Anda di halaman 1dari 15

PEMEROLEHAN BAHASA ANAK INDONESIA

(ECHA):
SINTAKSIS DAN SEMANTIK

Mata Kuliah:
Metodologi P
Disusun oleh Kelompok 7:

KELOMPOK 7

Disusun oleh:
1) Tifany Diahnisa (17020074005)
2) Mega Putri Wulandari (17020074032)
3) Shaila Rahma Anggraini (17020074098)

Dosen Pengampu:
Dr. Maria Mintowati, M. Pd.
Arie Yuanita, S. S., M. Hum.

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PRODI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat
dan kasih-Nya kepada kami. Berkat kemurahan hati-Nya, kami dapat menyelesaikan
makalah berjudul “Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia (Echa): Sintaksis dan
Semantik” ini dengan baik.
Terima kasih kepada Dr. Maria Mintowati, M.Pd. dan Arie Yuanita, S. S., M.
Hum. selaku dosen pengampu mata kuliah Psikolinguistik yang sudah memberikan
ilmu dan pengetahuan baru, serta membantu hingga makalah ini dapat selesai tepat
pada waktunya. Selain itu kami juga mengucapkan terimakasih atas bantuan dari
semua pihak yang telah berkontribusi dan membantu dalam menyelesaikan makalah
ini.
Dengan adanya makalah ini, kami berharap akan membawa dampak positif
bagi pembaca pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya. Kami menyadari
bahwa masih banyak kekurangan pada makalah ini sehingga berharap pembaca dapat
memberikan kritik dan saran sehingga kedepannya dapat diperbaiki agar menjadi
lebih baik lagi.

Surabaya, September 2019

Penulis
DAFTAR ISI
BAB 1
Latar Belakang
Psikolinguistik berasal dari kata psikologi dan linguistik. Psikologi diartikan
sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia dengan cara mengkaji hakikat
stimulus, hakikat respon, dan hakikat proses-proses pikiran sebelum stimulus atau
respon itu terjadi (Ardiana & Sodiq, 2008: 4). Sedangkan pengertian linguistik adalah
ilmu yang mempelajari hakikat bahasa, struktur bahasa, bagaimana bahasa itu
diperoleh, bagaimana bahasa itu bekerja, dan bagaimana bahasa itu berkembang
(Ardiana & Sodiq, 2008: 4). Sehingga apabila digabungkan pengertian dari dua
disiplin ilmu tersebut, dapat diambil simpulan bahwa psikolinguistik adalah ilmu
yang menguraikan proses-proses psikologi yang terjadi apabila seseorang
menghasilkan kalimat dan memahami kalimat yang didengarnya waktu
berkomunikasi dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh manusia
(Simanjuntak, 1987:1, dalam (Ardiana & Sodiq, 2008: 4)).
Bahasa merupakan alat komunikasi manusia (Wardhaugh, 1972 dalam Chaer,
2009). Dengan demikian, manusia tidak dapat hidup tanpa bahasa: baik bahasa lisan,
tulisan, maupun bahasa isyarat. Akan banyak sekali muncul pertanyaan bagaimana
bahasa itu ditemukan, bagaimana perkembangannya, dan bagaimana manusia bisa
menerima bahasa itu seiring berjalannya waktu. Bahasa hanya dimiliki oleh manusia.
Meskipun ada yang mengatakan bahwa binatang memiliki bahasa seperti bahasa kera,
bahasa kucing, bahasa burung dan sebagainya. Namun pada akhirnya akan diketahui
bahwa hewan dengan sesamanya hanya melakukan sebuah komunikasi, bukan
berbahasa.
Menurut F. B. Condillac (dalam Chaer, 2009: 31) yang berpendapat bahwa
bahasa berasal dari teriakan-teriakan dan gerak-gerik badan yang bersifat naluri yang
dibangkitkan oleh perasaan atau emosi yang kuat. Teriakan-teriakan tersebut
kemudian berubah menjadi bunyi-bunyi yang bermakna, dan semakin lama semakin
rumit. Pendapat lain disampaikan oleh Lieberman (dalam Chaer, 2009: 32) yang
mengatakan bahwa bahasa lahir secara evolusi sebagaimana yang pernah dirumuskan
oleh Darwin (1859) dengan teori evolusinya. Menurut Lieberman teori evolusi
Darwin juga berlaku pada evolusi bahasa.
Menurut Aitchison (1984) dalam Ardiana & Sodiq (2008: 3.28) menyebutkan
tahap perkembangan bahasa anak saat baru lahir adalah menangis. Selanjutnya pada
usia enam minggu, anak mulai mendengkur. Usia enam bulan, anak mulai bisa
meraba. Usia delapan bulan, anak sudah punya pola intonasinya sendiri. Pada usia
satu tahun, anak sudah bisa menyebutkan satu tuturan kata. Begitu seterusnya hingga
anak-anak memeroleh tuturan yang matang di usianya sepuluh tahun.
Jenis-jenis dari pemerolehan bahasa menurut Ross dan Roe (dalam Zuchdi dan
Budiasih, 1997) membagi fase atau tahap perkembangan bahasa anak menjadi empat
tahap, yaitu tahap fonologis, morfologis, sintaksis, dan semantik. Pada tahap
fonologis, anak bermain dengan bunyi-bunyi bahasa mulai mengoceh sampai
menyebutkan kata-kata sederhana. Pada tahap morfologis, anak mulai mengetahui
kata-kata yang sering mereka dengar dan mengulangnya berkali-kali. Pada tahap
sintaksis, anak menunjukkan kesadaran gramatis dan berbicara menggunakan
kalimat. Sedangkan pada tahap semantik, anak sudah dapat membedakan makna yang
terkandung dari kata-kata yang sering diucapkannya.
Pada makalah ini akan dibahas mengenai “Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia
pada tahap Sintaksis dan Semantik”. Makalah ini merupakan makalah kelanjutan dari
kelompok sebelumnya yang membahas mengenai Pemerolehan Bahasa Anak
Indonesia pada tahap Fonologi dan Morfologi.

Rumusan Masalah
1) Bagaimana anak memeroleh bahasa pada tahap sintaksis?
2) Bagaimana anak memeroleh bahasa pada tahap semantik?

Tujuan Penelitian
1) Mengetahui dan memahami cara anak memeroleh bahasa pada tahap sintaksis.
2) Mengetahui dan memahami cara anak memeroleh bahasa pada tahap semantik.
BAB 2

Penelitian Terdahulu yang Relevan


Terdapat empat penelitian yang relevan dengan penelitian ini, hal tersebut
menjadi acuan dalam pembuatan penelitian ini. Nurjimiaty (2015) dengan judul
“Pemerolehan Bahasa Anak Usia Tiga Tahun Berdasarkan Tontonan Kesukaannya
Ditinjau Dari Kontruksi Semantik” penelitian ini berisi tentang emerolehan kata pada
anak terjadi secara bertahap. Anak akan mengeluarkan kata-kata tanpa ada arti dan
menuju pada tahap satu kata yang mulai mengandungarti. Setelah beberapa kata
diperoleh, maka anak mulai berbicara dengan kalimat lengkap dan diikuti intonasi
yang berbeda. Manakala anak sudah dapat bermain intonasi dalam berujar, maka
sudah dapat dikatakan bahwa anak sudah dapat membedakan makna yang diucapkan
meskipun kalimatnya sama, menurut peneliti hal ini menarik untuk diteliti.
Perkembangan bahasa kanak kanak berkenaan pula dengan pemerolehan bahasa ibu
anak-anak berkenaan,pemerolehan bahasa ini pada setiap anak juga berbeda tidak
semua anak sama. Sebuah hasil penelitian menunjukkan adanya pemerolehan bahasa
anak melalui tayangan yang ditonton anak melalui televisi. Munculnya kalimat ‘ku
mencintaimu disebabkan kurangnya kontrol atau pengarahan terhadap apa yang
menjadi tontonan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan
menggunakan ancangan psikolinguistis dan linguistis-semantis. Rancangan
psikolinguistis dan linguistis-semantis digunakan untuk mengkaji konstruksi semantis
dan transisi makna kata pada bahasa anak sebagai upaya membentuk kompetensi
komunikatifnya. Hasil penelitiannya adalah Berdasarkan pemerolehan bahasan anak
usia tiga tahun dalam bertutur pada umumnya mengucapkan katakata secara
terpenggal. Serta penguasaan bahasa yang dikuasai anak diperoleh melalui tahapan
tahapan tertentu. Anak umur tiga tahun sudah mampu menyusun kalimat dalam
bertutur meskipun masih sangat sederhana dan terbatas
Yosep Trisnowismanto (2016) “Pemerolehan Bahasa Pertama anak usia 0 s.d
3 tahun dalam Bahasa Sehari-hari (Tinjauan Psikolinguistik)”. Penelitian ini
dailakukan karena bahasa anak memang menarik untuk diteliti, dan hasilnya nanti
akan digunakan untuk mencari solusi dari beragam masalah yang terdapat pada anak.
Tentunya kemampuan berbahasa setiap anak berbeda-beda. Perkembangan
pemerolehan bahasa anak merupakan hal yang patut diperhatikan dengan seksama
karena akan mendapatkan hasil yang hebat dan menakjubbkan. Oleh karena itu
peneltian ini harus dilakukan. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif
kualitatif yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data. Berdasarkan hasil
observasi usia 0-3 tahun adalah usia anak yang sangat bagus untuk diteliti dalam
pendapatan pemerolehan bahasa. Penelitian ini hanya meneliti bahasa anak pada usia
0-3 tahun saja dengan tinjauan psiolinguistik yang luas, bukan spesifik.
Oktavian Aditya Nugraha (2017) “Pemerolehan Bahasa Anak Usia 4 Tahun
Kajian Semantik Penyimpangan Tuturan An “ Masalah yang akan dikaji dalam
penelitian ini adalah penyimpangan bahasa anak usia 4 tahun dari perspektif kajian
semantik. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan penyimpangan tuturan
bahasa anak usia 4 tahun dengan kajian semantik yang didapatkandari pemerolehan
bahasanya. Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung
di dalam otak kanak-kanak ketika memperoleh bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa
biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan
dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari
bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jenis penelitian ini adalah
deskripsi kualitatif, penelitian yang bersumber pada data yang dikumpulkan berupa
katakata, gambar, dan bukan angka-angka. Subjek penelitian ini adalah anak usia dini
khususnya anak usia 4 tahun. Objek penelitian ini adalah penyimpangan tuturan anak
usia 4 tahun kajian semantik, pemerolehan bahasa anak. Kebahasan yang diucapkan
anak usia 4 tahun, akan diteliti dari segi kesalahan semantik. Hasil penelitiannya
hasil tuturanyang diperoleh anak tidak lengkap sehingga menghasilkan makna yang
rancu. Kerancuan ini didapatkan karena anak usia dini masih dalam proses
pemenuhan kata dan kalimat dalam bertutur. Tidak berbeda dengan kata yang
diucapkan di atas anak usia dini terutama usia 4 tahun masih pelo atau belum
sepenuhnya mengusai kata dan ucapan dengan baik, kosa kata yang diucapkan masih
simpang siur, walaupun kita mengetahui maknanya. Berbeda dengan penelitian
sebelumya, penelitian ini juga memperhatikan kerancuan bahasa anak usia 4 tahun.
Ismarini Hutabarat (2018) “Pemerolehan Sintaksis Bahasa Indonesia Anak
Usia Dua Tahun Dan Tiga Tahun Di Padang Bulan” Penelitian ini dalakukan untuk
mengetahui bagaimanakah pemerolehan bahasa Indonesia anak usia dua tahun dan
tiga tahun pada tingkat kalimat berdasarkan modusnya dan apakah perbedaan yang
ada pada pemerolehan bahasa Indonesia anak usia dua tahun dan tiga tahun pada
tingkat kalimat berdasarkan modusnya. Metode penelitian adalah cara ilmiah untuk
mengumpulkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Data secara keseluruhan
dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Langkah yang
dilakukan adalah data yang berupa rekaman ditranskripsikan ke dalambentuk tulisan
untuk menjawab pertanyaan yang telah ditetapkan dalam rumusan masalah. Hasil
penelitiannya tentang pemerolehan sintaksis bahasa Indonesia anak usia dua tahun
dan tiga tahun ditemukan bahwa hasil analisis atas data yang dikumpulkan
menemukan bahwa anak yang berusia dua tahun dan tiga tahun sudah mampu
menghasilkan kalimat pernyataan, pertanyaan dan perintah dalam modus deklaratif,
interogatif, imperatif dan interjektif dengan baik, namun anak usia dua tahun lebih
banyak menggunakan kalimat pernyataan dalam modus deklaratif dalam komunikasi
sehari-hari dengan orang lain. Pemerolehan sintaksis anak usia dua tahun dan tiga
tahun dalam menghasilkan kalimat dipengaruhi oleh faktor alamian yang terkait

Pembahasan
a. Pemerolehan Bahasa Secara Sintaksis
1) Teori Tata Bahasa Pivot
Kajian mengenai pemerolehan sintaksis oleh kanak-kanak dimulai
oleh Brane (1963), Bellugi (1964), Brown dan Fraser (1964), dan Miler dan
Ervin. Menurutnya ucapan dua kata kanak-kanak terdiri dari dua jenis kata
menurut posisi dan frekuensi munculnya kata-kata itu dalam kalimat. Kedua
jenis kata ini kemudian dikenal dengan nama kelas Pivot dan kelas Terbuka.
Berdasarkan kedua jenis kata ini lahirlah teori yang disebut teori tata bahasa
Pivot. Pada umumnya kata-kata yang termasuk kelas Pivot adalah kata-kata
fungsi, sedangkan yang termasuk kelas terbuka adalah kata-kata berkategori
nomina dan verba. Ciri-ciri umum kedua jenis kata ini adalah berikut ini :

Kelas Pivot Kelas Terbuka


1. Terdapat pada awal atau akhir 1. Dapat muncul pada awal dan
kalimat akhir kalimat
2. Jumlahnya terbatas, tetapi 2. Jumlahnya tidak terbatas,
sering muncul sehingga tidak begitu sering
muncul
3. Jarang muncul anggota baru 3. Sering muncul anggota baru
(kata baru) (kata baru)
4. Tidak pernah muncul 4. Bisa muncul sendirian
sendirian

Berdasarkan data yang termuat pada kolom kelas pivot dan kelas terbuka di
atas, dapat diketahui perbedaan satu sama lainnya. Kata-kata yang termasuk dalam
kelas Pivot mengarah kepada kata fungsi ( Mau, Ingin, Akan, Sudah, Belum).
Sedangkan kata-kata kelas Terbuka merupakan akibat dari kata sebelumnya.
Tentang hal ini dapat diberikan contoh kata “Ingin” adalah kata fungsi Pivot pada
posisi awal kalimat, sedangkan kata “Permen” adalah kata terbuka (nomina) yang
muncul pada posisi akhir kalimat. Maksud pesan tersebut berari seorang anak yang
menginginkan permen.

2) Teori Hubungan Tata Bahasa Nurani

Berdasarkan teori Chomsky, Mc.Neil (1970) menyatakan bahwa


pengetahuan kanak-kanak mengenai hubungan-hubungan tata bahasa universal
adalah bersifat “Nurani”. Artinya pemerolehan tata bahasa memang diperoleh
sejak tahap awal. Pemerolehan sintaksis itu kemudian akan berpengaruh kepada
tata bahasa universal lain. Dua kata yang diucapkan kanak-kanak bukan hanya
sekedar gabungan kata-kata yang sewenang-wenang. Ucapan dari dua kata
tersebut mempunyai struktur.
Mc Neil, mencoba menguraikan ucapan-ucapan dua kata itu. Kata-kata
tersebut dibagi menjadi kata nomina (N), kata verbal (V), dan kata pivot (P). Lalu,
dari ketiga kelas itu diketahui hanya muncul empat macam gabungan yang
membentuk kalimat dua kata. Keempat gabungan itu adalah P+FN, N+N, V+N,
dan N+V. Beliau juga mengatakan bahwa besarnya struktur sintaksis juga
menentukan urutan pemerolehan sintaksis oleh kanak-kanak itu. Rumus-rumus
yang dimiliki oleh semua kalimat seperti subjek dan predikat akan dikuasai
terlebih dahulu oleh kanak-kanak. Sedangkan rumus yang lainnya baru dapat
dikuasai jauh kemudian.
Sejalan dengan teori hubungan nurani, Menyuk (Simanjuntak,1987)
berpendapat pengetahuan yang telah diperoleh kanak-kanak sejak lahir mengenai
rumus-rumus struktur dasar tata bahasa dan rumus-rumus transformasi dan
fonologi menentukan bentuk-bentuk ucapan kanak-kanak. Artinya, tanpa konteks
ekstra linguistik, tahap awal ucapan kanak-kanak memang hanya berada di urutan
S + V dengan posisi O sebagai opsional. Dengan demikian, kalimat-kalimat
berpola OSV dan SOV juga akan muncul berdampingan dengan kalimat-kalimat
berpola SVO.

3) Teori Hubungan Tata Bahasa dan Informasi Situasi

Teori ini masih memiliki hubungan dengan tatabahasa nurani. Bloom


mengatakan (1970) hubungan tata bahasa tanpa merujuk pada informasi situasi
(konteks) belum dikatakan cukup atau mencukupi dalam menganalisis ucapan
atau bahasa anak-anak. Gabungan kata telah digunakan oleh anak-anak dalam
situasi yang berlainan. Contohnya “kakak mobil” dalam contoh tersebut dapat
menyatakan hubungan yang bergantung pada situasinya; subjek-objek,pemilik-
objek “kakak mobil” dalam bahasa Indonesia dapat diartikan dalam situasi yang
berbeda seperti :

 Anak itu menunjukkan mobil kepada kakaknya


 Anak itu meminta bermain mobil kepada kakaknya
 Anak itu meminta naik mobil milik kakaknya
 Anak itu meminta mobil mainan milik kakaknya
Gabungan kata yang muncul dalam ucapan kanak-kanak merupakan
hubungan yang terjadi dari bagian bahasa anak-anak. Informasi situasi bisa
memberikan pertolongan. Penggunaan sebuah gabungan kata yang hanya
digunakan untuk mewakili beberapa situasi akan mengakibatkan makna yang
tidak jelas. Bloom juga mengatakan bahwa setiap ucapan anak-anak mempunyai
penafsiran dan setiap ucapan yang keluar dari anak-anak tersebut juga tergantung
pada konteks situasi dimana anak mengucapkan ucapan itu. Bloom lebih merujuk
pada situasi informasi dalam menjelaskan hubungan kata-kata pada setiap ucapan
kanak-kanak itu. Dan Bloom juga menjelaskan bahwa anak-anak yang
menggunakan gabungan kata tersebut digunakan dalam situasi yang berlainan.
4) Teori Kumulatif Kompleks
Teori ini dikemukakan oleh Brown (1973),urutan pemerolehan sintaksis
oleh anak-anak ditentukan oleh kumulatif kompleks semantik morefem dan
kumulatif kompleks, tata bahasa yang sedang diperoleh itu. Pemerolehan bahasa
itu tidak dipengaruhi oleh frekuensi morfem atau kata-kata yang diucapkan oleh
selalu orang dewasa. Brown pernah meneliti tiga anak yang yang sedang berusia
tiga tahun, yang sedang memperoleh bahasa Inggris ternyata morfem pertama
yang dikuasai adalah bentuk progressive-ing dari kata kerja.
Pemerolehan bahasa itu bertahap setelah progressive-ing munculah
penggunaan kata depan in,kemudian on dan diikuti bentuk jamak. Sedangkan
arttike the dan a lebih sering muncul dalam ucapan orang dewasa baru muncul
pada tahap 8. Urutan perkembangan yang dilaporkan oleh Brown sama dengan
urutan perkembanan hubungan semantik sitaksis yang dilaporkan oleh tokoh lain
(Simanjuntak,1987)

b. Pemerolehan Bahasa Secara Semantik


1) Teori Hipotesis Fitur Semantik
Menurut beberapa ahli psikolinguistik perkembangan, kanak-kanak
memperoleh makna suatu kata dengan cara mnguasai fitur-fitur semantik kata itu
satu demi satu sampai semua fitur semantik itu dikuasai, sama seperti yang
dikuasai oleh orang dewasa (Mc.Neil,1970,Clark,1977). Beliau memberikan
contoh kanak-kanak awalnya akan menyebut semua binatang yang berkaki empat
adalah nama peliharaan yang mereka miliki seperti nama Doggy dan Kitty.
Asumsi ini berlaku karena mereka hanya menguasi beberapa fitur semantik saja,
yaitu [+Manusia], [+Bintang], dan [+Berkaki empat]. Asumsi-asumsi yang
menjadi dasar hipotesis fitur-fitur semantik adalah :
1. Fitur-fitur makna yang digunakan kanak-kanak dianggap sama dengan
beberapa fitur makna yang digunakan oleh orang dewasa.
2. Karena pengalaman kanak-kanak dirasa masih kurang dibandingkan dengan
penglaman orang dewasa, maka kanak-kanak hanya menggunakan dua kata
atau fitur-fitur makna untuk pengartian sebuah kata sebagai masukan
leksikon.
3. Pemilihan fitur-fitur berdasarkan pengalaman kanak-kanak sebelumnya, maka
fitur-fitur ini pada umumnya didasarkan pada informasi persepsi atau
pengamatan.
Jadi, apabila orang dewasa mengucapkan kata-kata baru dalam monteks
dan situasi yang dikenal kanak-kanak, maka pengenalan ini akan sangat membatu
untuk memperoleh makna kata-kata itu berdasarkan bentuk, ukuran, bunyi, rasa,
gerak, dan lain-lain dari kata baru. Seperti kata apel, kanak-kanak akan
mengidentifikasi berdasarkan ukuran, bentuk, dan warna. Selain memperoleh
makna kata-kata yang terpisah sebagai butir leksikal, kanak-kanak juga
memperoleh makna kata-kata yang berada pada satu medan makna/semantik.
Seperti kata gula,garam,cabai, dan bawang adalah kata-kata yang berada dalam
satu medan makna karena kelimanya menyatakan makna ‘bumbu dapur’.
Akhirnya Clark (1977) secara umum menyimpulkan perkembangan
pemerolehan makna/semantik ke dalam empat tahap.
a. Tahap Penyempitan Makna Kata
Tahap ini berlangsung antara umur satu sampai satu setengah tahun
(1:0-1:6). Pada tahap ini kanak-kanak menganggap satu benda tertentu yang
dicakup oelh satu makna menjadi nama dari ebnda itu. Seperti kata Doggy
hanyalah anjing yang berada di rumahnya saja, tidak termasuk yang berada di
luar rumah si anak.
b. Tahap Generalisasi Berlebihan
Tahap ini berlangsung antara umur saru setengah sampai dua tahun
setengah (1:6-2:6). Pada tahap ini seorang anak mengartikan makna suatu kata
secara berlebihan. Jadi, yang termasuk gukguk dan meong adalah semua
binatang yang berkaki empat.
c. Tahap Medan Semantik
Tahap ini berlangsung anatara usia dua tahun setengah sampai usia
lima tahun (2:6-5:0). Pada tahap ini kanak-kanak mulai mengelompokan kata-
kata yang berkaitan ke dalam satu medan makna/semantik. Pada mulanya kata
‘anjing’ adalah semua binatang berkaki empat. Namun, ketika kanak-kanak
mengetahui kata-kata baru seperti anjing, kucing, dan kuda maka kata ‘anjing’
berlaku hanya untuk ‘anjing’ saja.
d. Tahap Generalisasi
Tahap ini berlangsung setelah kanak-kanak berusia lima tahun. Pada tahap ini
kanak-kanak telah mulai mampu mengenal benda-benda yang sama dari sudut
persepsi. Pengenalan ini akan sempurna ketika seorang kanak-kank semakin
bertambah usianya antara (5:0-7:0), misalnya mereka telah mampu mengenal
yang dimaksud dengan hewan yaitu semua makhluk yang termasuk hewan.

2) Teori Hipotesis Hubungan-hubungan Gramatikal


Teori ini diperkenalkan oleh Mc. Neil (1970). Menurutnya, pada saat
kanak-kanak dilahirkan, mereka sudah dilengkapi dengan hubungan-hubungan
gramatikal-yang nurani. Sehingga kanak-kanak saat awal proses pemerolehan
bahasanya telah berusaha membentuk “kamus makna kalimat” (sentences-
meaning dictonary) yang artinya setiap butir leksikal (berkaitan dengan
kosakata) dicantumkan dengan hubungan gramatikal yang digunakan pada
tahap holofrasis. Pada tahap holofrasis, kanak-kanak belum bisa menguasai
fitur semantik karena terlalu membebani ingatan mereka. Jadi, pada awal
pemerolehan semantik, hubungan gramatikal inilah yang paling penting karena
sudah ada “nurani” sejak lahir. Sedangkan mengenai fitur semantik akan
dijelaskan lebih lengkap pada tahap lanjutan pemerolehan semantik ini.
Pada usia ±2 tahun, kanak-kanak telah mencapai tahap dua kata (sudah
bisa mengucapkan dua kosakata). Baru setelah itu mereka bisa mengetahui
makna dari kata-kata yang selama ini mereka ucapkan, sebagai ganti kamus
makna kalimat yang dikuasai sebelumnya.
Penyesuaian kamus makna kata ini merupakan perkembangan kosakata
kanak-kanak yang dilakukan, baik secara horisontal maupun vertikal. Secara
horisontal berarti pada awalnya kanak-kanak hanya memasukkan sebagian fitur
semantik untuk setiap butir leksikal ke dalam kamusnya. Lalu pada
perkembangan selanjutnya barulah terjadi penambahan fitur lain secara
berangsur-angsur. Sedangkan secara vertikal ini berarti kanak-kanak secara
bersamaan memasukkan semua fitur semantik sebuah kata ke dalam kamusnya.
Sehingga secara vertikal ini fitur semantik kanak-kanak sama dengan fitur
semantik orang dewasa. Hal ini, seperti yang disampaikan Simanjuntak (1987),
tidak mungkin terjadi. Maka, yang lebih mungkin terjadi yaitu secara
horisontal.

3) Teori Hipotesis Generalisasi


Teori ini diperkenalkan oleh Anglin (1975, 1977). Menurutnya,
perkembangan semantik kanak-kanak mengikuti proses generalisasi. Proses
generalisasi adalah proses pada kemampuan kanak-kanak yang dapat melihat
hubungan semantik antara nama benda (kata-kata) mulai dari yang konkret
sampai yang abstrak. Pada tahap awal pemerolehan semantik ini, kanak-kanak
hanya mampu menyadari hubungan konkret yang khusus saja di antara benda-
benda tersebut. Namun apabila usia mereka bertambah, maka proses
generalisasi yang terjadi juga semakin besar.
Sebagai permisalan adalah, di awal perkembangan pemerolahan bahasa,
kanak-kanak telah mengetahui kata “mawar” dan “melati”. Pada tahap
berikutnya mereka akan semakin tahu bahwa mawar dan melati itu artinya
sama, yakni sama-sama jenis bunga. Selanjutnya saat usia mereka semakin
bertambah, mereka akan tahu bahwa bunga itu termasuk dalam kelompok
tumbuh-tumbuhan. Demikianlah cara kanak-kanak mengetahui bagaimana
mereka paham mengenai fitur sintaksis menurut teori hipotesis generalisasi.

4) Teori Hipotesis Primitif-Primitif Universal


Teori ini diperkenalkan oleh Postal (1966) yang kemudian dikembangkan
oleh Bierwisch (1970). Menurut Postal, semua bahasa di dunia ini dilandasi
oleh perangkat primitif-primitif semantik universal/yang berarti penanda-
penanda semantik dan fitur semantik, dan rumus untuk menggabungkan
primitif semantik ini dengan butir-butir leksikal. Setiap primitif semantik
mempunyai hubungan yang sudah ada sejak awal dengan dunia yang ditentukan
oleh struktur biologi manusia.
Sedangkan menurut Bierwisch, primitif atau komponen semantik ini
mewakili kategori/prinsip yang sudah ada sejak awal yang kemudian digunakan
oleh manusia untuk menggolongkan struktur benda/situasi yang diamati. Dia
juga menjelaskan bahwa primitif/fitur semantik tidak mewakili ciri fisik luar
dari benda-benda itu, namun mewakili keadaan psikologi bagaimana manusia
memproses keadaan sosial dengan fisiknya.
Bierwisch juga berpendapat bahwa kanak-kanak tidak perlu mempelajari
komponen-komponen makna karena hal tersebut sudah tersedia sejak dia lahir.
Yang perlu dipelajari, menurut Bierwisch, yakni hubungan komponen ini
dengan milik fonologi serta sintaksis. Sehingga dapat diartikan bahwa manusia
menafsirkan semua yang diamatinya berdasarkan primitif semantik yang telah
ada sejak lahir. Hipotesis primitif universal ini menghubungkan perkembangan
semantik kanak-kanak dengan perkembangan kognitif umum dari kanak-kanak
tersebut.
BAB 3
Simpulan
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Ardiana, L. I., dan Sodiq, Syamsul. 2008. Psikolinguistik. Jakarta: Penerbit
Universitas Terbuka.
Anwar, Nuril. 2016. Hakikat Bahasa dan Pemerolehan Bahasa. Online,
(https://gurubahasaindonesiavocsten.wordpress.com/). Diakses pada 14 September
2019.

http://afrizaldaonk.blogspot.com/2011/01/pemerolehan-bahasa-sintaksis.html

http://vanilattogirlo.blogspot.com/2015/01/kontribusi-teori-hubungan-tata-
bahasa.html
https://www.academia.edu/36441703/2._PEMBAHASAN_2.1_Pemerolehan_
Sintaksis

http://maynewsblogsport.blogspot.com/2014/12/pemerolehan-sintaksis.html

Anda mungkin juga menyukai