Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SD

Tentang

Hakikat Pemerolehan Bahasa Anak

Di susun oleh:

Fauzia Buddesahira (22111081)

Azzahrah Sukma Sisko (22111241)

Ulva Suqrina (22111249)

Elsa Putri (22111265)


Fakhrusy Al Hafizh R (22111137)

Dosen Pengampu :

Dr. Chandra, S.Pd.,

M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

UNIVERSITAS ADZKIA PADANG


PADANG

2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunianya kepada kita semua sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Hakikat
Pemerolehan Bahasa Anak” dapat tersusun sampai dengan selesai. Penyusunan makalah ini
bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SD yang
dibimbing oleh Dr. Chandra, S.Pd., M.Pd sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Sholawat serta
salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan nabi besar kita yakni Nabi Muhammad SAW yang
telah membawa risalah yang penuh dengan ilmu yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
kita semua. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa di baca dan di praktekan dalam
kehidupan sehari-hari.

Padang, 17 Maret 2024

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pemerolehan Bahasa Anak
2.2 Tahapan Pemerolehan Bahasa Anak
2.3 Tahapan Pemerolehan Bahasa Kedua Anak
2.4 Tipe Pemerolehan Bahasa
2.5 Faktor Pendukung Pemerolehan Bahasa Kedua Anak
2.6 Implikasi Pemerolehan Bahasa Bagi Pembelajaran Bahasa Indonesia

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa perkembangan yang paling penting dan harus diperhatikan adalah ketika anak memperoleh
bahasa. Pemerolehan bahasa pada anak terjadi secara natural ketika anak memperoleh bahasa
pertamanya (Dardjowijojo, 2012: 255). Pemerolehan bahasa pada anak banyak ditentukan oleh interaksi
yang terjalin antara anak dengan orang-orang yang ada disekitarnya, dimana interaksi tersebut menjadi
prioritas utama dalam pemerolehan bahasa anak. Istilah pemerolehan bahasa atau dalam bahasa Inggris
disebut acquisition merupakan istilah yang mengacu pada pemerolehan bahasa pertama oleh anakanak,
dan bahasa kedua bagi orang dewasa dan anak-anak yang terjadi secara alami (Musfiroh, 2017: 15).
Pemerolehan bahasa pertama pada anak terjadi secara tibatiba dan tanpa disadari melalui proses
yang panjang yang muncul dari lingkungan masyarakat. Bahasa pertama yang diperoleh anak terjadi
apabila anak belum pernah mempelajari bahasa manapun, dan tahun-tahun pertama dalam hidup anak
digunakan dalam mempelajari bahasa pertama yang terus berlangsung hingga memasuki usia dewasa.
Pemerolehan bahasa pertama berbeda dengan pemerolehan bahasa kedua. Bahasa pertama merupakan
bahasa lisan yang pertama kali didengar oleh anak sejak dilahirkan dan digunakan dalam berbicara pada
tahap hidup selanjutnya. Berbeda dengan bahasa kedua yang dipelajari dan dipahami anak setelah
bahasa pertama ataupun bahasa ibu diperoleh dengan baik. Pemerolehan bahasa pertama merupakan
proses bawah sadar atau secara sadar tidak memiliki target tertentu, adapun pemerolehan bahasa kedua
merupakan proses yang dilakukan secara sadar dalam mempelajarinya (Musfiroh, 2017: 15).
Beberapa anak mengembangkan keterampilan bahasa tidak hanya dalam bahasa pertama, tetapi
juga dalam bahasa kedua (bahasa asing). Interaksi anak dengan masing-masing bahasa sangat
menentukan pemerolehan bahasa keduanya. Ketika anak mengembangkan dua bahasa, anak dianggap
terlibat dalam akuisisi bahasa kedua. Pemerolehan bahasa kedua pada anak dapat dilakukan melalui
proses pengajaran. Manfaat yang didapat ketika mengajarkan bahasa kedua sejak dini adalah anak akan
menunjukkan kesadaran yang kuat akan gaya dan nada bahasa, perkembangan kognitif yang lebih baik,
dan tingkat keterampilan membaca yang lebih tinggi (Allen, 2015; Berens, Jasińska & Petitto, 2014;
Jasinska & Petitto, 2013; Kovelman, & Petitto, 2013).
Salah satu upaya dalam mengajarakan bahasa kedua pada anak adalah dengan mengenalkan
kosakatanya. Penguasaan kosataka merupakan aspek yang sangat penting dalam menguasaan bahasa
(Iljam, 2009). Hal imi dikarenakan kosakata memberikan akses pembelajaran bahasa dalam semua
bentuk komunikasi, baik lisan maupun tulisan. Dengan demikian, semakin banyak anak mengetahui
kosakata semakin banyak ide dan gagasan yang dimiliki anak.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, yang menjadi pokok
permasalahan dalam makalah ini adalah :
1. Apa pengertian pemerolehan bahasa anak ?
2. Apa saja tahap pemerolehan bahasa anak ?
3. Apa saja tahap pemerolehan bahasa kedua anak ?
4. Apa saja tipe pemerolehan bahasa ?
5. Apa saja faktor pendukung pemerolehan bahasa kedua anak ?
6. Apa saja implikasi pemerolehan bahasa bagi pembelajaran bahasa Indonesia ?

1.3 Tujuan
1. Memahami hakikat pemerolehan bahasa anak.
2. Untuk mengetahui tahap pemerolehan bahasa anak.
3. Untuk mengetahui tahap pemerolehan bahasa kedua anak.
4. Untuk mengetahui tipe pemerolehan bahasa.
5. Untuk mengetahui faktor pendukung pemerolehan bahasa kedua anak.
6. Untuk mengetahui implikasi pemerolehan bahasa bagi pembelajaran bahasa
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pemerolehan Bahasa Anak

Menurut Dardjowidjojo (2008) istilah pemerolehan dipakai untuk menerjemahkan bahasa


Inggris, aquesition yang diartikan sebagai proses penguasaan bahasa secara alami dari seorang anak saat
ia belajar bahasa ibunya. Menurut Chaer dan Agustina (2014). Pemerolehan bahasa kedua atau
bilingualisme adalah rentangan bertahap yang dimulai dari menguasai bahasa pertama (B1) ditambah
mengetahui sedikit bahasa kedua (B2), lalu penguasaan B2 meningkat secara bertahap, sampai akhirnya
menguasai B2 sama baiknya denganB1. Menurut Akhadiah, S., dkk dalam (1997:2.2) pemerolehan
bahasa kedua adalah proses saat seseorang memperoleh sebuah bahasa lain setelah lebih dahulu ia
menguasai sampai batas tertentu bahasa pertamanya. Dari pengertian para ahli di atas dapat disimpulkan
bahwa pengertian pemerolehan bahasa kedua yaitu proses dimana seseorang telah menguasai bahasa
pertamanya terlebih dahulu kemudian memperoleh bahasa kedua yang sama baiknya dengan bahasa
pertama.

Proses Pemerolehan Bahasa

Stren dalam Akhadiah, S., dkk (1997:2.2) menyamakan istilah bahasa kedua dengan bahasa
asing. Tetapi bagi kondisi di Indonesia perlu membedakan istilah bahasa kedua dengan bahasa asing.
Bagi kondisi di (first languange) yang berwujud bahasa daerah tertentu, bahasa kedua (second
languange) yang berwujud bahasa Indonesia atau bahasa asing (foreign languange). Bahasa kedua
biasanya merupakan bahasa resmi di negara tertentu. Oleh karena itu bahasa kedua sangat diperlukan
untuk kepentingan politik, ekonomi, dan pendidikan. Dalam Chaer dan Agustina (2014) menerangkan
bahwa pada umumnya bahasa pertama seorang anak Indonesia adalah bahasa daerahnya masing-masing
karena bahasa Indonesia baru dipelajari ketika anak masuk sekolah dan ketika ia sudah menguasai
bahasa ibunya. Dibandingkan dengan pemerolehan bahasa pertama, proses pemerolehan bahasa kedua
tidak linear. Menurut Krashen dalam Akhadia, S.,dkk (1997:2.3) untuk anakanak, bahasa kedua adalah
hal yang lebih banyak dipelajari daripada diperoleh. Bila dilihat dari proses dan pengembangan bahasa
kedua ada dua cara yang dijelaskan oleh hipotesis pembedaan dan pemerolehan dan belajar bahasa yaitu:
 Cara pertama dalam pengembangan bahasa kedua adalah pemerolehan bahasa yang merupakan
proses yang bersamaan dengan cara anak-anak mengembangkan kemampuan dalam bahasa
pertama mereka. Hasil atau akibat pemerolehan bahasa, kompetensi yang diperoleh bawah
sadar. Cara-cara lain memberikan pemerolehan termasuk belajar implisit, belajar informal dan
belajar alamiah. Dalam bahasa nonteknis sering disebut pemerolehan "memunggut"bahasa.
 Cara kedua dalam pengembangan bahasa kedua adalah dengan belajar bahasa, yang mengacu
pada pengetahuan yang sadar terhadap bahasa kedua, mengetahui kaidah-kaidah, menyadari
kaidah-kaidah dan mampu berbicara mengenai kaidah-kaidah itu yang oleh umum dikenal
dengan tata bahasa.
Beberapa sinonim mencakup pengetahuan formal mengenai suatu bahasa atau belajar eksplisit.
Beberapa pakar teori belajar bahasa kedua beranggapan bahwa anak-anak memperoleh bahasa,
sedangkan orang dewasa hanya dapat mempelajarinya. Akan tetapi hipotesis pemerolehan-belajar
menuntut orang-orang dewasa juga memperoleh, bahwa kemampuan memungut bahasa tidak hilang
pada masa remaja. Hipotesis diatas dapat menjelaskan perbedaan pemerolehan dan belajar bahasa,
Krashen dan Terrel dalam Akhadiah, dkk (1997:2.3) menegaskan perbedaan keduanya dalam lima hal
yaitu sebagai berikut:
a. Pemerolehan memiliki ciri-ciri yang sama dengan pemerolehan bahasa pertama seorang anak
penutur asli sedangkan belajar bahasa adalah pengetahuan secara formal.
b. Pemerolehan dilakukan secara bawah sadar sedangkan pembelajaran adalah proses sadar dan
disengaja.
c. Pemerolehan seorang anak atau pelajar bahasa kedua belajar seperti memungut bahasa kedua
sedangkan dalam pembelajaran seorang pelajar bahasa kedua mengetahui bahasa kedua.
d. Dalam pemerolehan pengetahuan didapatkan secara implisit sedangkan dalam pembelajaran
pengetahuan didapatkan secara eksplisit.
e. Pemerolehan pengajaran secara formal tidak membantu kemampuan anak sedangkan dalam
pembelajaran pengajaran secara formal hal itu menolong sekali.

2.2 Tahap Pemerolehan Bahasa Anak

Perlu untuk diketahui adalah seorang anak tidak dengan tiba-tiba memiliki tata bahasa
B1 dalam otaknya dan lengkap dengan semua kaidahnya. B1 diperolehnya dalam beberapa tahap
dan setiap tahap berikutnya lebih mendekati tata bahasa dari bahasa orang dewasa. Menurut para
ahli, tahaptahap ini sedikit banyaknya ada ciri kesemestaan dalam berbagai bahasa di dunia.
Pengetahuan mengenai pemerolehan bahasa dan tahapnya yang paling pertama di dapat
dari buku-buku harian yang disimpan oleh orang tua yang juga peneliti ilmu psikolinguistik.
Dalam studi-studi yang lebih mutakhir, pengetahuan ini diperoleh melalui rekaman-rekaman
dalam pita rekaman, rekaman video, dan eksperimen-eksperimen yang direncanakan. Ada
sementara ahli bahasa yang membagi tahap pemerolehan bahasa ke dalam tahap pralinguistik
dan linguistik. Akan tetapi, pendirian ini disanggah oleh banyak orang yang berkata bahwa tahap
pralinguistik itu tidak dapat dianggap bahasa yang permulaan karena bunyi-bunyi seperti
tangisan dan rengekan dikendalikan oleh rangsangan (stimulus) semata-mata, yaitu respons
otomatis anak pada rangsangan lapar, sakit, keinginan untuk digendong, dan perasaan senang.
Oleh karena itu, tahap-tahap pemerolehan bahasa yang dibahas dalam makalah ini adalah tahap
linguistik yang terdiri atas beberapa tahap, yaitu (1) tahap pengocehan (babbling); (2) tahap satu
kata (holofrastis); (3) tahap dua kata; (4) tahap menyerupai telegram (telegraphic speech).
1. Vokalisasi Bunyi
Pada umur sekitar 6 minggu, bayi mulai mengeluarkan bunyi-bunyi dalam bentuk
teriakan, rengekan, dekur. Bunyi yang dikeluarkan oleh bayi mirip dengan bunyi konsonan atau
vokal. Akan tetapi, bunyibunyi ini belum dapat dipastikan bentuknya karena memang belum
terdengar dengan jelas. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah bunyi-bunyi yang dihasilkan
tadi merupakan bahasa? Fromkin dan Rodman menyebutkan bahwa bunyi tersebut tidak dapat
dianggap sebagai bahasa. Sebagian ahli menyebutkan bahwa bunyi yang dihasilkan oleh bayi ini
adalah bunyi-bunyi prabahasa/dekur/vokalisasi bahasa/tahap cooing.
Setelah tahap vokalisasi, bayi mulai mengoceh (babling). Celoteh merupakan ujaran
yang memiliki suku kata tunggal seperti mu dan da. Adapun umur si bayi mengoceh tak dapat
ditentukan dengan pasti. Mar’at menyebutkan bahwa tahap ocehan ini terjadi pada usia antara 5
dan 6 bulan.7 Dardjowidjojo menyebutkan bahwa tahap celoteh terjadi sekitar umur 6 bulan.
Tidak hanya itu. ada juga sebagian ahli menyebutkan bahwa celoteh terjadi pada umur 8 sampai
dengan 10 bulan. Perbedaan pendapat seperti ini dapat saja. Yang perlu diingat bahwa
kemampuan anak berceloteh tergantung pada perkembangan neurologi seorang anak.
Begitu anak melewati periode mengoceh, mereka mulai menguasai segmen-segmen
fonetik yang merupakan balok bangunan yang dipergunakan untuk mengucapkan perkataan.
Mereka belajar bagaimana mengucapkan sequence of segmen, yaitu silabe-silabe dan kata-kata.
Cara anak-anak mencoba menguasai segmen fonetik ini adalah dengan menggunakan teori
hypothesis-testing. Menurut teori ini anak-anak menguji coba berbagai hipotesis tentang
bagaimana mencoba memproduksi bunyi yang benar.
Apakah tahap celoteh ini penting bagi si anak. Jawabannya tentu saja penting. Tahap
celoteh ini penting artinya karena anak mulai belajar menggunakan bunyibunyi ujaran yang
benar dan membuang bunyi ujaran yang salah. Dalam tahap ini anak mulai menirukan pola-pola
intonasi kalimat yang diucapkan oleh orang dewasa.

2. Tahap Satu-Kata atau Holofrastis


Tahap ini berlangsung ketika anak berusia antara 12 dan 18 bulan. Ujaran-ujaran yang
mengandung kata-kata tunggal diucapkan anak untuk mengacu pada benda-benda yang dijumpai
sehari-hari. Pada tahap ini pula seorang anak mulai menggunakan serangkaian bunyi
berulangulang untuk makna yang sama. pada usia ini pula, sang anak sudah mengerti bahwa
bunyi ujar berkaitan dengan makna dan mulai mengucapkan kata-kata yang pertama.
Menurut pendapat beberapa peneliti bahasa anak, kata-kata dalam tahap ini mempunyai
tiga fungsi, yaitu kata-kata itu dihubungkan dengan perilaku anak itu sendiri atau suatu
keinginan untuk suatu perilaku, untuk mengungkapkan suatu perasaan, untuk memberi nama
kepada suatu benda. Dalam bentuknya, kata-kata yang diucapkan itu terdiri dari konsonan-
konsonan yang mudah dilafalkan seperti m,p,s,k dan vokal-vokal seperti a,i,u,e.

3. Tahap Dua-Kata, Satu Frase


Tahap ini berlangsung ketika anak berusia 18-20 bulan. Ujaran-ujaran yang terdiri atas
dua kata mulai muncul seperti mama mam dan papa ikut. Kalau pada tahap holofrastis ujaran
yang diucapkan si anak belum tentu dapat ditentukan makna, pada tahap dua kata ini, ujaran si
anak harus ditafsirkan sesuai dengan konteksnya. Pada tahap ini pula anak sudah mulai berpikir
secara “subjek + predikat” meskipun hubungan-hubungan seperti infleksi, kata ganti orang dan
jamak belum dapat digunakan. Dalam pikiran anak itu, subjek + predikat dapat terdiri atas kata
benda + kata benda, seperti “Ani mainan” yang berarti “Ani sedang bermain dengan mainan”
atau kata sifat + kata benda, seperti “kotor patu” yang artinya “Sepatu ini kotor” dan sebagainya.

4. Ujaran Telegrafis
Pada usia 2 dan 3 tahun, anak mulai menghasilkan ujaran kata-ganda (multiple-word
utterances) atau disebut juga ujaran telegrafis. Anak juga sudah mampu membentuk kalimat dan
mengurutkan bentuk-bentuk itu dengan benar. Kosakata anak berkembang dengan pesat
mencapai beratus-ratus kata dan cara pengucapan katakata semakin mirip dengan bahasa orang
dewasa.
Pada usia dini dan seterusnya, seorang anak belajar B1-nya secara bertahap dengan
caranya sendiri. Ada teori yang mengatakan bahwa seorang anak dari usia dini belajar bahasa
dengan cara menirukan. Namun, hasil peniruan yang dilakukan oleh si anak tidak akan sama
seperti yang diinginkan oleh orang dewasa. Jika orang dewasa meminta sang anak untuk
menyebutkan “He’s going out”, si anak akan melafalkan dengan “He go out”. Ada lagi teori
yang mengatakan bahwa seorang anak belajar dengan cara penguatan (reinforcement), artinya
kalau seorang anak belajar ujaran-ujaran yang benar, ia mendapat penguatan dalam bentuk
pujian, misalnya bagus, pandai, dsb. Akan tetapi, jika ujaran-ujarannya salah, ia mendapat
“penguatan negatif”, misalnya lagi, salah, tidak baik. Pandangan ini berasumsi bahwa anak itu
harus terus menerus diperbaiki bahasanya kalau salah dan dipuji jika ujarannya itu benar.
Teori ini tampaknya belum dapat diterima seratus persen oleh para ahli psikologi dan
ahli psikolinguistik. Yang benar ialah seorang anak membentuk aturan-aturan dan menyusun tata
bahasa sendiri. Tidak semua anak menunjukkan kemajuan-kemajuan yang sama meskipun
semuanya menunjukkan kemajuan-kemajuan yang reguler.

2.3 Tahap Pemerolehan Bahasa Kedua Anak

Anak mengalami perkembangan bahasa secara bertahap. Tahapan perkembangan bahasa


untuk anak dapat dipaparkan sebagai berikut :
1. Fonologi
Fonologi adalah disiplin ilmu tentang perbendaharaan fonem sebuah bahasa dan
distribusinya. Hal-hal yang dibahas dalam fonologi antara lain: 1) bunyi suara, 2) fonetik dan
fonemik, 3) alat ucap, 4) pita suara, 5) vokal, 6) konsonan, 7) perubahan fonem, dan 8) intonasi.
Dari bahasan-bahasan tersebut telaah fonologi fokus pada bunyi bahasa yang harus diperhatikan
oleh penutur suatu bahasa.
Dalam pembelajaran bahasa ada prinsip-prinsip prioritas dalam penyampaian materi
yaitu: 1) mengajarkan mendengarkan dan bercakap sebelum menulis, 2) mengakarkan kata
sebelum kalimat, 3) menggunakan kata kata yang lebih akrab dengan kehidupan sehari-hari.
Dari ketiga prinsip itu fonologi berperan penting terhadap proses pemerolehan bahasa pertama
pada anak.
Anak menggunakan bunyi-bunyi yang telah dipelajarinya dengan bunyi-bunyi yang
belum dipelajari, misalnya menggantikan bunyi /l/ yang sudah dipelajari dengan bunyi /r/ yang
belum dipelajari. Pada akhir periode berceloteh, anak sudah mampu mengendalikan intonasi,
modulasi nada, dan kontur bahasa yang dipelajarinya.
2. Morfologi
Morfologi adalah cabang linguistik yang mengidentifikasi satuan-satuan dasar bahasa
sebagai satuan gramatikal. Morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh
perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata atau dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-
perubahan bentuk kata itu baik fungsi gramatikal maupun fungsi semantik.
Pada usia tiga tahun anak sudah membentuk beberapa morfem yang menunjukkan
fungsi gramatikal nomina dan verba yang digunakan. Kesalahan gramatika sering terjadi pada
tahap ini karena anak masih berusaha mengatakan apa yang ingin dia sampaikan. Anak terus
memperbaiki bahasanya sampai usia sepuluh tahun.

3. Sintaksis
Istilah sintaksis diambil dari bahasa Belanda, Syintaxis. Dalam bahasa Inggris
digunakan istilah Syintax, yaitu cabang linguistik yang mengkaji seluk beluk kalimat, klausa,
dan frase. Sintaksis adalah penguasaan atas suatu bahasa mencakup kemampuan untuk
memahami frase atau kalimat yang bersal dari kata. Sintaksis juga merupakan bagian dari
subsistem tata bahasa, sintaksis menelaah struktur satuan bahasa yang lebih besar dari kata mulai
dari frase hingga kalimat.
Anak-anak mengembangkan tingkat gramatikal kalimat yang dihasilkan melalui
beberapa tahap, yaitu melalui peniruan, melalui penggolongan morfem, dan melalui penyusunan
dengan cara menempatkan kata-kata secara bersama-sama untuk membentuk kalimat.

4. Semantik
Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang berarti kata benda yang berarti
tanda atau lambang, kata kerjanya adalah semaino yang berarti menandai atau melambangkan.
Yang dimaksud dengan tanda atau lambang disini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda
linguistic seperti yang dikemukakan Ferdinand de Saussare yaitu yang terdiri dari (1) komponen
yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa, dan (2) komponen yang
diartikan atau makna dari komponen yang pertama. Kedua komponen ini adalah merupakan
tanda atau lambang; sedangkan yang ditandai atau dilambangi adalah sesuatu yang berada diluar
bahasa yang lazim desebut referen atau hal yang ditunjuk.
Istilah linguistik diketahui muncul pada pertengahan abad ke-19. Pada hakikatnya
linguistik adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari bahasa sebagai bagian kebudayaan
berdasar struktur bahasa tersebut. Semantik sendiri bisa diartikan dengan ilmu tentang makna
atau arti. Semantik merupakan bagian dari linguistik.
Anak menggunakan kata-kata tertentu berdasarkan kesamaan gerak, ukuran, dan bentuk.
Misalnya, anak sudah mengetahui makna kata jam. Awalnya anak hanya mengacu pada jam
tangan orang tuanya, namun kemudian dia memakai kata tersebut untuk semua jenis jam.

2.4 Tipe Pemerolehan Bahasa

Ellis dalam Chaer (2002-242) menyebutkan adanya dua tipe pembelajaran bahasa yaitu tipe
naturalistik dan tipe formal dalam kelas.
Pertama, tipe naturalistik bersifat alamiah, tanpa guru dan tanpa kesengajaan pembelajaran
berlangsung didalam lingkungan kehidupan bermasyarakat. Dalam masyarakat bilingual dan
multilingual tipe naturalistik banyak dijumpai. Belajar bahasa menurut tipe naturalistik ini sama
prosesnya dengan pemerolehan bahasa pertama yang berlangsungnya secara ilmiah, sehingga
pemerolehan bahasa yang dihasilkan antara anak-anak dan dewasa berbeda.
Kedua, yang bersifat formal berlangsung di dalam kelas dengan guru, materi dan alat-alat yang
sudah dipersiapkan, pembelajaan bahasa dalam tipe ini dilakukan dengan sengaja atau sadar,
pembelajaran bahasa bersifat formal seharusnya lebih baik daripada pembelajaran yang dilakukan secara
naturalistik, tapi pada kenyataanya tidak, terdapat berbagai penyebab atau faktor yang
mempengaruhinya dalam proses pembelajaran bahasa. Nurhadi (dalam Chaer 2002:144) meskipun studi
tentang metodologi belajar bahasa kedua (atau bahasa asing) telah sedemikian lama dengan biaya yang
cukup besar, tetapi belum banyak mengubah cara orang belajar bahasa.

2.5 Faktor Pendukung Pemerolehan Bahasa Kedua Anak

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pemerolehan bahasa kedua yaitu sebagai
berikut:
1. Faktor Usia
Anak-anak tampaknya lebih mudah dalam memperoleh bahasa baru, sedangkan orang dewasa
tampaknya mendapat kesulitan dalam memperoleh tingkat kemahiran bahasa kedua. Anggapan ini telah
mengarahkan adanya hipotesis mengenai usia kritis atau periode kritis untuk belajar bahasa kedua.
Namun, hasil penelitan mengenai faktor usia dalam pembelajaran bahasa kedua menunjukkan hal
berikut : a. Anak usia 5 tahun sudah memiliki kemampuan bahasa yang baik, kalimatkalimat yang
disampaikan sudah bisa dimengerti oleh orang lain. Dalam percakapan ia sudah bisa menggunakan kata-
kata yang menghubungkan sebabakibat, seperti kata “ mungkin” ataupun “ seharusnya” (Tussolekha, R.,
2015). b. Dalam hal kecepatan dan keberhasilan belajar bahasa kedua, dapat disimpulkan bahwa anak-
anak lebih berhasil daripada orang dewasa dalam pemerolehan sistem fonologi atau pelafalan bahkan
banyak diantara mereka yang mencapai pelafalan seperti penutur asli; orang dewasa tampaknya maju
lebih cepat daripada anak-anak dalam bidang morfologi dan sintaksis, paling tidak pada pemulaan masa
belajar; anak-anak lebih berhasil daripada orang dewasa, tetapi tidak selalu lebih cepat. Perbedaan umur
mempengaruhi kecepatan dan keberhasilan belajar bahasa kedua pada aspek fonologi, morfologi dan
sintaksis tetapi tidak berpengaruh dalam pemerolehan urutannya. Munculnya berbagai variasi dalam
pemerolehan fonologi sebagian besar disebabkan oleh belum sempurnanya alat ucap (Yanti, 2016).

2. Faktor Bahasa Pertama


Ellis (1986: 19) menyebutkan para pakar pembelajaran bahasa kedua pada umumnya percaya
bahwa bahasa pertama mempunyai pengaruh terhadap proses penguasaan bahasa kedua pembelajar.
Sedangkan bahasa pertama ini telah lama dianggap menjadi pengganggu di dalam proses pembelajaran
bahasa kedua. Hal ini karena seorang pembelajar secara tidak sadar atau tidak melakukan transfer
unsurunsur bahasa pertamanya ketika menggunakan bahasa kedua. Akibatnya terjadilah yang disebut
interfensi, ahli kode, campur kode, atau juga kekhilafan (error). Berdasarkan beberapa teori atau
hipotesis tertentu hal ini dapat dijelaskan yaitu sebagai berikut:.
 Menurut teori stimulus-respon yang dikemukakan oleh kaum behaviourisme, bahasa adalah
hasil stimulus-respon. Maka apabila seseorang ingin memperbanyak pengujaran, dia harus
memperbanyak penerimaan stimulus. Oleh karena itu, pengaruh lingkungan sebagai sumber
datanganya stimulus menjadi sangat dominan dan sangat penting dalam membantu proses
pembelajaran bahasa kedua. Selain itu, kaum behaviourisme juga berpendapat bahwa proses
pemerolehan bahasa adalah proses pembiasaan. Oleh karena itu, semakin pembelajar terbiasa
merespon stimulus yang dating padanya, semakin memperbesar kemungkinan aktivitas
pemerolehan bahasanya. Jadi, pengaruh bahasa pertama dalam bentuk transfer ketika berbahasa
kedua akan besar sekali apabila pembelajar tidak terus-menerus diberikan stimulus bahasa
pertama. Secara teoritis ini memang tidak bisa dihilangkan karena bahasa pertama sudah
dinuranikan dalam diri pembelajar. Namun, dengan pembiasaan-pembiasaan dan penerimaan
stimulus terus-menerus dalam bahasa kedua, hal itu bisa dikurangi.
 Teori kontranstif menyatakan bahwa keberhasilan belajar bahasa kedua sedikit banyaknya
ditentukan oleh keadaan linguistik bahasa yang telah dikuasai oleh pembelajar sebelumnya.
Berbahasa kedua merupakan proses transfer. Maka, struktur bahasa yang sudah dikuasai banyak
mempunyai kesamaan dengan bahasa yang dipelajari akan terjadi semacam permudahan dalam
proses transfernya. Sebaliknya, jika struktur keduanya memiliki perbedaan, maka akan terjadi
kesulitan bagi pembelajar untuk menguasi bahasa keduanya itu.

3. Faktor Lingkungan
Lingkungan bahasa sangat penting bagi seseorang pembelajar untuk dapat berhasil dalam
mempelajari bahasa baru (bahasa kedua). Lingkungan bahasa adalah segala hal yang didengar dan
dilihat oleh pembelajar sehubungan bahasa kedua yang sedang dipelajari. Hal-hal termasuk dalam
lingkungan bahasa adalah situasi di restoran atau di toko, percakapan dengan kawan-kawan, ketika
menonton televisi, saat membaca koran, dalam proses belajar-mengajar di dalam kelas, dan sebagainya.
Kualitas lingkungan bahasa ini merupakan suatu yang penting bagi pembelajar untuk memperoleh
keberhasilan dalam mempelajari bahasa kedua, berbahasa formal, Faktor yang juga sangat berpengaruh
dalam proses pemerolehan bahasa adalah fator lingkungan (Kapoh, R. J., 2010).
Menurut Baradja (1994:3-12) terdapat enam faktor yang perlu diperhatikan secara cermat,
yaitu tujuan, pembelajar, pengajar, bahan, metode, dan faktor lingkungan. Meski demikin, faktor tujuan,
pembelajar, dan pengajar merupakan tiga faktor utama dari ketiga faktor ini kemampuan bahasa kedua
mengkonsentrasikan diri pada hal-hal yang menyangkut pembelajar dan proses pembelajar.

2.6 Implikasi Pemerolehan Bahasa Bagi Pembelajaran Bahasa Indonesia.

Pemerolehan bahasa memiliki implikasi besar dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Proses
ini memengaruhi kemampuan siswa dalam memahami, berbicara, membaca, dan menulis dalam Bahasa
Indonesia. Melalui pemahaman yang baik tentang bagaimana bahasa dipelajari dan diperoleh, pendidik
dapat merancang metode pengajaran yang efektif dan menyediakan lingkungan yang mendukung siswa
dalam mengembangkan kemampuan bahasa mereka secara maksimal.
Dalam (Nurlaila, 2021, pp. 59–62) Implikasi teori behavioris dan konitivisme terhadap
pengaran bahasa yaitu :
Pertama, Pandangan behavioris dan kognitifvisme terkait bagaimana manusia menguasai
bahasa adalah sebagaimana mempertimbangkan faktor intrinsik dan ekstrinsik dalam pembelajaran.
Kedua aspek ini berperan penting dalam menyusun dan merencanakan pembelajaran. Perencanaan
ini meliputi unsur-unsur pembelajaran yang terdiri dari tujuan, materi, metode, aktivitivitas, media dan
evaluasi.
Kedua, teori kognitif Chomsky tentang LAD titik tolak kita dalam mengembangkan dan
mendesain pemebalajaran bahasa, yang dimana bahasa itu ada di dalam otak manusia. Selanjutnya
dampak dari pernyataan ini erat kaitannya dengan teori Piaget tentang tahap dan perkembangan bahasa.
Implikasi dari pernyatan kedua teori ini adalah dalam mendesain pengajaran pembelajaran dan
lingkungan belajar bahasa hendaknya memerhatikan aspek perkembangan psikologi dan kognitif
peserta didik.
Ketiga, padangan krashen terkait lima hipotesis yang diajukannya implikasinya adalah
lingkungan berbahasa menjadi faktor utama yang menjadikan bahasa kedua dapat diperoleh (didapat
secara tidak sadar) layaknya pada bahasa pertama. Sehingga pembelajaran bahasa yang
semestinya adalah pembelajaran yang bersifat komunikatif.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pengertian pemerolehan bahasa kedua yaitu proses dimana seseorang telah
menguasai bahasa pertamanya terlebih dahulu kemudian memperoleh bahasa kedua
yang sama baiknya dengan bahasa pertama. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pemerolehan bahasa kedua pada anak yaitu : faktor umur, karena ketika umur masih
kanak-kanak akan lebih mudah mengakuisisi bahasa kedua; faktor bahasa pertama
(ibu), karena bahasa pertama sangat berpengaruh pada tata bahasa lainnya; faktor
lingkungan, lingkungan merupakan faktor yang sangat penting bagi pemerolehan
bahasa pada anak karena anak usia sampai 6 tahun akan mengakuisis bahasa yang ia
sering dengar dari lingkungan terutama lingkungan keluarga, teman dan masyarakat.
Faktor biologis dan kognitif; anak yang berusia sampai 6 tahun biologis dan kognitif
nya masih berkembang, pada saat mengakuisisi bahasa sangat sering terjadi error dan
mistake, penambahan dan pengurangan, hal ini merupakan hal yang wajar dan akan
membaik seiring dengan berjalan waktu sampai anak benar-benar menjadi lebih
matang dan dewasa.
Pemerolehan bahasa pertama adalah proses penguasaan bahasa pertama oleh anak.
Selama penguasaan bahasa pertama ini, terdapat dua proses yang terlibat, yaitu proses
kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini tentu saja diperoleh oleh anak
secara tidak sadar. Ada beberapa tahap yang dilalui oleh anak selama memperoleh
bahasa pertama. Tahap yang dimaksud adalah tahap pengocehan (babbling), tahap satu-
kata atau holofrastis, tahap dua-kata satu frase, tahap ujaran telegrafis. Selain tahap
pemerolehan bahsa seperti yang telah disebutkan ini, ada juga para ahli bahasa, seperti
Aitchison mengemukakan beberapa tahap pemerolehan bahasa anak. Tahap-tahap yang
dia maksud adalah mendengkur, meraban, pola intonasi, tuturan satu kata, tuturan dua
kata, infleksi kata, bentuk tanya dan bentuk ingkar, konstruksi yang jarang atau
kompleks, tuturan yang matang. Meskipun terjadi perbedaan dalam hal pembagian
tahap-tahap yang dilalui oleh anak saat memperoleh bahasa pertamanya, jika dilihat
secara cermat, pembahasan dalam setiap tahap pemerolehan bahasa pertama anak
memiliki kesamaan, yaitu adanya proses fonologi, morfologi, sintaksis, semantik,
pragmatik. Bagaimana sebenarnya proses pemerolehan bahasa pertama ini? Ada
beberapa teori pemerolehan bahasa yang menjelaskan hal ini, yaitu teori behaviorisme,
nativisme, kognitivisme, interaksionisme. Keempat teori ini memiliki sudut pandang
yang berbeda dalam menjelaskan perihal cara anak memperoleh bahasa pertamanya.

3.2 Saran
Kami sangat sadar bahwa banyak sekali kekurangan dalam makalah kami inikami
mohom maaf jika ada kesalah dari makalah kami ini dan saran kami guru
harusmengatahui bagaimana cara mengajarkan berkembangan lisan dan tulisan pada anak
usia dini.
DAFTAR PUSTAKA

Baradja, M.F. 1986. Pemerolehan Bahasa Pertama.Buku Pegangan


Alamsyah, Teuku. 1997. Pemerolehan Bahasa Kedua (Second Language
Acqusition). Diktat Kuliah Program S-2. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala.
Chaer, Abdul & Agustina, Leonie. 2014. Sosiolinguistik: Perkenalan
Awal.Jakarta: Rineka Cipta.
Syaprizal,M.P.(2009). Proses pemerolehan bahasa pada anak.jurnal al
hikmah,1(2),78-80
Kapoh, R. J. (2010). Beberapa Faktor Yang Berpengaruh Dalam Perolehan
Bahasa. Jurnal Interlingua, 4, 87-95.
Tussolekha, R. (2015). Mekanisme pemerolehan bahasa pada anak usia satu dan
lima tahun. Jurnal Pesona, 1(2).
Yanti, P. G. (2016). Pemerolehan Bahasa Anak: Kajian Aspek Fonologi Pada
Anak Usia 2-2, 5 Tahun. Jurnal Ilmiah Visi, 11(2), 131-14.
Nurlaila.(2011). Konsep pemerolehan bahasa dan implikasinya terhadap
pembelajaran bahasa.jurnal studi pendidikan,12(1),45-57.

Anda mungkin juga menyukai