Anda di halaman 1dari 17

Nama : Sulhu Sila Adilsyah

NIM : 1105620003
Kelas : PGPAUD 2020 A
Dosen Pengampu : Ade Dwi Utami, S.Pd., M.Pd., Ph.D.

KESALAHAN BERBAHASA PADA ANAK USIA DINI BERDASARKAN KAJIAN


FONOLOGI

1. ABSTRAK
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui kesalahan berbahasa pada anak usia dini
berdasarkan kajian fonologi dalam pemerolehan bahasa mereka. Anak mampu menguasai
bahasa pertama dengan cara menirukan apa yang diucapkan oleh orang di sekitarnya. Melalui
kegiatan menirukan bahasa yang diucapkan tersebut, anak kemudian mengembangkan bahasa
dan pengetahuannya mengenai struktur dan pola kebiasaan bahasa pertamanya.
Di samping itu, bahasa yang dikuasai oleh anak hasil dari peniruan kebiasaan bahasa orang
di sekitarnya, tidak semua baik dan benar maupun sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Hal
ini yang menimbulkan kesalahan dalam berbahasa pada anak usia dini. Dalam proses
perkembangan bahasa anak, kesalahan berbahasa dari segi ucapan mengenai kesulitan anak
dalam melafalkan satu kata dengan sempurna termasuk dalam pembahasan analisis kesalahan
berbahasa dalam bidang fonologi.
Hasil analisis dari beberapa literatur terkait, menunjukkan bahwa kesalahan fonologi yang
banyak dilakukan oleh anak usia dini adalah penggantian dan penghilangan fonem sehingga
terjadi perubahan bunyi dari kata yang seharusnya dilafalkan. Dengan demikian, diperlukan
adanya bimbingan dan stimulus yang baik dari orang tua agar pemerolehan bahasa anak dapat
lebih maksimal dan melatihnya agar bisa berbahasa lebih baik
2. PENDAHULUAN
Bahasa telah menjadi sarana paling efektif yang dimiliki manusia sebagai alat komunikasi
untuk menyampaikan maksud pada orang lain. Menyangkut pikiran, perasaan, gagasan, dan
sebagainya dalam berbagai interaksi antarsesama manusia. Dengan demikian, harus diakui
bahwa bahasa telah memainkan peran penting dalam kehidupan manusia.
Pada perkembangannya, sudut pandang terhadap dinamika bahasa manusia telah menjadi
perhatian bagi para pakar serta peneliti. Termasuk yang paling disoroti menyangkut awal mula
pemerolehannya, di mana, tahapan ini memiliki keunikan sebelum mencapai bahasa yang
sempurna. Hal tersebut dapat diperhatikan dari wujud kesalahan atau ketidaktepatan artikulasi
dalam proses awal pemerolehan bahasa seorang anak yang begitu tampak berbeda dengan
bahasa yang digunakan oleh orang dewasa atau tidak sesuai dengan pengucapan seharusnya.
Kesalahan berbahasa merupakan penyimpangan bentuk-bentuk tuturan dari pemakaian
berbagai unit kebahasaan seperti, kata, frasa, klausa, kalimat, dan paragraf yang menyalahi
kaidah. Selaras dengan pendapat tersebut, Supriani & Siregar (2012) menjelaskan bahwa
kesalahan berbahasa adalah peristiwa inheren yang terjadi di setiap pemakaian bahasa baik
bahasa tulis maupun lisan. Kesalahan berbahasa erat kaitannya dengan proses memproduksi
sebuah ujaran oleh penuturnya. Kesalahan tersebut dapat dilakukan oleh orang dewasa yang
sudah menguasai bahasanya, anak-anak, dan orang asing yang sedang mempelajari bahasa lain.
Akan tetapi, jenis dan frekuensi kesalahan yang dilakukan tentu saja berbeda-beda sesuai
dengan tingkat penguasaan kaidah gramatikal yang kemudian akan mempengaruhi realisasi
ujaran atau penggunaan bahasa seseorang.
Selain itu, bahasa pertama dan bahasa kedua pun turut menjadi faktor terjadinya kesalahan
berbahasa. Hal ini sejalan dengan pendapat Dariah, Sholihah, & Nugraha (2018) yang
menyatakan bahwa bahasa pertama dan bahasa kedua sangat berpengaruh dalam kesalahan
berbahasa. Kemudian Pateda (Markamah, 2010) merumuskan beberapa jenis sumber
kesalahan berbahasa, satu di antaranya adalah daerah kesalahan fonologi.
Kajian bahasa yang terjadi di dalam bidang fonologi merupakan kesalahan berbahasan
dalam tataran pengucapan suatu makna atau arti yang sesungguhnya, yang apabila diucapkan
oleh anak usia dini kisaran 2-3 tahun akan menjadi makna atau bunyi yang berbeda dalam segi
pengucapannya. Tetapi jika dilihat dari segi arti sama saja, akan tetapi bunyi yang disampaikan
berbeda dari kata sebenarnya, namun makna yang dimiliki tetap sama.

3. RUMUSAN MASALAH
Dalam proses perkembangan bahasa anak, cukup sering terjadi kesalahan berbahasa dari
segi ucapan mengenai kesulitan anak dalam melafalkan satu kata dengan sempurna. Di mana,
hal tersebut termasuk ke dalam pembahasan analisis kesalahan berbahasa dalam bidang
fonologi. Selain itu, Hasil analisis dari beberapa literatur terkait menunjukkan bahwa kesalahan
fonologi yang banyak dilakukan oleh anak usia dini adalah penggantian dan penghilangan
fonem sehingga terjadi perubahan bunyi dari kata yang seharusnya dilafalkan.
Dari masalah yang sudah dirumuskan di atas, menjadikan penulisan ini dibuat agar dapat
menjawab serta menjelaskan berdasarkan teori akurat tentang apa yang menjadikan kesalahan
berbahasa pada anak usia dini dalam kajian bidang fonologi cukup sering terrjadi, bagaimana
bentuk kesalahan-kesalahan berbahasa pada anak usia dini dalam kajian bidang fonologi
terjadi, serta solusi apa yang dapat diberikan untuk masalah terkait kesalahan berbahasa
tersebut.
4. LITERATURE REVIEW
Bahasa
Bahasa memiliki makna sebagai sebuah sistem lambang bunyi yang arbitrer dan digunakan
oleh masyarakat untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari, Kridalaksana (Chaer,
2014). Selain untuk berkomunikasi, bahasa juga berfungsi untuk kepentingan lain yang
tentunya sangat menunjang kehidupan penuturnya. Ahli lain mengungkapkan bahwa bahasa
dapat menunjang keberlangsungan kerja sama, mengidentifikasi diri, mengidentifikasi suatu
bangsa, dan mencerminkan peradaban suatu bangsa.
Definisi lain, bahasa adalah suatu bentuk dan bukan suatu keadaan (lenguage may be form
and not matter) atau sesuatu sistem lambang bunyi yang arbitrer, atau juga suatu sistem dari
sekian banyak sistem-sistem, suatu sistem dari suatu tatanan atau suatu tatanan dalam sistem-
sistem. Pengertian tersebut dikemukakan oleh Mackey (1986:12)
Perkembangan Bahasa Anak Usia Dini
Perkembangan bahasa anak merupakan kemampuan anak untuk memberikan respon
terhadap suara, mengikuti perintah, dan berbicara sopan. Perkembangan bahasa berlangsung
sangat cepat dan menjadi landasan dalam perkembangan selajutnya pada masa balita. (Safitri,
2017). Perkembangan bahasa pada anak usia dini melalui pemerolehan bahasa merupakan
salah satu tahap penting dalam rangka transmisi bahasa agar terhindar dari kepunahan
(Mayasari, 2018). Perkembangan bahasa pada anak usia dini merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi perkembangan kognitif anak (Pebriana, 2017). Perkembangan bahasa anak
berkembang dari tingkat sederhana meuju kompleks. Hal ini dipengaruhi oleh semakin tumbuh
dan berkembangnya anak seiring dengan pemahaman yang baik terhadap lingkungan. Menurut
Suhartono (Pebriana, 2017), peranan bahasa bagi anak usia dini adalah sebagai sarana untuk
berpikir, mendengarkan, berbicara, dan mampu untuk membaca dan menulis
Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa (language acquisition) atau akuisisi bahasa menurut Maksan dalam
(Mudini et al. 2016) adalah suatu proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh seseorang
secara tidak sadar, implisit, dan informal. Lebih lanjut menurut Lyons dalam (Mudini et al.
2016) pemerolehan bahasa adalah suatu bahasa yang digunakan tanpa kualifikasi untuk
proses yang menghasilkan pengetahuan bahasa pada penutur bahasa disebut pemerolehan
bahasa. Artinya, seorang penutur bahasa menggunakan bahasa tanpa terlebih dahulu
mempelajari bahasa tersebut.
Selanjutnya menurut Stork dan Widdowson dalam (Mudini et al. 2016) pemerolehan
bahasa dan akuisisi bahasa adalah suatu proses anak-anak mencapai kelancaran dalam bahasa
ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya didapatkan hasil kontak verbal dengan penutur asli
lingkungan bahasa itu. Dengan demikian, istilah pemerolehan bahasa mengacu ada
penguasaan bahasa secara tidak disadari dan tidak terpengaruh oleh pengajaran bahasa
tentang sistem kaidah dalam bahasa yang dipelajari
Sementara itu, Galinkoff (1983:22) mengatakan bahwa ada dua pengertian yang perlu
dipahami tentang pemerolehan bahasa. Pengertian pertama mengatakan bahwa pemerolehan
bahasa mempunyai suatu permulaan yang tiba-tiba dan mendadak, sedangkan pengertian
kedua mengatakan bahwa pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang
muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik. Pandangan yang tidak
jauh berbeda juga disampaikan Ellis (1985) yang mengatakan bahwa pemerolehan bahasa itu
dilandasi oleh asumsi mengenai penguasaan bahasa yang bersifat bertahap (gradable) dan
terkait unsur mengetahui (knowing).
Pemerolehan bahasa pertama sangat berkaitan dengan perkembangan sosial anak dan
pembentukan identitas sosial. Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu
perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota suatu masyarakat (Yogatama, 2011). Pada
masa pemerolehan bahasa anak, lebih mengarah kepada fungsi komunikasi daripada bentuk
bahasa. Pemerolehan bahasa pada anak-anak mempunyai ciri-ciri berkesinambungan,
merupakan suatu rangkaian kesatuan, dan dimulai dari ujaran satu kata yang sederhana hingga
mencapai gabungan kata dan kalimat yang lebih rumit (Manurung, 2014). Perkembangan
bahasa anak dipengaruhi oleh usia anak, kondisi lingkungan, kecerdasan anak, status sosial
ekonomi keluarga, dan kondisi fisik anak (Yogatama, 2011).
Ada dua proses dalam pemerolehan bahasa pertama pada anak, yaitu proses kompetensi
dan peformansi. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara
tidak disadari. Proses ini menjadi syarat untuk terjadinya proses peformansi yang terdiri dari
dua proses yaitu proses pemahaman dan penerbitan kalimat yang didengar. Peformansi
berkaitan dengan kemampuan memahami dan menerbitkan kalimat baru (Arsanti Meilan,
2014) (Wulandari, 2018).
Kesalahan Berbahasa
Kesalahan berbahasa merupakan penyimpangan bentuk-bentuk tuturan dari pemakaian
berbagai unit kebahasaan seperti, kata, frasa, klausa, kalimat, dan paragraf yang menyalahi
kaidah. Selaras dengan pendapat tersebut, Supriani & Siregar (2012) menjelaskan bahwa
kesalahan berbahasa adalah peristiwa inheren yang terjadi di setiap pemakaian bahasa baik
bahasa tulis maupun lisan.
Kesalahan berbahasa erat kaitannya dengan proses memproduksi sebuah ujaran oleh
penuturnya. Kesalahan tersebut dapat dilakukan oleh orang dewasa yang sudah menguasai
bahasanya, anak-anak, dan orang asing yang sedang mempelajari bahasa lain. Akan tetapi,
jenis dan frekuensi kesalahan yang dilakukan tentu saja berbeda-beda sesuai dengan tingkat
penguasaan kaidah gramatikal yang kemudian akan mempengaruhi realisasi ujaran atau
penggunaan bahasa seseorang.
Selain itu, bahasa pertama dan bahasa kedua pun turut menjadi faktor terjadinya kesalahan
berbahasa. Hal ini sejalan dengan pendapat Dariah, Sholihah, & Nugraha (2018) yang
menyatakan bahwa bahasa pertama dan bahasa kedua sangat berpengaruh dalam kesalahan
berbahasa. Kemudian Pateda (Markamah, 2010) merumuskan beberapa jenis sumber
kesalahan berbahasa, satu di antaranya adalah daerah kesalahan fonologi.
Fonologi
Secara etimologi fonologi berasal dari dua buah kata yaitu, “fon” yang artinya “bunyi” dan
“logi” yang berarti “ilmu”. Berdasarkan pengertian tersebut dapat diartikan bahwa fonologi
adalah ilmu yang mempelajari mengenai bunyi-bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat ucap
manusia (Chaer, 2013).
Kesalahan Berbahasa pada Tataran Fonologi
Kesalahan yang terjadi pada saat manusia memproduksi bunyi oleh alat ucapnya disebut
dengan kesalahan pada tataran fonologi. Menurut Pateda (Markamah, 2010) kesalahan
fonologi merujuk pada ketidaksesuaian pelafalan dengan penulisan bunyi bahasa yang
seharusnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Firmansyah (Dariah, 2018) yang menyatakan
bahwa kesalahan fonologi terdapat dalam tataran pengucapan suatu makna atau arti yang
sesungguhnya, yang apabila diujarkan oleh anak usia dini, khususnya usia 2-3 tahun akan
menjadi makna atau bunyi yang berbeda dari segi pengucapan. Oleh karena itu, kecenderungan
kesalahan fonologi banyak dialami oleh anak-anak.
Psikolinguistik
Psikolinguistik adalah penggabungan selang dua kata 'psikologi' dan 'linguistik'.
Psikolinguistik mempelajari faktor-faktor psikologis dan neurobiologis yang memungkinkan
manusia mendapatkan, menggunakan, dan mengerti bahasa.
Psikolinguistik memiliki tahapan bernama linguistik verbal, tahapan ini mencakup
pemerolehan bahasa yang melibatkan proses menghasilkan bunyi verbal atau ujaran
(Sudarwati, Caterin, & Budiana, 2017). Tahapan tersebut terdiri atas tahap lokalisasi, ocehan,
tahap satu kata, tahap dua kata, dan tahap telegrafis. Pemerolehan bahasa pertama dalam
bidang fonologi terjadi pada tahap satu dan dua kata, yang artinya anak baru bisa melafalkan
bunyi bermakna pada kisaran usia 1 tahun 8 bulan sampai dengan 3 tahun.
5. METODOLOGI
Metode yang dilakukan dalam penulisan ini yaitu Literature Review atau tinjauan
komprehensif dari penelitian sebelumnya tentang topik tertentu untuk melakukan identifikasi,
evaluasi dan sintesis terhadap kumpulan karya tulis ilmiah terkait dengan topik kesalahan
berbahasa pada anak usia dini berdasarkan kajian fonologi
Selain itu, metode penelitian yang cukup banyak digunakan dalam literatur yang sudah
saya baca adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu metode dengan cara
mendeskripsikan suatu objek yang diteliti. Metode penelitian deskriptif adalah metode yang
digunakan untuk menjelaskan dan menggambarkan fakta atau sifat dari populasi tertentu secara
sistematis, faktual, dan akurat. Metode ini menitikberatkan terhadap masalah-masalah yang
timbul pada saat penelitian berlangsung dan melukiskan keadaan dengan apa adanya.
Metode deskriptif ini digunakan untuk menggambarkan hasil dari pengumpulan data yang
telah dilakukan oleh peneliti, melalui wawancara (orang tua, anak) dan observasi secara
langsung tentang ujaran yang diucapkan oleh subjek penelitian. Metode deskriptif dipilih oleh
peneliti karena metode ini dapat memberikan gambaran secermat mungkin mengenai individu,
keadaan, bahasa, gejala, atau kelompok, Penelitian ini dilakukan dengan cara mengamati
secara langsung anak yang menjadi subjek penelitian.
Penelitian ini menggunakan teknik simak libat cakap. Peneliti menyimak kata-kata yang
bisa diucapkan oleh anak. Peneliti juga ikut berinteraksi dan mendorong subjek penelitian
untuk mengucapkan kata-kata. Data dikumpulkan dengan cara mengamati dan memahami
bahasa yang diujarkan oleh subjek penelitian. Peneliti mencatat ujaran yang diujarkan oleh
subjek penelitian. Penelitian ini dilakukan selama 3 minggu.
Tahap analisis data dalam penelitian ini terdiri atas tiga tahap, yaitu sebagai berikut.
Pertama, reduksi. Reduksi dilakukan dengan empat cara, yaitu dengan melakukan proses
transkripsi data tuturan ke dalam bentuk tulisan, data yang telah ditranskripsikan kemudian
diidentifikasi, selanjutnya yaitu melakukan proses pengklasifikasian, dan terakhir melakukan
pemaknaan terhadap data yang sebelumnya sudah diklasifikasikan.
Kedua, tahap penyajian. Pada tahap penyajian ini, data yang telah diklasifikasikan
disajikan dalam bentuk tabel. Ketiga, tahap penarikan kesimpulan. Dalam tahap ketiga ini,
dilakukan proses verifikasi ulang terhadap data awal yang sudah dikumpulkan (Miles dan
Huberman, 2014).
6. PEMBAHASAN
Teori Pemerolehan Bahasa Noam Chomsky
Manusia dapat menghasilkan sebuah bahasa. Bahasa itu sendiri dihasilkan oleh alat ucap
manusia. Hal ini sependapat dengan teori nativisme dari Chomsky, yaitu hanya manusialah
yang bisa berbahasa, sedangkan binatang tidak dapat berbahasa seperti manusia. Karena
bahasa berasal dari alat ucap manusia, maka ilmu yang mempelajarinya adalah fonologi.
Fonologi merupakan bagian dari ilmu linguistik yang fokus kajiannya mengenai bunyi bahasa.
Seperti pendapat Ahmad HP (2013) bahwa fonologi merupakan bagian dari bidang
linguistik yang fokus kajiannya mengenai tata cara bunyi bahasa. Di tataran linguistik, fonologi
adalah sebuah kajian yang paling dasar. Fonologi pun memiliki tataran terkecil yang menjadi
fokus kajiannya, yaitu fonem. Fonologi terbagi menjadi dua, yakni fonetik dan fonemik.
Fonetik merupakan bagian fonologi yang berfokus pada kajian bunyi bahasa. Sedangkan
fonemik adalah bagian dari fonologi yang mengkaji tentang pembeda makna di setiap bunyi
bahasa. Pita suara dapat mengeluarkan bunyi-bunyi bahasa. Saat terbuka, pita suara yang ada
di rongga mulut pasti menghasilkan suara, yaitu bunyi bahasa. Proses ini bisa disebut dengan
artikulasi. Sudah dikatakan sebelumnya bahwa bayi yang baru lahir sudah menunjukkan
keinginan komunikasi.
Tetapi pada usia bayi (0-6 bulan) belum dapat mengeluarkan bunyi bahasa yang berarti.
Hal ini disebabkan karena belum berfungsinya artikulator dengan baik. Begitu pula pada usia
6 – 12 bulan yang hanya terdengar celotehan-celotehan yang tidak bermakna. Pada usia inilah
anak memperoleh dan mencoba menirukan setiap bunyi bahasa yang ia dengar. Sedangkan
memasuki tahun pertama, anak sudah mulai melafalkan kata-kata yang bermakna. Selain itu,
di tahun pertama anak sudah dapat membedakan bunyi-bunyi dan hal ini bisa dilihat pada
interaksi anak dengan lingkungannya.
Tahap Pemerolehan Fonologi Bahasa Anak
 Tahap Pemerolehan Fonologi Bahasa Anak Bayi yang berumur 3 hingga 4 bulan mulai
memproduksi bunyi-bunyi. Mula-mula ia memproduksi tangisan atau bunyi cooing
(mendekut) (Hasan Shadily dalam Soendjono 2003).
 Pada usia antara 5 dan 6 bulan ia mulai mengoceh (dabbling), Ocehannya ini kadang-
kadang mirip bunyi ujaran seperti yang dikatakan seorang ahli yaitu de Villiers 1998
dalam Soendjono 2003). “This dabbling gives the impressions like a speech sometimes
occurs in sentence like sequences with rising and falling intonation”.
 Pada pertengahan tahun pertama anak-anak mulai membedakan bunyi-bunyi dan
selanjutnya dikatakan bahwa persepsi (speech perception) kelihatannya tergantung
pada interaksi anak dengan lingkungannya. Hal ini terbukti dari eksperimen bahwa
anak dari orang tuna runggu tidak berhasil menemukan atau mendeteksi pola-pola
bunyi semata-mata dari rangsangan-rangsangan auditif dari televisi dan radio. Bunyi
yang selalu kembali terdengar oleh si anak pada saat yang mempunyai arti bagi dirinya,
misalnya bunyi atau suara yang ia dengar saat ia dimandikan, diberi makan, sedang
ditimang-timang atau diberi rangsangan visual oleh pengasuhnya.
 Pada periode babbling (mengoceh) anak membuat bunyi-bunyi yang makin bertambah
variasinya dan makin kompleks kombinasinya. Mereka mengkombinasikan vokal dan
konsonan menjadi suatu sequence seperti silaba, umpamanya ba-ba-ba, ma-ma-ma, pa-
pa-pa dan seterusnya. Ocehan ini tidak dapat diinterpretasikan dan banyak daripadanya
yang nantinya setelah ia dapat berbicara, tidak dipakai dalam mengucapkan kata-kata
yang berarti.
 Ocehan ini semakin bertambah sampai si anak mampu memproduksi perkataan yang
pertama, yaitu periode kalimat satu kata, yang kira-kira muncul sekitar usia satu tahun.
Begitu anak-anak melewati periode mengoceh, mereka mulai menguasai segmen-
segmen fonetik, yang merupakan balok bangunan yang dipergunakan untuk
mengucapkan perkataan. Mereka belajar bagaimana mengucapkan sequence of
segments yaitu silabe-silabe (suku kata) dan kata-kata.
Analisis terhadap Pembahasan Literatur
Berdasarkan analisis yang saya lakukan terhadap hasil dari penelitian beberapa literatur
yang sudah dibaca. Terdapat dua poin yang menjadi masalah utama dalam kemampuan
berbahasa- penyebutan kata anak usia dini berdasarkan kajian fonologi, yaitu, gejala pelesapan
bunyi dan perubahan bunyi bahasa. Berikut ini tabel berisikan kata-kata yang sering diucapkan
anak dalam penelitian terkait, di mana kata-kata tersebut mengalami pelesapan dan perubahan
bunyi.
Kata Seharusnya Bunyi Bahasa oleh Anak Pelesapan Bunyi Perubahan Bunyi
Air Ai [r]
Mangga Angga [m]
Gajah Jajah <g> menjadi [j]
Hape Ape [h]
Sepeda Peda [s],[e]
Laba-laba Aba-aba [l]
Batuk Batu [k]
Bebek Bεbε [k]
Bundar Bunda [r]
Duduk Dudu [k]
Empat Empah <t> menjadi [h]
Biru Iru [b]
Gatal Gata [l]
Hujan Hujah <n> menjadi [h]
Ikan Ikah <n> menjadi [h]
Buruh Iyuh [b], <u> menjadi [i] dan
<r> menjadi [y]
Merah Melah <r> menjadi [l]
Naik Nai [k]
Orang Olang <r> menjadi [l]
Ulat Uwat <w> menjadi [l]
Halo Alo [h]
Sate Ate [s]
Ular Uwal <l> menjadi [w] dan
<r> menjadi [l]
Bunga Unga [b]
Sakit Saki [t]
Gerobak Oba [g], [ə], [r], [k]
Jatuh Jatu [h]
Mobil Obi [m],[l]
Lompat Ompa [l],[t]
Quran Qura [n]
Suap Sua, Uap [p]
Jajan Jacan <j> menjadi [c]

Mengacu data pada tabel di atas, telah teridentifikasi pelesapan dan perubahan bunyi
bahasa yang dihasilkan oleh kebanyakan anak sebagai subjek dalam penelitian. Setelah diketahui
bentuk kata yang diujarkan oleh anak telah mengalami gejala pelesapan dan perubahan bunyi
bahasa. Dengan demikian, diperlukan pemaparan terhadap pelesapan dan perubahan bunyi bahasa
tersebut. Perihal yang dimaksud dapat mengacu pada pandangan para pakar dalam menjelaskan
permasalahan pelesapan dan perubahan bunyi. Dua hal tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Pelesapan Bunyi
Posisi alat ucap serta cara artikulasi merupakan bagian pembahasan dari fonetik
artikulatoris. Oleh karena itu, pelesapan bunyi terhadap kata yang diujarkan oleh kebanyakan
anak usia dini dapat dideskripsikan berdasarkan bentuk alat ucap serta cara artikulasi yang
dikemukakan oleh para pakar (Mar’at, Marsono, Chaer, dan Muslich).

 Pelesapan bunyi [b] yang terdapat pada kata <biru> menjadi [iru] dan kata <buruh>
menjadi [iyuh]. Dapat dinyatakan bahwa anak mengalami kesulitan menghasilkan
konsonan hambat letup bersuara bilabial melalui bunyi [b] di awal kata.

 Pelesapan bunyi vokal [ə] pada kata <gərobak> menjadi [oba] dan <səpeda> menjadi
[peda]. Hal tersebut menunjukkan bahwa anak masih kesulitan membunyikan vokal [ə]
yang berada di tengah kata. Diketahui bunyi [ə] merupakan vokal pusat tengah tidak bundar
yang berentetan dengan konsonan hambat letup bersuara dorso velar melalui bunyi [g] dan
konsonan frikatif tidak bersuara lamino alveolar pada bunyi [s].

 Pelesapan bunyi [g] pada kata <gərobak> menjadi [oba], dan <sənah> menjadi [sənan].
Dengan demikian, anak mengalami kesulitan memunculkan konsonan hambat letup
bersuara dorso velar pada bunyi [g] yang terdapat di awal dan akhir kata.

 Pelesapan bunyi [h] terdapat pada kata <halo> menjadi [alo], <hape> menjadi [ape], dan
<jatuh> menjadi [jatu]. Hal ini menandakan bahwa anak mengalami kesulitan untuk
menghasilkan konsonan frikatif tidak bersuara maupun bersuara laringal pada bunyi [h] di
awal dan akhir kata.

 Pelesapan bunyi [k] pada kata <batuk> menjadi [batu], <bεbεk> menjadi [bεbε], <duduk>
menjadi [dudu], <enak> menjadi [ena], dan <naik> menjadi [nai], Dapat dinyatakan bahwa
anak masih kesulitan untuk mengungkapkan konsonan hambat letup bersuara dan tidak
bersuara glotal hamzah melalui bunyi [k] yang terdapat pada akhir kata. Demikian pula
pada kata <gərobak> menjadi [oba], anak juga mengalami kesulitan untuk munculnya
bunyi [k] di akhir kata, yang merupakan konsonan hambat letup tidak bersuara dorsovelar.

 Pelesapan bunyi [l] terdapat pada kata <gatal> menjadi [gata], <mobil> menjadi [obi], dan
<lompat> menjadi [ompa]. Hal itu menunjukkan bahwa anak mengalami kesulitan dalam
menghasilkan konsonan lateral bersuara apiko alveolar pada bunyi [l] yang terdapat di awal
maupun akhir kata.
 Pelesapan bunyi [m] pada kata <mangga> menjadi [angga], dan <mobil> menjadi [obi].
Dengan demikian, anak masih kesulitan untuk menghasilkan konsonan nasal bersuara
bilabial pada bunyi [m] di awal kata.

 Pelesapan bunyi [n] terdapat pada kata <quran> menjadi [ura]. Hal itu menandakan bahwa
anak belum dapat menghadirkan konsonan nasal bersuara apiko alveolar pada bunyi [n]
yang terdapat di akhir kata.

 Pelesapan bunyi [p] pada kata <suap> menjadi [sua]. Hal tersebut menunjukkan bahwa
anak masih kesulitan memunculkan konsonan hambat letup tidak bersuara bilabial melalui
bunyi [p] pada akhir kata.

 Pelesapan bunyi [q] pada kata <quran> menjadi [ura]. Perihal tersebut belum dapat
dijelaskan sebab bunyi [q] tidak termasuk bunyi konsonan dalam bahasa Indonesia.

 Pelesapan bunyi [r] yang terdapat pada kata <air> menjadi [ai], dan <gərobak> menjadi
[oba]. Oleh karena demikian, anak mengalami kesulitan dalam mengungkapkan konsonan
getar apiko alveolar melalui bunyi [r] di awal maupun tengah kata.

 Pelesapan bunyi [s] pada kata <sate> menjadi [ate], <awas> menjadi [awa], dan <suap>
menjadi [uap]. Oleh karena demikian, anakmasih kesulitan untuk menghadirkan konsonan
frikatif tidak bersuara lamino alveolar melalui bunyi [s] yang terdapat di awal kata.

Berdasarkan hasil deskripsi tersebut, dapat dinyatakan bahwa alat ucap serta cara artikulasi
anak masih belum berada pada tahap kesempurnaan sehingga selalu mengalami kesulitan
dalam menghasilkan bunyi-bunyi tertentu, baik berada di awal, tengah, maupun akhir kata.
Oleh karenanya, bunyi bahasa yang dihasilkan anak tentu berbeda dengan bunyi bahasa yang
dihasilkan oleh orang dewasa. Sebab anak masih melakukan pelesapan bunyi bahasa terhadap
kata-kata yang diujarkan. Hal itu tampak dari pelesapan bunyi [ə], konsonan hambat letup ([p],
[b], [g], dan [?] atau [k]), konsonan frikatif ([s] dan [h]), konsonan nasal melalui bunyi [m],
konsonan lateral melalui bunyi [l], serta konsonan getar melalui bunyi [r], yang seharusnya
dibunyikan pada berbagai variasi kata yang menjadi data. Menunjukkan bahwa belum
sempurnanya pembentukan alat ucap serta cara mengartikulasikan sehingga mengakibatkan
anak “terpaksa” melakukan pelesapan beberapa bunyi terhadap kata-kata yang diujarkan.
Menurut (Mar’at 2005:46-47) bahwa proses penyederhanaan disebabkan oleh memory
span yang terbatas, kemampuan representasi yang terbatas, dan kepandaian artikulasi yang
terbatas. Mencermati hasil deskripsi data pemerolehan bahasa dikaji secara fonologi yang
menitikberatkan pada aspek fonetik artikulatoris. Diketahui wujud pelesapan yang dilakukan
oleh anak terdapat pada awal, tengah, dan akhir kata. Hal tersebut diistilahkan oleh Muslich
(2014:123) sebagai zeroisasi yaitu, pelesapan yang dilakukan melalui penghilangan bunyi
sebagai akibat upaya penghematan pengucapan.

Menandakan ketidaksempurnaan alat ucap serta cara artikulasi, hal tersebut dapat terjadi
pula pada anak-anak normal maupun berkebutuhan khusus, perubahan bunyi dalam proses
tersebut kerap terjadi akibat kompetensi yang belum baik atau kondisi artikulator yang belum
berkembang (Muslich, 2014:125). Lebih lanjut, Muslich (2014:125) menyatakan bahwa jika
proses penghilangan, penanggalan, atau pelesapan satu atau lebih fonem pada awal kata
disebut aferesis, pada tengah kata disebut sinkop, dan pada akhir kata disebut apokop.

b. Perubahan Bunyi
Untuk mengujarkan kata secara sempurna tidak dapat berlangsung secara tiba-tiba.
Melainkan butuh proses panjang untuk menghasilkan hal tersebut. Begitu juga yang dialami
oleh anak dalam proses menghasilkan bunyi bahasa secara sempurna terkait pemerolehan awal
bahasanya. Upaya yang dilakukan berupa mengubah bunyi yang berada pada titik artikulasi
yang sama dengan bunyi bahasa yang dimaksud. Oleh sebab itu, untuk menguatkan pernyataan
tersebut dapat mengacu pada pandangan yang dikemukakan oleh Werdiningsih (2002), Chaer
(2013), dan Muslich (2014).
 Perubahan bunyi <j> menjadi [c] terdapat pada kata <jajan> menjadi [jacan].
Perubahan bunyi tersebut masih dapat dijelaskan, bahwa kedua bunyi tersebut secara
struktur (daerah) artikulasi masuk dalam konsonan palatal yang dihasilkan oleh bagian
tengah lidah (medio) sebagai artikulator dan langit-langit keras (palatum) sebagai titik
artikulasi. Adapun cara mengartikulasikan konsonan hambat pada bunyi [j] dengan
bersuara, sebaliknya bunyi [c] dengan menghalangi sama sekali udara pada daerah
artikulasi. Oleh karena keduanya berada pada daerah artikulasi yang sama, maka dapat
diistilahkan sebagai kehomorganan atau hanya berbeda pada cara
mengartikulasikannya (Chaer, 2013:11). Terkait perubahan bunyi yang dihasilkan oleh
anak, dapat dinyatakan sebagai proses tahapan pencapaian pemerolehan bunyi bahasa
yang sempurna. Hal ini dipengaruhi keberadaan alat ucap serta cara artikulasi belum
mencapai tahap kesempurnaan, namun anak berusaha membunyikan [j] yang
merupakan bunyi hambat letup bersuara melalui [c] yang merupakan bunyi hambat
letup tak bersuara.
 Perubahan bunyi <u> menjadi [i] pada kata <buruh> menjadi [iyuh]. Adapun
perubahan bunyi tersebut masih dapat dijelaskan prosesnya karena sama-sama berada
pada struktur atau posisi artikulator aktif dengan artikulator pasif – kedua bunyi
termasuk jenis vokal tertutup. Pada praktiknya, bunyi [u] dan [i] berada pada titik
artikulasi pembentukan vokal yang terletak pada tinggi rendahnya lidah ketika lidah
diangkat setinggi mungkin mendekati langit-langit dalam batas vokal. Lalu
menghasilkan vokal tinggi, yang dibentuk jika rahang bawah merapat ke rahang atas.
Oleh karena demikian, untuk menghasilkan bunyi [u] pada kata [buruh] maka anak
terlebih dahulu menggunakan bunyi [i] untuk mengantikannya karena dianggap lebih
mudah diujarkan. Hal itu dapat dilakukan sebab kedua bunyi masih berada pada titik
artikulasi yang sama.
 Perubahan bunyi <r> menjadi [y] pada kata <buruh> menjadi [iyuh], <r> menjadi [l]
pada kata <merah> menjadi [melah] serta <r> menjadi [y] dan [l] pada kata <orah>
menjadi [olah] maupun [oyah]. Dapat dinyatakan bahwa perubahan bunyi /r/ menjadi
[y] dan [l] pada kata tersebut sebagai suatu tahapan dalam mencapai kesempurnaan
bunyi bahasa dalam upaya pemerolehan bahasa pada kata [buruh], [merah], dan [orah].
Hal tersebut didasari pandangan Werdiningsih (2002:6-7) bahwa pemerolehan atau
penguasaaan /r/ diperoleh pembelajar (bahasa Jawa) melalui empat tahap, yaitu (1)
tahap zero (kosong) yang tampak pada ucapan <roti> menjadi [oti], (2) tahap /r/
berubah menjadi [y] yang tampak pada ucapan <roti> menjadi [yoti], (3) tahap /r/
berubah menjadi [l] yang tampak pada ucapan <roti> menjadi [loti] dan (4) tahap /r/
terealisasi bunyi [r] yang tampak pada ucapan <roti> diucapkan [roti] pula.
 Perubahan bunyi <n> menjadi [h] yang terdapat pada kata <hujan> menjadi [hujah] dan
<ikan> menjadi [ikah]. Situasi tersebut masih dapat diuraikan, bahwa bunyi /n/ dan /h/
digolongkan ke dalam bunyi nasal dihasilkan dengan menutup arus udara ke luar
melalui rongga mulut, tetapi membuka jalan agar dapat keluar melalui rongga hidung.
Jika dilakukan antara ujung lidah dengan gusi maka hasilnya bunyi [n] sedangkan jika
dilakukan antara pangkal lidah dengan langit-langit lunak maka hasilnya bunyi [h].
Oleh karena demikian, untuk menghasilkan bunyi bahasa secara sempurna dalam
proses pemerolehan bahasa pada kata [hujan] dan [ikan], maka anak terlebih dahulu
menggunakan bunyi [h] sebelum [n].

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dinyatakan bahwa perubahan bunyi dihasilkan


oleh alat ucap serta cara artikulasi yang dilakukan oleh anak sebagai rangkaian tahapan
untuk menghasilkan bunyi bahasa yang sempurna. Seperti perubahan bunyi <j> menjadi
[c], <u> menjadi [i], <r> menjadi [y] dan [l], serta <n> menjadi [h]. Menurut Chaer
(2009:96), saat berbicara dan melafalkan kata-kata, tidak dapat berdiri sendiri sehingga
selalu berkaitan dan saling memengaruhi dengan yang lain dalam suatu rangkaian. Dengan
demikian, perubahan-perubahan bunyi bahasa yang dilakukan oleh anak merupakan suatu
proses mencapai tahap kesempurnaan pemerolehan bahasa seperti bahasa yang dituturkan
serta dimiliki oleh orang dewasa.

7. KESIMPULAN & SARAN


Bahasa memiliki makna sebagai sebuah sistem lambang bunyi yang arbitrer dan digunakan
oleh masyarakat untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Pemerolehan bahasa dan
akuisisi bahasa adalah suatu proses anak-anak mencapai kelancaran dalam bahasa ibunya.
Pemerolehan bahasa biasanya didapatkan hasil kontak verbal dengan penutur asli lingkungan
bahasa itu. Dengan demikian, istilah pemerolehan bahasa mengacu ada penguasaan bahasa
secara tidak disadari dan tidak terpengaruh oleh pengajaran bahasa tentang sistem kaidah
dalam bahasa yang dipelajari.
Pada tahap awal pemerolehan bahasa anak, sering kali dijumpai kesalahan berbahasa,
khususnya dalam bidang fonologi yaitu, kesalahan yang terjadi pada saat anak memproduksi
bunyi oleh alat ucapnya. Kesalahan fonologi merujuk pada ketidaksesuaian pelafalan dengan
penulisan bunyi bahasa yang seharusnya. Frekuensi kesalahan berbahasa lebih sering terjadi
pada anak-anak terutama anak yang berusia kisaran 2-3 tahun, karena pada usia tersebut ,
perkembangan alat ucap anak belum sempurna dan pemerolehan bahasanya masih berada pada
tahap satu atau dua kata.
Berdasarkan hasil analisis data di atas dapat disimpulkan bahwa anak usia dini masih
mengalami kesulitan dalam mengujarkan sebuah kata secara utuh. Kesalahan yang dilakukan
berupa perubahan/pergantian fonem, penghilangan sebuah fonem, dan menghilangkan juga
mengubah fonem tertentu dalam satu kata secara bersamaan sesuai dengan fonem yang bisa
mereka ujarkan. Selain itu, anak usia dua tahun juga belum bisa mengujarkan silabel pertama
dalam sebuah kata dengan baik dan hanya bisa mengujarkan silabel terakhirnya saja, karena
intonasi pada silabel terakhir memiliki resonansi yang lebih tinggi ketika diujarkan
dibandingkan dengan silabel pertama.
Munculnya berbagai variasi dalam pemerolehan fonologi sebagian besar disebabkan oleh
belum sempurnanya alat ucap anak. Hal itu tampaknya sejalan dengan pendapat Lenneberg
yang menyatakan bahwa perkembangan bahasa anak mengikuti perkembangan biologis yang
tidak dapat ditawar-tawar. Seorang anak tidak dapat dipaksa atau dipacu untuk mengujarkan
sesuatu bila kemampuan biologisnya belum memungkinkan. Sebaliknya, bila seorang anak
secara biologis dapat mengujarkan sesuatu, dia tidak dapat pula dicegah untuk tidak
melafalkannya. Faktor lain yang berpengaruh dalam pemerolehan fonologi anak adalah
stimulus dari keluarga atau lingkungan sekitarnya. Beberapa data yang diperoleh dari literatur
memperlihatkan bunyi-bunyi tertentu muncul melalui peniruan (immitative speech) dari
orang-orang di sekitar lingkungan anak.
Oleh karena itu, orang tua dan lingkungan sekitar harus mampu memberikan stimulus yang
tepat dan latihan yang intens agar pemerolehan bahasa pertama anak bisa maksimal dan
memberikan hasil yang sempurna. Pemberian stimulus tersebut bisa dilakukan dengan
membiasakan untuk mengucap kata sesuai dengan pelafalan kata sebenarnya sesuai Kaidah
Bahasa Indonesia, artinya orangtua dan orang di sekitar lingkungan anak diharuskan untuk
tidak berbicara kepada anak dengan kata-kata anak yang mengalami pelesapan atau perubahan
bunyi.
Selain itu, orang tua juga perlu secara intens melibatkan anak dalam pembicaraan dengan
bahasa yang baik dan positif, membacakan buku cerita, mengajak anak menyanyi nyanyian
yang baik, dan lain sebagainya.
REFERENSI

Firmansyah, D. (2018). Analysis of Language Skills in Primary School Children (Study


Development of Child Psychology of Language). PrimaryEdu - Journal of Primary
Education, 2(1), 35–44.

Dariah, D., Sholihah, I. H., & Nugraha, V. (2018). Analisis kesalahan berbahasa pada anak usia 2-
3 tahun dilihat dari tatanan fonologi. Parole (Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia), 1(4), 455–474.

Amanda, F & Agustina. (2019). PHONOLOGICAL ACQUISITION (CASE STUDY ON


INDONESIAN CHILD). Atlantis Press (Advances in Social Science, Education and
Humanities Research). vol.301

Indah, Rohmani Nur. (2011). Gangguan Berbahasa: Kajian Pengantar. Malang: UIN-Maliki
Press.

Muslich, M. (2014). Fonologi Bahasa Indonesia: tinjauan deskriptif sistem bunyi bahasa
Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Foulkes, P & Marlyn Vihman. (2013). First Language Acquisition and Phonological Change.
Oxford Handbooks Online. DOI: 10.1093/oxfordhb/9780199232819.013.001

Chaer, Abdul. (2013). Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Supriani, R., & Siregar, I. R. (2012). Penelitian analisis kesalahan berbahasa. Jurnal Edukasi
Kultura.

Chaer, A. (2014). Linguistik umum. Jakarta: Rineka Cipta

Tarigan, Henry Guntur. (2011). Pengajaran Pemerolehan Bahasa. Bandung: Angkasa.

Wulandari, G. R. (2020). Pemerolehan Bahasa: Kajian Aspek Fonologi Pada Anak Usia 2 – 2,3
Tahun. Imajeri: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Vol.02, No.2.

Anda mungkin juga menyukai