Pritz Hutabarat
Kepopuleran film-film Holiwood di masyarakat Indonesia memiliki potensi yang sangat besar
didalam membentuk pola pikir masyarakat. Gemarnya masyarakat menonton film Holiwood
harus dapat dicermati sebagai peluang didalam menanamkan pendidikan yang baik bagi
generasi penerus bangsa, termasuk didalam hal pendidikan bahasa Inggris sebagai bahasa
Internasional yang mutlak dikuasai oleh generasi penerus bangsa. Kemampuan berkomunikasi
dalam suatu bahasa dapat diperoleh baik melalui proses belajar secara sadar maupun diperoleh
secara langsung seperti melalui kebiasaan menggunakan bahasa tersebut sehari-hari. Menonton
film berbahasa Inggris merupakan salah satu sarana pembelajaran bahasa secara tidak
terencana karena penyerapan bahasa terjadi secara tidak sadar untuk selanjutnya dapat
digunakan dalam sebuah komunikasi. Studi ini akan menginvestigasi peran film berbahasa
Inggris secara khusus didalam pemerolehan bahasa Inggris baik sebagai sarana pembelajaran
terencana maupun tidak terencana, kelebihan dan kekurangan acara televisi sebagai media
pendidikan bahasa Inggris, dan strategi pembelajaran dengan memanfaatkan acara televisi
sebagai media pembelajaran. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk dapat memberikan
masukan didalam pemanfaatan kegiatan menonton film berbahasa Inggris untuk menunjang
pendidikan bahasa, khususnya bahasa Inggris bagi siswa Indonesia. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa menonton film berbahasa Inggris memiliki potensi untuk digunakan
dalam pendidikan bahasa terutama didalam meningkatkan kemampuan mendengar dan
berbicara dalam bahasa Inggris. Kekurangan utama dari menggunakan film sebagai materi
belajar berhubungan dengan kelayakan kandungan bahasa dalam beberapa film terutama dari
segi kesopanan dan kesesuaian usia. Strategi pembelajaran bahasa Inggris menggunakan film
meliputi tiga tahapan, yaitu pre, while, dan post watching.
Penggunaan film sebagai bahan pengajaran Bahasa Inggris di Indonesia masih sangat terbatas.
Penelitian yang dikhususkan pada area integrasi film dalam kegiatan pembelajaran Bahasa asing
khususnya Inggris di Indonesia juga masih sangat minim. Oleh karena itu artikel ini bertujuan untuk
memberikan kontribusi pada kajian aplikatif penggunaan media film dalam pembelajaran sehingga
dapat membantu guru Bahasa Inggris untuk menggunakan media film dalam pengajarannya.
Penggunaan film sebagai bahan ajar diharapkan dapat memberikan pengalaman belajar yang
menyenangkan bagi siswa (Donaghy, 2014). Penggunaan film dalam pengajaran di sekolah juga dapat
meningkatkan relevansi kehidupan sekolah peserta didik dengan kehidupan luar sekolah mereka.
Fenomena yang lainnya adalah terjadinya pemerolehan kata, khususnya dalam bahasa Inggris,
yang tidak tepat dalam penggunaannya. Misalnya penggunaan kata umpatan yang lazim dipertotonkan
oleh film-film Holiwood seringkali ditiru oleh anak-anak kita tanpa mengetahui kepantasan dan
kesesuaian konteks pada penggunan kata-kata tersebut dalam berkomunikasi. Proses penyerapan bahasa
Inggris seperti ini sesuai dengan fenomena pemerolehan bahasa yang tanpa disertai dengan
pembelajaran kaidah-kaidah bahasa tersebut. Ketika kita berusaha untuk menguasai suatu bahasa, kita
secara tidak sadar menyerap kata-kata dalam dialog bahasa target dan menggunakannya dalam
komunikasi sehari-hari tanpa mempelajari secara lebih mendalam tentang kesesuaian penggunaan kata
tersebut dengan konteks komunikasi. Hal ini sesuai dengan teori pemerolehan bahasa yang
dikemukakan oleh Krashen (Krashen, 1981).
Disisi lain, kita melihat munculnya pembicara-pembicara public yang masih berusia belia.
Mereka dengan fasihnya mengelaborasi ide-ide cemerlang mereka. Informasi yang tersedia di layar
televisi telah memampukan mereka penjadi orator ulung di pentas nasional. Meskipun pengaruh dari
menonton televisi sejak usia dini masih menjadi perdebatan, pada beberapa penelitian menunjukkan
bahwa menonton program televisi yang sesuai dengan usia anak dapat meningkatkan kemampuan
komunikasi reseptif anak (Close, 2004). Lebih jauh lagi, kemampuan bahasa asing anak-anak Indonesia
juga tergolong baik dikawasan asia tenggara, khususnya di negara yang Bahasa Inggris merupakan
bahasa asing (First, 2014). Melalui media televisi kita juga dapat belajar tentang dialek yang berbeda-
beda dari seluruh Indonesia sehingga memperkaya khazanah kebahasaan kita secara umum.
Pembahasan tentang penggunaan televisi sebagai media belajar bahasa dalam penelitian ini
akan difokuskan pada peranannya pada proses pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing di
Indonesia. Penelitian ini bermaksud untuk mengelaborasi berbagai potensi dan resiko dari penggunaan
televisi didalam pembelajaran bahasa Inggris. Beberapa rancangan pengajaran juga akan diberikan
untuk membantu guru dan siswa didalam proses belaja mengajar. Untuk itu penelitian ini diarahkan
oleh pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apakah kelebihan dan kekurangan dari penggunaan media TV didalam pendidikan bahasa baik
bahasa Indonesia maupun bahasa asing (Inggris)?
2. Bagaimanakah pemanfaatan TV sebagai media pendidikan bahasa?
Penelitian ini menggunakan dua teori utama sebagai bahan referensi didalam pembahasannya
yaitu teori tentang pemerolehan dan bahasa dan teori tentang penggunaan media didalam proses
pembelajaran bahasa, khususnya bahasa Inggris. Konsep pemerolehan bahasa masih merupakan hal
yang diperdebatkan dikalangan ahli bahasa. Berbagai teori dikembangkan untuk menjawab bagaimana
proses terjadinya pemerolehan bahasa baik bahasa pertama maupun bahasa kedua atau asing. Beberapa
teori yang populer antara lain dikemukakan oleh Chomsky, Krashen, Ellis, dan Hymes. Meskipun
semua teori tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan, mereka memberikan pandangan yang
komprehensif didalam mejelaskan fenomena pemerolehan bahasa.
Chomsky menjelaskan fenomena penguasaan bahasa dalam suatu konsep yang berasumsi
bahwa kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa adalah sesuatu yang unik dimiliki oleh
spesies manusia yang tertanam dalam genetika manusia. Kemampuan berkomunikasi ini ditunjang oleh
adanya seuah sistem terintegrasi yang berada di otak manusia. Adanya sistem ini menyebabkan manusia
dapat mengidentifikasi tata bahasa dari bahasa yang digunakan dalam komunitasnya. Chomsky
mendasarkan temuannya pada kurangnya stimuli yang diberikan kepada anak-anak sedangkan pada
faktanya anak-anak mampu memproduksi ujaran yang jauh melebihi input yang diberikan lingkungan
padanya, terutama dalam hal tata bahasa. Dalam prakteknya hal ini dapat dengan mudah dilihat dari
proses penguasaan bahasa ibu. Dalam proses penguasaan bahasa ibu, anak-anak tidak mendapatkan
pelajaran formal mengenai tata bahasa, akan tetapi mereka dapat dengan benar menyusun kata untuk
berkomunikasi dengan orang sekitarnya. Hal ini menjelaskan bahwa ada suatu sistem operasional yang
tertanam di otak manusia yang memampukan mereka untuk mengerti dan berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa.
Hipotesa Krashen
Krashen menjelaskan fenomena pemerolehan bahasa kedua ataupun bahasa asing dalam lima
buah hipotesa. Hipotesa pertama menyatakan bahwa adanya dua proses yang berbeda didalam
penguasaan suatu bahasa, proses pemerolehan dan proses belajar. Perbedaan diantara keduanya terletak
pada ada atau tidaknya maksud atau unsur kesengajaan didalam prosesnya. Suatu pemerolehan
(acquiring) bahasa itu ditandai dengan ketiadaan maksud (unintentionally) untuk mempelajari suatu
bahasa. Hal ini jelas terlihat dalam penguasaan bahasa ibu atau bahasa pertama. Setiap orang, dengan
mengabaikan ketidakmampuan fisik dan psikis, akan mampu berkomunikasi dengan menggunakan
bahasa ibunya tanpa harus mengikuti kelas bahasa atau pun belajar secara intensional. Sedangkan proses
penguasaan melalui proses belajar (learning) ditandai dengan adanya niat atau maksud baik secar
implisit maupun ekspisit untuk dapat menguasai suatu bahasa.
Hipotesa kedua berhubungan dengan tingkatan atau urutan penguasaan suatu bahasa. Krashen
berpendapat bahwa urutan atau tingkatan penguasaan suatu bahasa itu mengikuti suatu urutan tertentu
yang relatif sama antara satu orang dan orang yang lain. Dia mencontohkan bahwa bagi penutur bahasa
Inggris, kemampuan menggunakan kata kerja kontinu (swimming) akan lebih awal dibandingkan
dengan kemampuan menggunakan kata kerja dengan subjek orang ketiga tunggal (swims).
Hipotesa ketiga berhubungan dengan peranan pengetahuan tentang tata bahasa untuk me
monitor output didalam proses produksi ujaran maupun tulisan. Menurut hipotesa ini pengetahuan tata
bahasa ini berfungsi untuk memastikan ketepatan tata bahasa dalam setiap ujaran ketika atau bersamaan
waktu dengan ketika berbicara. Ada beberapa kategori pelajar L2 berdasarkan hipotesa ini yaitu under-
users, optimum-users, dan over-users. Under-users adalah mereka yang tidak atau jarang sekali
memeriksa ketepatan tata bahasa ketika berbicara meskipun mereka seolah-olah lancar didalam
berkomunikasi. Didalam kelas bahasa, under-users kelihatannya sangat percaya diri meskipun mereka
membuat banyak kesalahan tata bahasa dan cara pengucapan. Akibatnya mereka sangat sulit membuat
kemajuan yang signifikan karena mereka menganggap bahwa ketepatan tata bahasa bukanlah hal yang
utama. Mereka lebih mengutamakan kelancaran didalam berkomunikasi dibandingkan dengan
keakuratan dalam tata bahasa. Pelajar L2 yang termasuk dalam kategori over-users memiliki sifat yang
kebalikan dari under-users. Mereka sangat khawatir dengan tata bahasa mereka, sehingga mereka
memerlukan banyak waktu untuk berpikir sebelum mereka berbicara. Akibatnya mereka kelihatan tidak
lancar didalam berkomunikasi dalam bahasa asing atau bahasa kedua. Mereka sangat takut salah,
sehingga mereka sungkan untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang melibatkan aktivitas berbicara
dengan orang lain. Pelajar L2 yang ideal adalah optimum-users. Mereka peka terhadap keakuratan
ujaran mereka, tetapi mereka tidak akan membiarkan proses monitoring mereka mengganggu
kelancaran mereka didalam berkomunikasi. Optimum-users tidak ragu untuk berpartisipasi dalam
aktivitas yang melibatkan mendengar dan berbicara karena mereka sadar bahwa mereka harus berani
mencoba untuk membuat ujaran yang secara tata bahasa benar.
Hipotesa keempat berhubungan dengan peranan input yang kompresensif didalam proses
penguasaan bahasa asing atau bahasa kedua. Menurut Krashen, diperlukan input yang komprehensif
atau dimengerti untuk mendukung proses penguasaan bahasa. Lokiganya apabila input yang diberikan
tersebut tidak dapat dimengerti oleh pelajar L2 maka mereka tidak dapat mencerna arti yang terkandung
dalam ujaran atau kata tersebut. Akibatnya mereka hanya mampu mengucapkan saja tanpa mengerti
makna kata yang diucapkan. Pembelajaran kata seperti ini tidak membuat kata tersebut “tinggal”lama
di otak karena sewaktu “masuk” ke otak hanya berupa input suara dan wujud tanpa kandungan makna
yang lebih lama tersimpan di otak manusia. Seperti ketika kita mampu mengungkapkan arti sebuah kata
yang katanya sendiri kita lupa. Hal itu menunjukkan bahwa pengertian atau makna sebuat ungkapan
lebih lama tertanam di ingatan kita. Oleh karena itu didalam proses belajar mengajar, guru harus
mengajarkan ungkapan atau kosakata baru didalam konteks yang dimengerti oleh siswa. Penghapalan
makna kata tanpa konteks tidak banyak membantu siswa menguasai suatu bahasa.
Hipotesa kelima berhubungan dengan aspek psikologis didalam pembelajaran sebuah bahasa.
Suasana hati yang santai dan tidak tegang dipercaya dapat meningkatkan kemampuan belajar siswa
meskipun secara umum kepribadian siswa sangat berperan didalam menentukan motivasi belajarnya.
Apabila siswa tersebut sangat sensitive terhadap pendapat orang lain terutama yang menyangkut
kemampuan/ketidakmampuannya dalam berbahasa asing, maka pelajar L2 tersebut bisa terhambat
perkembangannya. Hal ini disebabkan karena secara psikologis mereka akan sangat berhati-hati
didalam membuat ujaran karena mereka takut salah, hal ini berimbas pada lambatnya kemajuan siswa
dalam berkomunikasi. Sikap takut salah yang berlebihan membawa dampat yang negative terhadap
motivasi belajar siswa. Untuk itu guru harus sensitive terhadap faktor kejiwaan siswanya agar tidak
mengatakan hal-hal yang akan melemahkan siswanya misalnya dengan memberikan kritik yang terlalu
tajam meskipun benar dan bermaksud untuk membangun. Siswa yang tingkat sensitivitasnya rendah
akan sulit terpengaruh oleh lingkungan sehingga mereka tidak malu-malu untuk mencoba membuat
ujaran meskipun sering salah.
Beberapa ahli tata bahasa menghubungkan antara penguasan bahasa dengan kemampuan
berkomunikasi. Hymes seperti dikutip Saville-Troike menyatakan bahwa siapapun yang dapat
memproduksi suatu ujaran dalam konteks yang bebas dengan tata bahasa yang benar dapat dikatakan
memiliki kemampuan komunikasi (Saville-Troike, 2006). Konsep ini menyatakan bahwa untuk dapat
berkomunikasi dengan baik maka seseorang tidak hanya mengetahui tentang tata bahasa, kosakata,
maupun cara pengucapan yang benar melainkan juga harus mengetahui kapan dan bagaimana suatu
ujaran itu dapat diterima oleh komunitas penggunanya. Hal ini menyangkut aspek sosial dari suatu
bahasa yang memiliki fungsi strategis dalam hubungan antar individu didalam suatu komunitas.
Dalam masyarakat yang multi-bahasa maka peran tiap-tiap bahasa tergantung pada fungsi dari
bahasa tersebut dalam komunitas tertentu. Kemampuan dari seorang pelajar L2 akan berbeda dari
kemampuan bahasa dari penutur asli, meskipun pelajar L2 dapat saja telah menguasai semua aspek
tatabahasa dari bahasa kedua. Aspek sosial dan rasa yang terkandung dalam bahasa kedua sering kali
hanya dapat dimengerti dan dirasakan oleh penutur aslinya. Tentu saja ini tidak berarti bahwa pelajar
L2 tidak akan mampu berkomunikasi dengan penutur asli. Hal ini hanya menyatakan bahwa aka nada
keterbatasan didalam pengertian dari pelajar L2 pada beberapa ujaran dalam bahasa target terutama
yang berhubungan dengan nilai dan budaya.
Bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa internasional telah dipelajari di Indonesia sebagai
bahasa asing selama bertahun-tahun. Berbagai pendekatan dan strategi telah dicoba untuk lebih
meningkatkan kualitas penguasaan Bahasa Inggris siswa-siswa kita, meskipun sampai sekarang
kemampuan bahasa Inggris siswa Indonesia masih tergolong rendah dan tidak merata. Di beberapa kota
besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan kemampuan bahasa Inggris siswa kita cukup baik,
hal ini berbeda dengan kualitas penguasaan bahasa Inggris siswa daerah. Hal ini disebabkan oleh
banyak faktor seperti kurangnya materi ajar, kurang memadainya fasilitas sekolah dan ketidaksediaan
tenaga pengajar yang berkualitas. Banyak siswa sekolah harus mengikuti kursus bahasa Inggris di luar
sekolah untuk membantu mereka mengingkatkan kemampuan mereka dalam berbahasa Inggris.
Secara umum Anthony mengungkapkan adanya tiga konsep yang berbeda didalam pembahasan
proses belajar mengajar, yaitu pendekatan (approach), metode (method), dan teknik (techniques).
Pendekatan merujuk pada asumsi yang mendasari pengertian kita tentang bahasa, proses pembelajaran
dan pengajaran. Metode didefinisikan sebagai keseluruhan rencana untuk dapat memberikan penjelasan
tentang suatu bahasa berdasarkan pendekatan tertentu. Sedangkan teknik adalah aktivitas yang
dilakukan di dalam kelas bahasa yang sesuai dengan metode maupun pendekatan tertentu untuk
membantu siswa didalam proses pembelajaran bahasa (Brown, 2001). Jack Richards dan Theodore
Rodgers (1982, 1986) memberikan warna lain dari konsep yang dikemukakan oleh Anthoy tersebut
dengan mengajukan tiga konsep yang sedikit berbeda khususnya dalam pengertian metode. Mereka
coba memberikan nama yang berbedari yang Anthony berikan yaitu pendekatan (approach),
perancangan (design), dan prosedur (procedure) dan istilah yang memayungi ketiga konsep ini adalah
metode (method). Pendekatan didefinisikan sebagai asumsi, keyakinan, dan teori tentang bahasa dan
proses pembelajaran bahasa. Perancangan adalah bagaimana menghubungkan antara teori, keyakinan,
dan asumsi tersebut dengan aktivitas dan materi yang digunakan di kelas. Prosedur adalah teknik dan
cara mengajar yang sesuai dengan asumsi dan teori yang dituliskan pada rancangan pembelajaran
(Brown, 2001).
Metode ini didasari oleh asumsi bahwa siswa akan mempelajari sebuah bahasa melalui aktivitas
yang berupa tugas yang relevan dengan kehidupannya. Pengetahuan kebahasaan (linguistic knowledge)
akan secara otomatis berkembang atau dipelajari dan digunakan ketika siswa mencoba untuk
menyelesaikan tugas yang didesain oleh guru. Contoh aktivitas dikelas dapat berupa siswa ditugaskan
untuk membeli kebutuhan sehari-hari di sebuah toko. Untuk itu siswa akan bekerja secara berkelompok
untuk menyusun percakapan yang dibutuhkan ketika hendak berbelanja di toko. Setelah mereka berhasil
membeli barang yang bereka butuhkan maka guru kemudian memberikan masukan yang berhubungan
dengan tata bahasa, kosa kata, maupun pengucapan yang siswa lakukan ketika bermain peran untuk
membeli kebutuhan sehari-hari di toko. Secara sederhana orang menganggap bahwa metode ini
merupakan kebalikan dari metode PPP.
Pendekatan ini menekankan pada pengajaran kelompok (chunks) kata yang sering digunakan
dalam berkomunikasi. Pendekatan ini percaya bahwa siswa akan lebih cepat berkomunikasi jika mereka
memiliki perbendaharaan kosakata, khususnya kelompok kata yang cukup. Suatu kalimat tidak
dianalisa berdasarkan struktur tata bahasnya melainkan berdasarkan kosakatanya. Siswa akan coba
menghapalkan kosakata yang digunakan dalam berbagai situasi yang diberikan oleh guru sehingga
diharapkan siswa dapat secara alamiah memproduksi ujaran yang tepat dan berterima.
Secara tradisional Richards dan Rodgers (1986) menjelaskan tentang peranan bahan ajar didalam
proses belajar mengajar, khususnya yang menekankan pada kemampuan berkomunikasi adalah:
• Bahan ajar akan mengarahkan focus siswa pada kemampuan untuk didalam pemahaman,
ekspresi, dan bernegosiasi.
• Bahan ajar akan mengarahkan perhatian utama proses belajar pada informasi yang dimengerti,
relevan, dan berbagi informasi daripada pada tata bahasa.
• Bahan ajar menggabungkan berbagai teks yang berbeda dan berbagai media yang dapat
digunakan siswa untuk mengembangkan
Language laboratories, videos,
kemampuannya melalui berbagai computer, PowerPoint
aktivitas dan tugas (Nunan, 2000).
Cassette recorders, OHPs,
photocopies
Teknologi telah lama digunakan didalam
pengajaran bahasa. Hadfield menggambarkan Whiteboards, books
penggunaan teknologi ini dalam bentuk piramida
terbalik dengan bagian bawah tanpa alat dan Paper and pens
bagian paling atas terdiri dari laboratorium
bahasa, video, computer, PowerPoint (Harmer, Blackboard
Sesuai dengan Bagan 1, maka video termasuk video film merupakan salah satu media yang paling
popular dan berpotensi untuk digunakan sebagai media pembelajaran bahasa Inggris.
Film sebagai salah satu karya kreatif manusia memiliki keunggulan untuk digunakan sebagai
media didalam pendidikan bahasa Inggris karena mengandung ragam bahasa tulis (berbentuk teks) dan
lisan (dalam percakapan atau ujaran). Selain itu film juga mampu menghadirkan ekspresi wajah dan
bahasa tubuh yang tidak dapat terlacak di alat pendengar audio seperti kaset atau CD. Program televisi
banyak sekali menyiarkan film, baik fiksi maupun non fiksi dan hal ini menjadikan film sebagai sumber
otentik bahasa Inggris yang sangat berharga.
Beberapa kelebihan dan kekurangan dari menggunakan film sebagai media pendidikan bahasa
Inggris antara lain:
Hewit menambahkan,
“TV and movies have something for everyone, whether it’s drama, romance, soap operas,
nature documentaries or the news. And all this can help you improve your language skills.”
(Hewitt, 2015)
Hewitt menekankan pada aspek kelengkapan yang dimiliki oleh film didalam menyediakan
berbagai jenis genre bagi siapapun yang ingin menggunakan video, film dan televisi sebagai media
didalam mempelajari bahasa Inggris.
Selain kelebihan penggunaan televisi diatas, kita juga harus mengetahui beberapa kerugian yang
dapat ditimbulkan dari penggunaan jenis media ini dalam kegiatan pengajaran bahasa Inggris. Beberapa
kelemahan dari penggunaan film sebagai media pendidikan bahasa, khususnya bahasa Inggris antara
lain:
1. Kandungan budaya yang terdapat pada beberapa progam televisi bertentangan dengan budaya
Indonesia.
Beberapa film yang beredar bebas di Indonesia menampilkan tokoh yang menggunakan
pakaian yang tidak pantas bagi budaya Indonesia. Apabila siswa hanya melihat tayangan
tersebut tanpa diberikan penjelasan yang memadai oleh guru maupun orang tuanya maka bisa
saja siswa Indonesia beranggapan bahwa pakaian minim dan urakan itu layak untuk dipakai ke
sekolah.
2. Penggunaan kosakata umpatan
Seringkali siswa kita menggunakan kata-kata umpatan yang mereka dapatkan dari menonton
film karena mereka berpikir bahwa hal tersebut sebagai sebuah gaya berbicara yang keren.
Padahal banyak kata umpatan yang digunakan di film merupakan kata yang sangat kasar dan
tidak dapt diterima dalam pergaulan internasional. Pemerolehan kata tanpa proses investigasi
makna seperti ini sangat merugikan didalam proses pendidikan bahasa Inggris.
3. Film sering berisi propaganda dari negara pembuatnya
Kepopuleran film Holiwood di seluruh dunia telah dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk
menyebarkan ideologi dan propaganda untuk mendapatkan keuntungan negara pembuat film
tersebut. Siswa Indonesia haruslah cerdas didalam menyelidiki kandungan idologi maupun
propaganda yang mungkin saja secara sengaja disusupi dalam film yang ditayangkan di televisi
maupun di bioskop-bioskop.
Sebelum kita memutuskan untuk menggunakan suatu tontonan atau film sebagai media pengajaran
bahasa kita harus melakukan analisa terhadan kandungan yang terdapat dalam tayangan tersebut.
Kandungan yang dimaksud tidak terbatas pada aspek kebahasaan saja tetapi juga meliputi aspek sosial
dan budaya. Pertanyaan-pertanyaan berikut ini harus dijawab oleh guru sebelum menggunakan
tayangan televisi di kelas:
1. Apakah kandungan tata bahasa, kosakata, dan ekspresi yang digunakan dalam tayangan ini?
2. Bergenre apakah tayangan ini?
3. Apakah ada istilah khusus yang ingin saya ajarkan?
4. Untuk penonton usia berapakah tayangan ini dibuat?
5. Apakah kemampuan bahasa Inggris siswa saya memadai untuk mengerti jalan cerita dari
tayangan ini?
6. Apakah bahasa Inggris yang digunakan cukup mudah untuk dimengerti (aksen, pilihan kata)?
7. Apakah kandungan budaya dalam tayangan ini?
8. Adakah kandungan budaya yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia?
9. Apakah kandungan moral yang terkandung didalam tayangan ini?
Setelah kita menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut maka kita memiliki gambaran yang lebih
jelas tentang kelayakan atau kepantasan suatu tayangan tersebut untuk kita gunakan di kelas. Apabila
ternyata tayangan tersebut mengandung terlalu banyak unsur budaya dan nilai yang bertentangan
dengan budaya Indonesia maka sebaiknya kita tidak perlu menggunakannya. Bukan karena kita tidak
mau mengajarkan siswa tentang keberadaan budaya asing tetapi karena hal tersebut dapat membuat
pelajaran kita kehilangan arah. Kesesuaian dengan usia juga sangat penting untuk menghindari adegan-
adegan yang tidak pantas ditonton bagi siswa usia tertentu. Analisa kebahasaan harus dilakukan secara
detail seperti:
Beberapa tayangan yang dapat digunakan sebagai media pendidikan bahasa Inggris antara lain:
1. Drama situasi komedi seperti Friends, Ugly Betty, Glee,dan Full House. Tayangan komedi situasi
seperti ini sangat baik untuk digunakan karena menggunakan bahasa Inggris sehari-hari,
memberikan konteks yang alami dari penggunaan bahasa Inggris, meningkatkan kemampuan
berkomunikasi, mengulang ekspresi berkali-kali, dan lebih mudah untuk mengikuti jalan ceritanya
(Victoria & Alan, 2015).
2. Film anak seperti Sofia the first, Sesame steet, Mickey Mouse Clubhouse, Thomas the Tank engine,
Chugington, Fireman Sam, Bob the Builder, dan Doctor Mcstuffin. Film seri anak-anak ini selain
menggunakan bahasa Inggris yang mudah dimengerti oleh anak-anak juga mengandung unsur
moral yang baik diajarkan kepada anak-anak kita.
3. Beberapa film Holiwood yang dapat direkomendasikan seperti Finding Nemo, Finding Dori,
Pursue of Happiness, Slamdog Millionaire, Pirates of the Carribean, Braveheart, dan masih
banyak lagi yang lainnya.
Beberapa teknik dapat digunakan untuk mengintegrasikan tayangan televisi kedalam pendidikan
bahasa Inggris kita. Cara yang paling malas adalah dengan membiarkan siswa kita menonton acara
televisi dan kemudian melanjutkan pelajaran (Scrivener, 2005). Scrivener memberikan beberapa tips
didalam menggunakan acara televisi sebagai media, yaitu:
Berikut ini langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh guru ketika hendak menggunakan film atau
acara televisi sebagai media pendidikan bahasa Inggris. Secara umum langkah-langkah ini dapat dibagi
tiga yaitu sebelum menonton, ketika menonton, dan setelah menonton.
1. Film, baik film seri maupun film lepas sebagai sarana hiburan yang sangat populer memiliki
potensi yang sangat besar untuk digunakan sebagai media pendidikan bahasa, khususnya
bahasa Inggris di Indonesia
2. Penggunaan film sebagai media pendidikan harus memperhatikan aspek kandungan budaya,
ideologi, dan propaganda yang mungkin saja sengaja dimasukkan oleh pembuat tayangan.
3. Guru memiliki kewajiban untuk menganalisa kandungan baik kebahasaan maupun kandungan
nilai dan budaya yang terdapat pada film yang akan ditonton sebelum menggunakannya untuk
proses belajar mengajar.
4. Penggunaan film sangat baik khususnya didalam meningkatkan kemampuan berbicara dan
mendengar.
5. Strategi penggunaan film sebagai media dibagi dalam tiga kelompok kegiatan yaitu pra-
menonton, ketika menonton, dan setelah menonton.
SARAN
1. Didalam penggunaan film, khususnya film barat, sebagai media didalam pendidikan bahasa
Inggris maka guru harus dibekali kemampuan untuk menganalisa suatu tayangan dari segi
kandungan ideologi dan propaganda yang mungkin saja dimasukkan secara sengaja oleh pihak
pembuat film tersebut.
2. Kegiatan menonton film sebaiknya dilakukan bersama-sama di ruang kelas untuk menjamin
efektifitas kegiatan belajar mengajar.
3. Diperlukan data tentang beberapa film yang baik maupun yang kurang baik untuk digunakan
di ruang kelas.
Bibliography
Brown, H. D. (2001). Teaching by Principles. New York: Pearson Education.
Close, D. R. (2004). Television and Language Development in the early years. Southampton : National
Literacy Trust.
Donaghy, K. (2014, October 21). How can film help you teach or learn English? Retrieved from British
Council: http://www.britishcouncil.org/blog/how-can-film-help-you-teach-or-learn-english
First, E. (2014). Index Kemampuan Bahasa Inggris. Retrieved from ef: http://www.ef.co.id/epi/
Harmer, J. (2007). The Practice of English Language Teaching. Essex: Pearson Education Limited.
Hewitt, C. (2015). Can You Truly Learn a Language by Watching Movies and TV? Retrieved from
Foreign Language Immersion Online: http://www.fluentu.com/blog/how-to-learn-a-language-
by-watching-movies/
Krashen, S. D. (1981). Principles and Practice in Second Language Acquisition. English Language
Teaching series. London: Prentice Hall International.
Rachmiatie, A. (2012, November 22). Komisi Penyiaran Indonesia. Retrieved Juli 31, 2015
Suyanto, E. (2012, November 22). Komisi Penyiaran Indonesia. Retrieved July 31, 2015
Victoria, & Alan. (2015). 10 Best Modern American Sitcoms to Learn English. Retrieved from Fluent
U: http://www.fluentu.com/english/blog/learn-english-american-sitcoms/