Anda di halaman 1dari 11

Kegiatan Belajar 3

Karakteristik & Kebutuhan Pendidikan


Anak Berkesulitan Belajar
A. FILSAFAT PENDIDIKAN BAGI KELAS KHUSUS

• Konsep ketidakmampuan belajar muncul sebagai bagian dari tantangan bahwa semua anak akan
otomatis belajar pada saat mereka “ mencapai kesiapan dan kematangan”.
• Johnson (1962) menyatakan bahwa anak – anak tidak lagi memperoleh manfaat yang lebih
daripada di kelas biasa , karena di kelas khusus lingkungannya di tujukan bagi anak – anak yang
mempunyai kekurangan.
• Guru – guru disemangati untuk membangun ekspektasi yang positif.
• Dan para peneliti di tantang agar dapat menyajikan landasan ilmiah untuk praktek pembelajaran
intensif yang dijalin dengan kebutuhan belajar individu siswa.
B. MODIFIKASI TUGAS – TUGAS DISESUAIKAN DENGAN KEMAMPUAN
DAN GAYA BELAJAR SISWA
• Perkembangan siswa dapat dipengaruhi oleh hakikat tugas – tugas yang dihadapinya di kelas. Beberapa
modifikasi tugas untuk memfasilitasi perkembangan siswa diantaranya:
1. Modifikasi Tugas Disesuaikan pada Kesiapan Siswa
Sebagian anak mungkin tidak dapat mempelajari sesuatu sebagaimana yang diharapkan pada usia tertentu, tetapi
mereka sebenarnya dapat mempelajari keterampilan-keterampilan dasar yang lebih mudah baginya. Bila meteri
tugas disesusaikan dengan kesiapan mereka untuk belajar, maka guru telah memfasilitasi belajar anak itu.
Ketercapaian tujuan pada tingkat yang lebih tinggi akan terjadi lebih cepat dan lebih lengkap bila kita lebih dulu
mengajarkan latar belakang yang diperlukan.
Tugas – tugas juga dapat dianalisis melalui dimensi proses. Spenry (1974) menunjukkan dimensi – dimensi
untuk dipertimbangkan untuk menganalisis tugas – tugas dari yang paling sulit kepada yang kurang sulit.
Dari komunikasi eksternal kepada yang internal. Lebih sulit mengemukakan apa yang diketahui daripada hanya
mengenal apa yang ditunjukkan, misalnya:

a. Dari situasi sosial kepada yang non-sosial. Bekerja dalam kelompok lebih sulit bekerja sendiri – sendiri.

b. Dari materi dan respon yang abstrak kepada yang konkret.Menjumlahkan angka – angka lebih sulit daripada
menjumlahkan lidi yang dipotong pendek-pendek.

c. Dari materi dan respon verbal kepada yang nonverbal. Tugas – tugas kebahasaan lebih sulit daripada visual-gerak.
2. Modifikasi Proses-proses Tugas Disesuaikan dengan Gaya-gaya Belajar Siswa

Untuk meningkatkan perolehan materi / pengetahuan, tugas-tugas harus disesuaikan sebaik mungkin yang
sesuai dengan bagaimana setiap siswa belajar. Siswa dengan ketidakmampuan belajar mempunyai cara unik
daripada belajar yang akan memudahkan baginya menyerap materi yang disajikan dengan cara yang khusus.

Meichenbaum (1976) menyarankan tiga langkah dalam memodifikasi tugas, diantaranya :

a. Manipulasi tugas
Temukan dalam keadaan apa seorang siswa dapat mendemontrasikan kompetensinya ( misalnya
dengan menggunakan modalitas yang berbeda untuk menyajikan suatu informasi).

b. Mengubah lingkungan.
Perhatikan dan temukan apakah siswa dapat melakukan sesuatu dengan baik dalam suatu lingkungan ideal,
tempat dia belajar dan mengerjakan tugas dengan aman dan nyaman.

c. Berikan dukungan / spirit


Berikan dukungan dan bimbingan dalam mengerjakan tugas dengan menjelaskan baian demi bagian. Berikan
umpan balik pada hasil belajar dan hasil tugasnya.

5.27
C. SEKOLAH INKLUSIF
• Perkembangan pendidikan saat ini, memandang bahwa pendidikan harus mampu mengakomodasi
semua peserta didik. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan prndidikan inklusif.
• Sebenarnya pendidikan inklusif itu merangkul dan menerima keberagaman yang tidak hanya
menolerirnya, tetapi juga mendorong keingintahuan dan kreativitas, bukan menyesuaikan atau
kompromi. Pendidikan inklusif menciptakan sebuah semangat kompetensi yang konstruktif, bukan
hanya diantara anak-anak, tetapi anak-anak tersebut akan bersaing dengan dirinya.
• Dalam sekolah inklusif, seorang anak diharapkan untuk belajar bertindak menurut keterampilan,
kebutuhan dan kemampuannya. Kurikulum harus fleksibel untuk mengakomodasi keberagaman
pesrta didik.
• Pendidikan inklusif harus menjadi arah dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan secara
keseluruhan. Oleh karena itu pendidikan inklusif tidak diartikan sebagai model pendidikan atau
pendekatan pendidikan yang memasukkan anak penyandang cacatke sekolah regular, tetapi
bagaimana pendidikan itu dapat mengakomodasi kebutuhan peserta didik yang beragam dalam
kelas yang sama.
Untuk memperkenalkan pendidikan inklusif menuju pendidikan yang berkualitas
diperlukan adanya perubahan opini, pemahaman dan sikap para penyelenggara
pendidikan terhadap anak dan pendidikannya, sejalan dengan pendirian pendidikan
kebutuhan khusus dan pendidikan inklusif.

Pendidikan inklusif menghendaki penyatuan bagi semua anak tanpa kecuali ke dalam
program-program sekolah regular, semua sekolah harus dapat memberi perlakuan yang
bersifat terbuka terhadap kehadiran setiap peserta didik apapun kondisinya.
1. Konsep Pendidikan Inklusif

Pendidikan inklusif berangkat dari pemikiran bahwa hak mendapatkan pendidikan merupakan hak
asasi manusia yang paling mendasar. ( Deklarasi Internasional tentang HAM 1948 dan konvensi
internasional tentang Hak Anak,1989 ). Konvensi ini ditindaklanjuti dengan gerakan untuk
mengubah hak mendapat pendidikan menjadi kenyataan dengan aksi yang dikenal Pendidikan
Untuk Semua di deklarasikan dalam konferensi dunia di Jomtien Thailand tahun 1990.

Selanjutnya di Dakkar Sinegal tahun 2000, mereviu bahwa pendidikan untuk semua harus
mempertimbangkan kebutuhan mereka yang miskin dan tidak beruntung, termasuk yang
berkebutuhan khusus ( UNESCO, 2000 ).

Pendidikan inklusif merupakan suatu pangdangan yang menuntut adanya perubahan layanan
pendidikan yang tidak diskriminatif, menghargai perbedaan , dan pemenuhan kebutuhan setiap
individu berdasarkan kemampuannya.
Pada sisi lain Stainback (1990) dalam Sunardi (2002) menyebutkan bahwa sekolah inklusif
merupakan sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama dengan layanan pendidikan
yang disesuaikan kemampuan dan kebutuhan siswa.

Konsep pendidikan inklusif merupakan anitetis dari penyelenggaraan pendidikan luar biasa yang
segregatif dan eksklusif , yang memisahkan anak luar biasa dengan anak lain pada umumnya yang
biasa disebut anak normal.

Dalam sistem pendidikan yang segregatif eksklusif, peserta didik dikelompokkan kedalam dua
kategori, normal dan berkelainan. Sebagai konsekuensi nya peserta didik yang normal dimasukkan
ke sekolah regular sedangkan yang berkelainan dimasukkan ke sekolah khusus atau sekolah luar
biasa.
2. Prinsip Pendidikan Inklusif dalam Pembelajaran

Johnsen dan Miriam Skojen (2001) menjabarkan dalam tiga Prinsip, yaitu :
(1) bahwa setiap anak termasuk dalam komunitas setempat dan dalam suatu kelas atau kelompok.
(2) bahwa hari sekolah diatur penuh dengan tugas-tugas pembelajaran kooperatif dengan perbedaan
pendidikan dan fleksibilitas dalam memilih dengan sepuas hati.
(3) guru bekerjasama dan mendapat pengetahuan pendidikan umum, khusus dan teknik belajar individu serta
keperluan-keperluan pelatihan dan mengapresiasikan keanekaragaman dan perbedaan individu dalam
pengorganisasian kelas.

Sementara itu Molyono dalam Sri Wahyuni Ambarwati (2005) mengidentifikasikan Prinsip pendidikan
inklusif kedalam Sembilan elemen dasar yang memungkinkan pendidikan inklusif dapat dilaksanakan:

a. Sikap guru yang positif terhadap kebinekaan


b. Interaktif promotif
c. Pencapaian kompetensi akademik dan sosial
d. Pembelajaran adaptif
e. Konsultasi kolaboratif
f. Hidup dan belajar dalam masyarakat
g. Hubungan kemitraan antara sekolah dengan keluarga
h. Belajar dan berfikir independen
i. Belajar sepanjang hayat
3. Prosedur Pembelajaran yang Inklusif

Prosedur yang ideal untuk mengembangkan program pembelajaran ini sebagaimana dikemukakan
UNESCO (2004) yang dimodifikasi kembalioleh Tim Direktorat PLB dan IDP Norway, memiliki
lima aspek, yaitu:

a. Pembentukan tim pembelajaran inklusif

Langkah awal dalam penyusunan program pembelajaran adalah membentuk suatu tim yang disebut
dengan tim pembelajaran inklusif. Tim ini mempunyai tugas untuk merancang dan menyusun suatu
program pembelajaran.

b. Mengidentifikasi kebutuhan

Mengidentifikasi kebutuhan dengan mempertimbangkan seperti : ukuran kelas, materi pelajaran,


strategi pembelajaran, kemampuan dan gaya belajar peserta didik .

c. Mengembangkan tujuan pembelajaran

Didalam mengembangkan tujuan pembelajaran prosesnya dapat dilakukan melalui penyelarasan


antara materi yang ada dalam kurikulum dengan temuan hasil asesmen atau identifikasi kebutuhan.
d. Merancang pengembangan pembelajaran

Proses pembelajaran yang dirancang hendaknya mampu menggambarkan bagaimana setiap tujuan pembelajaran
itu akan dan dapat diselesaikan, serta bagaimana penilaian keberhasilan peserta didik dalam mencapai tujuan
pembelajaran.
Proses pembelajaran di rancang dengan cara mengelompokkan peserta didik berdasarkan kondisi dan materi yang
akan dibelajarkan secara kooperatif, mungkin sangat heterogen dan dikelola lebih bersifat individual.

e. Menentukan evaluasi kemajuan

Evaluasi kemajuan belajar hendaknya mengukur derajat pencapaian tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan
dalam setiap tujuan jangka pendek atau tujuan instruksional khusus. Hal penting yang harus lebih diperhatikan
adalah melihat terjadinya perubahan perilaku pada diri peserta didik itu sendiri sebelum dan setelah diberikan
perlakuan.
Teknik evaluasi dapat dilakukan dengan berbagai bentuk , tes secara tertulis, lisan atau bersifat perbuatan yang
ditampilkan dan di catat melalui observasi guru.
Dengan demikian, evaluasi memiliki dua sisi yaitu evaluasi proses dan evaluasi hasil.

D. PENILAIAN BAGI PESERTA DIDIK BERKELAINAN

Evaluasi ini dapat dilakukan seperti halnya pada peserta didik yang normal. Teknik evaluasi yang dilakukan nya
juga sama, yaitu berupa tes secara tertulis, lisan ataupun bersifat perbuatan yang ditampilkan.

Anda mungkin juga menyukai