Anda di halaman 1dari 77

ISSN 1412-9183

Volume 8 Nomor 2, Oktober 2009

JURNAL tLHIAH

LINGUA
PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN P ADA MASYARAKAT
SEKOLAH TINGGI BAHASA ASING LIA JAKARTA

Penasihat
Dr. Ekayani Tobing
Penanggung Jawab
Sulistini Dwi Putranti MHum.
Penyunting Penyelia
Askalani Munir, M Pd.
Penyunting Pelaksana
Dewi A. Yudhasari, MHum.
Agus Wahyudin, MPd.
Penyunting TamuIPenelaah Ahli
Dr. Agus Aris Munandar
Sekretaris
Agus Wahyudin, MPd.
Tata Usaha
Tely Kurniati
Alamat Redaksi
Jalan Pengadegan Timur Raya No.3
Pancoran, Jakarta 12770
Telepon (021) 79181051, Faksimile (021) 79181048
E-mail: askalanimunir@yahoo.com

ISSN 1412-9183

Analisis Fungsional tentang Infonnasi Pribadi yang diberikan


Saat Perkenalan dalam Bahasa Inggris (Soraya Ramli)

108-123

Derivational Suffixes -ing and -ed and Their Translation in


Indonesian (Risna Saswati)

124-138

Perbandingan Sejarah dan Perkembangan Komik Indonesia


Dan Jepang (Sissy N. Rahim)

139-150

Hublingan antara Kesejajaran dan Aktualisasi Diri pada Perempuan


Multiperan di Yayasan LIA Jakarta (Askalani Munir)
151-167

Tata Cara Berkenalaln dalam Masyarakat Jepang: Sebuah Nilai


Budaya Jepang (Ekayani Tobing)

168-179

Berani tampil beda. ltulah kalimt yang pantas untuk terbitan volume 8,
No.2, Oktober 2009. Tidak seperti biasanya, kali ada beberapa perubahan
perwajahan. Daftar isi tidak hanya ada di dalam, tetapi diletakkan pada kulit
Iuar. Tujuannya agar pembaca langsung mengetahui judul-judul dan para
penulis edisi tersebut sehingga tidak perIu membuka daftar isi bagian dalam
lagi. Tidak hanya itu, seri terbitan pun berubah, jika sebelumnya ada di bagian
atas, sekarang seri terbitan ada pada bawah yang berbentuk kotak persegi
panjang. Satu hal yang sangat penting, saat ini setiap penulis dilengkapi dengan
alamat pos elektronik (email) agar memudahkan untuk korespondensi atau
komunikasi lainnya.
Beberapa perubahan tata letak di atas dimaksukan agar Jumal Ilmiah
Bahasa dan Budaya STBA LIA Jakarta memiliki daya pandang menonjol (eye
catching). Diharapkan setiap orang yang melihat jumal tersebut tertarik untuk

membacanya.
Ada lima tulisan dalam edisi ini, yang terdiri atas 2 bidang bahasa, 2
bidang budaya, dan 1 tentang jender. Kelima tulisan tersebut ditulis secara
sistematik dan analitis sehingga memberikan deskripsi yang jelas tentang halhal yang dibahasnya.
Selamat membaca.
Jakarta, Oktober 2009
Redaksi

ANALISIS FUNGSIONAL TENTANG INFORMASI PRIBADI YANG


DIBERIKAN SAAT PERKENALAN DALAM BAHASA INGGRIS
Oleh Soraya
StaJ Pengajar Bahasa Inggris STBA LIA Jakarta
soraya@Stbalia.ac.id

Abstrak
Informasi pribadi merupakan hal yang umum diberikan saat kita berkenalan. Setiap
ujaran yang berisi informasi tersebut dapatdianalisis berdasarkan fungsi sintaksis, semantis,
dan pragmatis dengan menggunakan teori dari Harimurti Kridalaksana. Temyata secara
sintaktis semua kalimat bahasa Inggris dalam ungkapan yang memberi informasi pribadi ini
dapat mengisi fungsinya. Secara semantis penggunaan to be memunculkan peran identitas,
pokok, dan ciri. Adapun secara pragmatis, tema dan rema tetap mendominasi.
Kata kunci: fungsi, sintaxis, semantis, pragmatis

Abstract
Personal information is a general information given on the first meeting. Each
utterance consisting the information is actually can be analyzed base don syntactic, semantic,
and pragmatic function using the theory of Harimuri kridalaksana. Syntactically, all English
sentences in expressions giving personal information can fulfill all the functions. Semantically,
the use ofto be can show the role of identitas, pokok, and cir;. Pragmatically, theme and rheme
is still dominating.
Key words: function, syntactic, semantic, and pragmatic

I. Latar Belakang
Setelah aliran generatif dalam linguistik, aliran yang kini banyak
mendapat perhatian adalah aliran fungsional. Aliran ini dikembangkan oleh
Simon Dik, M.A.K Halliday, JR Martin, dll. Halliday telah mengembangkan
teori yang disebut sebagai Systemic Functional Lingistics (SFL) sejak awal 60an.

SFL

menempatkan

fungsi

bahasa

sebagai

sentral

(apa

yang

dimanifestasikan bahasa dan bagaimana wujud manifestasi tersebut). Di


Indonesia, aliran ini dikembangkan oleh Harimurti Kridalaksana.
Kata fungsi dalam aliran fungsional mempunyai pengertian hubungan
saling ketergantungan antara unsur-unsur dari suatu perangkat sedemikian rupa
108

LtN411A Vo1.8 No2, Oktober 108-123

sehingga perangkat itu merupakan keutuhan dan membentuk sebuah struktur


(Kridalaksana 29). Pengertian fungsi dapat digunakan secara intern maupun
ekstern dalam bahasa. Dalam tulisan tentang aliran fungsional, Halliday
mengungkapkan hubungari bahasa dengan berbagai aspek kehidupan manusia.
Hal itu yang disebut pengertian fungsi secara ekstern. Adapun yang bersifat
intern terkait dengan bahasa saja.
Bahasa adalah sumber sistematis untuk mengekpresikan makna dalam
konteks dan linguistik (chapelle 1), sedangkan Halliday mendefinisikannya
sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana orang bertukar makna melalui
penggunaan bahasa. Pengertian ini mengimplikasikan bahwa bahasa itu ada
dan hams dipelajari dalam berbagai macam konteks. Untuk memperjelas hal
itu, kita dapat mengacu tulisan Kridalaksana yang menyatakan bahwa sebagai
fenomen yang menyatukan dunia makna (semantik) dan dunia bunyi (fonetik),
bahasa merupakan sistem yang terjadi dari tiga subsistem, yakni leksikon,
grammatika, dan fonologi. Sebagai suatu sistem, bahasa berada di dalam
konteks. Grammatika merupakan sebuah struktur yang terjadi dari dua bagian
yang saling berkaitan, yaitu morfologi dan sintaksis. Hubungan di antara
bahasa dan konteks disebut pragmatik.
Karena fungsionalisme merupakan gerakan linguistik yang berupaya
menjelaskan fenomen bahasa, analisis dapat dilakukan secara menyeluruh dari
fungsi dan bentuk secara sintaktis, semantis, ataupun pragmatis. Gerakan ini
juga menjadikan pemahaman atas kemampuan komunikatif sebagai tujuan
analisis bahasa.
Salah satu wujud fenomena bahasa yang ada dalam kehidupan seharihari adalah pemberian informasi pribadi saat berkenalan. Agar komunikasi
dapat terus berlangsung dalam interaksi pembicara dan pendengar, diperlukan
pertukaran informasi pribadi yang sifatnya tidak rahasia, misalnya nama,
Analisis Fungsional pada Informasi Pribadi yang diberikan Saat
Perkenalan dalam Bahasa Inggris (Soraya Ramli)

109

pekerjaan, dan asal. Hal ini tentunya berbeda-beda dalam setiap kebudayaan.
Dalam Kebudayaan Indonesia, keluarga dan status peroikahan bisa merupakan
informasi yang dapat disampaikan pada pertemuan pertama atau pada saat
perkenalan. Bentuk penyampaian ini tidak terdapat dalam kebudayaan negaranegara Barat. Tulisan ini akan menganalisis fungsional secara sintaktis,
semantis, dan pragmatis tentang ungkapan-ungkapan informasi pribadi yang
diberikan pada saat perkenalan dalam bahasa Inggris.
II. Kerangka teoretis
Secara umum analisis sintaktis, semantis, dan pragmatis akan dilakukan
berdasarkan penjabaran Kridalaksana dalam Struktur, Kategori, dan Fungsi

dalam Teori Sintaksis. Jadi, tulisan ini berupaya mengaplikasikan teori yang
diungkapkan Kridalaksana dalam buku tersebut.

1. Fungsi Sintaktis
Sintaktis adalah sebuah struktur dengan menggunakan unsur leksem.
Pada tingkatan struktur, sintaksis suatu bahasa mepunyai unsur-unsur yang
terorganisasi secara sintaksis, yakni klausa dan frasa. Adapun unsur unsur
frasa adalah induk dan determinator/pewatas, serta perangkai dan sumbu.
Unsur-unsur klausa adalah subjek, predikat, objek, pelengkap, dan
keterangan. Pelengkap masih bisa dibedakan menjdi pelengkap subjek,
pelengkap objek, pelengkap pengguna, pelengkap pelaku, pelengkap
musabab, pelengkap pengkhususan, pelengkap resiprokal, dan pelengkap
pemeri. Keterangan merupakan bagian luar inti klausa yang terbagi atas
keterangan akibat,. keterangan alasan, keterangan alat, keterangan asal,
keterangan

kualitas,

keterangan

kuantitas,

keterangan

modalitas,

keterangan perlawanan, keterangan peserta, keterangan perwatasan,

110

LrN411A Vol.8 No2, Oktober 108-123

keterangan objek, keterangan sebab, keterangan subyek, keterangan


syarat, keterangan tempat, keterangan tujuan, dan keterangan waktu.

2. Fungsi Semantis
Fungsi semantis menyangkut interaksi di antara satu unsur dan unsur
lain. Dengan kata lain, unsur satuan grammatikal diwujudkan dalam
konstruksi

sehingga

interaksi

semantis

di

antara

satuan-satuan

grammatikal dapat dirumuskan sebagai hubungan di antara predikator dan


argumen dalam suatu proposisi. Bagannya adalah sebagai berikut.
Proposisi

Predikator

argumen 1

argumen2

Predikator mencakup makna perbuatan, cara, proses, posisi, relasi,


lokasi,

arah, keadaan, kuantitas, kualitas, atau identitas. Predikator

tersebut secara lebih kongkret berupa

verba, ajektiva, preposisi,

numeralia, atau zero (0).


Argumen merupakan benda atau yang dibendakan atau secara
kongkret dapat dikategorikan sebagai nomina atau pronomina. Hubungan
antara

predikator dan argumen disebut peran. Adapun peran-peran

tersebut adalah penanggap, pelaku, pokok, ciri, sasaran, hasil, pengguna,


ukuran, alat, tempat, sumber, jangkauan, penyerta, waktu, dan asal.

3.

Fungsi Pragmatis
Pragmatis

merupakan

struktur

yang

memberikan

kesesuaian

kontekstual pada apa yang diujarkan dan tidak memberikan informasi

Analisis Fungsional pada Informasi Pribadi yang diberikan Saat


Perkenalan dalam Bahasa Inggris (Soraya Ramli)

111

tentang isi ujaran. Aspek pragmatis ujaran diperinci atas tema dan rema,
fokus dan latar, fokus kontras, dan penegasan.

III. Analisis

Secara umum, tidak banyak informasi pribadi yang akan diberikan


seseorang pada saat perkenalan, terutama dalam budaya Barat yang
menjunjung tinggi kebebasan pribadi setiap orang. Setelah mengucapkan salam
berupa hi atau hello, untuk situasi informal, dan good (morning) untuk situasi
formal, pembicara akan mulai memperkenalkan dirinya dan menyebut sedikit
latar belakangnya. Biasanya latar belakang yang diberikan berupa informasi
pribadi sekitar nama, pekeIjaan, dan asal. Ungkapan yang digunakan untuk
mengungkapkan informasi tersebut berwujud.
1. Nama
My name is John Anderson
I am John Anderson
My friends call me John
Call me John

2. PekeIjaan
I work for Diamond Bank
I work as an accountant
I am an accountant

3. Asal
I am from Denver
I come from Denver

Ungkapan-ungkapan inilah yang akan dianalisis satu per satu secara


sintaktis, semantis, dan pragmatis. Hasilnya akan memperlihatkan pola-pola
112

LINGUA VoL8 No2, Oktober 108-123

sintakstis, semantis, dan pragmatis secara umum dalam informasi pribadi yang
diberikan.

4. Kalimat: My name is John Anderson

Sintaktis

My name
Subyek

is

John Anderson

Predikat

Pelengkap Subyek

Semantis

Proposisi

Argumen 1

Predikator

Ideltas

pokok

V (be)

FN

Proposisi 2

Pred2

Arg 2.l.

Relasi

sumber

Ajektiva

Arg2.2.

sasaran

nomina

I
is

Pragmatis

my

nle John Anderso

My name is John Anderson


Tema Rema

Analisis Fungsional pada Informasi Pribadi yang diberikan Saat


Perkenalan dalam Bahasa Inggris (Soraya Ramli)

113

5. Kalimat: I am John Anderson

Sintaktis

am

Subyek Predikat

John Anderson
Pelengkap subyek

Semantik

Proposisi

Argumen 1

Predikator

,J""

I
pokok

V (be)

Pronomina

FN

John Anderson

am

Pragmatis

I
Tema

114

am John Anderson
Rema

LINGUA Vo1.8 No2, Oktober 108-123

6. Kalimat : My friends call me John


Sintaksis -7 My friends call

me

Subyek predikat Obyek

Semantis -7

Proposisi

Predikator

Argumen 1

Perbuatan

Argumen2

pelaku

J.

ciri

pengguna

I
Pronomina

Proposisi 2

Pred2

I .

Relasl

Arg 2.1.

sumler

Ajektiva

call

John
pelengkap pengguna

Pragmatis -7

my

Nomina

Arg 2.2.

sasaran

nomina

friends

me

JOM

My friends call me John


Tema Rema

Analisis Fungsional pada Informasi Pribadi yang diberikan Saat


Perkenalan dalam Bahasa Inggris (Soraya Ramli)

115

7. Kalimat: Call me John.


Sintaksis -7 Call me

John

Predikat obyek pelengkap obyek

Semantis -7

Proposisi

Pre

Argumen 1

ator

1mn

I
sasaran

I
I

Prolm;na

Verna

NomJ

Call me John
Fokus

116

penggJ

me

call

Pragmatis -7

Argumen2

latar

LlNGIlA Vol. 8 No2, Oktober 108-123

8. Kalimat: I work for Diamond Bank

Sintaktis

work

Subyek Predikat

Pre

for Diamond Bank


keterangan tujuan

ator

Argumen2

pe<bLtan

penggui

pelaku

Ja

Prop.!; ,;2

pJomina
pre12

Arg 2.1

arah

temlat
1

Proposisi 3
prr 3

Arg 3.1

Arg 3.2.

Relasi

sumber I

sasara

Diamodd

Bank

wor

Pragmatis

for

I work for Diamond Bank


Tema

Rema

Analisis Fungsional pada Informasi Pribadi yang diberikan Saat


Perkenalan dalam Bahasa Inggris (Soraya Ramli)

117

9. Kalimat: I work as an insurance agent

Sintaktis -7 I

work

as an accountant

Subyek Predikat pelengkap pengkhususan


Semantis -7
Proposisi
Argumen 1

Predikator

pel_

Argumen2

,asamn I

ve1

Proposisi2

pre 2

ArgrU

j angkauan

sasalan

I
Proposisi 3
Pred 3
idenJitas
wor

Pragmatis -7 I
Tema

118

as

01

Arg 3.1

Arg 3.?

cih

pokok

ccountant

al

work as an accountant
Rema

LrN411A Vol.8 No2, Oktober 108-123

10. Kalimat : I am an accountant


Sintaktis

am

an accountant

Subyek Predikat

Semantik

Pelengkap subyek
Proposisi

Predikator

Argumen2

Argumen 1

I
I
V (be)

I
I
proposisi 2

Identitas

pokok

ciri

Pronomina
Pred2

am

Pragmatis

Tema

Arg 2.1.

Arg 2.2

Identitas

ciri

pokok

Numeralia

Nomina

an

accountant

am an accountant
Rema

Analisis Fungsional pada Informasi Pribadi yang diberikan Saat


Perkenalan dalam Bahasa Inggris (Soraya Ramli)

119

11. Kalimat : I am from Denver

Sintaktis

am

from Denver

Subyek Predikat

Semantik

ket. tempat
Proposisi

Predikator

Argumen 1

Argumen2

I
Identitas

V (be)

tempat*

Pronomina

proposisi 2
Predikator 2

Pragmatis

Tema

120

Arab

tempat

Nomina

from

Denver

Preposisi

am

Arg 2.1

am from Denver
Rema

LlNGIJA Vol.8 No2, Oktober 108-123

12. Kalimat : I come from Denver

Sintaksis

come from Denver

Subyek Predikat Ket. Tempat

Semantik

Proposisi

Predikator

Argumen 1

Argumen2

perbuatan

pelaku

Verba

Pronomina

tempat*

proposisi 2

Predikator 2

Arah

Preposisi

Arg 2.1

tempat

Nomina

I
come

Pragmatis

from

Tema

Denver

come from Denver


Rema

Berdasarkan pengategorian di atas, terlihat bahwa sintaktis terdiri dari


subjek dan predikat serta pelengkap, ada yang berupa pelengkap subjek,
pelengkap pengguna, pelengkap objek, dan pelengkap pengkhususan. Secara
umum pola ini digunakan dalam ungkapan untuk menyebutkan nama dan
profesi. Namun, untuk menyebutkan temp at bekerja dan asal, pol a yang terlihat
secara sintaktis adalah lebih pada penggunaan keterangan tempat.
Secara semantis, pola yang banyak muncul adalah identitas, pokok, dan

em. Identitas untuk predikator, sedangkan pokok dan ciri merupakan argumen.
Analisis Fungsional pada Informasi Pribadi yang diberikan Saat
Perkenalan dalam Bahasa Inggris (Soraya Ramli)

121

Hal ini muncul karena sebagian besar pola kalimat dalam ungkapan
menggunakan to be. Ada juga yang tidak berbentuk seperti ini karena
menggunakan kata kerja, di antaranya, work (bekerja) dan come (datang). Pola
yang terbentuk adalah perbuatan untuk predikator dan pelaku untuk argumen.
Ada juga bagian yang sifatnya meragukan. Frasa preposisional dalam

from Denver merupakan keterangan tempat secara sintaktis, tetapi bagaimana


secara semantis.

Dalam tulisannya,

Kridalaksana menyatakan bahwa

tempatnya, dalam hal ini Denver, yang menjadi tempat dalam kategori
semantis. Preposisi tidak diikutkan. Jika hanya kata Denver yang mempunyai
peran tempat, kata from tidak punya peran apa-apa. Hal ini juga terjadi pada
frasa for Diamond Bank dan as an accountant. Secara sintaktis, keduanya
mempunyai fungsi, tetapi secara semantis tidak mempunyai peran yang sesuai
dengan kategori peran yang ada karena keduanya diawali preposisi. Apakah
preposisi tidak pedu mempunyai peran? Hal ini membutuhkan kajian yang
mendalam.
Secara pragmatis pola yang banyak ditemukan adalah tema dan rema.
Tidak banyaknya variasi muncul karena bentuk-bentuk kalimat dalam
ungkapan tersebut diawali oleh bagian yang memberi informasi tentang apa
yang diujarkan, sedangkan bagian berikutnya memberi informasi tentang
bagian yang dikatakan pada bagian sebelumnya.

IV. Simp ulan

Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa secara sintaktis semua


kalimat dalam ungkapan yang memberi informasi pribadi ini dapat mengisi
fungsinya dengan baik meskipun bahasa yang digunakan bukan bahasa
Indonesia. Karena yang banyak digunakan adalah bentuk dengan to be, fungsi
pelengkap menjadi sangat dibutuhkan. Hal ini dimungkinkan karena
122

LfN4UA Vo1.8 No2, Oktober 108-123

penggunaan to be sebagai kata kerja bantu yang menghubungkan subjek


dengan infonnasi setelah to be atau sebagai linking verb. Secara semantis
penggunaan to be memunculkan peran identitas, pokok, dan ciri. Adapun
secara pragmatis, tema dan rema tetap mendominasi. Hal ini muncul karena
infonnasi khusus diberikan dibagian akhir kalimat.

DAFTAR PUSTAKA

Badger, Ian, et.al. 1993. American Business English Program. Hong Kong:
MacMillan Publishers Ltd.
Chapelle, Carol A. 1998. "Some notes on Systemic-Fuctional Linguistics".

Halliday, M.A.K. 1978. Language as Social Semiotic. London:Open University


Set Book.
Kridalaksana, Harimurti. 2002. Struktur, Kategori dan Fungsi dalam Teori
sintaksis. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
_____ dkk. 1985. Tata Bahasa DeskriptifBahasa Indonesia: Sintaksis.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud
"What is systemic-Fungtional Linguistics" www.Wagsoft.com

Analisis Fungsional pada Informasi Pribadi yang diberikan Saat


Perkenalan dalam Bahasa Inggris (Soraya Ramli)

123

DERIVATIONAL SUFFIXES -ing and -ed and THEIR


TRANSLATION in INDONESIAN
Risna Saswati
Staj Pengajar Jurusan Bahasa Inggris STBA LIA Jakarta
risna_saswati@yahoo.com

Abstract
This study analyzes the English derivational sufflXes -ing and -ed in which
derivational process is often inconsistent and it may result in a word changing its part of
speech category. Derivational afflXes are sometimes hard to understand, for they appear to be
variable in their meanings as attached to different bases. The interpretation can be variable in
adjectival, verbal and nominal. The process of derivation itself is opaque. Hence, the
interpretation of them is not easy. Therefore, this study is to determine the type of derivational
sufflXes -ing and -ed and their syntactic functions. Then,it is to investigate the interpretation
of derivational sufflXes -ing and -ed The strategy ofshifts that the translator used is analyzed
Finally, this study is to investigate to what extent the derivational sufflXes -ing and -ed are
accurately, clearly, and naturally translated
Key words: Derivational sufflXes -ing and -ed, acijectival, verbal, nominal, shifts

SETTING OF THE STUDY


Derivation involves many different kinds of changes in words. The
derivational process is often inconsistent and it may result in a word changing
its part of speech category. Derivational affixes are sometimes opaque since
they appear to be variable in their meanings as they attach to different bases.
English has an extensive derivational morphology.

Unlike
o

inflectional suffixes, which are always suffixes, derivational affixes may be


either prefixes or suffixes. Moreover, an English word may contain more than
derivational affixes whereas it may contain no more than one inflectional affix.
Derivational affixes create new lexemes that are inflected. The example is the
verb begin is added by suffix

to form noun beginning. It is inflected by

suffix -s to form plurality (Wardhaugh, 226:2005).


Derivational suffixes -ing and -ed are to form noun and adjective.
The suffix -ing, either forming adjective or noun, can be interpreted as
124

LINGUA Vo1.8 No.2, Oktober 124-138

adjectival, nominal or verbal whereas the suffix -ed can be interpreted as


adjectival and verbal. The word moving in the moving elephant is interpreted as
verbal. Furthermore, the word complicated in a complicated question is
interpreted as adjectival. The category of the two examples is adjective. The
resultant base is deverbal adjective and the process is adjectivalisation. The
word moving is translated into berpindah in which there is a class shift. There
is a change from adjective to verb. Furthermore, the word complicated is
translated into sulit in Indonesian in which there is no shift in class category.
The process of derivation itself is opaque; moreover, the
interpretation of derivation is not an easy task for the translator. Therefore, the
writer chooses the topic of the translation of derivational suffixes -ing and -ed
(henceforth, the -ing and -eel)

STATEMENTS OF THE PROBLEMS


The main problem is:
Do the translations of the -ing and -ed result in the meaning as the author
intends to convey?
The sub problems are:
1. How are the types and interpretation of the -ing and -ed occurring in
the novel distributed?
2. How are the -ing and the -ed translated?
3. To what extent does the Indonesian translator transfer the -ing and -ed
successfully with respect to the accuracy, clarity and naturalness?

Derivational Suffixes -ing and

and Their Translation in Indonesian

125

OBJECTIVES OF THE STUDY


The study is to determine the distribution of the types of the -ing and -ed in the
novel. Furthermore, I would like to find out to what extent the derivational
suffixes -ing and -ed are accurately clearly and naturally translated.

THEORETICAL REVIEW
Derivational Suffixes

Stageberg (1981) proposes three characteristics of derivational suffixes:


1. The words with which derivational suffixes combine is an arbitrary
matter. The verb adorn becomes noun by the addition of -ment. No
other suffix will do whereas the verb fail combines only with -ure to
make a noun, failure.
2. A derivational suffix changes the part of speech of the word to which is
added. The noun act becomes as an adjective by the addition of -ive,
and the adjective active becomes verb by the addition of -ate.
3. Derivational suffixes usually do not close off a word; that is, after a
derivational suffix, another derivational suffix is added. The inflectional
affixes close off a word.
Some suffixes, both inflectional and derivational, have homophonous
forms. The verbal inflectional suffix {-ING vb} has two homophones in -ing.
The first one is the nominal derivational suffix {-ING nm}, which is found in
words like meetings, weddings, readings. This nominal {-ING nm} is
obviously derivational since it permits the addition of an inflectional suffix to
close it off, the noun plural {-s pl}.When such a word occurs alone without the
inflectional suffix, e.g. meeting, the -ing is ambiguous, for it could be either {ING vb} as in He is meeting the train or {-ING nm}, as in He attended the

meeting.
126

LINGUA Vol.8 No.2, Oktober 124-138

The second homophone of {-ING vb} is the adjectival morpheme {IN G aj}, as in a charming woman. There are two tests by which the verbal {ING vb} can be distinguished from the adjectival {-ING aj}. The verbal {-ING
vb} can usually occur after as well as before the noun it modifies, e.g., I saw a

burning house. It is not possible to attach qualifier before the word burning.
Therefore, it is not accepted for I saw a rather burning house. The adjectival
{ING aj} can be preceded by a qualifier like very, rather, quite, or by the
comparative and superlative words more and most, as in:
(i) It is a very comforting thought.
(ii) This is a more exciting movie.
Moreover, it can be compared with the phrases that interesting

snake and that crawling snake. The bold words are interpreted as adjectival
derivational. The adjectival {ING aj} can occur after seem: That snake seems

interesting, whereas the verbal {-ING vb} cannot occur after seem that snake
seems crawling. Therefore, the word crawling cannot be interpreted as
adjectival derivational.
The verbal inflectional {-D pp} has a homophone in the adjectival
derivational {-D aj}, as in Helen was excited about her new job. The adjectival
{-D aj} is characterized by its capacity for modification by qualifiers like very,

rather, quite, and by more and most. For example, A rather faded tapestry
hung over the fire place shows the verbal {-D pp}, on the other hand, it does
not accept such modifiers. The seems test for adjectival {-ING aj} is applicable
to adjectival {-D aj}; for example, The tapestry seems faded but it is not
accepted for The guests seem departed.
Ambiguity occurs when the -ed suffix can be interpreted as either
{D-pp} or {-D aj}. The example it was finished job means it was a completed

Derivational Suffixes -ing and -ed and Their Translation in Indonesian

127

job or it was a perfected job. In the sentence our new surgeon is reserved

means that he is quiet or he is kept reserved set aside to practice his specialty.
Derivation and Its Structure
Aronoff and Fudeman (2005) elaborate derivation and the structure of
derivation. To determine the order of functions leading to a form, it helps to
consider other words that contain the same parts. The prefix un- attached to
nouns is exceptional case. However, it regularly attaches to adjectives. The use
of "add -ly" which forms adjectives, must come before the function "Add un". In the case of unfriendly, it can determine the order of functions easily since
friendly is a possible word, but unfriend is not.
The fact that speakers of many languages can add phonological
material to either end of a word sometimes leads to complex structures. The
examples show that case:
a. Reinterpretation
b. Poststructuralist
These words have the following structures:
a. [{ re - {interpret} v } v - ation] N
b. [Post - [{{ structure]N - al ] A - ist ] A ] A
It tells that reinterpretation is the act of reinterpreting, not re- the act

of interpreting. It starts out with a verb, interpret, form a new word via the
prefix re -and finally form a noun by adding the suffix -ation. In the case of
poststructuralist, it starts by the noun structure, make an adjective via the

adjectival suffix -aI, create a new adjective by adding the suffix -ist, and a
further, one by adding the prefix post-. The bracketing structures are in
convenient, in part because they are so compact. It is clear when using the tree
diagrams:

128

UN4lJA Vo!.8 No.2, Oktober 124-138

v
re-

/\

-ation

interpret

This diagram shows that re- and verb interpret form a unit, a verb,
which attaches to the noun forming suffix -ation. Combining prefixation and
suffixation leads to ambiguous forms in

The examples are given in :

a. Undressed
b. Unpacked
c. Unzipped
The ambiguity of the forms is due to the fact that the prefix un- has
at least two distinct roles in English, depending on what it attaches to. When
prefixed to a verb, un- is called reversative with the basic meaning, 'Undo the
action of the verb'. If you unpack a suitcase, you return the suitcase to the state
it was in before the packing action took place. If you untie a package, you
return it to the state it was in prior to being tied.
When attached to adjectives, including participial adjectives like
wounded or stressed, un- means not. If a soldier leaves the battlefield
unwounded, it is not the case that he was first wounded and then unwounded,
because it is impossible to unwound a person. The soldier in question is 'not
wounded'. Other forms are unafraid, uncertain, and un-American.
The analysis of an example like Unzipped depends the interpretation of its
prefix un-.

Derivational Suffixes -ing and --ed and Their Translation in Indonesian

129

[ { un- zip (P) } ed] .


V

/\

un-

-ed

ZIP

Adj

/\

un-

zipped

The prefixation of the reversative un- yields the meaning 'cause to


be zipped no longer'. The suffix -ed is then added to create the past tense or
the past participle. The second possibility is that unzipped has the structure in:
[un- [zipped]].
This fonn has the meaning 'not zipped', or, in the case of a computer
file, 'having never been stored on a zip disk'. The crucial semantic distinction
between the two is that only unzipped requires that a zipping action has taken
place at some past point. Structurally, they differ in the ordering of the
affixation processes.
It will be in a question whether the words unwashed and undisturbed

ambiguous. They m;e not since they mean not. The only word that works is
unraveled. There is a verb ravel. However, it means the same thing as unravel:

separate or undo the threads or fibers of something. As a result, if something is


unraveled, it cannot mean 'not raveled'. It can only mean that it has come
undone. Additionally, they state the syntactic function of the adjectives. The
following is a discussion of it as attributive and predicative:
1. Adjectives are attributive when they premodify the head of a noun phrase.

130

lINGlIA Vol.8 No.2, Oktober 124--138

2. They are predicative when they function as subject complement or object


complement.
3. Adjectives are subject complement not only to NP, but also to finite clauses
and non finite clauses:
That you need a car is obvious.
Playing chess can be enjoyable.

4. Adjectives can also be object complement to clauses:


I consider what he didfoolish.

5. A few adjectives with strongly emotive valued are restricted to attributive


position, though the scope of the adjective clearly extend to the person
referred to by the noun, e.g. you poor man, my dear lady, that wretched
woman.

Besides the syntactic functions of adjectives, they have the semantic


function. When adjectives characterize the referent of the noun directly, they
are termed inherent, when they do not ( an old friend of mine) they are termed
non-inherent. Most adjectives are inherent. For example, the inherent adjective
in a wooden cross applies to the referent of the object directly: a wooden cross
is also a wooden object. On the other hand, in a wooden actor the adjective is
non-inherent: a wooden actor is not a wooden man.

Verb vs. Noun


As with the participle, there is the formulation 'as or like' in talking of the
functional resemblance between a gerund and a noun. Gerund is verbal noun,
but there are strong grounds for analyzing the word destroying in Destroying
the Jiles was a serious mistake is a verb. The examples following are to show

the difference between verb and gerundial noun which is genuinely noun:
(i) He was expelled for killing the birds.
Derivational Suffixes -ing and -ed and Their Translation in Indonesian

[ form of the verb]


131

(ii) She was witnessed the killing of the birds.

[ gerundial noun]

The main grammatical differences are as follows:


a. Complementation
Verbs and nouns differ in the kinds of complement they take. Transitive
verbs can take NP objects whereas the corresponding nouns take an of PP:
compare the birds in (i) of the birds (ii). Predicative complements are with
verbs but not with nouns, He has a fear ofseeming unintelligent, but not He
has a fear of the seeming unintelligent.

b. Modification by adjective or adverb


Nouns are characteristically modified by adjectives, such as in She had
witnessed the wanton killing of the birds. There is combination of adjective

and noun.
c. Determiners
The and comparable determiners combine with nouns, not verbs. Thus it is

not possible for the killing the birds.


d. Plural Inflections
Gerundial nouns can very often inflect the plural, as in These killings must
stop. This is never possible with the verbs: Killings the birds must stop.

Words with a verb base and -ing suffix fall into the following three
classes:
(i) She had witnessed the killing of the birds.

[ gerundial noun]

(ii) a. He was expelled for killing the birds.


[gerund-participle form of the verb]
b. They are entertaining the prime minister
[gerund-participle form of the verb]
(iii) The show was entertaining.

[ participial adjective]

132

LINGUA Vo1.8 No.2, Oktober 124--138

DATA ANALYSIS

Untiring
SL : His energy is untiring.

149

TL : Tenaganya tak mengenallelah.

152

Untiring is tak kenallelah.

The word untiring is classified as negation. It has the type of featural derivation
in which there is no change of category of the underlying base but operates on
the values of inherent features. Those adjective has the structure [{v} v -ing
adj]adj}] which is realized by a diagram tree following:
Adj

(verb)

(suffix)

The adjective untiring is added prefix un- to show negation. The


structure changes by this addition, [{un-[{v}v}-ing adj}] adj}]. The diagram
tree is reflected as:
adjective

(prefix)

(suffix)

The adjective untiring means not to get tired. It is translated into tak

kenai lelah which is an adjective. The translator chooses tak mengenal lelah.
Derivational Suffixes -ing and -ed and Their Translation in Indonesian

133

However, the translation does not sound natural. The suggested translation is

dia tak mengenallelah or dia tak kenallelah.

unused
SL: With absent-minded fingers he straightened the unused inkstand

108

that Japp's impatient hand had set little askew.


TL: Dengan pikiran menerawangjari-jariPoirot membetulkan letak

III

tempat tinta yang telah dibuat miring oleh tangan Japp yang
kurang sabar.
D: Unused means tak terpakai

The type of derivation is featural derivation in which there is no


change of category of the underlying base but operates on the values of
inherent features. The word has the structure [{use} v} -ed adj} adj}] which is
realized by a diagram tree following:
Adj

use
(verb)

-ed
(suffix)

The adjective used is added prefix un- to show negation. The


structure changes by this addition, [{un-[{use }v}-ed adj}] adj}]. The diagram
tree is reflected as:
adjective

un(prefix)
134

(verb)

(suffix)
LlNGllA VoL8 No.2, Oktober 124-138

The adjective unused means not used, not in use, that has never been
used. It is translated into tak terpakai in Indonesian. The translator chooses
yang dibuat miring in order to meet the equivalency. However, it does not
sound accurate, clear and natural. The suggested translation is Dengan pikiran

menerawang jari-jari Poirot membetulkan letak tempat tinta yang tak terpakai
lagi yang tersenggol tangan Japp.

CONCLUSIONS
Based on the analysis, the research has verified the types and the interpretation
of derivational suffixes -ing and -ed as follow:
1. The -ing and the -cd which apparently derive adjective from verb
undergoes the process of adjectivalisation. The conversion results in
deverbal adjective. Their interpretations are both adjectival and verbal.
2. The

-ing derives a noun from a verb undergoes the

process of

nominalization. The
resultant base is categorized as deverbal noun. This type of derivation is
interpreted as
nominal.
3. There are two tests by which the verbal can be distinguished from the
adjectival. The seem test and adverb degree test are used to distinguish
the data whether they are interpreted as adjectival and verbal. Those
tests can be applied both. Otherwise, it is only compatible for seem test
or adverb degree test to distinguish the adjectival or the verbal. In other
words, if the data do not pass the seem or adverb degree test, they are
interpreted as verbal.
4. In translating the derivational -ing and -ed, the translator applies the
category shifts which are segmented into unit shift and class shift. Unit
Derivational Suffixes -ing and -ed and Their Translation in Indonesian

135

shift occurs when there is a conversion from one language unit to


another one. The five language units are sentence, clause, phrase, word,
and morphemes. Meanwhile, the class shift occurs when the translation
equivalent of a source language item is a member of different class
from the original item. The unit shift occurs for there is a conversion
from a word to a phrase. The adjective in the source language is
translated into adjective phrase, verb phrase, noun phrase, and adverbial
phrase.The class shift occurs for there is a change from adjective to
verb and noun.

BmLIOGRAPHY
Baker, Mona. 1992. In Other Words: A Course Book on Translation. New
York: Routledge.
Bauer, Laurie. 1983. English Word-Formation. Cambridge: Cambridge
University Press.
Bauer, Laurie. 2003. Introducing Linguistic Morphology. Edinburg: Edinburg
University Press.
Bickford, J. Albert. Tools/or Analysing the World's Language: Morphology
and Syntax. 1998. The Summer Institute of Linguistics.

Brinton, Laurel 1. 2000. The Structure 0/Modern English. Amsterdam: John


Benjamins Publishing Company.
Catford, 1. C. 1980. A Linguistic Theory o/Translation. London: Oxford
University Press.
Fromkin, V, R. Rodman and N. Hyams. 2003. An Introduction to Language.

ed. London: Holt, Rinehart and Winston.


Greenbaum, Sidney.1996. The Oxford English Grammar. Oxford: Oxford
136

LINGUA Vol.8 No.2, Oktober 124--138

University Press.
Huddlestone, Rodney and Geoffrey K. Pullum. 2005. The Cambridge

Grammar of the English Language. Cambridge: Cambridge University


Press.
Huddlestone, Rodney and Geoffrey K. Pullum. 2005. A Student's Introduction

to English Grammar. Cambridge: Cambridge University Press.


Hatim, B., and 1. Mason. 1990. Discourse And Translator. New York:
Longman, Inc.
Katamba, Francis.1993. Morphology.

The Macmillan Press.

Larson, Mildred L. 1984. Meaning-Based Translation. United State of


America: University Press of America.
LeTourneau, Mark. S. 2005. English Grammar. Harcourt Incorporated: United
States of America.
Newmark, Peter. 1988. A textbook Of Translation. New York: Prentice Hall.
Nida, Eugene A. and Charles R. Taber. 1969. The Theory and Practice of

Translation. Leiden: E.J. Brill.

Nunan, David. 1992. Research Methods in Language Learning. Cambridge:


Cambridge University Press.
O'Grady, W. 1997. Contemporary Linguistics. London: Longman.
Plag, Ingo. 2003. Word-Formation in English. Cambridge: Cambridge
University Press.
Quirk, Randolf., Sidney Greenbaum, Geoffrey Leech, and Jan Svartvik. 1985.

A Comprehensive Grammar of the English Language. London:


Longman.
Quirk, Randolf., Sidney Greenbaum, Geoffrey Leech, and Jan Svartvik. 1990.

A Student's Grammar of The English Language. London: Longman


Derivational Suffixes -ing and -ed and Their Translation in Indonesian

137

Spencer, Andrew., and Arnold M. Zwiky (Ed). 2001. The Handbook of


Morphology. UK: Blackwell Publishers Ltd.

Stageberg, Nonnan C. 1993. An Introductory English Grammar. United States


of America: Harcourt Brace Jovanovich College Publisher.
Swan, Michael. 1995. Practical English Usage. Oxford: Oxford University
Press.
Wardaugh, Ronald.2005. Understanding English Grammar: A Linguistic
Approach. United Kingdom: Blackwell Publishing.

CONSULTED DICTIONARY
Alwi, Hasan (ed). Kamus Besar Bahasa Indonesia. 3rd edn. Jakarta: Balai
Pustaka.
Frederick C. Mish (ed). Merriam- Webster's Collegiate Dictionary. 11th ed.
Merrlam-Webster Incorporated: USA.
Richards, J. C. and Richard Schmidt. 2002. Longman Dictionary of Language
Teaching and Applied Linguistics. 3rd edn. London: Pearson Education.

Salim, Peter. 1991. The Contemporary English- Indonesian Dictionary. 15t edn.
Modem English Press: Jakarta.

138

LINGUA Vol.8 No.2, Oktober 124--138

PERBANDINGAN SEJARAH SERTA PERKEMBANGAN


KOMIK INDONESIA DAN JEPANG
Sissy N. Rahim
Staf Pengajar Bahasa Jepang STBA LIA Jakarta
sissyJahim@yahoo.com
Abstrak
Kornik merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia dan Jepang, dan dalam
perkernbangannya teIjadi berbagai persamaan dan perbedaan yang tampak jelas. Persamaan
pada perkernbangan komik di kedua negara ini, antara lain, tarnpak pada sejarah kuno dan
pengaruh yang sarna-sarna diperoleh dari komik Eropa dan Amerika, sedangkan perbedaan
tampak mencolok pada perkembangannya di saat modem ini-dengan tenggelarnnya komik
Indonesia dan boomingnya manga (kornik Jepang) yang rnenyebar dan menjadi sangat
berpengaruh di seluruh dunia.
.
Kata kunci: perbandingan, perkernbangan, komik

Abstract
Comics is a part of Indonesia and Japan's culture, and in it's development, there are
many similarities and differences that could be seen clearly. The similarities are shown at the
early history, and the influence of European and American comics. The differences could
explicitly seen at the modern developments, as the Indonesian comics' dowrifall and manga 's
(Japanese comics) booming, which spread and influencing the whole world
Keywords: comparative, development, comic

PENDAHULUAN
Kata komik diterima secara umum untuk menyebut sastra gambar
(Boneff, 1998: 9). Ahli teori komik cenderung menganggap komik sebagai
salah

satu

bentuk

akhir

dari

hasrat

manUSIa

untuk

menceritakan

pengalamannya melalui gambar dan tanda. (Boneff, 1998: 16): Bahkan, dalam
bentuk kuno komik terlihat dalam berbagai lukisan dinding gua atau relief di
berbagai kuil.
Sebenarnya, komik bukan hanya berkembang di Jepang atau Indonesia,
tetapi terdapat di seluruh kebudayaan di dunia. Komik Indonesia dan Jepang
(manga) sendiri dapat dibandingkan secara historis karena ada banyak

persamaan yang terlihat, terutama dalam sejarahnya. Namun, perkembangan


Perbandingan Sejarah dan Perkembangan Komik Indonesia dan Jepang (Sissy N. Rahim)

139

berikutnya pada zaman kontemporer, terutama tahun SO-an, perbedaan yang


mencolok mulai tampak.
Komik Indonesia yang bangkit pada dekade 60-70-an memiliki
penggemar yang tidak sedikit di tahun itu. Sebut saja komik-komik terkenal
seperti Gundala Putra Petir karya Hasmi, Si Buta dari Goa Hantu karya Ganes
TH, dan Mahabharata-nya RA Kosasih (Republika Online, 11 Maret 2007).
Akan tetapi, seiring dengan datangnya komik-komik Barat (Eropa dan
Amerika) pada dekade SO-an-seperti Nina, Asterix, dan Storm-serta
masuknya komik Jepang di pasaran pada

SO-an, komik Indonesia tidaklah

menjadi tuan rumah di negeri sendiri lagi. Kini komik Indonesia yang sangat
orisinal sedang berusaha untuk bangkit kembali walaupun sangat terpengaruh
oleh komik yang berasal dari Iuar, yaitu manga.
Manga merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut komik

Jepang. Kata manga dapat berarti karikatur, kartun, comic strip, buku komik,
atau animasi. Istilah ini dibuat oleh seniman ukiyo-e, Hokusai, pada ISI4, dan
kata ini terdiri dari kanji man--

atau (in spite of oneself 'tanpa sengaja')

serta kanji ga--0O1 (gambar), serta digunakan Hokusai untuk makna whimsical
sketches (Schodt, 1983: IS).

Bagi orang Jepang manga bukan hanya bacaan anak, tetapi dengan"
bentuk story manga (manga panjang dengan struktur yang detail dan teknik
yang mendapat pengaruh dari teknik film) (Yutaka, 1995: 74). Pembaca manga
sangat beragam, dari murid SD sampai ibu rumah tangga dan para pekerja
kantoran. Dikatakan bahwa dalam manga sendiri objeknya terus berkembang
seiring dengan perkembangan pembacanya dan dengan isi yang sarna
beragamnya, dari sejarah, ekonomi, teknik, sains, dan lainnya(Yutaka, 1995:
74-75). Bahkan, dijelaskan pula bahwa dengan segala perkembangan manga
IllI,

manga-bunka (kebudayaan manga) yang ada di Jepang tidak dapat

140

LINGUA Vol.8 No.2, Oktober l39--150

diragukan

lagi,

merupakan

salah

satu

simbol

kebudayaan

(Jepang)

kontemporer (Yutaka, 1995: 77).


Sebagai suatu bagian dari kebudayaan yang sarna-sarna berkembang di
negara masing-masing, seperti apa saja perbedaan dan persarnaan dari sejarah
perkembangan komik Indonesia dan manga Jepang? Dalarn karya tulis ini
penulis bukan mencari sebab teIjadinya perbedaan itu, melainkan ingin melihat
seperti apa serta kapan persamaan dan perbedaan itu teIjadi.

PERBANDINGAN SEJARAH DAN PERKEMBANGAN KOMIK


Jika dibandingkan secara sistematis, dapat dilihat jelas tituk-titik
persarnaan dan perbedaan dari sejarah dan perkembangan komik Indonesia dan
Jepang. Hal ini telah dimulai sejak zaman kuno sarnpai saat ini.
1. Komik Indonesia
Berikut dipaparkan sejarah, pekembangan, dan komik Indonesia sarnpai
sekarang. Pemaparan komik Indonesia ini dimaksudkan sebagai dasar
perbandingan bagi komik lain, khusunya komik Jepang sehingga terlihat jelas
persamaan dan perbedaannya.
a. Sejarah Kuno
Sejarah kuno komik Indonesia dapat dilihat pada berbagai relief di kuil,
seperti Borobudur dan Prambanan yang seluruhnya menjalin suatu cerita yang
berkesinambungan. Di candi Borobudur, reliefnya sering kali dibandingkan
dengan buku batu yang disebut sebagai katedral Abad Pertengahan karena
Borobudur mengandung sebelas seri bas-relief, yang mencakup sekitar 1460
adegan yang kemudian membantu langkah-langkah peziarah yang berkunjung
ke sana. Serta, di Prarnbanan, relief Ramayana digunakan untuk mengajar umat
Hindu (Boneff, 1998: 16).

Perbandingan Sejarah dan Perkembangan Komik Indonesia dan Jepang (Sissy N. Rahim)

141

Dalam perkembangan berikutnya, dapat dikatakan pula bentuk komik


kuno Indonesia terwujud dalam seni wayang. Marcel Boneff mengatakan
bahwa, walau seni wayang adalah salah satu bentuk sastra gerak (Boneff, 1998:
6), bentuk wayang beber yang terdapat dalam desa Gedompol, dengan lakon
Djaka Kembang Kuning merupakan salah satu bentuk komik kuno (Boneff,
1998: 17) atau dalam istilah Boneff, wayang beber dan wayang kulit yang
menampilkan tipe peneeritaan dengan sarana gambar dapat dianggap sebagai

cikal bakal komik (Boneff, 1998: 19).


b. Perkembangan Komik Modern
Komik modem di Indonesia muneul semng dengan diterimanya
pengaruh komik Barat (Eropa dan Amerika) yang datang ke Indonesia dalam
bentuk comik strip yang dimuat dalam berbagai media massa, seperti komik
karya Clinge Doorenbos yang berjudul Flippie Flink yang dimuat dalam harian
berbahasa Belanda, De Java Bode (1938), dan komik Flash Gordon dalam

Harian De Orient. Kemudian, komikus Indonesia pun mulai berkarya dalam


harlan lokal, seperti karya komikus muda Kho Wang Gie muneul pada 1931,
dengan tokok gendut Put On pada harlan Sin Po; Nasrun A.S. menggambar

Mentjari Puteri Hidjau yang dimuat dalam mingguan Ratu Timur dan B.
Margono menggambar legenda yang termahsyur, Roro Mendoet dalam harian

Sinar Matahari di Yogyakarta yang juga memuneulkan Pak Leloer (1942


(Boneff, 1998: 20-21).
Setelah merdeka, perkembangan komik di Indonesia mengalami berbagai
kesulitan, terutama karena alasan keterbatasan biaya dan sumber daya untuk
produksi.

Hal itu menjadi peluang masuknya komik-komik Barat, seperti

komik Tarzan di Keng Po (1947), tahun 1952 Rip Kirby karya Alex Raymond,

Phantom karya Wilson Me Coy, Johny Hazard karya Frank Robbins(Boneff,


1998: 22). Akan tetapi, pada 1954 komikus Indonesia kembali bangkit dan
142

LlN4UA Vol.8 No.2, Oktober 139--150

mulai berkarya. Komik Indonesia kembali digemari dan jadi populer.


Contohnya adalah komik Sri Asih (1954) dan komik Putri Bintang dan Garuda
Putih karya Johnlo, dan Mahabharata karya Kosasih (Boneff, 1998: 24-28).
Kebangkitan itu berakhir pada dekade 80-an, yang dikatakan sebagai masa
tersuram perkembangan komik Indonesia (Kompas, 20 Maret 2004), komik
Indonesia dapat dikatakan dalam kondisi mati suri, dan bam bangkit kembali
secara perlahan-lahan pada tahun 1992, dengan munculnya komik Kapten
Bandung dan komik Carok (Republika, 21 Juli 2004). Perkembangan ini pun
terns berlanjut dengan lambat tetapi pasti.

awal abad ke-21 ini, komik

Indonesia mulai terlihat kembali dengan lebih nyata.


c. Jenis-jenis Komik yang Berkembang

Jenis-jenis komik yang berkembang di Indonesia beragam, dari yang


mengalami pengaruh-atau lebih tepat menirn-komik barat, seperti Sri Asih
karya Kosasih, sampai dengan komik yang berakar pada kebudayaan
Indonesia, umpamanya komik wayang hingga komik remaja atau senng
disebut juga komik percintaan. Jenis-jenis komik itu berkembang seSUal
zamannya sesuai dengan genre yang populer pada masa itu. Misalnya, pada
awal zaman kemerdekaan, diusahakan agar komik yang bertema perjuangan
yang muncul, seperti Kisah Pendudukan Jogja karya Abdulsalam (awa150-an)
di harian Kedaulatan Rakyat (Bone:ff, 1998: 21). Kemudian, sampai pada awal
60-an, komik populer yang muncul mengambil tema dari wayang purwa,
seperti Mahabharata karya Kosasih, legenda, dan babad seperti kisah-kisah
Tjandra Kirana, Raden Pandji Kudawamengpati, Pandji Wulung, Raden
Widjaja, Hajam Wuruk dan Pitaloka, Berdirinya Madjapahit, Damar Wulan,
Menak Djingga, Ken Angrok, dan legenda Sunda (Lutung Kasarung dan
Sangkuriang). Legenda Jawa bagian Tengah (Nji Rara Kidul, Lara
Djonggrang), dan bagian Timur (Sedjarah lahirnja Rejog Banjuwangi), lalu
Perbandingan Sejarah dan Perkembangan Komik Indonesia dan Jepang (Sissy N. Rahim)

143

Bawang Putih dan Bawang Merah, Andi=-Andi Lumut, Djoko Tingkir, dan
lainnya.
Berikutnya, legenda-Iegenda Sumatra menjadi lebih menonjol dengan
munculnya penerbit Casso di Medan dengan karya-karya bertema cerita dari
legenda Minangkau, Tapanuli, atau Deli kuno. Bahkan, pada 1962, ketika di
Jawa mulai menurun, produksi komik di kota itu justru mencapai puncaknya,
misalnya komik Bunda Karung, Pendekar Sorak Merapi, Mirah Tjaga dan

Mirah Sita atau Hang Djebat Durhaka yang diambil dari hikayat Hang Tuah,
Telandjang Udjung Karang dan

Yani dengan Perompak Lautan

Hindia dengan komikus-komikus Djas, Zam Nuldyn, dan Taguan Hardjo. Pada
awal 70-an periode Medan ini pun berakhir karena sedikitnya komik baru yang
dihasilkan (Boneff, 1998: 29-34).
Setelah itu, berkembang komik pahlawan, seperti Godam karya Wid N.S.
pada tahun 1968, dan Gundala karya Hasmi (Fakta # 513, Surabaya: Maret
2007) dan komik remaja, yang berlanjut hingga awal 70-an dengan kisah
roman atau percintaan. Selanjutnya, komik yang juga kuat adalah komik silat
yang mendapat pengaruh dari kebudayaan Cina. Jenis-jenis komik dari Cina
inilah yang mendominasi pasar pada dekade 80-an yang menyebabkan komik
Indonesi tidak mampu bersaing.

d. Komik Indonesia Saat Ini


Ketidakmampuan bersaing perkomikan Indonesia disebabkan oleh, antara
lain, munculnya berbagai jenis hiburan elektronik, perkembangan media
elektronik yang sangat pesat, dan berbagai permasalahan yang ada dalam dunia
penerbitan sendiri. (Kompas, 20 Maret 2004),
Komikus Indonesia mulai tergerak untuk turut berkarya karena efek yang
besar adanya manga di Indonesia. Komik Indonesia pun mulai bangkit kembali
pada awal '90-an dengan gambar-gambar dan ilustrasi yang dikatakan
144

UN/fUA Vol.S No.2, Oktober 139--150

'terpengaruh' gaya manga. (Repub/ika, 21 Juli 2004). Namun, karena masih


banyaknya halangan, termasuk minimnya apresiasi pembaca Indonesia
sterhadap komik lokal, perkembangannya dapat dikatakan lambat. Memang
bermunculan komunitas-komunitas komikus dengan berbagai ukuran di
seluruh Indonesia, tetapi daya jangkauan kepada masyarakat juga masih
kurang. Hal ini dikarenakan sedikitnya apresiasi dan modal dari para
penerbitan.
Pada 2010 ini, komikus Indonesia makin teras a keberadaannya dengan
diadakannya berbagai pameran komik lokal, ikut sertanya komikus Indonesia
dalam lomba komik bertaraf intemasional (Suara Pembaruan, 14 Januari 2007)
dan diterbitkannya komik-komik lokal oleh penerbit besar. Bahkan, kini
penerbit komik besar seperti Elex Media dan Gramedia Majalah juga turnt
menerbitkan ulang komik-komik lokal Indonesia yang terkenal di zaman
dahulu, seperti kisah Mahabharata karya R.A. Kosasih.
2. Komik Jepang (Manga)

Setelah pemaparan tentang sejarah kuno komik Indonesia sampai dengan


komik Indonesia saat ini, berikut dijelaskan bagian-bagian yang sama tentang
manga atau komik Jepang. Melalu pemaparan tersebut dapat dilihat persamaan

dan perbedaan dua komik tersebut.


a. Sejarab Kuno

Dikatakan bahwa bentuk manga kuno terlihat dalam

yang

terdapat pada kuil Houryuuji dan Toshodaiji di Nara dari abad 6/7, dan
kemudan terlihat pada emaki-mono (narative picture scrolls) buatan Pendeta
Toba Sojo di Abad 12 seperti Chojugiga, Hohigassen, Shukyuzu, danYobutsu
Kurabe. Lalu, berlanjut pada emaki-mono dari zaman Kamakura (1192-1333):
Jigoku Zoshi, Gaki Zoshi, Tengu Zoshi, dan Yamai Zoshi. Pada Zaman

Tokugawa (1603-1868) muncul Zen 'ga (Zen pictures) yang religius dan
Perbandingan Sejarah dan Perkembangan Komik Indonesia dan Jepang (Sissy N. Rahim)

145

ditujukan pada kalangan bangsawan, dan untuk masyarakat umum muncul


Otsu-e (sejak zaman Kanei 11624-1643) dan gambar pada kotak netsuke.

Kemudian, pada awal abad 17 gambar-gambar yang saat itu jelas untuk
masyarakat umum pun muncul, berupa Ukiyo-e (woodblock print), dengan
tema gambar kehidupan di kalangan penghibur.

Serta, menurut Schodt, di

tahun 1702 muncul pula Toba-e Sankokushi yakni bentuk kartun oleh
Shumboku Ooka yang secara umum disebut Toba-e. Lalu, di akhir abad 18 pun
muncul Kibyoshi, yang merupakan buku hasil penjilidan berbagai gambar di
zaman itu, yang dapat disebut juga bentuk kuno buku manga. (Lent, 1989:
222-224)
b. Perkembangan Manga Modern

Seiring dengan dibukanya Jepang di pertengahan abad ke-19,


perkembangan komik di Jepang mendapat pengaruh yang kuat dari komik barat
yang dibawa melalui media barat, seperti The Japan Punch yang muncul di
Yokohama di tahun 1862-1887 (Lent, 1989: 225). Berbagai majalah berisi
komik gaya barat yang dibuat oleh orang Jepang pun bermunculan, seperti
Tobae (1887), Marumaru Chinbun (1887), dan Tokyo Puck oleh Rakuten

Kitazaura (1905) (Lent, 1989: 225-226).


Tetapi, yang dapat dijadikan pedoman munculnya manga modem adalah
.-

diciptakannya Shintakarajima oleh Osamu Tezuka-yang saat ini disebut


sebagai Dewa Manga-di tahun 1947 (Lent, 1989: 228-229). Penciptaan
gaya manga ini diikuti dengan meledaknya produksi dan penerbitan majalah
manga, dari yang ditujukan untuk anak laki-laki seperti Shonen Magazine,

untuk anak perempuan seperti Nakayoshi, dan lainnya. Bahkan, jumlah


sirkulasi majalah manga ini pun telah mencapai sepertiga dari jumlah total
penerbitan buku di Jepang (Ikeda,

146

: 74).

LINGUA Vol.8 No.2, Oktober 139-150

c. Jenis-jenis Manga yang Berkembang


Jenis manga yang berkembang sangat beragam, dari yang bergantung
pada pembaca, apakah pembaca anak laki-Iaki atau perempuan (shounen
manga dan shoujo

...

Comic strips and cartoons inserted into magazines and newspapers


Information
manga books
I

card companies

--

<:: r--.Book loan shop manga

Adult manga

Eroti gekiga

1>-'"

.,
1955

1960

boys' manga

Girls' manga

-----

Monthly boys' manga

1950

New adJ manga

1965

1970

1975

1980

1985

1990

1995

1.15 The development of manga publishing categories. [Used with the


permission of Kure TomofusaJ

45

Gambar 1: Perkembangan Kategori dalam Penerbitan Manga (Kinsella, 2000: 45)


manga), pembaca laki-laki muda (seinen manga), perempuan' (lady comics),
atau manga dewasa. Jenis manga dapat juga dibuat berdasarkan kisah
petualangan anak-anak seperti Doraemon, fantasi anak-anak seperti Sailor
Moon, olahraga seperti Shoot, kisah cinta remaja, kisah cinta dewasa, bahkan
dapat dikatakan, untuk semua topik di dunia-sampai soal sulit seperti politik
dan ekonomi-ada manga yang menggambarkannya. Tapi, yang menjadi ciri
penting dalam manga adalah, adanya cross-over pembaca (Schodt, 1983: 16),
Perbandingan Sejarah dan Perkembangan Komik Indonesia dan Jepang (Sissy N. Rahim)

147

atau pembaca yang menikmati manga yang sebenarnya bukan ditujukan pada
dirinya. Hal ini dapat dilihat dari para salaryman 'pekeIja kantoran' yang pergi
ke kantor sambil membaca Shonen Magazine di dalam kereta.

d. Manga Saat Ini


Perkembangan manga di saat ini dikatakan bukannya telah mencapal
puncak saja-yang dikatakan telah teIjadi pada dekade 80-an-tapi telah
menyatu dengan seluruh unsur kehidupan di Jepang, dengan rata-rata orang
Jepang menghabiskan 2000 yen pertahun untuk manga (A History of Manga).
Kemudian, manga pun disebarkan sampai ke seluruh dunia. Pembaca manga
saat ini bukan hanya orang Jepang, tetapi juga orang China, Korea, Indonesia,
sampai ke Eropa dan Amerika. Bahkan, dikatakan pula, kini manga telah
membawa pengaruh yang besar pada dunia komik dan gaya menggambar
intemasional, dan hal ini dapat dilihat dalam penerbitan komik-komik Amerika
di zaman sekarang (Craig, 2002: 4).

1500

1000

soo '

79

80

81

82

83

84

85

86

87

88

89

90

91

92

93

94

95

96

Figure
Comparative total annual circulation figures of' ALL m.anga and
all ADULT rnanga betw'een 1979 and 1979 and 1997 in units of 1 million
[Source: of Data: Shuppan Nenpo 1994, 1997]

47

Gambar 2: Angka sirkulasi tahunan seluruh majalah manga dari tahun 1979
sampai tahun 1997 dalam bilangan 1 juta-an. (Kinsella, 2000: 47)
148

LINGUA Vot8 No,2, Oktober 139150

PENUTUP
Komik Indonesia dan Jepang (manga) mengalarni beberapa titik temu
pada sejarah dan perkembangannya, contohnya pada sejarah kuno, dengan
ditemukannya bentuk-bentuk komik kuno pada berbagai kuil-Borobudur dan
Prarnbanan di Indonesia serta Houryuuji dan Toshodaiji di Jepang-serta
dalarn bentuk wayang serta emaki-mono. Kemudian, persarnaan berikutnya
dapat terlihat dari awal bentuk-bentuk komik modem, yang sarna-sarna
mendapat pengaruh komik Barat melalui media massa. Seiring denganjalannya
waktu, perbedaan-perbedaan yang mencolok pada perkembangan berikutnya
pun terlihat jelas, terutama pada dekade 80-an. Narnun, kebangkitan kembali
komik Indonesia-yang dapat dikatakan juga merupakan akibat dari pengaruh

manga di Indonesia-tidak dapat diperkirakan apakah titik-titik temu itu akan


kembali muncul di masa datang. Yang jelas, kini bakat-bakat dari komikus
muda Indonesia mulai diakui oleh dunia, dan perkembangan komik Indonesia
tarnpaknya kembali meningkat secara nyata.
DAFTAR PUSTAKA
Boneff, Marcel. Komik Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Grarnedia,
1998
Craig, Timothy J. ed., Japan Pop! Inside The World of Japanese Popular

Culture. New York: M. E. Sharpe, 2002


Mizutani, Osarnu dkk., ed. Nihon Jijou. Tokyo: Daishuukan Shoten, 1995
Powers, Richard Gid, Kato, Hidetoshi, dan Stronardh, Bruce, ed., Handbook of

Japanese Popular Culture. London: Greenwood Press, 1989


Schodt, Frederik L. Manga! Manga! The World of Japanese Comics. Tokyo:
Kodansha International, 1983
"A History of Manga"
Perbandingan Sejarah dan Perkembangan Komik Indonesia dan Jepang (Sissy N. Rahim)

149

http://www.dnp.co.jp/museum/nmp/nmp i/articleslmangalmangal.html
"'Gerilya'

Komik

Indonesia"

Republika

Online,

11

Maret

2007.

http://www.republika.co.id
"Kejayaan yang Tinggal Kenangan" Kompas, 20 Maret 2004
http://kompas.com!kompas-cetakl0403/20/pustakal922209 .htm
"Komikus Indonesia Tembus Dunia" Suara Pembaruan, 14 Januari 2007
http://www.suarapembaruan.com
"Tantangan bagi Para Komikus untuk Hasilkan Komik Lokal" Republika, 21
Juli 2004

150

LINGUA Vo!.8 No.2, Oktober 139-150

HUBUNGAN ANTARA KEMITRASEJAJARAN


DAN AKTUALISASI DIRI PEREMPUAN MULTIPERAN
DI YAYASAN LIA JAKARTA
Askalani Munir

Staj Pengajar Jurusan Bahasa Inggris STBA LIA Jakarta


askalanimunir@yahoo.com

Abstrak
Kesetaraaan antara laki-Iaki dan perempuan perlu diwujudkan. Melalui cara seperti
itu, keharmonisan di rumah tangga dan prestasi di tempat kerja dapat tercapai. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya, seberapa besar, dan keberartian hubungan antara
kemitrasejajaran dan aktualisasi diri pada perempuan yang bermultiperan di Yayasan LIA
Jakarta. HasH yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam
mengembangkan kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan di masyarakat pada
umumnya dan para karyawan yang bekerja di Yayasan LIA Jakarta pada khususnya. Penelitian
ini dilaksanakan di YAYASAN LIA Jakarta n. Pengadegan Timur Raya No.3 Jakarta Selatan
12770 mulai Oktober 2007 sampai dengan Januari 2008. Metode penelitian yang digunakan
adalah penelitian korelasional, yang dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan
antara dua atau beberapa variabel. Besarnya derajat hubungan antara variabel bebas dengan
variabel terikat dalam penelitian ini dapat dilihat dari koefisien korelasi product moment. Dari
hasil perhitungan diperoleh r hitung sebesar 0,742 dan lebih besar dari r tabel yaitu, 0,361.
Besar kontribusi variabel bebas pada variabel teriakt adalah 55,06%. Hasil uji persyaratan
analisis dan hipotesis secara empiris penelitian ini telah berhasil mengungkap hubungan yang
berarti dan signifikan antara kemitrasejajaran dan aktualisasi diri pada perempuan yang
bermultiperan di Yayasan LIA Jakarta. Sebagian perempuan yang bermultiperan kurang
berhasil dalam pekerjaan karena merasa urusan domestiknya yang utama sehingga
mengabaikan peran di kantor.
Kata Kunci: Kemitrasejajaran, aktualisasi diri, dan perempuan mUltiperan

Abstract
Gender equality is in need to be realized Through this way, the harmony in the
household and achievements in the workplace can be achieved This study aimed to find out
whether there is a relation between partnership and self-actualization in m'ultitasking women
at Yayasan LIA Jakarta, to find out the degree of the relationship, and to know about the
significance of the relationship. Results obtained from this study are expected to provide input
in developing the partnership between men and women in society in general and the employees
work at Yayasan LIA Jakarta in particular. This research was conducted at Yayasan LIA
Jakarta, JI. Pengadegan Timur Raya No.3, South Jakarta 12770, from October 2007 until
January 2008. The research methods used were correlational studies, which are intended to
determine whether there is a relationship between two or more variables. The amount of the
degree of correlation between independent variables and dependent variable in this study can
be seen from product moment correlation coefficient. From the calculation, r count equals to
0.742 and greater than r table 0.361. The contribution of independent variables on dependent
variable is 55.06% The result of the hypothesis testing and the analysis requirements of this
research has been empirically successful in uncovering meaningful and significant
Hubungan Antara Kesejajaran dan Aktualisasi Diri Pada Perempuan
Muitiperan di Yayasan LIA Jakarta (Dr. Askalani Munir)

151

relationships between partnership and self-actualization in multitasking women at Yayasan


LIA Jakarta. Some multitasking women are less successful in their job because they felt that
their domestic affairs are more important than the office duty so that they ignore their tasks at
the office.
Keywords: partnership, self-actualization, and multitasking women

PENDAHULUAN
Dewasa ini banyak kemajuan yang dialami oleh kaum perempuan
Indonesia, baik di bidang ekonomi, politik, maupun pendidikan. Hal ini terlihat
dari semakin banyaknya perempuan yang memegang jabatan penting di
tempatnya bekerja, seperti direktur atau manajer, sedangkan di instantsi
pemerintah banyak perempuan yang duduk di jajaran eselon. Di bidang politik
perempuan sudah berani mengeluarkan pendapatnya mengenai keadaan politik
negara. Di bidang pendidikan banyak perempuan yang memiliki gelar sarjana,
dari tingkat strata satu sampai dengan strata tiga. Dengan pendidikan yang
tinggi perempuan memiliki peluang yang besar untuk berkarier di luar rumah,
yaitu dengan bekerja di suatu instansi.
Sebagian dari perempuan yang bermultiperan tersebut kurang berhasil
pada pekerjaannya karena merasa peran domestiknya yang utama sehingga
mengabaikan perannya di kantor. Symonds (2004) menjelaskan bahwa salah
satu hal yang menyebabkan perempuan yang bermulti peran kurang berhasil
dalam kariemya adalah kecenderungan untuk bergantung pada cinta dan orangorang yang dicintai, dalam hal ini adalah keluarganya. Perempuan yang
bermultiperan juga mengharapkan pertolongan dan perlindungan dari hal-hal
yang menurutnya sulit dan menantang. Kecenderungan tersebut bisa
menghambat kemajuan karier. Hal tersebut dikenal dengan Cinderella
Complex menurut Dowling (2001) merupakan suatu fenomena psikologis

tentang hal yang dinamakan suatu bentuk ketakutan akan kemandirian,


152

LtNC;VA Vo1.8 No.2, Oktober 151-167

keinginan untuk diselamatkan yang banyak mempengaruhi cara perempuan


berfikir, bertindak dan berbicara (dalam Muljani, 2004). Perempuan tersebut
bekeIja

dengan tidak sepenuh hati, bahkan terpaksa, sehingga merasa

terbebani, kadang-kadang bahkan merasa tersiksa, karena jauh di dasar hati


perempuan masih percaya bahwa perempuan tidak seharusnya mencari
kehidupan sendiri (dalam Muljani, 2004). Perempuan tersebut merasa bahwa
dunia kerja adalah bukan dunia yang sesungguhnya, dan takut jika bekerja dan
berkarya secara optimal, waktu untuk kehidupan yang sesungguhnya, yaitu di
rumah, tempat mendapatkan cinta dan perlindungan dari orang-orang yang
dicintai, akan hilang.
Cinderella Complex bukanlah satu-satunya kendala yang menghambat

perempuan yang bermulti peran mengembangkan karirnya, juga penempatan


posisi keIja di perusahaan maupun di instansi pemerintah cenderung dibedakan
berdasarkan jenis kelamin. Aripurnami (2004) menjelaskan bahwa perempuan
dianggap mempunyai fungsi reproduksi dan laki-laki mempunyai fungsi
produksi, maka perempuan distereotipkan sebagai feminin dan laki-laki
maskulin. Untuk itu ketika tiba di kantor perempuan selalu ditugaskan pada
kerja feminin (melakukan kerja yang di anggap pantas untuk perempuan), lakilaki ditugaskan pada kerja yang maskulin (melakukan kerja yang dianggap
pantas untuk laki-laki).
Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, perempucln harus dapat
mengaktualisasikan diri, yaitu memanfaatkan secara penuh bakat dan potensi
yang dimiliki serta menjalankan multiperart- dengan sebaik-baiknya. Wujud
aktualisasi diri perempuan yang bermultiperan di rumah tangga adalah
berupaya mendidik anak-anaknya menjadi cerdas dan tangkas, menjadi sahabat
dan istri yang ideal bagi suami, serta menjadi anggota masyarakat yang haik di
lingkungannya. Sementara itu, di kantor perempuan yang bermultiperan
Hubungan Antara Kesejajaran dan Aktualisasi Diri Pada Perempuan
Multiperan di Yayasan LIA Jakarta (Dr. Askalani Munir)

153

berupaya untuk menjadi karyawan berprestasi, atasan yang ideal bagi


bawahannya, serta bawahan yang berkompeten bagi atasannya.
Berdasarkan hal tersebut, perempuan yang bemultiperan dapat
memperoleh kesuksesan di dalarn kariemya maupun di rumah tangga apabila
dapat mengaktualisasikan diri secara optimal, hal tersebut dapat terwujud
apabila terjalin kemitrasejajaran, baik di rumah tangga maupun di kantor.
Nurpilihan (2004) menjelaskan bahwa kemitrasejajaran memberikan
kesempatan yang sarna bagi perempuan dan laki-laki untuk mengaktualisasikan
diri. Apabila kemitrasejajaran

perempuan memiliki kesempatan

untuk mengakutalisasikan dirinya. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk


meneliti tentang hubungan antara kemitrasejajaran dengan aktualisasi diri pada
perempuan yang bermulti peran di Yayasan LIA Jakarta
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan
penelitian sebagai berikut. Apakah ada hubungan positif signifikan antara
kemitrasejajaran dan aktualisasi diri pada perempuan yang bermultiperan di
Yayasan LIA Jakarta?

Kemitrasejajaran

Kesetaraaan antara laki-laki dan perempuan

perlu diwujudkan.

Dengan demikian, keharmonisan di rumah tangga dan pre stasi di tempat kerja
dapat tercapai. Kemitrasejajaran menurut teori feminisme liberal Margaret
Fuller (dalarn Umar, 2004) yaitu semua manusia, laki-Iaki dan perempuan
diciptakan seimbang dan serasi, memilliki hak yang sarna, dan menghendaki
agar perempuan diintegrasikan secara total di semua peran termasuk bekerja di
luar rumah. Pembeda antara laki-laki dan perempuan adalah fungsi reproduksi,
yang bukan merupakan faktor penghalang terhadap pelaksanaan peran-peran
tersebut.
154

LlNGlJA Vol.8 No.2, Oktober 151-167

Teori tersebut menyatakan bahwa laki-Iaki dan perempuan adalah


setara, sudah menjadi hak dan kewajiban perempuan untuk mengintegrasikan
dirinya secara optimal di rumah tangga maupun di kantor, tetapi tidak dengan
meninggalkan kodratnya sebagai perempuan. Hal ini didukung oleh

para

pendapat ahli antara lain (Gilbert, 2003), yang menguraikan gender equality
atau sering disebut dengan kemitrasejajaran sebagai berikut.

" A world in which women did not look to men for security and men did
not look to a women to sustain their personal lives and rear their
children .... It would be a world in which men would be as likely as a
women to pause in their careers for child -rearing, in which neither men
nor women would be 'punished' or viewed as unambitious or a 'bad bet'
if they identified themselves as family-oriented. It would be a world in
which just as many wives as husband earned more money than their
spouses. It would be a world in which careers peaked more than once
and at no set time .... "
Gender equality atau kemitrasejajaran adalah sebuah dunia yang
menggarnbarkan perempuan tidak lagi tergantung pada perlindungan laki-laki,
dan perempuan tidak lagi lagi dilihat sebagai pendorong dalarn kehidupan
pribadinya yang hanya membesarkan anak. Pengertian tersebut dapat diartikan
bahwa kemitrasejajaran adalah sikap dan perilaku antara laki-laki dan
perempuan yang saling bekerja sarna sebagai mitra yang sejajar. Nurpilihan
(2004) menjelaskan kemitrasejajaran perempuan dan laki-Iaki sebagai
hubungan antara perempuan dan laki-Iaki yang saling memperhatikan
persarnaan derajat dan status dalarn kebersarnaan dan pengertian, keduanya
(perempuan dan laki-Iaki) berhak dalarn posisi pengarnbilan keputusan,
memperoleh kesempatan untuk beraktualisasi, memilih akses dan kontrol
terhadap sumber-sumber dan manfaat pembangunan.
Secara umum konsep kemitrasejajaran perempuan dan laki-Iaki adalah
sebagai partnership (pasangan) yang memiliki kedudukan dalarn deretan yang
Hubungan Antara Kesejajaran dan Aktualisasi Diri Pada Perempuan
Mu\tiperan di Yayasan LIA Jakarta (Dr. Askalani Munir)

155

sama, meskipun keduanya tidak memiliki .kesamaan yang mutlak. Zulmiarni


(2005) menjelaskan pengertian kemitrasejajaran sebagai persamaan hak,
kedudukan, peran, kewajiban perempuan dan laki-laki dalam pembangunan
sektor ekonomi, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah menjamin halhal tersebut seeara konsitutional dan mengembangkan iklim yang kondusif
yang memungkinkan hal ini tereapai.
Kemitrasejajaran antara laki-Iaki dan perempuan baik di rumah tangga
maupun di kantor sering kali tidak dapat terwujud karena berbagai kendala.
Kendala yang menghambat perwujudan ,kemitrasejajaran menurut Munandar
(2005) adalah
I. Pandangan tradisional yang memisahkan seeara tajam antara peranan lakilaki dan perempuan, dan menempatkan perempuan dalam kedudukan yang
kurang menguntungkan dalam perkembangan diri sebagai individu dan
anggota masyarakat.
2. Pandangan tentang perempuan sebagai makluk yang lemah sehingga tidak
mampu melakukan tugas-tugas tertentu dan harus dilindungi dari kegiatankegiatan tertentu.
3. Timbulnya sex-stereotyping, yaitu proses mengategorikan seseorang.
4. Citra dan konsep diri perempuan itu sendiri, dibentuk dari pengalamannya
dan pendapat-pendapat orang lain tentang dirinya.
5. Pola asuh yang diterima sejak keeil.
6. Persepsi masyarakat mengenai peranan yang sesuai untuk perempuan.
Kendala yang menghambat tereiptanya kemitrasejajaran seperti di atas
dapat diperkeeil, bahkan dihilangkan dengan memberikan kesadaran pada
masyarakat pada umumnya dan para perempuan khususnya bahwa perempuan
dan laki-laki memiliki derajat, kedudukan, kesempatan, hak, dan kewajiban
yang setara. Hal yang membedakan laki-laki dan perempuan hanyalah seeara
156

LINGUA Vo1.8 No.2, Oktober 151-167

kodrati perempuan mengalami menstruasi, mengandung, melahirkan, dan


menyusui anak-anaknya. Kemitrasejajaran seharusnya diperkenalkan sejak dini
dalam keluarga sehingga anak-anak memahami bahwa laki-Iaki dan perempuan
adalah setara.
Kemitrasejajaran tidak dapat terwujud apabila belum ada upaya, baik
dari perempuan maupun laki-laki, untuk mengubah sikap dan perilakun. Pola
mengasuh anak yang diterapkan oleh orang tua memengaruhi sikap dan so sial
anak apabila sejak kecil anak diperkenalkan dengan kemitrasejajaran, yaitu
dengan tidak membedakan antara anak laki-Iaki dan anak perempuan. Jika hal
ini diterapkan, perempuan akan mendapatkan pengalaman kemitrasejajaran
sejak dini.

Akutalisasi Diri
Alasan seseorang harus bekerja salah satunya adalah untuk memenuhi
kualitas dan kapasitas yang dimiliki oleh setiap individu dan mengoptimalkan
bakat dan kemampuan yang potensial. Perwujudan diri dalam melakukan
perkeIjaan yang terbaik merupakan suatu cara untuk mengaktualisasikan diri,
juga merupakan suatu kebutuhan hidup.
Aktualisasi diri menurut Maslow (dalam Globe, 2004) adalah suatu
hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri dan menjadi
apa saja menurut kemampuannya. Ia juga menambahkan mrulUsia didorong
oleh kebutuhan universal yang tersusun dalam suatu tingkatan dari yang paling
kuat sampai yang paling lemah. Tingkatan kebutuhan ini seperti tangga,
kebutuhan yang paling rendah harus dipuaskan terlebih dahulu sebelum
muncul kebutuhan tingkat ke dua dan seterusnya. Kebutuhan akan aktualisasi
diri merupakan tingkatan kebutuhan yang kelima atau tertinggi. Akutalisasi diri
tidak akan tercapai apabila keempat kebutuhan sebelumnya, yaitu kebutuhan
Hubungan Antara Kesejajaran dan Aktualisasi Diri Pada Perempuan
Multiperan di Yayasan LIA Jakarta (Dr. Askalani Munir)

157

fisiologis, rasa arnan, rasa memiliki dan kasih sayang, serta kebutuhan akan
penghargaan, tercapai.
Pribadi yang mengaktualisasikan diri memiliki karakteristik umum,
seperti selalu menghargai kenyataan hidup, menerlma dengan baik dirinya dan
orang lain, memiliki kreativitas yang tinggi (tidak selalu dalarn bidang seni),
dan pertahanan yang tinggi terhadap kehidupan.
Chaplin (2005) menjelaskan aktualisasi diri sebagai kecenderungan
untuk mengembangkan bakat dan kapasitas diri. Pengertian tersebut
mengandung pengertian bahwa aktualisasi diri adalah kecenderungan
seseorang untuk mendayagunakan bakat dan kapasitas dirinya.
Schultz (2001) mendefinisikan akutalisasi diri sebagai perkembangan
yang paling tinggi dan penggunaan semua bakat yang dimiliki oleh seorang
individu dan memenuhi semua kualitas dan kapasitasnya, dimana seseorang
hams "menjadi" sesuai dengan potensinya. Apabila kebutuhan akan aktualisasi
diri ini tidak terpenuhi, individu tersebut akan merasa kecewa, tidak tenang,
dan tidak puas.
Goldstein (dalarn Hall and Gardner, 2003) menguraikan aktualisasi diri
sebagai kecenderungan kreatif dari kodrat manusia, hal tersebut merupakan
prinsip organik yang menyebabkan organisme berkembang dengan lebih penuh
dan lebih sempurna. Pengertian tersebut dapat diartikan bahwa aktualisasi diri
adalah kecendrungan kreatif seseorang untuk berkembangan dengan lebih
sempurna;
Adapun Rogers (dalarn Hall and Gardner, 2003) mengemukakan bahwa
organisme mempunyai suatu kecenderungan dan kerinduan dasar yakni
mengaktualisasikan, mempertahankan, dan mengembangkan organismen yang
mengalarninya. Kecenderungan untuk mengaktualisasikan ini bersifat selektif,
menaruh perhatian hanya pada aspek-aspek lingkungan yang memungkinkan
158

LlN4lJA Vo1.8 No.2, Oktober 151-167

orang bergerak secara konstruktif ke arah pemenuhan dan kebulatan. Kekuatan


yang memotivasinya adalah dorongan untuk mengaktualisasikan diri, dan
hanya ada satu tujuan hidup yakni menjadi pribadi yang teraktualisasikan
dirinya atau pribadi yang utuh.
Aktualisasi diri menurut Astanto (2005) adalah terpenuhinya kebutuhan
seseorang untuk menampilkan apa yang terbaik dari dirinya sesuai dengan
potensi dan kemampuan yang dimiliki. Maksud dari pengertian ini adalah
aktualisasi diri merupakan upaya seseorang untuk memanfaatkan bakat dan
potensi yang dimilikinya.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah di jelaskan di atas, aktualisasi
diri berarti hasrat seseorang untuk memanfaatkan secara optimal potensi dan
bakat yang dimilikinya sehingga ia dapat berkembang dengan lebih sempurna.
Aktualisasi diri merupakan kebutuhan tertinggi yang tidak akan tercapai
apabila kebutuhan di bawahnya belum terpenuhi.

Perempuan Bermultiperan

Perempuan yang bermultiperan menurut Schultz (2001) merupakan


gambaran peran-peran perempuan yang dalam kehidupan berkeluarga adalah
sebagai pribadi mandiri, sebagai ibu rumah tangga, sebagai ibu bangsa, sebagai
pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya dan sebagai istri. Pada
kehidupan bermasyarakat yaitu sebagai angkatan kerja atau anggota organisasi
serta sebagai warga negara dan warga dunia yang dilaksanakan secara selaras,
serasi, dan seimbang.
Perempuan memiliki peran inti dalam sebuah rumah tangga. Rosetam
(2003) menjelaskan bahwa perempuan merupakan key person in the familiy
sebab perempuan memiliki peran inti di rumah tangga, dan majikan.
Maksudnya, perempuan memiliki multiperan di rumah tangga sehingga sering
Hubungan Antara Kesejajaran dan Aktuaiisasi Diri Pada Perempuan
Muitiperan di Yayasan LIA Jakarta (Dr. Askalani Munir)

159

disebut dengan kunci keluarga. Pembahasan mengenai multiperan tersebut


masih banyak dibicarakan agar perempuan dapat menjalani seluruh perannya
dengan baik.
Perempuan yang bekerja memiliki sikap yang berbeda-beda dalam
menjalani pekerjaannya. Berikut ini adalah jenis perempuan pekerja menurut
Stead (2002):

1. High energy achievers, yaitu perempuan yang telah membuat kesepakatan


bukan seorang pekerja yang bersedia melakukan apa saja untuk
pekerjaannya, tetapi telah menstrukturnya dengan kehidupan pribadinya.

2. Involved workers, yaitu perempuan yang mengutamakan tanggung


jawabnya di masa sekarang daripada tujuanjangka panjangnya.

3. Conscientious worker, yaitu perempuan yang kurang memiliki rasa peduli


terhadap karimya.

4. Toilers, yaitu perempuan yang bekerja "hanya untuk mencari uang"


perempuan tersebut tidak memiliki harapan untuk memperbaiki karimya.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya, seberapa besar,


dan keberartian hubungan kemitrasejajaran dengan aktualisasi diri pada
perempuan yang bermulti peran di Yayasan LIA Jakarta.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukan . dalam mengembangkan kemitrasejajaran antara laki-laki dan
perempuan di masyarakat pada umumnya dan para karyawan yang bekerja di
Yayasan LIA Jakarta pada khususnya.

160

LINGUA Vol.8 No.2, Oktober 151-167

Metode
Penelitian ini dilaksanakan di Yayasan LIA Jakarta J1. Pengadegan
Timur Raya, No.3, Jakarta Selatan 12770, mulai Oktober 2007 sampai dengan
Januari

2008.

Metode

penelitian

yang

digunakan

adalah

penelitian

korelasional, yaitu mengetahui ada tidaknya hubungan antara dua atau


beberapa variabel. Dengan teknik korelasi dapat diketahui hubungan variasi
dalam sebuah variabel dengan variasi yang lain (Arikunto, 2004).
Dalam penelitian ini variabel yang digunakan terdiri dari dua macam
variabel, yaitu variabel bebas dan variabel tidak bebas:
1. Kemitrasejajaran sebagai variabel bebas dengan simbol X.
2. Aktualisasi diri sebagai variabel terikat dengan simbol Y.
Hubungan antara kedua variabel tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:
1. Y = Aktualisasi Diri
2. X = Kemitrasejajaran
Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan subyek penelitian
(Arikunto, 2004). Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan perempuan di
Yayasan LIA Jakarta. J1. Pengadegan Timur Raya, No.3, Jakarta Selatan
dengan karakteristik operasional berdasarkan observasi
1.

menikah dan memiliki anak;

2.

bekerja di YA YASAN LIA Jakarta selama 5-10 tahun sebab dalam


jangka waktu tersebut karyawan YAYASAN LIA Jakart telah memiliki
waktu dan kesempatan yang luas untuk mengaktualisasikan diri;

3.

memiliki tarafpendidikan minimal SMU/setaraf.


Subjek penelitian ini adalah karyawan perempuan Yayasan LIA Jakarta.

Jumlah

subjek dalam penelitian ini 30 orang. Pengambilan sampel dalam

penelitian menggunakan teknik pengambilan sampel random, yaitu semua


Hubungan Antara Kesejajaran dan Aktualisasi Diri Pada Perempuan
Multiperan di Yayasan LIA Jakarta (Dr. Askalani Munir)

161

subyek dalam populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi
sampel (Arikunto, 2004).
Penelitian menggunakan instrumen yang berbentuk angket pernyataan
pada variabel kemitrasejajaran dan aktualisasi diri. Bentuk angket berupa
rating scale, yaitu angket bentuk pernyataan yang menunjukkan tingkatan.

Data yang telah diperoleh melalui instrumen, berupa angket, merupakan


gambaran variabel yang diteliti dan. berfungsi sebagai alat penguji hipotesis.
Benar tidaknya data bergantung pada baik atau tidaknya instrumen pengumpul
data yang sangat menentukan bermutu atau tidaknya hasil penelitian. Instrumen
yang baik harus memenuhi 2 syarat penting, yaitu valid dan reliabel (Arikunto,
2004).

Hasil dan Pembahasan

Uji hipotesa terhadap hubungan antara kemitrasejajaran (variabel X)


dan aktualisasi diri (variabel Y) dilakukan dengan rumus korelasi Product
Moment Pearson dengan taraf signifikan 5%.

Hipotesis objek (Ho) menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan


antara variabel X dan variabel Y, dan hipotesis alternative (Ha) menyatakan
bahwa terdapat hubungan antara X dan variabel Y. Kriteria pengujian terima
Ho jika rxy < rt dan tolak Ho jika rxy > rt.
Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis diketahui nilai rxy 0,742
dan rt 0.361 sehingga dapat disimpulkan bahwa rxy > rt yaitu 0,742 > 0,361
berarti tolak Ho dan terima Ha (perhitungan pada lampiran 20).
Nilai rxy terletak antara 0,71-0,90 , maka dapat dikatakan terdapat
hubungan yang erat atau tinggi antara variabel X dan variabel Y sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif dan

162

signifikan antara

UN4lJA VoL8 No.2, Oktober 151-167

kemitrasejajaran dan aktualisasi diri pada perempuan yang bermulti peran di


Yayasan LIA Jakarta.
Agar lebih meyakinkan, hasil ini dibuktikan dengan pengujian yang
lain, yaitu uji t. Kriteria pengujian terima Ho jika to < it dan tolak Ho jika to >
tt. Hasil perhitungan to = 5,84 dan tt = 170. Berdasarkan hasil di atas, to> tt,

Ha diterima.
Perhitungan koefisien determinasi (r2) melihat seberapa besar
simbangan variabel X terhadap variabel Y, maka diperoleh nilai sebesar 55,
06%, artinya kontribusi variabel X terhadap variabel Y sebesar 55,06% dan
44,94% merupakan kontribusi dari faktor lain.
Berdasarkan observasi prapenelitian, perempuan yang bermultiperan di
Yayasan LIA Jakarta kurang dapat memanfaatkan kesempatan yang ada untuk
mengembangkan karier sehingga kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh
karyawan laki-Iaki.

Pembagian kerjanya kerap berdasarkan jenis kelamin,

yaitu perempuan lebih pada pekerjaan administrasi dan pembukuan, sedangkan


laki-laki lebih pada pekerjaan strategis.

Hal tersebut menggambarkan

karyawan laki-Iaki lebih memiliki kesempatan untuk mengakutalisasikan diri,


sedangkan pada kehidupan rumah tangga, perempuan yang bermuitiperan di
YayasC!1l LIA Jakarta menganggap bahwa laki-Iaki sebagai satu-satunya kepala
ruamh tangga. Perempuan bekerja hanya sebagai pencari nafkah tambahan, dan
pengambilan putusan berada di tangan laki-Iaki. Hal tersebut menggambarkan
laki-Iaki lebih mendominasi di dalam rumah tangga.
Sampel yang digunakan pada penelitian 1m perempuan yang
bermultiperan di Yayasan LIA Jakarta 30 orang. Usia subjek tergolong dalam
kategori usia madia dini, yaitu berkisar antara 40-45 tahun sebesar 60%,
sedangkan usia 46--50 tahun sebesar 40%. Jabatan subjek penelitian yang
tertinggi adalah direktur, yaitu 26,6 %, sedangkan staf 73,33%. Subjek
Hubungan Antara Kesejajaran dan Aktualisasi Diri Pada Perempuan
Muitiperan di Yayasan LIA Jakarta (Dr. Askalani Munir)

163

memiliki waktu dan kesempatan yang luas untuk mengaktualisasikan diri, yaitu
subjek dengan lama masa bertugas lima tahun sebesar 23,3% dan 76,7 %
subjek dengan lama masa bertugas lebih dari enam tahun.
Berdasarkan deskripsi data dan hasil uji persyaratan analisis dan
hipotesis di atas, dapat dikatakan secara empiris penelitian ini telah berhasil
mengungkap hubungan yang berarti dan signifikan antara kemitrasejajaran dan
aktualisasi diri pada perempuan yang bermultiperan di Yayasan LIA Jakarta.
Besamya derajat hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat
dalam penelitian ini dapat dilihat dari koefisien korelasi product moment. Dari
hasil perhitungan diperoleh r hitung sebesar 0,742, dan r hitung tersebut lebih
besar dari tabel, yaitu 0,361, sedangkan besar kontribusi variabel bebas pada
variabel terikat adalah 55,06 %.
Walaupun penelitian ini secara empiris telah berhasil menguji atau
membuktikan adanya hubungan antara kemitrasejajaran dan aktualisasi diri
pada perempuan yang bermultiperan di Yayasan LIA Jakarta, peneliti tidak
memungkiri bahwa bukan hanya kemitrasejajaran yang memengaruhi
aktualisasi diri pada perempuan yang bermultifungsi peran tersebut, melainkan
masih ada faktor-faktor lain, antara lain konsep diri, pendidikan dan
penyesuaian diri.

Simpulan

Penelitian ini mengkaji hubungan antara variabel kemitrasejajaran dan


aktualisasi diri. Variabel kemitrasejajaran sebagai variable bebas (dependent
variable) dan aktualisasi diri sebagai variabel terikat (independent variable).

Hipotesis kerja (Ha)

yang

diajukan adalah hubungan yang positif

signifikanlberarti antara variable kemitrasejajaran dan variable aktualisasi diri.


Subjek penelitian ini adalah perempuan yang bermultiperan di Yayasan LIA
164

LlNt:;lJA Vo1.S No.2, Oktober 151-167

Jakarta

sebanyak

30

orang.

Pengambilan

sampel

dilakukan

dengan

menggunakan teknik random sampling.


Data mengenai kemitrasejajaran dan aktualisasi diri diperoleh dari
instrumen angket. Untuk melihat tingkat kepercayaan dan kesahihan
instrument ini maka dilakukan proses uji coba terhadap 30 orang responden.
Hasil uji coba menunjukkan bahwa instrumen penelitian mempunyai tingkat
kepercayaan yang tinggi, yaitu 0,77 pada variabel kemitrasejajaran dan 0,9
pada variable aktualisasi diri.
Untuk keperluan analisis korelasi product moment yang digunakan
dalam penelitian ini, dilakukan Uji Linearitas dan Uji Normalitas. Pengujian
linearitas yang dilakukan menujukkkan bahwa hubungan yang terj adi antara
variable kemitrasejajaran dan aktualisasi diri Linear. Uji normalitas yang
dilakukan dengan Uji Liliefors menujukkan bahwa kedua variabel penelitian
ini berasal dari populasi berdistribusi normal.
Hasil analisis menunjukkan bahwa rhitung = 0,742 > rtabel = 0,361 pada

= 0,05 db = 30. Hal ini menujukkan hipotesis Ho yang menyatakan bahwa


tidak ada hubungan positif signifikan pada variabel kemitrasejajaran dan
aktualiasasi diri ditolak. Sebaliknya, Ha yang menyatakan bahwa ada
hubungan positif signifikan antara variabel kemitrasejajaran dan aktualiasasi
diri diterima.

DAFTAR PUSTAKA
Ari Pumami, Sita. 2004. Peran dan Kedudukan Perempuan dalam

Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Kongres Kebudayaan.


Ari Pumami, Sita. 2004. Perempuan dan Haknya di Lingkup Publik,

Simposium Wanita dan Aspek Sosialnya. Depok.


Arikunto, Suharsimi. 2004. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Hubungan Antara Kesejajaran dan Aktualisasi Diri Pada Perempuan
Muitiperan di Yayasan LIA Jakarta (Dr. Askalani Munir)

165

Astanto, Sugeng. 2005. Aktualisasi Diri Wanita yang Bekerja. Majalah Widya,
Maret No. 114, Tahun XII, Jakarta
Atwater, Eastwood. 2002. Psychology of Adjusment, Personal Growth in a

Changing World. New Jersey: Prentice-Hall Inc.


Chaplin, C.P. 2005. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarata

Raja Grafindo

Persada.
Coon, Dennis. 2002. Introdcution to Psychology, Exploration and Application,

5 ed. St. Paul: West Publishing Company.


Goble, Frank. 2004. Mazhab Ketiga

Humanistik Abraham Maslow.

Jogjakarta: Kanisius.
Gilbert, A Lucia. 2003. Two Careers One Familiy. New Bury park: Sage
Publication
Hal, Calvin dan Lindzey, Gardner. 2003. Teori Holistik dan Organismik

Fenomenologis. Jogjakarta: Kanisius.


Hadi, Sutrisno. 200l. Metodologi Researchjilid 3. Jogjakarta : Andi Offset.
Hurlock, EB. 2003. Personality Development. New York : MC Graw Hill
Publishing Company.
Linda, Norma. 1997. Gambaran Orientasi Peran Gender dengan Pilihan

Pekerjaan Rumah Tangga. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia :


Skripsi.
Muljani, Sri W.M. 2004. Cinderella Komplex. Jakarta

Anima Indonesian

Psychological Journal.
Munandar, SC Utami. 2005. Kemitrasejajaran Wanita-Pria dalam PJPT II,

Perspektif Psikologi. Jogjakarta : Lembaga Penelitian Universitas Islam


Indonesia dan Pusat Penelitian Kebudayaan dan Perubahan Sosial UGM.

166

LINGUA Vo1.S No.2, Oktober 151-167

Nurpilihan, Suryadi, Edi 2004 Profil Kemitrasejajaran Wanita dan Pria Pada

Bidang Penelitian Perguruan Tinggi di Kotamadya Dati II Bandung.


Bandung.
Poduska, Bernard. 2001. 4 Teori Kepribadian. Jakarta: Restu Agung
Schultz, Duane, 2001. Psikologi Pertumbuhan, Model-Model Kepribadian

Sehat. Jogjakarta : Kanisius.


Sundari, Arie. 2000. Hubungan antara Aktualisasi Diri dengan Kebermaknaan

Hidup pada Wanita bekerja di PT Jasa Raharja. Jakarta: Fakultas


Psikologi Universitas Persada YAI.

Hubungan Antara Kesejajaran dan Aktualisasi Diri Pada Perempuan


Multiperan di Yayasan LIA Jakarta (Dr. Askalani Munir)

167

TATA CARA BERKENALAN DALAM MASYARAKAT JEPANG:


SEBUAH NILAI BUDAYA JEPANG
Ekayani Tobing
Ketua Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA Jakarta
ekayani@Stbalia.net
Abstrak
Masyarakat Jepang dikenal sebagai masyarakat kelompok, dengan ikatan nilai-nilai
budaya yang masih melekat dalam kehidupan sosialnya. Interaksi yang tetjadi pada awal
pertemuan merupakan titik tolak keberhasilan hubungan bisnis yang akan mereka lakukan.
Masyarakat Jepang merupakan individu-individu konformis dan diatur oleh keterikatan
budaya.
Kata Kunci : Nilai budaya, Ojigi, Meishi

Abstract
The Japanese society is known as a group community bound by the Japanese cultural
values which are still attached in their life interactions. The interactions occur in the beginning
of a meeting constitute as a milestone determining the succeess of business relationship they
are going to have. The Japanese cultural values can be clearly seen how the greeting is
conducted by the Japanese people in the beginning of a meeting.
Kata Kunci : Culture value, Ojigi, Meishi

Pendahuluan

Banyak pendapat dari para ahli ataupun bangsa asing yang mengatakan
bahwa bangsa Jepang memiliki kepribadian yang tidak dimiliki bangsa lain.
Salah satu penyebabnya akibat politik isolasi (sakoku) yang pemah
diberlakukan di Jepang selama 250 tahun oleh pemerintah Tokugawa. Selama
sakoku tersebut, bangsa Jepang hidup tertutup tanpa pengaruh dari luar

sehingga kontak antarbudaya hanya terjadi di antara sesama bangsa Jepang


yang berasal dari berbagai wilayah kepualauan Jepang. Interaksi lokal yang
terjadi antarsesama orang Jepang yang berasal dari wilayah berbeda tersebut
menyebabkan pengkristalan dan pembentukan kepribadian Jepang yang
homo gen.

168

LINGUA Vol.8 No.2, Oktober 168-179

Masyarakat Jepang adalah individu-individu homogen yang hidup


terintegrasi dengan baik melalui berbagai pranata-pranata yang ada dalam
masyarakatnya, mempunyai sifat in-group, konsensus, dan loyalitas terhadap
kelompoknya. Perbedaan yang muncul dalam kehidupan masyarakat Jepang
tidak dilihat sebagai sesuatu yang mendasar, tetapi dilihat sebagai variasi lokal,
misalnya dalam dialek (penggunaan bahasa) yang muncul berdasarkan wilayah
tempat tinggal.
Sifat kepribadian bangs a Jepang ini menjadikan Jepang unik dan
menarik. Keunikan tersebut tercermin dalam interaksi so sial dan komunikasi
yang terjadi antarbangsa asing dengan bangsa Jepang. Salah satu keunikan
tersebut adalah kemampuan bangs a Jepang memelihara wakon yosai, yaitu jiwa
Jepang dan budaya Barat. Oleh karenanya, dalam berinteraksi dengan bangsa
Jepang, bangsa asing tidak cukup hanya mampu dapat berbicara dengan fasih
tanpa mengenal kebudayaannya. Tanpa memahami budaya Jepang, kita akan
mengalami kesulitan, bahkan merasa tersinggung atas sikap orang Jepang
ketika berinteraksi dengannya. 1
Orang Jepang apabila berbicara tidak langsung. Hal ini dikarenakan
mereka tidak menginginkan terjadinya konflik dan menjaga nama baik
kelompoknya. Orang Jepang sangat berhati-hati dalam berkomunikasi. Pada
umurruiya mereka berbicara tidak berdasarkan kata hatinya (honne), tetapi
sebagai masyarakat yang terikat pada kelompoknya (shudan shakai). Mereka
akan mengutamakan nilai tatemae dalam berbagai interaksi antarkelompok,
baik dengan masyarakatnya sendiri, yaitu bangsa Jepang, maupun dengan
bangsa asing. Sebagai shudan shakai (masyarakat berkelompok), mereka

1 Hendry, Joy (1993) Wrapping Culture: Politeness, Presentation, and Power in Japan and
other Socities. Oxford: Clarendon Press, hIm. 57

Tata Cara Berkenalan dalam Masyarakat Jepang: Sebuah Nilai Budaya Jepang (Ekayani Tobing)

169

berkomunikasi berdasarkan uchisoto, dan penggunaan tingkatan bahasa


ditentukan berdasarkan status dalam kelompoknya. 2
Orang Jepang dikondisikan oleh kendala-kendala historis dan geografis
yang khusus. Pada awal pertemuan bisnis yang akan dilakukan, orang Jepang
akan lebih banyak diam daripada berkata-kata. Dalam masyarakat jaringan
Jepang, eksekutif Jepang sangat memahami cara memanggil seseorang yang
kedudukannya lebih tinggi, lebih rendah, atau sederajat. Dalam pertemuan
bisnis, pembisnis Jepang mewakili perusahaan tempat ia sebagai bagian dari
kelompoknya, yang dapat dianggap juga mewakili negaranya.
Pertukaran kartu nama merupakan formalitas biasa di Jepang. Meskipun
informasi mengenai kelompok atau orang yang dihadapinya dapat diperoleh
melalui cara ini, pertukaran kartu nama tidak cukup tanpa pengetahuan
sebelumnya. 3
Di tengah arus globalisasi saat ini, orang Jepang tetap konsisten
memegang nilai-nilai dan gaya bisnis khas Jepang, yaitu berakar kuat pada
kepribadian dan adat istiadat mereka. Dalam me1akukan kontak bisnis dengan
orang Jepang, pebisnis asing harus memahami berbagai aspek budaya Jepang
mulai dari bahasa, sistem nilai, tradisi, dan berbagai aspek budaya lain.
Memahami Budaya Jepang

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memahami kontak budaya


dengan orang Jepang. Ada tujuh kerangka landasan agar dapat berkomunikasi
dengan orang Jepang secara baik.
1. Komplesitas Bahasa
2

Nakane, Chie (1970) Tate Shakai no Ningen Kankei, Tokyo:Koogisha, hIm. 26--29

Lewis, Richard D (2004) Komunikasi Bisnis Lintas Budaya, Bandung: PT Remaja


Rosdakarya, hal, hal 59-66

170

LtN411A Vol.S No.2, Oktober 168-179

Biasanya orang Jepang tidak terbiasa untuk berbicara dalam gaya bahasa
yang jelas, langsung, dan logis. Kata-kata yang digunakan sering bermakna
ganda (ambigu). Hal ini berlaku tidak hanya dengan orang asing, tetapi
kebiasaan berkomunikasi seperti ini juga berlaku dengan sesama orang
Jepang.
2. Homogenitas Ras dan Budaya
Wakon yosai merupakan salah satu bukti homogentitas dari sikap dan sifat

seluruh bangsa Jepang yang tinggal membujur di wilayah kepulauan


Jepang.
3. Menjunjung Tinggi Harmoni
Orang cendrung menghindari konfrontasi terbuka. Untuk menghindari
terjadinya konfrontasi, mereka cendrung untuk .berkompromi dengan cara
musyawarah-mufakat Mereka tampak lebih banyak melakukan dalam
suasana nonformal, yaitu di rumah makan atau tempat minum. Salah satu
upaya untuk menghindari

konfrontasi terbuka tampak

dari

cara

berkomunikasi yang selalu memberi respon dengan kata "hai" (ya), yang
sebenamya bukan berarti "ya" sesungguhnya. Kata "hai" lebih tepat diberi
arti "saya mendengar", "saya mengerti yang Anda sampaikan, atau "saya
memperhatikan Anda". Cara berbicara tidak langsung atau terus terang
akan mengganggu kenyamanan perasaan dalam berkomunkasi dan
membuka peluang konfrontasi. Padahal, orang Jepang sangat menjaga
harmoni dan hubungan baik dengan kelompok lain, terlebih dengan
kelompok di Iuar negaranya.
4. Sikap Eksklusif
Orang Jepang memiliki perasaan in-group feeling yang sangat kuat karena
adanya nilai uchi no mono dan sofa no mono sebagai bagian dari nilai

Tata Cara Berkenalan dalam Masyarakat Jepang: Sebuah Nilai Budaya Jepang (Ekayani Tobing)

171

shudanshugi. Sikap ini muncul karena politik sakoku yang diberlakukan


dalam waktu yang panjang.
5. Kuatnya Ikatan Kelompok
Peran kelompok dalam masyarakat Jepang sangat menonjol. Itu tampak
dalam perilaku mereka yang loyal dan terikat pada kelompoknya, seperti
keluarga, kelompok tempat bekerja, atau kelompok sebagai warga Jepang.
6. Komitmen Kesejahteraan
Jika dibandingkan dengan ideologi atau agama, orientansi dan komitmen
terbesar orang Jepang adalah kesejahteraan masyarakat atau kelompoknya.
Hal ini yang menyebabkan orang Jepang mudah menerima perubahan demi
kemajuan kelompkonya.
7. Rasa Superioritas
Perasaan ini muncul dari tanggapan atau ekspresi ketika berhadapan
dengan bangsa asing. Istilah "gaijin" merupakan salah satu ekspresi yang
menyatakan bahwa mereka berbeda dengan orang asing yang dianggap
aneh. Orang Jepang sering menunjukkanjati diri sebagai superior.
Ketujuh karakteristik yang ada dalam diri orang Jepang di atas akan tampak
ketika kita berinteraksi dengan mereka. 4 Jika tidak seluruhnya, paling tidak
beberapa sifat tersebut akan muncul saat berkomunikasi dengan orang Jepang.
Lalu, bagaimana mengetahui tata cara dengan orang Jepang? Untuk itu
pembahasan meliputi, di antaranya, ojigi dan pemberian kartu nama (Meishi)

Khadiz, Antar Venus (2001) Jepang Dalam Percaturan Bisnis Global: Suatu Pendekatan
Komunikasi Antarbudaya, dalam Komunikasi Antarbudaya, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
hal 204-205

172

LlNGlIA Vo1.8 No.2, Oktober 168-179

Tata Cara Berkenalan dengan Pembisnis Jepang

Dalarn rangka kerja sarna bisnis, hal yang berlaku di Jepang adalah
mengadakan kontak langsung dengan perusahaan atau dengan perwakilan
perusahaan terse but yang ada di negara kita. Penawaran ataupun perkenalan
melalui surat kurang mendapat tanggapan positif. Narnun, saat ini ada beberapa
perusahaan besar Jepang akan menjawab surat perkenalan atau penawaran
kerja sarna. Pada awal perkenalan dengan orang Jepang akan diawali dengan
melakukan ojigi. Cara melakukan ojigi tidak sarna. Hal ini ditentukan
berdasarkan status dari masing-masing orang atau masing-masing kelompok
yang berinteraksi.
a. Ojigi (Membungkuk)
Ojigi atau salarn dengan membungkuk merupakan pemandangan yang

selalu tarnpak dalam etika orang Jepang. Ojigi merupakan hal yang penting
dalarn etika orang Jepang. Oleh karenanya, sejak masa kanak-kanak etika ojigi
telah diajarkan. Bahkan, perusahaan dalarn masa pelatihan berulang kali
mengajarkan cara melakukan ojigi dengan benar kepada karyawan barunya.
Pada awal dan akhir pertemuan, biasanya orang J epang ataupun orang
asing yang akan berhubungan atau bergaul dengan orang Jepang akan saling
membungkukkan badannya secara formal. Sebenarnya, orang Jepang telah
mengenal

budaya

berjabatan

tangan.

Biasanya,

orang

Jepang

akan

mengulurkan tangan untuk berjabat tangan apabila pada awal pertemuan.


Budaya berjabatan tangan telah dikenal orang Jepang sejak orang Barat masuk
ke J epang. Kadangkala pada awal pertemuan banyak orang asing ada yang
melakukan ojigi kepada orang Jepang, tetapi sebaliknya orang Jepang
mengulurkan tangannya. 5

Hendry, Joy hal 89-115

rata Cara Berkenalan dalam Masyarakat Jepang: Sebuah Nilai Budaya Jepang (Ekayani Tobing)

173

Orang Jepang yang telah biasa llergaul dengan orang Barat akan
mengulurkan tangannya. Mereka

mengharapkan saling berjabl:\.t tangan.

Namun, seringkali orang asing yang berhadapan dengan orang Jepang akan
membungkukkan badannya sehingga orang Jepang akan menunggu sesaat
untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan, yaitu ojigi atau saling
berjabat tangan supaya tidak saling bertentangan. Dalam melakukan ojigi ini
akan ditentukan dalarnnya bungkuk badan yang harns dilakukan disesuaikan
denganjabatanlpangkat dari lawan bicaranya itu.
Cara melakukan ojigi yang mendasar atau pada umunmya adalah
dengan membungkukkan badan dari

bagian pinggang,

tidak hanya

menundukkan kepala atau membungkukkan punggung sedikit saja, tetapi


sampai batas ping gang dengan posisi kedua tangan/lengan berada di sisi dan
kedua ibu jari sejajar dengan jahitan celana. Punggung harus tetap lurus (bagi
para pria),

sedangkan bagi wanita menumpukkan tangan di

depan

pangkuannya, dan mata ditujukan ke bawah. Jangan mengubah sudut kepala.


Pada umumnya, ojigi yang dilakukan dengan punggung dibungkukkan
merupakan ekspresi yang menunjukkan penghormatan mendalam.
Ojigi dapat dibagi dalam tiga tipe, yaitu informal, formal, dan sangat

formal. Ojigi informal dilakukan dengan membungkuk yang membentuk sudut


15 derajat. Ojigi formal dilakukan dengan sudut 30 derajat, sedangkan yang
lebih formal dilakukan dengan membungkukkan badan lebih dalam lagi.
Lamanya membungkukan badan ditentukan oleh posisi sosial tiap-tiap orang.
Pada umunmya, bawahan akan membungkukkan badannya lebih dalam jika
dibandingkan dengan orang yang mempunyai posisi yang lebih tinggi,
sedangkan orang yang lebih tinggi posisinya akan menundukan kepalanya saja.
Bahkan, jika posisinya sangat berbeda jauh, yang lebih tinggi tidak akan
membalas ojigi itu walaupun hanya menundukan kepala.

174

LlNaVA Vol.8 No.2, Oktober 168-179

Perasaan in-group feeling yang sangat kuat dan ditentukan adanya nilai
uchi no mono dan sofa no mono sebagai bagian dari nilai shudanshu.gi yang

menentukan cara orang Jepang untuk melakukan ojili.


Sebelum melakukan interaksi dalam suatu pertemuan, orang Jepang
harns mengetahui posisi dari orang atau kelompok yang akan dihadapinya.
Karena sejak awal

pertemuan,

mereka harns

dapat menjaga nama

kelompoknya. Hal ini menyangkut pada nilai kuatnya ikatan pada kelompok
mereka. Peran kelompok dalam masyarakat Jepang sang at menonjol dan itu
tampak dalam perilaku yang loyal dan terikat pada kelompoknya. Oleh
karenanya, mereka akan sangat hati-hati dalam berinteraksi untuk tidak
menyebabkan tercemar nama baik kelompoknya. Salah satu posisi ojigi yang
berhubungan dengan posisi dari kelompoknya, tampak dalam posisi duduk dan
membungkukkan badan sampai menyentuh lantai, biasanya dilakukan sebagai
ungkapan terima kasih, dan ini disebut dengan saikeirei.

b. Kartu nama (Meishl)


Pada awal pertemuan dalam rangka keIja sama bisnis, yang berlaku di
Jepang adalah mengadakan kontak langsung dengan perusahaan atau dengan
perwakilan perusahaan tersebut yang ada di negara kita. Penawaran ataupun
perkenalan melalui surat kurang mendapat tanggapan positif. Namun, saat ini
Jepang yang telah banyak melakukan adaptasi dengan budaya dari rekan
bisnisnya sehingga beberapa perusahaan besar Jepang akan menjawab surat
perkenalan atau penawaran kerja sama melalui surat.
Kartu nama mempunyai peran yang sangat penting dalam acara
perkenalan dengan orang Jepang. Kartu nama yang disebut dengan meishi
mempunyai bermacam-macam kegunaan, antara lain, mengetahui nama dan

Lewis, Richard D hal 275-285

Tata Cara Berkenalan dalam Masyarakat Jepang: Sebuah Nilai Budaya Jepang (Ekayani Tobing)

175

jabatan setiap orang yang dihadapi. Kartu nama harus tetap diletakan di atas
meja dengan posisi tegak lurus menghadap kita agar kita daI?at segera
mengetahui nama dan jabatan orang yang sedang kita ajak bicara. Kartu nama
yang diberikan kepada orang Jepang akan disimpan dengan baik. Ketika kita
akan berkomunikasi, orang Jepang tersebut telah mempunyai catatan bahwa ia
telah pemah bertemu. Orang Jepang tersebut tidak akan memandang kita
sebagai orang asing yang baru pertama kali ditemui.
Berikut ini adalah urutan mengeluarkan kartu nama, beberapa cara
memberikan, dan ungkapan-ungkapan yang harus diucapkan ketika kartu nama
itu diberikan:
1. mengucapkan salam "hajimemashite",
2. mempersiapkan kartu nama, dan
3. mulai memperkenalkan dengan "nama perusahaan, kemudian nama diri",
dan menyampaikan kartu nama yang dilanjutkan dengan mengucapkan

"douzo yoroshiku onegai shimasu"


Orang yang ada dihadapan kita akan mengucapkan serta mengeluarkan kartu
nama seraya mengucapkan "duozo yoroshiku onegaishimasu". Kita juga harus
mengetahui cara meletakkan kartu nama. Kartu nama yang telah diterima harus
diletakan tepat dihadapan kita dalam batas dapat dibaca. Setelah selesai
pembicaraan, kartu nama tersebut dimasukan dalam dompet kartu nama yang
telah kita persiapkan. Jangan memasukkan kartu nama dalam saku celana atau
terus dipegang sambil meninggalkan ruangan. Hal lain yang perlu diperhatikan
adalah sebagai berikut.
1. Jangan meletakan terbalik posisi kartu nama karena hal itu dapat berarti
kita meletakan kepala orang itu di bawah. Nama yang terletak di atas
mencerminkan bahwa kita berhadapan dengan muka orang tersebut.

176

UNt;lIA Vo1.8 No.2, Oktober 168-179

2. Jangan memberikan kartu nama seperti membagikan kartu remi. Pertukaran


kartu nama merupakan bagian penting dalam awal acara perkenalan dengan
orang Jepang. Oleh karena itu, kartu nama itu dipertukarkan satu per satu
dengan hormat.
3. Jangan diberikan sembarangan.
Kartu nama orang Jepang akan memuat nama, perusahaan, alamat, dan
jabatan. Berikut ini adalah model kartu nama orang Jepang yang di satu sisi
ditulis dengan bahasa Jepang dan pada sisi yang lain ditulis dengan bahasa
Inggris sebagai teIjemahannya.

r[1

1=1:1

-T
T 1-0_'$"2'044

"""",,,,,,,,,,;

Hal yang sulit untuk dipahami oleh orang asing yaitu tidak adanya standar
teIjemahan untuk pangkat dan jabatan dalam perusahaan Jepang yang tertera
dalam kartu nama orang Jepang. Mmisalnya, ketika kita membaca teIjemahan
jabatan dari lima orang Jepang yang bertemu dengan kita, kelima orang dari
satu perusahaan yang sama menyebut jabatannya sebagai manajer dan
ditambah dengan manajer departemen, manajer seksi, atau asisten manajer, dan
lain-lain. Namun, dalam perilakunya terdapat perbedaan antara satu manajer
dan manajer lain yang ditentukan oleh umur dan tanggung jawab yang diemban
sesuai dengan jabatan dalam perusahaan itu. Oleh karenanya, sebagai bangsa
asing kita perlu mengetahui dan mempelajari jabatan dan tingkatan kedudukan
seseorang dalam perusahaan, yang biasanya berhubungan juga dengan usia
orang tersebut. Sistem peringkat dan tanggung jawab yang berbanding dengan

Tata Carn Berkenalan dalarn Masyarakat Jepang: Sebuah Nilai Budaya Jepang (Ekayani Tubing)

177

umur serta lamanya bekerja pada suatu perusahaan merupakan karakteristik


dari organisasi perusahaan Jepang yang disebut dengan sistim nenko joretsu.

4. Simpulan
Dalam masyarakat Jepang awal dan akhir dari suatu pertemuan diatur
dengan cukup jelas. Masyarakat Jepang adalah masyarakat yang konformis dan
teratur. Di Jepang terdapat awal dan akhir yang cukup jelas hampir dalam
segala hal. Pertukaran kartu nama yang wajib dilakukan antarpara pembisnis
yang bertemu untuk pertama kali adalah salah satu contoh yang terjelas.
Pertemuan diawali dengan cara berjabat'tangan atau melakukan ojigi apabila
dilakukan di antara sesama orang Jepang. Pada saat itu, mereka telah
mengetahui posisi masing-masing kelompok atau orang sehingga posisi
melakukan ojigi pun dilakukan dengan posisi kelompok atau status orang itu.
Cara-cara tersebut merupakan nilai-nilai budaya yang masih melekat dalam diri
orang Jepang. Hal ini tampak pada awal pertemuan sampai dengan berakhimya
pertemuan, khususnya bisnis.

DAFTAR PUSTAKA
Hendry, Joy (1993) Wrapping Culture: Politeness, Presentation, and Power in. Japan and other Socities. Oxford: Clarendon Press.
Poter, Richard E & Samovar, Larry A (2001) Suatu Pendekatan Terhadap
Komunikasi Antarbudaya, dalam Komunikasi Antarbudaya, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Nakane, Chie (1970) Tate Shakai no Ningen Kankei, Tokyo:Koogisha.
Lewis, Richard D (2004) Komunikasi Bisnis Lintas Budaya, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.

178

UNC;IJA Vol. 8 No.2, Oktober 168-179

Khadiz, Antar Venus (2001) Jepang Dalam Percaturan Bisnis Global: Suatu
Pendekatan Komunikasi Antarbudaya, dalam Komunikasi Antarbudaya,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Tata Cara Berkenalan dalam Masyarakat Jepang: Sebuah Nilai Budaya Jepang (Ekayani Tobing)

179

Indeks
Volume 8 Nomor 1, Maret 2009

Volume 8 Nomor 2, Oktober 2009

E-learning 55, 56, 57, 58, 59, 60

Derivational Suffixes 124, 125, 126,

70, 72, 73, 74, 75, 76

Funfsi 108, 109, 110, 111,

Iklan 18, 19, 20, 21, 24, 25

Kemitrasejajaran 151, 154, 155, 156

Implementasi 55, 60, 63, 70

Komik 139, 140, 141, 143, 144, 145

Nomina 38, 40, 43, 44, 48, 49, 50

Ojigi 168, 172, 173, 174, 175, 178

PeneIjemahan 1, 8, 11

Pragmatis 108, 110, 113, 114

Politik 18, 19, 20, 21, 23, 24, 27

Semantis 108, 110, 113, 114

Produktivitas 38, 40, 41, 45

Sintaksis 108, 110, 113, 114

Anda mungkin juga menyukai