran bentuk menjadi
verba. Yang kedua, pada BSu, phrasal verb cut off ini dinyatakan dalam bentuk
partisium. Artinya, kalimat pada BSu sebenarnya mengandung pronominal relatif
who was, sehingga kalimat penuhnya seharusnya He realized that he was a
monster (who was) cut off from the whole human race. Namun pronominal
relatif ini bersifat manasuka sehingga dapat dihilangkan keberadaannya dalam
kalimat tanpa mengubah arti kalimat itu sendiri. Pada BSa, bentuk ini dinyatakan
secara penuh dan eksplisit dengan menaruh perangkai yang. Perangkai yang
wajib hadir dalam penerjemahannya karena tanpa yang ada konstruksi lain, yaitu
kalimat monster tersingkirkan dari seluruh umat manusia. Bandingkan dengan
frasa anak (yang) cerdas. Frasa ini menggunakan perangkai yang secara
manasuka (optional). Artinya, baik frasa anak cerdas maupun anak yang
cerdas mempunyai arti yang sama, sehingga perangkai tidak wajib digunakan
(Sulistyowati, 2012).
Penerjemahan di atas menunjukkan telah terjadi pergeseran bentuk untuk
menerjemahkan phrasal verbs cut off sesuai dengan yang dikatakan Machali
(2009) bahwa pergeseran dapat dilakukan karena alasan kewajaran ungkapan,
yang jika diterjemahkan secara harfiah ke dalam BSa melalui cara gramatikal,
akan menghasilkan padanan yang kaku dan tidak berterima dalam BSa.
Sebagian besar penggunaan strategi transposisi dari data yang ditemukan
menggeser kelas kata yaitu dari phrasal verb menjadi verba, meskipun tidak
sedikit juga terjadi pergeseran unit dari phrasal verb ke frasa. Akibatnya, kalimat
terjemahan menjadi lebih panjang dari TSu karena ada bagian yang disesuaikan di
dalam TSa. Berikut diberikan contohnya:
Data 2
BSu: After a bit the lion took me out and dressed me (hlm.110)
BSa: Setelah beberapa lama si singa menyuruhku keluar dan memakaikanku baju
(hlm. 153)
Data 3
BSu: Caspian now suggested that they might like to be shown over the ship before
supper, but Lucys conscience smote her. (hlm. 23-24)
BSa: Caspian kini mengajukan ide bahwa mereka mungkin ingin melihat-lihat kapal
sebelum makan malam, tapi hati kecil Lucy menyadarkannya (hlm. 38)
Data 4
BSu: Let everything be as trim and scoured as if it were the morning of the first battle in
a great war between noble kings with all the world looking on. (hlm. 51)
BSa: Persiapkan segalanya serapi dan seberkilau mungkin seolah pagi ini adalah pagi
pertempuran pertama dan dalam perang besar antara raja-raja mulia yang disaksikan
seluruh dunia. (hlm. 74)
Data 5
BSu: He thought of course that they were making it all up; and as he was far too stupid
to make anything up himself, he did not approve of that. (hlm.7)
BSa: Tentu saja dia berpikir anak-anak Pevensie telah mengarang semua cerita, dan
karena dia terlalu bodoh untuk bisa mengarang apa pun sendiri, dia tidak menyukai ini.
(hlm. 16)
Kalimat di atas mempunyai dua phrasal verb yang terbentuk dari verba
make dan preposisi up, namun dengan bentuk yang berbeda yaitu making it all up
dan make anything up. Make up dalam kalimat ini bermakna mengarang (cerita)
atau mengada-ada. Making merupakan derivasi dari verba dasar make. Dalam
bahasa Inggris, bentuk verba yang diberi tambahan ing mengindikasikan kata itu
memakai bentuk kala continuous yang digunakan untuk kejadian yang sedang
berlangsung (Murphy, 1985). Jika diamati lagi, maka terlihat bahwa aspek kala
yang digunakan pada phrasal verb making it all up adalah past continuos tense.
Aspek kala ini dapat terlihat dari pemberian ovula were sebelum verba making.
Artinya konteks kalimat ini merujuk pada kegiatan yang berlangsung di masa
tertentu pada waktu yang lampau. Penerjemah menggeser aspek kala ini menjadi
kegiatan yang sudah selesai dilakukan tokoh dengan memberikan adverbia telah.
Berarti terjadi pergeseran tataran atau transposisi.
Masih kalimat yang sama, terdapat satu lagi phrasal verb yaitu make
anything up. Penerjemah menambahkan modalitas bisa dan partikel penegas
-pun. Hal ini dilakukan pada phrasal verb yang kedua meskipun sebenarnya
mempunyai arti yang mirip dengan yang pertama, berfungsi untuk mengeraskan
arti kata yang diiringi partikel penegas itu. Kedua phrasal verbs di atas yang
diterjemahkan dengan strategi couplet ini menghasilkan terjemahan yang terjaga
gaya bahasanya.
Terdapat 1 data yang memakai strategi couplet walaupun hanya terdapat 1
phrasal verb didalamnya. Hal itu dilakukan penerjemah karena memang kalimat
Data 6
BSu: At least, if its really goldsolid golditll be far too heavy to bring up. (hlm.
125)
BSa: Setidaknya, kalau itu memang benar-benar terbuat dari emasemas murnibakal
terlalu berat untuk bisa diangkat ke permukaan. (hlm.174)
Phrasal verb bring up dalam kalimat di atas adalah verba aktif yang
mempunyai arti mengangkat. Hal ini dapat ditelusuri pada penggunaan kata to
dan diikuti oleh verba asli bring yang berarti kalimat itu mempunyai bentuk aktif.
Salah satu pembentukan kalimat aktif pada bahasa Inggris adalah dengan
menggunakan bentuk to ditambah dengan verba asli (infinitif). Untuk membuat
kalimat menjadi pasif, bentuknya harus menjadi to+be+past participle.
Pada penerjemahannya, penerjemah menggeser bentuk aktif ini ke dalam
bentuk pasif. Strategi yang diterapkan penerjemah adalah strategi modulasi.
Machali (2009) menyebut konsep modulasi seperti ini sebagai modulasi wajib
yang dilakukan apabila suatu kata, frasa, atau struktur tidak ada padanannya
dalam BSa. Machali selanjutnya memberikan contoh kalimat dengan infinitive of
purpose yang mempunyai bentuk aktif dalam bahasa Inggris yakni the problem is
hard to solve yang diterjemahkan menjadi masalah itu sukar dipecahkan. Jika
penerjemah tetap mempertahankan bentuk aktif untuk menerjemahkan kalimat di
atas, tentu makna dan pesannya menjadi berbeda sekaligus membingungkan bagi
pembaca.
Phrasal verb bring up di atas juga menggunakan strategi yang kedua yaitu
strategi ekspansi dengan menambahkan frasa preposisional ke permukaan dan
modalitas bisa sebelum verba pasif. Strategi ini tepat dilakukan berkenaan dengan
kesinambungan cerita untuk menggambarkan suatu benda yang terlalu berat untuk
diangkat dari dasar kolam sehingga perlu ditambahkan frasa preposisional ke
permukaan, dan perlu ditegaskan dengan modalitas bisa.
Data 7
BSu: While she was noting these things and wondering at a sinister change which had
come over the very noise of the wind, Drinian cried, All hands on deck. (hlm. 68)
BSa: Ketika Lucy memperhatikan hal-hal ini dan bertanya-tanya apa yang menyebabkan
perubahan mengerikan yang datang bersamaan suara angin, Drinian berteriak, Semua
awak di dek. (hlm. 97)
Phrasal verb come over pada kalimat di atas yang diartikan datang.
Phrasal verb pada BSu langsung diikuti oleh pelengkap the very noise of the
wind, namun dalam penerjemahannya ditambahkan kata bersamaan karena
terjemahan menjadi tidak berterima apabila verba datang langsung diikuti oleh
pelengkap suara angin. Itu berarti ekspansi atau penambahan pada kalimat di atas
memang wajib dilakukan.
Penggunaan strategi reduksi menempati urutan terakhir untuk strategi yang
digunakan penerjemah dalam menerjemahkan phrasal verb. Artinya, strategi ini
bukanlah pilihan utama penerjemah dan phrasal verb, yang meskipun
keberadaannya khas dalam bahasa Inggris, ternyata masih dapat diterjemahkan
dengan dicari padanannya. Perlu dicermati bahwa penggunaan strategi reduksi
tidak terlepas dari kesatuan makna dalam konteks cerita. Berikut adalah contoh
kalimat yang diterjemahkan dengan strategi reduksi:
Kalimat di atas mempunyai dua phrasal verbs didalamnya, yaitu come out
yang berarti keluar dan look for yang berarti mencari. Namun penerjemah
ternyata hanya menerjemahkan satu phrasal verb saja yaitu look for karena jika
come out diterjemahkan, kalimat akan menjadi kaku atau tidak wajar serta tidak
berpadanan dengan konteks cerita. Penerjemah hanya menerjemahkan look for
yang diterjemahkan kucari agar kalimat menjadi natural dan tidak mengubah
makna kalimat. Dengan menggunakan strategi ini, kalimat di atas menjadi akurat,
wajar dan tidak terjadi redundansi. Seperti yang dikatakan Baker (1992), strategi
ommision mungkin terdengar agak drastis, tapi dalam konteks tertentu,
penghilangan sebuah kata atau ungkapan dalam menerjemahkan justru untuk
mempermudah pemahaman makna, jika kata atau ungkapan itu sebenarnya tidak
terlalu penting dalam pengembangan teks.
Pada akhirnya, semua penerjemahan yang ditemukan dengan menggunakan
berbagai strategi di atas telah mencapai kesepadanan makna dan berterima dengan
baik dalam TSa karena pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca utuh dan
tidak ada yang menimbulkan kerancuan.
Selain temuan strategi penerjemahan yang digunakan, ada tujuh terjemahan
phrasal verbs atau 4,96% yang terdapat penyimpangan. Penyimpangan ini
merupakan akibat kesalahan leksikal yaitu kesalahan dalam memilih dan
menentukan padanan kata dari BSu ke BSa yang dapat berakibat pada
kekurangakuratan dalam penyampaian pesan yang terdapat dalam BSu. Sager di
dalam Basil Hatim dan Ian Mason (1997) memberikan salah satu tipe yang dapat
mengindikasikan telah terjadinya penyimpangan dalam penerjemahan yaitu jika
terjadi deviasi atau penyimpangan makna.
Menurut kamus phrasal verb terbitan Longman (2000: 79), clear out
berarti to leave a place or building quickly or suddenly sehingga penerjemahan
phrasal verb clear out menjadi frasa pergi menjauh untuk menggambarkan
situasi dimana tokoh dalam cerita gusar dan ingin cepat-cepat pergi dari
tempatnya tidak natural.
Untuk mendapatkan situasi dimana terjadi kegusaran dan pertentangan yang
harus dihadapi tokoh, maka clear out akan lebih tepat jika diterjemahkan segera
pergi yang bertujuan agar suasana emosi yang dirasakan tokoh pada saat itu juga
turut dirasakan oleh pembaca TSa. Maka penerjemahan selain untuk mengalihkan
informasi faktual, juga bertujuan untuk mempertahankan emosi yang ditimbulkan
oleh penulis asli ke dalam BSa. Dengan begitu, penerjemahan kalimat di atas
dapat menjadi Sebagian besar anak lelaki, bila mendapat perlakuan seperti ini,
akan segera pergi atau akan terbakar emosinya.
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Naskah belum pernah dimuat/ diterbitkan di media lain (jurnal ilmiah, majalah, surat kabar, website/
blog, sosial media).
2. Naskah yang dimuat dalam jurnal meliputi artikel hasil penelitian, kajian, atau pemikiran tentang
metodologi dan pendekatan baru penelitian dalam bidang linguistik, sastra, budaya, pengajaran
bahasa, kebijakan pemerintah tentang pendidikan atau kebudayaan, dan pengembangan ilmu bahasa
baik bahasa Inggris dan Jepang yang ditulis dalam ragam bahasa ilmiah.
3. Naskah diketik dengan Microsoft Word versi 2007 (DOC atau DOCX), jarak 1,5 spasi pada kertas
A4 dengan huruf Times New Roman berukuran 12, sebanyak 15-30 halaman.
4. Secara umum, naskah memuat judul artikel maksimal 15 kata (tidak termasuk sub judul dan kata
penghubung), nama penulis, alamat email, nama lembaga afiliasi penulis, abstrak yang disertai kata
kunci, pendahuluan, metode, hasil bahasan, simpulan, dan daftar pustaka.
5. Naskah diketik dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah bahasa Indonesia diketik dengan
memperhatikan kaidah bahasa Indonesia sesuai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia 2015.
Naskah bahasa Inggris diketik dalam bahasa Inggris ragam resmi (American English atau British
English) dengan memperhatikan kaidah bahasa yang baku.
6. Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, dalam satu paragraf yang terdiri atas
150250 kata dengan 35 kata kunci. Abstrak berisikan tujuan penulisan, metode penelitian,
analisis, dan simpulan.
7. Naskah memuat judul, nama penulis, alamat e-mail penulis, abstrak dan kata kunci (dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris), dan isi. Struktur dan sistematika isi serta persentase jumlah halaman
sebagai berikut:
a. Pendahuluan meliputi latar belakang, perumusan masalah, kajian literatur yang mencakup kajian
teori serta hasil penelitian yang relevan, dan tujuan penelitian (10%).
b. Metode penelitian berisi rancangan/ model, populasi dan sampel, data, tempat dan waktu, teknik
pengumpulan data, serta teknik analisis data (20%).
e. Pustaka Acuan, pada artikel hasil penelitian minimal berjumlah 10. Dari jumlah tersebut 80%
berasal dari sumber primer yaitu artikel yang diterbitkan pada jurnal/ majalah ilmiah, disertasi,
dan tesis terbitan 10 tahun terakhir, kecuali pustaka acuan klasik (tua) yang memang
dimanfaatkan sebagai bahan kajian historis.
8. Khusus naskah hasil penelitian yang disponsori oleh pihak tertentu harus ada pernyataan
acknowledgement yang berisi informasi sponsor yang mendanai dan ucapan terima kasih kepada
sponsor tersebut.
Cara penulisan acuan menggunakan teknik rujukan berkurung (nama akhir pengarang, tahun terbit)
b) Jika ada beberapa buku yang dijadikan sumber ditulis oleh orang yang sama dan diterbitkan dalam
tahun yang sama pula, data tahun penerbitan diikuti oleh huruf a, b, c, dan seterusnya yang urutannya
ditentukan secara kronologis atau berdasarkan abjad judul buku-bukunya. Contoh sebagai berikut.
Cornet, L. & Weeks, K. 1985a. Career ladder plans. Altanta GA: Career Ladder Clearinghouse.
Cornet, L. & Weeks, K. 1985b. Planning carrer ladder: Lesson from the States. Altanta GA: Career
Ladder Clearinghouse.
c) Rujukan dari buku yang berisi kumpulan artikel (terdapat editornya). Ditambah dengan ed jika satu
editor, eds jika editornya lebih dari satu. Contoh sebagai berikut.
Denzin, N.K., Lincoln, Y. S., eds. 2009. Handbook of qualitative research. Terj. Daryatmo.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
d) Rujukan dari artikel dalam buku kumpulan artikel (ada editornya). Contoh sebagai berikut.
e) Rujukan dari buku yang ditulis lebih dari dua penulis et.al maupun dkk. ditulis lengkap nama
penulis lainnya. Contoh sebagai berikut.
Heo, K. H. G., Cheatham, A., Mary, L. H., & Jina, N. 2014. Korean early childhood educators
perceptions of importance and implementation of strategies to address young childrens
social-emotional competence. Journal of Early Intervention, 36 (1), hlm. 49-66.
f) Rujukan dari artikel dalam jurnal. Contoh sebagai berikut.
Naga, D.S. 1998. Karakteristik butir pada alat ukur model dikotomi. Jurnal Ilmiah Psikologi, III (4),
hlm. 34-42.
g) Rujukan dari artikel dalam majalah atau Koran. Contoh sebagai berikut.
Alka, D.K. 4 Januari 2011. Republik rawan kekerasan? Suara Karya, hlm. 11.
i) Rujukan dari dokumen resmi pemerintah yang diterbitkan oleh suatu penerbit tanpa pengarang dan
tanpa lembaga. Contoh sebagai berikut.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
1990. Jakarta: diperbanyak oleh PT Armas Duta Jaya.
j) Rujukan dari lembaga yang ditulis atas nama lembaga tersebut. Contoh sebagai berikut.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Panduan manajemen sekolah. Jakarta: Direktorat
Pendidikan Menengah Umum.