LINGUA
Jurnal Ilmiah Bahasa dan Budaya
LINGUA
Jurnal Ilmiah Bahasa dan Budaya
Penanggung Jawab
Dewi Ariantini Yudhasari
Dewan Redaksi
Ekayani R. M. L. Tobing (STBA LIA Jakarta)
Free Hearty (STBA LIA Jakarta)
Agus Aris Munandar (Universitas Indonesia)
Agus Wahyudin (STBA LIA Jakarta)
Risna Saswati (STBA LIA Jakarta)
Sissy Rahim (STBA LIA Jakarta)
Sekretariat
Muhardani Sudjudi
Alamat Redaksi
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA
Jl. Pengadegan Timur Raya No. 3, Pancoran, Jakarta 12770
Tel. (021) 79181051, Fax. (021) 791 81057
e-mail: redaksilingua@gmail.com
ISSN 1412-9183
LINGUA
Jurnal Ilmiah Bahasa dan Budaya
Daftar Isi
Soraya
ABSTRACT
ABSTRAK
Proses produksi bunyi anak sangat dipengaruhi oleh kesiapan organ ucap,
paparan bunyi, dan kecerdasan bahasanya. Pada usia anak 3-5 tahun, seorang anak
sedang dalam proses menyempurnakan alat ucapnya dan masih dalam proses
penguasaan bahasa Indonesia atau bahasa ibu. Namun, pada usia ini, orang tua juga
mulai memperkenalkan bahasa Inggris. Hal ini menyebabkan munculnya proses fonetik
pada anak. Proses fonetik dapat muncul berupa penambahan, penghilangan, penggatian,
dan distorsi bunyi. Kajian ini membahas proses fonetik yang terjadi dan penyebabnya.
Kesimpulan penelitian ini memperlihatkan bahwa proses fonologis yang banyak muncul
anak berusia 3-5 tahun adalah final devoicing, stopping of fricative, deletion of final
consonant, syllable reduction, dan liquid simplification. Hal ini terjadi karena anak
berusia 3-5 tahun masih mengalami kesulitan untuk memproduksi bunyi tertentu dan
bermasalah dengan memori span untuk mendengar dan memersepsi bunyi dari kata kata
yang panjang atau bunyi dalam sebuah gugus konsonan.
Kata Kunci: Proses Fonologis, Anak Usia 3-5 Tahun, Proses Developmental
PENDAHULUAN
METODE PENELITIAN
TINJAUAN TEORETIS
Selanjutnya, masih ada proses fonologis yang tidak terkait dengan proses
perkembangan anak. Dengan kata lain, proses ini mungkin saja dilakukan oleh
orang dewasa atau mewakili kesalahan fonologi di segala usia.
a. Deletion of Initial Consonant: Konsonan pertama dalam kata atau suku
kata dihapus, seperti top [tp] menjadi [p].
b. Glottal Replacement: Bunyi glotal digunakan untuk mengganti konsonan
atau gugus konsonan yang ada di tengah kata, misalnya, sleeping [sli:pi] menjadi
['sli?i].
c. Backing for velars: Ini adalah ketika setiap konsonan diproduksi sebagai
fonem velar atau /h/, seperti ketika up [p] menjadi [k].
Proses fonologis terbagi menjadi tiga kategori umum: proses struktur suku
kata (Syllable structure) seperti final consonant deletion, proses assimilatory
seperti final consonant devoicing, dan proses substitusi seperti stopping of
fricative and affricates (House, 1986). Terdapat sembilan proses yang umum
dalam ujaran anak-anak antara usia 2 sampai 5. Proses tersebut antara lain weak
syllable deletion, final consonant deletion, reduplication, consonant harmony,
cluster reduction, Stopping, fronting, gliding, dan context sensitive voicing.
Umumnya, proses fonologis digunakan terutama oleh anak-anak belajar bahasa
selama 5 tahun pertama, kecuali yang sifatnya nondevelopmental (tidak terkait
dengan proses perkembangan) yang dapat teridentifikasi pada segala usia.
Sumber data untuk penelitian ini adalah 6 orang anak yang berusia 3-5
tahun. Masing-masing 2 orang anak untuk setiap kelompok umur. Analisis
fonologis secara kualitatif dilakukan pada semua subyek penelitian dengan
mengamati kata-kata yang diucapkan dan melakukan rangsangan agar mereka
mengucapkan kata tertentu bahasa Inggris. Misalnya dengan ditanya, diminta
bercerita, membaca atau bernyanyi. Jawaban, cerita, bacaan atau nyanyian para
subyek penelitian direkam secara audio atau video. Hal ini dilakukan supaya
pengambilan data berlangsung dalam kondisi alamiah.
Hasil perekaman kemudian ditranskripsi. Penulisan transkripsi fonetik
menggunakan lambang bunyi dari IPA (International Phonetic Alphabet)
sehingga tidak rancu dengan ejaan kata tersebut. Dari setiap subyek penelitian,
diambil masing-masing 10 sampel proses fonologis untuk dianalisis. Setiap proses
fonologis akan diidentifikasi jenisnya, sebagaimana dalam kedua contoh berikut
ini.
a. Subyek 1 (3 tahun)
Data yang diambil dari Subyek 1 adalah kata cake, chin, red, cat, teeth, sun,
shrimp, thin, flower, bud, dan lamp. Kesepuluh kata ini mengalami proses
fonologis ketika dilafalkan. Tabel 1 menjelaskan temuan proses fonologis yang
ditemukan.
Tabel 2. Proses Fonologis 1
Sepuluh proses fonologis yang dilakukan oleh subyek 1 saat bercerita adalah
Velar fronting, Deaffrication, Final devoicing, Stopping of fricatives, Consonant
Harmony, Stridency deletion, Cluster reduction, dan Stopping of fricatives.
Yang dominan dilakukan Subyek 1 adalah final devoicing sebanyak 2 kali,
cluster reduction sebanyak 3 kali, stopping of fricatives sebanyak 2 kali dan
consonant harmony sebanyak 2 kali. Pada kata yang diakhiri dengan bunyi /d/
seperti red dan bud, subyek 1 selalu mengganti bunyi /d/ dengan pasangan
homorganik yang tidak bersuara atau /t/. Hal ini memudahkan bagi anak karena
posisi pita suara dalam keadaan terbuka sehingga udara lebih mudah keluar
dibandingkan dengan produksi bunyi /d/ yang bersuara.
Kemudian, bunyi-bunyi frikatif seperti // dan /f/ dilafalkan dengan bunyi
plosif seperti /t/ atau /p/. Proses fonetik ini disebut stopping of fricative. Pada kata
thin, Subyek 1 melafalkan kata /n/ dengan /tn/ sedangkan bunyi /f/ pada kata
flower dilafalkan sebagai /p/ sehingga menjadi /pla(r)/. Bunyi frikatif
merupakan bunyi yang diproduksi dengan hambatan sebagian sehingga lidah dan
bibir bawah sebagai artikulator aktif tidak sampai menyentuh artikulator pasif.
Seorang penutur akan menahan posisi artikulator aktif agar tidak menyentuh
artikulator pasif sambil mengeluarkan udara secara perlahan agar menghasilkan
bunyi yang sempurna. Untuk anak anak cara produksi seperti ini tidak mudah
dilakukan. Mereka lebih mudah memproduksi konsonan plosif karena pada bunyi
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Program Studi Pendidikan Bahasa Jepang, Sastra Jepang, dan Sastra Cina
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya
Jl. Veteran, Malang Jawa Timur
ulfahsutiyarti@yahoo.com
ABSTRACT
Since the ASEAN countries join the group of the ASEAN Economic Community
(AEC), Indonesia have to prepare for the global changes. Not only mastering Indonesian
language but also mastering foreign language. Because Japan and China are dominating
worlds economy, people have to master the Japanese language and Chinese language.
But Japanese language and Chinese language have the highest degree of difficulties in
their characters, grammar, and pronounciation. To improve the mastering of Japanese
language and Chinese language, native speakers are required. The research used
qualitative and quantitative research methods. Data was collected by distributing
questionnaires to the students of Department of Japanese Literature, Department of
Chinese Literature and Departement of Japanese Language Education. The
questionnairess result showed that 80.97% of the respondents agreed that native speaker
have a very strong influence in motivating students of Department of Japanese Literature,
Department of Chinese Literature, and Departement of Japanese Language for learning
foreign language.
ABSTRAK
249 Pengaruh Penutur Jati Terhadap ... (Ulfah S., Diah Ayu W., Aji S.)
PENDAHULUAN
yang didapatkan apabila mengerjakan sesuatu tanpa didasari oleh rasa suka dan
minat yang tinggi.
Salah satu upaya untuk meningkatkan minat belajar bagi pembelajar
bahasa Jepang maupun bahasa Cina adalah dengan melibatkan penutur jati dalam
pembelajaran bahasa asing. Berdasarkan latar belakang di atas penelitian ini
mengambil judul Pengaruh Penutur Jati terhadap Minat Belajar Pembelajar
Bahasa Asing di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya.
PENGERTIAN MOTIVASI
251 Pengaruh Penutur Jati Terhadap ... (Ulfah S., Diah Ayu W., Aji S.)
JENIS-JENIS MOTIVASI
Eliot dalam M. Nur Ghufron & Rini Risnawita S (2003: 83) mendifinisikan
motivasi intrinsik sebagai suatu dorongan yang ada di dalam diri individu, dengan
individu itu merasakan senang dan gembira setelah melakukan serangkaian tugas.
Adapun Beach (1980) juga berpendapat bahwa motivasi instrinsik sebagai suatu
hal yang terjadi selama seseorang menikmati suatu aktifivitas dan memperoleh
kepuasan dalam mengerjakan hal tersebut.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa motivasi instrinsik timbul dari diri sendiri
dengan melibatkan perasaan dan juga kesanggupan diri untuk melakukan suatu
pekerjaan dengan senang hati. Adapun rasa puas dan senang dalam hal
melaksanakan tugas tersebut akan timbul sendirinya dari dalam jika seseeorang
termotivasi dengan apa yang dia lakukan.
(2) Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik merupakan motivasi yang timbul dari luar individu.
Dalam hal ini, motivasi ekstrinsik sangat dibutuhkan dalam segala segi, karena
dengan adanya motivasi ini orang akan lebih terpacu untuk mendapatkan
tujuannya. Adapun contoh dari motivasi ekstrinsik adalah hadiah dan pujian. Bila
seseorang telah berhasil dalam sesuatu, hal ini dapat memicunya agar terus
melakukan atau menghasilkan hal-hal yang baik di masa depan. Contoh
berikutnya adalah hukuman untuk seseorang yang melakukan kesalahan, agar di
masa depannya dia termotivasi untuk berbuat lebih baik lagi. Contoh lainnya
adalah adanya persaingan/ kompetisi. Biasanya dengan adanya kompetisi, orang
akan termotivasi untuk dapat menjadikan dirinya yang terbaik dalam hal tersebut.
253 Pengaruh Penutur Jati Terhadap ... (Ulfah S., Diah Ayu W., Aji S.)
Seorang siswa akan terlihat termotivasi dalam hal pembelajaran jika dia
mempunyai minat yang cukup besar untuk mempelajari suatu subjek pelajaran,
maupun tugas-tugas yang diberikan oleh gurunya.
b. Semangat siswa untuk melaksanakan tugas-tugas belajarnya
Sesuai penjelasan teori di atas, motivasi merupakan semangat yang ditujukan
seseorang dalam melakukan suatu hal. Hal ini terlihat saat siswa yang semangat
dalam belajar maupun mengerjakan tugas-tugas dari gurunya, yang berarti dia
sudah mempunyai motivasi yang besar dari dirinya sendiri.
c. Tanggung jawab siswa untuk melaksanakan tugas-tugas belajarnya
Siswa yang dikatakan mempunyai motivasi terhadap pelajaran yang sedang
ditekuni adalah siswa yang dapat bertanggung jawab akan semua hal yang
dikerjakannya.
d. Rasa senang dan mengerjakan tugas dari guru
Telah jelas dikatakan sebelumnya bahwa motivasi adalah rasa (feeling) yang
tumbuh dari manusia, dan salah satu rasa tersebut adalah rasa senang. Seorang
siswa yang sudah senang akan suatu objek pelajaran, akan termotivasi untuk terus
mempelajari subjek tersebut.
e. Reaksi yang ditunjukkan siswa terhadap stimulus yang diberikan guru
Jika seorang siswa mempunyai motivasi dalam belajar, dia akan memberikan
timbal balik yang baik, dan lebih aktif. Contohnya adalah saat guru memberikan
pertanyaan. Jika siswa tersebut termotivasi, dia akan dengan sigap menjawab
pertanyaan yang diberikan oleh gurunya.
Menurut Uno (2006: 23), hakikat motivasi belajar adalah dorongan internal
dan eksternal pada siswa-siswa yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan
tingkah laku, dan pada umumnya hal ini tampak dengan beberapa indikator atau
unsur yang mendukung. Adapun indikator tersebut adalah sebagai berikut:
a. Adanya hasrat dan keinginan berhasil
Hasrat dan keinginan untuk berhasil dalam belajar dan dalam kehidupan sehari-
hari pada umumnya disebut motif berprestasi, yaitu motif untuk berhasil dalam
melakukan suatu tugas dan pekerjaan, atau motif untuk memperolah
kesempurnaan. Motif berprestasi adalah motif yang dapat dipelajari, sehingga
motif itu dapat diperbaiki dan dikembangkan melalui proses belajar. Seseorang
yang mempunyai motif berprestasi tinggi cenderung untuk berusaha
menyelesaikan tugasnya secara tuntas, tanpa menunda-nunda pekerjaanya.
Penyelesaian tugas semacam ini bukanlah karena dorongan dari luar diri,
melainkan upaya pribadi.
b. Adanya dorongan dan kebutuhan dalam belajar
Penyelesaian suatu tugas tidak selamanya dilatarbelakangi oleh motif berprestasi
atau keinginan untuk berhasil. Kadang kala seorang individu dapat menyelesaikan
suatu pekerjaan sebaik orang yang memiliki motif berprestasi tinggi karena
dorongan menghindari kegagalan yang bersumber pada ketakutan akan kegagalan
itu. Seorang anak didik mungkin tampak bekerja dengan tekun karena kalau tidak
dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik maka dia akan mendapat malu dari
dosennya, atau di olok-olok temannya, atau bahkan dihukum oleh orang tua. Dari
keterangan di atas tampak bahwa keberhasilan anak didik tersebut disebabkan
oleh dorongan atau rangsangan dari luar dirinya.
c. Adanya harapan dan cita-cita masa depan
Harapan didasari pada keyakinan bahwa orang dipengaruhi oleh perasaan mereka
mengenai gambaran hasil tindakan mereka. Contohnya orang akan menunjukkan
kinerja yang baik kalau mereka menganggap kinerja yang tinggi diakui dan
dihargai dengan kenaikan pangkat yang mereka inginkan.
d. Adanya penghargaan dalam belajar
Pernyataan verbal atau penghargaan dalam bentuk lainnya terhadap perilaku yang
baik dan hasil belajar yang baik merupakan cara paling mudah dan efektif untuk
meningkatkan motif belajar anak didik. Pernyataan seperti bagus, hebat, dan
lain-lain akan menyenangkan siswa. Pernyataan verbal seperti itu juga
mengandung makna interaksi dan pengalaman pribadi yang langsung antara siswa
dan guru. Penyampaiannya yang jelas merupakan suatu persetujuan pengakuan
sosial, apalagi kalau penghargaan verbal itu diberikan di depan orang banyak.
e. Adanya kegiatan yang menarik dalam belajar
Suasana yang menarik menyebabkan proses belajar menjadi bermakna.
Contohnya dengan simulasi maupun permainan, yang merupakan salah satu
proses yang sangat menarik bagi siswa. Sesuatu yang bermakna akan selalu
255 Pengaruh Penutur Jati Terhadap ... (Ulfah S., Diah Ayu W., Aji S.)
diingat, dipahami, dan dihargai, melalui kegiatan belajar seperti diskusi, brain
storming, pengabdian masyarakat, dan sebagainya.
f. Adanya lingkungan yang kondusif
Pada umumnya motif dasar yang bersifat pribadi muncul dalam tindakan individu
setelah dibentuk oleh lingkungan. Lingkungan belajar yang kondusif merupakan
salah satu faktor pendorong belajar anak didik, dengan demikian anak didik
mampu memperoleh bantuan yang tepat dalam mengatasi kesulitan atau masalah
dalam belajar.
Dalam penelitian ini teori dari Uno akan dipergunakan sebagai acuan untuk
meneliti pengaruh native speaker terhadap motivasi belajar mahasiswa pembelajar
bahasa asing di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya.
JENIS PENELITIAN
sampel yang digunakan adalah semuanya atau sebanyak populasi yang ada.
Namun, apabila berjumlah lebih dari 100 maka sampel dapat diambil antara 10-
15%, atau 20-25%, atau lebih.
Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 1000 mahasiswa pembelajar
bahasa asing yang terdapat pada Prodi Sastra Jepang, Prodi Sastra Cina dan Prodi
Pendidikan Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya.
Sedangkan yang akan digunakan sebagai sampel berjumlah 484 pembelajar
bahasa asing di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya. Dengan kata lain
48% dari jumlah populasi yang ada.
257 Pengaruh Penutur Jati Terhadap ... (Ulfah S., Diah Ayu W., Aji S.)
259 Pengaruh Penutur Jati Terhadap ... (Ulfah S., Diah Ayu W., Aji S.)
Menurut Sugiyono (2013: 173) instrumen yang valid berarti alat ukur yang
digunakan untuk mendapat data (mengukur) itu valid. Valid berarti instrumen
tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Untuk
penelitian ini, uji validitas terletak pada kuesioner yang akan dibagikan. Adapun
untuk menguji butir-butir instrumen lebih lanjut, maka setelah dikonsultasikan
dengan ahli, kemudian akan dibagikan kepada siswa, dan terakhir akan di analisis.
Reliabilitas suatu alat pengukur adalah derajat keajegan alat tersebut dalam
mengukur apa saja yang diukurnya (Donald Ary, dkk; 2004:310). Validitas dan
reliabilitas akan diukur mengunakan Program SPPS dengan menggunakan 23
mahasiswa sebagai responden.
STS TS N S SS
Selalu berusaha datang tepat
1 waktu di kelas yang diampu 0 5 98 222 159
1987
penutur jati.
Persentase (%) 1,03% 20,25% 45,87% 32,85%
Berusaha mendapat nilai
2 bagus dalam mata kuliah 1 1 79 223 182
2042
yang diampu penutur jati.
Persentase (%) 0,21% 0,21% 16,32% 46,07% 37,60%
Ingin berkomunikasi dengan
3 penutur jati di dalam 0 4 113 196 171
1986
maupun di luar kelas
Persentase (%) 0,83% 23,35% 40,49% 35,33%
Selalu ingin mendengarkan
materi kuliah yang
4 0 6 122 209 147
disampaikan oleh penutur 1949
jati
Persentase (%) 1,23% 25,21% 43,18% 30,37%
Ingin dapat lancar berbahasa
5 asing yang sedang dipelajari 0 2 60 158 264
2136
sekarang
Persentase (%) 0,41% 12,40% 32,64% 54,54%
Selalu aktif dalam diskusi
6 0 7 204 174 99
kelompok 1817
Persentase (%) 1,45% 42,15% 35,95% 20,45%
Sering mendengarkan lagu
Jepang/ Mandarin untuk
7 menambah perbendaharaan 0 4 138 169 173
1963
kosakata dan melatih cara
pengucapan.
Persentase (%) 0,83% 28,51% 34,91% 35,74
Sering melihat film Jepang/
Mandarin untuk menambah
8 perbendaharaan kosakata 0 2 111 193 178
1999
dan melatih cara
pengucapan.
Persentase (%) 0,41% 22,93% 39,88% 36,78%
Selalu ingin tahu arti
9 kosakata baru yang didapat 0 1 84 205 194
2044
dari penutur jati
Persentase (%) 0,21% 17,35% 42,35% 40,08%
Mempunyai cita-cita untuk
10 pergi ke Jepang/ Cina untuk 1 3 73 151 256
2110
belajar di sana
Persentase (%) 0,21% 0,62% 15,08% 31,20% 52,89%
Mempunyai harapan untuk
11 bekerja sesuai dengan ilmu 0 5 91 173 215
2050
yang dipelajari sekarang
Persentase (%) 1,03% 18,80% 35,74% 44,42%
Penutur jati sering
12 memberikan pujian jika 1 5 149 187 142 1916
berhasil dalam menjawab
261 Pengaruh Penutur Jati Terhadap ... (Ulfah S., Diah Ayu W., Aji S.)
pertanyaan di kelas
Persentase (%) 0,21% 1,03% 30,78% 38,64% 29,34%
Dengan adanya penutur jati,
13 suasana kelas menjadi lebih 0 3 133 188 160 1957
interaktif.
Persentase (%) 0,62% 27,48% 38,84 33,06%
Pembelajaran melibatkan
14 semua murid untuk 0 0 135 186 163
1964
menghidupkan suasana kelas
Persentase (%) 27,89% 38,43% 33,68%
Selalu ada materi yang
menarik seperti video dan
15. 0 13 170 172 129
gambar-gambar yang 1869
mendukung pembelajaran
Persentase (%) 2,68% 35,12% 35,54% 26,65%
Sering diberikan contoh
yang real dalam
16. 0 1 111 205 167
pembelajaran dengan 1990
penutur jati.
Persentase (%) 0,21% 22,93% 42,35% 34,50%
Sering adanya permainan
17. dalam pembelajaran dengan 0 19 174 169 122
1846
penutur jati
Persentase (%) 3,92% 35,95% 34,92% 25,21%
Adanya metode
pembelajaran yang
18. bervariasi sehingga siswa 0 4 160 190 130
1898
antusias dalam belajar di
kelas.
Persentase (%) 0,83% 33,06% 39,25% 26,86%
Pembelajaran dengan
penutur jati membuat
19. 1 12 179 181 111
suasana kelas menjadi lebih 1841
terkontrol.
Persentase (%) 0,21% 2,48% 36,98% 37,40% 22,93%
Senang dengan adanya
20. pembelajaran dengan 0 0 84 210 190
2042
penutur jati.
Persentase (%) 17,35% 43,39% 39,26%
Kemalasan siswa berkurang
(kedatangan di kelas,
21. 1 16 186 160 121
mengerjakan tugas sekolah 1836
maupun tugas rumah).
Persentase (%) 0,21% 3,30% 38,43% 33,06% 25%
Selalu merasa nyaman saat
22. di kelas bersama dengan 0 10 155 195 124
1885
penutur jati.
Persentase (%) 2,07% 32,02% 40,43% 25,62%
Perhatian selalu tertuju pada
23. penutur jati selama 0 5 136 191 152
1942
pembelajaran berlangsung.
Persentase (%) 1,03% 28,10% 39,46% 31,40%
45.0
SKOR TOTAL
69
Keterangan :
Skor total = jumlah total jawaban yang diperoleh dari semua responden
Skor kriteria = jumlah perkalian dari nilai tertinggi tiap item, jumlah soal, dan
jumlah responden
Perhitungan data kuesioner yang diperoleh dari respon adalah sebagai berikut:
Skor Kriteria = Jumlah skor item tertinggi x jumlah soal x jumlah soal jumlah
responden
= 5 x 23 x 484
= 55.660
Skor Total = 45.069
Dari perhitungan total skor kuesioner diatas, dapat diperoleh hasil sebesar
80,97 % atau jika pembulatan akan menjadi 81%. Adapun hasil perhitungan
tersebut termasuk dalam rentang presentase 81%-100% yang berarti penutur jati
mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap motivasi belajar mahasiswa
Prodi Bahasa dan Sastra Jepang, Prodi Sastra Cina dan Prodi Pendidikan Bahasa
Jepang, digolongkan dalam kriteria Sangat Kuat sesuai dengan tabel kriteria
hasil skor di bawah ini:
Tabel 4.1.2 Kriteria Hasil Skor
263 Pengaruh Penutur Jati Terhadap ... (Ulfah S., Diah Ayu W., Aji S.)
Presentase Kriteria
0%-20% Sangat lemah
21%-40% Lemah
41%-60% Cukup
61%-80% Kuat
81%-100% Sangat kuat
Sumber : Riduwan (2011: 15)
Dari hasil perhitungan tabel 4.1.2 didapat hasil dengan persentase 81% yaitu
dengan kriteria sangat kuat. Hasil ini menunjukan bahwa adanya penutur jati
terbukti dapat memotivasi kegiatan belajar mahasiswa di Prodi Bahasa dan Sastra
Jepang, Prodi Sastra Cina dan Prodi Pendidikan Bahasa Jepang. Buktinya
tercermin dari jawaban mahasiswa dalam setiap butir pertanyaan kuesioner
tentang motivasi belajar. Berikut adalah hasil analisis tiap butir pertanyaan
kuesioner, yaitu:
1. Selalu berusaha datang tepat waktu di kelas yang diampu native speaker
Data kuesioner menunjukkan bahwa 32,85% menyatakan Sangat Setuju,
45,87% menyatakan Setuju, 20,25% menyatakan Netral/ ragu-ragu dan
hanya 1,03% yang menyatakan Tidak Setuju pada pernyataan ini. Pernyataan
ini masuk dalam indikator motivasi belajar yang dikemukakan oleh Uno
(2006:23) yang menyatakan adanya hasrat dan keinginan berhasil. Hal ini
dikarenakan penutur jati dapat membuat mahasiswa datang tepat waktu karena
dosen penutur jati hampir selalu tepat waktu. Pembelajaran akan menghargai
waktu/ tepat waktu merupakan salah satu pembelajaran budaya dari masyarakat
penutur bahasa asing yang sedang mereka pelajari. Ini sangat berguna untuk
dikemudian hari jika mahasiswa ada kesempatan belajar di negara Jepang dan
Cina yang masyarakatnya sangat menghargai waktu. .
2. Berusaha mendapat nilai bagus dalam mata kuliah yang diampu native
speaker
Data kuesioner menunjukkan 37,60% menyatakan Sangat Setuju, 46,07%
menyatakan Setuju, 16,32%, menyatakan Netral, 0,21% menyatakan Tidak
Setuju dan 0,21% menyatakan Sangat Tidak Setuju pada pernyataan ini.
Dalam hal ini, pernyataan tersebut masuk dalam indikator motivasi belajar dari
Uno (2006:23) yang menyatakan adanya hasrat dan keinginan untuk berhasil.
Hal ini dikarenakan mereka yang memiliki nilai bagus akan mempermudah
265 Pengaruh Penutur Jati Terhadap ... (Ulfah S., Diah Ayu W., Aji S.)
indikator motivasi belajar oleh Uno (2006:23) yang menyatakan adanya hasrat
untuk berhasil. Hal ini dikarenakan penutur jati yang selalu berbicara bahasa
asing di setiap pertemuan, dan hal tsb menumbuhkan motivasi siswa untuk dapat
lancar dan paham berbahasa Jepang.
6. Selalu aktif dalam diskusi kelompok
Hasil persentase menunjukkan 20,45% menyatakan Sangat Setuju,
35,95% menyatakan Setuju, 42,15% menyatakan Netral dan 1,45%
menyatakan Tidak Setuju pada pernyataan ini. Pernyataan ini masuk dalam
indikator motivasi belajar oleh Uno (2006:23) yang menyatakan adanya hasrat
untuk berhasil. Hal ini dikarenakan setiap siswa dituntut aktif untuk mau
berbahasa Jepang walaupun banyak yang salah. Yang diutamakan adalah
keberanian siswa untuk dapat berekspresi dalam mengembangkan dirinya
berbahasa Jepang.
7. Sering mendengarkan lagu-lagu Jepang/ Mandarin untuk menambah
perbendaharaan kosakata dan melatih cara pengucapan
Hasil persentase menujukkan 35,74% menyatakan Sangat Setuju, 34,91%
Setuju, 28,51% menyatakan Netral (ragu-ragu) dan 0,835% menyatakan
Tidak Setuju pada pernyataan nomor 7. Pernyataan ini masuk dalam indikator
motivasi belajar oleh Uno (2006:23) yang menyatakan adanya dorongan untuk
kebutuhan belajar. Hal ini dikarenakan selain mendapatkan hiburan dengan
mendengarkan lagu, mereka juga mendapat perbendaharaan kosakata baru yang
sangat membantu dalam pembelajaran bahasa asing yang mereka pelajari.
8. Sering melihat film Jepang/ Mandarin untuk menambah perbendaharaan
kosakata dan melatih cara pengucapan.
Hasil perhitungan kuesioner menunjukkan 36,78% menyatakan Sangat
Setuju, 39,88% menyatakan Setuju, 22,93% menyatakan Netral dan 0,41%
menyatakan Tidak Setuju pada pernyataan nomor 8. Pernyataan ini masuk
dalam indikator motivasi belajar oleh Uno (2006:23) yang menyatakan adanya
dorongan untuk kebutuhan belajar. Hal ini dikarenakan selain mereka dapat
belajar bahasa dan budaya pada saat menonton film Jepang/ Mandarin, mereka
juga mendapatkan banyak kosakata baru dan ungkapan-ungkapan baru yang
sering tidak mereka dapati di bangku kuliah. Film Jepang/ Mandarin merupakan
media pembelajaran yang baik untuk pembelajaran bahasa asing dikarenakan film
merupakan cerminan budaya dari masyarakat penutur.
9. Selalu ingin tahu arti kosakata baru yang didapat dari native speaker
Data kuesioner menunjukkan 40,08% menyatakan Sangat Setuju, 42,35%
menyatakan Setuju, 17,35% menyatakan Netral dan 0,21% menyatakan
Tidak Setuju pada pernyataan ini. Pernyataan ini masuk dalam indikator
motivasi belajar oleh Uno (2006:23) yang menyatakan adanya dorongan untuk
kebutuhan belajar. Hal ini dikarenakan dengan adanya Nihongo Partner pada
setiap pertemuan menggunakan bahasa Jepang dalam perkuliahan. Hal ini
membuat mahasiswa memahami banyak sekali kosakata baru. Mereka termotivasi
untuk membuat catatan yang berisi kosakata baru yanga mereka dapat di
perkuliahan dan akan dicari arti pada saat perkuliahan maupun setelah kelas
berakhir.
10. Mempunyai cita-cita untuk pergi ke Jepang/ Cina untuk belajar di sana
Hasil data kuesioner menunjukkan bahwa 52,89% menyatakan Sangat
Setuju, 31,20% menyatakan Setuju, 15,08% menyatakan Netral 0,62%
menyatakan Tidak Setuju dan 0,21% menyatakan Sangat Tidak Setuju pada
pernyataan ini. Pernyataan ini masuk dalam indikator motivasi belajar oleh Uno
(2006:23) yang menyatakan adanya harapan dan cita-cita. Ini dikarenakan
pada setiap pertemuan, pasti penurut jati memperlihatkan contoh tentang
kebudayaan dan kehidupan Jepang yang sebenarnya, serta keunikan lainnya yang
ada di Jepang, maka itu membuat para siswanya tertarik untuk mengalaminya
sendiri di negeri Sakura dan belajar lebih lanjut disana dengan mengharapkan
beasiswa yang diberikan oleh pemerintah Jepang. Bagi yang menjawab Tidak
Setuju maupun Sangat Tidak Setuju, penyebabnya adalah kecilnya
kemungkinan untuk dapat pergi dan belajar di Jepang dikarenakan sangat
mahalnya kehidupan/ sekolah di Jepang dan kecil kemungkinan mereka
mendapatkan beasiswa karena secara akademis mereka tidak mampu.
11. Mempunyai harapan untuk bekerja sesuai dengan ilmu yang dipelajari
sekarang
267 Pengaruh Penutur Jati Terhadap ... (Ulfah S., Diah Ayu W., Aji S.)
269 Pengaruh Penutur Jati Terhadap ... (Ulfah S., Diah Ayu W., Aji S.)
memahami setiap perkataan dosen penutur jati sehingga kelas menjadi lebih
terkontrol.
271 Pengaruh Penutur Jati Terhadap ... (Ulfah S., Diah Ayu W., Aji S.)
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
273 Pengaruh Penutur Jati Terhadap ... (Ulfah S., Diah Ayu W., Aji S.)
SIKAP DOSEN TERHADAP PENGGUNAAN BAHASA
INDONESIA DALAM PROSES PEMBELAJARAN BAHASA
INGGRIS DI STBA LIA JAKARTA
ABSTRACT
This paper examines the attitudes of lecturers towards employing mother tongue as
a facilitating tool in English classes (listening, speaking, reading, and reading). To reach
a clear understanding of the issue, the present study focuses on 8 lecturers teaching in
various classes in the second and fourth semester. Questionnaire concerning Teacher
Talk Survey adapted from Warford and Rose (2003) is used as the reaserch tool. The
result shows that the attitudes of the lecturers about using Indonesian in the classroom
are generally positives. The participants prefer using Indonesian in certain situations and
for specific reasons. Although the attitudes of the lecturers receive agreements, they use
English more frequently to maximize the exposure and students are allowed to use
Indonesian for limited purposes.
Keywords: attitudes, mother tongue (Indonesian), foreign language (English), the use of
mother tongue
ABSTRAK
Kata kunci: sikap, bahasa ibu (Bahasa Indonesia), bahasa asing (Bahasa Inggris),
penggunaan bahasa ibu (Bahasa Indonesia)
METODE PENELITIAN
Analisis Data
Sikap Frekuensi
Sangat setuju -
Setuju 50 %
Netral 25 %
Tidak setuju 18,7%
Sangat tidak setuju 6,3 %
Tabel 4.5. Membangun Relasi antara Guru dan Siswa (Rapport Building)
Sikap Frekuensi
Sangat setuju -
Setuju 25 %
Netral 37,5 %
Tidak setuju 25%
Sangat tidak setuju 12,5 %
Pada aspek mendisiplinkan kelas, guru dapat menggunakan bahasa ibu untuk
menegakkan aturan dengan cara menegur, memarahi, mengingatkan peraturan,
dan meminimalisir tindakan yang menyimpang. Dosen yang tidak setuju dan
bersikap netral jumlahnya sama, yaitu 37,5 %. Yang sangat tidak setuju dan setuju
juga berjumlah sama, yaitu masing-masing 12,5 %.
Menurut data yang merujuk pada Tabel 4.7, jumlah dosen yang kadang-kadang
menggunakan Bahasa Indonesia untuk aspek prosedural memiliki persentase
terbesar, yaitu 56,3%. Dosen yang tidak pernah menggunakan Bahasa Indonesia
memiliki persentase terendah, yaitu 6,3%.
Tabel 4.11 Membangun relasi antara guru dan siswa (Rapport Building)
Frekuensi Penggunaan Bahasa Indonesia Frekuensi
Selalu -
Sering 12,5 %
Kadang-kadang 50 %
Jarang 12,5%
Tidak pernah 25 %
Membangun relasi antara guru dan siswa sangat penting karena dapat
menciptakan suasana kelas yang kondusif dalam proses pembelajaran. Merujuk
pada sikap dosen yang mempercayai bahwa kedua bahasa dapat digunakan untuk
Dari hasil analisis, peneliti merangkum sikap dosen terhadap penggunaan Bahasa
Indonesia dan implementasinya di kelas sebagai berikut:
Tabel 4.13 Hasil Kuesioner Penggunaan Bahasa Indonesia di kelas
Sikap dosen terhadap penggunaan Implementasi penggunaan Bahasa
Bahasa Indonesia Indonesia di kelas
Prosedural
Sangat setuju - Selalu -
Setuju 50 % Sering 18,7 %
Netral 25 % Kadang-kadang 56,3 %
Tidak Setuju 18,7% Jarang 18,7 %
Sangat Tidak 6,3 % Tidak Pernah 6,3 %
Setuju
Instruksional
Sangat setuju - Selalu -
Setuju 18,75 % Sering 6,2%
Netral 20 % Kadang-kadang 33,8 %
Tidak Setuju 52,5 % Jarang 40 %
Sangat Tidak 8,75% Tidak Pernah 6,3 %
Setuju
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Rostineu
ABSTRACT
Indonesian people know variety cultures from around the world through globalization.
Since Japanese and Korean pop culture came and developed in Indonesia, society of
Indonesia familiar with them. Along the strong establishment of new East Asia culture in
Indonesia, I am interested in analyzing how does the Indonesian students perception toward
Japan-Korean Pop Culture? This paper will analyze the topic by descriptive-quantitative
method and reference analysis. This paper argues that Japanese-Korean pop culture has
special characteristics to attract Indonesia students. Despite on the positive values, such
negative values also contributed for those varieties of the Japanese-Korean drama story so
that Indonesian society love them.
Keywords: Perception, East Asian Popular Culture, Korean Drama, Japanese Drama
ABSTRAK
Pada era globalisasi ini masyarakat Indonesia mengenal berbagai macam budaya dari
berbagai negara di dunia yang masuk dan berkembang di Indonesia. Kemunculan budaya
populer Jepang dan Korea di Indonesia membuat masyarakat Indonesia semakin akrab
dengan budaya kedua negara Asia Timur tersebut. Fenomena kegandrungan budaya populer
Asia Timur ini menarik perhatian penulis untuk membahas tentang bagaiamana persepsi
mahasiswa Indonesia terhadap budaya populer Jepang-Korea. Dengan menggunakan metode
penelitian kuantitatif deskriptif dan analisis pustaka, penelitian ini menyimpulkan bahwa
budaya populer Jepang ataupun Korea memiliki ciri khas yang menjadi daya tarik masing-
masing bagi mahasiswa Indonesia. Selain unsur positif, unsur negatif dinilai menjadi daya
tarik yang mewarnai variasi cerita drama populer Jepang ataupun Korea yang banyak
digemari oleh masyarakat Indonesia.
Kata kunci: persepsi, budaya populer Asia Timur, drama Korea, drama Jepang
Budaya Korea kini tidak asing lagi di Indonesia, diawali dengan penayangan
drama pada 2002 di salah satu televisi swasta yang berjudul Winter Sonata (Kyeoul
Yeonga dalam bahasa Korea). Masyarakat Indonesia, terutama kaum remaja dan ibu
rumah tangga, mulai gemar dengan tayangan drama-drama Korea lainnya.
Jauh sebelum popularitas budaya Korea menyebar luas di Indonesia, budaya
Jepang sudah lebih awal dikenal di Indonesia karena Indonesia memiliki catatan
sejarah dengan Jepang pada masa Perang Dunia II. Drama televisi asal Jepang yang
pernah populer di Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya adalah OSHIN, ORIN,
Tokyo Love Story, dan drama lainnya yang menyuguhkan kehidupan masyarakat
Jepang modern.
Baik Jepang maupun Korea, kedua negara ini diakui sebagai negara maju
karena kecanggihan teknologi, kepesatan industri, dan perkembangan ekonominya.
Ketangguhan Jepang dan Korea dalam bidang teknologi dibuktikan dengan semakin
ketatnya persaingan dagang antara produk-produk elektronik dan mobil di belahan
dunia, termasuk Indonesia. Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia
menggunakan mobil buatan perusahaan Jepang dan Korea. Begitu pula dalam
pemakaian barang elektronik, merek barang elektronik seperti LG, Samsung, Sony,
Panasonic, dan Sanyo masih populer dan banyak diminati masyarakat Indonesia.
Budaya Jepang dan Korea yang dikemas dalam budaya populer digemari
kalangan masyarakat Indonesia. Mereka tidak hanya menggemari, tetapi lebih dari itu
mulai memfanatikkan diri dengan budaya-budaya populer kedua negara tersebut.
Fenomena ini dapat dilihat dari kemunculan komunitas penggemar budaya Jepang
ataupun Korea di Indonesia. Penerimaan budaya pop Korea dan Jepang di Indonesia
masih dalam bentuk menggemari musik, film, drama, mode pakaian, penggunaan
bahasa, dan makanan.
Akan tetapi, jika diamati kembali secara saksama, nilai-nilai budaya dalam
20%
pria
wanita
80%
PEMBAHASAN
Tabel 1. Daya Tarik Budaya Jepang dan Korea bagi Mahasiswa Indonesia
100%
80%
60%
40%
20% Jepang
0%
Korea
:
um
ng
gu
er
na
am
fil
ul
pa
la
sio
um
dr
je
po
di
n
uf
tra
ua
ya
ur
ah
da
ya
H
et
bu
da
ng
bu
pe
1
Shuri Mariasih Gietty Tambunan. 2015. Imaginary Asia: Indonesia Audiences Reflexivity on K-
Drama. Selangor: Strategic Information and Development Centre, pp.75-94.
Apa yang menjadi daya tarik drama populer Jepang-Korea? Pada umumnya
penggemar drama Jepang-Korea memerhatikan dan banyak membicarakan
penampilan para pemain dalam drama yang mereka tonton, baik dari sisi fisik, model
2
Winter Sonata, drama Korea yang pertama kali muncul di layar pertelevisian Korea, stasiun televisi
KBS, pada 2002. Serial drama yang menarik perhatian hampir seluruh negara di mancanegara ini
terdiri dari 20 episode, diperankan oleh Bae Yong Joon dan Choi Ji Woo. Drama romantis ini
mengisahkan kisah cinta sejati sepasang kekasih. Salah satu dari pasangan itu mengalami hilang
ingatan karena kecelakaan. Akan tetapi, pada akhirnya pasangan kekasih tersebut dapat bertemu
kembali karena ketidaksengajaan, dan kemurnian cinta mereka menyatukan perpisahan yang kedua
kalinya.
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Ainslie, Mary J. (2015). The Korean Wave in Southeast Asia: Consumption And
Cultural Production. Selangor: Strategic Information and Research
Development Centre.
-----. (2012). Korea: Dulu & Sekarang. Seoul: Layanan Informasi dan Kebudayaan
Korea, Kementerian Budaya, Olahraga dan Pariwisata.
Keung, Jang-tae. (2000). Confucianism and Korean Thoughts. Seoul: Jimoondang
Publishing Company.
Chai Wenhua & Yang Xu,Traditional Confucianism in Modern China. Dalam
jurnal Frontiers of Philosophy in China, Vol. 1, No.3, September 2006, p. 366.
http://jstor.org/stable/30209977 (Diakses 28 Januari 2017)
Jung, Eun-Young. (2009). Transnational Korea: A Critical Assessment of The Korea
3
Kong Fu Cu merupakan filosofi yang masuk dikembangkan di wilayah Semenanjung Korea sejak
masa kerajaan kuno abad ke-4. Inti ajaran Kong Fu Cu menekankan pada moralitas, harmoni. Dalam
konteks kontemporer, Kong Fu Cu masih ada menjadi landasan budaya dan struktur sosial.
Matsuda Hiroshi
ABSTRACT
This paper becomes a continuos study initially done by Wolfgang Franke concerning about field collection
works of Sinology specified on Chinese character particularly Tomb Stones found in Lombok Island as Franke seems
no such Chinese graves land were exsisting in the Island which located just next to Bali. Also in this paper you will be
guided how it were constructed to read the tombstones to understand the meanings.
ABSTRAK
Tulisan ini merupakan penelitian lanjutan yang pada awalnya dilakukan oleh Wolfgang Franke mengenai
hasil koleksi Sinologi, khususnya aksara Tionghoa pada batu nisan yang ditemukan di Pulau Lombok, dimana
sebelumnya Franke menganggap tidak ada kuburan etnis Tionghoa di pulau yang berada di sebelah timur Pulau Bali.
Tulisan ini juga memandu pembaca untuk memahami makna dalam membaca batu nisan.
PENDAHULUAN
Orang Tionghoa menyebar ke kepulauan Indonesia dan menjadi bagian dari masyarakat
Indonesia. Pada penelitian sebelumnya, saya mengadakan perjalanan menelusuri keberadaan etnis
Tionghoa di Sumatera mulai dari Sabang hingga Lampung. Pada penelitian tersebut, saya memfokuskan
penelitian pada etnis Tionghoa di Kabupatan Rengat, Provinsi Riau, khususnya pada organisasi etnis
Tionghoa dan perkumpulan kematian pada etnis tersebut. Ketika saya mengadakan penelitian tersebut,
pengamatan juga tertuju pada makam atau kuburan etnis Tionghoa yang biasanya tidak jauh letaknya
dari kelenteng. Akan tetapi, pada saat itu, saya tidak memiliki banyak waktu untuk lebih jauh mengamati
dan memerhatikan batu nisan etnis Tionghoa yang ada di Sumatera. Beberapa waktu kemudian, saya
mendapat kesempatan ke Lombok dan mengunjungi kelenteng serta kuburan etnis Tionghoa di
Ampenan, Lombok. Hal ini membuat saya tertarik untuk menulis makalah ini terkait keberadaan makam
etnis Tionghoa dan kaitannya dengan batu nisan sebagai objek kebudayaan material serta
keberlangsungan etnis Tionghoa di wilayah Ampenan, Lombok. Makalah ini akan melihat dua
permasalahan. Pertama, bagaimana bentuk susunan aksara Tionghoa pada batu nisan yang terdapat di
makam etnis Tionghoa di wilayah Bintaro, Ampenan, Lombok. Kedua, bagaimana keterkaitan
kelenteng Tionghoa dan objek pada kebudayaan material yang tampak pada batu nisan etnis Tionghoa di
Ampenan, Lombok.
Keberadaan etnis Tionghoa di Ampenan, Lombok, diperkirakan telah ada sejak abad ke-18.
Ampenan sebagai kota pelabuhan yang merupakan tempat berkumpulnya para pedagang dari berbagai
daerah dan negara. Salah satunya adalah etnis Tionghoa, termasuk dari Tionghoa daratan, yang
menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Sebagai bukti dari adanya penyebaran etnis Tionghoa
hingga ke Ampenan, di Lombok terdapat kelenteng etnis Tionghoa dan makam etnis Tionghoa di
wilayah Bintaro, Ampenan, Lombok.
Segala sesuatu yang ada di kelenteng ataupun di pemakaman etnis Tionghoa dapat dikategorikan
sebagai artefak yang diciptakan. Dalam hal ini, ornamen atau artefak yang ada di kelenteng atau makam
merupakan kebudayaan material yang menghubungkan masyarakat yang hidup di masa kini dengan
memori kolektif pada masa lalu. Bagi etnis Tionghoa, makam merupakan pembentuk jaringan antara diri
dan para leluhurnya. Dengan kata lain, makam atau kuburan merupakan bukti adanya sejarah kehidupan
etnis Tionghoa di Ampenan, Lombok.
Kajian terhadap kebudayaan perlu dilakukan. Menurut Hodder (1997:546), analisis kebudayaan
material lahir karena adanya kesadaran bahwa kebudayaan material tidak hanya diposisikan sebagai
sebuah produk pasif dari kisah kehidupan, tetapi justru sebagai sebuah produk aktif dari kisah kehidupan.
Artinya, berbagai artefak budaya diciptakan sebagai perangkat transformasi dalam masyarakat. Dalam
proses ini, fungsi artefak dapat membentuk hubungan sosial di dalam masyarakat.1 Dengan demikian,
semua kebudayaan material bersifat esensial dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Lalu, Woodrad (2007:4) mengatakan bahwa dengan mengkaji kebudayaan sebagai sesuatu yang
diciptakan, kita dapat memahami pula struktur sosial dan dimensi sistem yang lebih besar. Objek
kebudayaan material memiliki kemampuan untuk menunjukkan sesuatu atau dapat membangun makna
sosial. Objek material dapat menunjukkan pekerjaan, partisipasi anggota kelompok dalam waktu tertentu,
1
Katubi. Bahasa, Kebudayaan Matersial, dan Trasidi Lisan: Studi Etnolinguistik Orang Kui di Alor Nusa
Tenggara Timur. Prosiding The 4th Internatinal Conference on Indonesian Studies: Unity, Diversity and Future,
2015. hlm .483--484.
atau status sosial. Dalam hal ini, objek material dapat merepresentasikan wacana sosial yang lebih luas dan
berkaitan dengan norma serta nilai yang dipegang dan diakui oleh suatu kelompok masyarakat dalam
kaitannya dengan berbagai institusi lainnya.2 Dalam hal ini, salah satu objek yang menjadi fokus
pengamatan adalah ditemukannya batu nisan tertua pada makam etnis Tionghoa di Ampenan, Lombok.
Batu nisan pada kuburan etnis Tionghoa tersebut dianggap sebagai objek material yang memiliki makna
penting bagi keberlangsungan sebuah keluarga Tionghoa. Melalui batu nisan, kita dapat mengetahui
struktur keluarga dalam suatu masyarakat.
PENELITIAN TERDAHULU
Penelitian tentang batu nisan etnis Tionghoa di Indonesia sangat terbatas. Berdasarkan
penelusuran data, ditemukan satu peneliti. Wolfgang Franke dari Jerman memiliki data lengkap tentang
batu nisan etnis Tionghoa di Indonesia. Wolfgang Leopold Friedrich Franke (1912--2007) dilahirkan dari
ayah bernama Otto Franke (1863) dan Ibu Luise Niebuhr (1877). Sang ayah merupakan profesor
pertama di bidang Sinologi pada Colonial Institute di Universitas Hamburg pada 1910. Franke sangat
dipengaruhi oleh ayahnya. Ia mengikuti pendidikan di Universitas Berlin bidang Sinologi dari tahun 1931
dan pada tahun terakhir pindah ke Universitas Hamburg untuk menyelesaikan disertasi jenjang
doktoralnya pada tahun 1935. Setelah lulus, Franke dikirim ke Beijing, Cina, sebagai pegawai
Deutschland Institut untuk mengawali penelitiannya di bidang Sionologi. Lalu, diangkat sebagai profesor
di Universitas Hamburg hingga pensiun pada tahun 1977. Kemudian, ia melanjutkan penelitiannya di
Universitas Malaysia dari 1988 hingga wafat pada 9 September 2007.
Franke melanjutkan penelitiannya tentang Epigraphic Materials di Indonesia. Ia berhasil
menerbitkan buku berjudul Chinese Epigraphic Material in Indonesia. Volume 1: Sumatra3 pada 1988
dan melanjutkan penelitian di Jawa dengan judul Chinese Epigraphic Material in Indonesia. Volume 2:
Part 1 & 2 Java4 pada 1997 dan di Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta Maluku dengan judul Chinese
Epigraphic Material in Indonesia. Volume III: Bali, Kalimantan, Sulawesi, Moluccas5 pada 1997.
Keberhasilan penelitian Franke di bidang Epigraphy itu bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di
Malaysia, Singapore, dan Thailand. Namun, sayangnya penelitian tersebut tidak dapat dilanjutkan dan
2
Katubi. Idem. 2015. hlm. 484.
3
Wolfgang Franke. 1988. South Seas Society. Singapore.
4
Wolfgang Franke. 1997. South Seas Society. Singapore.
5
Wolfgang Franke. 1997. South Seas Society. Singapore.
hanya berhenti meneliti hingga Pulau Bali, tidak melakukan penelitian di Pulau Lombok.
Franke dalam bukunya (Franke: 1988: xii) mengatakan bahwa di tahun 1970, ia telah mengoleksi
bahan-bahan penelitian tentang etnis Tionghoa di Asia Tenggara. Franke mendapat dana penelitian dari
Universitas Hamburg pada Juli--Oktober 1971. Melalui dana penelitian tersebut, Franke dapat
melanjutkan proyek penelitiannya untuk mengkoleksi bahan-bahan yang berkaitan dengan aksara
Tionghoa di semenanjung Malaysia dan kota Medan di Sumatera. Kemudian, Franke mendapat dana
lagi dari German Science Foundation. Dengan dana tersebut, Franke mulai melakukan penelitiannya di
Pontianak dan Palembang pada 1974 dan pada Januari hingga Februari 1975 melanjutkan penelitiannya
untuk sebagian wilayah Jawa, Bali, dan Pulau Bangka. Pada Februari dan akhir Oktober 1975, Franke
mengadakan kunjungan singkat ke Tanjung Pinang di Riau lewat Singapura. Selanjutnya, ia
mengunjungi Aceh, Sumatera Utara, dan Bagansiapiapi di Riau dari April hingga Mei 1979. Setelah itu,
mengunjungi, Sumatera, Jakarta dan pulau Belitung pada April hingga bulan Mei 1980 dan pada
November 1980 mengunjungi Jakarta kembali. Setelah itu, ia memfokuskan penelitiannya pada bagian
Selatan dan Timur Kalimantan, lalu Januari 1985 mengunjungi Ambon, kemudian pada Januari 1986
mengunjungi kembali Jakarta, Semarang, dan Surabaya untuk menambah bahan penelitiannya. Setelah
itu, ia mengunjungi Ujung Pandang, Medan, dan Padang pada Februari 1987 untuk memastikan
kebenaran dan kesalahan dari koleksi penelitian terdahulu. Hasil temuan Franke pada aksara Tionghoa
terfokus pada batu nisan di Sumatera, Jawa, dan Bali yang dapat dihimpunnya sebanyak 490 buah batu
nisan dari Pulau Sumatera, 433 buah batu nisan dari Pulau Jawa, dan 37 buah batu nisan dari Pulau Bali.
Dari hasil pengumpulan data batu nisan oleh Franke tersebut dari Sumatera, Jawa dan Bali, saya
mendapat paduan membaca batu nisan bagi laki-laki dan perempuan sebagai berikut:
1. Bagi yang dikuburkan adalah laki-laki
1) 2)3)4) 5) 6)
Perbedaan kuburan laki-laki dan perempuan dapat dibedakan dari awal aksara, yaitu untuk laki-laki,
dan untuk perempuan. Kemudian urutan setiap aksara tersebut di atas dapat dipahami apabila
kuburan laki-laki sebagai berikut:
1) 6 : aksara pertama berarti memperingati dan menghormati yang telah meninggal, dan
aksara kedua diartikan ayah yang telah meninggal
6
Morohashi Tetsuji. 1994. Dai Kanwa Jiten Vol .12. pp 318. Taishukan Shoten.
2) 7 : kata posthumous (almarhum) yang disumbangkan di depan nama marga dan nama pribadi
3) : diletakkan nama pribadi, mendahului nama marga
4) : posisi nama marga
5) 8 : panggilan kehormatan terhadap marga, dan selain , ada juga penggunaan atau
6) : aksara menujukkan arti kepunyaan, dan aksara berikut diartikan kuburan, selain
aksara tersebut ada pula penggunaan aksara seperti , atau
7) 9 : aksara pertama berarti memperingati dan menghormati yang telah meninggal, dan aksara
kedua menunjukkan yang dimakamkan adalah perempuan
8) : kata posthumous yang disumbangkan pada depan nama marga dan nama pribadi, tetapi
mengunakan kata posthumous yang berbeda dengan laki-laki.
9) : diletakkan nama pribadi, mendahului nama marga
10) : posisi nama marga
11) : panggilan kehormatan terhadap marga, dan selain , ada juga penggunaan 10
12) : aksara menujukkan arti kepunyaan, dan kata berikut 11 diartikan kuburan, selain
aksara tersebut ada pula penggunaan aksara seperti atau
Selanjutnya, penelitian tentang batu nisan juga pernah dilakukan Chaviano Alputila yang menulis
makalah berjudul Makam Tradisional Etnis Cina di Kota Ambon.12 Dalam penelitiannya, ditemukan
bahwa etnis Tionghoa di Ambon memiliki peran penting dalam perdagangan. Bukti keberadaan etnis
Tionghoa di Ambon diketahui melalui keberadaan makam tradisional etnis Tionghoa di beberapa tempat
di Ambon, di antaranya Air Salobar, Benteng, Kudamati, dan Belakang Soya.
Penelitian ini menghasilkan temuan makam tradisional etnis Tionghoa yang masih berbentuk
lubang. Bentuk makam ini merupakan artefak makam yang ditemukan dan mencerminkan adanya
okupasi etnis Tionghoa ke Ambon. Penelitian ini menghasilkan juga temuan tentang kesesuaian
komponen makam yang masih menggunakan ornamen pada masa lalu. Makam dan ornamen tersebut
membuktikan bahwa etnis Tionghoa Ambon masih mempertahankan tradisi dan kebiasaan yang
berlaku sejak zaman dahulu. Bukti artefak tersebut merupakan jalinan antara etnis Tionghoa yang hidup
pada masa kini dan etnis Tinghoa yang hidup di masa lalu. Akan tetapi, bentuk makam tradisional
tersebut tampaknya tidak terpelihara dengan baik sehingga dikhawatirkan akan punah atau akan hilang
7
Morohashi Tetsuji. 1994. Dai Kanwa Jiten Vol.10. pp 530. Taishukan Shoten.
8
Morohashi Tetsuji. 1994. Dai Kanwa Jiten Vol.2. pp 26. Taishukan Shoten.
9
Morohashi Tetsuji. 1994. Dai Kanwa Jiten Vol.12.pp 321. Taishukan Shoten.
10
Morohashi Tetsuji. 1994. Dai Kanwa Jiten. Vol.4. pp 1044. Taishukan Shoten.
11
Morohashi Tetsuji. 1994. Daikanwa Jiten. Vol.3. pp 188. Tsishukan Shoten.
12
Chaviano Alputila. Makam Tradisional Etnis Cina di kota Ambon. http:// diunduh Selasa, 21 November 2016 pukul 15.16 WIB.
jika pemerintah tidak turun tangan melestarikan makam tradisional etnis Tionghoa yang tersisa di Ambon.
Melalui penelitian ini, peneliti hendak mengatakan bahwa makam merupakan objek kebudayaan
material yang perlu dilestarikan sebagai artefak budaya.
Melalui kedua penelitian terdahulu diketahui bahwa baik Franke maupun Chaviano belum
melakukan penelitian tentang makam sebagai objek kebudayaan material di Ampenan, Lombok. Oleh
karena itu, dalam makalah ini saya berusaha mengungkapkan hasil pengamatan saya terhadap makam
etnis Tionghoa di Ampenan, Lombok.
Kota Ampenan merupakan kota kecamatan dan tercatat sebagai ibukota setelah intervensi oleh
pihak Belanda di wilayah Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Pada 31 Agustus 1895, Mataram
menjadi ibukota Onder Afdeling Lombok Barat. Kemudian, pada 11 Maret 1898 menjadi ibukota
Afdeling Lombok setelah dipindahkan dari Ampenan. Dengan demikian, Ampenan dipahami oleh
Belanda sebagai asal mula berdirinya ibukota di Lombok.
Kota Ampenan memiki sejarah panjang sebagai kota yang yang mendapat pengaruh dari
Kerajaan Mataram, di Jawa pada 1720. Runtuhnya Kerajaan Mataram diikuti oleh masuknya
perwakilan dagang Hindia Belanda di kota Ampenan dipimpin oleh Jenderal JA Vetter tiba di pelabuhan
Ampenan pada 5 Juli 1894. Itulah awal dari sejarah perdagangan dan seni bangunan kolonial di kota
Ampenan. Selanjutnya, Ampenan berfungsi sebagai kota pelabuhan yang menunjang berbagai kegiatan
perdagangan di wilayah Lombok. Melalui pelabuhan Ampenan, arus perdagangan barang dan jasa
masuk ke Lombok.
Sebagai kota pelabuhan, Ampenan merupakan tempat berkumpulnya para pedagang. Ampenan
merupakan melting pot bagi berkumpulnya penduduk dari Arab, Melayu, Bugis, Tionghoa, Jawa, Bali,
dan penduduk setempat. Oleh karena itu, hingga kini di kota Ampenan terdapat kampung Melayu,
kampung Bugis, dan kampung Tionghoa. Ampenan juga dikenal sebagai kota yang ditinggali oleh
sebagian orang Tionghoa di Lombok. Sebagai bukti, terdapat pemakaman orang Tionghoa di Bintaro,
Ampenan, Lombok. Lalu, di kota Ampenan terdapat pula sebuh kelenteng tua bernama Vihara Bodhi
Dharma atau , yang berada di Ampenan. Kelenteng itu merupakan satu-satunya kelenteng di
wilayah Ampenan. Keberadaan kelenteng ini merupakan bukti bahwa etnis Tionghoa menyebar dan
menjalani kehidupan hingga di kota Ampenan, Lombok dan menjadi objek kebudayaan material bahwa
pernah ada kehidupan dan kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa di kota Ampenan,
Lombok.
Ketika masuk ke wilayah kelenteng, kita akan dapat melihat ornamen yang menjadi artefak
budaya berupa papan nama kelenteng. Papan nama kelenteng terdapat di bagian pintu utama. Dalam
papan itu terbaca tahun 1908. Tahun itu merupakan tahun disumbangkannya papan tersebut oleh
seseorang kepada kelenteng.
Jika kita melihat papan nama kelenteng di atas, cara membaca papan nama dilakukan dari kanan
ke kiri sebagai berikut.
1) Bagian kanan merupakan tahun waktu papan nama itu disumbangkan ke kelenteng, yang dibaca
13 artinya 1908.
2) Bagian tengah merupakan nama kelenteng, yang dibaca memiliki arti kelenteng yang
mempertahankan ketionghoaan.
3) Bagian kiri merupakan nama penyumbang.
Tidak jauh dari kelenteng, kita menemukan pemakaman etnis Tionghoa di Ampenan, Lombok.
Keberadaan makam ini membuktikan bahwa etnis Tionghoa menetap di wilayah itu. Pada makam etnis
Tionghoa di Ampenan, Lombok, ditemukan kuburan dengan batu nisan tertulis tahun 1888. Pada 1888
dianggap sebagai tahun Terminus Ante Quem batas sebelumnya yang. Artinya, tahun itu dianggap
bahwa etnis Tionghoa telah menetap di wilayah kota Ampenan, Lombok.
Di dalam kompleks makam ditemukan batu nisan bertulis tahun 1888. Batu nisan tersebut
ternyata merupakan batu nisan tertua di area pemakaman itu.
13
Dibaca Guangxu, tahun kerajaan di Tiongkok mulai dari tahun 1875 sampai dengan 1908.
Dari batu nisan yang tertua di atas, kita dapat membaca sebagai berikut.
1) Bagian kanan merupakan tahun pembuatan batu nisan yang dapat dibaca , berarti
pada tahun 1888.
2) Bagian tengah merupakan nama orang yang dimakamkan di kuburan tersebut dan dibaca
a) b) c) d) e).Aksara ini diartikan sebagai berikut.
a) Aksara menunjukkan kata menghormati Kerajaan Qing.
b) Aksara diartikan memperingati dan menghormati yang telah meninggal, dan huruf
kedua diartikan yang meninggal adalah ayah.
c) Aksara merupakan nama yang dimakamkan, tetapi nama pribadi diletakkan di
depan dari pada nama marganya. Jadi, nama semasa hidupnya adalah .
d) Aksara merupakan panggilan hormat kepada yang dimakamkan
e) Aksara diartikan sebagai kuburan.
Batu nisan yang diperkirakan terrtua di kompleks pemakaman Ampenan, Lombok menjadi
objek kebudayaan material yang mengingatkan kita pada adanya sistem bermasyarakat pada etnis
Tinghoa dan makam tersebut dapat terpelihara sebagai kebudayaan material yang dapat memberikan
gambaran kepada generasi muda tentang leluhur mereka dan tentang perjalanan sejarah etnis Tionghoa
tersebut.
Nilai-nilai yang menjadi norma di dalam masyarakat dapat dipelihara dengan keberadaan makam
tersebut. Dalam hal ini, generasi muda harus mengingat bahwa mereka ada karena adanya para leluhur
mereka. Oleh karena itu, etnis Tionghoa memiliki tradisi berziarah ke kubur para leluhur yang disebut
dengan Ceng Beng. Tradisi Ceng Beng ini dapat dimaknai sebagai menghormati arwah para leluhur.
Dengan kata lain, keberadaan makam sebagai objek kebudayaan material memiliki makna sosial yang
dapat berfungsi sebagai penghubung antara dunia masa lampau dan dunia masa kini.
Selanjutnya, setelah membandingkan penemuan batu nisan dari Ampenan, Lombok, dengan
hasil pendataan koleksi Franke di Sumatera dan Jawa dapat dipahami bahwa batu nisan yang
menggunakan aksara telah dapat ditemukan di Bengkulu, Sumatera pada 184214, sedangkan di
Indramayu, Jawa Barat pada 174515. Di samping itu, penulisan batu nisan yang dimulai dari aksara
atau dapat ditemukan di Surabaya, Jawa Timur pada 1636 untuk laki-laki16, dan di Cirebon17, Jawa
Barat pada 1765 untuk perempuan dan di Tanjung Pinang, Riau, Sumatra pada 1783 untuk laki-laki18,
lalu di Padang, Sumatra Barat pada 1850 untuk perempuan19.
Hal tersebut membuat kita paham bahwa format batu nisan yang dimulai dari aksara atau
adalah format batu nisan sebelum adanya Kerajaan Qing, sedangkan batu nisan yang dimulai
dengan aksara adalah mereka yang menunjukkan loyalitas kepada Kerajaan Qing atau mereka
yang hanya mencari jati diri dari kerajaan yang didirikan dari 1644 dan berakhir pada 1912 itu. Sepanjang
Kerajaan Qing berkuasa ada kelompok masyarakat yang mendukung kerajaan. Adapun kelompok
masyarakat yang tidak menunjukkan loyalitas kepada Kerajaan Qing menggunakan aksara yang .
Aksara ini tentu tidak lazim ada dalam aksara bahasa Tionghoa. Akan tetapi, karena mereka ingin
menunjukkan ketidakloyalan pada Kerajaan Qing, aksara tersebut digunakan dengan cara
menghilangkan aksara raja dalam penulisan batu nisan. Aksara kata Kerajaan Qing terdiri dari bagian
dengan , kemudian berubah menjadi . Perubahan atau penghilangan bagian raja menunjukan
sikap menentang pada Kerajaan Qing.
Akhir kata, saya menyadari perlunya penelitian lanjutan untuk mengetahui dan memahami
tentang urutan atau format penulisan dalam batu nisan. Hal ini dimaksudkan agar terbangun kembali
urutan batu nisan etnis Tionghoa di Indonesia.
SIMPULAN
Kota Ampenan, Lombok, sebagai kota pelabuhan memiliki kelenteng yang diperkirakan ada
sejak 1800-an. Lalu, tidak jauh dari kelenteng tersebut terdapat makam etnis Tionghoa yang dipusatkan di
daerah Bintaro, Ampenan. Pada kompleks makam ditemukan makam tertua sesuai dengan yang tertera
pada batu tahun 1888. Makam dan batu nisan tersebut merupakan objek kebudayaan material yang
memiliki makna sosial sebagai penghubung generasi muda dengan para leluhurnya. Objek kebudayaan
14
Wolfgang Franke. 1988. pp 530.
15
Wolfgang Franke. 1997. Vol. 2 Part 1. pp 262
16
Wolfgang Franke. 1997. Vol. 2 Part 2. pp 722
17
Woldgang Franke, 1997. Vol. 2 Part 1. pp 246
18
Wolfgang Franke. 1988. pp 373.
19
Wolfgang Franke. 1988. pp 399
material tersebut juga memiliki makna sosial bahwa jika tidak ada para leluhur, generasi muda tersebut
pun tidak akan ada. Tradisi untuk berziarah ke makam leluhur merupakan bentuk penghormatan nenek
moyang dan para leluhur. Lalu, melalui penelitian ini saya dapat mengetahui dan berhasil mencari tahu
bagaimana penulisan dan pembacaan batu nisan melalui data perbandingan di Sumatera dan Jawa
dengan hasil penemuan lapangan penelitian di Pulau Lombok.
Daftar Pustaka
Reno, Joshua. (2009). Your Trash is Someones Treasure: The Politics of Value at a Michigan Landfill.
Journal of Material Culture, Vol. 14(1): 29-46. Disusun oleh T. Christomy. Diktat : Seminar Teori
dan MetodologiIlmu Pengetahuan Budaya. Program Pascasarjana (S-3) Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia. 2016
Morohashi, Tetsuji. (1982). Dai Kanwa Jiten. Taishukan Shoten. Tokyo. Jilid I XV.
Smith, Sally V. (2009). Materializing Resistant Identities Among The Medieval Peasantry: An
Examination of Dress Accessories from English Rural Settlement Sites. Journal of Material Culture.
Disusun oleh T. Christomy. Diktat : Seminar Teori dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Budaya.
Program Pascasarjana (S3) Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia. 2016
Wolfgang, Franke. (1988). Chinese Epigraphic Material in Indonesia. Volume 1: Sumatra. South
Seas Society. Singapore.
------. (1997). Chinese Epigraphic Material in Indonesia. Volume 2: Part 1 & 2 Java. South Seas Society.
Singapore.
------. (1997). Chinese Epigraphic Material in Indonesia. Volume III: Bali, Kalimantan, Sulawesi,
Moluccas. South Seas Society. Singapore.
Laman :
Jamaludin, Dr. MA, H. Jalaludin Arzaki, L. Satria Wangsa. SH, L. Prima Wiraputra, Bq. Ratna
Mulhimmah, M.H, Abdul Hafiz, Drs., M.Si. 2011. Penyusunan Sejarah Kota Mataram.
http://www.mataramkota.go.id/file/Sejarah%20Kota%20Mataram.pdf at 11:23 hours WIB on 2nd
November, 2016.
1. Naskah belum pernah dimuat/ diterbitkan di media lain (jurnal ilmiah, majalah, surat kabar, website/
blog, sosial media).
2. Naskah yang dimuat dalam jurnal meliputi artikel hasil penelitian, kajian, atau pemikiran tentang
metodologi dan pendekatan baru penelitian dalam bidang linguistik, sastra, budaya, pengajaran
bahasa, kebijakan pemerintah tentang pendidikan atau kebudayaan, dan pengembangan ilmu bahasa
baik bahasa Inggris dan Jepang yang ditulis dalam ragam bahasa ilmiah.
3. Naskah diketik dengan Microsoft Word versi 2007 (DOC atau DOCX), jarak 1,5 spasi pada kertas
A4 dengan huruf Times New Roman berukuran 12, sebanyak 15-30 halaman.
4. Secara umum, naskah memuat judul artikel maksimal 15 kata (tidak termasuk sub judul dan kata
penghubung), nama penulis, alamat email, nama lembaga afiliasi penulis, abstrak yang disertai kata
kunci, pendahuluan, metode, hasil bahasan, simpulan, dan daftar pustaka.
5. Naskah diketik dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah bahasa Indonesia diketik dengan
memperhatikan kaidah bahasa Indonesia sesuai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia 2015.
Naskah bahasa Inggris diketik dalam bahasa Inggris ragam resmi (American English atau British
English) dengan memperhatikan kaidah bahasa yang baku.
6. Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, dalam satu paragraf yang terdiri atas
150250 kata dengan 35 kata kunci. Abstrak berisikan tujuan penulisan, metode penelitian,
analisis, dan simpulan.
7. Naskah memuat judul, nama penulis, alamat e-mail penulis, abstrak dan kata kunci (dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris), dan isi. Struktur dan sistematika isi serta persentase jumlah halaman
sebagai berikut:
a. Pendahuluan meliputi latar belakang, perumusan masalah, kajian literatur yang mencakup kajian
teori serta hasil penelitian yang relevan, dan tujuan penelitian (10%).
b. Metode penelitian berisi rancangan/ model, populasi dan sampel, data, tempat dan waktu, teknik
pengumpulan data, serta teknik analisis data (20%).
e. Pustaka Acuan, pada artikel hasil penelitian minimal berjumlah 10. Dari jumlah tersebut 80%
berasal dari sumber primer yaitu artikel yang diterbitkan pada jurnal/ majalah ilmiah, disertasi,
dan tesis terbitan 10 tahun terakhir, kecuali pustaka acuan klasik (tua) yang memang
dimanfaatkan sebagai bahan kajian historis.
8. Khusus naskah hasil penelitian yang disponsori oleh pihak tertentu harus ada pernyataan
acknowledgement yang berisi informasi sponsor yang mendanai dan ucapan terima kasih kepada
sponsor tersebut.
Cara penulisan acuan menggunakan teknik rujukan berkurung (nama akhir pengarang, tahun terbit)
b) Jika ada beberapa buku yang dijadikan sumber ditulis oleh orang yang sama dan diterbitkan dalam
tahun yang sama pula, data tahun penerbitan diikuti oleh huruf a, b, c, dan seterusnya yang urutannya
ditentukan secara kronologis atau berdasarkan abjad judul buku-bukunya. Contoh sebagai berikut.
Cornet, L. & Weeks, K. 1985a. Career ladder plans. Altanta GA: Career Ladder Clearinghouse.
Cornet, L. & Weeks, K. 1985b. Planning carrer ladder: Lesson from the States. Altanta GA: Career
Ladder Clearinghouse.
c) Rujukan dari buku yang berisi kumpulan artikel (terdapat editornya). Ditambah dengan ed jika satu
editor, eds jika editornya lebih dari satu. Contoh sebagai berikut.
Denzin, N.K., Lincoln, Y. S., eds. 2009. Handbook of qualitative research. Terj. Daryatmo.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
d) Rujukan dari artikel dalam buku kumpulan artikel (ada editornya). Contoh sebagai berikut.
e) Rujukan dari buku yang ditulis lebih dari dua penulis et.al maupun dkk. ditulis lengkap nama
penulis lainnya. Contoh sebagai berikut.
Heo, K. H. G., Cheatham, A., Mary, L. H., & Jina, N. 2014. Korean early childhood educators
perceptions of importance and implementation of strategies to address young childrens
social-emotional competence. Journal of Early Intervention, 36 (1), hlm. 49-66.
f) Rujukan dari artikel dalam jurnal. Contoh sebagai berikut.
Naga, D.S. 1998. Karakteristik butir pada alat ukur model dikotomi. Jurnal Ilmiah Psikologi, III (4),
hlm. 34-42.
g) Rujukan dari artikel dalam majalah atau Koran. Contoh sebagai berikut.
Alka, D.K. 4 Januari 2011. Republik rawan kekerasan? Suara Karya, hlm. 11.
i) Rujukan dari dokumen resmi pemerintah yang diterbitkan oleh suatu penerbit tanpa pengarang dan
tanpa lembaga. Contoh sebagai berikut.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
1990. Jakarta: diperbanyak oleh PT Armas Duta Jaya.
j) Rujukan dari lembaga yang ditulis atas nama lembaga tersebut. Contoh sebagai berikut.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Panduan manajemen sekolah. Jakarta: Direktorat
Pendidikan Menengah Umum.