Anda di halaman 1dari 14

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/332260072

MINI RISET Kesalahan Berbahasa Akibat Interferensi Tata Bahasa Jawa Pada
Subjek “Rama Dirga Pahlevi” Anak Kelas 1 SD

Experiment Findings · April 2019


DOI: 10.13140/RG.2.2.28385.56162

CITATIONS READS

0 3,749

2 authors:

Lailatul Fitriyah Tristan Rokhmawan


Universitas Nurul Jadid 41 PUBLICATIONS 60 CITATIONS
15 PUBLICATIONS 27 CITATIONS
SEE PROFILE
SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Tristan Rokhmawan on 07 April 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


MINI RISET
Kesalahan Berbahasa Akibat Interferensi Tata Bahasa Jawa
Pada Subjek “Rama Dirga Pahlevi” Anak Kelas 1 SD

A. Pendahuluan
A.1. Latar Belakang
Anak-anak adalah pebelajar aktif bahasa. Proses pemerolehan dan penguasaan
bahasa kanak-kanak merupakan satu perkara yang rumit dan cukup menakjubkan
bagi para penyelidik dalam bidang linguisitk. Bagaimana manusia memperoleh
bahasa merupakan satu isu yang amat mengagumkan dan sukar dibuktikan. Berbagai
teori dari bidang disiplin yang berbeda telah dikemukakan oleh para pengkaji untuk
menerangkan bagaimana proses ini berlaku dalam kalangan kanak-kanak. Memang
diakui bahwa ada disadari ataupun tidak, sistem-sistem linguistik dikuasai dengan
pantas oleh individu kanak-kanak walaupun umumnya tanpa pengajaran formal.
“…learning a first language is something every child does successfully, in a matter of
a few years and without the need for formal lessons.”. Sungguhpun rangsangan
bahasa yang diterima oleh kanak-kanak tidak teratur, namun mereka berupaya
memahami sistem-sistem linguistik bahasa pertama sebelum menjangkau usia lima
tahun. Fenomena yang kelihatan menakjubkan ini telah berlaku dan terus berlaku
dalam kalangan semua masyarakat dan budaya pada setiap masa.
Mengikut penyelidik secara empirikal, terdapat dua teori utama yang
membincangkan bagaimana manusia memperoleh bahasa. Teori pertama
mempertahankan bahawa bahasa diperoleh manusia secara alamiah atau dinuranikan.
Teori ini juga dikenali sebagai Hipotesis Nurani dalam linguistik. Teori yang kedua
mempertahankan bahawa bahasa diperoleh manusia secara dipelajari, yang
dinamakan pemerolehan. Prosesnya identik dengan proses “mendapatkan” bahasa
secara alami. Pembelajaran bahasa kedua (PBK) mendapatkan tempat yang khusus
dalam proses mendapatkannya dengan dua bentuk cara mendapatkan bahasa
diantaranya melalui pemerolehan dan pembelajaran, yang artinya melalui dua bentuk
alamiah dan tak-alamiah.

1
PBK diwarnai banyak permasalahan dalam pelaksanaannya. Permasalahan
yang muncul dapat diakibatkan adanya kontak dua bahasa yang menyebabkan
pergeseran, interferensi, percampuran / blending, dan lain sebagainya. Permasalahan
lain muncul sebagai akibat dari kedua jalur masuk bahasa secara alami dan tak-alami
yang menyebabkan adanya perbedaan hasil input bahasa yang diterima secara alami
dan yang tak alami, baik dalam individu yang berbeda (satu orang mendapatkan
secara alami dan yang lain mendapatkan dari pembelajaran) ataupun dalam satu
individu (seseorang mendapatkan pemerolehan dan pembelajaran bahasa).
Dalam kasus pemerolehan dan pembelajaran, seorang pebelajar B2 dapat saja
mendapatkan bahasanya dari hasil pembelajaran dan hasil pemerolehan yang
didapatnya dari mendengar penggunaan bahasa secara alami dalam masyarakat
disekitarnya. Permasalahan yang muncul adalah ketika input bahasa dalam
pemerolehan diwarnai banyak variasi bahasa yang berbeda-beda (tidak hanya dalam
bentuk baku), terutama ketika pemerolahan didapat dari media massa dengan bahasa
yang tidak tertata dengan baik.
Dengan kemajuan teknologi dan informasi, seorang anak yang bahasa
pertamanya bahasa Jawa tidak begitu kesulitan ketika mempelajari bahasa Indonesia
karena media-media yang tersedia saat ini baik cetak maupun elektronik cukup
membantu anak dalam belajar bahasa Indonesia.
Di balik manfaat positif tersebut, media-media yang ada juga seperti pisau
bermata dua yang ada kalanya bermanfaat dan ada kalanya merugikan. Dengan
adanya media tersebut, arah interferensi bahasa anak menjadi semakin kompleks
karena interferensi itu terjadi tidak hanya disebabkan oleh bahasa pertama, tetapi juga
oleh varian dari bahasa kedua (bahasa Indonesia) yang dipelajari yang disediakan
oleh media-media yang tidak menggunakan bahasa Indonesia baku. Dengan adanya
pengaruh bahasa Indonesia yang digunakan oleh media-media tersebut, ada kalanya
membuat pebelajar B2 cenderung menggunakan bahasa Indonesia ragam
santai/kasual, intim, atau slank. Padahal tuntutan pembelajaran bahasa Indonesia saat
ini adalah pembelajaran bahasa Indonesia baku atau yang sesuai dengan Ejaan Yang

2
Disempurnakan (EYD). Akan tetapi, dalam pembahasan ini tidak akan dibahas
tentang varian penggunaan bahasa Indonesia tersebut.
Berdasar penjelasan diatas, maka ada beberapa pertanyaan yang dapat kita
ajukan dalam memahami penilaian akan hasil pemerolehan dan pembelajaran bahasa
pada seorang anak diantaranya : 1) bagaimana perkembangan bahasa kedua dan
bentuk gangguan yang muncul dari bahasa pertama? dan 2) bagaimana
perkembangan bahasa kedua dan bentuk variasi bahasa yang muncul akibat input
pemerolehan dan pembelajaran? Untuk mempersempit ruang lingkup tulisan ini,
maka penulis dalam karya tulis ini mencoba untuk memberikan deskripsi atas
pertanyaan pertama dalam menganalisis tuturan subjek bernama Rama Dirga Pahlevi,
anak kelas 1 sekolah dasar.

A.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang permasalahan kajian di atas maka masalah dapat
dirumuskan sebagai berikut.
1) Bagaimana pendeskripsian bahasa Indonesia subjek Rama Dirga Pahlevi?
2) Bagaimana kesalahan berbahasa akibat pengaruh bahasa pertama terhadap
bahasa Indonesia subjek Rama Dirga Pahlevi?

B. Metode Analisis Kesalahan Akibat Interferensi Bahasa Pertama


Analisis kesalahan berbahasa dilakukan dengan melakukan beberapa tahap di
antaranya:
1. pengumpulan data,
2. pentranskripan,
3. analisis perkiraan MLU (Mean Length of Utterance),
4. analisis kesalahan akibat interferensi pada tingkat fonologi,
5. analisis kesalahan akibat interferensi pada tingkat morfologi,
6. analisis kesalahan akibat interferensi pada tingkat sintaksis, dan
7. penyimpulan dan pendeskripsian bahasa subjek.

3
“Interferensi” pertama kali digunakan oleh Weinreich (1953) untuk menyebut
adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan
bahasa tersebut dengan unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur bilingual
(Chaer & Agustina, 2010:120). Hal ini terkait dengan bagaimana orang dapat
menguasai beberapa bahasa dalam bahasa pertama (B1), kedua (B2), ketiga (B3), dan
seterusnya. Ada yang menguasai beberapa bahasa sama baiknya, tetapi banyak pula
yang tidak. Tentunya, harapan pada penguasaan bilingual dan multilingual ini adalah
berjalan dan digunakannya setiap bahasa sesuai fungsi dan konteksnya masing-
masing tanpa ada pengaruh dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Hal ini lah yang
sulit dihindari sehingga menjadikan adanya interferensi. Interferensi utamanya terjadi
akibat tidak setaranya penguasaan bahasa (seorang bilingual lebih menguasai satu
bahasa daripada bahasa yang lain).
Dulay, et al, menyebutkanbahwakesalahan (errors) adalah sisi kesalahan pada
tulisan dan bicara pebelajar. Kesalahan-kesalahan tersebut merupakan bagian dari
percakapan atau karangan yang menyimpang dari norma performansi bahasa yang
matang atau dewasa (Dulay, et al, 1982:138).
Kesalahan diperkirakan merupakan hasil dari kebiasaan bahasa ibu yang ada
dalam bahasa baru. Kesalahanyang dianggap berasal dari gangguan dan akibatnya
bagian utama dari penelitian linguistik terapan yang dikhususkan untuk
membandingkan bahasa ibu dan bahasa target untuk memprediksi atau menjelaskan
kesalahan yang dilakukan oleh peserta didik dari berbagai latar belakang bahasa
tertentu (Dulay et al, 1982: 139).
Terkadang para peneliti membedakan antara kesalahan yang disebabkan
keletihan dan tidak perhatian (Chomsky menyebutnya performance), dan kesalahan-
kesalahan yang disebabkan karena kurangnya pengetahuan tentang aturan-aturan
bahasa (competence). Dalam banyak literatur B2, kesalahan-kesalahan karena
performansi disebut misstakes, sedangkan istilah errors mengacu pada
penyimpangan-penyimpangan sistematis karena pengetahuan pebelajar tentang sistem
B2 yang masih berkembang (Dulay et al, 1982:139).

4
Dalam melakukan penelitian kesalahan berbahasa Corder (1974 dalam Ellis)
mengemukakan langkah-langkah berikut ini dalam penelitian EA.
1. Kumpulan sampel bahasa pebelajar
2. Identifikasi kesalahan
3. Deskripsi kesalahan
4. Penjelasan kesalahan
5. Evaluasi kesalahan

C. Pengumpulan dan Paparan Data


Subjek penelitian ada dua, yang dipilah menjadi subjek utama dan subjek
tambahan. Subjek utama penelitian ini adalah siswa kelas 1 SD bernama Rama Dirga
Pahlevi. Subjek bersekolah di SDN Kebonagung Kota Pasuruan. Anak kedua dari dua
bersaudara. Kakaknya, Septian Reza Pahlevi, anak kelas 4 SD di sekolah yang sama.
Ayah Rama bernama Guntur Mansur, berasal dari Ujung Pandang – Sulawesi Utara.
Ibu Rama bernama Rina Andayani, berasal dari Kota Pasuruan – Jawa Timur. Kedua
orang tua Rama berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan percampuran alih-
campur kode bahasa Jawa. Subjek kedua /tambahan penelitian ini adalah siswa kelas
enam MI Roudotul Islam, Turen, yang bernama Munir. Kedua orang tua Munir
berbahasa Jawa Malang.
Pengumpulan data dari kedua subjek tersebut dilakukan dengan cara yang
berbeda. Pengumpulan data subjek pertama dilakukan dengan wawancara tak
terstruktur melalui percakapan telepon, sedangkan pengumpulan data subjek kedua
dilakukan dengan cara perekaman ketika subjek sedang menceritakan pengalaman
pribadinya. Karena subjek kedua bukanlah subjek utama maka transkrip rekaman
disampaikan pada lampiran, sedangkan subjek pertama karena sebagai subjek utama
maka transkrip disampaikan pada subbahasan ini. Berikut hasil transkrip percakapan
antara peneliti (P) dan subjek penelitian pertama/utama, Rama (R):

5
Pelaku Tuturan Kode
P Rama sekarang kelas berapa? 1
R Dua 2
P Sekolahnya dimana? 3
R KebonagUng (Kebonagung) 4
P Berapa temanmu di kelas? 5
R Tiga puluh Satu 6
P Ada yang nakal apa tidak? 7
R Ada 8
P Siapa namanya? 9
R Wahar 10
P Bagaimana nakalnya? 11
R Sukak ngganggu 12
P Suka mengganggu bagaimana? 13
R Gak suka belajar 14
P Kamu tidak pernah dijahati? 15
R SerIng (sering) 16
P Jahatnya bagaimana? 17
R Suka’ ambil pensilku 18
P Coba Rama cerita kok sampai bisa diambil pensilnya? 19
R Aku ngerjakan tugas, trus dia deket aku ambil pensilku 20
P Kamu tidak marah? 21
R Ya marah 22
P Terus dia tidak dimarahi bu guru? 23
R Ya 24
P Bu guru berkata apa? 25
R Gak boleh ambil pensilnya temen ya? 26
P Tadi di sekolah Rama bagaimana? 27
R Ya belajar 28

6
P Bisa? Rama belajar apa? 29
R Matematika 30
P Matematika? 31
R Ya 32
P Coba Rama bercerita tentang temannya, bisa? 33
R Apa? 34
P Misalnya Rama disuruh bercerita tentang temannya bisa? 35
R Nggak bisa 36
P Ayo di coba, cerita tentang temannya yang baik atau yang nakal? 37
Bisa?
R Temenku yang nakal namanya Farhat 38
P Terus? 39
R Dia suka ngganggu temen-temennya 40
P Mengganggunya dipukul apa usil? 41
R UsIl (usil) 42
P Bagaimana usilnya? 43
R Suka’ ngambil topi 44
P Rama pernah berekreasi bersama teman sekolah? 45
R Apa? 46
P Disekolah, bersama teman sekolah, pernah rekreasi? 47
R Nggak pernah 48
P Rama sendiri pernah rekreasi bersama mama? 49
R SerIng (sereng) 50
P Ke mana? 51
R Ke malang 52
P Coba cerita, tempatnya di mana, melihat apa saja, coba? 53
R Aku liburan ke songgoriti, 54
P Terus? 55
R Berangkat jam 6 pagi dari rumahku. Sampai disana, aku berenang 56

7
P Berenang? 57
R Berenang sama kakakku 58
P Terus kemana lagi? 59
R Ke selekta 60
P Ada apa di selekta? 61
R Ada kolam renang sama taman bunga 62
P Bagus apa tidak taman bunganya? 63
R Bagus 64
P Coba, Rama disuruh bercerita dari awal berangkat rekreasi sampai 65
pulang bisa? Dari awal, saya pergi kemana, sampai pulang, bisa?
R Bisa 66
P Coba? 67
R Saya pergi ke malang. Bersama mama dan kakak. Aku ke 68
songgoriti. Disana aku bermain dan berenang. Pulang dari sana
aku ke selekta. Aku pergi ke taman bunga. Aku berenang lagi.
Pulangnya aku ke pasar buah.
P Beli apa? 69
R Apel dan jerUk (jeruk) 70
P Terus sekarang Rama libur apa masih sekolah? 71
R Masih sekolah 72

D. Analisis
D.1 Analisis Perkiraan MLU (Mean Length of Utterance)
MLU (Mean Length of Utterance) atau Panjang Ujaran Minimal merupakan
satu jenis indeks untuk memperkirakan perkembangan atau penguasaan bahasa secara
umum. MLU digunakan untuk mengukur perkembangan sintaksis bahasa
(Dardjowidjojo,2012:241). MLU digunakan sebagai kayu pengukur produktiviti
linguistik seseorang kanak-kanak. Kesahihannya amat bergantung kepada data yang

8
dapat dikumpul oleh seseorang pengkaji. Cara pengiraan MLU adalah dengan
membagikan jumlah morfem dengan jumlah ujaran.

Jumlah morfem
MLU = ──────────
Jumlah ujaran

Berikut tabel analisis MLU pada subjek Rama :

Pola kalimat Jumlah ujaran Jumlah morfem MLU


1 kata 15 15
2 kata 8 16
3 kata 7 21
4 kata 5 20 JM : JU = 2,841
5 kata 4 20
6 kata 4 24
9 kata 1 9
TOTAL 44 125

D.2 Analisis Interferensi Fonologis


Interferensi fonologis pada rekaman yang pertama (subjek pertama siswa
kelas satu SD) hanya terjadi pada sistem bunyi vokal, sedangkan untuk bunyi
konsonan sudah tidak terjadi interferensi. Interferensi bunyi vokal ini pun juga tidak
pada semua bunyi vokal. Interferensi ini hanya terjadi pada vokal [i] dan [u],
misalnya pada kata :
- ‘kebonagUng’ (4),
- ‘serIng’ (16 dan 50),
- ‘usIl’ (42), dan
- ‘jerUk’ (70)
yang diucapkan oleh subjek.
Pada rekaman dari subjek kedua (siswa kelas enam SD), sudah tidak lagi
nampak adanya interferensi fonologis, baik bunyi vokal maupun konsonan. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan maka tingkat interferensi dari

9
bahasa pertama ke bahasa kedua yang dipelajari akan semakin kecil dan lama
kelamaan bisa hilang. Jika interferensi tersebut sudah hilang maka siswa tersebut bisa
dikatakan sudah menguasai sistem bunyi bahasa kedua dengan baik. Pembuktian
terhadap simpulan ini bisa dilihat pada lampiran satu dan dua yang berupa transkrip
rekaman dari subjek.

D.3 Analisis Interferensi Morfologis


Interferensi morfologis yaitu adanya pengaruh sistem morfologis bahasa
pertama pada sistem morfologis bahasa kedua. Pada penelitian ini akan dipaparkan
bagaimana sistem morfologis bahasa Jawa berpengaruh terhadap sistem morfologis
bahasa Indonesia yang dipelajari siswa. interferensi morfologis pada penelittian ini
dibagi menjadi dua, yakni interferensi morfem utuh dan interferensi morfofonemik.
Berikut ini adalah contoh interferensi morfologis utuh yang didapatkan dari subjek,
yakni pada dialog nomor :
- (16) ‘gak’,
- (14) dan (20) ‘ambil’,
- (36) dan (48) ‘nggak’,
- (54) ‘liburan’, serta
- (58) dan (62) ‘sama’.
Kata-kata tersebut mengalami interferensi dari bahasa Jawa ke bahasa
Indonesia, misal pada kata ‘gak’ dan ‘nggak’ merupakan kosakata bahasa Jawa yang
menjadi varian dari kosakata bahasa Indonesia ‘tidak’. Pada kata ‘liburan’, kata ini
merupakan konsep kata bahasa jawa jika mengacu pada dialog nomor (54),
penggunaan kata tersebut sama dengan penggunaan kata yang sama pada kalimat ini
“Aku arepe liburan menyang Malang”. Jadi, penggunaan kosakata yang tepat untuk
dialog nomor (54) adalah ‘berlibur’, bukan ‘liburan’.
Interferensi morfologis ada kalanya juga terjadi pada tataran morfofonemis,
dan mungkin ini adalah interferensi yang cukup sering terjadi pada tataran
morfologis. Sebagai contoh intereferensi ini adalah ‘Ngganggu’ (12) dan (40),
‘ngerjakan’ (20), ‘pensilnya’ (26), ‘namanya’ (38), ‘ngambil’ (44), dan

10
‘Pulangnya’ (68). Kosakata ‘ngganggu’, ‘ngerjakan’, dan ‘ngambil’ merupakan
interferensi morfofonemis antara bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia. Pada bahasa
Jawa, kita mengenal istilah afiks “N” (nasal) yang mengubah kata benda menjadi kata
kerja, misal sapu menjadi nyapu. Pada contoh di atas, afiks “N” (nasal) tidak ada
dalam kaidah morfofonemis bahasa Indonesia. Jadi, beberapa contoh di atas adalah
bahasa Indonesia yang menggunakan afiks bahasa Jawa.
Pada contoh di atas, khusus untuk kata ‘pensilnya’, ‘namanya’, dan
‘pulangnya’, imbuhan ‘-nya’ pada kata-kata tersebut tidak berfungsi sebagai kata
ganti posesif karena pada dialog tidak menunjukkan fungsi tersebut. Imbuhan ini
merupakan imbuhan yang terinterferensi dari imbuhan bahasa Jawa ‘-e’. Meskipun
pada bahasa Jawa imbuhan ‘-e’ juga merupakan kata ganti posesif, seringkali tidak
digunakan untuk fungsi tersebut, misalnya pada kalimat, “Tristane wonten, Buk?”.
Jika kalimat tersebut diubah ke dalam bahasa Indonesia dengan tetap menggunakan
struktur bahasa Jawa maka kalimat tersebut adalah “Tristannya ada, Buk?”.

D. 4 Analisis Interferensi Sintaktis


Interferensi sintaktis merupakan sebuah fenomena adanya pengaruh sistem
sintaktik bahasa pertama yang digunakan untuk membuat/memproduksi kalimat
bahasa kedua oleh siswa. Berikut ini adalah contoh-contoh interferensi sistem/pola
sintaktik bahasa pertama (Jawa) terhadap pembuatan/pemproduksian kalimat bahasa
kedua (Indonesia).

Tuturan subjek Pola bahasa jawa Pola bahasa Indonesia


(baku)
ku ngerjakan tugas, trus dia Aku nggarap tugas, Ketika aku mengerjakan
deket aku ambil pensilku terus deweke nyedeki tugas, dia mendekatiku,
(20) aku lan jukuk potelotku. kemudian mengambil
pensilku.
Temenku yang nakal Koncoku sing nakal Temanku yang nakal

11
namanya Farhat. (39) jenenge Farhat. bernamaFarhat.
Aku ke songgoriti. Aku menyang Aku pergi ke Songgoriti.
Songgoriti.
Pulangnya aku ke pasar Mulihe, Aku menyang Pada waktu perjalanan
buah. (68) pasar buah. pulang, aku mampir ke
pasar buah.

Berdasarkan beberapa contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada


kecenderungan subjek untuk membuat kalimat utuh (terdiri atas SPO±K) bahasa
kedua (Indonesia), akan membuat kalimat dengan pola atau struktur kalimat bahasa
pertama (Jawa).

E. Kesimpulan
Simpulan penelitian ini sebagai berikut.
(1) Ketika seseorang atau siswa sedang mempelajari atau berusaha menguasai
lebih dari satu bahasa, ada kecenderungan untuk terjadi interferensi dari
sistem bahasa yang satu ke sistem bahasa yang lain.
(2) Ketika seorang siswa sudah menguasai bahasa pertama (bahasa Jawa) dan
mempelajari/berusaha menguasai bahasa kedua (bahasa Indonesia), ada
kecenderungan ketika seseorang/siswa tersebut masih dalam proses belajar
akan terjadi interferensi dari sistem bahasa Jawa ke bahasa kedua, yakni
bahasa Indonesia.
(3) Interferensi sistem bahasa pertama kepada bahasa kedua bisa terjadi pada
tataran fonologis, morfologis, sintaktis, dan semantis. Akan tetapi, dalam
penelitian ini interferensi pada tataran semantis tidak ditemukan. Oleh karena
itu, dalam penelitian ini hanya dipaparkan tiga interferensi, yakni interferensi
fonologis, morfologis, dan sintaktis.
(4) Interferensi yang terjadi pada siswa dengan jenjang lebih rendah akan lebih
banyak daripada siswa yang berada pada jenjang lebih tinggi. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan maka

12
semakin kecil tingkat interferensinya karena semakin tinggi jenjang
pendidikan maka semakin besar tingkat penguasaan siswa terhadap sistem
bahasa kedua yang dipelajari.
(5) Ketika seorang siswa sudah menguasai sistem bahasa kedua (bahasa
Indonesia), ada kemungkinan tingkat interferensi sistem bahasa pertama
terhadap bahasa kedua sangat kecil bahkan mungkin tidak terjadi lagi.

Daftar Pustaka

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik – Perkenalan Awal. Jakarta
: Rhineka Cipta.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2012. Psikolinguistik – Pengantar Pemahaman Bahasa


Manusia. Jakarta : Pustaka Obor.

Dulay, Heidi. Dkk. 1982. Language Two. New York : Oxford

13

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai