Anda di halaman 1dari 7

Pengaruh Bahasa Ibu Terhadap

Pembelajaran Bahasa Indonesia


Ayo Suwaryo
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Siliwangi
Email: ayosuwaryo.rb@gmail.com

Abstrak
Belajar merupakan suatu proses usaha seseorang untuk memperoleh pengetahuan,
perubahan sikap, sertra keterampilan. Bahasa sebagai bagian dalam kehidupan sangat
berpengaruh terhadap perkembangan pengetahuan, pengalaman, dan komunikasi.
Sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa Indonesia digunakan dalam setiap kegiatan
yang bersifat resmi kenegaraan, termasuk sebagai bahasa pengantar dalam bidang
pendidikan. Secara nasional kedudukan bahasa Indonesia adalah pada tingkat pertama,
bahasa daerah pada tingkat kedua, dan bahasa asing pada tingkat ketiga. Tetapi bagi
sebagian besar orang Indonesia, dilihat dari segi emosional, keakraban, dan perolehan,
bahasa daerah menduduki tingkat pertama, bahasa Indonesia menduduki tingkat kedua,
dan bahasa asing pada tingkat ketiga. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap
pembelajaran bahasa Indonesia, dan memungkinkan terjadinya campur kode. Maka
dalam tulisan ini akan dibahas mengenai wujud dari Campur kode tersebut. Adapaun
metode yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif dengan pendekatan sosiolinguistik.
Berdasarkan hasil penelitian Rulyandi, dkk. Peristiwa campur kode tidak hanya
dilakukan oleh siswa melainkan juga oleh gurunya.Peristiwa tersebut terjadi antara
pemakaian bahasa Indonesia dengan bahasa ibu (bahasa daerah), karena bahasa ibu
sudah melekat pada diri siswa sejak kecil, sedangkan saat pembelajaran dituntut untuk
menggunakan bahasa Indonesia, sehingga secara spontan mengkombinasikan kedua
bahasa tersebut. Dan hal tersebut sudah merusak tatanan bahasa Indonesia.

Kata kunci: Bahasa ibu, Pembelajaran, bahasa Indonesia.

PENDAHULUAN

Belajar merupakan suatu proses usaha seseorang untuk memperoleh pengetahuan,


dan perubahan tingkah laku (sikap) serta keterampilan. Salah satu mata pelajaran wajib
yang ada di sekolah yaitu pembelajaran bahasa Indonesia. Pembelajaran bahasa
Indonesia sangatlah penting, karena bahasa adalah alat komunikasi yang unuversal.
Dengan bahasa kita dapat menyampaikan ide, gagasan, perasaan, dan pesan kepada
orang lain. Dan bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa. Sehingga bahasa
Indonesia juga digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran.
Terdapat dua jenis bahasa sebagai alat komunikasi, yaitu bahasa tulis dan bahasa
lisan. Penggunaan bahasa tulis terjadi antara penulis dan pembaca, sedangkan bahasa
lisan terjadi antara pembicara dan pendengar. Sehingga menurut NIda, 1957 dan Harris,
1977 (dalam Tarigan, 2015: 1) keterampilan berbahasa mempunyai empat komponen,
yaitu (1) keterampilan menyimak (listening skills), (2) keterampilan berbicara (speaking
skills), (3) keterampilan membaca (reading skills), dan (4) keterampilan menulis
(writing skills).

Berbicara adalah berkomunikasi dengan ujaran. Ujaran sebagai suatu cara


berkomunikasi sangat mempengaruhi kehidupan individual kita. Ujaran merupakan
suatu bagian yang integral dari keseluruhan personalitas atau kepribadian,
mencerminkan lingkungan sang pembicara, kontak sosial, dan pendidikannya (Tarigan,
2005:15). Identitas seseorang dapat kita kenali dari bahasanya, khususnya bahasa lisan,
karena setiap daerah mempunyai dialek yang berbeda.

Penggunaan dua bahasa atau lebih dalam peristiwa komunikasi merupakan


fenomena yang biasa terjadi. Begitu pun dalam proses pembelajaran. Hal ini dapat
terjadi karena paling tidak seorang siswa mempunyai dua bahasa, yaitu bahasa ibu (B1)
dan bahasa Indonesia (B2) sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran di sekolah,
sehingga terjadi kontak bahasa.Kontak bahasa yang terjadi pada seorang bilingual
menimbulkan saling pengaruh antara bahasa pertama (B1) dengan bahasa ke dua (B2).
Saling pengaruh antara B1 dan B2 berarti bahwa B1 mempengaruhi B2, atau senaliknya
B2 mempengaruhi B1. Kontak B1 dan B2 terjadi pada individu yang menggunakan
kedua bahasa tersebut secara bergantian. (H. Harsia dalam jurnal pendidikan,
pengajaran bahasa dan sastra ONOMA PBSI FKIP Universitas Cokroaminoto Palopo).

Berdasarkan asumsi yang ada bahwa penguasaan siswa terhadap B1 lebih baik
daripada penguasaannya terhadap B2, karena B1 adalah bahasa ibu yang dipelajari dan
digunakan sejak kecil dalam keluarga. Sedangkan B2 adalah bahasa yang baru ia
pelajari ketika ia masuk sekolah. Penguasaan B1 yang lebih baik daripada B2, dan
kesempatan untuk menggunakan B1 lebih luas daripada kesempatan untuk
menggunakan B2, memungkinkan B1 siswa akan mempengaruhi B2 nya.

Ketika pembelajaran berbicara khususnya seperti ceramah, debat, dan sebagainya,


kemungkinan siswa akan menggunakan B1 nya berdampingan dengan B2 pada saat
pembelajaran, yang kita kenal dengan istilah campur kode. Yaitu penggunaan dua
bahasa pada seorang bilingual pada waktu atau situasi yang sama. Siswa memasukan
unsur-unsur bahasa ibunya ke dalam bahasa Indonesia saat berbicara. Penomena
tersebut terjadi pada proses pembelajaran bahasa Indonesia seperti ceramah dan debat.
Karena biasanya bahasa lisan lebih spontan daripada bahasa tulis.

Berdasarkan latar belakang di atas, pemakaian bahasa dalam proses pembelajaran


bahasa Indonesia sangat menarik untuk di teliti. Adapun rumusan masalahnya yaitu (1)
bagaimana pengaruh bahasa ibu terhadap pembelajaran bahasa Indonesia? (2)
bagaimana wujud campur kode yang terjadi dalam pembelajaran bahasa Indonesia? dan
(3) faktor apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya campur kode dalam
pembelajaran bahasa Indonesia?

Beberapa teori yang mendukung untuk menjelaskan konsep dalam penelitian ini
diantaranya teori tentang sosiolinguistik yaitu bilingualisme dan campur kode. Menurut
pandangan sosiolinguistik bahasa dapat dikaji secara internal dan eksternal. Kajian
secara eksternal berarti kajian itu dilakukan terhadap hal-hal atau faktor-faktor yang
berada di luar bahasa, yang berkaitan dengan pemakaian bahasa itu oleh para
penuturnya. (Chaer dan Agustina, 2010:1).

Pada tulisan ini akan dibahas mengenai pengaruh bahasa ibu siswa terhadap
pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya pembelajaran berbicara seperti ceramah dan
debat. Mengetahui faktor-faktor yang dapat menyebabkan hal itu terjadi menjadi sangat
penting. Agar peristiwa campur kode pada saat pembelajaran dapat diminimalisir.

METODE

Penelitian ini merupakan studi deskriptif kualitatif dengan teknik analisis isi
terhadap data hasil penelitian Rulyandi, dkk. yang berdasarkan pada pendekatan
sosiolinguistik. Penelitian ini difokuskan pada tuturan guru yang menggunakan alih
kode dan campur kode saat berinteraksi dengan siswa dalam pembelajaran bahasa
indonesia di SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta. Yang menjadi objek dalam penelitian
ini adalah teks dialog guru dan siswa dalam jurnal tersebut. Teks dialog tersebut diamati
dengan berpedoman pada buku dan jurnal mengenai ilmu sosiolinguistik yang
menjelaskan tentang alih kode dan campur kode. Adapun langkah-langkahnya yaitu
pengumpulan data, mengamati data, menafsirkan data, dan penarikan kesimpulan, yang
kemudian dituangkan dalam bentuk deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian Rulyandi, Muhamad Rohmadi, dan Edy Trisulistyo


pada jurnal yang berjudul "Alih Kode dan Campur Kode dalam Pembelajaran Bahasa
Indonesia di SMA", dalam penelitiannya di SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta mereka
menemukan adanya peristiwa alih kode dan campur kode pada saat pembelajaran
bahasa Indonesia. Yaitu adanya penggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu (B1)
mereka dan bahasa Indonesia sebagai bahasa keduanya (B2). Peristiwa alih kode dan
campur kode tidak hanya dilakukan oleh siswa melainkan juga oleh gurunya, dengan
alasan agar siswa lebih mudah dalam memahami materi yang ia ajarkan, agar
pembelajaran tidak terkesan monoton karena terlalu kaku, dan tidak semua siswa dapat
memahami bahasa Indonesia dengan baik. Sebagaimana pada contoh berikut yang saya
kutip dari jurnal (PAEDAGOGIA, jilid 17, nomor 1, Februari 2014, halaman 27-39).

Guru: "Nek rumus baca cepat?"

Siswa: "KPM"

Guru: "contone"

Siswa: "membaca..."

Guru: "membaca apa ya?"

Siswa: "ni ada"

Data tersebut menunjukan bahwa bahasa ibu sangat mempengaruhi pembelajaran


bahasa Indonesia, sehingga terjadinya campur kode. Seperti tampak pada kalimat "Nek
surat kabar; rumus baca cepat?", Kata 'Nek' merupakan kata bahasa Jawa yang berarti
'kalau', dan frasa 'surat kabar' dan 'rumus baca cepat' adalah bahasa Indonesia.
Kemudian kata “contone” merupakan kata bahasa Jawa yang berarti ‘contohnya’dalam
bahasa Indonesia.

Keputusan tersebut memang tujuannya baik, yaitu untuk mempermudah siswa


dalam memahami materi. Namun dengan demikian siswa akan terbiasa dengan adanya
campur kode tersebut. Sehingga siswa kurang memahami mengenai batasan-batasan
bahasa Indonesia yang layak untuk dipergunakan ketika ia berbicara di depan umum.

Ketika pembelajaran ceramah misalnya, guru memberikan tugas kepada siswa


untuk membuat teks ceramah yang akan dipraktikan di depan kelas. Siswa akan
membuat teks ceramah dengan menggunakan bahasa Indonesia, namun di dalam teks
tersebut kemungkinan akan ada kata atau frasa yang menggunakan bahasa ibunya,
karena mungkin saja terdapat suatu konsep yang ia anggap sulit jika dijelaskan dalam
bahasa Indonesia. Hal itu terjadi karena ia lebih menguasai B1 nya daripada B2.

Kalau pun teks ceramah tersebut sudah ia revisi dengan baik tanpa adanya campur
kode. Namun ketika ia mempraktikannya, membaca teks ceramah tersebut di depan
kelas, kemungkinan besar peristiwa campur kode itu akan muncul kembali. Karena
penguasaan terhadap bahasa ibu yang lebih baik dan lebih sering digunakan daripada
bahasa Indonesia yang hanya sebagai pengantar pembelajaran, akan dapat
mempengaruhi bahasa Indonesianya.

Suatu bahasa dapat dipelajari dari proses menyimak untuk kemudian ia dapat
berbicara menggunakan bahasa tersebut. Siswa menyimak bahasa ibunya dari sejak ia
lahir hingga sekarang, sedangkan siswa baru menyimak bahasa Indonesia ketika ia
masuk pada lingkungan pendidikan formal. Bahkan dalam pendidikan formal pun,
pengantar pembelajaran tidak seutuhnya menggunakan bahasa Indonesia. Sehingga
siswa lebih banyak kesempatan menyimak bahasa ibunya (B1) daripada bahasa
Indonesia (B2). Hal itu menyebabkan siswa lebih fasih berbahasa ibu (B1) daripada
berbahasa Indonesia (B2).

Berdasarkan uraian di atas, faktor penyebab terjadinya campur kode yaitu (1)
karena guru ingin menjelaskan suatu maksud tertentu, (2) karena situasi, (3) karena
ingin menjalin keakraban dengan siswa, dan (4) faktor yang paling utama yaitu
kurangnya penguasaan siswa terhadap bahasa Indonesia. Sedangkan menurut Dell
Hymes, 1972 (dalam Chaer dan Agustina, 2019 : 48) bahwa suatu peristiwa tutur harus
memenuhi delapan komponen yang dirangkaikan dalam akronim SPEAKING, yaitu
setting and scene (latar), participant (peserta), end (hasil), act (amanat), key (cara),
instrument (saran), norma (norma), dan genre (jenis).
SIMPULAN

Berdasarkan data hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan


bahwa bahasa ibu sangat berpengaruh terhadap pembelajaran bahasa Indonesia.
Lemahnya penguasaan terhadap bahasa Indonesia menyebabkan pembelajaran bahasa
Indonesia menjadi kurang efektif, karena adanya peristiwa campur kode pada proses
pembelajaran bahasa Indonesia. Peristiwa campur kode tersebut tidak hanya dilakukan
oleh siswa tetapi juga oleh guru.

Campur kode yang terjadi dalam pembelajaran bahasa Indonesia dapat berupa (1)
wujud campur kode berupa penyisipan kata dari bahasa ibu, (2) campur kode berupa
penyisipan frasa dari bahasa ibu, (3) wujud campur kode berupa klausa dari bahasa ibu,
dan (4) wujud campur kode berupa ungkapan yang berasal dari bahasa ibu. Peristiwa
campur kode tersebut dapat dengan mudah diamati pada pembelajaran berbicara seperti
ceramah. Karena biasanya bahasa verbal lebih spontan daripada bahasa tulis.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya campur kode yaitu (1) penutur, (2)
lawan tutur, (3) adanya konsep yang sukar dicari padanannya dalam bahasa Indonesia,
(4) adanya penguasaan terhadap bahasa ibu yang lebih baik daripada penguasaan bahasa
Indonesia, dan (5) untuk menjalin keakraban.

Pengaruh positif dari penggunaan bahasa ibu dalam pembelajaran bahasa


Indonesia yaitu proses belajar mengajar dapat berjalan dengan lancar karena adanya
saling memahami antara bahasa yang digunakan oleh guru dengan bahasa yang
digunakan oleh siswa, sehingga komunikasinya lebih interaktif, dan materi pelajaran
dapat dengan mudah dipahami oleh siswa. Namun dampak negatifnya, peristiwa
tersebut telah merusak tatanan bahasa Indonesia, yang diakibatkan adanya campur kode
pada penggunaan bahasa Indonesia, sehingga situasi pembelajaran menjadi tidak
formal.Dan siswa kehilangan batasan mengenai bahasa Indonesia yang baik dan benar.

DAFTAR PUSTAKA

Tarigan, Henri Guntur. 2015. Berbicara. Bandung: Angkasa.

Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 2010. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
H. Harsia. "Interperensi Gramatikal Bahasa Jawa Terhadap Bahasa Indonesia pada
Proses Pembelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas VI SMP Negeri 1
Mangkutana Kabupaten Luwu Timur". ONOMA. Vol 1. No 1. (2015): 1-12.
https://scholarship.google.co.id/scholarship?
jl=id&as_sdt=0%2C5&q=interperensi+gramatikal+bahasa+Jawa+terhadap+bahas
a+Indonesia+pada+proses+pembelajaran+bahasa+Indonesia+siswa+kelas+VI+S
MP+Negeri+1+mangkutana+kabupaten+Luwu+Timur&btnG=#d=gs_qabs&p=&
u=%23p%3D3BjBFLb3kgwJ

Rulyandi, Muhamad Rohmadi, dan Edy Tri Sulistyo. "Alih Kode dan Campur Kode
dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA". PEDAGOGIA. Vol 17. No 1.
(2014): 27-39. https://scholarship.google.co.id/scholarship?
gk=id&as_sdt=0%2C5&q=alih+kode+dan+campur+kode+dalam+pembelajaran+
bahasa+Indonesia+di+SMA&btnG=#d=gs_qabs&p=&u=%23p
%3Djt_DXDYIMRgJ

Anda mungkin juga menyukai