Anda di halaman 1dari 29

BAHASA PENGANTAR DAN

PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA

A. Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pembelajaran Sebagai Bahasa


Pengantar
Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar dalam dunia
pendidikan di Indonesia. Mulai dari pendidikan anak usia dini, taman kanak-
kanak hingga perguruan tinggi, walaupun masih ada ditemukan beberapa
lembag pendidikan menggunakan bahasa daerah sebagai pendamping bahasa
Indonesia dalam penyampaian pembelajaran. Senada dengan pendapat
Pamungkas (2012) bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi yang
harus digunakan dalam dunia pendidikan, seperti pada saat interaksi belajar
menjagar di dalam atau pun diluar kelas.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidikan memiliki dasar
hukum yang jelas. Mulai dari UU sampai peraturan pemerintah. Dasar hukum
tersebut bukan hanya dijadikan sebagai dokumen negara saja, tetapi wajib
direalisasikan sebagai wujud rasa setia, cinta, dan bangga terhadap bahasa
Indonesia. Selain itu, hal tersebut merupakan wujud dari pelindungan bahasa
Indonesia sesuai dengan Peraturan Menteri No. 57. Tahun 2014 Bab VI
Pelindungan Bahasa, Pasal 27 yang menyatakan bahwa pelindungan bahasa
bertujuan mempertahankan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional dan bahasa resmi Negara. Selanjutnya, hal-hal yang
dilakukan sebagai wujud pelindungan bahasa Indonesia, yaitu melalui
pendidikan, pengembangan dan pembinaan, penelitian, pendokumentasian
sampai dengan publikasi.

a. Fenomena
Krisisnya penggunaan bahasa indonesia di sekolah daerah.
Jika kita melihat fakta di lapangan akan banyak kita dapati
bahwa bahasa Indonesia ternyata belum menjadi bahasa utama
dan bahasa pengantar di sekolah-sekolah daerah. Sebagian besar
guru dan siswa masih terbiasa untuk menggunakan bahasa
daerah sebagai bahasa komunikasi, bahkan di saat pembelajaran
berlangsung. Maka kebiasaan ini tentu menyebabkan kedudukan
bahasa Indonesia sebagai bahasa negara mengalami krisis atas
eksistensinya.
Fungsi bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan lembaga
pendidikan adalah sebagai bahasa pengantar. Dalam
pembelajaran, bahasa pengantar seharusnya menggunakan
bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia perlu diterapkan sebagai
bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai dari
taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi di seluruh
Indonesia. Akan tetapi, menurut Mujid (2009) di beberapa
daerah-daerah seperti Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Madura, Bali,
dan Makassar masih banyak yang menggunakan bahasa daerah
sebagai bahasa pengantar sampai dengan tahun ketiga
pendidikan dasar. Pernyataan tersebut menyiratkan bagaimana
di daerah-daerah tertentu bahasa Indonesia belum menjadi
prioritas utama sebagai bahasa pengantar sehari-hari di lembaga
pendidikan. Bahasa daerah sebagai bahasa ibu masih menjadi
bahasa utama dalam komunikasi sehari-hari masyarakat, tidak
terkecuali di sekolah.
Sekolah sebagai tolok ukur pengembangan ilmu
pengetahuan dan tempat di mana terjadinya proses belajar
mengajar antara siswa dengan guru adalah sumber utama dari
penanaman nilai-nilai karakter serta nasionalisme bagi peserta
didik dalam upaya mendewasakan diri dengan ilmu pengetahuan
agar menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur dan cinta pada
ibu pertiwi. Namun, jika dalam penggunaan bahasa Indonesia
saja masih belum optimal, akankah nilai-nilai nasionalisme
siswa dapat terbentuk?
Faktor utama masih banyak sekolah yang masih
menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar dalam
pembelajaran di kelas karena bahasa daerah sebagai bahasa ibu
dirasa lebih mampu dipahami oleh peserta didik dibandingkan
penggunaan bahasa Indonesia.
Seorang peneliti dari lembaga INOVASI, George Adam
Sukoco, pernah mengadakan program kerja sama pendidikan
antara pemerintah Australia dan Indonesia untuk memfasilitasi
guru untuk belajar menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa
pengantar secara lebih efektif di dalam kelas. Mereka
melakukan program Pendidikan Multi Bahasa Berbasis Bahasa
Ibu (PMBBI). Program ini melibatkan sekitar 40 sekolah di dua
provinsi Indonesia bagian timur. Mereka memilih daerah
tersebut karena masih banyak siswa yang belum lancar
berbahasa Indonesia.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan pada 2019 di
Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, menunjukkan bahwa
pendekatan PMBBI yang diimplementasikan sejak awal 2018
mengindikasikan peningkatan kemampuan literasi siswa secara
umum. Tingkat kelulusan tes literasi dasar (mengenal huruf,
suku kata, dan kata) siswa dengan bahasa daerah meningkat dari
27% menjadi 79%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa peserta
didik yang diajarkan dengan bahasa daerah sebagai bahasa ibu
lebih mudah dan lebih cepat memahami materi pelajaran.
Hal yang sama juga terjadi di MTs Negeri 2 Bener Meriah.
Sebagai salah satu daerah yang mayoritas bersuku Gayo ini
dalam keseharian masyarakatnya juga masih kental dengan
penggunaan bahasa Gayo sebagai bahasa pengantar. Begitu pula
di tingkat sekolah, bahasa daerah akan banyak ditemukan di
kelas-kelas dalam proses pembelajaran. Alasan serupa menjadi
penyebab mengapa bahasa daerah masih digunakan dalam
proses pembelajaran. Karena dengan menggunakan bahasa
daerah dalam proses pembelajaran, siswa dianggap lebih mampu
memahami materi pembelajaran.
1. Pentingnya Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Pengantar
Menurut Ali (2006) pengantar merupakan manusia yang
mengantar, benda buat mengantar, penuntun, melihat secara selaku
perkataan sebagai pendahuluan. Orang yang penuntun di sini yaitu
guru. Guru harus mempunyai misi untuk mengantarkan siswanya ke
dalam sebuah pembelajaran agar guru dan siswa dapat mencapai
tujuan pembelajaran. Sedangkan alat untuk mengantarnya sendiri
dapat berupa sumber ajar seperti buku, internet, kamus dan lain-lain
sebagainya. Alat lainnya seperti fasilitas yang mendukung, seperti
kelas, papan tulis, laptop, infokus, sarana dan prasarana lainnya.
Pembimbing di sini maksudnya yaitu guru yang membimbing
siswanya agar mencapai tujuan pembelajaran.
Menurut Rahayu & Firmansyah (2018) berpendapat bahwa
pembelajaran yaitu suatu proses dimana pendidik secara langsung
memberikan pengajaran kepada peserta didik sebuah proses
pembelajaran untuk mengubah ulah tindakan sudah pasti yang akan
menghasilkan respon yang baik.
Seiring berkembangnya zaman, pendidikan masa kini mulai
menggunakan tradisi baru, yaitu penggunaan bahasa asing ataupun
bahasa daerah sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. Hal
ini dianggap memprihatikan bagi sebagian kelompok masyarakat akan
eksistensi bahasa Indonesia di masa mendatang.
Dalam dunia pendidikan peranan bahasa Indonesia memiliki peran
yang sangat terpenting dalam proses kegiatan belajar mengajar.
Persoalan akan muncul ketika guru dalam proses kegiatan belajar
mengajar menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia halnya sangat berharga dalam memberikan
segala sesuatu yang diketahui disekolah. Dengan begitu, akan
memudahkan guru untuk memberitahukan ilmu pengetahuan kepada
muridnya. Misalnya, pelajaran Bahasa Inggris antara Bahasa Sunda
pasti memerlukan Bahasa Indonesia sama perkataan pembimbing
sebuah proses pembelajaran. Sebab, jika guru tersebut tidak memakai
Bahasa Indonesia seperti perkataan pembimbing, proses pembelajaran
akan terhambat.
Oleh karena itu, tidak semua siswa mengerti dan dapat memakai
Bahasa Inggris dan Bahasa Sunda secara terus-menerus. Lebih-lebih
kalau di dalam kelas, pasti ada anak berbeda kemampuan. Ada yang
lancar dan ada pula yang tidak lancar. Solusinya dengan perantaran
Bahasa Indonesia agar proses mampu bergerak dengan baik.

a. Fenomena
Masih banyaknya penggunaan bahasa asing dan bahasa ibu
dalam dunia pendidikan. Banyak kalangan masih sangat berpikir
dangkal, bahwa standar internasional diartikan dengan lebih
berorientasi pada penggunaan bahasa, terlepas apakah para
pelaku pendidikan, termasuk para pelajar siap akan hal tersebut.
Dengan demikian fungsi bahasa Indonesia terancam.
Penggunaan bahasa Indonesia sudah mulai terpinggirkan oleh
bahasa asing sebagai bahasa yang wajib bagi sekolah-sekolah
RSBI maupun SBI untuk ditetapkan dalam kurikulum sekolah.
Belum lagi penggunaan bahasa Ibu dalam bahasa pengantar
dunia pendidikan yang tidak dimasukkan pada kurikulum
sekolah maka hal itu dapat kita tolelir, akan tetapi apabila
penggunaan bahasa asing mulai ditetapkan pada kurikulum
sekolah seperti pada sekolah RSBI maupun SBI maka fungsi
dan keberadaan bahasa Indoenesia akan terpinggirkan oleh
bahasa asing tersebut.
Kita semua mengetahui bahasa Indonesia merupakan alat
yang digunakan untuk berkomunikasi baik melalui lisan maupun
tulisan serta bahasa yang wajib digunakan sebagai bahasa
pengantar dalam pendidikan nasional.
Mengenai bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar
dalam dunia pendidikan, seperti yang telah kita ketahui bahwa
dunia pendidikan di sebuah negara memerlukan sebuah bahasa
yang seragam agar kelangsungan pendidikan tidak terhambat
atau terganggu. Pada Undang-undang No 24 Tahun 2009 Pasal
29 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut “Bahasa pengantar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan
bahasa asing untuk tujuan yang mendukung kemampuan
berbahasa asing peserta didik”.
Meskipun pasal 29 ayat (2) berbunyi seperti itu, tetapi
bahasa pengantar dalam dunia pendidikan harus diutamakan
menggunakan bahasa indonesia. Hal ini berkaitan dengan fungsi
bahasa sebagai alat komunikasi.
Hal ini dapat disiasati dengan lebih mengefektifkan proses
pembelajaran bahasa Indonesia dalam mata pelajaran bahasa
Indonesia. Pembelajaran lebih banyak diarahkan pada hal-hal
yang bersifat terapan praktis bukan kepada hal-hal bersifat
teorits. Siswa lebih banyak dikondisikan pada pemakaian bahasa
yang aplikatif tetapi sesuai dengan aturan bahasa Indonesia
secara baik dan benar. Dengan pengkondisian tersebut, siswa
menjadi terbiasa menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan
benar sesuai dengan kaidah kebahasaan.

2. Penggunaan Bahasa Indonesia Yang Baik Dan Benar


Bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa yang digunakan sesuai
dengan norma kemasyarakatan yang berlaku. Misalnya dalam situasi
santai dan akrab seperti, dibangun kopi pasar, tempat arisan, dan di
lapangan sepak bola hendaklah digunakan bahasa Indonesia yang
tidak terlalu terikat pada kaidah bahasa baku. Dalam situasi formal
seperti kuliah, seminar, dan pidato kenegaraan digunakan bahasa
Indonesia yang resmi dan formal.
Bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan aturan atau kaidah
bahasa Indonesia yang berlaku kaidah bahasa Indonesia itu meliputi
kaidah ejaan, kaidah pembentukan kata, kaidah penyusunan kalimat,
kaidah penyusunan paragraf, dan kaidah penataan penalaran. Jika
kaidah ejaan digunakan dengan cermat, kaidah pembentukan kata
ditaati secara konsisten, pemakaian bahasa dikatakan benar.
Sebaliknya jika kaidah-kaidah bahasa kurang ditaati pemakaian
bahasa tersebut dianggap tidak benar atau tidak baku.

a. Fenomena
Banyak nya anak zaman sekarang yang mencampur-
campurkan bahasa indonesia dengan bahasa inggris untuk
gurauan atau candaan. Misalnya seperti, “Which is karena aku
manusia literally literan bengsin ku hilang, jadi nga tau itu gone
gone gitu aja, which is semua people tau hidup tanpa love, bagai
taman tak berflowers.”
Penggunaan bahasa seperti itu sampai sekarang masih
berlangsung bahkan merambah ke berbagai kalangan termasuk
kalangan public figure seperti aktris dan politisi entah tidak
sengaja atau disengaja hanya sekedar agar terlihat lebih membaur
dengan masyarakat dengan tujuan tertentu.
Bila dilihat dari kedudukan bahasa Indonesia sesuai dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009
Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan maka penggunaan bahasa Indonesia yang dicampur-
campur dengan bahasa lain termasuk bahasa Inggris adalah
masalah yang perlu kita cermati dan kritisi keberadaanya apalagi
dilakukan oleh beberapa kalangan khususnya generasi muda
sekarang yang biasa disebut dengan generasi milenial.
Kridalaksana dalam E. Zaenal Arifin, dkk (2014:50),
mengatakan sikap (language attitude) bahasa adalah posisi mental
atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain.
Tidak semua orang senang atau bangga terhadap bahasa ibu atau
bahasa nasionalnya. Dengan adanya penggunaan bahasa campur-
campur tersebut memaksa kita harus mengakui bahwa genarasi
muda di negeri ini cenderung menyenangi bahasa asing
(khususnya bahasa Inggris). Sikap bahasa mereka sedang
melencang kalau tidak dikatakan salah.
Menurut Moeliono dalam E. Zaenal Arifin, dkk (2014:51)
menyimpulkan bahwa adanya enam sikap negatif terhadap bahasa
Indonesia di kalangan orang Indonesia. Keenam sikap negatif itu
adalah (1) sikap meremehkan mutu, (2) sikap yang suka
menerabas, (3) sikap tuna harga diri,(4) sikap yang menjauhi
disiplin bahasa, (5) sikap yang enggan memikul tanggung jawab,
dan (6) sikap yang suka melatah.
Perilaku penutur dalam pemakaian bahasa tersebut jelas
sangat memprihatinkan. Dengan mencampur penggunaan bahasa
Indonesia dengan bahasa Inggris yang sepotong-sepotong tersebut
menunjukkan tanda bahwa mereka terindikasi tidak memiliki
kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, dan kesadaran akan norma
bahasa. Lebih memprihatinkan lagi malah dipopulerkan oleh
tokoh/publik figur baik artis maupun tokoh masyarakat bahkan
tokoh politik.
kalangan masyarakat yang belakangan semakin marak
mencampur-campur bahasa Indonesia dengan potongan-potongan
kata atau kalimat bahasa Inggris adalah sikap negatif sebab
terindikasi meremehkan mutu bahasa Indonesia sebagai bahasa
resmi nasional. Mereka menerabas kaidah dan tata bahasa
indonesia yang telah ditentukan atau dibakukan, merasa lebih
percaya diri dan merasa dihargai dengan berbahasa campuran
yang dipotong-potong tersebut daripada menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Mereka mengabaikan aturan dan
kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar serta tidak peduli
dalam menjaga dan mengembangkan bahasa Indonesia sebagai
Bahasa resmi negaranya.
Fenomena ini tentu tidak dapat dibiarkan tanpa adanya
langkah-langkah yang konkret dan sistematis untuk menegakkan
kembali kebanggaan berbahasa Indonesia yang merupakan bahasa
resmi negara di hati sikap dan perilaku masyarakat Indonesia
khususnya generasi milenial yang akan memegang tongkat
kepemimpinan di masa yang akan datang.

3. Fungsi Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Pengantar Dalam


Pendidikan
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia
menjadi bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai
Taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
Suku-suku daerah, seperti Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Madura, Bali
dan Makassar yang menggunakan bahasa daerahnya sebagai bahasa
pengantar sampai dengan tahun ketiga pendidikan dasar.
penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di dunia
pendidikan tercantum dalam undang-undang Nomor 24 Tahun 2009
pasal 29 yang isinya sebagai berikut
1. Bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar
dalam pendidikan nasional.
2. Bahasa pengantar sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat
menggunakan bahasa asing untuk tujuan yang mendukung
kemampuan berbahasa asing peserta didik.
3. Penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
1 tidak berlaku untuk satuan pendidikan asing atau satuan pendidikan
khusus yang mendidik warga negara asing.
Dunia pendidikan di sebuah negara memerlukan sebuah bahasa
yang seragam sehingga kelangsungan pendidikan tidak terganggu.
Pemakaian lebih dari satu bahasa dalam dunia pendidikan akan
mengganggu keefektifan pendidikan. Biaya pendidikan menjadi lebih
hemat. Peserta didik dari tempat yang berbeda dapat saling
berhubungan. Bahasa Indonesia merupakan satu-satunya bahasa yang
dapat memenuhi kebutuhan akan bahasa yang seragam dalam
pendidikan di Indonesia. Bahasa Indonesia telah berkembang pesat
dan pemakaiannya sudah tersebar luas. Pemakaian bahasa Indonesia
dalam dunia pendidikan tidak hanya terbatas pada bahasa pengantar,
bahan- bahan ajar, tetapi juga pemakaian bahasa Indonesia.
Oleh karena itu, fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar
di dalam dunia pendidikan harus dilaksanakan mulai dari tingkat
taman kanak-kanak sampai ke perguruan tinggi diseluruh Indonesia.
a. Fenomena
Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar
dalam pendidikan juga dianggap sebagai upaya untuk
meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia di kalangan
masyarakat Indonesia. Hal ini karena penggunaan bahasa
Indonesia dalam berbagai konteks di sekolah dapat membantu
siswa memahami dan menguasai bahasa Indonesia dengan lebih
baik.
Pengetahuan mengenai bahasa Indonesia (terkhusus pada
dasar hukumnya) yang terbatas oleh guru dan siswa Bahasa
Indonesia merupakan bahasa pengantar dalam dunia pendidikan
nasional. Hal tersebut telah diatur dalam UU No. 24 Tahun 2009
Pasal 29, tepatnya pada ayat 1. Bunyi ayat 1 dari pasal tersebut,
yaitu “Bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa
pengantar dalam pendidikan nasional”.
Berdasarkan isi dari pasal tersebut, maka seharusnya para
pendidik merealisasikan aturan tersebut sebagai bentuk
kepatuhan terhadap hukum. Bukan hanya itu, tetapi sebagai
bentuk penghargaan dan kecintaan kepada bahasa Indonesia.
Hal tersebut bukan pula terfokus kepada pendidik saja, tetapi
kepada peserta didik selaku pihak yang terlibat dalam
pembelajaran di sekolah. Semua pihak yang terlibat dalam
proses pembelajaran atau dalam ranah pendidikan nasional
wajib menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.
Satu kendala dalam peralisasian atau mematuhi aturan
hukum tersebut adalah pengetahuan kebahasaan, baik aturan
dalam kebahasaan maupun aturan penggunaannya (khususnya
yang berkaitan dengan UU).
Dari hasil pengamatan peneliti, ditemui guru-guru atau
pendidik yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dalam
pembelajaran, begitu pula dengan peserta didik di kelas. Salah
satu penyebabnya yaitu ketika ditanya seputar aturan hukum
penggunaannya, masih ada saja guru yang tidak mengetahui
secara jelas. Hal tersebut berlaku pula pada peserta didiknya.
Masih adanya kosakata bahasa Indonesia yang belum
diketahui/dikuasai Bahasa Indonesia memang bahasa persatuan,
tetapi masih ada saja masyarakat khususnya pihak pelaksana
pendidikan yang terbatas penguasaan bahasanya. Hal ini terbukti
pada pelaksanaan atau pembelajaran guru biasa mengungkapkan
kata dengan menggunakan bahasa daerah atau asing untuk
menggantikan kata yang tidak diketahui dalam bahasa
Indonesia. Begitu pula dengan peserta didik.
Berikut beberapa kata yang jarang bahkan sedikit orang
yang mengetahuinya, yaitu: rebas, racau, berandang, cokol,
lasak, berdegap, lanyak, salak, nyenyat, gamang, dana camar.
Pihak-pihak sekolah mulai dari pendidik sampai peserta didik
ada yang berasal dari satu daerah atau beberapa daerah yang
berbeda sehingga bahasa daerahnya pun beragam. Beberapa
pihak tersebut bahasa ibunya/peratamanya adalah bahasa daerah,
sehingga penggunaan bahasa Indonesianya tidak begitu mahir.
Mereka mempelajari bahasa Indonesia di sekolah saja. Oleh
karena itu, hal ini menjadi kendala dalam pembelajaran dengan
menggunakan bahasa Indonesia. Masalah yang berkaitan dengan
bahasa daerah ini banyak ditemui di sekolah yang berada di
desa-desa, sedangkan yang berkaitan dengan bahasa asing,
umunya dihadapi di kota-kota.
B. Perkembangan Bahasa Indonesia
Perkembangan bahasa Indonesia lisan maupun tulisan berkembang
mulai pada saat terbentuknya, yaitu pada 28 Oktober 1928, bersamaan dengan
momen Sumpah Pemuda. Setelah terbentuk, bahasa Indonesia terus
berkembang seiring berlakunya ejaan Van Ophuijsen, Soewandi, Melindo
bahkan hingga ke Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Ini adalah beberapa
contoh sederhana bagaimana bahasa Indonesia dengan pesat mengalami
perkembangan. Bahasa Indonesia yang telah dikenal oleh khalayak umum
merupakan bahasa Melayu yang menjadi lingua franca atau bahasa
perhubungan di Nusantara kala itu. Bahasa Melayu telah ada dan digunakan
terlebih dahulu. Keberadaan bahasa Melayu pun dapat dilihat dalam saat
persiapan Kongres Pemuda tahun 1926, para pemuda masih
mempermasalahkan tentang sebutan bahasa persatuan Indonesia. Kemudian M.
Tabrani mengusulkan bahasa Melayu diganti dengan istilah bahasa Indonesia
dan hal ini pun disetujui bersama pada 2 Mei 1926.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dalam laman resminya telah mencantumkan
bahwa bahasa Melayu telah berada di kawasan Asia dan khususnya Asia
tenggara sejak abad ketujuh. Pernyataan ini juga tentu didukung oleh adanya
beberapa prasasti sepeti prasasti Talang Tuo di Palembang, bahkan prasasti
Karang Brahi di Jambi. Keberadaan prasasti-prasasti ini telah ada sejak tahun
680-an.

a. Fenomena
Banyaknya masyarakat penutur bahasa yang kecenderungan
pemfeodalan bahasa. kecenderungan-kecenderungan yang dapat
merusak ketertiban bahasa Indonesia, terlihat antara lain ialah
adanya pemfeodalan bahasa dan pemakaian gejala eufimisme
yang berlebihan. Kecenderungan pemfeodalan bahasa tampak
dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata yang biasanya
digunakan diganti dengan kata lain yang diangga lebih sopan,
halus, dan terhormat. Kecenderungan berbahasa seperti ini
biasanya tampak dalam bahasa Jawa Sunda dan Bali jika
seseorang akan berbicara dengan orangang lebih tinggi
kedudukannya, dia menggunakan kata-kata tertentu.
Kebiasaan seperti ini menular ke dalam bahasa Indonesia.
Kecenderungan pemfeodalan bahasa terlihat pada pemakaian
kata aku, saya, dan kami. Seorang bawahan berbicara kepada
atasan, misalnya ia tidak akan menggunakan kata aku karena
terasa kurang hormat. Oleh karena itu, seorang bawahan akan
menggunakan kata saya dalam situasi seperti itu. Akan tetapi,
ketika ia berbicara dengan orang yang sederajat atau orang
yang lebih rendah kedudukan sosialnya, ia akan menggunakan
kata aku, penggunaan kata aku tidak terasa kasar, bahkan
dengan teman sebaya dirasa lebih akrab.
Akhir-akhir ini, malah kata saya dianggap kurang halus
sehingga sebagian orang cenderung menggantinya dengan kat
kami ketika berbicara dengan orang yang dihormatinya. Itu
terjadi karena penutur menganggap kata kami lebih halus
daripada kata saya. Padahal, pemakaian itu salah. Kata kami
dipakai sebagai kata ganti orang pertama jamak, bukan kata
ganti orang pertama tunggal.
Disamping pemakaian kata-kata diatas, gejala pemfeodalan
terlihat juga pada pemakaian kata-kata lain, seperti kata
berkenan untuk menggantikan kata dipersilahkan, kata aturkan
untuk menggantikan kata ucapkan. Penggunaan seperti ini
dapat dilihat dari kalimat berikut: a) Inspektur upacara berkenan
meninggalkan lapangan. b) Atas bantuan saudara, saya aturkan
terima kasih. Penggunaan atau pemakaian kata yang
demikian itu tidaklah tepat, bahkan merusak karakteristik
bahasa Indonesia yang bersifat demokratis. Maksudnya,
ketika menggunakan bahasa Indonesia, kita tidak perlu
mempertimbangkan elemen kata mana yang lebih halus atau
lebih hormat. Pada prinsipnya, semua kata yang bersifat netral
dalam bahasa Indonesia dapat digunakan untuk berbicara
dengan siapapun.
Kecenderungan tersebut menyebabkan pergeseran nilai
makna suatu kata sehingga pemakaian kata dalam bahasa
Indonesia tidak tepat lagi. Pemakaian bahasa Indonesia yang
didasarkan kepada pertimbangan kelas sosial, lawan bicara, akan
menghilangkan demokratis bahasa Indonesia. Pemakaian yang
demikian dapat menghambat pertumbuhan bahasa Indonesia.
Padahal, menurut Habibie, (1998:5) salah satu pertimbangan
pendahulu kita memilih bahasa Indonesia menjadi bahasa negara
ialah karena bahasa Indonesia memenuhi syarat-syarat
demokratis untuk dijadikan sebagai bahasa negara modern.

1. Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang berasal dari bahasa
Melayu. Bahasa tersebut digunakan sebagai bahasa perantara (lingua
franca) atau bahasa pergaulan, di hampir seluruh wilayah Asia
Tenggara. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya prasasti-prasasti
kuno yang ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu.
Pada zaman Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 Masehi), bahasa
Melayu (bahasa Melayu Kuno) dipakai sebagai bahasa kenegaraan.
Hal itu dapat diketahui, dari empat prasasti berusia berdekatan yang
ditemukan di Sumatra bagian selatan peninggalan kerajaan tersebut.
Prasati tersebut di antaranya adalah dengan ditemukannya prasasti di
Kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo
berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686
M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi).
Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Pada
saat itu, bahasa Melayu yang digunakan bercampur kata-kata bahasa
Sanskerta. Sebagai penguasa perdagangan, di Kepulauan Nusantara,
para pedagangnya membuat orang-orang yang berniaga terpaksa
menggunakan bahasa Melayu walaupun dengan cara kurang
sempurna. Hal itu melahirkan berbagai varian lokal dan temporal pada
bahasa Melayu yang secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar
oleh para peneliti.
Penemuan prasasti berbahasa Melayu Kuno di Jawa Tengah
(berangka tahun abad ke-9) dan prasasti di dekat Bogor (Prasasti
Bogor) dari abad ke-10 menunjukkan penyebaran penggunaan bahasa
itu di Pulau Jawa. Penemuan keping tembaga Laguna di dekat Manila,
Pulau Luzon, berangka tahun 900 Masehi juga menunjukkan
keterkaitan wilayah tersebut dengan Sriwijaya.
Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bentuk
resmi bahasa Melayu karena dipakai oleh Kesultanan Malaka, yang
kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaanya terbatas
di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatra, Jawa, dan
Semenanjung Malaya. Kemudian, Malaka merupakan tempat
bertemunya para nelayan dari berbagai negara dan mereka membuat
sebuah kota serta mengembangkan bahasa mereka sendiri dengan
mengambil kata-kata yang terbaik dari bahasa di sekitar daerah
tersebut. Kota Malaka yang posisinya sangat menguntungkan
(strategis) menjadi bandar utama di kawasan Asia Tenggara. Bahasa
Melayu menjadi bahasa yang paling sopan dan paling tepat di kawasa
timur jauh. Ejaan resmi bahasa Melayu pertama kali disusun oleh Ch.
A. van Ophuijsen yang dibantu oleh Moehammad Taib Soetan
Ibrahim dan Nawawi Soetan Ma’moer yang dimuat dalam kitab Logat
Melayu pada tahun 1801.
a. Fenomena
Istilah gaul Memengaruhi perkembangan bahasa indonesia.
Era industri 4.0 merupakan era yang mengalami perkembangan
pesat dalam hal teknologi. Segala sesuatu yang dulu dilakukan
secara manual, kini berfokus pada sesuatu yang bersifat digital.
Perkembangan teknologi saat ini memiliki pengaruh bagi semua
kehidupan di dalam masyarakat dengan membuat sesuatu hal
yang baru. Adanya perubahan-perubahan tersebut tentunya
harus diantisipasi, terutama di kalangan generasi milenial.
Penggunaan media terutama media sosial tidak bisa lepas
dari kehidupan masyarakat khususnya generasi milenial.
Melakukan interaksi di media sosial tentunya tidak bisa
dipisahkan dengan cara kita berbahasa, hal ini sangat berkaitan
dengan adanya variasi bahasa yang digunakan generasi milenial
untuk berkomunikasi di media sosial. Variasi bahasa muncul
dari berbagai bahasa yang beragam pada setiap daerah, kelas
sosial, zaman yang berbeda, dan situasi bahasa yang mengalami
perubahan, salah satunya ialah bahasa gaul. Maraknya
penggunaan bahasa gaul dan munculnya berbagai kata dan
istilah baru menyebabkan generasi milenial sulit menerima
bahasa Indonesia yang baik dan benar dan memahami
kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
Anak muda saat ini lebih tertarik menggunakan bahasa gaul
yang membuat mereka lebih eksis di media sosial. Akibatnya,
kemampuan bahasa Indonesia yang baik dan benar tergerus
dengan munculnya bahasa gaul dan bahasa asing sehingga
keaslian dari sebuah kosakata dalam bahasa Indonesia akan sulit
diketahui oleh generasi milenial karena ketertarikan mereka
dalam menggunakan bahasa tersebut.
Misalnya, istilah mengsedih yang berarti bersedih,
mengcapek, mengkaget, dan masih banyak istilah-istilah baru
dalam bahasa gaul yang mencantumkan awalan meng- walaupun
tidak sesuai dengan kaidah pengimbuhan dalam bahasa
Indonesia. Dalam buku yang berjudul Bentuk dan Pilihan Kata
menjelaskan bahwa awalan meng- dapat digunakan sebagai
pembentuk kata dalam bahasa Indonesia. Awalan meng- dapat
mengalami perubahan bentuk jika digabungkan dengan kata
dasar yang berawal dengan huruf tertentu, misalnya huruf /k, g,
h, kh/ dan huruf vokal serta luluh apabila dirangkai dengan
huruf /k, p, t, s/. Kata dasar sedih apabila dirangkai dengan
gabungan imbuhan meng-…….-kan, maka terjadi peluluhan
menjadi menyedihkan. Selain itu, istilah membagongkan yang
seringkali dipakai ketika seseorang menunjukkan sesuatu yang
kurang jelas atau kurang dimengerti. Dalam hal ini,
membagongkan bermakna membingungkan.
Menggunakan bahasa di media sosial tidak harus mengikuti
tren, apalagi penggunaan yang secara tidak langsung dapat
merusak keutuhan bahasa Indonesia. Kebiasaan menggunakan
bahasa gaul akan membuat generasi milenial semakin sulit
menggunakan bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah
kebahasaan, terutama dalam lingkungan formal. Generasi
milenial akan sulit menggunakan bahasa Indonesia yang baik
dan benar dalam berkomunikasi.

2. Perkembangan Bahasa Indonesia Sebagai bahasa Negara


Satu hari setelah diproklamasikan kemerdekaan kemerdekaan
Negara kesatuan Republik Indonesia, yaitu pada tanggal 18 Agustus
1945 telah ditetapkan UUD 1945 yang didalamnya terdapat salah satu
pasal yaitu pasal 36 yang berbunyi “Bahasa negara ialah Bahasa
Indonesia”. Dengan demikian, sejak saat itu bahasa Indonesia menjadi
bahasa resmi negara sehingga dalam semua urusan yang berkaitan
dengan pemerintahan, kenegaraan, pendidikan, ataupun forum resmi
harus menggunakan bahasa Indonesia.
Kedudukan bahasa Indonesia terdapat juga dalam Undang-Undang
Dasar 1945. Pada salah satu pasalnya (pasal 36 dalam Bab VX) secara
khusus dinyatakan bahwa bahasa negara ialah bahasa Indonesia.
Diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945, dengan UUD 1945 sebagai dasar negara, memberikan
pengertian bahwa begitu merdeka kita telah memiliki bahasa resmi
negara. Yang demikian adalah satu hal yang perlu disyukuri karena
penentuan suatu bahasa sebagai bahasa resmi negara juga bukan
pekerjaan yang mudah dilakukan. Sebagai bukti, hingga kini masih
ada saja negara, seperti India, Filipina, Singapura, Malaysia, yang
belum berhasil menjadikan bahasanya sebagai bahasa resmi
negaranya. Bahasa resmi yang digunakan di masing-masing negara
tersebut adalah bahasa Inggris.
Buat kita bangsa Indonesia, kondisi seperti yang terjadi di sejumlah
negara tetangga di atas tidak menjadi bagian dari pengalaman kita
dalam memilih dan menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa
resmi negara. Keberuntungan ini tentu tidak lepas dari keberhasilan
bangsa kita sebelumnya dalam menetapkan bahasa Indonesia alias
bahasa Melayu yang sudah menjadi milik bersama semua suku bangsa
di Nusantara ini menjadi bahasa nasional. Selain itu, kenyataan pula
bahwa apabila perhitungan dilakukan terhadap jumlah penutur bahasa
Indonesia, baik sebagai bahasa pertama maupun bahasa kedua,
jumlahnya tetap pada posisi teratas.
Peningkatan jumlah penutur bahasa Indonesia kelihatannya terus
berlanjut. Hal itu tampaknya sejalan dengan faktor, antara lain, adanya
urbanisasi dan perkawinan antarsuku. Kondisi yang muncul akibat
faktor di atas membuat bertambahnya jumlah warga yang merasa
pentingnya penguasaan bahasa Indonesia. Sebaliknya, dalam kondisi
demikian, semakin banyak pula warga bangsa kita yang tidak lagi
merasa perlu menguasai bahasa 18 daerahnya. Kemudian, faktor
adanya orang tua yang ingin menjadikan anaknya penutur asli bahasa
Indonesia, juga dapat menjadi penyebab semakin banyaknya penutur
bahasa Indonesia.

a. Fenomena
Seiring dengan berjalannya waktu, bahasa Indonesia terus
berkembang dan menjadi semakin penting dalam berbagai aspek
kehidupan di Indonesia, seperti pendidikan, pemerintahan,
media massa, dan lain-lain. Beberapa fenomena terkait
perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara yang
terjadi antara lain:
Adanya perkembangan kosakata, Bahasa Indonesia terus
mengalami perkembangan kosakata yang baru, baik dari hasil
pinjaman kata dari bahasa asing maupun dari hasil kreasi
masyarakat Indonesia sendiri. Misalnya, kata "ngabuburit" yang
berasal dari bahasa Jawa yang artinya beraktivitas di waktu
menjelang berbuka puasa.
Untuk memenuhi tuntutan kebutuhan, masyarakat penutur
akan menggunakan kata dan istilah yang sesuai dengan
profesinya sekalipun harus meminjam kosakata bahasa asing.
Faktor sosial dan faktor kultural bangsa Indonesia memberikan
peluang yang besar untuk berlangsungnya proses peminjaman
bahasa yang demikian. Hal ini sudah menjadi kecenderungan
bagi penutur bahasa Indonesia, bahkan sudah dianggap lazim
dalam kehidupan berbahasa di Indonesia.
Penutur bahasa indonesia dengan segala ragam profesinya
cenderung menggunakan kata-kata dan istilah-istilah baru
kedalam bahasa Indonesia. Masyarakat penutur dari kalangan
pengusaha dan pengendali ekonomi tidak henti-hentinya
memasukkan kata-kata dan istilah-istilah baru yang berkaitan
dengan masalah ekonomi, seperti: dana amortisasi, dividen
agio, klausula perpanjangan polis, rush, dan sebagainya.
Masyarakat penutur dari kalangan intelektual cenderung
memperguna-kan kata-kata dan istilah-istilah baru sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti:
mitsubishi, kontroversial, komputerisasi, dan lain-lain. Dari
kalangan pendidikan, mereka juga tidak ketinggalan istilah
play group, achievement test, placement test, drop out,
output,dan input seolah-olah sudah menjadi bagian dari mereka.
Kecenderungan itu, biasanya, disertai dengan berbagai
alasan, misalnya: untuk kepentingan pendidikan, perdagangan
antar negara, kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi,
dan sebagainya. Semua alasan atas dasar kepentingan apapun
dapat diterima jika penggunaan istilah dan kata-kata itu sudah
dibakukan atau sudah disaring berdasarkan ejaan bahasa yang
disempurnakan dan pedoman umum pembentukan istilah
bahasa Indonesia. Akan tetapi, realitas yang sering ditemukan
dalam kehidupan berbahasa ialah kata-kata dan istilah-istilah
asing itu dipergunakan tanpa berpedoman kepada kaidah yang
telah ditentukan. Bahkan, bahasa asing itu seolah-olah sudah
menjadi bahasa resmi penutur bahasa Indonesia. Pemakaian
yang demikian dapat diamati di mana-mana.
Di berbagai instansi, kata-kata atau istilah-istilah asing
ditemukan untuk nama suatu ruangan, misalnya: meeting room,
operation room, toilet,dan sebagainya, sedangkan di pintu-pintu
tertulis in, exit, pull, push, closed, open, dan lain-lain.
Bahkan, pada keset pembersihsepatu di muka pintu pun
bertuliskan wellcome. Kecenderungan seperti ini perlu
dirisaukan. Dibuku-buku ilmiah yang dijadikan acuan dalam
perkuliahan atau pengembangan ilmu pengetahuan juga
ditemukan penyisipan kata atau istilah asing. Kecenderungan
itu dapat dilihat dari judul-judul buku berikut: a) Pengembangan
Udang Galah dalam Hatchery dan Budi Daya; b) Marketing
Masa Kini; c) Bagaimana Mengatasi Stress (Putro dan Thohari,
1998: 7). Di berbagai tempat yang banyak dikunjungi wisatawan
sering dijumpai rambu-rambu. Tanda-tanda, dan papan-
papan yang ditulis dengan bahasa asing, misalnya: Keep Your
City Clean, Padang City, dan lain-lain. Di samping itu, juga
ditemukan tulisan-tulisan dengan dua bahasa (Indonesia-
Inggris), misalnya di bagian atas ditulis Stasiun Kereta Api
dan di bagian bawahnya ditulis Railway Station. Kondisi
seperti ini seolah menggambarkan negara Republik Indonesia
merupakan negara dwibahasa, Indonesia-Inggris.
kecenderungan yang demikian dapat menggeser fungsi
bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara, fungsi sebagai
lambang identitas bangsa, dan fungsi bahasa Indonesia
sebagai lambang kebanggaan bangsa. Pernyataan di atas sejalan
dengan pendapat Kridalaksana, (1985:8) bahwa penggunaan
tanda-tanda atau simbol bahasa Inggris diinstansi-instansi
pemerintah terjadi karena proses komunikasi sosial yang tidak
dipahami dan nilai kebudayaan sendiri tidak dihargai.
Perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara
terus berlangsung dan akan terus mengalami perubahan dan
evolusi sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan
masyarakat

3. Dampak Perkembangan Bahasa Indonesia Dalam Proses


Pembelajaran
Perkembangan bahasa Indonesia memiliki dampak yang besar
dalam proses pembelajaran di Indonesia. Berikut adalah beberapa
dampaknya:
Mempermudah komunikasi antara guru dan siswa: Dengan
menggunakan bahasa Indonesia yang baku dan benar, guru dan
siswa dapat saling memahami dengan lebih mudah dan efektif.
Selain itu, pemahaman terhadap kosakata baru juga dapat membantu
siswa dalam memahami materi yang diajarkan.
Meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia: Dengan terus
berkembangnya bahasa Indonesia, siswa diharapkan dapat
menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Hal ini dapat
membantu siswa dalam mengikuti ujian nasional, ujian masuk
perguruan tinggi, dan karir di masa depan.
Meningkatkan kreativitas dan keberagaman bahasa:
Perkembangan bahasa Indonesia juga memungkinkan
penggunaannya untuk berbagai macam media, seperti televisi, radio,
buku, majalah, dan internet. Hal ini membuka peluang untuk
pengembangan kreativitas dan keberagaman bahasa di Indonesia,
sehingga siswa dapat terus belajar dan berkembang dalam berbahasa
Indonesia.
Memperkuat identitas nasional: Bahasa Indonesia sebagai
bahasa resmi negara Indonesia memperkuat identitas nasional
sebagai sebuah bangsa. Penguasaan bahasa Indonesia dengan baik
dan benar juga dapat membantu siswa memahami sejarah, budaya,
dan tradisi Indonesia.
Dalam rangka memanfaatkan perkembangan bahasa Indonesia
dalam proses pembelajaran, maka para pengajar harus senantiasa
meningkatkan kemampuan bahasa Indonesia mereka dan mengikuti
perkembangan bahasa Indonesia secara terus-menerus. Hal ini akan
membantu dalam memberikan pembelajaran yang lebih efektif dan
bermanfaat bagi siswa.
a. Fenomena
Fenomena dampak positif perkembangan bahasa indonesia
yaitu Peningkatan Kemampuan Komunikasi Perkembangan
bahasa Indonesia memungkinkan para siswa untuk
meningkatkan kemampuan komunikasi mereka dalam bahasa
Indonesia. Hal ini terutama berguna bagi siswa yang tidak
memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu mereka, karena
mereka dapat mengasah kemampuan berbahasa Indonesia
mereka melalui proses belajar dan berinteraksi dengan teman
sekelas.
Tetapi Muslich (2010:38-40) mengatakan bahwa bangsa
Indonesia sebagai pemakai bahasa Indonesia seharusnya bangga
menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dengan
bahasa Indonesia mereka bisa menyampaikan perasaan dan
pikirannya dengan sempurna dan lengkap kepada orang lain
Mereka semestinya bangga berbahasa Indonesia belum lagi
tertanam pada setiap orang Indonesia rasa menghargai bangsa
asing dahulu bahasa Belanda sekarang bahasa Inggris masih
terus menampak pada sebagian besar bangsa Indonesia mereka
menganggap bahwa bangsa asing lebih tinggi derajatnya
daripada bahasa Indonesia bahkan mereka tidak mau tahu
perkembangan bahasa Indonesia.
fenomena dampak negatif yang masih terjadi di tengah-
tengah masyarakat Indonesia khusunya remaja antara lain
sebagai berikut,
pertama banyak orang Indonesia memperlihatkan dengan
bangga kemahirannya menggunakan bahasa Inggris walaupun
mereka tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik.
kedua banyak kawan Indonesia merasa malu apabila tidak
menguasai bahasa asing atau Inggris tetapi tidak pernah merasa
malu dan kurang apabila tidak menguasai bahasa Indonesia.
ketiga banyak orang Indonesia menganggap remeh bahasa
Indonesia dan tidak mau mempelajarinya karena merasa dirinya
telah menguasai bahasa Indonesia dengan baik.
keempat banyak orang Indonesia merasa dirinya lebih
pandai daripada yang lain karena telah menguasai bahasa asing
atau Inggris dengan fasih walaupun penguasaan bahasa
Indonesianya kurang sempurna.

4. Perkembangan Ejaan Bahasa Indonesia Sampai Saat Ini


Menurut Mutmainah (2019) ejaan sebagai suatu perangkat aturan
yang berisi tentang bagaimana cara menggunakan huruf, kata, dan
tanda baca dalam penulisan bahasa. Namun, perlu ditegaskan bahwa
ejaan dengan mengeja merupakan dua hal yang berbeda. Sebab ejaan
merupakan cakupan lebih luas, yaitu membahas mengenai aturan
secara keseluruhan dalam menuliskan bahasa, sedangkan mengeja
hanya berkaitan tentang suatu kegiatan pelafalan huruf, suku kata,
atau kata.
Sejak bahasa indonesia dijadikan bahasa nasional bahasa pengantar
dan bahasa resmi bahasa Indonesia sudah mengalami beberapa kali
perubahan ejaan, ejaan tersebut adalah ejaan Van ophuysen, ejaan
Republik atau ejaan soewandi, dan ejaan bahasa Indonesia yang
disempurnakan.
pada tahun 1901 lahirlah ejaan Van ophuijsen ejaan ini
berlandaskan aturan ejaan Melayu dengan huruf latin yang dirancang
oleh Charles Andrian Van ophuysen dengan bantuan Engku Nawawi
gelar Soetan makmur dan Moehammad taib soetan Ibrahim Waktu itu
usah ke arah penyempurnaan ejaan mulai di rintis. hal-hal yang
menonjol dalam ejaan Van ophuysen yaitu huruf j dipakai untuk
menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang. huruf oe yang dipakai untuk
menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer. Tanda diaktritik, seperti
koma, ain dan tanda trema dipakai untuk menuliskan ma'moer, 'akal,
ta', pa', dinamai'.
kongres bahasa Indonesia 1 tanggal 25 sampai 28 Juni 1938 di Solo
kongres menyarankan agar ejaan lebih di internasional kan selanjutnya
pada tanggal 19 Maret 1947 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
penetapan ejaan Republik sebagai ejaan resmi penetapan mendasarkan
surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 19
Maret 1947 ejaan ini merupakan penyederhanaan ejaan yang
terdahulu. misalnya, boekoe menjadi buku. bunyi Hamzah dan bunyi
Sentak ditulis dengan K, seperti pada kata-kata tak,maklum, rakjat,
Pak. kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti anak2, ke barat2-
tan. awalan dan kata depan di penulisannya sama ditulis serangkai
dengan kata yang mengikutinya misalnya ditulis di rumah.
kongres bahasa Indonesia kedua diadakan di Medan pada tanggal
28 Oktober 2014 Pada kongres tersebut selain dibicarakan asal-usul
bahasa Indonesia juga dibicarakan penyusunan peraturan ajaran yang
praktis bagi Indonesia pada tahun 1659 sidang putusan Indonesia dan
Melayu menghasilkan konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal
dengan nama ejaan melindo atau Melayu Indonesia berdasarkan
konsep perjanjian persahabatan antara persekutuan Tanah Melayu dan
Indonesia dengan usaha mempersamakan kedua bahan tersebut akan
tetapi perkembangan ajaran ini terhenti karena situasi politik.
selanjutnya pada tahun 1967 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
menjalankan panitia Jangan bahasa Indonesia dengan tugas menyusun
konsep penyempurnaan ejaan pada tahun 1667 ketua gabungan P
komando operasi tinggi atau koti mengeluarkan surat tanggal 21
Februari 1667 surat tersebut berisi Rancangan peraturan ejaan yang
dahulu dipakai oleh tim koti sebagai bahan pembicaraan dengan
Malaysia tentang ejaan bahasa Indonesia dan ejaan Malaysia
pembicaraan tersebut diadakan di Jakarta tahun 1966 dan Kuala
Lumpur 1967 rancangan tersebut baru dikeluarkan bersama oleh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mashuri dan materi pelajaran
Malaysia Hussein onn rancangan tersebut dipakai sebagai bahan
pengembangan bahasa nasional kedua negara itu.
Selanjutnya pada tahun 1972 rancangan itu diseminarkan di puncak
dan diperkenalkan kepada masyarakat setiap Departemen Kemudian
pada tanggal 20 Mei 92 hasil rancangan tersebut ditetapkan sebagai
acuan pedoman ejaan bahasa Indonesia selain itu tanggal 16 Agustus
1972 Presiden RI meresmikan penggunaan EYD atau Keppres Nomor
57 tahun 1972 tanggal 31 Agustus 197.
a. Fenomena
Perkembangan bahasa pada zaman sekarang. Setiap
masyarakat dapat menyampaikan bahasa-bahasa unik yang
dipadukan dengan bahasa asing dan bahasa daerah (interferensi).
Pada akhirnya memunculkan bahasa-bahasa baru yang
dikonsumsi oleh masyarakat.
Perkembangan ekonomi kreatif khususnya yang
berhubungan dengan penamaan unit-unit usaha milenial ternyata
memiliki beragam bentuk fenomena ketidaksesuaian
penggunaan bahasa. Ketidaksesuaian tersebut dapat ditemukan
dari beragamnya penamaan unit usaha milenial yang tersebar di
ruang publik dan menjadi konsumsi publik setiap hari. Beberapa
temuan fenomena ketidaksesuaian penamaan bahasa,
diantaranya penamaan unit usaha milenial menggunakan
kerancuan istilah serapan dari bahasa asing, kemudian
penamaan unit usaha milenial menggunakan ejaan yang tidak
resmi, dan juga penamaan unit usaha milenial yang
menggunakan keleliruan pemaknaan.
Ketika fenomena yang menjadi kegamangan tersendiri
dalam pengawasan eksistensi bahasa Indonesia. Hal tersebut
dikarenakan setiap kegaduhan sengaja diciptakan oleh pemilik
usaha milenial untuk menarik perhatian konsumen yang
sebagian besar merupakan kaum milenial. Selain itu,
kegaduhan-kegaduhan tersebut sengaja diciptakan untuk
meningkatkan daya saing komersial antar setiap pemilik usaha.
Berdasarkan fenomena ragam bentuk kegaduhan penamaan
unit-unit usaha milenial, saran yang dapat dilakukan agar
eksistensi bahasa Indonesia dan sisi komersial dapat berjalanan
beriringan adalah dengan mengadakan sosialisasi kepada pelaku
unit usaha milenial tentang aturan perundang-undangan
penggunaan bahasa di ruang publik, selanjutnya melakukan
pelayanan bimbingan teknis terkait tata cara penyerapan bahasa
melalui Pedoman Umum Pembentukan Istilah (PUEBI), dan
juga memberikan pemahaman kepada pemilik usaha melalui
sebuah kegiatan gelar bicara bahwa citarasa dan dimensi metode
promosi lebih utama dibandingkan dengan pengolahan ragam
bentuk penamaan yang tidak sesuai dengan ruang lingkup tata
bahasa Indonesia yang baku.

Anda mungkin juga menyukai