Anda di halaman 1dari 5

Fiksi Wanita pada Era Pasca Perang

Women's Fiction in The Postwar Era

Anggota kelompok 2:
Bimo Naufal Wicaksono (1906391093)
Nabila Azzah A. (1906368323)
Nibraska Nadhira (1906368380)
Sava Ainaya M. (1906391061)
Yunita Pratiwi (1906391143)
Zalfa Dhia (1906391130)

Paragraf 1-5 oleh Zalfa Dhia


Jepang berperang dari tahun 1930 sampai tahun 1945. Setelah menyerah, Jepang
diperintah oleh tentara pendudukan sekutu sejak September 1945 hingga April 1952. Perang
dan pendudukan asing di Jepang memiliki pengaruh yang besar terhadap kesusastraan
nasional. Periode pasca-perang ini berakhir pada pertengahan tahun 1980-an.
Dampak dari peperangan dan pendudukan kepada setiap orang tidak sama karena
adanya propaganda mengenai pria dan wanita yang ideal serta peran yang berbeda antara
keduanya. Hasilnya, kesusastraan yang dibuat pada masa pasca-perang dalam banyak kasus
dibedakan berdasarkan gender.
Selama tahun-tahun meningkatnya militerisme pada 1930 sampai 1940-an, wanita dan
pria mendapat peran penting yang sangat berbeda satu sama lain. Pria berkontribusi secara
langsung dalam perang dengan menjadi tentara atau bekerja di pabrik, sementara wanita
tidak. Wanita didorong untuk melahirkan anak sehat sebanyak mungkin.
Saat perang semakin intensif dan pria sehat semakin sedikit, peran wanita menjadi
lebih aktif. Mereka bertanggung jawab terhadap penjatahan makanan, menjaga keamanan
lingkungan, ditugasi di pabrik mesin, atau menanam makanan. Mereka harus khawatir
terhadap anggota keluarga lelaki mereka, terhadap bahan pokok dan obat yang semakin
langka, serta menghadapi efek dari serangan udara, kebakaran, tunawisma, dan penyakit.
Tidak hanya peran dalam kehidupan nyata saja yang bergender, tetapi juga pada
metafora dan makna simbolis yang digunakan dalam propaganda. Simbol ikonik dari
maskulinitas adalah tentara yang dengan berani berjuang hingga mati demi kaisar. Simbol
dari feminitas adalah bunga nadeshiko (Dianthus superbus) yang melambangkan
pengorbanan diri yang manis, sopan, dan tanpa henti. Tugas utama wanita Jepang dalam
propaganda adalah menjaga api rumah tetap menyala melalui pekerjaan rumah, dan jika
menikah menghasilkan anak demi misi kaisar.

Paragraf 6-11 oleh Nibraska Nadhira


7 tahun setelah Tentara Pendudukan Sekutu muncul, banyak peningkatan terhadap
kehidupan perempuan karena adanya Konstitusi baru (1947) seperti hak pilih, hak yang setara
dalam pernikahan, dan kesempatan yang setara dalam menerima edukasi. Sedangkan bagi
laki-laki, Pendudukan Sekutu membawa dampak yang tidak begitu menguntungkan. Hal ini
disebabkan bahwa pada pengadilan pidana perang Tokyo, kejahatan perang tentara Jepang
diungkap secara Internasional dan laki-laki, baik rakyat biasa, tentara, dan politikus dianggap
bertanggung jawab atas perencanaan dan eksekusi perang tersebut. Terlebih lagi berdasarkan
sudut pandang nasional, laki-laki lah yang gagal memenangkan perang dan menerima untuk
menyerah tanpa syarat.
Ketika perang berakhir, banyak perempuan yang mengalami penderitaan seperti
kehilangan ayah, suami, saudara, maupun anak sehingga perempuan-perempuan tsb harus
mengambil alih tanggung jawab terhadap keberlangsungan hidup orang yang bergantung
kepada mereka. Krisis pangan di Jepang modern terjadi pada tahun 1946, setelah perang
berakhir. Banyak perempuan yang kehilangan pekerjaan semasa perang dan menjadi
pengangguran karena laki-laki yang kembali dari perang didahulukan untuk diberi pekerjaan.
Kekurangan makanan dan ketiadaan pekerjaan berakhir dengan naiknya jumlah prostitusi.
Perbedaan yang dialami laki-laki dan perempuan ketika modernisasi dan militerisasi
Jepang pada masa sebelum, selama, dan sesudah perang dapat dilihat dalam kesusastraan
pasca perang.
Efek langsung perang dalam tulisan perempuan dapat dilihat pada statistik penerbitan.
Andil perempuan dalam penerbitan sastra meningkat dengan cepat yaitu dari 10% pada 1930
hingga 20% pada 1940. Publikasi perempuan dan laki-laki dibatasi pada tahun 1941 sampai
1945 karena perang Pasifik. Ketika perang selesai, jurnal sastra kembali dimulai. Selama
masa Pendudukan Sekutu, andil perempuan dalam produksi jurnal sastra kembali turun ke
10%. Sebab, walaupun semasa Pendudukan Sekutu perempuan tidak lagi dibutuhkan menjadi
tenaga kerja utama dan banyak peningkatan hak perempuan, tetap ada kesulitan untuk
memperoleh material/bahan yang dibutuhkan untuk memproduksi jurnal sastra. Kemudian
setelah 1953, persentase tsb kembali meningkat secara teratur (1956:15%, 1958:18%) selama
1960, 1970, dan 1980. Peningkatan ini berbanding lurus dengan naiknya kesempatan edukasi
perempuan, kemakmuran ekonomi, dan tren umum aktivitas sastra.
Perubahan berdasarkan gender pada sastra pasca perang dapat dilihat melalui
distribusi penghargaan sastra. Salah satunya adalah penghargaan Akutagawa yang diberikan
dua kali setahun kepada karya terbaik penulis baru. Dalam dua dekade sejak lahirnya (1935-
1954) penghargaan ini, hanya ada dua penulis perempuan yang menerima penghargaan
Akutagawa yaitu Nakazato Tsuneko (1939) dan Shibaki Yoshiko (1942). Kedua kali tab
hanya berjumlah 6% dari penghargaan yang diberikan pada dekade ini. Persentase tsb
meningkat yaitu 1955-1964:12.5%, 1965-1974:26%, 1975-1984:35%.
Jumlah perempuan yang diberi penghargaan sastra lainnya juga mulai mengalami
peningkatan pada akhir tahun 1950an. Penghargaan Noma (diberikan tiap tahun sekali, tidak
pernah kepada perempuan) pada 1957 diberikan kepada dua penulis perempuan yaitu Enchi
Fumiko (karyanya Unnozaka, The Waiting Years) dan Uno Chiyo (karyanya Ohan).
Kemudian penghargaan Naoki (diberikan setahun dua kali) diberikan hanya kepada 1
perempuan pada rentang 2 dekade (1935-1954) yaitu kepada Koyama Itoko pada tahun 1950.
Pada masa ini, perempuan tidak hanya dikenal karena terbitan karya mereka tetapi juga
diundang sebagai panitia penghargaan sastra. Contohnya Kōno Taeko dan Ōba Minako yang
menjadi panitia penghargaan Akutagawa.
Paragraf 12-16 oleh Yunita Pratiwi
Sebagaimana dicatat, hanya 10 persen dari karya sastra yang diterbitkan antara tahun
1945 dan 1952 ditulis oleh penulis wanita. Jumlah perempuan yang menulis sangat terbatas:
tiga perempuan -Hirabayashi Taiko (1905–72), Hayashi Fumiko (1903–51), dan Sata Ineko
(1904–98) - seluruhnya sepertiga dari semua terbitan sastra perempuan. Semua penulis
produktif ini lahir jauh sebelum perang dan sudah memiliki karir menulis yang mapan.
Banyak dari mereka juga pernah terlibat dalam gerakan sayap kiri sebelum perang. Berbeda
dengan yang disebut Generasi Ketiga Penulis Baru (Dai-san no shinjin) - penulis laki-laki
muda muncul setelah perang, kebanyakan dari mereka lahir sekitar tahun 1920 - an.
Hampir semua wanita menerbitkan karya selama Masa Pendudukan berfokus pada
tema yang sama dan Fiksi yang diproduksi cenderung realistis penggambaran masalah sehari-
hari. Tidak seperti surealistik, kelam humor, nada satir diri menjadi ciri karya penulis laki-
laki pada periode tersebut, seperti Kojima Nobuo (1915–2006) atau Yasuoka ShŌtarŌ
(1920–2013).
Sebagian besar cerita pasca perang langsung diterbitkan oleh wanita yang prihatin
dengan proses rekonstruksi rumah, sedangkan rumah dan struktur sosial didekonstruksi
secara radikal di tulis oleh pria. Salah satu cerita pendek paling terkenal dari periode pasca
perang, misalnya, adalah "Hone" (Bones, 1949) karya Hayashi Fumiko, tentang seorang
janda perang kelas menengah, Michiko, yang ditinggalkan sebagai satu-satunya pendukung
putrinya yang masih kecil serta ayahnya yang sakit dan saudara laki-lakinya yang terbaring di
tempat tidur. Banyak dari karya Hayashi pasca perang menampilkan elemen melodramatis
yang serupa - istri yang kesuciannya telah dikompromikan oleh keadaan putus asa perang dan
akibatnya - tetapi karya tersebut dengan tegas menolak untuk mengejar resolusi naratif yang
dramatis dan tragis. Sebaliknya, pesan yang dominan adalah bahwa kehidupan - khususnya
kehidupan wanita - akan terus berjalan.
Pada tahun 1930-an dan awal 1940-an Hayashi telah membantu mendukung upaya
perang dengan melayani di Tiongkok sebagai koresponden khusus untuk surat kabar
Mainichi dan Asahi, tetapi pengalaman masa perang dari orang sezamannya, Hirabayashi
Taiko, mengikuti jalan yang berbeda. Terlibat dengan kelompok anarkis dari tahun 1920-an,
Hirabayashi menghabiskan sebagian besar tahun-tahun perang dari 1937 hingga 1945
dipenjara karena aktivitas sayap kiri. Hirabayashi dengan cepat menerbitkannya setelah
perang usai. "Hitori yuku" (Going on Alone, 1946), misalnya, adalah catatan otobiografi
tentang tahun-tahun yang dihabiskannya di penjara saat perang berkecamuk di luar. Cerita
lain yang diterbitkan pada tahun 1946, “Otete tsunaide” (Berpegangan Tangan), mengangkat
masalah anak-anak yatim piatu akibat perang.

Paragraf 17-21 oleh Nabila Azzah A.


Banyak fiksi karya wanita yang diproduksi tahun 1945-1955 memperlihatkan fakta
bahwa tubuh serta pemikiran wanita telah dimobilisasi selama perang dengan cara yang
berbeda dengan laki-laki. Fiksi-fiksi tersebut menunjukkan bahwa ideologi sebelum perang
telah mengontrol para wanita. Ketika perang berakhir, para wanita pun tersadarkan bahwa
mereka memang menghadapi dampak dari ideologi tersebut.
Di akhir pendudukan sekutu tahun 1952, Jepang mulai memperlihatkan tanda-tanda
pemulihan dari kehancuran akibat perang. "Keajaiban ekonomi" Jepang dimulai pada
pertengahan 1950-an dan berlanjut hingga 1960-an, mengarah pada peningkatan
kesejahteraan materi bagi sebagian besar warga. Pulihnya sosial ekonomi ini menyebabkan
produktivitas sastra bangkit kembali, termasuk di antara para wanita, pada pertengahan
menuju akhir 1950-an. Para penulis wanita yang terkenal pada periode ini umumnya berasal
dari kelas sosial yang lebih tinggi dan lebih berpendidikan dari para pendahulunya.
Di antara penulis wanita tersebut, yang paling terkenal adalah Enchi Fumiko. Ia
menjadi terkenal setelah serialisasi novelnya yang berjudul “Onnazaka” di tahun 1949.
“Onnazaka” pun tamat pada 1957, lalu pada 1958 dilanjutkan dengan “Onnamen”. Kedua
novel tersebut mengandung tuduhan keras pada sistem Ie di mana wanita tidak memiliki hak
yang legal dan hanya dianggap penting selama mereka menyenangkan suami serta
melahirkan anak-anak yang sesuai dengan keinginan suami. Fiksi Enchi terkenal dengan
penggambaran fantasi atau okultisme sebagai cara untuk mengungkapkan kedalaman
psikologis dari batin wanita, sekaligus secara serentak menentang dominasi warisan patriarki
dari sistem Ie.

Paragraf 22-26 oleh Bimo Naufal Wicaksono


Para kritikus pada medio 1960-an menganggap perkembangan sastra perempuan pada
era tersebut sebagai sesuatu yang aneh dan multi-tafsir. Karya-karya para sastrawan baru
tersebut dianggap seringkali terlalu frontal dan melawan norma yang ada. Hal ini juga terlihat
di karya-karya fiksi yang dirilis pada tahun 1960 hingga 1970-an yang sangat kental dengan
kesan science fiction, yang kadang disusupi dengan penggambaran adegan yang frontal,
berbau psikologis dan berbagai unsur fiksi lainnya. Penggambaran yang frontal ini terlihat
dari karya-karya Kōno Taeko, seorang penulis yang mendapatkan penghargaan yang dimana
sebagian besar karya-karyanya memiliki karakter perempuan lajang yang menyukai
hubungan seks secara masokis, yang dianggap menunjukkan dominasi perempuan dalam
peran gender dimana pada umumnya dianggap sebagai titik terlemah dominasi perempuan.
Karya dari Kurahashi Yumiko juga mengangkat tema yang mirip yaitu dengan adanya
tema incest antara adik dan kakak, mutilasi diri, biseksualitas, interseksualitas, dan seperti
Kono, tema sadistik masokis menjadi tema yang umum ditemui. Tujuan dari pengangkatan
tema-tema kontroversial tersebut bukannya untuk mencari sensasi, melainkan untuk
mengangkat isu peran gender dan identitasnya serta menantang nilai-nilai gender yang ada.

Paragraf 27-31 oleh Sava Ainaya M.


Fiksi tahun 1960-an yang ditulis Mori Mari, putri dari Mori Ōgai yang terkemuka,
melakukan pendekatan gender dan seksualitas dari arah yang berbeda, namun juga
mengejutkan. Trilogi novelnya dari awal 1960-an, “Kareha no Nedoko” (Bed of Withered
Leaves, 1962), “Nichiyōbi ni wa Boku wa Ikanai” (I'm Not Coming on Sunday, 1962), dan
“Koibitotachi no Mori ”(The Lovers' Forest, 1961), menampilkan protagonis homoseksual
laki-laki, tetapi seperti yang dikatakan Kazumi Nagaike, narasi yang sangat estetis dan tidak
realistis ini sebenarnya dimaksudkan untuk menyorot dan mendekonstruksi mitos sosial
tentang feminitas dan seksualitas perempuan daripada mencoba menggambarkan secara
akurat kehidupan pria gay.
Beberapa penulis wanita tahun 1960-70-an lebih suka menggunakan mode yang lebih
realis (meski mengandung magical realism) dalam memperdebatkan peran gender tradisional.
Ōba Minako dan Takahashi Takako, menampilkan protagonis yang kesepian bahkan di
tengah pernikahan dan keluarga kelas menengah yang “ideal”, dengan masalah hubungan
antara seorang ibu dan putrinya, yang disorot dalam karya-karya Ōba seperti “Sanbiki no
Kani” (The Three Crabs, 1968) atau “Yamauba no Bishō” (The Smile of a Mountain Witch,
1976), dan karya Takahashi "Sōjikei" (Congruent Figures, 1971). Dalam upaya untuk
membawa tokoh “ibu” ke posisi pembicara atau subjek, Ōba dan Takahashi memperdebatkan
degradasi "ibu" menjadi tidak lebih dari apa yang Marianne Hirsch sebut sebagai "objek" atau
"dasar" di mana subjektivitas anak dikembangkan, sekaligus menentang citra ideal "keibuan
bagi negara" yang sudah lazim di dekade-dekade sebelumnya.
Seperti yang terlihat pada “Yamauba no Bishō,” dalam memperdebatkan “romansa
keluarga” tradisional, penulis wanita sering menggunakan sosok yamauba (atau yamanba),
wanita iblis dari cerita rakyat Jepang—digambarkan tinggal sendirian di pegunungan,
memakan anak-anak, membunuh pria muda yang tampan, dan memiliki kemampuan untuk
mengubah bentuk untuk memikat para pelancong—sebagai lawan dari citra perempuan
nadeshiko. Pada tahun 1970-an, Kanai Mieko dan Tsushima Yūko menonjol di antara para
generasi pertama penulis yang lahir setelah perang berakhir. Cerita pertama Kanai yang terbit
pada awal 1970-an, meniru tema disturbing yang digunakan Kōno dan Kurahashi: incest
(ayah-anak), mutilasi diri, hermafroditisme, dan sebagainya, untuk tujuan yang sama;
eksplorasi struktur tatanan sosial seperti gender dan peran keluarga, untuk merombak sisa-
sisa sistem Ie. Karakternya sering kali merupakan arketipe tanpa nama (“ayah”, “pelacur”,
“agen real estat”), tinggal di lokasi yang tidak ditentukan dan ambigu, dan ceritanya
mencakup banyak referensi ke sastra dan seni non-Jepang. Misalnya, cerita pendeknya yang
penuh kekerasan grafis "Usagi" (Rabbits, 1972), yang mengandung hubungan antara ekspresi
sastra perempuan dan kekacauan psikis akibat peran keluarga tradisional, mengambil
inspirasi dari Alice in Wonderland.
Sebaliknya, cerita Tsushima Yūko biasanya bertema realis, di lokasi Jepang yang
mudah dikenali. Para protagonis dari karyanya menentang konvensi sosial dengan memiliki
dan membesarkan anak di luar nikah, misalnya pada “Yama o Hashiru Onna” (Woman
Running in the Mountains, trans. 1991), menampilkan protagonis yang hamil di luar nikah,
membuat malu orang tuanya, tetapi pada akhirnya menegaskan kemungkinan untuk
menciptakan bentuk-bentuk keluarga baru yang layak di luar struktur tradisional (Tsushima
mengacu pada sosok yamauba dalam novel ini). Dalam "Danmari Ichi" (The Silent Traders,
1982) ia mengeksplorasi konsekuensi dari struktur keluarga baru ini untuk anak-anak yang
menghuninya, sekali lagi sampai pada kesimpulan yang sama.
Tren terakhir dalam tulisan wanita pasca perang adalah munculnya penulis ekspatriat
seperti Ōba Minako dan Kometani Fumiko, keduanya memulai karir sastra mereka saat
tinggal di Amerika Serikat dan menulis tentang karakter Jepang yang mengatasi kesulitannya
dalam arus budaya asing. Keduanya juga memenangkan Penghargaan Akutagawa (Ōba pada
1968, Kometani pada 1985 untuk “Sugikoshi no Matsuri”), menunjukkan daya tarik dari
karakter yang berhasil diinternasionalkan, kontras dengan kegelisahan dan ketergantungan
geopolitik yang biasanya masih ditulis oleh penulis pria pada masa itu.

Anda mungkin juga menyukai