Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA DI SD

MODUL 2

PEMEROLEHAN BAHASA ANAK

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1

1. ZULVIJAR PURBA ( NIM : 856019805 )


2. SHARA MUTIARA PURBA ( NIM : 856019765 )
3. SITI RAHMA SIREGAR ( NIM : 856012501 )

UNIVERSITAS TERRBUKA
POKJAR S-1 PGSD RANTAUPRAPAT
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena hanya dengan limpahan

rahmat, taufik dan hidayah-Nyalah penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Dalam penulisan

makalah ini kami membahas materi Modul 2 Pemerolehan Bahasa Anak.

          Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman mata kuliah Pendidikan

Bahasa Indonesia di SD yang sangat diperlukan dalam materi perkuliahan demi mendapatkan

pemahaman yang maksimal dalam melakukan kegiatannya dan sekaligus melakukan apa yang

menjadi tugas mahasiswa. Penulis menyadari bahwa kami tidak dapat menyusun makalah ini

tanpa adanya bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak.

          Dalam pembuatan makalah ini penulis menyadari masih banyak kekurangan dan jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu penulis dengan senang hati menerima saran maupun kritik yang

sifatnya membangun untuk perbaikan selanjutnya.

          Akhir kata kami sebagai penulis mengucapkan banyak-banyak terimakasih dan  memohon

maaf  apabila ada kekurangaan dalam pembuatan makalah ini, semoga makalah yang telah kami

buat dapat bermanfaat bagi semua pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Rantauprapat,

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemerolehan bahasa anak adalah proses anak mulai mengenal komunikasi dengan
lingkungannya secara verbal. Dalam perkembangannya pemerolehan bahasa anak sangat
dipengaruhi oleh lingkungan, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat Penting
bagi seorang guru untuk mempelajari pemerolehan perkembangan bahasa anak dengan alasan
sebagai berikut:

1. Pemerolehan bahasa dan perkembangan bahasa anak mendasari kemampuan


mengajarkan bahasa dan sastra Indonesia kepada siswa di sekolah dasar terutama siswa di
kelas rendah.
2. Karakteristik setiap anak tidak sama sehingga dengan mempelajari pemerolehan dan
perkembangan bahasa anak guru dapat mengatasi perbedaan perkembangan bahasa pada
siswanya.
3. Siswa sekolah dasar pada umumnya berlatar belakang dwibahasa bahkan multi bahasa,
sehingga dengan mempelajari materi pemerolehan dan perkembangan bahasa anak, guru
dapat benar-benar memahami konteks sosial budaya lingkungan anak didiknya dan
menghargai keragaman budaya tersebut.

B. Tujuan

Atas dasar latar belakang diatas tujuan dari penyusunan makalah ini adalah agar kita
sebagai guru dapat memahami pemerolehan dan perkembangan bahasa anak sebagai dasar
pembelajaran bahasa di sekolah dasar kelas rendah. Secara khusus kita sebagai guru diharapkan
dapat:

1. Menjelaskan hubungan psikologilinguistik dengan pemerolehan dan perkembangan


bahasa,
2. Menerangkan pemerolehan bahasa pertama dan kedua,
3. Memahami ragam pemerolehan bahasa dan strategi pemerolehan bahasa
4. Memahami perkembangan bahasa anak.

Agar kita sebagai pendidik berhasil mempelajari bahan mandiri yang kami susun, maka
bacalah materi yang terdapat dalam makalah ini dan simak dengan baik presentasi yang akan
kami sampaikan.
BAB II

PEMBAHASAN

A.      Pemerolehan Bahasa Pertama

1.      Pengertian Pemerolehan Bahasa

Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah proses pemilikan kemampuan


berbahasa secara alamiah. Proses pemerolehan bahasa memiliki karakteristik berikut:

a.       Berjalan secara spontan, tanpa sadar, dan tanpa beban.


b.      Terjadi secara langsung dalam situasi informal, tanpa melalui pembelajaran formal.
c.       Didorong oleh kebutuhan, baik kebutuhan untuk memahami maupun dipahami
orang lain.
d.      Berlangsung secara terus-menerus dalam konteks berbahasa yang nyata dan
bermakna.
e.       Diperoleh secara lisan melalui tindak berbahasa menyimak/mendengarkan dan
berbicara.

Kegiatan pemerolehan bahasa melibatkan dua kemampuan. Pertama, kemampuan


reseptif, yaitu kemampuan menyerap, menerima, dan memahami tuturan orang lain.
Kedua, kemampuan produktif, yaitu kemampuan menghasilkan tuturan, untuk
mengekspresikan diri atau menanggapi rangsang bahasa yang disampaikan oleh orang
lain. Ketika anak melakukan kegiatan berbahasa secara langsung, secara perlahan dan
tentu saja tanpa disadari, telah terbangun unsur dan kaidah bahasa (kosakata, struktur, dan
makna) dan kaidah berbahasa.

Bahasa pertama (B1) adalah bahasa yang pertama kali dipelajari dan dikuasai oleh
seorang anak. Bahasa pertama itu bisa hanya satu bahasa atau dua bahasa yang dikuasai
anak secara bersamaan. Sementara itu, bahasa kedua adalah bahasa yang dikuasai anak
setelah menguasai bahasa pertama. Dalam menguasai dua bahasa atau lebih, anak dapat
melakukannya secara serempak atau berurut. Pemerolehan serempak dua bahasa
(simultaneous bilingual acquisition) terjadi pada anak yang dibesarkan dalam masyarakat
bilingual (dua bahasa) atau multilingual (lebih dari dua bahasa). Anak mengenal,
mempelajari, dan menggunakan kedua bahasa tersebut sama baiknya secara bersamaan.
Pemerolehan berurut dua bahasa (successive bilingual acquisition) terjadi apabila
penguasaan anak atas dua bahasa atau lebih terjadi dalam rentang waktu yang berjauhan.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama anak biasanya terjadi karena beberapa hal
berikut:

a.       Pasangan suami istri hanya menguasai bahasa Indonesia.


b.      Perkawinan antarpenutur bahasa daerah yang berbeda. Masing-masing pihak tidak
menguasai bahasa pasangannya dengan baik.
c.       Perkawinan antarpenutur bahasa daerah yang sama, dengan situasi berikut:
1)      Lingkungan sekitar menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi
kesehariannya.
2)      Lingkungan sosial sekitar tempat tinggal keluarga tersebut menggunakan
bahasa daerah yang tidak dikuasai oleh keluarga tersebut (mungkin keluarga
pendatang).
3)      Lingkungan sekitar menggunakan bahasa daerah yang sama dengan bahasa
yang digunakan dalam suatu keluarga. Tetapi karena pertimbangan praktis,
keluarga tersebut memutuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam
berkomunikasi.

2.      Teori Pemerolehan Bahasa

a.      Pandangan Nativistis

Menurut pandangan nativistis, setiap anak yang lahir telah dilengkapi dengan
kemampuan bawaan atau alami untuk dapat berbahasa. Bukan lingkungan yang
membuat anak mampu berbahasa. Juga bukan karena meniru orang lain karena
banyak juga ungkapan kreatif yang dimunculkan anak ketika berbahasa, yang belum
pernah dicontohkan sebelumnya. Jadi, kalau bukan karena kemampuan bawaan,
mustahil anak dapat mempelajari dan menguasai suatu bahasa yang komponen dan
aturannya begitu rumit hanya dalam waktu yang begitu singkat. Hanya dalam waktu
sekitar empat tahun anak telah dapat berbahasa dengan rapi dan komunikatif. Selama
belajar bahasa, sedikit demi sedikit potensi berbahasa yang secara genetis telah
terprogram menjadi terbuka dan berkembang.

Kemampuan bawaan berbahasa itu disebut dengan ’piranti pemerolehan


bahasa’ (language acquisition device atau LAD) yang berpusat di otak. Piranti itulah
yang membuat anak dapat berbahasa, sebagaimana halnya sirip dan ekor yang
memungkinkan seekor ikan bisa berenang.

Cara kerja LAD yaitu Ujaran atau tuturan lisan dalam lingkungan anak
memberikan masukan kepada anak. Selanjutnya, data tersebut diolah oleh LAD
dengan memakai potensi gramatika bahasa anak sehingga tersusunlah pola-pola
kaidah bahasa dan kaidah berbahasa pada diri anak, kemudian tercermin dalam
tindak berbahasa (ujaran) yang dihasilkan anak yang sesuai dengan pola ujar orang
dewasa.

b.      Pandangan Behavioristis

Menurut behavioris, penguasaan bahasa anak ditentukan oleh rangsangan yang


diberikan lingkungannya. Anak tidak memiliki peranan aktif, hanya sebagai
penerima pasif. Perkembangan bahasa anak terutama ditentukan oleh kekayaan dan
lamanya latihan yang diberikan oleh lingkungan, serta peniruan yang dilakukan anak
terhadap tindak berbahasa lingkungannya.

c.       Pandangan Kognitif

Menurut pandangan kognitif, penguasaan dan perkembangan bahasa anak


ditentukan oleh daya kognitifnya. Lingkungan tidak serta merta memberikan
pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan bahasa anak, kalau si anak
sendiri tidak melibatkan secara aktif dengan lingkungannya. Dengan kata lain,
anaklah yang berperan aktif untuk terlibat dengan lingkungannya agar penguasaan
bahasanya dapat berkembang secara optimal.

3.      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemerolehan Bahasa Anak

a.      Faktor Biologis

Perangkat biologis yang menentukan penguasaan bahasa anak adalah otak


(sistem syaraf), alat dengar, dan alat ucap. Ketergantungan pada salah satu, apalagi
ketiganya, akan menghambat kemampuan berbahasa anak. Kemampuan berbahasa
anak-anak tunarungu, lemah mental, gagap atau tunawicara maka kemampuan
berbahasa mereka pasti berbeda dengan anak yang ketiga perangkat biologisnya
sehat dan normal.

b.      Faktor Lingkungan Sosial

Telah dikemukakan sebelumnya bahwa setiap anak memiliki kemampuan


bawaan dan kelengkapan berbahasa. Namun demikian, untuk
menumbuhkembangkan kemampuan berbahasanya, seorang anak memerlukan
lingkungan sosial sebagai contoh atau model berbahasa, memberikan rangsangan,
dan tanggapan, serta melakukan latihan dan uji coba berbahasa dalam konteks yang
sesungguhnya.

Lingkungan sosial di sini adalah perilaku berbahasa orang tua, saudara,


kerabat, keluarga, teman atau anggota masyarakat. Lingkungan yang kaya sumber,
mendukung, dan aktif dalam berinteraksi dengan anak, akan membuat pemerolehan
bahasa anak semakin beraneka dan cepat. Sebaliknya, lingkungan yang miskin
dengan aktivitas berbahasa, terlalu banyak menekan dengan melakukan pelarangan
dan menyalahkan, dan rendah dalam berinteraksi, akan menjadikan pemerolehan
bahasa anak pun tidak beragam, miskin, dan lambat. Dukungan dan keterlibatan
sosial begitu penting bagi anak dalam belajar bahasa. Inilah yang disebut dengan
’Sistem Pendukung Pemerolehan Bahasa’ atau Language Acquisition Support
System atau LASS.

Cara lingkungan sosial memberikan dukungan kepada anak dalam belajar


pemeroleh bahasa adalah sebagai berikut:

1)        Bahasa semang (motherless), yaitu cara bahasa yang dilakukan orang dewasa
terhadap bayi atau balita melalui penyederhanaan kata atau kalimat, dengan
penggunaan tempo yang lebih lambat dan nada yang lebih lembut. Cara bahasa
ini memiliki peran penting untuk dapat menangkap perhatian dan memelihara
komunikasi dengan anak.
2)        Parafrase, yaitu pengungkapan kembali ujaran yang diucapkan anak dengan
cara yang berbeda, untuk membantu anak belajar bahasa.
3)        Menegaskan kembali (echoing), yaitu mengulang apa yang disampaikan anak,
terutama apabila tuturannya tidak lengkap, tidak jelas atau tidak sesuai dengan
maksud.
4)        Memperluas (expanding), yaitu mengungkapkan kembali apa yang
disampaikan anak dalam bentuk kebahasaan yang lebih kompleks.
5)        Menamai (labeling), yaitu melakukan identifikasi suatu benda dengan nama
yang sesuai.
6)        Penguatan (reinforcement), yaitu menanggapi dan memberikan respons positif
atas perilaku berbahasa anak.
7)        Pemodelan (modelizing), yaitu pemberian contoh atau model berbahasa yang
ditunjukkan orang dewasa kepada anak.

c.       Faktor Intelegensi

Inteligensi adalah kemampuan seseorang dalam berpikir atau bernalar,


termasuk memecahkan suatu masalah. Inteligensi bersifat abstrak dan tak dapat
diamati langsung, kecuali melalui perilaku. Dalam kaitannya dengan pemerolehan
bahasa, anak-anak yang bernalar tinggi tingkat pencapaiannya cenderung lebih cepat,
lebih kaya, dan lebih bervariasi khasanah bahasanya, daripada anak yang bernalar
sedang atau rendah. Jadi, pengaruh inteligensi terletak pada jangka waktu dan tingkat
kreativitas perkembangan bahasanya.

d.      Faktor Motivasi

Dalam belajar bahasa, anak tidak melakukannya demi bahasa itu sendiri. Anak
belajar bahasa karena adanya kebutuhan dasar yang bersifat praktis, seperti lapar,
haus, sakit, serta perhatian dan kasih sayang. Inilah yang disebut dengan motivasi
intrinsik, yang berasal dari diri anak itu sendiri.

Pemberian motivasi dari lingkungan sosial sangat berarti bagi anak untuk
membuatnya kian bergairah belajar bahasa. Anak yang dibesarkan dengan motivasi
belajar bahasa yang tinggi akan kian memicu proses belajar bahasa anak. Pemicuan
motivasi itu, di antaranya dengan cara merespons dengan bijak pertanyaan dan
komentar anak, memperbaiki tindak berbahasa anak secara halus dan tidak langsung,
dan tidak segera menyalahkan bila anak melakukan suatu kesalahan.

4.      Strategi Pemerolehan Bahasa

Sejumlah strategi dalam belajar suatu bahasa, di antaranya adalah sebagai berikut:

a.       Mengingat

Mengingat memainkan peranan yang cukup penting dalam belajar bahasa atau
belajar apa pun. Setiap pengalaman indrawi yang dilalui anak, dicatat dalam
benaknya. Ketika dia menyentuh, menyerap, mencium, mendengar, dan melihat
sesuatu, memori anak merekamnya.

Pada tahap awal belajar bahasa, anak mulai membangun pengetahuan tentang
bunyi dan kombinasi bunyi-bunyi tertentu yang merujuk pada sesuatu yang dia
dengar atau alami. Ingatan itu akan semakin kuat apabila penyebutan akan benda
atau peristiwa itu terjadi berulang-ulang. Dengan cara ini anak akan mengingat
bunyi, kombinasi bunyi atau kata, tentang sesuatu sekaligus mengingat pula cara
mengungkapkannya. Hanya saja, ketika diungkapkan bunyinya tidak selalu tepat.
Mungkin lafalnya tidak pas, strukturnya terbalik atau hanya suku kata awal atau
akhir yang terucapkan. Hal ini terjadi karena pertumbuhan otak dan kelengkapan
fisik berbahasa anak masih sedang berkembang. Oleh karena itu, dalam berbahasa
anak-anak biasanya dibantu oleh ekspresi muka, gerak tangan, gerak tubuh, dan
konteks.

b.      Meniru

Dalam belajar bahasa anak pun menggunakan strategi peniruan. Peniruan di


sini bisa berarti mencontoh secara kreatif atau menginspirasi. Pada dasarnya,
peniruan yang dilakukan anak tidak selalu berupa pengulangan yang persis sama atas
apa saja yang didengarnya.  Hal ini karena dalam belajar bahasa, seorang anak tidak
sekadar menangkap kata-kata.

Dia juga mencerna dan mengolah prinsip-prinsip organisasi bahasa secara


alami. Dengan demikian, peniruan yang dilakukan anak bersifat dinamis dan kreatif.
Karena strategi peniruan itu pula maka orang yang menjadi model (memberikan
contoh dan masukan) berbahasa akan sangat mempengaruhi corak bahasa yang
dimiliki anak. Apabila modelnya baik maka anak pun akan mempelajari versi bahasa
yang baik, logis, dan santun. Sebaliknya, apabila modelnya kurang baik maka versi
bahasa yang kurang baik itulah yang akan dipelajari dan digunakan anak.

c.       Mengalami Langsung

Strategi lain yang mempercepat anak menguasai bahasa pertamanya adalah


mengalami langsung kegiatan berbahasa dalam konteks yang nyata. Anak
menggunakan bahasanya baik ketika berkomunikasi dengan orang lain, maupun
sewaktu sendirian. Dia menyimak dan berbicara langsung, dan sekaligus
memperoleh tanggapan dari mitra bicaranya. Dari tanggapan yang diperolehnya,
secara tidak sadar anak memperoleh masukan tentang kewajaran dan ketepatan
perilaku berbahasanya, dan dalam waktu yang sama juga si anak mendapat masukan
dari tindak berbahasa yang dilakukan mitra berbicaranya.

d.      Bermain

Kegiatan bermain sangat penting untuk mendorong pengembangan


kemampuan berbahasa anak. Dalam bermain, si anak kadang berperan sebagai orang
dewasa; sebagai penjual atau pembeli dalam bermain dagang-dagangan; ibu, bapak
atau anak dalam bermain rumah-rumahan; sebagai dokter, perawat atau pasien; atau
sebagai guru dan murid dalam bermain sekolah-sekolahan. Tanpa disadari, mereka
sedang bermain drama, sekaligus mereka berlatih berbicara dan menyimak.

e.       Penyederhanaan

Di samping perbuatan anak bersifat egosentris (berpusat pada dirinya,


perkembangan kemampuan anak yang bertahap yang membuat tuturan yang
digunakannya lebih sederhana dan langsung. Satu atau dua kata mewakili satu
kalimat. Ciri berbahasa anak seperti itu disebut penyederhanaan atau reduksi.
Strategi itu tentu saja tidak disadari si anak. Meskipun sederhana, kita sebagai orang
dewasa akan memahaminya karena dibantu oleh konteks terjadinya perilaku
berbahasa anak.

5.      Tahap-Tahap Pemerolehan Bahasa

a.       Tahap Pralinguistik

Pada tahap ini, bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan akan semakin mendekati
bunyi vokal atau konsonan tertentu. Tetapi, umumnya bunyi-bunyi tersebut belumlah
mengacu pada kata atau kalimat dengan makna tertentu. Oleh karena itu,
perkembangan bahasa anak pada fase ini disebut tahap pralinguistik.

Fase ini berlangsung sejak anak lahir sampai berumur sekitar 12 bulan.
1)      Pada umur 0 - 2 bulan, anak hanya mengeluarkan bunyi-bunyi refleksif untuk
menyatakan rasa lapar, haus, sakit atau ketidaknyamanan, serta bunyi-bunyi
vegetatif yang berkaitan dengan aktivitas tubuh, seperti batuk, bersin, sendawa,
telanan (ketika makan), dan tegukan (ketika menyusu atau minum).

2)      Pada umur 2 – 5 bulan, anak mulai mendekut dan mengeluarkan bunyibunyi


vokal yang bercampur dengan bunyi-bunyi mirip konsonan. Bunyi itu biasanya
muncul sebagai respons terhadap senyum atau ucapan orang tuanya.

3)      Pada umur 4 – 7 bulan, anak mulai mengeluarkan bunyi yang agak utuh dengan
rentang waktu yang lebih lama. Bunyi mirip vokal dan konsonannya lebih
bervariasi. Konsonan nasal /m/ dan /n/ sudah mulai muncul. d. Pada umur 6 – 12
bulan, anak mulai berceloteh. Celotehannya berupa reduplikasi atau pengulangan
konsonan dan vokal yang sama, seperti /ba-ba-ba/, /ma-ma-ma/, dan /da-da-da/.
Vokal yang muncul adalah vokal dasar /a/ dengan konsonan hambat labial /p, b/,
nasal /m, n, n/, dan alveolar /t, d/. Selanjutnya, celotehan reduplikasi tersebut
berubah lebih bervariasi. Vokalnya sudah mulai menuju vokal /u/ dan /i/.
Konsonan frikatif pun, seperti /s/ sudah mulai muncul.

b.      Tahap Satu-Kata atau Holofrasis

Fase ini berlangsung ketika anak berusia 12 – 18 bulan. Pada tahap ini, anak
menggunakan satu kata yang bermakna mewakili keseluruhan ide yang
disampaikannya. Tegasnya, satu kata yang diucapkan anak mewakili satu frasa,
kalimat atau wacana. Karena itu, fase ini disebut juga tahap holofrasis. Kata-kata
yang diucapkan anak adalah kata-kata yang telah dikenal dan dikuasainya. Kata-kata
itu biasanya sering muncul dalam tuturan keseharian di lingkungan anak. Kata-kata
itu umumnya berkaitan dengan kegiatan rutin anak, pemanggilan orang-orang
sekitar, dan benda atau objek yang dekat dengan anak.

c.       Tahap Dua-Kata
Fase ini berlangsung sewaktu anak berusia sekitar 18 – 24 bulan. Pada tahap ini
kosakata dan gramatika anak berkembang dengan cepat, seiring dengan kematangan
otak dan alat ucapnya. Dalam bertutur anak-anak mulai menggunakan dua kata: papa
ikut, mamah main, mau bobo, dan sebagainya. Hanya kata-kata pokok yang
diucapkan anak, seperti kata benda, kata kerja (dasar), dan/atau kata sifat. Tak ada
kata tugas seperti kata depan atau kata penghubung.

d.      Tahap Telegrafis

Antara usia 2 – 3 tahun anak telah menghasilkan ujaran dalam bentuk kalimat-
kalimat pendek. Ciri yang paling mencolok pada fase ini bukanlah pada jumlah kata
yang dihasilkan anak, tetapi pada variasi bentuk kata yang sudah mulai muncul.
Namun demikian, pada fase ini, anak belum menggunakan kata tugas dalam bertutur.
Oleh karena itu, perkembangan bahasa anak pada fase ini disebut dengan tahap
telegrafis. Seiring dengan bertambahnya usia dan perkembangan otak dan perangkat
biologis lainnya maka kemampuan anak pun (kaidah bahasa dan kaidah berbahasa)
akan semakin meningkat hingga mendekati tuturan orang dewasa.

B.     Pemerolehan Bahasa Kedua

1.      Pengertian dan Cara Pemerolehan Bahasa Kedua

Suatu bahasa disebut bahasa kedua apabila bahasa tersebut dikuasai anak
melalui belajar secara formal. Dalam memperoleh B2 banyak cara yang dilakukan.
Secara umum, tipe perolehan B2 dapat dibedakan menjadi pemerolehan B2 secara
terpimpin, secara alamiah, serta terpimpin dan alamiah (Lihat Subyakto-Nababan,
1992). Pemerolehan B2 secara terpimpin dilakukan melalui aktivitas pembelajaran,
baik di sekolah maupun kursus atau les. Umumnya, ragam bahasa yang dipelajari
bersifat formal atau baku. Sementara itu, pemerolehan B2 secara alamiah dilakukan
secara spontan. Dengan demikian seorang anak bisa memiliki beberapa bahasa
pertama dan juga beberapa bahasa kedua.
Kunci keberhasilan belajar B2 adalah kemauan belajar, keberanian
mempraktikkan dalam situasi riel, dan keintensifan dalam berkomunikasi dengan B2.
Memang penting belajar kosakata dan kaidah bahasa dengan menggunakan berbagai
sumber. Tetapi, tak kalah pentingnya adalah faktor individu pembelajar B2, dalam hal
ini keberanian menggunakan bahasa tersebut dalam interaksi dengan penutur asli atau
pengguna B2. Tidak malu, tidak takut salah, dan tidak perlu khawatir ditertawakan
kalau unjuk berbahasanya kurang pas. Semakin berani dalam berbahasa dan semakin
intensif dalam berinteraksi, biasanya semakin cepat B2 tersebut dikuasai.

2.      Teori Pemerolehan Bahasa Kedua

a.       Model Akulturasi

Akulturasi adalah proses adaptasi atau penyesuaian dengan kebudayaan


baru. Dalam pemerolehan B2, akulturasi dipandang penting karena bahasa
sebagai ungkapan budaya serta berhubungan dengan saling menilai antara
masyarakat B1 dengan B2. Akulturasi ditentukan oleh jarak sosial dan jarak
psikologis antara pembelajar (B1) dengan budaya bahasa sasaran (B2). Jarak
sosial adalah pengaruh faktor-faktor pembelajar sebagai anggota masyarakat yang
harus berhubungan dengan masyarakat ’pemilik’ B2. Sementara itu, jarak
psikologis adalah pengaruh faktor afeksi pembelajar sebagai pribadi pembelajar.

Faktor-faktor yang menentukan jarak sosial antara kelompok B1 dan B2


adalah:

1)        kesamaan derajat sosial;


2)        timbulnya keinginan asimilasi;
3)        saling terlibatnya antardua kelompok;
4)        kelompok belajar B2 kecil dan tidak kohesif;
5)        kesesuaian budaya;
6)        saling memiliki sikap positif;
7)        lama tidaknya berasimilasi antara kelompok B1 dan B2.

Sementara itu, faktor-faktor penentu jarak psikologis yang sebenarnya lebih


bersifat afektif, meliputi kejutan bahasa, guncangan budaya, motivasi, dan batas-
batas keakuan.

b.      Teori Akomodasi

Teori akomodasi menyatakan bahwa hubungan masyarakat B1 dengan B2


dalam berinteraksi sangat menentukan pemerolehan B2. Faktor-faktor berikut
akan mempermudah dan mempengaruhi keberhasilan pembelajar dalam
mempelajari B2:

1)        Anggapan pembelajar B2 bahwa dirinya merupakan bagian dari


masyarakat B2.
2)        Tidak memandang rendah kelompok masyarakat B2.
3)        Persepsi pembelajar tentang pentingnya etnolinguistik.
4)        Terbuka dan tidak ketat dalam mempersepsikan batas kelompok B1 dengan
B2.
5)        Pembelajar B1 mengidentifikasi diri sama kuat dan memuaskannya dengan
kelompok sosial lainnya.

c.       Teori Wacana

Teori wacana menekankan pentingnya pembelajar B2 menemukan makna


bahasa melalui keterlibatannya dalam berkomunikasi. Melalui kesertaannya
dalam komunikasi, pembelajar dapat mengembangkan kaidah gramatika dan
penggunaan bahasanya. Teori wacana mempunyai sejumlah prinsip utama
berikut:

1)        Pemerolehan B2 mengikuti urutan alamiah dalam perkembangan sintaksis.

2)        Penutur asli akan menyesuaikan tuturannya untuk mencapai makna yang


disepakati bersama penutur nonasli.
3)        Strategi percakapan yang ditempuh untuk mencapai makna yang disepakati
dan masukan mempengaruhi kecepatan dan urutan pemerolehan B2.

Menurut teori wacana interaksi sosial sangat penting karena dapat memberikan
data terbaik bagi pembelajar untuk dapat diolah oleh otak. Melalui data tersebut
disusunlah suatu model masukan yang pantas dan terkait.

d.      Model Monitor

Monitor adalah proses konstruksi kreatif dalam berbahasa. Model Monitor


memiliki lima hipotesis berikut yang mempengaruhi pemerolehan B2:

1)        Hipotesis pemerolehan-pembelajaran
2)        Hipotesis urutan alamiah
3)        Hipotesis monitor
4)        Hipotesis masukan
5)        Hipotesis saringan afektif

e.       Model kompetensi variabel

Model ini menyatakan bahwa cara seseorang mempelajari bahasa akan


mencerminkan cara orang itu menggunakan bahasa yang dipelajarinya. Produk
penggunaan bahasa terdiri atas berbagai macam produk bahasa (wacana) dari
yang tidak terencana sampai yang terencana. Produk yang tidak direncanakan
adalah wujud penggunaan bahasa yang penyampaiannya bersifat spontan, tanpa
persiapan, dan tidak melalui pemikiran yang matang. Penggunaan bahasa ini
terjadi dalam komunikasi rutin seperti tutur-sapa, percakapan.

Model kompetensi variabel menyampaikan prinsip-prinsip berikut:

1)        Pembelajar menyimpan pengetahuan tunggal yang berisi kaidah-kaidah


bahasa antara (interlangue). Secara otomatis, penyimpan ini akan aktif apabila
dirangsang, didorong, dan dipicu untuk berlatih menerapkan B2.
2)        Pembelajar memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa.
Kemampuan itu berbentuk:

a)      proses wacana primer,


b)      proses wacana sekunder
c)      proses kognitif

3)        Tampilan B2 merupakan variable yang dihasilkan melalui proses primer


dalam wacana yang tidak terencana atau proses sekunder dalam wacana yang
direncanakan.

4)        Perkembangan pemerolehan B2 terjadi sebagai akibat:

a)      pemerolehan kaidah-kaidah baru dari B2 melalui keterlibatan


pembelajar dalam berbagai tipe wacana;

b)      pengaktifan kaidah-kaidah B2 yang sudah ada pada dalam bentuk tidak


teranalisis dan tidak otomatis atau teranalisis sehingga dapat digunakan
untuk wacana yang tidak direncanakan.

f.       Hipotesis Universal

Hipotesis universal menyatakan bahwa anak menemukan kaidah-kaidah


bahasa dengan bentuk gramatika universal, yakni gramatika inti. Contoh
gramatika universal, umumnya bahasa memiliki struktur kalimat yang berpola
subjek-predikat. Dalam pembelajaran B2 jika pembelajar menemukan kaidah B2
yang bermarkah, pembelajar tersebut tergoda untuk kembali ke kaidah B1,
terutama apabila B1 itu memiliki kaidah universal yang sama.

g.      Teori Neurofungsional

Teori ini menyatakan adanya hubungan antara bahasa dengan anatomi


syaraf. Dua daerah dalam otak, yaitu belahan otak kanan (daerah Wernickle) dan
belahan otak kiri (daerah Brocka), menentukan pemerolehan B2. Belahan otak
kanan berkaitan dengan proses menyeluruh dan berfungsi untuk merekam dan
memproses ujaran yang berpola. Sementara belahan otak kiri berkaitan dengan
penggunaan bahasa secara kreatif yang meliputi pemrosesan secara sintaktik dan
semantik, serta pengendali aktivitas berbicara dan menulis. Dalam kaitannya
dengan pemerolehan B2, fokus teori ini berkenaan dengan perbedaan usia (pada
usia kritis otak berada pada kesiapan sempurna untuk belajar bahasa), fosilisasi
(aspek bahasa yang telah terkuasai bertahun-tahun hingga usia dewasa menjadi
unsur kompetensi yang otomatis dan memfosil atau menetap secara permanen),
ujaran terpola, dan pola latihan di kelas dalam mempelajari B2.

Pemerolehan B2 dapat diterangkan menurut fungsi syaraf dengan


memperhatikan dua hal. Pertama, fungsi syaraf yang mana yang digunakan untuk
berkomunikasi. Kedua, tingkatan mana dalam system syaraf tersebut yang
dilibatkan.
BAB III 

KESIMPULAN

A. KESIMPULAN

Psikologi linguistik adalah ilmu yang mempelajari mengenai penggunaan bahasa dan cara
pemerolehan bahasa pada manusia. Terdapat tiga bidang kajian utama psikologi linguistik yaitu
psikolinguistik umum, psikolingustik perkembangan dan psikolinguistik terapan. Psikolinguistik
merupakan urat nadi pengajaran bahasa. Psikolingusitik dan pengajaran bahasa tidak dapat
dipisahkan, karena focus atau tumpuan psikolinguistik adalah pemerolehan bahasa, disamping
pembelajaran bahasa dan pengajaran bahasa. Focus kajian psikolingustik yaitu pemerolehan,
pengajaran dan pembelajaran bahasa. Ketiga aspek tersebut berkaitan satu sama
lain. Pemerolehan bahasa adalah proses yang berlaku di dalam otak seseorang anak ketika
memperoleh bahasanya. Proses pemerolehan terjadi ketika anak sedang memperoleh bahasa
terdiri dari dua aspek: pertama aspek performance yang terdiri dari aspek-aspek pemahaman dan
pelahiran. Kedua aspek kompetensi (kemampuan linguistik). Kemampuan bahasa anak terdiri
dari tiga bagian yaitu: kemampuan fonologi, semanti dan kalimat. Ketiga bagian ini diperoleh
anaki secara serettak atau bersamaan.

Pemerolehan bahasa adalah proses-proses yang berlaku di dalam otak seorang anak
ketika memperoleh bahasa ibunya .Pemerolehan bahasa anak dimulai dari lingkungannya
terutama lingkungan keluarga, ini disebut pemerolehan bahasa pertama yang terjadi dalam
kehidupan awal anak. Anak-anak dalam proses pemerolehan bahasa pada umumnya
menggunakan 4 strategi, yaitu imitasi, produktivitas, umpan balik dan prinsip oprasi. Sedangkan
pemerolehan bahasa kedua dimaknai saat seseorang memperoleh bahasa lain setelah terlebih
dahulu ia menguasai sampai batas tertentu bahasa ibu (bahasa pertama).
 
DAFTAR PUSTAKA

Hartati Tatat dkk. 2006. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas


Rendah. Bandung: UPI Pres

Santosa P dkk. 2005. Materi dan Pembelajaran Bahasa Indonesia SD. Jakarta:


Pusat Penerbitan UT.

Resmini N dkk. 2006 Pembinaan dan Pengembangan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Bandung: UPI Pres.

Anda mungkin juga menyukai