Anda di halaman 1dari 94

ISSN 1412-9183

LINGUA
Jurnal Ilmiah Bahasa dan Budaya

LINGUA VOLUME 12 No. 2 Hal.230 -316 Maret 2017 ISSN 1412-9183


ISSN 1412-9183

LINGUA
Jurnal Ilmiah Bahasa dan Budaya

Vol. 12 No. 2 Maret 2017

Penanggung Jawab
Dewi Ariantini Yudhasari

Ketua Dewan Redaksi


Yesy Tri Cahyani

Dewan Redaksi
Ekayani R. M. L. Tobing (STBA LIA Jakarta)
Free Hearty (STBA LIA Jakarta)
Agus Aris Munandar (Universitas Indonesia)
Agus Wahyudin (STBA LIA Jakarta)
Risna Saswati (STBA LIA Jakarta)
Sissy Rahim (STBA LIA Jakarta)

Sekretariat
Muhardani Sudjudi

Alamat Redaksi
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA
Jl. Pengadegan Timur Raya No. 3, Pancoran, Jakarta 12770
Tel. (021) 79181051, Fax. (021) 791 81057
e-mail: redaksilingua@gmail.com
ISSN 1412-9183

LINGUA
Jurnal Ilmiah Bahasa dan Budaya

Vol. 12 No. 2 Maret 2017

Daftar Isi

Pelafalan Bahasa Inggris Anak Umur 3-5 Tahun: 230-248


Sebuah Kajian Fonologis
(Soraya)

Pengaruh Penutur Jati Terhadap Motivasi Belajar 249-274


Pembelajar Bahasa Asing di Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Brawijaya
(Ulfah Sutiyarti, Diah Ayu Wulan, Aji Setyanto)

Sikap Dosen Terhadap Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Proses 274-293


Pembelajaran Bahasa Inggris di STBA LIA Jakarta
(Theresia Tuti Purwanti)

Persepsi Mahasiswa Indonesia Terhadap Budaya Populer 294-306


Asia Timur (Jepang dan Korea)
(Rostineu)

Batu Nisan Etnis Tionghoa: Tinjauan Tentang Keberadaan 307-316


Orang Tionghoa di Ampenan, Lombok
(Matsuda Hiroshi)
PELAFALAN BAHASA INGGRIS ANAK UMUR 3-5 TAHUN:
SEBUAH KAJIAN FONOLOGIS

Soraya

Program Studi Bahasa Inggris, Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA


Jl. Pengadegan Timur Raya No. 3 Jakarta 12770
sorayahermawan21@gmail.com

ABSTRACT

The process of children sound production is influenced by the readiness of speech


organ, sound exposure, and the linguistic competence. At the age of 3 to 5 years old,
children are in the process of prefecting the speech organ and in the process of first
language acquisition. However, at this age, parents start to introduce English language.
It causes the phonetic processes which appear in form of addition, omission, substitustion,
and distortion. This study discusses the phonetic process happened and the causes. The
result shows that most of phonetic processes found are final devoicing, stopping of
fricative, deletion of final consonant, syllable reduction, dan liquid simplification. It
happens because children of age 3-5 still have difficulty to produce certain sound and
they dont have long memory span yet in order to listen and apprehend sounds of long
words and consonant cluster.

Keywords: Phonological Process, Children Aged 3-5, Developmental Process

ABSTRAK

Proses produksi bunyi anak sangat dipengaruhi oleh kesiapan organ ucap,
paparan bunyi, dan kecerdasan bahasanya. Pada usia anak 3-5 tahun, seorang anak
sedang dalam proses menyempurnakan alat ucapnya dan masih dalam proses
penguasaan bahasa Indonesia atau bahasa ibu. Namun, pada usia ini, orang tua juga
mulai memperkenalkan bahasa Inggris. Hal ini menyebabkan munculnya proses fonetik
pada anak. Proses fonetik dapat muncul berupa penambahan, penghilangan, penggatian,
dan distorsi bunyi. Kajian ini membahas proses fonetik yang terjadi dan penyebabnya.
Kesimpulan penelitian ini memperlihatkan bahwa proses fonologis yang banyak muncul
anak berusia 3-5 tahun adalah final devoicing, stopping of fricative, deletion of final
consonant, syllable reduction, dan liquid simplification. Hal ini terjadi karena anak
berusia 3-5 tahun masih mengalami kesulitan untuk memproduksi bunyi tertentu dan
bermasalah dengan memori span untuk mendengar dan memersepsi bunyi dari kata kata
yang panjang atau bunyi dalam sebuah gugus konsonan.

Kata Kunci: Proses Fonologis, Anak Usia 3-5 Tahun, Proses Developmental

PENDAHULUAN

Saat ini banyak orang tua di Indonesia, khususnya di Jakarta, memasukkan


anaknya ke kelompok bermain atau Taman Kanak-Kanak yang menggunakan
bahasa pengantar Bahasa Inggris. Banyak orang berpikir bahwa anak dapat belajar

Pelafalan Bahasa Inggris Anak (Soraya Ramli) 230


bahasa dengan cepat dan masa usia dini adalah masa emas pemerolehan bahasa.
Masyarakat secara umum berpikir semakin cepat memperkenalkan bahasa Inggris
pada anak akan semakin baik untuk kecerdasan anak dan untuk menghasilkan
pelafalan bahasa Inggris yang sempurna karena fleksibilitas organ ucap anak
masih tinggi.
Situasi ini terjadi karena banyak orang mengaitkan Critical Period
Hypothesis (CPH) dengan keberhasilan pembelajaran bahasa asing. Lightbown
(2008: 3) menyatakan bahwa the brain is receptive to language learning for only
a short time and that it is essential to take advantage of this plasticity if the best
outcomes are to be achieved for second language learning. Masa emas
pembelajaran bahasa pada anak yang singkat membuat orang tua memperkenalkan
bahasa asing sedini mungkin. Orang tua mungkin tidak menyadari bahwa anak
usia 3-5 tahun belum lama belajar berbahasa. Pelafalannya belum sempurna dan
masih ada proses fonetik yang sifatnya developmental. Proses seorang anak
belajar bahasa asing sama saja dengan saat anak mempelajari bahasa pertamanya
(Clarke, 2009).
Setiap manusia lahir dilengkapi organ ucap (organ of speech) sebagai alat
untuk menghasilkan ujaran agar dapat berinteraksi dengan manusia lainnya.
Untuk dapat menghasilkan bunyi bahasa, ada empat proses yang harus
dikoordininasikan. Yang pertama adalah proses respirasi di paru paru sebagai
pompa untuk menghasilkan udara. Kemudian, dilanjutkan dengan proses fonasi.
Proses fonasi terjadi saat udara bergerak ke area laring yang di dalamnya terdapat
pita suara untuk menentukan apakah udara yang keluar akan menjadi bunyi
bersuara atau tak bersuara. Selanjutnya, ada proses resonansi (oronasal) ketika
udara bergerak ke area faring untuk menentukan aliran udara keluar lewat rongga
mulut atau rongga hidung. Proses ini akan menghasilkan bunyi oral dan bunyi
nasal. Terakhir adalah proses artikulasi dengan artikulator aktif dan pasif yang ada
di dalam mulut. Mekanisme proses ini akan menghasilkan beragam bunyi
konsonan, vokal, dan diftong yang dapat dirangkai dalam ujaran sehingga dapat
digunakan untuk menghasilkan berbagai bunyi bahasa.
Pada anak-anak, keempat proses ini menentukan proses pemerolehan bahasa.
Kemampuan berbahasa seorang anak diperoleh melalui sebuah proses sehingga

231 Jurnal LINGUA Vo. 12 No. 2 Maret 2017


perlu ada pendekatan-pendekatan tertentu di dalamnya. Pendekatan ini pun
diarahkan berdasarkan tujuan pencapaian tertentu seperti kemampuan fonologis,
morfologis dan sintaksis. Setiap anak akan melalui proses pemerolehan bahasa ini
secara bertahap.
Perkembangan pemerolehan dan penguasaan bahasa anak secara umum
relatif sama. Dapat dikatakan bahwa pada rentang waktu dan umur tertentu, anak
memiliki kapasitas biologis, neurologis, dan kebahasaan yang relatif universal.
Misalnya, anak yang baru lahir telah dilengkapi oleh Language Acquistion
Devices (LAD) sebagaimana yang dinyatakan oleh Chomsky (Wen, 2013).
Vigotsky (dalam Chaer, 2003) mengatakan bahwa perkembangan dan
pemerolehan bahasa anak berhubungan dengan perkembangan kognitif. Hal ini
berarti kapasitas dan diferensiasi kognitif anak akan cenderung memengaruhi
tingkat pemerolehan dan penguasaan bahasanya.
Secara praktis dan empiris, hasil penelitian terkait penguasaan bahasa anak
baik yang bersifat monolitik (yang hanya memfokuskan pada pemerolehan dan
penguasaan bahasa itu sendiri) maupun secara holistik (yang mengkaitkan dengan
bidang ilmu lain yang terkait seperti psikologi atau kogintif) menunjukan hal yang
relatif berbeda dan beragam. Artinya, penelitian dengan tema dan kajian yang
sama hasilnya cenderung dapat berbeda dan beragam pada setiap anak walaupun
rentang usianya relatif sama atau sama.
Perbedaan ini menujukkan bahwa kajian pemerolehan dan penguasaan
bahasa anak tidak selalu dapat digeneralisasi. Dengan kata lain, ada
kecenderungan bahwa hasil penelitian cukup bervariasi dan terdiferensiasi
walaupun tema dan objek penelitian itu sama. Keberagaman hasil penelitian
menunjukkan bahwa diferensiasi pemerolehan bahasa anak, perbedaan kuantitas
dan kualitas pemerolehan, dan penguasaan bahasa anak dapat disebabkan oleh
sistem bahasa itu sendiri, lingkungan, atau pemajaan bahasa yang didengar oleh
anak.
Tahapan pertama pada pemerolehan bahasa yang dilalui seorang anak
adalah tangisan, bukan kata-kata. Setelah melalui tahap mengoceh (babbling),
anak memperoleh kata pertama (first word) hingga kemudian anak mampu
berbicara dengan lancar pada usia tiga sampai empat tahun. Tahap pemerolehan

Pelafalan Bahasa Inggris Anak (Soraya Ramli) 232


bahasa yang dilalui oleh setiap anak cenderung berbeda walaupun tetap dapat
dilakukan generalisasi. Anak dapat memperoleh bahasa manapun karena adanya
sifat universal yang dimiliki bahasa. Karena itu, konsep keuniversalan bahasa
perlu dimengerti dengan baik agar dapat memahami bagaimana anak
memperoleh bahasa. Menurut Kridalaksana, pemerolehan bahasa merupakan
proses pemahaman dan produksi bahasa pada manusia yang melalui beberapa tahap,
mulai dari meraba sampai kefasihan penuh (dikutip dalam Ahmad dan Abdullah,
2009). Proses tersebut terjadi dengan mencontoh atau meniru bunyi ujaran atau bahasa
yang dipakai dalam lingkungan sekitarnya untuk melafalkan bunyi-bunyi yang akan
diproduksi.
Pelafalan merupakan komponen utama dari sistem bunyi bahasa.
Komponen ini dapat terjadi dalam bunyi independen atau berdiri sendiri baik
vokal maupun konsonan. Selanjutnya, bunyi vokal dan konsonan tergabung
dengan sistem fonologi sehingga membentuk kata yang bermakna. Berkaitan
dengan pelafalan, proses pelafalan bunyi sebenarnya dapat dilakukan secara
mandiri, tidak dalam bentuk kata. Namun, dalam proses pemerolehan dan belajar
bahasa, pelafalan dikaitkan dengan kata. Pengucapan merupakan representasi dari
bunyi itu sendiri yang dilafalkan dalam bentuk kata (word). Jadi pelafalan sistem
bunyi baik vokal, konsonan maupun diftong dilakukan dalam bentuk kata dan
bukan dalam bentuk bunyi secara terpisah.
Dalam proses pemerolehan dan belajar bahasa, baik bahasa pertama, kedua
atau asing, anak sering mengalami kesulitan dan memproduksi bunyi bahasa
secara benar dan akurat. Kemampuan anak dalam melafalkan dan mengucapkan
sistem dan pola bunyi tersebut tergantung pada umur, bahasa itu sendiri, dan lain
sebagainya. Anak sudah mulai dapat mengucapkan sistem bunyi bahasa ibunya
dengan baik ketika mereka sudah berumur 18 bulan hingga 23 bulan. Itu artinya
anak diasumsikan akan mampu mengucapkan sistem bunyi bahasa ibunya (native
language) pada usia tersebut. Kuantitas bunyi yang dipajankan juga memengaruhi
kemampuan anak dalam memperoleh sistem bunyi bahasa. Secara teoritis dan
empiris, kuantitas bunyi yang dieksposes juga merujuk pada kualitas bunyi itu
sendiri. Seorang anak mendengar dan memersepsi bunyi tidak saja dari segi
seberapa sering bunyi itu diucapkan tetapi juga dari ketepatan bunyi yang

233 Jurnal LINGUA Vo. 12 No. 2 Maret 2017


diucapkan. Kemampuan fonetik seorang anak memengaruhi bunyi yang
dihasilkan. Kemampuan fonetik merujuk pada kemampuan anak secara fisik
dalam hal kemampuan mendengarkan, memersepsikan, dan memproduksi sebuah
bunyi.
Pemahaman masyarakat tentang perkembangan penguasaan bahasa yang
cepat pada anak dengan perkembangan anak menghasilkan bunyi bahasa membuat
situasi ini perlu dikaji secara mendalam untuk mendapatkan pemahaman yang
menyeluruh tentang proses fonologis yang terjadi ketika anak menyelami bahasa
asing (kedua) pada saat penguasaan bahasa pertamanya belum sempurna.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus.


Data berupa proses fonologis diperoleh dengan wawancara tidak terstruktur dan
perekaman. Wawancara dilakukan untuk memperoleh data tentang anak yang
menjadi subyek penelitian dan merekam pelafalannya. Pertanyaan wawancara
ditujukan kepada orang tua anak tersebut dan anak yang menjadi subyek
penelitian. Data dalam penelitian ini merupakan proses fonologis dari tuturan kata
bahasa Inggris anak-anak yang berusia 3-5 tahun. Data hasil perekaman
ditranskripsi dan dianalisis dengan menggunakan teori Khan and Lewis. Setiap
proses diidentifikasi, dikategorisasi dan dianalisis.

TINJAUAN TEORETIS

Istilah kemampuan fonetik relatif terkadang didefinisikan berbeda-beda.


Ada ahli yang mengatakan kemampuan fonetik (phonetic ability) juga sering
disebut aptitude for oral mimicry, phonetic coding ability, atau auditory
discrimination ability (Kenworthy, 1997). Kemampuan fonetik berperan penting
dalam memproduksi bunyi. Bila anak memiliki kemampuan yang kurang secara
biologis dan fisik, tentu bunyi yang dihasilkan tidak akan sesuai dengan sistem
bunyi bahasa tersebut (Chaer, 2003). Setelah melewati periode babbling
(mengoceh), bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan seorang anak makin bertambah
variasinya dan makin kompleks kombinasinya.

Pelafalan Bahasa Inggris Anak (Soraya Ramli) 234


Terkait dengan produksi bunyi (fonem) tersebut, seorang anak akan
memasuki tahap perkembangan fonologis dengan penyiapan alat bicara telah
dimulai sejak lahir sampai kira-kira usia satu tahun. Menurut Sanders (dikutip
dalam House, 1998), bunyi vokal mulai diproduksi bayi pada usia dua bulan, di
mulai dari vokal pusat (central), yang diikuti vokal depan, dan belakang. Bunyi
vokal tersebut akan terus disempurnakan hingga usia dua tahun. Bunyi konsonan
mulai diproduksi sebelum usia dua tahun dengan bunyi konsonan awal yang
dihasilkan adalah /p/,/m/,/h/,/n/,/w/, dan /b/. Pada tahap selanjutnya, konsonan
yang dikuasai adalah /k/,/g/,/d/,/t/,// sebagaimana yang tergambar dalam bagan
Sanders norm.
Bagan 1. Sanders Norm

Setiap anak membuat kesalahan pengucapan ketika mereka belajar berbicara.


Kesalahan-kesalahan ini biasanya berbentuk kesalahan bunyi yang diakibatkan
oleh adanya halangan-halangan teknis tertentu ketika tempat dan cara artikulasi

235 Jurnal LINGUA Vo. 12 No. 2 Maret 2017


menghasilkan ujaran dan menyebabkan hasil ujaran tidak sempurna. Kesalahan ini
juga disebut sebagai phonological deviations atau phonological process.
Setelah melewati periode mengoceh, anak-anak mulai menguasai segmen-
segmen fonetik. Cara mereka menguasai segmen fonetik adalah dengan
menggunakan teori hypothesis-testing atau prosedur penemuan (discovery
procedures). Menurut teori ini, anak-anak menguji coba berbagai hipotesis
tentang bagaimana memproduksi bunyi yang benar. Namun, karena memori span
anak-anak yang yang masih pendek dan proses representasi bunyi yang belum
sempurna, pada tahap permulaan pemerolehan bahasa, biasanya anak-anak
memproduksi perkataan orang dewasa yang disederhanakan dengan cara
menghilangkan konsonan akhir, mengurangi jumlah suku kata, mengganti bunyi,
menghilangkan bunyi, dan lain-lain. Hal ini disebut proses fonologis.
Perkembangan fonologis sangat cepat terjadi pada periode sebelum dua tahun
untuk penguasaan vokal dan beberapa konsonan dan penguasaan konsonan
lanjutan.
Untuk mengetahui penguasaan produksi ujaran fonologi, instrumen
pengujiannya adalah kata. Jadi, pengujian penguasaan produksi fonologi
dilakukan melalui kata dan bukan bunyi secara independen. Secara umum, kata
sudah dapat diproduksi oleh anak ketika anak berumur satu tahun. Namun,
Dardjowidjojo (2005) mengatakan bahwa anak Indonesia sedikit mengalami
keterlambatan dalam proses pemerolehan bahasa bila dibandingkan dengan anak
Inggris. Anak Indonesia mulai mampu memproduksi fonologi ketika anak
berumur sekitar 1,6 tahun. Hal ini terjadi karena sebagian besar kata Bahasa
Indonesia menganut polisilabik sedangkan Bahasa Inggris memiliki pola
monosilabik. Pada bahasa yang sebagian besar kosakatanya menganut polisilabik,
anak harus bekerja keras menganalisis terlebih dahulu silabik kata tersebut, baru
kemudian dia menentukan suku kata mana akan diambil dan diproduksi. Misalnya
jika anak disuruh mengucapkan kata sepeda, maka anak akan memilih suku mana
yang paling mungkin dipilih. Dengan demikian, sangat mungkin anak akan
mengucapkan pe-da dari pada se-pe-da. Kenyataan lain juga mungkin terjadi,
anak cenderung mengambil sistem bunyi yang berbeda dengan anak lainnya.
Dalam memproduksi sistem bunyi, secara universal, anak di manapun berada

Pelafalan Bahasa Inggris Anak (Soraya Ramli) 236


cenderung memperhatikan akhir suatu bentuk atau cenderung mengambil suku
kata terakhir (Dardjowidjojo, 2005).
Menurut House (1998), tidak semua anak mengembangkan konsonan
dengan mudah pada usia target. Beberapa anak mengalami lambat dari
perkembangan normal dari fonem, sedangkan yang lain menunjukkan pola
perkembangan yang sama mulai dari substitusi (penggantian), omission
(penghilangan), dan distortion (distorsi). Substitusi adalah mengganti satu fonem
untuk yang lain, seperti /b/ untuk /v/ misalnya kata ban [bn] untuk kata Van
[vn]. Omission (penghilangan) adalah ketika suara dihilangkan dari kata. Ujung
dihilangkan dari kata, seperti pada kata left [lef] untuk kata yang seharusnya
dilafalkan [left]. Distorsi terjadi ketika fonem diproduksi menggunakan variasi
alofonik tidak benar seperti sun [n] untuk yang seharusnya dibaca [sn]. Anak-
anak mengganti, menghilangkan, atau mendistorsi fonem untuk berbagai alasan
termasuk perkembangan, pendengaran, keterbatasan fisik, atau gigi; imitasi, atau
masalah belajar sistem aturan bahasa itu.
Selain belajar fonem dari bahasa, pola suku kata yang berbeda mulai
berkembang tak lama sebelum akhir tahun pertama anak atau segera setelah dua
fonem yang dihasilkan secara berurutan. Pola awal terdiri dari pola CV hi [hai]
atau VC up [p]. Pola-pola awal berkembang menjadi KVKV misalnya mama
[mama], CVC cat [kt], dan reduplikasi atau KVKV cookie ['kuki]. Selama waktu
tersebut, perkembangan sebuah CVC beberapa pola juga berkembang, tetapi
dalam banyak kasus konsonan akhir dihilangkan selama produksi.
Proses fonologis adalah serangkaian pola yang digunakan oleh anak-anak
untuk menyederhanakan ujaran orang dewasa. Pola-pola digunakan karena anak
belum memiliki kapasitas untuk memproduksi bicara orang dewasa. Pola-pola ini
tampaknya merupakan bawaan pada semua anak tetapi tidak selalu berkembang
pada tingkat yang sama. Pola fonologi terdiri dari suku kata kombinasi, kombinasi
cluster, dan kombinasi CV. Proses ini menjelaskan pola subtitutions, ommission,
dan distortion hadir dalam ujaran berkembang antara usia 2 dan 5 tahun.
Menurut Khan dan Lewis (dalam House, 1986), ada 15 proses fonologis
kunci (12 terjadi sebagai bagian dari proses perkembangan normal dan tiga proses
fonologis tidak dalam proses perkembangan. Proses yang terkait dengan

237 Jurnal LINGUA Vo. 12 No. 2 Maret 2017


Perkembangan Fonologi normal (untuk menghindari kerancuan istilah, istilah dari
Khan dan Lewsi tidak diubah) adalah sebagai berikut:
a. Deletion of Final Consonant. Bunyi konsonan terakhir dalam kata atau
suku kata yang dihapus mengubah bentuk suku kata. Misalnya dari bag CVC
[bg] menjadi CV [b]. Suku kata berubah dari tertutup ke suku kata terbuka.
b. Initial Voicing: Penggunaan konsonan bersuara di tempat konsonan tak
bersuara pada posisi awal kata atau suku kata. Biasanya anak menggantinya
dengan cognates, misalnya, dog [dg] menjadi [tg] atau dari [dg] menjadi [gg]
c. Syllable Reduction: Satu atau lebih suku kata dalam kata akan dihapus,
seperti ketika library ['lai, brri] menjadi [' lai, bri].
d. Palatal fronting: Tempat artikulasi berubah dari daerah postalveolar ke
daerah alveolar, seperti ketika ship [ip] menjadi [sip].
e. Deaffrication: Bagian stop afrikat akan dihapus. Kata cheek [tik] menjadi
[ik].
f. Velar fronting: Tempat artikulasi fonem velar digeser ke daerah alveolar.
Misalnya cap [kp] menjadi [tp].
g. Consonant Harmony: Jika kata itu memiliki dua atau lebih konsonan,
konsonan diproduksi dengan tempat artikulasi yang sama sehingga bunyi
konsonan yang ada dalam kata menjadi sama, seperti ketika cup [kp] menjadi
[pp].
h. Stridency Deletion: Konsonan stridency dihapus, seperti ketika sun [sn]
menjadi [n], atau diganti dengan glotal, karena ketika chip [tip] menjadi [ip].
i. Stopping of fricative dan affricates: Ini adalah ketika sebuah konsonan
stop menggantikan sebuah bunyi frikatif. Sebagai contoh, kata thanks [k]
menjadi [pk]. Ketika afrikat sebuah dihentikan, hanya komponen bunyi plosif/
stop yang diproduksi, seperti ketika [in] menjadi [tin].
j. Cluster Simplification: Satu atau lebih dari konsonan dalam konteks CC
atau CCC di setiap posisi kata tersebut dihapus atau bunyi schwa dimasukkan.
Misalnya, lampu [lmp] menjadi [Im]
k. Final Devoicing: Bagian bersuara dihapus pada konsonan terakhir dalam
kata atau suku kata. Biasanya terjadi pada produksi serumpun tak bersuara, seperti
ketika bud [bd] menjadi [bt].

Pelafalan Bahasa Inggris Anak (Soraya Ramli) 238


l. Liquid Simplificationgliding of Liquid: Fonem-fonem liquid /l/ dan /r/
diproduksi sebagai / w / dan / j /, misalnya, light [lait] menjadi [wait].
m. Gliding of Fricative: Setiap fonem frikatif diproduksi sebagai /j/ atau /w/,
misalnya five [faiv] menjadi [jaiv]. (Proses ini sangat tidak umum.)
n. Vocalization of Liquids: Sebuah vokal diproduksi menggantikan suku kata
/r/ dalam suku kata tanpa tekanan, misalnya, flower ['flau wr] menjadi ['
flauw].

Selanjutnya, masih ada proses fonologis yang tidak terkait dengan proses
perkembangan anak. Dengan kata lain, proses ini mungkin saja dilakukan oleh
orang dewasa atau mewakili kesalahan fonologi di segala usia.
a. Deletion of Initial Consonant: Konsonan pertama dalam kata atau suku
kata dihapus, seperti top [tp] menjadi [p].
b. Glottal Replacement: Bunyi glotal digunakan untuk mengganti konsonan
atau gugus konsonan yang ada di tengah kata, misalnya, sleeping [sli:pi] menjadi
['sli?i].
c. Backing for velars: Ini adalah ketika setiap konsonan diproduksi sebagai
fonem velar atau /h/, seperti ketika up [p] menjadi [k].

Proses fonologis terbagi menjadi tiga kategori umum: proses struktur suku
kata (Syllable structure) seperti final consonant deletion, proses assimilatory
seperti final consonant devoicing, dan proses substitusi seperti stopping of
fricative and affricates (House, 1986). Terdapat sembilan proses yang umum
dalam ujaran anak-anak antara usia 2 sampai 5. Proses tersebut antara lain weak
syllable deletion, final consonant deletion, reduplication, consonant harmony,
cluster reduction, Stopping, fronting, gliding, dan context sensitive voicing.
Umumnya, proses fonologis digunakan terutama oleh anak-anak belajar bahasa
selama 5 tahun pertama, kecuali yang sifatnya nondevelopmental (tidak terkait
dengan proses perkembangan) yang dapat teridentifikasi pada segala usia.

239 Jurnal LINGUA Vo. 12 No. 2 Maret 2017


HASIL DAN PEMBAHASAN

Sumber data untuk penelitian ini adalah 6 orang anak yang berusia 3-5
tahun. Masing-masing 2 orang anak untuk setiap kelompok umur. Analisis
fonologis secara kualitatif dilakukan pada semua subyek penelitian dengan
mengamati kata-kata yang diucapkan dan melakukan rangsangan agar mereka
mengucapkan kata tertentu bahasa Inggris. Misalnya dengan ditanya, diminta
bercerita, membaca atau bernyanyi. Jawaban, cerita, bacaan atau nyanyian para
subyek penelitian direkam secara audio atau video. Hal ini dilakukan supaya
pengambilan data berlangsung dalam kondisi alamiah.
Hasil perekaman kemudian ditranskripsi. Penulisan transkripsi fonetik
menggunakan lambang bunyi dari IPA (International Phonetic Alphabet)
sehingga tidak rancu dengan ejaan kata tersebut. Dari setiap subyek penelitian,
diambil masing-masing 10 sampel proses fonologis untuk dianalisis. Setiap proses
fonologis akan diidentifikasi jenisnya, sebagaimana dalam kedua contoh berikut
ini.

a. Subyek 1 (3 tahun)
Data yang diambil dari Subyek 1 adalah kata cake, chin, red, cat, teeth, sun,
shrimp, thin, flower, bud, dan lamp. Kesepuluh kata ini mengalami proses
fonologis ketika dilafalkan. Tabel 1 menjelaskan temuan proses fonologis yang
ditemukan.
Tabel 2. Proses Fonologis 1

Kata Data Proses Analisis


Fonologis
Cake /kek / ! /tek/ Velar fronting Tempat artikulasi di awal kata berubah dari /k/
yang merupakan bunyi velar menjadi /t/ yang
ada di depan atau posisi alveolar (from velar to
alveolar)
Chin /tn / ! /n/ Deaffrication Bagian stop/plosif pada paduan /t/di awal kata
hilang. Hanya tinggal bunyi //
Red /red/ ! / ret / Final devoicing Bunyi di akhir kata berubah dari bersuara
menjadi tidak bersuara atau dari /d/ menjadi /t/
Cat /kt/!/tt/ Consonant bunyi konsonan /k/ didalam kata ini berubah
harmony menjadi /t/ sehingga bunyi konsonan yang ada
di awal kata menjadi sama dengan di akhir
kata.
Teeth /ti /!/tit/ Stopping of Bunyi fricatif // diganti dengan bunyi plosif /t/
fricatives

Pelafalan Bahasa Inggris Anak (Soraya Ramli) 240


Consonant bunyi konsonan / / didalam kata ini berubah
Harmony menjadi /t/ sehingga bunyi konsonan yang ada
di awal kata menjadi sama dengan di akhir
kata.
Sun /sn/!/n/ Stridency Bunyi konsonan stridency /s/ hilang di bagian
deletion awal kata
Shrimp /rmp/! /rm/ Cluster reduction Bunyi konsonan stridency dalam gugus
konsonan /r/ berubah karena // hilang
sehingga tidak jadi gugus konsonan lagi
Thin /n/ !/ tn / Stopping of Bunyi frikatif // diganti dengan bunyi plosif /t/
fricatives
Flower /fla(r)/! Stopping of Bunyi frikatif /f/ diganti dengan bunyi plosif
/pla(r) / fricatives /p/
Bud /bd/!/bt/ Final devoicing Bunyi konsonan bersuara /d/ di akhir kata
diganti dengan bunyi homorganik yang tidak
bersuara atau /t/
Lamp /lmp/!/ lm / Cluster reduction Bunyi konsonan stridency dalam gugus
konsonan /mp/ ai akhir kata berubah karena
bunyi /p/ hilang sehingga tidak jadi gugus
konsonan lagi

Sepuluh proses fonologis yang dilakukan oleh subyek 1 saat bercerita adalah
Velar fronting, Deaffrication, Final devoicing, Stopping of fricatives, Consonant
Harmony, Stridency deletion, Cluster reduction, dan Stopping of fricatives.
Yang dominan dilakukan Subyek 1 adalah final devoicing sebanyak 2 kali,
cluster reduction sebanyak 3 kali, stopping of fricatives sebanyak 2 kali dan
consonant harmony sebanyak 2 kali. Pada kata yang diakhiri dengan bunyi /d/
seperti red dan bud, subyek 1 selalu mengganti bunyi /d/ dengan pasangan
homorganik yang tidak bersuara atau /t/. Hal ini memudahkan bagi anak karena
posisi pita suara dalam keadaan terbuka sehingga udara lebih mudah keluar
dibandingkan dengan produksi bunyi /d/ yang bersuara.
Kemudian, bunyi-bunyi frikatif seperti // dan /f/ dilafalkan dengan bunyi
plosif seperti /t/ atau /p/. Proses fonetik ini disebut stopping of fricative. Pada kata
thin, Subyek 1 melafalkan kata /n/ dengan /tn/ sedangkan bunyi /f/ pada kata
flower dilafalkan sebagai /p/ sehingga menjadi /pla(r)/. Bunyi frikatif
merupakan bunyi yang diproduksi dengan hambatan sebagian sehingga lidah dan
bibir bawah sebagai artikulator aktif tidak sampai menyentuh artikulator pasif.
Seorang penutur akan menahan posisi artikulator aktif agar tidak menyentuh
artikulator pasif sambil mengeluarkan udara secara perlahan agar menghasilkan
bunyi yang sempurna. Untuk anak anak cara produksi seperti ini tidak mudah
dilakukan. Mereka lebih mudah memproduksi konsonan plosif karena pada bunyi

241 Jurnal LINGUA Vo. 12 No. 2 Maret 2017


plosif, artikulator aktif menyentuh artikulator pasif sehingga anak tidak perlu
menahan. Mereka dapat lagsung menempatkan artikulator aktif pada artikulator
pasif sambil memproduksi udara lewat mulut.
Dari 10 kata, ada empat kata yang mengalami penghilangan (omission)
dalam tiga jenis proses fonetik. Yang pertama adalah deaffrication. Proses
deaffrication terjadi pada kata chin. Bunyi /t/ yang merupakan paduan bunyi
plosif dan frikatif, hilang salah satu unsurnya. Bagian stop/plosif pada paduan
/t/di awal kata hilang. Hanya tinggal bunyi //. Karena itu, kata chin dilafalkan
dengan /n/. Kemudian, proses fonetik yang menunjukkan penghilangan bunyi
adalah stridency deletion. Kata sun yang terdiri atas tiga fonem, hanya dilafalkan
dengan dua fonem. Kata /sn/ dilafalkan sebagai /n/. Fonem di awal kata hilang.
Yang ketiga terjadi pada proses fonetik adalah penyederhanaan gugus
konsonan (cluster reduction). Di akhir kata shrimp dan lamp, ada gugus konsonan
/mp/. Pada kedua kata, gugus konsonan di akhir hanya dilafalkan sebagai bunyi
tunggal /m/. Bunyi di awal kata shrimp juga merupakan gugus konsonan /r/.
Subyek 1 hanya melafalkan bunyi tunggal /r/ dan menghilangkan bunyi //.
Dengan kata lain, ada tiga cluster reduction atau pengurangan bunyi pada gugus
konsonan. Dua terjadi dalam kata shrimp dan satu proses terjadi pada kata lamp.
Dengan kata lain, meskipun /mp/ adalah gugus konsonan dengan bunyi-bunyi
bilabial yang diproduksi di tempat yang sama, tetapi mengujarkan dua konsonan
berturut-turut dalam satu gugus masih merupakan hal yang sulit bagi anak.
Kemudian, dalam data Subyek 1, ada distorsi saat melafalkan kata cake
/kek/ yang dilafalkan menjadi /tek/. Proses fonetik ini disebut Velar fronting
karena tempat artikulasi di awal kata berubah dari /k/ yang merupakan bunyi velar
menjadi /t/ yang ada di depan atau posisi alveolar (dari velar menuju alveolar).
Kemudian, bunyi /k/ diganti dengan bunyi /t/ pada kata cat /kt/ sehingga
menjadi /tt/menjadi dan bunyi // yang dilafalkan dengan bunyi /t/ pada kata
teeth /ti /sehingga menjadi /tit/. Hal ini membuat bunyi konsonan yang
dihasilkan menjadi sama di awal dan di akhir kata. Proses fonetik tersebut adalah
consonant harmony. Produksi consonant harmony memudahkan anak untuk
menghasilkan pelafalan suatu kata karena anak hanya perlu mengingat satu bunyi
konsonan saja.

Pelafalan Bahasa Inggris Anak (Soraya Ramli) 242


b. Subyek 2 (4 tahun)

Contoh analisis dari subyek 2 memperlihatkan proses fonologis yang terjadi


pada kata-kata bag, board, fish, telephone, banana, elephant, sheep, shoe, shoot,
dan car. Temuan dan analisis proses fonologis dari Subyek 2 dapat dilihat dalam
tabel 2 berikut ini.

Tabel 3. Proses Fonologis 2

Kata Data Proses Fonologis Analisis


Bag /b/!/ b/ deletion of final Konsonan di akhir kata /g/ hilang
consonant
Board /bd/ !/b/ deletion of final Konsonan /d/ di akhir kata hilang
consonants
Fish /f /! /pi / stopping of Bunyi frikatif /f/ diganti dengan bunyi plosif
fricatives /p/
tele- /telfn/! syllable reduction Suku kata /li/yang ada di tengah kata ini
phone /tefn / hilang.
banana /bnn/! syllable reduction Suku kata /b/yang ada di awal kata ini
/nn/ hilang.
ele- /elfnt / ! syllable reduction Suku kata /li/yang ada di tengah kata ini
phant /efnt / hilang.
sheep /ip/!/ sip / palatal fronting Tempat artikulasi di awal kata berubah dari
// yang merupakan bunyi alveopalatal
menjadi /s/ yang ada di depan atau posisi
alveolar (from palatal to alveolar)
shoe /u/!/su/ palatal fronting Tempat artikulasi di awal kata berubah dari
// yang merupakan bunyi alveopalatal
menjadi /s/ yang ada di depan atau posisi
alveolar (from palatal to alveolar)
shoot ut /!/sut/ palatal fronting Tempat artikulasi di awal kata berubah dari
// yang merupakan bunyi alveopalatal
menjadi /s/ yang ada di depan atau posisi
alveolar (from palatal to alveolar)
car /k:/!/t:/ velar fronting Tempat artikulasi di awal kata berubah dari
/k/ yang merupakan bunyi velar menjadi /t/
yang ada di depan atau posisi alveolar (from
velar to alveolar)

Subyek 2 melakukan sepuluh proses fonologis saat mengujarkan beberapa


bunyi bahasa. Proses fonologis tersebut adalah deletion of final consonant
sebanyak dua data; stopping of fricatives sebanyak satu data; syllable reduction
sebanyak tiga data; palatal fronting sebanyak tiga data; dan velar fronting
sebanyak satu data.
Dari 10 kata, ada empat kata yang mengalami penghilangan (omission)
dalam tiga jenis proses fonetik. Yang pertama adalah penghilangan bunyi
konsonan di akhir (deletion of final consonant). Proses ini ditemukan pada kata

243 Jurnal LINGUA Vo. 12 No. 2 Maret 2017


bag dan board. Dalam kedua kata ini, Subyek 2 menghilangkan konsonan /g/
yang terletak di akhir kata /b/ sehingga dilafalkan dengan /b/. Dalam kata
board bd/, bunyi /d/ diakhir kata juga hilang sehingga Subyek 2 melafalkannya
dengan /b/
Kemudian, yang mengalami penghilangan bunyi adalah pengurangan
jumlah suku kata (syllable reduction). Kata telephone yang mempunyai tiga suku
kata hanya dilafalkan dengan /tefn/ sehingga hanya mempunyai dua suku kata.
Suku kata yang terletak di tengah kata hilang. Suku kata di awal kata banana juga
hilang sehingga menjadi /nn/. Kata elephant /elfnt/ juga mengalami
pengurangan suku kata sehingga menjadi /efnt /. Suku kata /li/ yang ada di
tengah kata hilang.
Penghilangan bunyi (omission), baik pada tataran bunyi, di awal dan di
akhir, dan pada tataran suku kata menunjukkan bahwa meskipun Subyek 2 telah
genap berusia empat tahun, suku kata lebih dari satu masih merupakan kendala
karena memory span yang masih pendek dan kemampuan berartikulasi yang
belum sempurna sehingga pengurangan jumlah suku kata sering dilakukan. Sama
seperti yang dikemukakan Darjojuwono bahwa jika ada bunyi yang hilang, anak
akan cenderung mempertahankan bunyi yang di akhir. Karena itu, dalam tiga kata
yang mengalami syllable reduction, suku kata yang hilang adalah yang di posisi
depan atau tengah. Suku kata di akhir kata tidak ada yang hilang.
Yang juga ditemukan dalam data Subyek 2 adalah ada tiga kata yang
menggunakan fonetik proses fronting, yaitu velar fronting dan palatal fronting.
Pada kata sheep, shoe dan shoot, semua bunyi // dilafalkan menjadi /s/. Tempat
artikulasi di awal kata berubah dari // yang merupakan bunyi alveopalatal
menjadi /s/ yang ada di depan atau posisi alveolar (from palatal to alveolar).
Kemudian, dalam data Subyek 2, ada distorsi saat melafalkan kata car /ka:/
yang dilafalkannya menjadi /ta:/. Tempat artikulasi di awal kata berubah dari /k/
yang merupakan bunyi velar menjadi /t/ yang ada di depan atau posisi alveolar
(dari bunyi velar menjadi bunyi alveolar).
Kemudian, bunyi frikatif seperti /f/ dilafalkan dengan bunyi plosif /p/.
Proses fonetik ini disebut Stopping of fricative. Pada kata fish /f/, Subyek 2
melafalkannya dengan /pi/. Bunyi frikatif merupakan bunyi yang diproduksi

Pelafalan Bahasa Inggris Anak (Soraya Ramli) 244


dengan hambatan sebagian sehingga lidah dan bibir bawah sebagai artikulator
aktif tidak sampai menyentuh artikulator pasif. Seorang penutur akan menahan
posisi artikulator aktif agar tidak menyentuh artikulator pasif sambil
mengeluarkan udara secara perlahan agar menghasilkan bunyi yang sempurna.
Untuk anak anak, cara produksi seperti ini tidak mudah dilakukan. Mereka lebih
mudah memproduksi konsonan plosif karena pada bunyi plosif, artikulator aktif
menyentuh artikulator pasif sehingga anak tidak perlu menahan. Mereka dapat
langsung menempatkan artikulator aktif pada artikulator pasif sambil
memproduksi udara lewat mulut.
Dari hasil analisis, jika dirangkum, terlihat bahwa proses fonologis yang
banyak terjadi pada pemerolehan fonologi anak berusia 3-5 tahun adalah:

Tabel 4. Temuan Proses Fonologis

Usia Proses Fonologis


3 tahun " Final devoicing, " Velar fronting,
" deletion of final consonant, " Deaffrication,
" Consonant Harmony, " Final devoicing, (2)
" Gliding of liquids, " Consonant Harmony, (2)
" Velar fronting, " Stridency deletion,
" Palatal fronting, (2) " Cluster reduction/
" Syllable reduction, Cluster simplification (3) dan
" Stopping of fricatives, dan " Stopping of fricatives (2)
" cluster simplification (2)
4 tahun " deletion of final consonant (2); " Deletion of final consonant,
" stopping of fricatives " Gliding of Liquid,
" syllable reduction (3) " Cluster simplification (3)
" palatal fronting (3) " Stopping of fricative (3),
" velar fronting " Final devoicing (3)
5 tahun " stopping of fricative (3), " cluster simplification (3)
" cluster simplification (2) " palatal fronting,
" final devoicing (3) " liquid simplification (2)
" gliding of fricative dan, " final devoicing (2) dan
" palatal fronting. " liquid gliding (2)

Data menunjukkan bahwa semakin bertambah usia seorang anak, semakin


berkurang pula variasi proses fonetiknya. Pada usia 3 tahun, ada 10 variasi proses
fonetik yang terjadi. Namun, saat berusia 4 tahun, variasi proses fonetiknya
berkurang menjadi 8. Tetapi pada usia 5 tahun ada 7 proses fonetik. Hal ini
menandakan bahwa semakin sempurna organ ucap seorang anak sehingga
pelafalannya juga makin sempurna.
Bunyi hilang terjadi melalui proses penghilangan bunyi dan pengurangan
gugus konsonan, penghilangan bunyi stridency, dan pengurangan suku kata. Di

245 Jurnal LINGUA Vo. 12 No. 2 Maret 2017


posisi inisial, tidak ada bunyi yang hilang. Namun, pada posisi final, ada beberapa
bunyi yang hilang. Proses ini terjadi pada anak yang berusia 3-4 tahun. Kemudian,
penghilangan bunyi stridency terjadi hanya pada anak usia tiga tahun. Bunyi
stridency merupakan bunyi yang diproduksi secara intens. Bunyi ini diproduksi
dengan menahan posisi lidah dekat dengan artikulator pasif sehingga tidak mudah
dilakukan oleh anak usia 3 tahun.
Pada usia 5 tahun, tidak ada lagi bunyi yang hilang. Tetapi pengurangan
bunyi konsonan dalam gugus konsonan masih terjadi sampai 5 tahun. Hal ini
menandakan bahwa pelafalan gugus konsonan bagi anak bukan hal yang mudah.
Hal ini mungkin terjadi karena anak Indonesia terbiasa dengan struktur konsonan
vokal Bahasa Indonesia yang umumnya berstruktur konsonan vokal atau
konsonan-vokal-konsonan sehingga saat mempelajari bahasa Inggris yang banyak
menggunakan gugus konsonan, anak mengalami kesulitan.
Ada lima proses fonetik yang melibatkan bunyi yang diganti (substitution).
Pertama adalah final devoicing yang terjadi pada usia 3-5 tahun. Hal ini
menandakan bahwa untuk anak usia 3-5 tahun, mengakhiri kata dengan bunyi
bersuara cenderung lebih sulit dibandingkan dengan yang tidak bersuara.
Kemudian ada juga bunyi yang diganti dengan bunyi lain yang diproduksi di
depan. Untuk velar fronting terjadi pada usia 3-4 tahun sedangkan palatal fronting
terjadi dari usia 3-5 tahun. Hal ini menandakan bahwa untuk anak usia dini, bunyi
belakang lebih sulit untuk diproduksi. Hal ini juga terlihat dari beberapa bunyi
frikatif yang diganti dengan bunyi plosif atau stop karena letaknya lebih di depan.
Proses fonetik stopping of fricative terjadi pada usia 3-5 tahun. Kemudian, bunyi-
bunyi gliding seperti /j/ atau /w/ sering diganti dengan bunyi liquid /l/ dan /r/. Hal
ini juga memperlihatkan bahwa bunyi yang diproduksi dengan hambatan penuh
(artikulator aktif menyentuh artikulator pasif) lebih mudah bagi anak dari pada
yang hambatannya tidak penuh. Pada bunyi hambatan penuh, artikulator aktif
adapat menyentuh artikulator pasif tanpa menahan artikulator aktif pada posisi
tertentu. Namun, juga ada bunyi gliding yang diganti dengan bunyi frikatif. Bunyi
gliding dan bunyi frikatif sama sama menggunakan hambatan tidak penuh.
Namun, bunyi frikatif diproduksi lebih di depan sehingga lebih mudah proses
produksinya.

Pelafalan Bahasa Inggris Anak (Soraya Ramli) 246


Kategori proses fonetik yang merupakan distorsi adalah consonant harmony
dan deaffrication. Keduanya terjadi pada anak yang berusia 3 tahun. Consonant
harmony terjadi karena ada dua bunyi konsonan yang berbeda mengapit sebuah
bunyi vokal. Konsonan yang berbeda menyulitkan anak usia 3 tahun karena ia
harus mengingat dan memproduksi kedua konsonan dengan karakter yang berbeda.
Karena itu, anak cenderung menggunakan konsonan yang sama untuk kedua
posisi tersebut sehingga anak hanya tinggal kembali ke posisi konsonan
sebelumnya. Bunyi deaffrication terjadi karena bunyi paduan mengandung dua
unsur bunyi konsonan. Anak usia 3 tahun hanya dapat melafalkan salah satu unsur
bunyi tersebut. Biasanya yang hilang adalah bagian frikatifnya. Anak usia 3 tahun
lebih mudah untuk melafalkan bunyi plosifnya saja.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan data di atas dapat disimpulkan bahwa


pemerolehan bahasa sangat bergantung pada kemampuan neurobiologis bukan
saja pada hitungan tahun usia. Terbukti dari data yang ditunjukkan oleh para
subyek penelitian. Pada umumnya, proses fonologis yang banyak muncul pada
pemerolehan fonologi anak berusia 3-5 tahun adalah final devoicing, stopping of
fricative, deletion of final consonant, syllable reduction, dan liquid simplification.
Hal ini berarti anak berusia 3-5 tahun masih mengalami kesulitan untuk
memproduksi bunyi tertentu, masih bermasalah dengan memori span untuk
mendengar dan memersepsi bunyi-bunyi yang didengar. Penyederhanaan yang
umum dilakukan adalah dengan menyederhanakan bunyi yang diproduksi dengan
menghilangkan bunyi yang belum dapat dikuasai, atau dengan mengurangi suku
kata.
Para guru dan orang tua yang mengaharapkan anaknya belajar bahasa
Inggris sebagai bahasa asing sedini mungkin harus mempertimbangkan variasi
bunyi yang tidak umum dalam bahasa Indonesia seperti beberapa bunyi stridency
[, ] atau memperhatikan bahwa beberapa posisi bunyi dengan hambatan tidak
penuh dan bunyi yang diproduksi dengan artikulator bagian belakang baru dapat
diproduksi secara baik saat organ ucap anak semakin sempurna. Dengan demikian,
orang tua dapat menunggu kesiapan organ ucap anak untuk mendapatkan

247 Jurnal LINGUA Vo. 12 No. 2 Maret 2017


pelafalan bahasa Inggris yang sempurna agar anak dapat memperoleh bahasa
Inggris dengan lebih maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. (2003). Psikolinguistik Umum: Kajian Teoritik. Jakarta: PT


Rineka Cipta.
Clarke, Priscilla. (2009). Supporting Children Learning English as Second
Language in The Early Years. Victoria: Victorian Curricilum and
Assessment Authority
Dardjowidjojo, S. (2005) Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia. Jakarta: Yayasan obor Indonesia.
House, Linda. I . (1998). Introductory Phonetics and Phonology: A workbook
Approach. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
H. P., Ahmad & Alex Abdullah. (2009). Linguistik Umum: Sebuah Ancangan
Awal Memahami Ilmu Bahasa. Jakarta: FITK Press.
Kenworthy, Joanne. (1997). Teaching English Pronunciation: London: Longman.
Lightbown, Patsy M. (2008). Easy As Pie? Children Learning Languages.
Concordia University: Concordia Working Papers in Applied Linguistics
Wen, Huachuan. (2013). Chomskys Language Development Theories: Rescuing
Parents Out of Dilemma. International Journal of Learning and
Development III (3)148-153.
Zhu, Hua. (2002). Phonological Development in specific context: Studies of Chinese
Speaking Children. Clevedon: UK Multilingual matters Ltd.

Pelafalan Bahasa Inggris Anak (Soraya Ramli) 248


PENGARUH PENUTUR JATI TERHADAP


MOTIVASI BELAJAR PEMBELAJAR BAHASA ASING
DI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Ulfah Sutiyarti, Diah Ayu Wulan, Aji Setyanto

Program Studi Pendidikan Bahasa Jepang, Sastra Jepang, dan Sastra Cina
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya
Jl. Veteran, Malang Jawa Timur
ulfahsutiyarti@yahoo.com

ABSTRACT
Since the ASEAN countries join the group of the ASEAN Economic Community
(AEC), Indonesia have to prepare for the global changes. Not only mastering Indonesian
language but also mastering foreign language. Because Japan and China are dominating
worlds economy, people have to master the Japanese language and Chinese language.
But Japanese language and Chinese language have the highest degree of difficulties in
their characters, grammar, and pronounciation. To improve the mastering of Japanese
language and Chinese language, native speakers are required. The research used
qualitative and quantitative research methods. Data was collected by distributing
questionnaires to the students of Department of Japanese Literature, Department of
Chinese Literature and Departement of Japanese Language Education. The
questionnairess result showed that 80.97% of the respondents agreed that native speaker
have a very strong influence in motivating students of Department of Japanese Literature,
Department of Chinese Literature, and Departement of Japanese Language for learning
foreign language.

Keywords: Native speaker, learning motivation, foreign language

ABSTRAK

Sejak negara-negara ASEAN masuk dalam kelompok Masyarakat Ekonomi ASEAN


(MEA) Indonesia harus mempersiapkan diri untuk mengikuti perubahan global. Bukan
saja dibutuhkan bahasa Indonesia yang baik, namun juga diperlukan penguasaaan
terhadap bahasa asing. Karena Jepang dan Cina merupakan negara yang menguasai
perekonomian dunia, sebaiknya kedua bahasa ini dikuasai. Tetapi bahasa Cina maupun
Jepang mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi, baik dari segi tata bahasa, huruf
maupun pelafalan. Untuk meningkatkan penguasaan bahasa Jepang dan Cina, dilibatkan
dosen penutur jati (native speaker) dalam pembelajarannya. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. Pengambilan
data dilakukan dengan cara penyebaran kuesioner kepada mahasiswa Program Studi
(Prodi) Sastra Jepang, Prodi Sastra Cina, dan Prodi Pendidikan Bahasa Jepang. Hasil
kuesioner sebesar 80,97 % menunjukkan bahwa dosen penutur jati mempunyai pengaruh
yang sangat kuat terhadap motivasi belajar mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Jepang,
Prodi Sastra Cina dan Prodi Pendidikan Bahasa Jepang.

Kata Kunci: Penutur Jati, Motivasi Belajar, Bahasa Asing

249 Pengaruh Penutur Jati Terhadap ... (Ulfah S., Diah Ayu W., Aji S.)

PENDAHULUAN

Bahasa asing dalam era globalisasi ini sangat penting. Semenjak


dicanangkan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) oleh negara negara ASEAN,
Indonesia harus mempersiapkan diri untuk mengikuti perubahan global. Untuk itu,
bukan saja dibutuhkan bahasa Indonesia yang baik, namun juga diperlukan
penguasaaan terhadap bahasa asing. Bahasa asing sangat diperlukan jika ingin
berkomunikasi secara intensif dengan negara lain. Bahasa asing merupakan faktor
penentu keberhasilan di masa perdagangan pasar bebas nantinya. Dengan
menguasai bahasa asing, seseorang dapat lebih mudah menyampaikan segala apa
yang dibutuhkan ke pasar.
Dalam mempelajari suatu bahasa terutama bahasa asing ada dua hal yang
harus dilakukan. Pertama adalah praktek. Sebanyak apapun teori yang kita kuasai
tidak akan ada artinya apabila tidak pernah kita praktekkan atau kita gunakan.
Bahasa merupakan bagian dari diri kita, dan dengan bahasa kita dapat
berkomunikasi dengan orang lain. Semakin sering kita menggunakannya dalam
percakapan maka akan semakin terlatih dan berkembang kemampuan bahasa yang
dimiliki. Namun sebaliknya, walaupun memiliki kemampuan berbahasa dengan
baik, apabila bahasa asing itu jarang atau bahkan tidak pernah digunakan maka
akan hilang dengan sendirinya. Kedua adalah rasa percaya diri. Jika sudah
mempunyai modal bahasa yang baik namun apabila tidak ada rasa percaya diri
dalam menggunakannya, hasil yang didapatkannya tidak maksimal.
Bahasa Jepang dan bahasa Cina merupakan bahasa asing yang dipelajari di
tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi (PT). Sebagai
bahasa asing yang cukup pesat perkembangannya, dengan salah satu sebab berupa
kemampuan dua negara ini menguasai perekonomian dunia, maka penguasaan
kedua bahasa ini sebaiknya dilakukan. Di sisi lain, kedua bahasa asing
mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi, baik dari segi tata bahasa, huruf
maupun pelafalan. Beragam upaya dilakukan dalam rangka meningkatkan minat
pembelajar bahasa asing dalam penguasaan kedua bahasa tersebut. Hal ini penting
dilakukan supaya pembelajar kedua bahasa ini lebih merasa terpacu lagi dan
merasa senang dalam mempelajari kedua bahasa ini. Tidaklah maksimal hasil

Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017 250



yang didapatkan apabila mengerjakan sesuatu tanpa didasari oleh rasa suka dan
minat yang tinggi.
Salah satu upaya untuk meningkatkan minat belajar bagi pembelajar
bahasa Jepang maupun bahasa Cina adalah dengan melibatkan penutur jati dalam
pembelajaran bahasa asing. Berdasarkan latar belakang di atas penelitian ini
mengambil judul Pengaruh Penutur Jati terhadap Minat Belajar Pembelajar
Bahasa Asing di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya.

PENGERTIAN MOTIVASI

Motivasi merupakan suatu proses psikologis yang mencerminkan sikap,


kebutuhan, persepsi, dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang. Menurut
Thursan Hakim (2000: 26), motivasi adalah suatu dorongan kehendak yang
menyebabkan seseorang melakukan suatu perbuatan untuk mencapai tujuan
tertentu. Dapat dikatakan bahwa motivasi mempunyai andil kuat dalam seseorang
untuk mengerjakan sesuatu. Seseorang akan dengan maksimal mengerjakan
sesuatu jika didasari dengan dorongan yang cukup besar dari dirinya sendiri untuk
mendapatkan apa yang dia inginkan. Dengan adanya motivasi yang kuat dari
dalam diri seorang siswa untuk belajar, ke depannya dia akan lebih semangat
mempelajari hal tersebut.
Pendapat lainnya muncul dari Dimyati dan Mudjiono (2009: 80), yang
mengatakan bahwa motivasi dipandang sebagai dorongan mental yang
menggerakkan dan mengarahkan perilaku manusia, termasuk perilaku belajar.
Dapat disimpulkan bahwa motivasi juga berperan penting terhadap cara seorang
siswa dalam belajar. Dorongan seseorang dalam belajar merupakan kekuatan
mental untuk melakukan kegiatan dalam memenuhi segala harapan dan dorongan
inilah yang menjadi pencapaian tujuan tersebut. Seorang siswa akan dapat mudah
mencerna pelajaran jika ada motivasi yang kuat dalam dirinya untuk menguasai
pelajaran tersebut.

DEFINISI MOTIVASI DALAM HAL BELAJAR

251 Pengaruh Penutur Jati Terhadap ... (Ulfah S., Diah Ayu W., Aji S.)

Menurut McDonald dalam buku Psikologi Pendidikan (Wasty Soemanto,


1983) ada tiga hal yang termasuk dalam definisi dari motivasi, yaitu:
(1) Motivasi dimulai dengan suatu perubahan tenaga dalam diri seseorang,
Maksudnya adalah saat kita merasakan sesuatu, contohnya kita mendapat nilai
bagus saat ujian, kita akan mencoba mempertahankan nilai tersebut dengan cara
terus belajar ke depannya. Sesuai dengan contoh tersebut, dapat dikatakan
motivasi bermula dari diri kita sendiri. Jika kita menginginkan sesuatu, diri kita
akan berusaha mendapatkannya, dan itu yang menumbuhkan adanya motivasi
dalam diri.
(2) Motivasi ditandai oleh dorongan afektif,
Maksudnya adalah dalam hal perasaan. Jika kita sedang merasakan kecewa
terhadap nilai pelajaran, ada dua kemungkinan motivasi yang terbentuk di
dalamnya. Yang pertama adalah motivasi baik, yaitu mendorong siswa untuk terus
belajar agar nilainya kembali positif. Yang kedua adalah motivasi negatif, yaitu
muncul perasaan benci terhadap pelajaran tersebutyang terlihat dengan tindakan
meninggalkan pelajaran tersebut. Dapat ditarik kesimpulan, bahwa perilaku
afektif sangat berpengaruh terhadap tumbuhnya motivasi.
(3) Motivasi ditandai oleh reaksi-reaksi mencapai tujuan,
Maksudnya adalah jika kita menginginkan suatu hal, maka kita akan tergerak
untuk melakukan sesuatu agar dapat mendapatnya. Sebagai contoh, saat seorang
siswa ingin memenangkan suatu perlombaan pidato bahasa Jepang, dia akan
berlatih dari cara hatsuon (pelafalan) yang benar, atau berlatih untuk mentalnya
agar tidak gugup saat di depan juri, dan itu merupakan tindakan yang baik untuk
menunjang motivasinya agar dia menang.

JENIS-JENIS MOTIVASI

Motivasi dibedakan menurut sifatnya. Jenis-jenis motivasi dalam belajar


dibagi menjadi 2, yakni :

(1) Motivasi Instrinsik

Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017 252



Eliot dalam M. Nur Ghufron & Rini Risnawita S (2003: 83) mendifinisikan
motivasi intrinsik sebagai suatu dorongan yang ada di dalam diri individu, dengan
individu itu merasakan senang dan gembira setelah melakukan serangkaian tugas.
Adapun Beach (1980) juga berpendapat bahwa motivasi instrinsik sebagai suatu
hal yang terjadi selama seseorang menikmati suatu aktifivitas dan memperoleh
kepuasan dalam mengerjakan hal tersebut.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa motivasi instrinsik timbul dari diri sendiri
dengan melibatkan perasaan dan juga kesanggupan diri untuk melakukan suatu
pekerjaan dengan senang hati. Adapun rasa puas dan senang dalam hal
melaksanakan tugas tersebut akan timbul sendirinya dari dalam jika seseeorang
termotivasi dengan apa yang dia lakukan.
(2) Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik merupakan motivasi yang timbul dari luar individu.
Dalam hal ini, motivasi ekstrinsik sangat dibutuhkan dalam segala segi, karena
dengan adanya motivasi ini orang akan lebih terpacu untuk mendapatkan
tujuannya. Adapun contoh dari motivasi ekstrinsik adalah hadiah dan pujian. Bila
seseorang telah berhasil dalam sesuatu, hal ini dapat memicunya agar terus
melakukan atau menghasilkan hal-hal yang baik di masa depan. Contoh
berikutnya adalah hukuman untuk seseorang yang melakukan kesalahan, agar di
masa depannya dia termotivasi untuk berbuat lebih baik lagi. Contoh lainnya
adalah adanya persaingan/ kompetisi. Biasanya dengan adanya kompetisi, orang
akan termotivasi untuk dapat menjadikan dirinya yang terbaik dalam hal tersebut.

INDIKATOR MOTIVASI BELAJAR


Menurut Slameto (2003: 58), di dalam proses belajar harus diperhatikan hal
apa yang dapat mendorong siswa agar dapat belajar dengan baik, atau mempunyai
motif untuk berpikir dan memusatkan perhatiannya. Untuk mengukur tentang
adanya motivasi dalam diri siswa, Sudjana (1994:61) menjelaskan ada lima
indikator motivasi, yaitu:

a. Minat dan perhatian siswa terhadap tugas-tugas pelajaran

253 Pengaruh Penutur Jati Terhadap ... (Ulfah S., Diah Ayu W., Aji S.)

Seorang siswa akan terlihat termotivasi dalam hal pembelajaran jika dia
mempunyai minat yang cukup besar untuk mempelajari suatu subjek pelajaran,
maupun tugas-tugas yang diberikan oleh gurunya.
b. Semangat siswa untuk melaksanakan tugas-tugas belajarnya
Sesuai penjelasan teori di atas, motivasi merupakan semangat yang ditujukan
seseorang dalam melakukan suatu hal. Hal ini terlihat saat siswa yang semangat
dalam belajar maupun mengerjakan tugas-tugas dari gurunya, yang berarti dia
sudah mempunyai motivasi yang besar dari dirinya sendiri.
c. Tanggung jawab siswa untuk melaksanakan tugas-tugas belajarnya
Siswa yang dikatakan mempunyai motivasi terhadap pelajaran yang sedang
ditekuni adalah siswa yang dapat bertanggung jawab akan semua hal yang
dikerjakannya.
d. Rasa senang dan mengerjakan tugas dari guru
Telah jelas dikatakan sebelumnya bahwa motivasi adalah rasa (feeling) yang
tumbuh dari manusia, dan salah satu rasa tersebut adalah rasa senang. Seorang
siswa yang sudah senang akan suatu objek pelajaran, akan termotivasi untuk terus
mempelajari subjek tersebut.
e. Reaksi yang ditunjukkan siswa terhadap stimulus yang diberikan guru
Jika seorang siswa mempunyai motivasi dalam belajar, dia akan memberikan
timbal balik yang baik, dan lebih aktif. Contohnya adalah saat guru memberikan
pertanyaan. Jika siswa tersebut termotivasi, dia akan dengan sigap menjawab
pertanyaan yang diberikan oleh gurunya.

Menurut Uno (2006: 23), hakikat motivasi belajar adalah dorongan internal
dan eksternal pada siswa-siswa yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan
tingkah laku, dan pada umumnya hal ini tampak dengan beberapa indikator atau
unsur yang mendukung. Adapun indikator tersebut adalah sebagai berikut:
a. Adanya hasrat dan keinginan berhasil
Hasrat dan keinginan untuk berhasil dalam belajar dan dalam kehidupan sehari-
hari pada umumnya disebut motif berprestasi, yaitu motif untuk berhasil dalam
melakukan suatu tugas dan pekerjaan, atau motif untuk memperolah
kesempurnaan. Motif berprestasi adalah motif yang dapat dipelajari, sehingga

Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017 254



motif itu dapat diperbaiki dan dikembangkan melalui proses belajar. Seseorang
yang mempunyai motif berprestasi tinggi cenderung untuk berusaha
menyelesaikan tugasnya secara tuntas, tanpa menunda-nunda pekerjaanya.
Penyelesaian tugas semacam ini bukanlah karena dorongan dari luar diri,
melainkan upaya pribadi.
b. Adanya dorongan dan kebutuhan dalam belajar
Penyelesaian suatu tugas tidak selamanya dilatarbelakangi oleh motif berprestasi
atau keinginan untuk berhasil. Kadang kala seorang individu dapat menyelesaikan
suatu pekerjaan sebaik orang yang memiliki motif berprestasi tinggi karena
dorongan menghindari kegagalan yang bersumber pada ketakutan akan kegagalan
itu. Seorang anak didik mungkin tampak bekerja dengan tekun karena kalau tidak
dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik maka dia akan mendapat malu dari
dosennya, atau di olok-olok temannya, atau bahkan dihukum oleh orang tua. Dari
keterangan di atas tampak bahwa keberhasilan anak didik tersebut disebabkan
oleh dorongan atau rangsangan dari luar dirinya.
c. Adanya harapan dan cita-cita masa depan
Harapan didasari pada keyakinan bahwa orang dipengaruhi oleh perasaan mereka
mengenai gambaran hasil tindakan mereka. Contohnya orang akan menunjukkan
kinerja yang baik kalau mereka menganggap kinerja yang tinggi diakui dan
dihargai dengan kenaikan pangkat yang mereka inginkan.
d. Adanya penghargaan dalam belajar
Pernyataan verbal atau penghargaan dalam bentuk lainnya terhadap perilaku yang
baik dan hasil belajar yang baik merupakan cara paling mudah dan efektif untuk
meningkatkan motif belajar anak didik. Pernyataan seperti bagus, hebat, dan
lain-lain akan menyenangkan siswa. Pernyataan verbal seperti itu juga
mengandung makna interaksi dan pengalaman pribadi yang langsung antara siswa
dan guru. Penyampaiannya yang jelas merupakan suatu persetujuan pengakuan
sosial, apalagi kalau penghargaan verbal itu diberikan di depan orang banyak.
e. Adanya kegiatan yang menarik dalam belajar
Suasana yang menarik menyebabkan proses belajar menjadi bermakna.
Contohnya dengan simulasi maupun permainan, yang merupakan salah satu
proses yang sangat menarik bagi siswa. Sesuatu yang bermakna akan selalu

255 Pengaruh Penutur Jati Terhadap ... (Ulfah S., Diah Ayu W., Aji S.)

diingat, dipahami, dan dihargai, melalui kegiatan belajar seperti diskusi, brain
storming, pengabdian masyarakat, dan sebagainya.
f. Adanya lingkungan yang kondusif
Pada umumnya motif dasar yang bersifat pribadi muncul dalam tindakan individu
setelah dibentuk oleh lingkungan. Lingkungan belajar yang kondusif merupakan
salah satu faktor pendorong belajar anak didik, dengan demikian anak didik
mampu memperoleh bantuan yang tepat dalam mengatasi kesulitan atau masalah
dalam belajar.

Dalam penelitian ini teori dari Uno akan dipergunakan sebagai acuan untuk
meneliti pengaruh native speaker terhadap motivasi belajar mahasiswa pembelajar
bahasa asing di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya.

JENIS PENELITIAN

Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah metode penelitian


campuran. Adapun yang dimaksud dengan penelitian campuran adalah
pendekatan penelitian yang mengombinasikan bentuk kualitatif dan kuantitatif.
Pendekatan ini melibatkan asumsi-asumsi filosofi, aplikasi pendekatan-
pendekatan kualitatif dan kuantitatif serta campuran (mixing) kedua pendekatan
tersebut dalam suatu penelitian (Creswell, 2014:5). Penelitian kualitatif dilakukan
dengan mendeskripsikan pengaruh penutur jati terhadap motivasi belajar
pembelajar bahasa asing di Fakultas Ilmu Budaya, dan kemudian akan didukung
oleh data kuantitatif berupa angka-angka.
Untuk tempat dan waktu, penelitian ini dilaksanakan di tiga Prodi yaitu
Prodi Pendidikan Bahasa Jepang, Prodi Sastra Cina, dan Prodi Bahasa dan Sastra
Jepang dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya dan telah dilaksanakan
pada Oktober - Desember 2016.
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang akan diteliti
(Arikunto, 2002). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pembelajar bahasa
asing di Fakultas ilmu Budaya Universitas Brawijaya.
Menurut Arikunto (2010: 134) sampel adalah sebagian atau wakil populasi
yang diteliti. Apabila jumlah populasi penelitian kurang dari 100 orang, nama

Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017 256



sampel yang digunakan adalah semuanya atau sebanyak populasi yang ada.
Namun, apabila berjumlah lebih dari 100 maka sampel dapat diambil antara 10-
15%, atau 20-25%, atau lebih.
Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 1000 mahasiswa pembelajar
bahasa asing yang terdapat pada Prodi Sastra Jepang, Prodi Sastra Cina dan Prodi
Pendidikan Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya.
Sedangkan yang akan digunakan sebagai sampel berjumlah 484 pembelajar
bahasa asing di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya. Dengan kata lain
48% dari jumlah populasi yang ada.

METODE PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode angket


(kuesioner). Kuesioner merupakan daftar pertanyaan yang didistribusikan
langsung kepada responden yang akan diteliti atau yang dikirim melalui pihak
ketiga, dengan pihak ketiga bertugas sebagai perantara seperti melalui pengiriman
dokumen melalui pos (Nasution, 2007: 128). Tujuan digunakannya kuesioner ini
adalah untuk memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan penelitian dan
juga infomasi mengenai suatu fenomena pada suatu masyarakat secara bersama-
sama (Narbuko, 2007: 77). Pada umumnya kuesioner digunakan untuk meminta
keterangan tentang fakta suatu fenomena yang diketahui oleh responden atau juga
meminta pendapat atau sikap dari responden. Kuesioner dibagi menjadi dua, yaitu
kuesioner langsung dan kuesioner tidak langsung. Kuesioner langsung adalah
kuesioner yang dikirim atau diberikan langsung dan dijawab oleh responden
sendiri tanpa perantara, sedangkan kuesioner tidak langsung adalah kuesioner
yang dikirim atau dijawab oleh responden menggunakan perantara.
Dalam penelitian ini, digunakan kuesioner langsung kepada pembelajar
bahasa asing di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya. Di sisi lain,
kuesioner yang digunakan adalah model kuesioner tertutup, yang menyediakan
jawaban sehingga responden dapat dengan cepat menjawab pertanyaan yang
tersedia dalam kuesioner. Cara pengukuran dalam kuesioner tertutup ini adalah
dengan menggunakan desain skala Likert. Skala Likert sendiri digunakan untuk

257 Pengaruh Penutur Jati Terhadap ... (Ulfah S., Diah Ayu W., Aji S.)

mengukur sikap, pendapat, dan presepsi seseorang tentang fenomena sosial


(Sugiyono, 2013: 169).

Tabel 3.2 Skala Likert


Keterangan Penyingkatan Skala Nilai
Sangat Tidak Setuju STS 1
Tidak setuju TS 2
Tidak ada pendapat N 3
(Netral/ Ragu-ragu)
Setuju S 4
Sangat Setuju SS 5

Dengan pengukuran motivasi belajar siswa, digunakan indikator kuesioner yang


berkaitan dengan motivasi siswa. Adapun indikator tersebut akan dituliskan pada
kuesioner yang bersifat kuesioner tertutup. Berikut adalah indikator dan kisi-kisi
kuesioner motivasi belajar:
Sub. Kisi-kisi Instrumen
Variablel Indikator
variabel Pernyataan No item
Intrinsik 1. Adanya hasrat a. Selalu datang lebih awal 1
untuk berhasil b. Berusaha mendapat nilai bahasa 2
Jepang yang terbaik
c. Ingin dapat berkomunikasi 3
dengan penutur jati di dalam
maupun di luar kampus
d. Selalu ingin mendengarkan 4
materi kuliah yang disampaikan
oleh penutur jati
e. Ingin dapat lancar berbahasa 5
Jepang
Motivasi
f. Selalu aktif dalam diskusi 6
belajar
kelompok
Uno
2. Adanya dorongan a. Sering mendengarkan lagu-lagu 7
(2006:23)
untuk kebutuhan Jepang untuk menambah
belajar pembendaraan kosa kata
b. Sering melihat film Jepang 8
untuk melatih cara pengucapan
c. Senang membuat kamus bahasa 5
Jepang pribadi yang ditulis
sendiri berdasakan pengalaman

3. Adanya harapan dan a. Ingin pergi ke Jepang untuk 6


cita-cita belajar
b. Selalu mencoba ber komunikasi 14

Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017 258



dengan penutur jati yang ada


c. Ingin hidup di Jepang
10
a. Selalu mendapat pujian dari
4. Adanya penutur jati. 12
penghargaan dalam b. Sering diminta untuk
belajar menyimpulkan materi yang 9
diajarkan dalam hari itu

a. Dengan adanya penutur jati, ada


suasana dan cara baru dalam 13
5. Adanya kegiatan belajar
yang menarik dalam b. Pembelajaran selalu melibatkan
belajar semua murid untuk 14
menghidupkan suasana kelas
c. Selalu ada materi yang menarik
seperti video dan gambar- 15
gambar yang lucu dalam setiap
pembelajaran
d. Sering diberikannya contoh
yang real dalam pelajaran 16
bersama dengan penutur jati
e. Sering adanya permainan dalam
pembelajaran bersama dengan 3
penutur jati
f. Adanya metode pembelajaran
yang bervariasi sehingga siswa 18
lebih antusias dalam belajar
bahasa Jepang

a. Dengan adanya pembelajaran 19


Ekstrinsik 6. Adanya lingkungan bersama penutur jati suasana
yang kondusif kelas menjadi lebih terkontrol
b. Senang dengan adanya
pembelajaran bersama penutur 20
jati
c. Kemalasan siswa berkurang
(kedatangan di kelas,
mengerjakan tugas sekolah 21
maupun tugas rumah)
d. Selalu merasa nyaman saat di
kelas besama dengan penutur
jati 22
e. Perhatian selalu tertuju pada
guru dan juga penutur jati
selama pembelajaran 23
berlangsung

UJI COBA INSTRUMEN

259 Pengaruh Penutur Jati Terhadap ... (Ulfah S., Diah Ayu W., Aji S.)

Menurut Sugiyono (2013: 173) instrumen yang valid berarti alat ukur yang
digunakan untuk mendapat data (mengukur) itu valid. Valid berarti instrumen
tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Untuk
penelitian ini, uji validitas terletak pada kuesioner yang akan dibagikan. Adapun
untuk menguji butir-butir instrumen lebih lanjut, maka setelah dikonsultasikan
dengan ahli, kemudian akan dibagikan kepada siswa, dan terakhir akan di analisis.
Reliabilitas suatu alat pengukur adalah derajat keajegan alat tersebut dalam
mengukur apa saja yang diukurnya (Donald Ary, dkk; 2004:310). Validitas dan
reliabilitas akan diukur mengunakan Program SPPS dengan menggunakan 23
mahasiswa sebagai responden.

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penutur jati terhadap


motivasi belajar pembelajar bahasa asing di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Brawijaya. Dalam bab ini, peneliti memberikan hasil analisis mengenai data hasil
penelitian dan akan dibahas secara keseluruhan berdasarkan rumusan masalah
yang dipaparkan pada bab sebelumnya.
Angket atau kuesioner yang telah diuji secara validitas dan reliabilitas
kemudian digunakan untuk mengukur pengaruh penutur jati terhadap motivasi
belajar pembelajar bahasa asing di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya.
Adapun dalam kuesioner ini terdapat lima (5) pilihan jawaban, yaitu:
STS = Sangat Tidak Setuju
TS =Tidak Setuju
N = Netral/Ragu-ragu
S = Setuju
SS = Sangat Setuju

Berikut Hasil Pengolahan Data Kuesioner

Tabel 4.1 Hasil Pengolahan Data Kuesioner


No Pernyataan Jawaban Skor

Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017 260



STS TS N S SS
Selalu berusaha datang tepat
1 waktu di kelas yang diampu 0 5 98 222 159
1987
penutur jati.
Persentase (%) 1,03% 20,25% 45,87% 32,85%
Berusaha mendapat nilai
2 bagus dalam mata kuliah 1 1 79 223 182
2042
yang diampu penutur jati.
Persentase (%) 0,21% 0,21% 16,32% 46,07% 37,60%
Ingin berkomunikasi dengan
3 penutur jati di dalam 0 4 113 196 171
1986
maupun di luar kelas
Persentase (%) 0,83% 23,35% 40,49% 35,33%
Selalu ingin mendengarkan
materi kuliah yang
4 0 6 122 209 147
disampaikan oleh penutur 1949
jati
Persentase (%) 1,23% 25,21% 43,18% 30,37%
Ingin dapat lancar berbahasa
5 asing yang sedang dipelajari 0 2 60 158 264
2136
sekarang
Persentase (%) 0,41% 12,40% 32,64% 54,54%
Selalu aktif dalam diskusi
6 0 7 204 174 99
kelompok 1817
Persentase (%) 1,45% 42,15% 35,95% 20,45%
Sering mendengarkan lagu
Jepang/ Mandarin untuk
7 menambah perbendaharaan 0 4 138 169 173
1963
kosakata dan melatih cara
pengucapan.
Persentase (%) 0,83% 28,51% 34,91% 35,74
Sering melihat film Jepang/
Mandarin untuk menambah
8 perbendaharaan kosakata 0 2 111 193 178
1999
dan melatih cara
pengucapan.
Persentase (%) 0,41% 22,93% 39,88% 36,78%
Selalu ingin tahu arti
9 kosakata baru yang didapat 0 1 84 205 194
2044
dari penutur jati
Persentase (%) 0,21% 17,35% 42,35% 40,08%
Mempunyai cita-cita untuk
10 pergi ke Jepang/ Cina untuk 1 3 73 151 256
2110
belajar di sana
Persentase (%) 0,21% 0,62% 15,08% 31,20% 52,89%
Mempunyai harapan untuk
11 bekerja sesuai dengan ilmu 0 5 91 173 215
2050
yang dipelajari sekarang
Persentase (%) 1,03% 18,80% 35,74% 44,42%
Penutur jati sering
12 memberikan pujian jika 1 5 149 187 142 1916
berhasil dalam menjawab

261 Pengaruh Penutur Jati Terhadap ... (Ulfah S., Diah Ayu W., Aji S.)

pertanyaan di kelas
Persentase (%) 0,21% 1,03% 30,78% 38,64% 29,34%
Dengan adanya penutur jati,
13 suasana kelas menjadi lebih 0 3 133 188 160 1957
interaktif.
Persentase (%) 0,62% 27,48% 38,84 33,06%
Pembelajaran melibatkan
14 semua murid untuk 0 0 135 186 163
1964
menghidupkan suasana kelas
Persentase (%) 27,89% 38,43% 33,68%
Selalu ada materi yang
menarik seperti video dan
15. 0 13 170 172 129
gambar-gambar yang 1869
mendukung pembelajaran
Persentase (%) 2,68% 35,12% 35,54% 26,65%
Sering diberikan contoh
yang real dalam
16. 0 1 111 205 167
pembelajaran dengan 1990
penutur jati.
Persentase (%) 0,21% 22,93% 42,35% 34,50%
Sering adanya permainan
17. dalam pembelajaran dengan 0 19 174 169 122
1846
penutur jati
Persentase (%) 3,92% 35,95% 34,92% 25,21%
Adanya metode
pembelajaran yang
18. bervariasi sehingga siswa 0 4 160 190 130
1898
antusias dalam belajar di
kelas.
Persentase (%) 0,83% 33,06% 39,25% 26,86%
Pembelajaran dengan
penutur jati membuat
19. 1 12 179 181 111
suasana kelas menjadi lebih 1841
terkontrol.
Persentase (%) 0,21% 2,48% 36,98% 37,40% 22,93%
Senang dengan adanya
20. pembelajaran dengan 0 0 84 210 190
2042
penutur jati.
Persentase (%) 17,35% 43,39% 39,26%
Kemalasan siswa berkurang
(kedatangan di kelas,
21. 1 16 186 160 121
mengerjakan tugas sekolah 1836
maupun tugas rumah).
Persentase (%) 0,21% 3,30% 38,43% 33,06% 25%
Selalu merasa nyaman saat
22. di kelas bersama dengan 0 10 155 195 124
1885
penutur jati.
Persentase (%) 2,07% 32,02% 40,43% 25,62%
Perhatian selalu tertuju pada
23. penutur jati selama 0 5 136 191 152
1942
pembelajaran berlangsung.
Persentase (%) 1,03% 28,10% 39,46% 31,40%

Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017 262



45.0
SKOR TOTAL
69

Untuk mengetahui pengaruh penutur jati terhadap motivasi belajar mahasiswa


perlu dihitung dengan menggunakan perhitungan skor total kuesioner. Adapun
perhitungan dilakukan dengan cara di bawah ini.

Keterangan :
Skor total = jumlah total jawaban yang diperoleh dari semua responden
Skor kriteria = jumlah perkalian dari nilai tertinggi tiap item, jumlah soal, dan
jumlah responden

Perhitungan data kuesioner yang diperoleh dari respon adalah sebagai berikut:
Skor Kriteria = Jumlah skor item tertinggi x jumlah soal x jumlah soal jumlah
responden
= 5 x 23 x 484
= 55.660
Skor Total = 45.069

Rumus hasil kuesioner :

Dari perhitungan total skor kuesioner diatas, dapat diperoleh hasil sebesar
80,97 % atau jika pembulatan akan menjadi 81%. Adapun hasil perhitungan
tersebut termasuk dalam rentang presentase 81%-100% yang berarti penutur jati
mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap motivasi belajar mahasiswa
Prodi Bahasa dan Sastra Jepang, Prodi Sastra Cina dan Prodi Pendidikan Bahasa
Jepang, digolongkan dalam kriteria Sangat Kuat sesuai dengan tabel kriteria
hasil skor di bawah ini:
Tabel 4.1.2 Kriteria Hasil Skor

263 Pengaruh Penutur Jati Terhadap ... (Ulfah S., Diah Ayu W., Aji S.)

Presentase Kriteria
0%-20% Sangat lemah
21%-40% Lemah
41%-60% Cukup
61%-80% Kuat
81%-100% Sangat kuat
Sumber : Riduwan (2011: 15)

Dari hasil perhitungan tabel 4.1.2 didapat hasil dengan persentase 81% yaitu
dengan kriteria sangat kuat. Hasil ini menunjukan bahwa adanya penutur jati
terbukti dapat memotivasi kegiatan belajar mahasiswa di Prodi Bahasa dan Sastra
Jepang, Prodi Sastra Cina dan Prodi Pendidikan Bahasa Jepang. Buktinya
tercermin dari jawaban mahasiswa dalam setiap butir pertanyaan kuesioner
tentang motivasi belajar. Berikut adalah hasil analisis tiap butir pertanyaan
kuesioner, yaitu:
1. Selalu berusaha datang tepat waktu di kelas yang diampu native speaker
Data kuesioner menunjukkan bahwa 32,85% menyatakan Sangat Setuju,
45,87% menyatakan Setuju, 20,25% menyatakan Netral/ ragu-ragu dan
hanya 1,03% yang menyatakan Tidak Setuju pada pernyataan ini. Pernyataan
ini masuk dalam indikator motivasi belajar yang dikemukakan oleh Uno
(2006:23) yang menyatakan adanya hasrat dan keinginan berhasil. Hal ini
dikarenakan penutur jati dapat membuat mahasiswa datang tepat waktu karena
dosen penutur jati hampir selalu tepat waktu. Pembelajaran akan menghargai
waktu/ tepat waktu merupakan salah satu pembelajaran budaya dari masyarakat
penutur bahasa asing yang sedang mereka pelajari. Ini sangat berguna untuk
dikemudian hari jika mahasiswa ada kesempatan belajar di negara Jepang dan
Cina yang masyarakatnya sangat menghargai waktu. .
2. Berusaha mendapat nilai bagus dalam mata kuliah yang diampu native
speaker
Data kuesioner menunjukkan 37,60% menyatakan Sangat Setuju, 46,07%
menyatakan Setuju, 16,32%, menyatakan Netral, 0,21% menyatakan Tidak
Setuju dan 0,21% menyatakan Sangat Tidak Setuju pada pernyataan ini.
Dalam hal ini, pernyataan tersebut masuk dalam indikator motivasi belajar dari
Uno (2006:23) yang menyatakan adanya hasrat dan keinginan untuk berhasil.
Hal ini dikarenakan mereka yang memiliki nilai bagus akan mempermudah

Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017 264



mereka untuk meraih impian mendapatkan beasiswa belajar ke Jepang, oleh


karena itu dengan adanya penutur jati maka motivasi untuk mendapat nilai yang
bagus juga akan bertambah besar. Sedangkan mahasiswa yang Tidak Setuju
maupun yang Sangat Tidak Setuju merupakan mahasiswa yang secara
akademik tidak begitu bagus dan tidak mempunyai semangat untuk berhasil
sehingga ada atau tidaknya penutur jati tidak memengaruhi semangat belajar
mereka.
3. Ingin berkomunikasi dengan native speaker di dalam maupun di luar kelas
Data kuesioner menunjukkan 35,33% menyatakan Sangat Setuju, 40,49%
menyatakan Setuju, dan 23,35% menyatakan Netral serta 0,83% menyatakan
Tidak Setuju pada pernyataan ini. Pernyataan ini masuk dalam indikator
motivasi belajar oleh Uno (2006:23) yang menyatakan adanya hasrat untuk
berhasil. Motivasi ini dikarenakan dorongan ingin lebih lancar berkomunikasi
dalam bahasa Jepang dan keinginan mahasiswa untuk lebih dekat dan akrab
dengan cara berbicara dengan penutur jati yang ada di kampus. Mahasiswa yang
menjawab Tidak Setuju dan Netral/ ragu-ragu disebabkan oleh rasa malu dan
takut akan melakukan kesalahan dalam menggunakan bahasa Jepang pada saat
berkomunikasi dengan penutur jati.
4. Selalu ingin mendengarkan materi kuliah yang disampaikan oleh penutur
jati
Data kuesioner menunjukkan 30,37% menyatakan Sangat Setuju, 43,18%
menyatakan Setuju, 25,21% menyatakan Netral dan 1,23% menyatakan
Tidak Setuju pada pernyataan ini. Pernyataan ini masuk dalam indikator
motivasi belajar oleh Uno (2006: 23) yang menyatakan hasrat untuk berhasil.
Hal ini dikarenakan penutur jati di setiap pertemuan mempunyai hal baru yang
akan selalu menarik perhatian para siswa. Ini ditunjang dengan adanya contoh-
contoh nyata yang diberikan oleh penutur jati di setiap pertemuan, dan membuat
siswa ingin lebih tahu tentang apa yang akan disampaikan oleh penutur jati.
5. Ingin dapat lancar berbahasa asing yang sedang dipelajari sekarang
Analisis data kuesioner menunjukkan 54,54% menyatakan Sangat Setuju,
32,64% menyatakan Setuju, 12,40% menyatakan Netral dan 0,41%
menyatakan Tidak Setuju pada pernyataan ini. Pernyataan ini masuk dalam

265 Pengaruh Penutur Jati Terhadap ... (Ulfah S., Diah Ayu W., Aji S.)

indikator motivasi belajar oleh Uno (2006:23) yang menyatakan adanya hasrat
untuk berhasil. Hal ini dikarenakan penutur jati yang selalu berbicara bahasa
asing di setiap pertemuan, dan hal tsb menumbuhkan motivasi siswa untuk dapat
lancar dan paham berbahasa Jepang.
6. Selalu aktif dalam diskusi kelompok
Hasil persentase menunjukkan 20,45% menyatakan Sangat Setuju,
35,95% menyatakan Setuju, 42,15% menyatakan Netral dan 1,45%
menyatakan Tidak Setuju pada pernyataan ini. Pernyataan ini masuk dalam
indikator motivasi belajar oleh Uno (2006:23) yang menyatakan adanya hasrat
untuk berhasil. Hal ini dikarenakan setiap siswa dituntut aktif untuk mau
berbahasa Jepang walaupun banyak yang salah. Yang diutamakan adalah
keberanian siswa untuk dapat berekspresi dalam mengembangkan dirinya
berbahasa Jepang.
7. Sering mendengarkan lagu-lagu Jepang/ Mandarin untuk menambah
perbendaharaan kosakata dan melatih cara pengucapan
Hasil persentase menujukkan 35,74% menyatakan Sangat Setuju, 34,91%
Setuju, 28,51% menyatakan Netral (ragu-ragu) dan 0,835% menyatakan
Tidak Setuju pada pernyataan nomor 7. Pernyataan ini masuk dalam indikator
motivasi belajar oleh Uno (2006:23) yang menyatakan adanya dorongan untuk
kebutuhan belajar. Hal ini dikarenakan selain mendapatkan hiburan dengan
mendengarkan lagu, mereka juga mendapat perbendaharaan kosakata baru yang
sangat membantu dalam pembelajaran bahasa asing yang mereka pelajari.
8. Sering melihat film Jepang/ Mandarin untuk menambah perbendaharaan
kosakata dan melatih cara pengucapan.
Hasil perhitungan kuesioner menunjukkan 36,78% menyatakan Sangat
Setuju, 39,88% menyatakan Setuju, 22,93% menyatakan Netral dan 0,41%
menyatakan Tidak Setuju pada pernyataan nomor 8. Pernyataan ini masuk
dalam indikator motivasi belajar oleh Uno (2006:23) yang menyatakan adanya
dorongan untuk kebutuhan belajar. Hal ini dikarenakan selain mereka dapat
belajar bahasa dan budaya pada saat menonton film Jepang/ Mandarin, mereka
juga mendapatkan banyak kosakata baru dan ungkapan-ungkapan baru yang
sering tidak mereka dapati di bangku kuliah. Film Jepang/ Mandarin merupakan

Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017 266



media pembelajaran yang baik untuk pembelajaran bahasa asing dikarenakan film
merupakan cerminan budaya dari masyarakat penutur.

9. Selalu ingin tahu arti kosakata baru yang didapat dari native speaker
Data kuesioner menunjukkan 40,08% menyatakan Sangat Setuju, 42,35%
menyatakan Setuju, 17,35% menyatakan Netral dan 0,21% menyatakan
Tidak Setuju pada pernyataan ini. Pernyataan ini masuk dalam indikator
motivasi belajar oleh Uno (2006:23) yang menyatakan adanya dorongan untuk
kebutuhan belajar. Hal ini dikarenakan dengan adanya Nihongo Partner pada
setiap pertemuan menggunakan bahasa Jepang dalam perkuliahan. Hal ini
membuat mahasiswa memahami banyak sekali kosakata baru. Mereka termotivasi
untuk membuat catatan yang berisi kosakata baru yanga mereka dapat di
perkuliahan dan akan dicari arti pada saat perkuliahan maupun setelah kelas
berakhir.
10. Mempunyai cita-cita untuk pergi ke Jepang/ Cina untuk belajar di sana
Hasil data kuesioner menunjukkan bahwa 52,89% menyatakan Sangat
Setuju, 31,20% menyatakan Setuju, 15,08% menyatakan Netral 0,62%
menyatakan Tidak Setuju dan 0,21% menyatakan Sangat Tidak Setuju pada
pernyataan ini. Pernyataan ini masuk dalam indikator motivasi belajar oleh Uno
(2006:23) yang menyatakan adanya harapan dan cita-cita. Ini dikarenakan
pada setiap pertemuan, pasti penurut jati memperlihatkan contoh tentang
kebudayaan dan kehidupan Jepang yang sebenarnya, serta keunikan lainnya yang
ada di Jepang, maka itu membuat para siswanya tertarik untuk mengalaminya
sendiri di negeri Sakura dan belajar lebih lanjut disana dengan mengharapkan
beasiswa yang diberikan oleh pemerintah Jepang. Bagi yang menjawab Tidak
Setuju maupun Sangat Tidak Setuju, penyebabnya adalah kecilnya
kemungkinan untuk dapat pergi dan belajar di Jepang dikarenakan sangat
mahalnya kehidupan/ sekolah di Jepang dan kecil kemungkinan mereka
mendapatkan beasiswa karena secara akademis mereka tidak mampu.
11. Mempunyai harapan untuk bekerja sesuai dengan ilmu yang dipelajari
sekarang

267 Pengaruh Penutur Jati Terhadap ... (Ulfah S., Diah Ayu W., Aji S.)

Hasil data kuesioner menunjukkan bahwa 44,42% menyatakan Sangat


Setuju, 35,74% menyatakan Setuju, 18,80% menyatakan Netral dan 1,03%
menyatakan Tidak Setuju pada pernyataan nomor 11 ini. Pernyataan ini masuk
dalam indikator motivasi belajar oleh Uno (2006:23) yang menyatakan adanya
harapan dan cita-cita. Harapan dan cita-cita untuk dapat bekerja sesuai dengan
keilmuan mereka yang di dapat di bangku kuliah merupakan dambaan setiap
mahasiswa ditambah lagi dikarenakan pada setiap pertemuan, native speaker
memberikan pengetahuan mengenai sistem kerja di Jepang dan adanya harapan
juga untuk dapat pergi ke Jepang/ Cina dalam rangka bekerja. Bagi yang
menjawab dengan Tidak Setuju, penyebabnya adalah dalam bayangan mereka
bekerja di bidang ilmu ini terasa berat dengan tulisan Kanji dan sistem kerja yang
sangat berat.
12. Penutur Jati sering memberikan pujian jika berhasil dalam menjawab
pertanyaan di kelas
Hasil data kuesioner menunjukkan 29,34% menyatakan Sangat Setuju,
38,64% menyatakan Setuju, 30,78% menyatakan Netral, 1,03% menyatakan
Tidak Setuju dan 0,21% menyatakan Sangat Tidak Setuju pada pernyataan
nomor 12 ini. Pernyataan ini masuk dalam indikator motivasi belajar oleh Uno
(2006:23) yang menyatakan adanya penghargaan dalam belajar. Seorang
pendidik perlu kiranya mengetahui bahwa suatu pujian merupakan hal yang
sangat penting dalam kegiatan belajar mengajar, ini dimaksudkan untuk
membangkitkan semangat peserta didik supaya lebih semangat dalam belajar. Hal
tersebut kiranya sangat dimengerti dan dipahami oleh penutur jati yang pada
dasarnya merupakan salah satu contoh dari budaya masyarakat Jepang yang selalu
mengucapkan salam dan berusaha menyenangkan orang lain dengan pernyataan-
pernyataan yang membuat orang lain senang.
13. Dengan adanya penutur jati, suasana kelas menjadi lebih interaktif
Hasil data kuesioner menunjukkan 33,06% menyatakan Sangat Setuju,
38,84% menyatakan Setuju, 27,48% menyatakan Netral dan 0,62%
menyatakan Tidak Setuju pada pernyataan nomor 13 ini. Pernyataan ini masuk
dalam indikator motivasi belajar oleh Uno (2006:23) yang menyatakan adanya
kegiatan yang menarik dalam belajar. Hal ini dikarenakan penutur jati selalu

Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017 268



sangat ekspresif dalam setiap pembelajaran. Pembelajaran dilakukan dengan


metode student centered learning sehingga kelas menjadi lebih interaktif.

14. Pembelajaran melibatkan semua murid untuk menghidupkan suasana


kelas
Hasil data kuesioner menunjukkan 33,68% menyatakan Sangat Setuju,
38,84% menyatakan Setuju, 27,89% menyatakan Netral dan tidak ada yang
menjawab Tidak Setuju dan Sangat Tidak Setuju pada pernyataan nomor 13
ini. Pernyataan ini masuk dalam indikator motivasi belajar oleh Uno (2006:23)
yang menyatakan adanya kegiatan yang menarik dalam belajar. Hal ini
dikarenakan setiap materi yang diberikan oleh penutur jati dengan melakukan
kegiatan yang akan melibatkan semua siswa di dalam kelas tersebut seperti
dengan melakukan role play. Itu berguna agar suasana kelas lebih menyenangkan,
dan membuat siswa lebih mudah mencerna materi yang telah diberikan
sebelumnya.
15. Selalu ada materi yang menarik seperti video dan gambar-gambar yang
mendukung pembelajaran
Hasil data kuesioner menunjukkan 26,65% menyatakan Sangat Setuju,
35,54% Setuju, 35,12% memilih Netral dan 2,68% Tidak Setuju pada
pernyataan ini. Pernyataan ini masuk dalam indikator motivasi belajar oleh Uno
(2006:23) yang menyatakan adanya kegiatan yang menarik dalam belajar. Pada
pernyataan ini terdapat jawaban yang beragam, tetapi banyak yang menyatakan
setuju akan itu, karena memang mungkin tidak di setiap pertemuan selalu
diberikan video atau gambar yang berkaitan dengan materi pembelajaran.
Meskipun tidak menggunakan video/ gambar, penutur jati sering mencontohkan
materi pendukung dengan diperagakan sendiri.
16. Sering diberikan contah yang real dalam pembelajaran Bahasa Jepang
dengan penutur jati
Hasil data kuesioner menunjukkan 34,50% menyatakan Sangat Setuju,
42,35% menyatakan Setuju, 22,9% menyatakan Netral dan 0,21%
menyatakan Tidak Setuju pada pernyataan ini. Pernyataan ini masuk dalam
indikator motivasi belajar oleh Uno (2006:23) yang menyatakan adanya kegiatan

269 Pengaruh Penutur Jati Terhadap ... (Ulfah S., Diah Ayu W., Aji S.)

yang menarik dalam belajar. Penutur jati sering mengaitkan pembelajaran


dengan memberikan contoh yang konkrit dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
Jepang sehingga pembelajar bahasa asing merasa senang dan hal ini dapat
meningkatkan motivasi mahasiswa dalam mempelajari bahasa.
17. Sering adanya permainan dalam pembelajaran dengan penutur jati
Data hasil kuesioner menunjukkan 25,21% menyatakan Sangat Setuju,
34,92% menyatakan Setuju, 35,95% menyatakan Netral dan 3,92%
menyatakan Tidak Setuju pada pernyataan ini. Pernyataan ini masuk dalam
indikator motivasi belajar oleh Uno (2006:23) yang menyatakan adanya kegiatan
yang menarik dalam belajar. Hal ini dikarenakan kegiatan permainan dapat
membantu mahasiswa mengingat kembali kosakata yang sudah dipelajari atau
yang baru dipelajari. Kegiatan permainan ini dikemas dengan cara yang
menyenangkan meskipun tidak setiap minggu diadakan karena padatnya materi
yang harus dipelajari.
18. Adanya metode pembelajaran yang bervariasi sehingga siswa antusias
dalam belajar di kelas
Data hasil kuesioner menunjukkan 26,86% menyatakan Sangat Setuju
39,25% menyatakan Setuju 33,06% menyatakan Netral dan hanya 0,83%
menyatakan Tidak Setuju pada pernyataaan ini. Pernyataan ini masuk dalam
indikator motivasi belajar oleh Uno (2006:23) yang menyatakan adanya kegiatan
yang menarik dalam belajar. Lebih dari 50% mahasiswa menyatakan setuju
bahwa penutur jati selalu menggunakan metode dan contoh yang beragam dan
bervariasi sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa.
19. Pembelajaran dengan Penutur Jati membuat suasana kelas menjadi lebih
terkontrol
Data hasil kuesioner menunjukkan 22,93% menyatakan Sangat Setuju,
37,40% menyatakan Setuju 36,98% menyatakan Netral, 2,48% menyatakan
Tidak Setuju dan hanya 0,21% yang menyatakan Sangat Tidak Setuju pada
pernyataan ini. Pernyataan ini masuk dalam indikator motivasi belajar oleh Uno
(2006:23) yang menyatakan adanya lingkungan yang kondusif. Hal ini
dikarenakan tiap siswa memang harus berusaha fokus dalam mendengarkan dan

Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017 270



memahami setiap perkataan dosen penutur jati sehingga kelas menjadi lebih
terkontrol.

20. Senang dengan adanya pembelajaran dengan Penutur Jati


Data hasil kuesioner menunjukkan 39,26% menyatakan Sangat Setuju,
43,39% menyatakan Setuju dan 17,35% menyatakan Netral pada pernyataan
ini. Pernyataan ini masuk dalam indikator motivasi belajar oleh Uno (2006:23)
yang menyatakan adanya lingkungan yang kondusif. Hal ini dikarenakan dengan
adanya Nihongo Partner merupakan pengalaman yang baru dan menantang
kemampuan mengasah kemampuan berbahasa Jepang, dan bagi siswa itu sangat
menyenangkan sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar mereka
21. Kemalasan siswa berkurang (kedatangan di kelas, mengerjakan tugas
sekolah maupun tugas rumah)
Hasil data kuesioner menunjukkan 25% menyatakan Sangat Setuju,
33,06% menyatakan Setuju , 38.43% menyatakan Netral, 3,30% menyatakan
Tidak Setuju dan hanya 0,21% menyatakan Sangat Tidak Setuju pada
pernyataan ini. Pernyataan ini masuk dalam indikator motivasi belajar oleh Uno
(2006:23) yang menyatakan adanya lingkungan yang kondusif. Hal ini
dikarenakan antusiasme setiap siswa untuk bisa bertemu dan menantikan sesuatu
hal yang baru yang akan diberikan penutur jati dihampir setiap pertemuan.
22. Selalu merasa nyaman saat di kelas bersama dengan Penutur Jati
Data hasil kuesioner menunjukkan 25,62% menyatakan Sangat Setuju,
40,43% menyatakan Setuju, 32,02% menyatakan Netral dan hanya 2,07%
yang menyatakan Tidak Setuju pada pernyataan ini. Pernyataan ini masuk
dalam indikator motivasi belajar oleh Uno (2006:23) yang menyatakan adanya
lingkungan yang kondusif. Dalam pernyataan ini 32% mahasiswa menyatakan
netral karena masih adanya hambatan dalam berkomunikasi yaitu ketidaktahuan
kosakata membuat komunikasi masih terlihat sedikit kaku dan kurang nyaman
ketika bersama penutur jati.
23. Perhatian selalu tertuju pada penutur jati selama pembelajaran
berlangsung

271 Pengaruh Penutur Jati Terhadap ... (Ulfah S., Diah Ayu W., Aji S.)

Data hasil kuesioner menunjukan 31,40% menyatakan Sangat Setuju,


39,46% menyatakan Setuju, 28% menyatakan Netral pada pernyataan ini.
Pernyataan ini masuk dalam indikator motivasi belajar oleh Uno (2006:23) yang
menyatakan lingkungan yang kondusif. Hal ini dikarenakan native speaker
selalu memberikan hal baru yang akan selalu menarik perhatian mahasiswa. Ini
ditunjang dengan adanya contoh-contoh nyata yang diberikan oleh penutur jati
hampir disetiap pertemuan, dan membuat mahasiswa ingin lebih tahu tentang
kebudayaan atau informasi terbaru kehidupan keseharian masyarakat penutur
bahasa asing yang sekarang sedang dipelajari.

SIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sesuai dengan rumusan masalah dan


hasil penelitian serta hasil pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut,
yaitu hasil kuesioner tentang pengaruh Penutur Jati terhadap motivasi belajar
pembelajar bahasa asing di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya
menunjukkan hasil sebesar 80,97 % atau jika pembulatan akan menjadi 81%.
Adapun hasil perhitungan tersebut termasuk dalam rentang persentase 81%-100%
yang berarti penutur jati mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap motivasi
belajar mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Jepang, Prodi Sastra Cina dan Prodi
Pendidikan Bahasa.
Mahasiswa diharapkan lebih berani untuk mengembangkan diri dalam
mempelajari bahasa asing dengan bantuan penutur jati. Mahasiswa juga
diharapkan berlatih untuk tidak cangggung dalam berkomunikasi dengan penutur
jati agar nantinya dapat lancar berbahasa asing.
Bagi peneliti yang lain hasil penelitian ini dapat menjadi pertimbangan dan
referensi untuk melakukan penelitian lebih mendalam lagi mengenai pengaruh
penutur jati terhadap motivasi belajar mahasiswa.

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017 272



Abbas, Tashakkori dan Charles Teddlie. (2010). Mixed Methodology;


Mengombinasikan Pendekatan Kualitatif dan Kuantatif. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Arikunto, Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek
Edisi Revisi 2010. Jakarta: Rineka Cipta
Creswell, John W. (2016). Research Design, Pendekatan Kualitatif, Kuantitaif,
dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Dimiyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka
Cipta
Riduwan. (2011). Skala Pengukuran Variable Penelitian. Bandung: Alfabeta
Sadirman. (2006). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT.
Grafindo Persada
Slameto. (2013). Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta:
Rineka Cipta
Soemanto, Wasty. (2006). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif dan RnD. Bandung: Alfabeta
Sutadipura, H. Balnadi. (1983). Aneka Problema Keguruan. Bandung: Angkasa
Thursan, Hakim. (2006). Belajar Secara Efektif. Jakarta: Pustaka Pembangunan
Swadao.
Uno, B. Hamzah. (2006). Teori Motivasi dan Pengukuannya Analisis di Bidang
Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Asia Center. Strenghening Cultural Exchange in Asia. http://www.jpf.go.jp
(diakses pada 15 November 2015).

273 Pengaruh Penutur Jati Terhadap ... (Ulfah S., Diah Ayu W., Aji S.)
SIKAP DOSEN TERHADAP PENGGUNAAN BAHASA
INDONESIA DALAM PROSES PEMBELAJARAN BAHASA
INGGRIS DI STBA LIA JAKARTA

Theresia Tuti Purwanti

Program Studi Bahasa Inggris, Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA


Jl. Pengadegan Timur Raya No. 3 Pancoran Jakarta 12770
theresiapurwanti@gmail.com

ABSTRACT

This paper examines the attitudes of lecturers towards employing mother tongue as
a facilitating tool in English classes (listening, speaking, reading, and reading). To reach
a clear understanding of the issue, the present study focuses on 8 lecturers teaching in
various classes in the second and fourth semester. Questionnaire concerning Teacher
Talk Survey adapted from Warford and Rose (2003) is used as the reaserch tool. The
result shows that the attitudes of the lecturers about using Indonesian in the classroom
are generally positives. The participants prefer using Indonesian in certain situations and
for specific reasons. Although the attitudes of the lecturers receive agreements, they use
English more frequently to maximize the exposure and students are allowed to use
Indonesian for limited purposes.

Keywords: attitudes, mother tongue (Indonesian), foreign language (English), the use of
mother tongue

ABSTRAK

Penelitian ini membahas tentang sikap dosen terhadap penggunaan Bahasa


Indonesia sebagai bahasa ibu dalam proses belajar mengajar di kelas keterampilan
berbahasa (menyimak, berbicara, membaca dan menulis). Teknik pengumpulan data
yang digunakan dengan cara menyebarkan kuesioner yang diadaptasi dari Warford dan
Rose (2003) tentang Teacher Talk Survey kepada semua dosen pengampu mata kuliah
keterampilan berbahasa yang mengajar di semester 2 dan 4. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris digunakan dalam semua
kelas keterampilan berbahasa di STBA LIA Jakarta. Frekuensi penggunaannya
disesuaikan dengan fungsi dan kebutuhan masing-masing kelas. Untuk membantu
mahasiswa mendapat paparan Bahasa Inggris yang maksimal maka Bahasa Inggris tetap
menjadi bahasa pengantar utama. Sedangkan untuk memotivasi mahasiswa agar mau
belajar lebih giat, Bahasa Indonesia masih boleh digunakan secara terbatas.

Kata kunci: sikap, bahasa ibu (Bahasa Indonesia), bahasa asing (Bahasa Inggris),
penggunaan bahasa ibu (Bahasa Indonesia)

Sikap Dosen Terhadap (Theresia Tuti Purwanti) 274


PENDAHULUAN

Penggunaan bahasa ibu atau bahasa pertama dalam proses pembelajaran


bahasa asing masih menjadi topik yang menarik bagi peneliti. Kontroversi
tentang boleh tidaknya penggunaan bahasa ibu dalam kelas bahasa asing masih
berlangsung hingga saat ini. Ada yang setuju dan ada yang tidak. Beberapa yang
tidak setuju berpendapat bahwa penggunaan bahasa ibu akan menghambat proses
pemerolehan bahasa asing siswa (Richards and Rodgers, 2001) sedangkan para
peneliti lain mengatakan hal yang sebaliknya. Menurut Brooks dan Donato (1994)
penggunaan bahasa ibu dapat membantu siswa dalam memahami bahasa asing.
Penggunaan bahasa ibu akan membuat proses pembelajaran lebih efektif.
Perbedaan pendapat tentang penggunaan bahasa ibu di kelas bahasa asing
telah muncul sejak awal abad 20 seiring dengan perkembangan metode
pengajaran komunikatif (Communicative Language Teaching). Banyak institusi
pendidikan memberlakukan kebijakan yang tidak memperbolehkan penggunaan
bahasa ibu di kelas bahasa asing karena beberapa alasan. Kebijakan ini muncul
sebagai reaksi terhadap metode pengajaran yang muncul sebelumnya misalnya
Grammar Translation Method. Metode ini dianggap gagal membantu siswa
menguasai bahasa asing karena hanya menggunakan bahasa ibu siswa sebagai
bahasa pengantar. Selain itu paparan siswa terhadap bahasa asing hanya terbatas
pada teks tertulis sehingga pada akhir program siswa tidak dapat berkomunikasi
dalam bahasa asing secara lisan dan tertulis.
Sebagai salah satu contoh penggunaan bahasa ibu (bahasa Jepang) di kelas
bahasa Inggris dianggap sebagai salah satu faktor penyebab kegagalan siswa
mencapai skor TOEFL dan TOEIC yang tinggi (Reedy, 2000). Siswa di Jepang
tidak mendapat paparan terhadap bahasa Inggris yang cukup sehingga kompetensi
yang diharapkan tidak tercapai. Merujuk pada pendapat Cook (2001), proses
pemerolehan bahasa asing itu sama dengan proses pemerolehan bahasa ibu.
Ketika siswa belajar bahasa asing tidak perlu dibantu dengan bahasa lain. Otak
akan memproses perkembangan pemerolehan bahasa ibu dan bahasa asing secara
terpisah.
Di sisi lain, penelitian tentang manfaat penggunaan bahasa ibu dalam kelas
bahasa asing juga telah dilakukan oleh banyak peneliti dengan konteks penelitian

275 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017


yang beragam sehingga temuan penelitian pun beragam. Aurbech (1993)
mengadakan penelitian di kelas imigran di Amerika Serikat menemukan bahwa
penggunaan bahasa ibu di kelas pemula telah membuat siswa yang baru datang di
Amerika untuk pertama kalinya merasa nyaman. Mereka tidak merasa takut salah
ketika mencoba menggunakan bahasa Inggris karena guru memahami bahasa ibu
mereka. Penelitian yang dilakukan oleh De la Campa dan Nassaji (2009) di
Kanada menunjukkan bahwa penggunaan bahasa ibu (bahasa Inggris) di kelas
bahasa Jerman ketika menjelaskan instruksi, tujuan pembelajaran dan konsep tata
bahasa telah meningkatkan kompetensi bahasa Jerman siswa secara signifikan.
Kebijakan penggunaan bahasa ibu atau hanya bahasa asing di dalam kelas
bahasa asing di Indonesia tergantung dari kebijakan setiap institusi pendidikan.
Banyak institusi pendidikan yang melarang penggunaan bahasa lain selain bahasa
Inggris di kelas Bahasa Inggris. Hal ini mungkin termotivasi dari sikap
pemerintah terhadap pentingnya kemampuan berbahasa Inggris di era globalisasi
(Dardjowidjojo, 2002) dalam (Manara, 2007). Pada tahun 1998 Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia mengeluarkan kebijakan yang
memperbolehkan institusi pendidikan menengah dan tinggi menggunakan Bahasa
Inggris sebagai bahasa pengantar. Sejak saat itu banyak institusi pendidikan
berlomba-lomba menciptakan lingkungan belajar yang menyajikan banyak
paparan bahasa Inggris. Sikap ini pula yang mempengaruhi sikap guru terhadap
penggunaan bahasa asing di dalam kelas. Lalu muncullah kebijakan English only
di kelas Bahasa Inggris. Hal ini dilakukan untuk membantu siswa memaksimalkan
paparan/ input Bahasa Inggris yang tidak mereka dapat di luar kelas.
Hal serupa dilakukan oleh STBA LIA Jakarta sebagai salah satu perguruan
tinggi swasta yang mengajarkan Bahasa Inggris. Institusi mendorong seluruh
dosen pengampu mata kuliah keterampilan berbahasa (mendengar, berbicara,
menulis, membaca) untuk menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar agar mahasiswa mendapat input yang maksimal dan dapat
meningkatkan kompetensi mereka. Namun pada kenyataannya kebijakan ini
tidak selalu berhasil. Beragamnya kemampuan Bahasa Inggris mahasiswa ketika
berada di semester pertama membuat dosen pengampu mata kuliah keterampilan
berbahasa tidak bisa hanya menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa

Sikap Dosen Terhadap (Theresia Tuti Purwanti) 276


pengantar. Sebagian dosen tetap menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa
Inggris sebagai bahasa pengantar agar tujuan instruksional yang telah ditentukan
tercapai. Alasan yang lain adalah menghindari kesalahpahaman atau
memudahkan mahasiswa memberi respon terhadap pertanyaan.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti praktik penggunaan Bahasa
Indonesia dalam proses pembelajaran di kelas keterampilan berbahasa. Banyak
penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui peran bahasa ibu dalam proses
pembelajaran bahasa asing. Beberapa peneliti menemukan bahwa penggunaan
bahasa ibu yang proposional dapat meningkatkan motivasi siswa dalam konteks
pembelajaran di mana hanya bahasa ibu siswalah yang dapat menjembatani
kesenjangan komunikasi (Cook, 2001; Kahraman, 2009; Jingxia, 2010 dalam
Davud dan Molood, 2013). Dalam hal ini, sikap guru berperan penting dalam
membantu siswa untuk memutuskan kapan, mengapa dan bagaimana
menggunakan bahasa ibu ketika mengajar bahasa asing.
Peneliti mengadakan survei di kalangan dosen Program Studi (Prodi)
Bahasa Inggris STBA LIA Jakarta. Peneliti ingin mengetahui sikap dosen
terhadap penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu di kelas keterampilan
berbahasa (Speaking, Listening, Reading, dan Writing) dan sejauh mana mereka
menggunakan Bahasa Indonesia dalam proses pembelajaran Bahasa Inggris di
kelas tersebut.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Peneliti berupaya


mendeskripsikan penggunaan bahasa ibu (Bahasa Indonesia) dalam proses
pembelajaran bahasa asing (Bahasa Inggris) di STBA LIA Jakarta berdasarkan
keadaan yang sebenarnya. Strategi yang digunakan adalah menganalisis kuesioner
yang diisi oleh dosen pengajar mata kuliah keterampilan berbahasa (Speaking,
Listening, Reading, dan Writing).

277 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017


Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dengan cara menyebarkan
kuesioner yang diadaptasi dari Warford dan Rose (2003) tentang Teacher Talk
Survey kepada semua dosen pengampu mata kuliah keterampilan berbahasa yang
mengajar di semester 2 dan 4. Jumlah dosen yang berpartisipasi dalam penelitian
ini berjumlah 8 orang, 2 laki-laki dan 6 perempuan. Mereka adalah dosen tetap
Prodi Bahasa Inggris STBA LIA Jakarta yang sudah mengampu mata kuliah
keterampilan berbahasa lebih dari 10 tahun.
Kuesioner yang tersedia pada lampiran bertujuan untuk menggali sikap
dosen terhadap penggunaan bahasa ibu dan penerapannya di kelas keterampilan
berbahasa. Kuesioner didesain menggunakan Bahasa Inggris dengan skala Likert
1 sampai dengan 5. Bagian A menggunakan pilihan Strongly Agree (1), Agree (2),
Neither Agree nor Disagree (3), Disagree (4), Strongly Disagree (5) sedangkan
Bagian B menggunakan pilihan Always (1), Often (2), Sometimes (3), Rarely (2),
Never (5). Bahasa Inggris digunakan dalam kuesioner ini agar memudahkan dosen
memahami setiap butir pernyataan. Jumlah pernyataan terdiri atas 2 bagian.
Pernyataan-pernyataan di dalam kuesioner disesuaikan dengan konteks
pembelajaran Bahasa Inggris di STBA LIA Jakarta. Bagian pertama, berisi 19
pernyataan tentang sikap dosen terhadap penggunaan bahasa ibu di kelas
keterampilan berbahasa untuk aspek Prosedural (Procedural), Instruksional
(Instructional), Umpan Balik (Feedback), Pemerolehan Bahasa Kedua (Secondary
Acquisition), Membangun Relasi Antara Guru dan Murid (Rapport Building),
Manajemen Kelas/ Disiplin (Management/ Dicipline). Bagian yang kedua, berisi
19 pernyataan kapan dosen menggunakan bahasa ibu di kelas keterampilan
berbahasa dalam semua aspek tersebut.

Analisis Data

Data penelitian dianalisis secara deskriptif seperti model yang digunakan


oleh Yildiri dan Simseks (2011), yaitu (1) kerangka analisis deskriptif disusun
berdasarkan perumusan masalah penelitian, (2) data yang disusun sesuai dengan
kerangka tema penelitian dibaca dan dianalisis secara logis sedangkan data yang
tidak relevan dihilangkan, (3) data yang telah disusun dicocokkan dengan respon

Sikap Dosen Terhadap (Theresia Tuti Purwanti) 278


yang diberikan oleh subyek penelitian, dan (4) temuan penelitian dijelaskan dan
diinterpretasikan. Kuesioner yang telah diisi oleh 8 dosen dianalisis untuk
mengetahui frekuensi, persentase dan skor rata-rata. Data numerik akan dianalisis
dengan Excel dan metode analisis deskriptif.

SEJARAH SINGKAT TENTANG PENGGUNAAN BAHASA IBU DALAM


PENGAJARAN BAHASA ASING

Metode pengajaran Bahasa Inggris yang tradisional berkiblat pada


pemahaman bahwa mengenalkan bahasa asing harus melalui bahasa ibu siswa
(Cook, 2003). Salah satu metode tradisional, Grammar Translation Method,
menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar di kelas bahasa asing. Diane
Larsen-Freeman (1986) mendeskripsikan secara detail bagaimana guru di sebuah
kelas Bahasa Inggris di Spanyol menggunakan bahasa Spanyol sebagai bahasa
pengantar. Keberhasilan proses pembelajaran diukur dari ketepatan siswa dalam
menerjemahkan bahasa Inggris ke dalam bahasa Spanyol dan sebaliknya. Metode
ini digunakan di berbagai negara selama puluhan dekade.
Pada akhir abad 19 banyak ahli bahasa yang menentang penggunaan bahasa
ibu dalam pengajaran bahasa asing. Perkembangan metode pengajaran bahasa
selanjutnya lebih banyak dipengaruhi oleh teori Behaviorisme yang menolak
penggunaan bahasa ibu. Metode yang mengikuti pendapat para pengusung teori
tersebut antara lain Audio Lingual Method, The Oral Approach, Silent Way, dan
Situational Language Teaching. Metode-metode ini menganggap bahwa proses
pembelajaran bahasa asing akan lebih efektif jika hanya bahasa asing yang
digunakan di kelas dan penggunaan bahasa ibu hanya akan membentuk kebiasaan
yang buruk dan mengganggu proses pembelajaran (Cook, 1999).
Krashen (1981) percaya bahwa menggunakan bahasa asing sebagai bahasa
pengantar menguntungkan siswa. Bahasa asing yang didengar sehari-hari menjadi
input yang sangat bermanfaat bagi siswa untuk mencapai tahap pemerolehan
bahasa. Seorang ahli lain, Haliwell dan Jones (1991) mengatakan bahwa jika guru
hanya menggunakan bahasa asing di kelas, ia telah menciptakan situasi
komunikasi yang realistis yang mungkin tidak akan ditemui di luar kelas.

279 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017


Namun, sejumlah ahli yang tidak sepaham dengan asumsi tersebut
mengatakan bahwa dasar teori pelarangan penggunaan bahasa ibu dalam proses
pembelajaran tidak berdasarkan studi empiris. Sebagian besar para ahli yang
berpendapat bahwa bahasa ibu seharusnya dilarang digunakan sebagai bahasa
pengantar lebih banyak berdasarkan pada asumsi. Selain itu konsep kelas
monolingual (hanya bahasa target/bahasa asing digunakan di kelas) lebih baik dari
kelas dwibahasa (bahasa ibu dan bahasa asing digunakan di kelas) bersumber dari
penelitian yang diadakan di Amerika serikat dan Inggris yang merupakan negara
tempat penutur asli Bahasa Inggris berasal. Hal ini tidak mewakili kontek kelas
bahasa asing yang sesungguhnya. Kelas bahasa asing yang sesungguhnya adalah
kelas yang siswanya sudah memiliki bahasa ibu/ bahasa pertama (Hall dkk, 2011).
Akhir tahun 1960 muncul teori pemerolehan bahasa kedua yang
berpedoman pada analisis kesalahan (error analysis) dan menanggap bahwa
kesalahan berbahasa merupakan bagian dari proses pembelajaran bahasa kedua
(Ellis, 1997). Semenjak itu paradigma tentang penggunaan bahasa ibu dalam
proses pembelajaran bahasa asing perlahan berubah. Bahasa ibu boleh digunakan
di kelas bahasa asing secara proposional. Atkinson (1993) menyarankan agar guru
tidak menggunakan bahasa ibu secara berlebihan. Bahasa ibu hanya digunakan
dalam situasi yang tidak memungkinkan siswa menggunakan bahasa asing karena
tingkat kompetensi yang masih rendah. Oleh karena itua, baik guru maupun siswa
memiliki dua pilihan ketika belajar bahasa asing. Mereka dapat berada pada
situasi di mana hanya bahasa asing yang boleh digunakan di kelas atau mereka
masih diperbolehkan menggunakan bahasa ibu.
Pendapat peneliti lain yang mendukung penggunaan bahasa ibu, Macaro
(2009) berpendapat bahwa ada tiga teori yang membuktikan bahwa bahasa ibu
bermanfaat dalam proses belajar bahasa asing. Yang pertama adalah Teori Proses
Kognitif (the Cognitive Processing Theory). Menurut teori ini bahasa ibu dan
bahasa asing disimpan dengan cara yang sama di dalam ingatan jangka panjang
dan keduanya dapat diaktifkan dalam konteks kelas dwibahasa.Teori yang kedua
adalah Teori Sosiokultural (Sociocultural Theory) yang memberi penekanan pada
peran inner voice dan private speech yang mempengaruhi proses mental.Teori

Sikap Dosen Terhadap (Theresia Tuti Purwanti) 280


yang ketiga adalah Teori Alih Kode (Code Switching) yang merupakan fenomena
yang wajar dalam masyarakat dwibahasa seperti kelas bahasa asing.
Untuk menguji situasi mana yang paling baik untuk siswa, penelitian
tentang fungsi bahasa ibu dalam kelas bahasa asing terus dilakukan. Temuan
berbagai macam penelitian mengenai hal ini akan menjadi rujukan bagi pengajar
bahasa asing untuk mengadopsi model pembelajaran yang terbaik untuk konteks
kelas yang sesuai.

PENELITIAN TERKAIT PENGGUNAAN BAHASA IBU DI KELAS


BAHASA ASING

Telah banyak dilakukan penelitian untuk menguji manfaat penggunaan


bahasa ibu di kelas bahasa asing. Bouangeune (2009) mengadakan penelitian
terhadap penggunaan bahasa ibu di Laos untuk meningkatkan kemampuan bahasa
Inggris di dua kelas yang berbeda. Di kelas eksperimen, bahasa ibu digunakan
ketika memberi instruksi dan menerjemahkan kosakata baru sedangkan kelas
kontrol hanya menggunakan bahasa Inggris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kemampuan bahasa Inggris siswa yang berada di kelas eksperimen lebih baik.
Turnbull dan Daily OCain (2009) telah membuktikan bahwa bahasa ibu
dapat digunakan untuk fungsi kognitif, fungsi komunikasi dan fungsi sosial di
dalam kelas. Menurut Tang (2002) guru sering menggunakan bahasa ibu di kelas
pemula dan madya untuk: (1) memberi instruksi, (2) menjelaskan kosakata baru,
(3) menjelaskan konsep/ ide yang kompleks, dan (4) menjelaskan tata bahasa yang
rumit.
Temuan penelitian lain yang dilakukan oleh Kharma dan Hajjaj (1989),
Franklin (1990), dan Dickson (1996) menunjukkan bahwa kompetensi siswa
tingkat mahir meningkat secara signifikan ketika guru menggunakan bahasa ibu
untuk menjelaskan tata bahasa (Cook, 2001). Macaro (1997) mengatakan bahwa
siswa merasa lebih nyaman dan situasi belajar lebih kondusif ketika guru
menggunakan bahasa ibu untuk menjelaskan kosakata baru yang sulit,
menjelaskan instruksi, memotivasi siswa atau memberi umpan balik.
Pengetahuan dan sikap yang telah menjadi bagian dari karakter guru
membentuk prilaku mereka di dalam kelas. Survei yang dilakukan oleh McMillan

281 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017


dan Rivers (2011) terhadap guru penutur asli bahasa Inggris di sebuah universitas
di Jepang memiliki sikap positif dan memberi kesempatan bagi mahasiswa untuk
menggunakan bahasa Jepang. Hal tersebut memberi efek yang baik terhadap
fungsi kognitif, fungsi komunikasi dan fungsi sosial di kelas.
Nzwanga (2000) menganalisis 3 kelas Bahasa Prancis tingkat madya dan
menemukan bahwa penggunaan Bahasa Inggris yang merupakan bahasa ibu para
siswa tidak bisa dihindari. Bahasa Inggris digunakan untuk (1) menerjemahkan,
(2) menghafal konsep, (3) menjelaskan konsep, (4) menjembatani kesenjangan
komunikasi, dan (5) meningkatkan refleksi kritis siswa. Macaro (2001)
mengamati sebuah kelas Bahasa Prancis di Spanyol yang terdiri dari 6 siswa dan
melaporkan bahwa penggunaan bahasa ibu sangat minimal untuk (1) menjelaskan
kosakata yang sulit, (2) mengatur kelas, (3) menjelaskan tata bahasa, dan (4)
memberi instruksi. Castellotti (2001) melaporkan bahwa guru menggunakan
bahasa ibu sesuai dengan kompetensi siswa untuk (1) mengatur kelas, (2)
memfasilitasi kegiatan, (3) memberi umpan balik, dan (4) membantu siswa
melakukan refleksi terhadap pengalaman belajar mereka. Moore (2002)
menunjukkan bahwa guru Bahasa Prancis di Itali dan Spanyol menggunakan
bahasa ibu untuk memperlancar alur komunikasi dan meningkatkan kesadaran
metalinguistik siswa.
Agar guru dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif, Atkinson
(1987, 241) menyarankan penggunaan bahasa ibu seperti berikut ini:

Suggested Uses for the L1 in the EFL Classroom

1. Eliciting language How do you say X in English?


2. Checking comprehension How do you say Ive been waiting for
ten minutes in Spanish?
(Also used for comprehension of a reading or listening text.)
3. Giving complex instructions to basic levels.
4. Co-operating in groups. Learners compare and correct answers to
exercises or tasks in the L1. Students at times can explain new points
better than the teacher.
5. Explaining classroom methodology at basic levels. Using
translation to highlight a recently taught language item
6. Checking for sense. If students write or say something in the L2 that
does not make sense, have them try to translate it into the L1 to
realize their error.
7. Testing. Translation items can be useful in testing mastery of forms

Sikap Dosen Terhadap (Theresia Tuti Purwanti) 282


and meanings.
8. Developing circumlocution strategies. When students do not know
how to say something in the L2, have them think of different ways to
say the same thing in the L1, which may be easier to translate.

Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa


penggunaan Bahasa Inggris tetap harus digunakan sebagai alat komunikasi utama
di kelas Bahasa Inggris. Ini dilakukan agar siswa memperoleh banyak kesempatan
untuk memproses perolehan Bahasa Inggris baik lisan dan tertulis. Penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan bahasa ibu pada situasi tertentu berdampak
positif terhadap proses belajar mengajar. Jika siswa berada dalam kondisi belajar
yang nyaman maka proses pemerolehan bahasa asing dapat berjalan dengan
efektif. Kehadiran bahasa ibu di kelas bahasa asing tak terelakkan di kelas untuk
siswa tingkat pemula yang belum pernah mempunyai pengalaman belajar bahasa
kedua. Sedangkan di kelas untuk siswa tingkat madya dan mahir juga tidak
merugikan jika bahasa ibu digunakan secara proposional demi kelancaran
komunikasi dan mencapai tujuan pembelajaran.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Setelah semua dosen mengisi kuesioner yang telah dibagikan, peneliti


menghitung frekuensi dan persentase masing masing bagian. Bagian pertama (A)
merupakan jawaban untuk masalah penelitian yang pertama, yaitu pembahasan
tentang sikap dosen terhadap penggunaan Bahasa Indonesia di kelas keterampilan
berbahasa (Speaking, Listening, Reading, dan Writing). Bagian kedua (B)
merupakan jawaban untuk masalah penelitian yang kedua, yaitu sejauh mana
dosen menggunakan Bahasa Indonesia di kelas keterampilan berbahasa tersebut.

A. Sikap Dosen terhadap Penggunaan Bahasa Indonesia di Kelas Keterampilan


Berbahasa
Tabel 4.1. Prosedural (Procedural)

Sikap Frekuensi
Sangat setuju -
Setuju 50 %
Netral 25 %
Tidak setuju 18,7%
Sangat tidak setuju 6,3 %

283 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017


Tabel 1 menunjukkan persentase jawaban dosen terhadap sikap mereka dalam
menggunakan Bahasa Indonesia untuk aspek prosedural, misalnya memberi
pengumuman, mengabsen, memanggil siswa, memberi petunjuk, atau bersenda-
gurau. Dari 8 partisipan, 50% menyatakan setuju menggunakan Bahasa Indonesia
untuk aspek prosedural sedangkan 25 % bersikap netral, artinya mereka mau
menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Sisanya, 18,7 % tidak setuju
dan 6,3 % sangat tidak setuju dengan penggunaan Bahasa Indonesia untuk
kegiatan yang diklasifikasikan sebagai aspek prosedural.

Tabel 4.2. Instruksional (Instructional)


Sikap Frekuensi
Sangat setuju -
Setuju 18,75 %
Netral 20 %
Tidak setuju 52,5%
Sangat tidak setuju 8,75 %

Tabel 2 menunjukkan persentase jawaban dosen terhadap sikap mereka dalam


menggunakan Bahasa Indonesia untuk aspek instruksional. Pada aspek ini dosen
menggunakan Bahasa Indonesia untuk mengetahui kompetensi awal sebelum
mengawali materi baru (elicitation), menjelaskan kosa kata dan aturan tata bahasa,
memberi model penggunaan tata bahasa, menjelaskan muatan budaya yang muncul
dalam materi pelajaran, mengecek pemahaman siswa, dan mengulas materi yang
telah dipelajari. Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa 52,5 % tidak setuju
menggunakan Bahasa Indonesia untuk aspek instruksional. Persentase yang setuju
sebanyak 18,75 %, yang menggunakan kedua bahasa 20 %, dan yang sangat tidak
setuju 8,75 %.
Tabel 4.3. Umpan Balik (Feedback)
Sikap Frekuensi
Sangat setuju 6,25%
Setuju 21,88 %
Netral 6,25 %
Tidak setuju 59,37%
Sangat tidak setuju 6,2 %

Sikap Dosen Terhadap (Theresia Tuti Purwanti) 284


Tabel 3 menunjukkan persentase jawaban dosen terhadap sikap mereka dalam
menggunakan Bahasa Indonesia untuk aspek umpan balik. Ketika siswa selesai
mengerjakan suatu tugas, guru berkewajiban untuk memberikan umpan balik agar
siswa dapat memperbaiki kesalahan. Umpan balik dapat berupa pujian, koreksi
atas kesalahan, atau menjawab pertanyaan siswa baik secara individu maupun
dalam kelompok. Sebanyak 59,37 % tidak setuju jika umpan balik disampaikan
dalam Bahasa Indonesia. Mengingat penelitian ini dilakukan di kelas keterampilan
berbahasa maka bisa dimengerti jika dosen lebih suka menggunakan Bahasa
Inggris ketika member umpan balik sehingga siswa mengerti cara menggunakan
struktur kalimat yang benar, kosa kata yang tepat dan pelafalan yang tepat dalam
berkomunikasi. Sebanyak 21,88 % menyatakan setuju, 6,25 % sangat setuju, 6,2
% sangat tidak setuju, dan 6,25 % bersikap netral, menggunakan kedua bahasa
dalam memberikan umpan balik.

Tabel 4.4. Pemerolehan Bahasa Kedua (Secondary Acquisition)


Sikap Frekuensi
Sangat setuju -
Setuju 50 %
Netral 12,5 %
Tidak setuju 25%
Sangat tidak setuju 12,5 %

Literatur menunjukkan bahwa penggunaan bahasa ibu dapat mendukung proses


pemerolehan bahasa kedua. Pada konteks penelitian ini, Bahasa Indonesia dapat
digunakan untuk memfasilitasi diskusi kelas, menjelaskan lelucon dan muatan
budaya. Ternyata 50 % dosen setuju dengan literatur tersebut sedangkan 25 %
tidak setuju. 12,5 % sangat tidak setuju dan 12,5 % menggunakan kedua bahasa
dalam kegiatan yang telah disebut di atas.

Tabel 4.5. Membangun Relasi antara Guru dan Siswa (Rapport Building)
Sikap Frekuensi
Sangat setuju -
Setuju 25 %
Netral 37,5 %
Tidak setuju 25%
Sangat tidak setuju 12,5 %

285 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017


Proses belajar mengajar yang efektif dipengaruhi oleh banyak hal. Salah satunya
adalah upaya guru membangun relasi dengan siswanya. Jika hubungan itu terjalin
dengan baik maka siswapun merasa nyaman dan antusias mengikuti proses
pembelajaran.
Ada banyak hal yang dapat dilakukan oleh guru untuk menciptakan
hubungan komunikasi yang harmonis. Guru dapat menyampaikan lelucon,
menyatakan simpati, dan mengadakan perdekatan personal melewati pertanyaan
pribadi, misalnya What is your hobby? How long have you been playing
tennis? Pendekatan semacam ini menunjukkan bahwa guru berminat menjalin
kedekatan dengan siswanya.
Mayoritas dosen, 37,5 % mempercayai bahwa kedua bahasa dapat
digunakan untuk membangun hubungan dengan siswa sedangkan jumlah yang
setuju dan tidak setuju sama, yaitu 25%. Hanya 12,5 % yang bersikap sangat tidak
setuju jika Bahasa Indonesia digunakan unutk membangun relasi dengan siswa.

Tabel 4.6. Manajemen Kelas/ Disiplin (Management/ Dicipline)


Sikap Frekuensi
Sangat setuju -
Setuju 12,5 %
Netral 37,5 %
Tidak setuju 37,5%
Sangat tidak setuju 12,5%

Pada aspek mendisiplinkan kelas, guru dapat menggunakan bahasa ibu untuk
menegakkan aturan dengan cara menegur, memarahi, mengingatkan peraturan,
dan meminimalisir tindakan yang menyimpang. Dosen yang tidak setuju dan
bersikap netral jumlahnya sama, yaitu 37,5 %. Yang sangat tidak setuju dan setuju
juga berjumlah sama, yaitu masing-masing 12,5 %.

B. Implementasi penggunaan Bahasa Indonesia di kelas keterampilan berbahasa


Bagian ini membahas implementasi penggunaan Bahasa Indonesia di kelas
keterampilan berbahasa di STBA LIA Jakarta. Dosen diminta untuk menyebutkan
frekuensi penggunaan Bahasa Indonesia dalam semua aspek yang telah
disebutkan pada Bagian A. Hasil kuesioner dianalisis menurut setiap aspek.

Sikap Dosen Terhadap (Theresia Tuti Purwanti) 286


Tabel 4.7. Prosedural (Procedural)
Frekuensi Penggunaan Bahasa Indonesia Jumlah
Selalu -
Sering 18,7 %
Kadang-kadang 56,3 %
Jarang 18,7%
Tidak pernah 6,3 %

Menurut data yang merujuk pada Tabel 4.7, jumlah dosen yang kadang-kadang
menggunakan Bahasa Indonesia untuk aspek prosedural memiliki persentase
terbesar, yaitu 56,3%. Dosen yang tidak pernah menggunakan Bahasa Indonesia
memiliki persentase terendah, yaitu 6,3%.

Tabel 4.8. Instruksional (Instructional)


Frekuensi Penggunaan Bahasa Indonesia Jumlah
Selalu -
Sering 6,2 %
Kadang-kadang 33,8 %
Jarang 40%
Tidak pernah 20%

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa 40 % dosen jarang menggunakan Bahasa


Indonesia untuk aspek instruksional seperti untuk mengetahui kompetensi awal
sebelum mengawali materi baru (elicitation), menjelaskan kosakata dan aturan
tata bahasa, memberi model penggunaan tata bahasa, menjelaskan muatan budaya
yang muncul dalam materi pelajaran, mengecek pemahaman siswa, dan mengulas
materi yang telah dipelajari. Sekitar 20% menyatakan tidak pernah menggunakan
Bahasa Indonesia, 33,8% menyatakan kadang-kadang, dan hanya 6,2% sering.

Tabel 4.9. Umpan Balik (Feedback)


Frekuensi Penggunaan Bahasa Indonesia Jumlah
Selalu 3,2%
Sering 9,3 %
Kadang-kadang 18,8 %
Jarang 56,2%
Tidak pernah 12,5%

287 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017


Menurut hasil kuesioner untuk pernyataan frekuensi penggunaan Bahasa
Indonesia dalam memberikan umpan balik, 56,2% menyatakan jarang, 18,8%
kadang-kadang, 12,5% tidak pernah, dan hanya 3,2% yang menjawab selalu.
Karena penelitian ini dilakukan di kelas keterampilan berbahasa maka dosen
cenderung lebih sering menggunakan Bahasa Inggris ketika memberi umpan
balik. Dengan demikian siswa dapat memperbaiki kesalahan yang terjadi pada
struktur kalimat, pilihan kosakata, dan pelafalan yang kurang tepat.

Tabel 4.10 Pemerolehan Bahasa Kedua (Secondary Acquisition)


Frekuensi Penggunaan Bahasa Indonesia Jumlah
Selalu -
Sering 12,5 %
Kadang-kadang 50 %
Jarang 25%
Tidak pernah 12,5 %

Pengertian pemerolehan bahasa kedua di Tabel 4.10 adalah penggunaan Bahasa


Indonesia untuk memfasilitasi diskusi kelas, menjelaskan lelucon dan muatan
budaya. Hal ini dapat dilakukan dosen untuk mencegah terjadinya
kesalahpahaman konsep lelucon yang biasanya erat kaitannya dengan budaya
penutur asli. Bila siswa sudah memahami makna lelucon dan muatan budaya,
maka ekspresi-ekspresi tersebut sudah menjadi bagian dari proses memperoleh
bahasa kedua. Pada tabel di atas 50% dosen menyatakan kadang-kadang memakai
Bahasa Indonesia, 25% menyatakan jarang, sedangkan yang menyatakan sering
12,5% dan tidak pernah 12,5%.

Tabel 4.11 Membangun relasi antara guru dan siswa (Rapport Building)
Frekuensi Penggunaan Bahasa Indonesia Frekuensi
Selalu -
Sering 12,5 %
Kadang-kadang 50 %
Jarang 12,5%
Tidak pernah 25 %

Membangun relasi antara guru dan siswa sangat penting karena dapat
menciptakan suasana kelas yang kondusif dalam proses pembelajaran. Merujuk
pada sikap dosen yang mempercayai bahwa kedua bahasa dapat digunakan untuk

Sikap Dosen Terhadap (Theresia Tuti Purwanti) 288


membangun komunikasi yang baik dengan mahasiswa maka tidaklah
mengherankan jika 50% dosen kadang-kadang menggunakan Bahasa Indonesia.
Tidak ada seorangpun yang selalu menggunakan Bahasa Indonesia. Tetapi ada
25% yang tidak pernah menggunakan Bahasa Indonesia.

Tabel 4. 12 Manajemen Kelas (Management/Discipline)


Frekuensi Penggunaan Bahasa Indonesia Frekuensi
Selalu 12.5%
Sering -
Kadang-kadang 50 %
Jarang 12,5%
Tidak pernah 25%

Menegakkan disiplin di dalam kelas dilakukan dengan beragam tindakan. Guru


dapat memulai dengan membuat peraturan, menegur sikap yang bertentangan
dengan peraturan sampai dengan memarahi atau bahkan menghukum. Yang
menarik dari Tabel 4.12 adalah ada 12,5% yang selalu menggunakan Bahasa
Indonesia. Ketika dikonfirmasi tentang jawaban ini, dosen mengatakan bahwa
mereka tidak ingin terjadi kesalahpahaman ujaran atau eskpresi jika disampaikan
dalam Bahasa Inggris. Tetapi ada 25% dosen yang tidak pernah menggunakan
Bahasa Indonesia.

Dari hasil analisis, peneliti merangkum sikap dosen terhadap penggunaan Bahasa
Indonesia dan implementasinya di kelas sebagai berikut:
Tabel 4.13 Hasil Kuesioner Penggunaan Bahasa Indonesia di kelas
Sikap dosen terhadap penggunaan Implementasi penggunaan Bahasa
Bahasa Indonesia Indonesia di kelas
Prosedural
Sangat setuju - Selalu -
Setuju 50 % Sering 18,7 %
Netral 25 % Kadang-kadang 56,3 %
Tidak Setuju 18,7% Jarang 18,7 %
Sangat Tidak 6,3 % Tidak Pernah 6,3 %
Setuju
Instruksional
Sangat setuju - Selalu -
Setuju 18,75 % Sering 6,2%
Netral 20 % Kadang-kadang 33,8 %
Tidak Setuju 52,5 % Jarang 40 %
Sangat Tidak 8,75% Tidak Pernah 6,3 %
Setuju

289 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017


Umpan Balik
Sangat setuju 6,25 % Selalu 3,2 %
Setuju 21,8 % Sering 9,3 %
Netral 6,25 % Kadang-kadang 18,8 %
Tidak Setuju 59,37 % Jarang 56,2 %
Sangat Tidak 6,2 % Tidak Pernah 12,5 %
Setuju
Pemerolehan Bahasa Kedua
Sangat setuju - Selalu -
Setuju 50 % Sering 12,5 %
Netral 12,5 % Kadang-kadang 50 %
Tidak Setuju 25 % Jarang 25 %
Sangat Tidak 12,5 % Tidak Pernah 12,5 %
Setuju
Membangun relasi antara guru dan siswa
Sangat setuju - Selalu -
Setuju 25 % Sering 12,5 %
Netral 37,5 % Kadang-kadang 50 %
Tidak Setuju 25 % Jarang 12,5 %
Sangat Tidak 12,5 % Tidak Pernah 25 %
Setuju
Manajemen Kelas/Disiplin
Sangat setuju - Selalu 12,5 %
Setuju 12,5 % Sering -
Netral 37,5 % Kadang-kadang 50 %
Tidak Setuju 37,5 % Jarang 12,5 %
Sangat Tidak 12,5 % Tidak Pernah 25 %
Setuju

Hasil survei menunjukkan bahwa Bahasa Indonesia lazim digunakan di kelas


keterampilan berbahasa di Prodi Bahasa Inggris STBA LIA Jakarta dengan tujuan
yang beragam dan frekuensi yang beragam pula. Dari tabel di atas terlihat bahwa
mayoritas dosen cenderung menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris
untuk menunjang proses belajar mengajar yang efektif. Jika dosen berhadapaan
dengan konsep tata bahasa yang sulit, kosa kata yang tidak ada padanannya dalam
Bahasa Indonesia, dan muatan budaya yang berbeda dengan konteks di Indonesia,
maka mereka memilih menggunakan Bahasa Indonesia. Sedangkan Bahasa
Inggris tetap digunakan pada aspek umpan balik dan prosedural dengan agar
siswa dapat menerima input secara maksimal.
Dalam interview informal dengan beberapa dosen, pertimbangan pemilihan
Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di dalam kelas
dipengaruhi oleh banyak hal, antara lain: kompetensi mahasiswa, tingkat kesulitan
materi, fasilitas belajar, dan pengetahuan mahasiswa. Jika dosen hanya

Sikap Dosen Terhadap (Theresia Tuti Purwanti) 290


menggunakan Bahasa Inggris di kelas tanpa mempertimbangkan faktor tersebut,
mahasiswa bisa kehilangan motivasi dan berhenti belajar.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan data di atas dapat disimpulkan bahwa


Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris digunakan dalam semua kelas keterampilan
berbahasa di STBA LIA Jakarta. Frekuensi penggunaannya disesuaikan dengan
fungsi dan kebutuhan masing-masing kelas. Untuk membantu mahasiswa
mendapat paparan Bahasa Inggris yang maksimal maka Bahasa Inggris tetap
menjadi bahasa pengantar utama. Sedangkan utuk memotivasi mahasiswa agar
mau belajar lebih giat Bahasa Indonesia masih boleh digunakan secara terbatas.
Penelitian ini tentu masih jauh dari sempurna karena hanya melibatkan
partisipan yang terbatas dan teknik pengumpulan data tunggal. Alangkah baiknya
penelitian lanjutan adalah mengumpulkan data tentang penggunaan Bahasa
Indonesia di kelas bahasa asing dengan melibatkan lebih banyak partisipan
sehingga dosen dapat mengetahui dampak penggunaan bahasa ibu terhadap
perkembangan perolehan bahasa asing. Observasi dan wawancara dapat dilakukan
sebagai triangulasi pengumpulan data untuk menggali lebih dalam alasan dosen
memilih menggunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris untuk tujuan
tertentu di kelas. Dengan demikian institusi dapat menjadikan temuan penelitian
sebagai pijakan untuk menentukan kebijakan penggunaan bahasa ibu di STBA
LIA Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Auerbach, E. R. (1993). Reexamining English only in the ESL classroom. TESOL


Quarterly,27(1), 9-32.
Atkinson, D. (1993). Teaching monolingual classes. London: Longman.
Brooks, F.B., & Donato, R. (1994). Vygotskyan approaches to understanding
foreign language learner discourse during communicative tasks. Hispania,
77, 262-274.
Cook, V. (1999). Going beyond native speaker in language teaching. TESOL

291 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017


Quarterly, 33(2), 185-209.
Cook, V. (2001). Is it time for applied linguists to step out of Chomskys shadow?
ELT Teaching Matters, 3, 8-11.
Cook, G. (2003). Applied Linguistics. Oxford: Oxford University Press.
Davud and Molood. (2014). Azerbaijani Turkic speaking English language
teachers attitudes towards the use of their students mother tongue in
English classes. International Journal of Research Studies in Language
Learning, 3(3), 55-72
De la Campa, J.C. & Nassaji, H. (2009). The amount, purpose, and reasons for
using L1 in L2 classrooms. Foreign Language Annals, 42(4), 742-759.
Larsen-Freeman, D. (1986). Techniques and principles in language teaching. (1st
ed).Oxford: Oxford University Press.
Ellis, R. (1997). Second Language Acquisition. New York: Oxford University
Press.
Jingxia, L. (2010). Teachers code switching to the L1 in EFL classrooms. The
Open Applied Linguistics Journal, 3, 10-13.
Hall dkk. (2011). Mapping Applied Lingustics: A guide for students and
practitioners. London: Routledge.
Kahraman, A. (2009). The role of the mother tongue in fostering affective factors
in ELT classroom. Journal of English as an International Language, 5,
107-128.
Macaro, E. (2001). Analyzing student teacherscodeswitching in foreign language
classroom: Theories and decision making. Modern Language Journal, 85,
p.531548.
Macaro, E. (2009). Teacher use of code switching in the second language
classroom: Exploring optimal use. In M. Turnbull & J. Dailey OCain (Eds),
First language use in second and foreign language learning (pp. 35-49).
Toronto: Multilingual Matters.
Mc. Millan, B. & Rivers, D.J. (2011). The practice of policy: Teacher attitudes
towards English only. System, 39, 251-263.
Manara, C. (2007) The Use of L1 Support: Teachers and Students Opinions and

Sikap Dosen Terhadap (Theresia Tuti Purwanti) 292


Practices in an Indonesian Context. The Journal of Asia TEFL, 4 (1), pp.
145-178
Reedy, S.M. (2000). TOEFL scores in Japan: much ado about nothing. The
Language Teacher, 24(5), 5e 11
Richards, J.C. & Rogers, T.S. (2001). Approaches and methods in language
teaching. (2nd ed). Cambridge: Cambridge University Press.
Yildrim, A & Simsek, H. (2011). Student teachers opinions on mentor teachers
use of native language, Mersin. University Journal of the Faculty of
Education, 7 (1).

293 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017


PERSEPSI MAHASISWA INDONESIA TERHADAP
BUDAYA POPULER ASIA TIMUR (JEPANG DAN KOREA)

Rostineu

Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea


Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Gedung 3 Lantai 3 Kampus UI Depok 16424
rostineu0308@gmail.com

ABSTRACT

Indonesian people know variety cultures from around the world through globalization.
Since Japanese and Korean pop culture came and developed in Indonesia, society of
Indonesia familiar with them. Along the strong establishment of new East Asia culture in
Indonesia, I am interested in analyzing how does the Indonesian students perception toward
Japan-Korean Pop Culture? This paper will analyze the topic by descriptive-quantitative
method and reference analysis. This paper argues that Japanese-Korean pop culture has
special characteristics to attract Indonesia students. Despite on the positive values, such
negative values also contributed for those varieties of the Japanese-Korean drama story so
that Indonesian society love them.

Keywords: Perception, East Asian Popular Culture, Korean Drama, Japanese Drama

ABSTRAK

Pada era globalisasi ini masyarakat Indonesia mengenal berbagai macam budaya dari
berbagai negara di dunia yang masuk dan berkembang di Indonesia. Kemunculan budaya
populer Jepang dan Korea di Indonesia membuat masyarakat Indonesia semakin akrab
dengan budaya kedua negara Asia Timur tersebut. Fenomena kegandrungan budaya populer
Asia Timur ini menarik perhatian penulis untuk membahas tentang bagaiamana persepsi
mahasiswa Indonesia terhadap budaya populer Jepang-Korea. Dengan menggunakan metode
penelitian kuantitatif deskriptif dan analisis pustaka, penelitian ini menyimpulkan bahwa
budaya populer Jepang ataupun Korea memiliki ciri khas yang menjadi daya tarik masing-
masing bagi mahasiswa Indonesia. Selain unsur positif, unsur negatif dinilai menjadi daya
tarik yang mewarnai variasi cerita drama populer Jepang ataupun Korea yang banyak
digemari oleh masyarakat Indonesia.

Kata kunci: persepsi, budaya populer Asia Timur, drama Korea, drama Jepang

Persepsi Mahasiswa Indonesia Terhadap (Rostineu) 294


PENDAHULUAN

Budaya Korea kini tidak asing lagi di Indonesia, diawali dengan penayangan
drama pada 2002 di salah satu televisi swasta yang berjudul Winter Sonata (Kyeoul
Yeonga dalam bahasa Korea). Masyarakat Indonesia, terutama kaum remaja dan ibu
rumah tangga, mulai gemar dengan tayangan drama-drama Korea lainnya.
Jauh sebelum popularitas budaya Korea menyebar luas di Indonesia, budaya
Jepang sudah lebih awal dikenal di Indonesia karena Indonesia memiliki catatan
sejarah dengan Jepang pada masa Perang Dunia II. Drama televisi asal Jepang yang
pernah populer di Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya adalah OSHIN, ORIN,
Tokyo Love Story, dan drama lainnya yang menyuguhkan kehidupan masyarakat
Jepang modern.
Baik Jepang maupun Korea, kedua negara ini diakui sebagai negara maju
karena kecanggihan teknologi, kepesatan industri, dan perkembangan ekonominya.
Ketangguhan Jepang dan Korea dalam bidang teknologi dibuktikan dengan semakin
ketatnya persaingan dagang antara produk-produk elektronik dan mobil di belahan
dunia, termasuk Indonesia. Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia
menggunakan mobil buatan perusahaan Jepang dan Korea. Begitu pula dalam
pemakaian barang elektronik, merek barang elektronik seperti LG, Samsung, Sony,
Panasonic, dan Sanyo masih populer dan banyak diminati masyarakat Indonesia.
Budaya Jepang dan Korea yang dikemas dalam budaya populer digemari
kalangan masyarakat Indonesia. Mereka tidak hanya menggemari, tetapi lebih dari itu
mulai memfanatikkan diri dengan budaya-budaya populer kedua negara tersebut.
Fenomena ini dapat dilihat dari kemunculan komunitas penggemar budaya Jepang
ataupun Korea di Indonesia. Penerimaan budaya pop Korea dan Jepang di Indonesia
masih dalam bentuk menggemari musik, film, drama, mode pakaian, penggunaan
bahasa, dan makanan.
Akan tetapi, jika diamati kembali secara saksama, nilai-nilai budaya dalam

295 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017



budaya populer Korea dan Jepang tidak menunjukkan budaya murni negara masing-
masing. Terkait dengan keaslian produk Korean Wave, Eun-Young Jun (2009)
mengungkapkan bahwa budaya Korea dalam Korean Wave bukan produk yang secara
autentik mencerminkan budaya Korea asli, melainkan sebagian besar merupakan
transnational dan hybrid dari budaya lokal yang dipadukan dengan elemen-elemen
budaya asing di luar Korea (foreign elements).
Kemajuan teknologi, seperti internet, dan maraknya pertelevisian yang
menyediakan stasiun televisi dalam dan luar negeri semakin mudah dinikmati oleh
masyarakat Indonesia sekarang ini. Keaadaan tersebut telah mempermudah
masyarakat Indonesia mendapatkan informasi terkait hubungan Korea-Jepang, baik
sejarah, politik, maupun segi budaya lainnya.
Fenomena berkembangnya budaya Asia Timur (Jepang dan Korea) di
Indonesia ini menarik perhatian penulis untuk mengkaji tentang bagaimana persepsi
mahasiswa Indonesia terhadap budaya kedua negara Asia Timur, Jepang dan Korea.
Kegandrungan sebagian masyarakat Indonesia terhadap kedua negara tersebut
menjadi alasan penelitian ini perlu dilakukan.
Penulisan ini ditujukan untuk mengeksplorasi daya tarik budaya populer
kedua negara tersebut. Ada banyak yang unik dari budaya Jepang dan Korea yang
tidak dimiliki budaya Indonesia.
Penulis berharap kajian ini dapat digunakan sebagai bagian dari eksplorasi yang
memberikan inspirasi bagi masyarakat Indonesia dalam mengembangkan budaya
Indonesia agar lebih memiliki daya tarik lebih tinggi sehingga menjadi bagian budaya
populer yang dikenal di mancanegara. Sebagai masyarakat Indonesia tentunya merasa
bangga jika budaya Indonesia bisa lebih dikenal luas oleh masyarakat dunia. Selain itu,
hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi penelitian
bidang budaya populer khususnya Jepang dan Korea.

Persepsi Mahasiswa Indonesia Terhadap (Rostineu) 296


METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksplanatif dan metode
kuantitatif deskriptif. Melalui kedua metode tersebut, penulis menggunakan teknik
survei sebagai alat pengumpulan data yang kemudian dikaji berdasarkan analisis
deskriptif dari sumber-sumber referensi yang relevan dengan topik penelitian. Nazir
dalam Usmi (2016) menyatakan bahwa teknik survei digunakan untuk memperoleh
data dari responden dengan menggunakan kuesioner.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dilakukan dengan penyebaran
kuesioner tertutup dan terbuka, observasi, dan kepustakaan. Hasil data survei diolah
dalam bentuk persentase (%). Selain kuesioner, kepada para responden diajukan
pertanyaan lisan untuk mengeksplorasi lebih dalam tentang dasar persepsi dan segala
kegiatan terkait pertanyaan kuesioner dan jawaban responden. Responden penelitian
yang berpartisipasi dalam penelitian ini berjumlah 150 orang, yaitu 50 orang
mahasiswa Program Studi (Prodi) Bahasa dan Kebudayan Korea FIB-UI angkatan
2015, 50 orang mahasiswa Prodi Jepang FIB UGM angkatan 2015 dan 2016, dan 50
orang mahasiswa luar Prodi Bahasa dan Kebudayaan Korea atau Jepang di FIB UI.
Responden menurut komposisi pria dan wanita tidak sama. Secara alamiah
jumlah mahasiswa wanita di FIB, baik di UI maupun di UGM, umumnya lebih
banyak. Berikut gambaran respoden berdasarkan jenis kelamin.

Gambar 1. Responden menurut Jenis Kelamin

20%
pria
wanita
80%

Pengambilan data dilakukan pada 22 - 24 Februari 2017 di FIB UI Depok dan


FIB UGM Yogyakarta. Komposisi pertanyaan yang diajukan mengacu pada
komposisi pertanyaan yang disesuaikan dengan kebutuhan penelitian ini.

297 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017


Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini berjumlah 15, yang dikelompokkan
menjadi (1) pengetahuan umum dan budaya tentang Jepang-Korea; (2) persepsi
terhadap jenis budaya populer Jepang-Korea; (3) persepsi terhadap unsur-unsur dalam
penyuguhan budaya populer Jepang-Korea.

PEMBAHASAN

Di bawah ini merupakan penyajian berdasarkan kelompok pertanyaan yang


diajukan dalam angket: (1) pengetahuan umum tentang Jepang-Korea dan budaya
Jepang-Korea; (2) persepsi terhadap jenis budaya populer Jepang-Korea; (3) persepsi
terhadap unsur-unsur dalam penyuguhan budaya populer Jepang-Korea. Berikut hasil
penelitian dan pembahasan tersebut.
(1) Pengetahuan Umum tentang Jepang-Korea dan budaya Jepang-Korea

Tabel 1. Daya Tarik Budaya Jepang dan Korea bagi Mahasiswa Indonesia

100%
80%
60%
40%
20% Jepang
0%
Korea
:
um

ng

gu
er
na

am

fil
ul
pa

la
sio
um

dr
je

po
di
n

uf

tra
ua

ya
ur
ah

da
ya
H
et

bu
da
ng

bu
pe

Tabel 2 di atas menunjukkan responden pada umumnya tahu dan mengenal


informasi umum tentang Jepang dan Korea, seperti bagian negara di kawasan Asia
Timur. Mereka mengetahui letak geografis Jepang dan Korea yang saling berdekatan,
negara yang memiliki empat musim dalam setahun, dan menggunakan huruf yang
berbeda dari Indonesia. Akan tetapi, responden lebih banyak mengetahui informasi

Persepsi Mahasiswa Indonesia Terhadap (Rostineu) 298


umum tentang Jepang, seperti negara yang dikenal dengan istilah negara sakura,
negara yang dipimpin oleh seorang kaisar, dan negara dengan mata uang yen. Hal ini
wajar mengingat Jepang memiliki catatan sejarah di Indonesia sejak masa Perang
Dunia II. Begitu pula informasi tentang huruf yang digunakan Jepang dan Korea,
responden lebih mengenal istilah nama huruf Jepang yang disebut Hiragana,
Katakana, dan Kanji dibandingkan huruf Korea yang disebut Hangeul. Bahasa
Jepang sudah sejak lama menjadi mata pelajaran pilihan pada tingkat SMA sehingga
banyak mahasiswa yang pernah belajar bahasa Jepang dibanding bahasa Korea.
Walaupun budaya populer Korea di Indonesia semakin banyak dikenal
masyarakat luas, hasil survei membuktikan bahwa responden lebih sedikit
mengetahui istilah-istilah terkait budaya tradisional Korea dibanding Jepang.
Pengucapan istilah seperti pesta kembang api yang disebut bulkkot dalam bahasa
Korea dan hanabi dalam bahasa Jepang dirasakan lebih mudah mengucapkan dan
mengingat istilah Jepang hanabi. Selain itu, kimono (pakaian tradisional Jepang)
sudah lebih dulu dikenal luas oleh masyarakat Indonesia dibandingkan hanbok
(pakaian tradisional Korea).

(2) Persepsi terhadap Jenis Budaya Populer Jepang-Korea


Selain informasi umum tentang Jepang dan Korea, tabel 2 di atas juga
menunjukkan bahwa walaupun responden lebih banyak mengenal Jepang dibanding
Korea, budaya populer Korea lebih banyak dikenal oleh mahasiswa Indonesia. Data
di atas diketahui dari tiga jenis budaya populer (drama, film, dan lagu) Jepang-Korea
yang berkembang di Indonesia, dua jenis di antaranya, yaitu drama dan lagu, lebih
banyak dikenal oleh mahasiswa Indonesia. Akan tetapi, kepopuleran film Korea lebih
sedikit dibandingkan film Jepang. Sebagaimana diketahui, Jepang terkenal dengan
film-film animasi yang banyak ditayangkan oleh stasiun televisi di Indonesia.

299 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017


Shuri Mariasih (2015)1 dalam Mary J. Ainslie (2015, 75) menyatakan bahwa
drama televisi Korea telah menjadi bagian penting bagi penggemar budaya Korea di
Indonesia. Lebih lanjut Shuri menjelaskan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
Indonesia sekarang ini banyak dipengaruhi oleh kehadiran drama televisi asal negara
Asia, tontonan drama televisi menjadi alternatif keseharian yang menawarkan
kesempatan untuk refleksifitas dan membuka suatu perbincangan yang dapat diterima.
Fenomena ini juga dialami oleh responden bahwa terkadang segala sesuatu yang
terkait dengan drama Korea yang mereka tonton menjadi topik menarik yang mengisi
perbincangan keseharian mereka. Tidak jarang para responden saling
menginformasikan dan merekomendasikan drama Korea yang menurutnya menarik
untuk ditonton.
Sebagai negara Asia Timur, Korea dan Jepang memiliki budaya yang berbeda
dengan budaya Indonesia. Jepang dan Korea merupakan masyarakat homogen yang
sejak masa kuno menerima pengaruh budaya dari Cina. Selain penggunaan huruf
Cina yang dikenal Kanji dalam bahasa Jepang dan Hanja dalam bahasa Korea,
pengaruh ajaran Kong Fu Cu masuk ke wilayah Jepang dan Korea sejak masa
kerajaan kuno. Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, pengaruh Kong Fu Cu
dalam budaya Korea dapat dilihat dari kebiasaan orang Korea menggunakan
panggilan eonni (sebutan untuk kakak perempuan oleh seorang perempuan), oppa
(sebutan kakak laki-laki oleh seorang perempuan), hyeong (sebutan kakak laki-laki
oleh seorang laki-laki) , dan nuna (sebutan kakak perempuan oleh seorang laki-laki).
Masyarakat Korea sangat memerhatikan perbedaan umur, terutama dalam
menggunakan panggilan seseorang.
Perbedaan budaya memanggil seseorang dalam budaya masyarakat Korea ini
banyak sekali ditemui dalam tayangan drama Korea. Hal ini menarik perhatian para
penggemar ataupun masyarakat umum sehingga tidak sedikit dari responden yang
tidak tahu bahasa Korea pun mengetahui arti kata eonni, oppa, hyeong, dan nuna. Hal


1
Shuri Mariasih Gietty Tambunan. 2015. Imaginary Asia: Indonesia Audiences Reflexivity on K-
Drama. Selangor: Strategic Information and Development Centre, pp.75-94.

Persepsi Mahasiswa Indonesia Terhadap (Rostineu) 300


ini menjadi bukti bahwa ketertarikan mahasiswa Indonesia terhadap drama Korea,
salah satunya, karena ada sesuatu yang berbeda dari budaya lokal.
Dalam budaya masyarakat Indonesia, panggilan kakak, mba, mas, dan abang
tidak dibedakan berdasarkan jenis kelamin yang memanggil dan yang dipanggil.
Begitu juga halnya dengan unsur perbedaan umur. Penggunaan panggilan tersebut
dianggap sebagai panggilan umum bagi seseorang tanpa harus mengetahui perbedaan
umur di antara pihak yang berinteraksi. Berbeda dengan kebiasaan masyarakat
Indonesia, bagi masyarakat Korea mengetahui perbedaan umur akan membuat
mereka merasa nyaman untuk menentukan panggilan yang seharusnya diucapkan.

(3) Persepsi terhadap Unsur-unsur Terkait Penyuguhan Budaya Populer Jepang-


Korea
Hubungan diplomatik Jepang dengan Indonesia sudah terjalin sejak Indonesia
merdeka pada 1945. Oleh karena itu, sebelum budaya populer Korea datang dan
membanjiri tayangan acara pertelevisian di Indonesia, drama televisi Jepang lebih
dulu dikenal oleh masyarakat Indonesia. Pada 1990-an drama asal negara Asia,
seperti Jepang, Cina, Taiwan, bahkan Filipina, banyak ditayangkan di stasiun televisi
Indonesia. Seiring dengan semakin banyaknya jadwal tayangan drama Asia di televisi
Indonesia, masyarakat Indonesia mulai akrab dengan lagu-lagu berbahasa Jepang dan
Cina. Serial drama berjudul Meteor Garden menjadi booming pada kalangan remaja
Indonesia di awal 2000-an.
Kebijakan pemerintah Korea mendukung pengeksporan budaya populer Korea
ke mancanegara seiring dengan meluasnya budaya Korea (drama seri) di Cina pada
akhir 1990-an. Pemerintah Korea, pada masa pemerintahan Presiden Lee,
memanfaatkan kepopuleran budaya Korea di Cina agar semakin diperluas lagi
penyebarannya ke mancanegara dan menjadikan budaya popular Korea sebagai
sarana kebijakan untuk meningkatkan diplomasi umum dan budaya (Gunjoo dan
Won, 2012). Kim dan Ni dalam Gunjoo dan Won (2012) menjelaskan bahwa

301 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017


yang dimaksud dengan diplomasi budaya adalah pemanfaatan sumber budaya untuk
memfasilitasi pencapaian kebijakan luar negeri, di samping juga pemanfaatan
hubungan budaya internasional sebagai pelaksanaan pemanfaatan sumber diplomatik
untuk memfasilitasi kebijakan budaya objektif.
Korean Wave atau dikenal Hallyu, dalam bahasa Korea, berarti Gelombang
Korea dalam bahasa Indonesia, yang mulai dikenal luas di Asia sejak 2002 ini, seolah
menyerbu program tayangan acara pertelevisian di Indonesia dan sedikit-sedikit
menggeser kuantitas penayangan drama televisi lainnya dari Jepang dan Cina.
Semenjak penayangan drama Korea berjudul Full House, Dae Jang Geum, Coffee
Prince, dan sederetan drama Korea lainnya, masyarakat Indonesia menjadi semakin
memiliki kesempatan banyak untuk menontonnya. Oleh karena itu, tidak
mengeherankan jika hasil survei menunjukkan bahwa responden lebih banyak
menyukai drama Korea sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 3.

Tabel 3. Unsur-unsur yang Dianggap Berpengaruh terhadap Popularitas Budaya Jepang-Korea

Apa yang menjadi daya tarik drama populer Jepang-Korea? Pada umumnya
penggemar drama Jepang-Korea memerhatikan dan banyak membicarakan
penampilan para pemain dalam drama yang mereka tonton, baik dari sisi fisik, model

Persepsi Mahasiswa Indonesia Terhadap (Rostineu) 302


pakaian, gaya rambut, dan make-up. Akan tetapi, alur cerita yang menarik menjadi
salah satu daya pikat bagi responden untuk menonton drama Jepang-Korea. Dari 150
orang responden, lebih dari 50% mengaku lebih menyukai drama Korea. Cerita lucu,
karakter tokoh yang ceria, dan happy ending adalah beberapa alasan ketertarikan
responden untuk lebih menyukai drama Korea.
Baik drama Jepang maupun Korea, cerita dalam drama banyak diwarnai oleh
nilai-nilai budaya masyarakatnya. Seperti dalam drama Winter Sonata 2 (Kyeoul
Yeonga dalam bahasa Korea), hubungan persahabatan di bangku sekolah terus
berlanjut hingga kehidupan kerja. Pada kenyataannya, dalam kehidupan masyarakat
Korea, menjaga hubungan pertemanan di bangku kuliah menjadi bagian penting
untuk mendapatkan kemudahan dalam membangun jaringan kepercayaan sehingga
bermanfaat dalam mendapatkan peluang kerja. Kebiasaan mengajak minum bersama
menjadi salah satu kebiasaan yang dilakukan masyarakat Korea untuk menjaga
hubungan pertemanan.
Alur cerita yang sulit dipahami di satu sisi menjadi daya tarik bagi penggemar
drama Jepang ataupun Korea. Drama Jepang ataupun Korea terkadang memasukkan
fantasi tentang makhluk aneh, kejadian konyol yang tidak masuk akal, kemampuan
unik seseorang yang bisa berubah karakter, dan lainnya. Sebagian responden menilai
unsur-unsur fantasi memiliki ciri khas pada tiap-tiap drama Jepang ataupun Korea. Di
samping juga menambah variasi cerita drama sehingga tidak monoton, hanya
menyajikan drama kehidupan keseharian masyarakat Jepang-Korea.
Lagu-lagu populer dari Jepang-Korea yang berkembang di Indonesia banyak
diperdengarkan pertama kali lewat penayangan drama di televisi. Semakin sering


2
Winter Sonata, drama Korea yang pertama kali muncul di layar pertelevisian Korea, stasiun televisi
KBS, pada 2002. Serial drama yang menarik perhatian hampir seluruh negara di mancanegara ini
terdiri dari 20 episode, diperankan oleh Bae Yong Joon dan Choi Ji Woo. Drama romantis ini
mengisahkan kisah cinta sejati sepasang kekasih. Salah satu dari pasangan itu mengalami hilang
ingatan karena kecelakaan. Akan tetapi, pada akhirnya pasangan kekasih tersebut dapat bertemu
kembali karena ketidaksengajaan, dan kemurnian cinta mereka menyatukan perpisahan yang kedua
kalinya.

303 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017



menonton drama Jepang-Korea semakin sering pula mendengarkan lagu soundtrack-
nya sehinga menjadi akrab di pendengaran para penonton. Data menunjukkan drama
Korea lebih banyak digemari oleh responden. Untuk lagu populer di Asia Timur pun
responden merasa lebih akrab dengan lagu-lagu pop asal Korea Selatan. Kisah cerita
dramanya yang berkesan turut memengaruhi minat responden untuk memilih lebih
banyak mendengarkan lagu-lagu Korea.

SIMPULAN

Penulisan ini membahas persepsi mahasiswa Indonesia terhadap budaya


populer Asia Timur (Jepang-Korea) yang difokuskan pada eksplorasi tentang daya
tarik unsur budaya masing-masing. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan melalui
penyebaran kuesioner kepada 150 orang mahasiswa Indonesia, dapat disimpulkan
bahwa informasi umum, baik Jepang maupun Korea, sudah tidak asing bagi
mahasiswa Indonesia. Catatan sejarah antara Indonesia dan Jepang membuktikan
informasi Jepang lebih dulu dan banyak diketahui responden. Mahasiswa Indonesia
pada umumnya mengenal Korea dan budaya sejak masuknya budaya populer Korea
ke Indonesia pada 2000-an.
Jika dibandingkan di antara budaya populer Jepang dan Korea yang
berkembang di Indonesia, mahasiswa Indonesia cenderung lebih menyukai drama dan
lagu Korea. Faktor dukungan pemerintah Korea untuk mengekspor produk
budayanya ke luar negeri, dan harga drama Korea yang lebih terjangkau untuk
ditayangkan di stasiun televisi Indonesia berhasil membantu budaya populer asal
negeri gingeng ini memiliki daya saing yang kuat di dunia hiburan. Terbukti semakin
banyak televisi di Indonesia yang menayangkan drama dan lagu Korea sehingga
masyarakat Indonesia memiliki kesempatan lebih banyak untuk menonton tayangan
drama Korea dan menikmati lagu Korea.

Persepsi Mahasiswa Indonesia Terhadap (Rostineu) 304


Di balik unsur penggunaan bahasa untuk panggilan seseorang, nilai-nilai Kong
Fu Cu 3 yang memandang penting tentang perbedaan umur turut menyumbang
menjadi daya tarik yang menyuguhkan sesuatu yang berbeda bagi penggemarnya.
Selain itu, penggemar budaya populer Asia Timur, khususnya drama televisi, menilai
drama Jepang ataupun Korea memiliki ciri khas yang unik dan sulit dimengerti
dengan logika. Akan tetapi, hal ini justru menjadi daya tarik dengan memberikan
variasi alur cerita sehingga tidak monoton.
Akhir kata, penulis menyadari perlunya penelitian lanjutan terutama pada
pembahasan bagian unsur-unsur yang memberi kontribusi terhadap daya tarik
masing-masing budaya populer Jepang-Korea di Indonesia dari sudut teori budaya
populer. Untuk pendalaman bahasan, penulis merekomendasikan penelitian
menggunakan periodisasi dan fenomena budaya & sosial masyarakat Indonesia untuk
menjelaskan pasang surut popularitas budaya Jepang-Korea di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Ainslie, Mary J. (2015). The Korean Wave in Southeast Asia: Consumption And
Cultural Production. Selangor: Strategic Information and Research
Development Centre.
-----. (2012). Korea: Dulu & Sekarang. Seoul: Layanan Informasi dan Kebudayaan
Korea, Kementerian Budaya, Olahraga dan Pariwisata.
Keung, Jang-tae. (2000). Confucianism and Korean Thoughts. Seoul: Jimoondang
Publishing Company.
Chai Wenhua & Yang Xu,Traditional Confucianism in Modern China. Dalam
jurnal Frontiers of Philosophy in China, Vol. 1, No.3, September 2006, p. 366.
http://jstor.org/stable/30209977 (Diakses 28 Januari 2017)
Jung, Eun-Young. (2009). Transnational Korea: A Critical Assessment of The Korea

3
Kong Fu Cu merupakan filosofi yang masuk dikembangkan di wilayah Semenanjung Korea sejak
masa kerajaan kuno abad ke-4. Inti ajaran Kong Fu Cu menekankan pada moralitas, harmoni. Dalam
konteks kontemporer, Kong Fu Cu masih ada menjadi landasan budaya dan struktur sosial.

305 Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017



Wave in Asia and the United State . Dalam Jurnal Southeast Review of Asian
Studies Volume.31 (2009), pp.69-80. San Diego: University of California.
http://www.uky.edu/Centers/Asia/SECAAS/Seras/2009/06_Jung_2009.pdf
(Diakses pada 16 Februari 2017, pukul 17.45 WIB)
Jang, Gunjoo. September 2012. Korean Wave as Tool for Koreas New Cultural
Diplomacy. Advances in Applied Sociology 2012, Vol.2, No.3, 196-202.
Scientific Research. http://dx.doi.org/10.4236/aasoci.2012.23026 (Diakses pada
1 Februari 2017)
John Hugh Berthrong. Neo Confucian Philosophy, Internet Encyclopedia of
Philosophy (online), http://www.iep.utm.edu/neo-conf/(Diakses 28 Januari
2017)
Ju, Hyejung &Lee, Soobun. 2015. The Korean Wave and Asian Americans: The
Ethnic meanings of transnational Korean pop culture in the USA, pp. 323-338.
http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/10304312.2014.986059 (Diakses
pada 10 Februari 2017)
Usmi (2016a). Persepsi Pengajar dan Pembelajar Bahasa Korea terhadap Buku Korea
Terpadu Tingkat Dasar untuk Orang Indonesia. Konferensi Linguistik
Internasional ke-14 Universitas Atmajaya tgl. 6-8 April 2016, Jakarta,
Indonesia [Proceeding], hal. 403-408.

Persepsi Mahasiswa Indonesia Terhadap (Rostineu) 306


BATU NISAN ETNIS TIONGHOA:


TINJAUAN TENTANG KEBERADAAN ORANG TIONGHOA
DI AMPENAN, LOMBOK

Matsuda Hiroshi

Program Studi Sastra Jepang, Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA


Jl. Pengadegan Timur Raya No. 3 Pancoran Jakarta 12770
matsuda7643@yahoo.co.jp

ABSTRACT

This paper becomes a continuos study initially done by Wolfgang Franke concerning about field collection
works of Sinology specified on Chinese character particularly Tomb Stones found in Lombok Island as Franke seems
no such Chinese graves land were exsisting in the Island which located just next to Bali. Also in this paper you will be
guided how it were constructed to read the tombstones to understand the meanings.

Keywords: tombstones, Chinese, epinography, Indonesia

ABSTRAK

Tulisan ini merupakan penelitian lanjutan yang pada awalnya dilakukan oleh Wolfgang Franke mengenai
hasil koleksi Sinologi, khususnya aksara Tionghoa pada batu nisan yang ditemukan di Pulau Lombok, dimana
sebelumnya Franke menganggap tidak ada kuburan etnis Tionghoa di pulau yang berada di sebelah timur Pulau Bali.
Tulisan ini juga memandu pembaca untuk memahami makna dalam membaca batu nisan.

Kata kunci: batu nisan, Cina, epinografi, Indonesia

PENDAHULUAN

Orang Tionghoa menyebar ke kepulauan Indonesia dan menjadi bagian dari masyarakat
Indonesia. Pada penelitian sebelumnya, saya mengadakan perjalanan menelusuri keberadaan etnis
Tionghoa di Sumatera mulai dari Sabang hingga Lampung. Pada penelitian tersebut, saya memfokuskan
penelitian pada etnis Tionghoa di Kabupatan Rengat, Provinsi Riau, khususnya pada organisasi etnis
Tionghoa dan perkumpulan kematian pada etnis tersebut. Ketika saya mengadakan penelitian tersebut,
pengamatan juga tertuju pada makam atau kuburan etnis Tionghoa yang biasanya tidak jauh letaknya
dari kelenteng. Akan tetapi, pada saat itu, saya tidak memiliki banyak waktu untuk lebih jauh mengamati
dan memerhatikan batu nisan etnis Tionghoa yang ada di Sumatera. Beberapa waktu kemudian, saya
mendapat kesempatan ke Lombok dan mengunjungi kelenteng serta kuburan etnis Tionghoa di
Ampenan, Lombok. Hal ini membuat saya tertarik untuk menulis makalah ini terkait keberadaan makam

307 Batu Nisan Etnis Tionghoa (Matsuda Hiroshi)



etnis Tionghoa dan kaitannya dengan batu nisan sebagai objek kebudayaan material serta
keberlangsungan etnis Tionghoa di wilayah Ampenan, Lombok. Makalah ini akan melihat dua
permasalahan. Pertama, bagaimana bentuk susunan aksara Tionghoa pada batu nisan yang terdapat di
makam etnis Tionghoa di wilayah Bintaro, Ampenan, Lombok. Kedua, bagaimana keterkaitan
kelenteng Tionghoa dan objek pada kebudayaan material yang tampak pada batu nisan etnis Tionghoa di
Ampenan, Lombok.
Keberadaan etnis Tionghoa di Ampenan, Lombok, diperkirakan telah ada sejak abad ke-18.
Ampenan sebagai kota pelabuhan yang merupakan tempat berkumpulnya para pedagang dari berbagai
daerah dan negara. Salah satunya adalah etnis Tionghoa, termasuk dari Tionghoa daratan, yang
menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Sebagai bukti dari adanya penyebaran etnis Tionghoa
hingga ke Ampenan, di Lombok terdapat kelenteng etnis Tionghoa dan makam etnis Tionghoa di
wilayah Bintaro, Ampenan, Lombok.
Segala sesuatu yang ada di kelenteng ataupun di pemakaman etnis Tionghoa dapat dikategorikan
sebagai artefak yang diciptakan. Dalam hal ini, ornamen atau artefak yang ada di kelenteng atau makam
merupakan kebudayaan material yang menghubungkan masyarakat yang hidup di masa kini dengan
memori kolektif pada masa lalu. Bagi etnis Tionghoa, makam merupakan pembentuk jaringan antara diri
dan para leluhurnya. Dengan kata lain, makam atau kuburan merupakan bukti adanya sejarah kehidupan
etnis Tionghoa di Ampenan, Lombok.
Kajian terhadap kebudayaan perlu dilakukan. Menurut Hodder (1997:546), analisis kebudayaan
material lahir karena adanya kesadaran bahwa kebudayaan material tidak hanya diposisikan sebagai
sebuah produk pasif dari kisah kehidupan, tetapi justru sebagai sebuah produk aktif dari kisah kehidupan.
Artinya, berbagai artefak budaya diciptakan sebagai perangkat transformasi dalam masyarakat. Dalam
proses ini, fungsi artefak dapat membentuk hubungan sosial di dalam masyarakat.1 Dengan demikian,
semua kebudayaan material bersifat esensial dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Lalu, Woodrad (2007:4) mengatakan bahwa dengan mengkaji kebudayaan sebagai sesuatu yang
diciptakan, kita dapat memahami pula struktur sosial dan dimensi sistem yang lebih besar. Objek
kebudayaan material memiliki kemampuan untuk menunjukkan sesuatu atau dapat membangun makna
sosial. Objek material dapat menunjukkan pekerjaan, partisipasi anggota kelompok dalam waktu tertentu,

1
Katubi. Bahasa, Kebudayaan Matersial, dan Trasidi Lisan: Studi Etnolinguistik Orang Kui di Alor Nusa
Tenggara Timur. Prosiding The 4th Internatinal Conference on Indonesian Studies: Unity, Diversity and Future,
2015. hlm .483--484.

Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017 308


atau status sosial. Dalam hal ini, objek material dapat merepresentasikan wacana sosial yang lebih luas dan
berkaitan dengan norma serta nilai yang dipegang dan diakui oleh suatu kelompok masyarakat dalam
kaitannya dengan berbagai institusi lainnya.2 Dalam hal ini, salah satu objek yang menjadi fokus
pengamatan adalah ditemukannya batu nisan tertua pada makam etnis Tionghoa di Ampenan, Lombok.
Batu nisan pada kuburan etnis Tionghoa tersebut dianggap sebagai objek material yang memiliki makna
penting bagi keberlangsungan sebuah keluarga Tionghoa. Melalui batu nisan, kita dapat mengetahui
struktur keluarga dalam suatu masyarakat.

PENELITIAN TERDAHULU

Penelitian tentang batu nisan etnis Tionghoa di Indonesia sangat terbatas. Berdasarkan
penelusuran data, ditemukan satu peneliti. Wolfgang Franke dari Jerman memiliki data lengkap tentang
batu nisan etnis Tionghoa di Indonesia. Wolfgang Leopold Friedrich Franke (1912--2007) dilahirkan dari
ayah bernama Otto Franke (1863) dan Ibu Luise Niebuhr (1877). Sang ayah merupakan profesor
pertama di bidang Sinologi pada Colonial Institute di Universitas Hamburg pada 1910. Franke sangat
dipengaruhi oleh ayahnya. Ia mengikuti pendidikan di Universitas Berlin bidang Sinologi dari tahun 1931
dan pada tahun terakhir pindah ke Universitas Hamburg untuk menyelesaikan disertasi jenjang
doktoralnya pada tahun 1935. Setelah lulus, Franke dikirim ke Beijing, Cina, sebagai pegawai
Deutschland Institut untuk mengawali penelitiannya di bidang Sionologi. Lalu, diangkat sebagai profesor
di Universitas Hamburg hingga pensiun pada tahun 1977. Kemudian, ia melanjutkan penelitiannya di
Universitas Malaysia dari 1988 hingga wafat pada 9 September 2007.
Franke melanjutkan penelitiannya tentang Epigraphic Materials di Indonesia. Ia berhasil
menerbitkan buku berjudul Chinese Epigraphic Material in Indonesia. Volume 1: Sumatra3 pada 1988
dan melanjutkan penelitian di Jawa dengan judul Chinese Epigraphic Material in Indonesia. Volume 2:
Part 1 & 2 Java4 pada 1997 dan di Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta Maluku dengan judul Chinese
Epigraphic Material in Indonesia. Volume III: Bali, Kalimantan, Sulawesi, Moluccas5 pada 1997.
Keberhasilan penelitian Franke di bidang Epigraphy itu bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di
Malaysia, Singapore, dan Thailand. Namun, sayangnya penelitian tersebut tidak dapat dilanjutkan dan

2
Katubi. Idem. 2015. hlm. 484.
3
Wolfgang Franke. 1988. South Seas Society. Singapore.
4
Wolfgang Franke. 1997. South Seas Society. Singapore.
5
Wolfgang Franke. 1997. South Seas Society. Singapore.

309 Batu Nisan Etnis Tionghoa (Matsuda Hiroshi)



hanya berhenti meneliti hingga Pulau Bali, tidak melakukan penelitian di Pulau Lombok.
Franke dalam bukunya (Franke: 1988: xii) mengatakan bahwa di tahun 1970, ia telah mengoleksi
bahan-bahan penelitian tentang etnis Tionghoa di Asia Tenggara. Franke mendapat dana penelitian dari
Universitas Hamburg pada Juli--Oktober 1971. Melalui dana penelitian tersebut, Franke dapat
melanjutkan proyek penelitiannya untuk mengkoleksi bahan-bahan yang berkaitan dengan aksara
Tionghoa di semenanjung Malaysia dan kota Medan di Sumatera. Kemudian, Franke mendapat dana
lagi dari German Science Foundation. Dengan dana tersebut, Franke mulai melakukan penelitiannya di
Pontianak dan Palembang pada 1974 dan pada Januari hingga Februari 1975 melanjutkan penelitiannya
untuk sebagian wilayah Jawa, Bali, dan Pulau Bangka. Pada Februari dan akhir Oktober 1975, Franke
mengadakan kunjungan singkat ke Tanjung Pinang di Riau lewat Singapura. Selanjutnya, ia
mengunjungi Aceh, Sumatera Utara, dan Bagansiapiapi di Riau dari April hingga Mei 1979. Setelah itu,
mengunjungi, Sumatera, Jakarta dan pulau Belitung pada April hingga bulan Mei 1980 dan pada
November 1980 mengunjungi Jakarta kembali. Setelah itu, ia memfokuskan penelitiannya pada bagian
Selatan dan Timur Kalimantan, lalu Januari 1985 mengunjungi Ambon, kemudian pada Januari 1986
mengunjungi kembali Jakarta, Semarang, dan Surabaya untuk menambah bahan penelitiannya. Setelah
itu, ia mengunjungi Ujung Pandang, Medan, dan Padang pada Februari 1987 untuk memastikan
kebenaran dan kesalahan dari koleksi penelitian terdahulu. Hasil temuan Franke pada aksara Tionghoa
terfokus pada batu nisan di Sumatera, Jawa, dan Bali yang dapat dihimpunnya sebanyak 490 buah batu
nisan dari Pulau Sumatera, 433 buah batu nisan dari Pulau Jawa, dan 37 buah batu nisan dari Pulau Bali.
Dari hasil pengumpulan data batu nisan oleh Franke tersebut dari Sumatera, Jawa dan Bali, saya
mendapat paduan membaca batu nisan bagi laki-laki dan perempuan sebagai berikut:
1. Bagi yang dikuburkan adalah laki-laki
1) 2)3)4) 5) 6)

2. Bagi yang dikuburkan adalah perempuan


7) 8)9)10) 11) 12)

Perbedaan kuburan laki-laki dan perempuan dapat dibedakan dari awal aksara, yaitu untuk laki-laki,
dan untuk perempuan. Kemudian urutan setiap aksara tersebut di atas dapat dipahami apabila
kuburan laki-laki sebagai berikut:

1) 6 : aksara pertama berarti memperingati dan menghormati yang telah meninggal, dan
aksara kedua diartikan ayah yang telah meninggal

6
Morohashi Tetsuji. 1994. Dai Kanwa Jiten Vol .12. pp 318. Taishukan Shoten.

Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017 310


2) 7 : kata posthumous (almarhum) yang disumbangkan di depan nama marga dan nama pribadi
3) : diletakkan nama pribadi, mendahului nama marga
4) : posisi nama marga
5) 8 : panggilan kehormatan terhadap marga, dan selain , ada juga penggunaan atau
6) : aksara menujukkan arti kepunyaan, dan aksara berikut diartikan kuburan, selain
aksara tersebut ada pula penggunaan aksara seperti , atau

Selanjutnya, panduan membaca batu nisan perempuan sebagai berikut:

7) 9 : aksara pertama berarti memperingati dan menghormati yang telah meninggal, dan aksara
kedua menunjukkan yang dimakamkan adalah perempuan
8) : kata posthumous yang disumbangkan pada depan nama marga dan nama pribadi, tetapi
mengunakan kata posthumous yang berbeda dengan laki-laki.
9) : diletakkan nama pribadi, mendahului nama marga
10) : posisi nama marga
11) : panggilan kehormatan terhadap marga, dan selain , ada juga penggunaan 10
12) : aksara menujukkan arti kepunyaan, dan kata berikut 11 diartikan kuburan, selain
aksara tersebut ada pula penggunaan aksara seperti atau

Selanjutnya, penelitian tentang batu nisan juga pernah dilakukan Chaviano Alputila yang menulis
makalah berjudul Makam Tradisional Etnis Cina di Kota Ambon.12 Dalam penelitiannya, ditemukan
bahwa etnis Tionghoa di Ambon memiliki peran penting dalam perdagangan. Bukti keberadaan etnis
Tionghoa di Ambon diketahui melalui keberadaan makam tradisional etnis Tionghoa di beberapa tempat
di Ambon, di antaranya Air Salobar, Benteng, Kudamati, dan Belakang Soya.
Penelitian ini menghasilkan temuan makam tradisional etnis Tionghoa yang masih berbentuk
lubang. Bentuk makam ini merupakan artefak makam yang ditemukan dan mencerminkan adanya
okupasi etnis Tionghoa ke Ambon. Penelitian ini menghasilkan juga temuan tentang kesesuaian
komponen makam yang masih menggunakan ornamen pada masa lalu. Makam dan ornamen tersebut
membuktikan bahwa etnis Tionghoa Ambon masih mempertahankan tradisi dan kebiasaan yang
berlaku sejak zaman dahulu. Bukti artefak tersebut merupakan jalinan antara etnis Tionghoa yang hidup
pada masa kini dan etnis Tinghoa yang hidup di masa lalu. Akan tetapi, bentuk makam tradisional
tersebut tampaknya tidak terpelihara dengan baik sehingga dikhawatirkan akan punah atau akan hilang

7
Morohashi Tetsuji. 1994. Dai Kanwa Jiten Vol.10. pp 530. Taishukan Shoten.
8
Morohashi Tetsuji. 1994. Dai Kanwa Jiten Vol.2. pp 26. Taishukan Shoten.
9
Morohashi Tetsuji. 1994. Dai Kanwa Jiten Vol.12.pp 321. Taishukan Shoten.
10
Morohashi Tetsuji. 1994. Dai Kanwa Jiten. Vol.4. pp 1044. Taishukan Shoten.
11
Morohashi Tetsuji. 1994. Daikanwa Jiten. Vol.3. pp 188. Tsishukan Shoten.
12
Chaviano Alputila. Makam Tradisional Etnis Cina di kota Ambon. http:// diunduh Selasa, 21 November 2016 pukul 15.16 WIB.

311 Batu Nisan Etnis Tionghoa (Matsuda Hiroshi)



jika pemerintah tidak turun tangan melestarikan makam tradisional etnis Tionghoa yang tersisa di Ambon.
Melalui penelitian ini, peneliti hendak mengatakan bahwa makam merupakan objek kebudayaan
material yang perlu dilestarikan sebagai artefak budaya.
Melalui kedua penelitian terdahulu diketahui bahwa baik Franke maupun Chaviano belum
melakukan penelitian tentang makam sebagai objek kebudayaan material di Ampenan, Lombok. Oleh
karena itu, dalam makalah ini saya berusaha mengungkapkan hasil pengamatan saya terhadap makam
etnis Tionghoa di Ampenan, Lombok.

MAKAM ETNIS TIONGHOA DI AMPENAN, LOMBOK

Kota Ampenan merupakan kota kecamatan dan tercatat sebagai ibukota setelah intervensi oleh
pihak Belanda di wilayah Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Pada 31 Agustus 1895, Mataram
menjadi ibukota Onder Afdeling Lombok Barat. Kemudian, pada 11 Maret 1898 menjadi ibukota
Afdeling Lombok setelah dipindahkan dari Ampenan. Dengan demikian, Ampenan dipahami oleh
Belanda sebagai asal mula berdirinya ibukota di Lombok.
Kota Ampenan memiki sejarah panjang sebagai kota yang yang mendapat pengaruh dari
Kerajaan Mataram, di Jawa pada 1720. Runtuhnya Kerajaan Mataram diikuti oleh masuknya
perwakilan dagang Hindia Belanda di kota Ampenan dipimpin oleh Jenderal JA Vetter tiba di pelabuhan
Ampenan pada 5 Juli 1894. Itulah awal dari sejarah perdagangan dan seni bangunan kolonial di kota
Ampenan. Selanjutnya, Ampenan berfungsi sebagai kota pelabuhan yang menunjang berbagai kegiatan
perdagangan di wilayah Lombok. Melalui pelabuhan Ampenan, arus perdagangan barang dan jasa
masuk ke Lombok.
Sebagai kota pelabuhan, Ampenan merupakan tempat berkumpulnya para pedagang. Ampenan
merupakan melting pot bagi berkumpulnya penduduk dari Arab, Melayu, Bugis, Tionghoa, Jawa, Bali,
dan penduduk setempat. Oleh karena itu, hingga kini di kota Ampenan terdapat kampung Melayu,
kampung Bugis, dan kampung Tionghoa. Ampenan juga dikenal sebagai kota yang ditinggali oleh
sebagian orang Tionghoa di Lombok. Sebagai bukti, terdapat pemakaman orang Tionghoa di Bintaro,
Ampenan, Lombok. Lalu, di kota Ampenan terdapat pula sebuh kelenteng tua bernama Vihara Bodhi

Dharma atau , yang berada di Ampenan. Kelenteng itu merupakan satu-satunya kelenteng di

wilayah Ampenan. Keberadaan kelenteng ini merupakan bukti bahwa etnis Tionghoa menyebar dan
menjalani kehidupan hingga di kota Ampenan, Lombok dan menjadi objek kebudayaan material bahwa

Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017 312


pernah ada kehidupan dan kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa di kota Ampenan,
Lombok.
Ketika masuk ke wilayah kelenteng, kita akan dapat melihat ornamen yang menjadi artefak
budaya berupa papan nama kelenteng. Papan nama kelenteng terdapat di bagian pintu utama. Dalam
papan itu terbaca tahun 1908. Tahun itu merupakan tahun disumbangkannya papan tersebut oleh
seseorang kepada kelenteng.

Gambar 1. Papan Nama Kelenteng

(Foto diambil pada 18 Agustus 2016 di Ampenan, Lombok)

Jika kita melihat papan nama kelenteng di atas, cara membaca papan nama dilakukan dari kanan
ke kiri sebagai berikut.
1) Bagian kanan merupakan tahun waktu papan nama itu disumbangkan ke kelenteng, yang dibaca
13 artinya 1908.
2) Bagian tengah merupakan nama kelenteng, yang dibaca memiliki arti kelenteng yang
mempertahankan ketionghoaan.
3) Bagian kiri merupakan nama penyumbang.

Tidak jauh dari kelenteng, kita menemukan pemakaman etnis Tionghoa di Ampenan, Lombok.
Keberadaan makam ini membuktikan bahwa etnis Tionghoa menetap di wilayah itu. Pada makam etnis
Tionghoa di Ampenan, Lombok, ditemukan kuburan dengan batu nisan tertulis tahun 1888. Pada 1888
dianggap sebagai tahun Terminus Ante Quem batas sebelumnya yang. Artinya, tahun itu dianggap
bahwa etnis Tionghoa telah menetap di wilayah kota Ampenan, Lombok.
Di dalam kompleks makam ditemukan batu nisan bertulis tahun 1888. Batu nisan tersebut
ternyata merupakan batu nisan tertua di area pemakaman itu.


13
Dibaca Guangxu, tahun kerajaan di Tiongkok mulai dari tahun 1875 sampai dengan 1908.

313 Batu Nisan Etnis Tionghoa (Matsuda Hiroshi)



Gambar 2. Batu Nisan Tertua di Ampenan

(Foto diambil pada 18 Agustus 2016 di Ampenan, Lombok)

Dari batu nisan yang tertua di atas, kita dapat membaca sebagai berikut.
1) Bagian kanan merupakan tahun pembuatan batu nisan yang dapat dibaca , berarti
pada tahun 1888.
2) Bagian tengah merupakan nama orang yang dimakamkan di kuburan tersebut dan dibaca
a) b) c) d) e).Aksara ini diartikan sebagai berikut.
a) Aksara menunjukkan kata menghormati Kerajaan Qing.
b) Aksara diartikan memperingati dan menghormati yang telah meninggal, dan huruf
kedua diartikan yang meninggal adalah ayah.
c) Aksara merupakan nama yang dimakamkan, tetapi nama pribadi diletakkan di
depan dari pada nama marganya. Jadi, nama semasa hidupnya adalah .
d) Aksara merupakan panggilan hormat kepada yang dimakamkan
e) Aksara diartikan sebagai kuburan.

Batu nisan yang diperkirakan terrtua di kompleks pemakaman Ampenan, Lombok menjadi
objek kebudayaan material yang mengingatkan kita pada adanya sistem bermasyarakat pada etnis
Tinghoa dan makam tersebut dapat terpelihara sebagai kebudayaan material yang dapat memberikan
gambaran kepada generasi muda tentang leluhur mereka dan tentang perjalanan sejarah etnis Tionghoa
tersebut.
Nilai-nilai yang menjadi norma di dalam masyarakat dapat dipelihara dengan keberadaan makam
tersebut. Dalam hal ini, generasi muda harus mengingat bahwa mereka ada karena adanya para leluhur
mereka. Oleh karena itu, etnis Tionghoa memiliki tradisi berziarah ke kubur para leluhur yang disebut
dengan Ceng Beng. Tradisi Ceng Beng ini dapat dimaknai sebagai menghormati arwah para leluhur.
Dengan kata lain, keberadaan makam sebagai objek kebudayaan material memiliki makna sosial yang
dapat berfungsi sebagai penghubung antara dunia masa lampau dan dunia masa kini.
Selanjutnya, setelah membandingkan penemuan batu nisan dari Ampenan, Lombok, dengan
hasil pendataan koleksi Franke di Sumatera dan Jawa dapat dipahami bahwa batu nisan yang

Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017 314


menggunakan aksara telah dapat ditemukan di Bengkulu, Sumatera pada 184214, sedangkan di
Indramayu, Jawa Barat pada 174515. Di samping itu, penulisan batu nisan yang dimulai dari aksara
atau dapat ditemukan di Surabaya, Jawa Timur pada 1636 untuk laki-laki16, dan di Cirebon17, Jawa
Barat pada 1765 untuk perempuan dan di Tanjung Pinang, Riau, Sumatra pada 1783 untuk laki-laki18,
lalu di Padang, Sumatra Barat pada 1850 untuk perempuan19.
Hal tersebut membuat kita paham bahwa format batu nisan yang dimulai dari aksara atau
adalah format batu nisan sebelum adanya Kerajaan Qing, sedangkan batu nisan yang dimulai
dengan aksara adalah mereka yang menunjukkan loyalitas kepada Kerajaan Qing atau mereka
yang hanya mencari jati diri dari kerajaan yang didirikan dari 1644 dan berakhir pada 1912 itu. Sepanjang
Kerajaan Qing berkuasa ada kelompok masyarakat yang mendukung kerajaan. Adapun kelompok
masyarakat yang tidak menunjukkan loyalitas kepada Kerajaan Qing menggunakan aksara yang .
Aksara ini tentu tidak lazim ada dalam aksara bahasa Tionghoa. Akan tetapi, karena mereka ingin
menunjukkan ketidakloyalan pada Kerajaan Qing, aksara tersebut digunakan dengan cara
menghilangkan aksara raja dalam penulisan batu nisan. Aksara kata Kerajaan Qing terdiri dari bagian
dengan , kemudian berubah menjadi . Perubahan atau penghilangan bagian raja menunjukan
sikap menentang pada Kerajaan Qing.

Akhir kata, saya menyadari perlunya penelitian lanjutan untuk mengetahui dan memahami
tentang urutan atau format penulisan dalam batu nisan. Hal ini dimaksudkan agar terbangun kembali
urutan batu nisan etnis Tionghoa di Indonesia.

SIMPULAN
Kota Ampenan, Lombok, sebagai kota pelabuhan memiliki kelenteng yang diperkirakan ada
sejak 1800-an. Lalu, tidak jauh dari kelenteng tersebut terdapat makam etnis Tionghoa yang dipusatkan di
daerah Bintaro, Ampenan. Pada kompleks makam ditemukan makam tertua sesuai dengan yang tertera
pada batu tahun 1888. Makam dan batu nisan tersebut merupakan objek kebudayaan material yang
memiliki makna sosial sebagai penghubung generasi muda dengan para leluhurnya. Objek kebudayaan

14
Wolfgang Franke. 1988. pp 530.
15
Wolfgang Franke. 1997. Vol. 2 Part 1. pp 262
16
Wolfgang Franke. 1997. Vol. 2 Part 2. pp 722
17
Woldgang Franke, 1997. Vol. 2 Part 1. pp 246
18
Wolfgang Franke. 1988. pp 373.
19
Wolfgang Franke. 1988. pp 399

315 Batu Nisan Etnis Tionghoa (Matsuda Hiroshi)



material tersebut juga memiliki makna sosial bahwa jika tidak ada para leluhur, generasi muda tersebut
pun tidak akan ada. Tradisi untuk berziarah ke makam leluhur merupakan bentuk penghormatan nenek
moyang dan para leluhur. Lalu, melalui penelitian ini saya dapat mengetahui dan berhasil mencari tahu
bagaimana penulisan dan pembacaan batu nisan melalui data perbandingan di Sumatera dan Jawa
dengan hasil penemuan lapangan penelitian di Pulau Lombok.

Daftar Pustaka

Reno, Joshua. (2009). Your Trash is Someones Treasure: The Politics of Value at a Michigan Landfill.
Journal of Material Culture, Vol. 14(1): 29-46. Disusun oleh T. Christomy. Diktat : Seminar Teori
dan MetodologiIlmu Pengetahuan Budaya. Program Pascasarjana (S-3) Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia. 2016

Morohashi, Tetsuji. (1982). Dai Kanwa Jiten. Taishukan Shoten. Tokyo. Jilid I XV.

Smith, Sally V. (2009). Materializing Resistant Identities Among The Medieval Peasantry: An
Examination of Dress Accessories from English Rural Settlement Sites. Journal of Material Culture.
Disusun oleh T. Christomy. Diktat : Seminar Teori dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Budaya.
Program Pascasarjana (S3) Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia. 2016

Wolfgang, Franke. (1988). Chinese Epigraphic Material in Indonesia. Volume 1: Sumatra. South
Seas Society. Singapore.
------. (1997). Chinese Epigraphic Material in Indonesia. Volume 2: Part 1 & 2 Java. South Seas Society.
Singapore.
------. (1997). Chinese Epigraphic Material in Indonesia. Volume III: Bali, Kalimantan, Sulawesi,
Moluccas. South Seas Society. Singapore.

Laman :
Jamaludin, Dr. MA, H. Jalaludin Arzaki, L. Satria Wangsa. SH, L. Prima Wiraputra, Bq. Ratna
Mulhimmah, M.H, Abdul Hafiz, Drs., M.Si. 2011. Penyusunan Sejarah Kota Mataram.
http://www.mataramkota.go.id/file/Sejarah%20Kota%20Mataram.pdf at 11:23 hours WIB on 2nd
November, 2016.

Jurnal LINGUA Vol. 12 No. 2 Maret 2017 316


Pedoman Penulisan Artikel Jurnal LINGUA

1. Naskah belum pernah dimuat/ diterbitkan di media lain (jurnal ilmiah, majalah, surat kabar, website/
blog, sosial media).

2. Naskah yang dimuat dalam jurnal meliputi artikel hasil penelitian, kajian, atau pemikiran tentang
metodologi dan pendekatan baru penelitian dalam bidang linguistik, sastra, budaya, pengajaran
bahasa, kebijakan pemerintah tentang pendidikan atau kebudayaan, dan pengembangan ilmu bahasa
baik bahasa Inggris dan Jepang yang ditulis dalam ragam bahasa ilmiah.

3. Naskah diketik dengan Microsoft Word versi 2007 (DOC atau DOCX), jarak 1,5 spasi pada kertas
A4 dengan huruf Times New Roman berukuran 12, sebanyak 15-30 halaman.

4. Secara umum, naskah memuat judul artikel maksimal 15 kata (tidak termasuk sub judul dan kata
penghubung), nama penulis, alamat email, nama lembaga afiliasi penulis, abstrak yang disertai kata
kunci, pendahuluan, metode, hasil bahasan, simpulan, dan daftar pustaka.

5. Naskah diketik dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah bahasa Indonesia diketik dengan
memperhatikan kaidah bahasa Indonesia sesuai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia 2015.
Naskah bahasa Inggris diketik dalam bahasa Inggris ragam resmi (American English atau British
English) dengan memperhatikan kaidah bahasa yang baku.

6. Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, dalam satu paragraf yang terdiri atas
150250 kata dengan 35 kata kunci. Abstrak berisikan tujuan penulisan, metode penelitian,
analisis, dan simpulan.

7. Naskah memuat judul, nama penulis, alamat e-mail penulis, abstrak dan kata kunci (dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris), dan isi. Struktur dan sistematika isi serta persentase jumlah halaman
sebagai berikut:

a. Pendahuluan meliputi latar belakang, perumusan masalah, kajian literatur yang mencakup kajian
teori serta hasil penelitian yang relevan, dan tujuan penelitian (10%).
b. Metode penelitian berisi rancangan/ model, populasi dan sampel, data, tempat dan waktu, teknik
pengumpulan data, serta teknik analisis data (20%).

c. Hasil dan Pembahasan (50%).

d. Simpulan dan Saran (20%).

e. Pustaka Acuan, pada artikel hasil penelitian minimal berjumlah 10. Dari jumlah tersebut 80%
berasal dari sumber primer yaitu artikel yang diterbitkan pada jurnal/ majalah ilmiah, disertasi,
dan tesis terbitan 10 tahun terakhir, kecuali pustaka acuan klasik (tua) yang memang
dimanfaatkan sebagai bahan kajian historis.

8. Khusus naskah hasil penelitian yang disponsori oleh pihak tertentu harus ada pernyataan
acknowledgement yang berisi informasi sponsor yang mendanai dan ucapan terima kasih kepada
sponsor tersebut.

9. Naskah dikirim ke redaksi LINGUA dengan alamat email: redaksilingua@gmail.com.

10. Tata cara penulisan Pustaka Acuan

Cara penulisan acuan menggunakan teknik rujukan berkurung (nama akhir pengarang, tahun terbit)

a) Contoh Rujukan dari buku sebagai berikut.


Dekker, N. 1992. Pancasila sebagai ideologi bangsa: Dari pilihan satu-satunya ke satu-satunya
azas. Malang: FPIPS IKIP Malang.

b) Jika ada beberapa buku yang dijadikan sumber ditulis oleh orang yang sama dan diterbitkan dalam
tahun yang sama pula, data tahun penerbitan diikuti oleh huruf a, b, c, dan seterusnya yang urutannya
ditentukan secara kronologis atau berdasarkan abjad judul buku-bukunya. Contoh sebagai berikut.

Cornet, L. & Weeks, K. 1985a. Career ladder plans. Altanta GA: Career Ladder Clearinghouse.
Cornet, L. & Weeks, K. 1985b. Planning carrer ladder: Lesson from the States. Altanta GA: Career
Ladder Clearinghouse.

c) Rujukan dari buku yang berisi kumpulan artikel (terdapat editornya). Ditambah dengan ed jika satu
editor, eds jika editornya lebih dari satu. Contoh sebagai berikut.
Denzin, N.K., Lincoln, Y. S., eds. 2009. Handbook of qualitative research. Terj. Daryatmo.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

d) Rujukan dari artikel dalam buku kumpulan artikel (ada editornya). Contoh sebagai berikut.

Hasan, M.Z. 1990. Karakteristik penelitian kualitatif. Dalam Aminuddin (Ed.).


Pengembangan penelitian kualitatif dalam bidang bahasa dan sastra. Malang: HISKI
Komisariat dan YA3.

e) Rujukan dari buku yang ditulis lebih dari dua penulis et.al maupun dkk. ditulis lengkap nama
penulis lainnya. Contoh sebagai berikut.
Heo, K. H. G., Cheatham, A., Mary, L. H., & Jina, N. 2014. Korean early childhood educators
perceptions of importance and implementation of strategies to address young childrens
social-emotional competence. Journal of Early Intervention, 36 (1), hlm. 49-66.
f) Rujukan dari artikel dalam jurnal. Contoh sebagai berikut.

Naga, D.S. 1998. Karakteristik butir pada alat ukur model dikotomi. Jurnal Ilmiah Psikologi, III (4),
hlm. 34-42.

g) Rujukan dari artikel dalam majalah atau Koran. Contoh sebagai berikut.

Alka, D.K. 4 Januari 2011. Republik rawan kekerasan? Suara Karya, hlm. 11.

h) Rujukan dari Koran tanpa penulis. Contoh sebagai berikut.


Kompas. 19 September 2011. Sosok: Herlambang Bayu Aji, Berkreasi dengan wayang di Eropa, hlm.
16.

i) Rujukan dari dokumen resmi pemerintah yang diterbitkan oleh suatu penerbit tanpa pengarang dan
tanpa lembaga. Contoh sebagai berikut.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
1990. Jakarta: diperbanyak oleh PT Armas Duta Jaya.

j) Rujukan dari lembaga yang ditulis atas nama lembaga tersebut. Contoh sebagai berikut.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Panduan manajemen sekolah. Jakarta: Direktorat
Pendidikan Menengah Umum.

k) Rujukan dari karya terjemahan, contoh:


Sztompka, P. 2005. Sosiologi perubahan sosial (Terj. Alimandan) Jakarta: Penerbit Prenada.

l) Rujukan berupa skripsi, tesis, atau disertasi. Contoh sebagai berikut.


Indarno, J. 2002. Kontribusi penerapan berbasis sekolah terhadap kualitas penyelenggaraan
pendidikan tingkat dasar di Jawa Tengah. Tesis. Semarang: Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro.
m) Rujukan berupa makalah yang disajikan dalam seminar, penataran, atau lokakarya. Contoh
sebagai berikut.
Siskandar. 2003. Teknologi pembelajaran dalam kurikulum berbasis kompetensi. Makalah: Disajikan
pada Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran pada Tanggal 22-23 Agustus 2003 di
Hotel Inna Garuda Yogyakarta.

n) Rujukan dari internet. Contoh sebagai berikut.


Jamhari, M. Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam,
http://www.ditpertais.net/artikel/jamhari01.asp. diakses tanggal 15 Januari 2012.

Anda mungkin juga menyukai