Anda di halaman 1dari 10

PENGARUH BAHASA JAWA (B1) TERHADAP PELAFALAN BAHASA INGGRIS

(B3) DALAM VIDEO BAHASA INGGRIS RASA INDONESIA 3

Pungky Septiriani
pseptiriani@yahoo.com
Universitas Negeri Malang

ABSTRAK: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif ancangan studi kasus yang
dilakukan untuk mendeskripsikan pengaruh bahasa Jawa (B1) terhadap pelafalan Bahasa
Inggris (B3) masyarakat Jawa Timur, khususnya kota Surabaya yang dilakukan oleh Dave
dalam Video Bahasa Inggris Rasa Indonesia yang diunggah pada salah satu akun YouTube
bernama londokampung. Instrumen penelitian berupa tabel identifikasi fonem. Instrumen
penelitian yang digunakan berupa tabel identifikasi bahasa. Data penelitian dikumpulkan
dengan teknik simak bebas libat cakap. Kemudian, dilengkapi dengan teknik pustaka dengan
pemanfaatan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data. Hasil penelitian bermanfaat
untuk acuan perbaikan pembelajaran bahasa Inggris bagi masyarakat Jawa Timur.

Kata Kunci: pengaruh, bahasa, bahasa ketiga

PENDAHULUAN
Fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi atau alat mengomunikasikan
keinginan dalam proses interaksi antarmanusia sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hidup
manusia. Pada masa modern, kebutuhan dan kerjasama manusia tidak dipenuhi dalam satu
lingkup daerah saja, melainkan juga telah merambah ke daerah lain: lintas pulau, lintas
negara, bahkan lintas benua. Dengan kata lain, masyarakat yang hidup di era modern
cenderung tidak lagi berinteraksi dalam ruang lingkup kecil, melainkan telah menjadi bagian
dari masyarakat internasional.
Saat ini, telah terdapat ratusan bahasa yang ada di seluruh dunia. Sebagai dampak dari
aktifitas pemenuhan kebutuhan hidup, tidak jarang seseorang harus menguasai beberapa
bahasa untuk dapat melangsungkan kerjasama dengan berbagai pihak di berbagai daerah
yang berbeda. Masalah timbul apabila dalam proses berbahasa ditemukan misleading. Pada
prosesnya, pembelajar bahasa kedua, ketiga, dan ke-n seringkali tanpa sadar mengalami
kesalahan berbahasa yang akhirnya dapat menyebabkan kesalahpahaman. Kesalahpahaman
tersebut dapat memicu kerenggangan komunikasi, bahkan putusnya komunikasi. Menurut
Brown (2000), Setiap pembelajar bahasa kedua atau bahasa ke-n tidak pernah tidak membuat
kesalahan. Kesalahan tersebut merupakan bagian dari proses belajar.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bahasa Jawa sebagai B1 dalam
pelafalan bahasa Inggris (B3) dalam video Bahasa Inggris Rasa Indonesia. Hasil penelitian

1
diharapkan dapat menjadi patokan dalam perbaikan pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia
khususnya di Jawa Timur.

METODE
Penenelitian ini dirancang menggunakan metode deskriptif kualitatif, pendekatan
studi kasus. Metode deskriptif merupakan metode penelitian yang ditujukan untuk
menggambarkan fenomena sosial yang terdapat dalam kegiatan sosial, wacana sosial, produk
sosial, dan lain sebagainya. Ciri khas penelitian deskriptif adalah tidak terdapat pengubahan
pada variabel sehingga peneliti menggambarkan suatu fenomena sosial sebagaimana adanya.
Menurut Sukmadinata (2006:72), penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang
ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah
maupun fenomena buatan manusia.
Data penelitian merupakan kata-kata hasil wawancara tokoh utama (Dave) dengan
responden masyarakat Surabaya yang memiliki B1 Jawa Timur, B2 Indonesia, dan B3
Inggris. dalam video yang diunggah oleh akun londokampung di situs YouTube. YouTube
adalah sebuah situs web berbagi video yang dibuat pada tahun 2005 yang memungkinkan
pengguna mengunggah, menonton, dan berbagi video. Sumber data penelitian merupakan
video Bahasa Inggris Rasa Indonesia 3 (selanjutnya disebut BIRI3) yang diunggah pada 9
April 2018.
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak. Sebagian ahli
menggolongkan teknik ini pada metode. Metode simak adalah cara yang digunakan untuk
memperoleh data dengan menyimak penggunaan bahasa (Mahsun, 2007: 29). Menurut
Sudaryanto (1993:133) metode simak mencakup empat teknik berikut. (1) teknik sadap, (2)
teknik simak libat cakap, (3) teknik simak bebas libat cakap, (4) teknik rekam, dan (5) teknik
catat. Penelitian ini berfokus pada penggunaan teknik simak bebas libat cakap. Pada teknik
ini, peneliti berperan sebagai pengamat penggunaan bahasa oleh para informan tanpa terlibat
dalam peristiwa pertuturan tersebut. Dengan kata lain, peneliti tidak berperan dalam proses
pelafalan bahasa, melainkan hanya menyimak dialog yang terjadi antarinforman.
Instrumen penelitian yang digunakan berupa tabel identifikasi bahasa. Data penelitian
dikumpulkan dengan teknik simak bebas libat cakap. Kemudian, dilengkapi dengan teknik
pustaka dengan pemanfaatan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data. Hasil perolehan
data dianalisis menggunakan teknik triangulasi berupa penyesuaikan temuan dengan berbagai
teori, konsultasi ahli, dan konsultasi dengan teman sejawat.

2
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemerolehan Bahasa Ketiga
Teori yang paling umum dan mendasar tentang pemerolehan dan pembelajaran bahasa
adalah teori behaviorisme dan teori kognitivisme. Konsep dasar teori behaviorisme dilandasi
anggapan bahwa seseorang setelah lahir tidak memiliki apa-apa, sehingga dalam
pemerolehan bahasa, peran lingkungan cukup tinggi. Dengan kata lain, lingkungan banyak
memberi sumbangan kepada seseorang sehingga dia dapat memperoleh bahasa. Berlawanan
dengan itu, konsep dasar teori kognitivisme, percaya bahwa bahasa timbul secara otomatis
dalam mental manusia. Dengan demikian, penganut kognitivisme beranggapan bahwa tanpa
latihan atau lingkungan yang mendudung, seseorang akan tetap bisa berbahasa.
Teori nativisme mengambil jalan tengah dari kedua teori yang dipaparkan
sebelumnya. Nativisme percaya bahwa seseorang telah memiliki suatu alat pemerolehan
bahasa yang disebut Language Acquistition Device (LAD) sejak lahir. Alat tersebut dianggap
sebagai alat pemerolehan bahasa. Meskipun demikian, alat pemerolehan bahasa tersebut
hanya dapat berfungsi apabila terdapat lingkungan yang mendukungnya.
Menurut McDonough (1981), teori-teori behaviorisme yang dipakai untuk
memperoleh bahasa menekankan peranan lingkungan dalam memberikan rangsangan
imintasi dan juga penguatan dan apakah reaksi-reaksinya bersifat positif atau negatif.
Menurut teori ini, hanya lingkungan eksternal yang memberikan model bahasa maupun
mekanisme reaksi-reaksi berikut. (1) diseleksi untuk kebenaran, (2) dibedakan untuk pantas
tidaknya terhadap suatu stimulus dan (3) disamarkan untuk situasi yang baru. Sependapat
dengan itu, menurut Littlewood (1984), pendekatan behaviorisma terhadap pemerolehan
bahasa, lingkungan dilihat sebagai faktor utama yang memengaruhi pemerolehan bahasa
karena menyediakan model-model yang dapat ditiru oleh anak dan berbagai ganjaran yang
mengakibatkan timbulnya pengetahuan bagi anak.
Menurut Littlewood (1984), minat merupakan faktor yang berperan untuk mencapai
proses internal anak, padahal, lingkungan pula yang menstimulasi proses-proses internal itu.
Lingkungan akan menyediakan berbagai materi terhadap anak dalam pemerolehan bahasanya
di mana ia berada. Pakar lain menyatakan bahwa anak yang baru saja lahir sudah memiliki
prosedur-prosedur serta kaidah bahasa yang memungkinkan seseorang anak mengolah data
linguistik ketika hidup di lingkungannya.
Terlepas dari teori behavariosme dan kognitivisme, peranan lingkungan dalam
pemerolehan bahasa sangat besar. Dulay (1982), kualitas lingkungan menentukan
keberhasilan pembelajaran bahasa baru. Pengenalan yang dilakukan oleh guru di dalam kelas
3
akan menentukan proses belajar bahasa yang dialami oleh pembelajar. Lebih lanjut, Huda
(1987), mengemukakan bahwa “hipotesis input Krashen” menyatakan bahwa pembelajaran
bahasa kedua hanya dapat dilakukan dengan satu cara, yaitu dengan memahami makna pesan
yang sampai kepadanya. Dengan kata lain, penutur asli dapat berbahasa kedua karena telah
mendapat input yang bisa dimengerti maknanya (Bahasa pertama). Dengan demikian penutur
asli dapat memahami wacana yang berisi tata bahasa karena bantuan konteks, pengetahuan
dan skemata yang telah dimilikinya tentang teks tersebut mesktipun tidak disajikan dengan
urutan yang ilmiah (Purba, 2013:14-15).
Proses pemerolehan bahasa dimulai sejak manusia lahir. Proses pemerolehan itu
berlangsung secara alami. Dengan kata lain, pemerolehan tidak dilakukan dengan menghapal
kosakata, menghafal aturan-aturan gramatik dan sintaktik bahasa. Kamus bahasa dalam otak
anak tersusun secara otomatis tanpa teori, sedangkan kemampuan gramatika anak terasah dari
bahasa yang disimaknya.
Menurut Abdul Chaer (2003:167), pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah
proses yang berlangsung di dalam otak anak-anak ketika memperoleh bahasa pertama atau
bahasa ibu, sedangkan pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses yang terjadi ketika
seorang anak belajar bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertama. Dengan
demikian, pemerolehan bahasa memiliki hubungan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran
bahasa memiliki hubungan dengan bahasa kedua.
Proses perkembangan bahasa pada anak dijelaskan penelitian berikut. Menurut
Tussolekha (2015:60), proses perkembangan bahasa dipilah berdasarkan aspek
perkembangannya yaitu, (1) fonologi, anak menggunakan bunyi-bunyi yang telah
dipelajarinya dengan bunyi-bunyi yang belum dipelajari. Sebagai contoh, menggantikan
bunyi /l/ yang sudah dipelajari dengan bunyi /r/ yang belum dipelajari. Pada akhir periode
berceloteh, anak sudah mampu mengendalikan intonasi, modulasi nada, dan kontur bahasa
yang dipelajarinya. (2) morfologi. Pada usia tiga tahun, anak sudah membentuk beberapa
morfem yang menunjukkan fungsi gramatikal nomina dan verba yang digunakan. Kesalahan
gramatikal sering terjadi pada tahap ini karena anak masih berusaha mengatakan apa yang
ingin dia sampaikan. Anak terus memperbaiki bahasanya sampai usia sepuluh tahun. (3)
sintaksis, anak-anak mengembangkan tingkat gramatikal kalimat yang dihasilkan melalui
beberapa tahap, yaitu melalui peniruan, penggolongan morfem, dan penyusunan dengan cara
menempatkan kata-kata secara bersama-sama untuk membentuk kalimat. (4) semantik, anak
menggunakan kata-kata tertentu berdasarkan kesamaan gerak, ukuran, dan bentuk. Sebagai

4
contoh, seorang anak sudah mengetahui makna kata jam. Awalnya dia hanya mengacu pada
jam tangan orang tuanya, namun kemudian dia memakai kata tersebut untuk semua jenis jam.
Menurut Nababan dan Utari (1988:65), seorang anak memiliki pertumbuhan kognitif
yang normal, belajar bahasa pertama dalam tahun-tahun pertama dalam hidupnya. Proses ini
terjadi hingga kira-kira umur lima tahun. Seorang bayi hanya akan merespon ujaran-ujaran
yang sering didengarnya dari lingkungan sekitar terlebih adalah ujaran ibunya yang sering
didengar oleh anak. Seorang manusia tidak hanya dapat memiliki satu bahasa saja melainkan
dua sampai empat bahasa tergantung dengan lingkungan sosial dan tingkat kognitif yang
dimiliki oleh orang tersebut.
Menurut Ellis (1985:5), pembelajara bahasa kedua sangat berbeda dengan
pemerolehan bahasa pertama karena para pengajar bahasa melihat bagaimana siswa atau
penutur asli berusaha menambahkan bahasa baru ke dalam kognitif mereka setelah
memperoleh bahasa pertama. Urutan-urutan perkembangan kognitif menentukan urutan
perkembangan bahasa (Abdul Chaer, 2003:223).

Sistem Fonologi Bahasa Inggris


Sistem fonologi merupakan sistem bunyi dalam bahasa tertentu. Menurut Odden
(2006), pelafalan kata termasuk dalam area bidang ilmu fonologi. Fonologi merupakan salah
satu cabang ilmu linguistik yang mengkaji tentang struktur bunyi dalam sebuah bahasa. Lebih
lanjut, menurut Odden, fonologi meliputi dua bidang kajian, yaitu fonemik dan fonetik.
Fonemik merupakan bidang ilmu yang mengkaji distinctive sound; sementara fonetik adalah
bidang ilmu yang mengkaji speech sound atau bagaimana suatu bunyi diucapkan Richards,
Platt, dan Weber (dalam Tiono dan Yustanto, 2008).
Pembelajar bahasa dituntut pula untuk memahami pelafalan bahasa target. Menurut
Ur (1996), pronunciation meliputi tiga aspek, yaitu bunyi atau fonologi, stress dan rythm,
serta intonasi. Menurut Brown dalam Tiono dan Yostanto (2008), pembelajar bahasa Inggris
harus memahami pelafalan (pronunciation).
Bunyi-bunyi dalam bahasa Inggris dapat dipilah menjadi dua, yaitu bunyi vokal dan
bunyi konsonan. Berdasarkan bentuk bibir, huruf vokal bahasa Inggris dipilah menjadi lima,
yaitu A, I, U, E, O. Berdasarkan bunyi yang dihasilkan, huruf vokal bahasa Inggris dipilah
menjadi 22. Berdasarkan aksen, huruf vokal bahasa Inggris dipilah menjadi dua, yaitu bunyi
vokal bahasa Inggris Amerika dan bunyi vokal bahasa Inggris British. Menurut Odden
(2006), bahasa Inggris Amerika memiliki variasi bunyi vokal yang lebih kaya.

5
Secara umum, bahasa Inggris
memiliki 22 bunyi vokal yang dibagi
menjadi dua, yaitu monoftong dan
diftong (Swan dan Smith, 2001).
Monoftong merupakan bunyi-bunyi
vokal yang dilambangkan dengan satu
simbol bunyi, sebagai contoh, bunyi
vokal [Ɔ] dan [ə]. Simbol-simbol bunyi
vokal monoftong dapat dilihat pada
gambar berikut.
Kelompok bunyi vokal yang kedua adalah diftong. Diftong merupakan bunyi vokal
yang dilambangkan dengan dua simbol bunyi seperti [eI] dan [ƆI]. Bahasa Inggris juga
memiliki kelompok bunyi vokal lain yaitu triftong. Triftong adalah bunyi vokal yang
dilambangkan dengan tiga simbol bunyi. Sebagai contoh, [ɛlə] dan [аUǝ]. Daftar bunyi
diftong dan triftong bahasa Inggris dapat dilihat secara lengkap pada gambar berikut
(Wenanda dan Suryani, 2016).
Pembelajar bahasa Inggris dari Indonesia seringkali mengalami kesulitan dalam
mengucapkan beberapa bunyi vokal bahasa Inggris yang berbeda atau bahkan tidak dimiliki
oleh bahasa Indonesia. Menurut Swan dan Smith (2001); Ur (1996), beberapa kesulitan yang
dialami oleh pembelajar bahasa Inggris adalah sebagai berikut.
(1) Bahasa Inggris memiliki bunyi vokal panjang dan pendek seperti /I/ dan /i:/ pada kata bit
dan beat, namun pembelajar bahasa Inggris di Indonesia seringkali mengucapkan kedua
bunyi vokal tersebut secara bersamaan. Pada menit ke 00.09.06 – 00.08.50 video BIRI3,
Dave menunjukkan kata pineapple, dan oleh mayoritas responden dibaca ‘pinapel’. Hal
ini menunjukkan bahwa, responden yang berlatarbelakang B1 Jawa dan B2 Indonesia,
tidak memiliki pengalaman menggunakan diftong aI dalam bahasa Jawa dan Bahasa
Indonesia.
(2) Pembelajar bahasa bahasa Inggris di Indonesia mengucapkan bunyi /æ/ dan /e/ dengan
sama, seperti kata hat yang seharusnya dilafalkan /hæt/ tetapi dilafalkan /het/. Pada menit
ke 00.08.36 – 00.08.15 video BIRI3, Dave menunjukkan kata grapefruit, dan oleh
mayoritas responden dilafalkan ‘grép frut’ atau ‘grapéfrut’. Banyak kata dalam bahasa
Jawa yang memiliki bunyi akir /é/. Mengingat responden Dave berasal dari Surabaya,
dialek jawa dalam pelafalan bunyi-bunyi bahasa Inggris masih dapat dirasakan.

6
(3) Pembelajar seringkali kesulitan mengucapkan bunyi /ǝ/ seperti pada kata away. Pada
menit ke 00.06.55 – 00.06.33 video BIRI3, Dave menunjukkan kata pea, dan oleh
mayoritas responden dilafalkan ‘pi’ atau ‘pé’. Sangat jarang kata bahasa Jawa maupun
bahasa Indonesia memiliki bunyi akhir /ǝ/.
(4) Pembelajar juga seringkali mengucakan bunyi diftong sebagai bunyi monoftong seperti
bunyi /ei/ pada kata way yang diucapkan /we/. Pada menit ke 00.06.14 – 00.06.33 video
BIRI3, Dave menunjukkan kata lime, dan oleh mayoritas responden melafalkan kata itu
dengan ‘lim’ atau atau ‘lém’. Sebagian responden meleburkan bunyi diftong /ai/ dalam
bahasa Inggris menjadi bunyi monoftong /i/ atau /é/
Pembahasan berikutnya adalah bunyi konsonan. Bahasa Inggris memiliki 24 bunyi
konsonan. Tidak ada perbedaan antara bunyi konsonan bahasa Inggris Amerika dan bahasa
Inggris British. Variasi konsonan hanya pada alofon atau variasi beberapa fonem (Deterding
dan Poedjosoedarmo, 1998). Secara terperinci, bunyi konsonan dapat dilihat pada tabel
berikut.

Pembelajar mengalami kesulitan pengucapan bunyi-bunyi konsonan bahasa Inggris


yang tidak ada dalam bahasa Indonesia. Menurut Swan dan Smith (2001); Ur (1996),
Kesulitan-kesulitan yang dialami pembelajar bahasa Inggris di Indonesia secara mendalam
adalah sebagai berikut.
(1) (Pembelajar seringkali kesulitan mengucapkan bunyi th yang memiliki dua variasi,
yaitu /θ/dan /ð/sehingga menggantinya dengan bunyi /t/ seperti pada kata /θln/ diucapkan
/tln/.

7
(2) Pembelajar bahasa Inggris seringkali mengucapkan
bunyi /p/, /t/, dan /k/ hampir sama dengan bunyi /b/, /d/,
dan /g/. Selain itu mereka mengucapakan bunyi /p/, /t/,
dan /k/ secara sama baik ketika bunyi itu terdapat di awal,
tengah, maupun akhir kata.
(3) Pembelajar tidak dapat mengucapkan bunyi /b/, /d/, dan
/g/secara voiced. Pada menit ke 00.05.05 – 00.06.33 video
BIRI3, Dave menunjukkan kata orange, dan oleh
mayoritas responden melafalkan kata itu dengan /oréng/
atau atau /orén/. Pelafalan tersebut cenderung mengarah
ke bunyi /g/ dalam bahasa Indonesia atau bahasa Jawa
yang termasuk konsonan hambat letup dorso velar
bersuara arah bunyi .
(4) Bunyi /v/ jarang digunakan dalam bahasa Indonesia,
sehingga pembelajar seringkali mengucapkan /v/
dengan /f/ seperti kata /faiv/ diucapkan /faif/. Pada menit
ke 00.08.14 – 00.07.30 video BIRI3, Dave menunjukkan
kata cauliflower, dan mayoritas responden dapat melafalkan kata itu dengan tepat.
Artinya, fonem-fonem pada kata tersebut merupakan fonem yang familiar bagi
masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa.
(5) Bunyi /ʃ/ seringkali diganti dengan /s/ seperti pada kata /ʃlp/ diucapkan /slp/. Pada menit
ke 00.05.28 – 00.05.05 video BIRI3, Dave menunjukkan kata radish. Mayoritas
responden melafalkan kata tersebut dengan /radis/. Fonem /ʃ/ yang terletak pada akhir
kata cenderung diganti dengan fonem /s/.
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, dapat diketahui bahwa sebagian bunyi-bunyi
bahasa Inggris tidak bersesuaian dengan bunyi-bunyi bahasa Indonesia atau bahasa Jawa.
Orang-orang Jawa yang menjadi responden dari video tersebut diketahui cukup sering
menyisipkan fonem /é/ di akhir kata atau mengganti bunyi-bunyi yang mirip dengan fonem
tersebut. Fonem bahasa Jawa tersebut mempunyai dua alofon, yaitu [é] dan [ε], dan dapat
berdistribusi pada awal suku kata, tengah suku kata dan akhir kata. Misalnya pada kata esuk
[é sU?] ‘pagi’dan kowe [kowé ] ‘kamu’. Distribusi fonem serupa ditemukan pula dalam
pelafalan bahasa Inggris oleh orang Jawa.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui pula bahwa responden beberapa kali
mengganti diftong bahasa Inggris menjadi bunyi-bunyi tunggal. Bahasa Indonesia sejatinya
8
mengenal beberapa vokal rangkap yang mirip, yaitu /au/ dan /ai/. Namun responden memilih
untuk meleburkan diftong tersebut karena dalam bahasa Jawa tidak mengenal diftong sejenis.
Pemakaian vokal rangkap tersebut tidak ditemukan atau jarang ditemukan dalam pemakaian
bahasa Jawa secara resmi, pemakaian tersebut ditemukan dalam ragam bahasa santai atau
dalam dialek bahasa Jawa Timur. Vokal rangkap biasanya muncul pada kata-kata yang
mempunyai nuansa makna sangat. Sebagai contoh kata elek [ɛlɛ?] ‘jelek’ uelek [uɛlɛ?]’jelek’
gedhe [ gəḍê] ‘besar’ guedhe [guəḍê] ‘besar’.
Peleburan tersebut juga terjadi pada bunyi-bunyi konsonan. Pada beberapa kata,
responden cenderung menghilangkan bunyi-bunyi konsonan rangkap bahasa Inggris. Hal
tersebut disebabkan oleh sistem klaster yang berbeda antara bahasa Jawa, bahasa Indonesia,
dan bahasa Inggris. Klaster bahasa Jawa berupa suatu fonem yang diikuti oleh fonem /r/,
/l/, /w/, /y/.Fonem yang dapat diikuti oleh fonem /r/ untuk membentuk suatu klaster
diantaranya fonem /p, b, m, w, t, d, þ, s, c, j, k, dan g/. Fonem bahasa Jawa yang diikuti oleh
fonem /l/ untuk membentuk klaster, diantaranya adalah fonem /p, b, t, d, s, c, j, k, dan g/, dan
fonem bahasa Jawa yang dapat diikuti oleh fonem /w/ untuk membentuk klaster antara lain
fonem /d, l, c, k, dan s/. Misalnya kata driji /dr/, mripat /mr/, dingklik /kl/, graji /gr/, bledug
/bl/, srengenge /sr/, klekaran /kl/, mlaku /ml/, mlayu /ml/, ngliwet /ngl/, klasa /kl/.
Ditinjau dari sudut pandang linguistik, hasil penelitian menunjukkan pembuktian
terhadap pandangan berhaviorisme, bahwa lingkungan merupakan faktor yang sangat
memengaruhi perkembangan bahasa ketiga. Responden hidup dan berkehidupan di kota
Surabaya yang dikenal sebagai kota dengan dialek Jawa Timur paling khas diantara kota-kota
lain di Jawa Timur.

KESIMPULAN DAN SARAN


Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bukti-bukti teori yang menyatakan
bahwa pemerolehan bahasa ketiga dipengaruhi oleh bahasa Ibu. Sebagai B1, Bahasa Jawa
memiliki pengaruh yang cukup kuat pada pembelajaran bahasa ketiga, yaitu bahasa Inggris.
Masyarakat Jawa Timur cenderung menghilangkan diftong dan klaster bahasa Inggris atau
menggantikannya dengan bunyi tunggal dalam bahasa Jawa ketika melafalkan bunyi-bunyi
bahasa Inggris. Saran yang dapat diberikan untuk penelitian berikutnya adalah penggunaan
metode campuran antara kualitatif dan kuantitatif agar telaah data penelitian lebih akurat dan
teliti.

9
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Dulay, H. 1982. Language Two. New York: Oxford University Prees.
Ellis, R. 1985. Understanding Second Language Acquisition. Oxford: Oxford University
Press.
Huda, N. 1987. Hipotesis Input. Sajian Kuliah. Malang: FPBS IKIP Malang.
Husdon, R.A.1996. Socialinguistic. Cambridge: Cambrige University Press.
Krashen, S. D.1981. Second Language Acquision and Second Language Learning. Oxford:
Pergamon Press.
Littlewood. W. 1984. Foreign and second language learning: language Acquistion research
and
its Implication for the Classroom. Cambridge: Cambridge University Press.
McDonugh, S. 1981. Psychology in Foreign Language teaching.London: George Allen and
Unwin.
Nababan, Subyakto dan Utari, Sri. 1988. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta:
Depdikbud.
Odden, D. 2006. Introducing Phonology. Cambridge: Cambridge University Press.
Purba, Andiopenta. 2013. Peranan Lingkungan Bahasa Dalam Pemerolehan Bahasa Kedua.
Jurnal PENA. Vol. 3(1).
Swan, Michael dan Smith, Bernard. 2001. Learner English 2nd Edition. Cambridge:
Cambridge University Press.
Tiono, Nani Indrajani dan Yostanto, Arlene Maria. 2008. A Study of English Phonological
Errors Produced by English Department Students. Jurnal Kata Volume 10 (1). Dari
http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?Department!D=ING.
Tussolekha, Rohmah. 2015. Mekanisme Pemerolehan Bahasa Pada Anak Usia Satu dan Lima
Tahun. Jurnal Pesona. Vol.1(2): Hlm. 59-70. Dari
http://ejournal.stkipmpringsewu
lpg.ac.id/index.php/pesona.
Ur, Penny. 1996. A Course in Language Teaching: Practice and Theory. Cambridge:
Cambridge University Press.
Wenanda, Diva dan Suryani, Suci. 2016. Analisis Kesalahan Berbahasa Inggris pada Tataran
Fonologis. Jurnal Prosodi. Vol. X (2) hlm. 145-155.

10

Anda mungkin juga menyukai