Mereka mungkin lebih nyaman dengan sebutan netral seperti anak muda, karena
istilah ini bebas dari campur tangan otoritas di luar mereka. Dengan kata lain, istilah
seperti
muda dan membuat mereka bisa mengenali diri dan sekelilingnya dengan cara pandang
baru. Tidak mengherankan jika dalam mitologi negara, para pemuda (terpelajar) dan
organisasi yang mereka bentuk seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, dan Jong Batak
Bond punya kedudukan penting. Setiap tahun negara memperingati Hari Sumpah
Pemuda yang seharinya adalah hari saat berbagai organisasi pemuda peserta kongres
pemuda di Jakarta pada Oktober 1928 mengeluarkan resolusi yang antara lain
mencantumkan tiga baris pernyataan sikap.
Saya kira sejarah yang sesungguhnya terjadi jauh lebih rumit dan berliku daripada
mitologi negara. Sebenarnya, jauh sebelum pembentukan Budi Utomo, kaum muda atau
lebih tepat para bangsawan terpelajar, sudah mulai melihat dunia dengan cara dan
sudut pandang berbeda. Mereka mungkin tidak aktif dalam dunia politik -seperti Budi
Utomo yang juga menolak berpolitik- tetapi yang pasti mereka membentuk satu lapisan
baru dalam masyarakat yang berbeda dari generasi orang tua mereka. Kaum muda
terpelajar ini mengisi berbagai jabatan dalam birokrasi kolonial dan badan-badan swasta
yang semula hanya diduduki orang Eropa. Mereka disebut dan juga menyebut diri orang
perticulier. 3 Mereka mulai menulis, mencatat, dan mengomentari dunia baru yang
mereka alami di sekitar pergantian abad ke-20. Kata kunci dalam narasi mereka adalah
kemajuan. Mereka berbicara dalam bahasa Belanda, mengikuti gaya hidup Eropa, dan
berbusana modern. Mereka sadar bahwa dunia tidak seperti yang dibayangkan orang
tua atau generasi pendahulu mereka; bahwa Jawa bukanlah pusat dunia tapi hanya
bagian dari tanah jajahan yang berada di bawah kekuasaan Ratu Belanda; bahwa status
dan kekayaan bukan anugerah turun-temurun tapi sesuatu yang bisa diraih dengan
usaha dan kerja.
Dengan kesadaran baru ini sebagian dari mereka terjun ke dunia jurnalistik, awalnya
bekerja magang, kemudian sebagai penulis, dan akhirnya menerbitkan surat kabar
sendiri.4 Sebagian di antara mereka banyak menulis karya-karya sastra, terutama novel.
Pada awalnya hubungan antara jurnalisme dan sastra sangat erat bukan saja karena
para penulisnya berperan ganda, tetapi juga karena karya sastra menjadi semacam versi
panjang dari berita dan tulisan yang dimuat di surat kabar. Salah satu tokoh yang dapat
dikatakan mewakili penulis-jurnalis masa itu adalah RM Tirtoadhisoerjo. Dia menerbitkan
beberapa surat kabar pribumi seperti Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907),
dan Putri Hindia (1908), serta menulis dan menerbitkan beberapa karya sastra antara
menjadi gerakan massa paling penting pada perempat pertama abad ke-20, sedangkan Sarekat Prijaji berumur
pendek dan hilang tidak lama setelah dibentuk. Pada periode hampir bersamaan, di kalangan buruh terbentuk
beberapa perserikatan untuk buruh kereta api, pegawai kantor pos, perkebunan, dan lain-lain. Sebagian besar
perserikatan didominasi orang-orang belanda, namun di dalamnya juga tergabung beberapa orang pribumi
yang pada dekade berikutnya muncul sebagai pemimpin terkemuka. Akan tetapi, Budi Utomo tetap dianggap
lebih penting karena historiografi kolonial (dan nasionalis) bias pada kalangan elite pribumi dan juga politik
yang moderat.
3
Takashi Shiraishi, An Age in Motion: Popular Radicalism in Java 1912-1926 (Ithaca: Cornell University Press,
1990), hal. 30. Uraian berikut, kecuali disebutkan lain, berasal dari sumber yang sama.
4
Tentang dunia pers masa itu; lihat, Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran
Keindonesiaan (Jakarta: Hasta Mitra, 2003).
lain Njai Permana dan Busono. Seperti penulis dan penerbit pribumi lainnya, dia sangat
dipengaruhi karya-karya sastra berbahasa Melayu yang ditulis orang Tionghoa dan
Indo-Eropa, baik dari segi bentuk dan isi cerita. Pramoedya dengan tepat menyebutnya
sebagai sastra gatra atau peralihan karena sifatnya yang mengantarai dua zaman
berbeda sebelum orang Indonesia menemukan suara mereka yang solid.5
Tema novel dan syair di masa itu cukup beragam, tetapi di latarnya sering kali tampak
pertentangan antara kaum tua yang kolot dan kaum muda yang menginginkan
pembaruan. Berbeda dengan masa berikutnya yang sangat menonjolkan kaum muda,
dalam karya sastra awal itu peran mereka justru selalu dipinggirkan. Imaji karya-karya
sastra awal juga jauh dari ideal. Raden Ongko, misalnya. Anak Raden Beij dalam lakon
Raden Beij Soerio Retno itu adalah tokoh muda yang manja dan menyebalkan.6 Dia
murid STOVIA, sama seperti para pendiri Budi Utomo yang termasyhur, tetapi lebih
senang menghabiskan waktu di luar sekolah dan menghamburkan uang pemberian
orang tuanya. Dalam lakon itu kita melihat bagaimana Raden Ongko terus-menerus
merengek minta uang dari Raden Beij menganggap anaknya bertingkah keterlaluan.
Karena ditolak, Raden Ongko menempuh jalan pintas: mencuri uang pajak yang
dikumpulkan sang ayah. Walaupun Raden Reij menangkap basah, dia diam saja karena
istrinya mendukung perbuatan Raden Ongko. Anak dan ibu yang semula khawatir pun
bersuka cita tanpa menyadari bahwa tindakan mereka ini akhirnya membuat Raden Beij
bunuh diri. Tirai ditutup.
Raden Ongko mungkin sebuah representasi agak unik, tetapi sifat dasarnya juga tampak
nyata pada diri beberapa tokoh muda lainnya. Mereka semua terpelajar (atau setidaknya
pergi ke sekolah), namun secara sosial kurang pengalaman. Segi pengalaman ini
kemudian diasah ketika mereka mengarungi alur cerita dengan berbagai kejadian seperti
percintaan, pertemuan, perpisahan, dan juga kematian. Dalam perjalanan berangkat
dewasa mereka terkadang dibantu oleh tokoh-tokoh mentor, bisa orang tua sendiri,
guru yang dihormati, teman seperjalanan, atau para nyai. Dalam Tjerita Njai Ratna karta
Tirtoadhisoerjo, ada seorang tokoh muda bernama Sambodo, siswa STOVIA, yang juga
kekasih gelap Nyai Ratna.7 Dia mengantar Sambodo memasuki alam dewasa, termasuk
mendapat pengalaman seksual -mungkin yang pertama- dari sang nyai, dan mengenali
kehidupan modern yang amat keras. Sementara dalam dua jilid pertama kuartet Pulau
Buru, Pramoedya menggambarkan hubungan dekat antara Nyai Ontosoroh dan Minke,
yang juga siswa STOVIA. Perbedaannya dengan pasangan Nyai Ratna dan Sambodo,
mereka tidak terlibat dalam hubungan seksual.8 Selain itu, peran mentor yang
Lihat, Pramoedya Ananta Toer, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (Jakarta: Lentera Dipantara, 2003).
Raden Beij Soerio Retno diterbitkan oleh Oeij Tjaij Hin di Batavia pada 1901 dan ditulis Ferdinand Wiggers,
seorang jurnalis dan penulis Indo-Eropa terkenal yang menulis banyak karya sastra dalam bahasa Melayu
pasar.
7
Cerita bersambung ini diterbitkan kali pertama dalam Medan Prijaji. Saya memakai versi yang diterbitkan
dalam Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula (Jakarta: Hasta Mitra, 1985), hal. 301-352.
8
Lihat, Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia (Jakarta: Hasta Mitra, 1980) dan Anak Semua Bangsa (Jakarta:
Hasta Mitra, 1981).
5
6
diperagakan Nyai Ontosoroh juga tampak gamblang bahkan lebih jelas daripada dalam
Tjerita Njai Ratna.
Para peneliti sastra dan sejarah dengan cermat memperhatikan bermacam elemen
modern yang muncul dalam karya sastra awal ini, mulai dari pemikiran dan
penggambaran karakter, setting, dan perlengkapan, sampai perubahan konsep tentang
waktu.9 Namun demikian, ada satu hal mendasar yang kelihatannya luput dari perhatian,
yakni percintaan dan pembentukan subjek modern. Percintaan bersandar pada konsep
manusia modern yang berdaulat dan berkehendak, sebuah hal baru dalam masyarakat
yang masih mengatur pernikahan dan tidak mengenal percintaan romantik
antar-individu. Pemikiran ini sangat menonjol dalam novel dan syair kendati pendekatan
yang digunakan dan penyelesaian yang ditawarkan berbeda-beda. Pergaulan sosial baru
dan terbuka yang muncul di antara subjek modern inilah yang menjadi basis sosial
pergerakan politik. Keterbukaan membuat kaum muda lebih mudah menyerap berbagai
gagasan, mulai dari Islam modern sampai sosialisme dan teosofi, tentunya melalui
proses penerjemahan yang sangat rumit.
Pemikiran sosialis yang berkembang pesat pada paruh pertama tahun 1920-an
membawa perubahan penting dalam diskursus politik dengan memperkenalkan
berbagai kategori baru seperti kapitalis dan proletariat. Konflik pun bergeser dari
perbedaan generasi (tua muda) ke perbedaan sosial dan kelas. Kaum muda terpelajar
yang menduduki tempat istimewa kini justru dipermainkan dan menjadi sasaran
olok-olok. Para penulis sosialis sengaja menggunakan nama-nama samaran seperti Si
Kromo atau Si Bodo untuk menonjolkan perbedaan status dan pemikiran mereka
dengan kaum priyayi terpelajar. Para pemuda masih digambarkan tidak berpengalaman,
tetapi para nyai atau ibu yang semula memainkan peran mentor kini digantikan oleh
organisasi modern dan para kadernya, seperti terlihat dalam Hikajat Kadiroen karya
Semaoen dan Rasa Merdika karya Soemantri.10 Sastra sosialis ini tumbuh bersamaan
dengan meningkatnya radikalisme politik yang kemudian bermuara pemberontakan
terhadap kekuasaan kolonial pada November 1926 di Jawa dan Januari 1927 di Sumatera
Barat. Aksi itu mengundang reaksi hebat penguasa. Sejumlah orang dihukum mati,
ribuan orang ditangkap, dihukum penjara, dan lebih dari seribu orang dibuang ke Boven
Digoel, termasuk beberapa jurnalis dan penulis terkemuka seperti Marco Kartodikromo,
Soebakat, Soemantri, dan Budisutjitro. Sementara tokoh-tokoh seperti Semaoen dan Tan
Malaka yang berada di luar negeri ketika terjadi pemberontakan, menghilang dari
panggung pergerakan.
Karya Shiraishi, An Age in Motion, sangat menonjol karena mampu menangkap gerak zaman modern ini;
lihat juga tinjauan Rudolf Mrazek, Glass House, Takashi Shiraishi, and Indonesian Studies in Motion: A Review,
dalam Indonesia, Vol. 53 (April 1992), hal. 169-175.
10
Semaoen, Hikajat Kadiroen (Semarang: tanpa penerbit, 1920); Soemantri, Rasa Merdika, Hikajat Soedjanmo
(Semarang: tanpa penerbit, 1924).
9
Penerbitan pers menjadi sasaran represi kolonial. Puluhan surat kabar dan penerbit kiri
digulung segera setelah peristiwa itu, sedangkan mereka yang tersisa harus menghadapi
pengawasan dan sensor sangat ketat.11 Semakin banyak orang ditangkap, ditahan,
dijebloskan ke penjara, dan dibuang atau diasingkan. Pemerintah kolonial percaya
bahwa pengaruh gerakan komunis yang telah kian meluas harus dihadapi secara
sistematis di tingkat gagasan. Penerbit Balai Pustaka yang sejak awal dibentuk untuk
mengimbangi batjaan liar semakin aktif menerbitkan buku dan melakukan intervensi
politik untuk membentuk kesadaran sosial dan identitas orang jajahan. Pengaturan ini
tidak hanya berlaku bagi sastra tradisional yang harus mengubah bentuk dan isi agar
sesuai dengan politik kolonial.12 Tentu tidak semua terbitan Balai Pustaka mencerminkan
politik kolonial. Ada juga upaya subversi dari dalam sebagaimana dilakukan oleh
beberapa penulis seperti Abdul Muis, Marah Rusli, dan Nur Sutan Iskandar. Namun,
secara keseluruhan tidak mengubah kecenderungan umum yang mengibas radikalisme
komitmen sosial dalam sastra.
Kawin paksa kembali muncul menjadi tema yang sangat menonjol. Konflik antargenerasi
kembali mengemuka menggantikan konflik sosial yang sangat dominan dalam sastra
sosialis. Hal menarik lainnya adalah pendisiplinan seksualitas. Affair antara anak muda
dan nyai atau orang Belanda menghilang dari seluruh karya terbitan Balai Pustaka.
Sebagai gantinya muncul pemuda yang murni secara seksual dan terlibat dalam cinta
platonik abadi.13 Mereka bukan pegawai yang kritis seperti Kadiroen atau anak manja
seperti Raden Ongko, tetapi anak muda yang penuh disiplin dan taat pada orde kolonial.
Masalah utama mereka bukan hubungan kolonial yang tidak adil, melainkan hubungan
antargenerasi. Kenyataan tekstual ini bertaut dengan kenyataan politik ketika
organisasi-organisasi pemuda berhaluan moderat tampil dan mendominasi panggung
pergerakan. Di tengah melemahnya politik radikal, gagasan bahwa pemuda terpelajar
atau elite adalah agen perubahan pun semakin menguat dan terus menetap dalam
diskursus politik di Indonesia.
--------Ruth T McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), hal. 426,
khususnya Catatan Kaki 77.
12
Doris Jedamski, Balai Pustaka: A Colonial Wolf in Sheeps Clothing, dalam Archipel, Vol. 44 (1992), hal. 23-46.
Khusus mengenai perlakuan terhadap sastra tradisional; lihat, halaman 25; cf., Hilmar Farid, Kolonialisme dan
Budaya-Balai Poestaka di Hindia Belanda, dalam Prisma, No. 10 (Oktober 1991), hal. 23-41.
13
Menarik untuk diperhatikan, pemuda harapan bangsa di masa Orde Baru memiliki beberapa ciri mirip
dengan zaman itu. Di tingkat diskursif represi Orde Baru terhadap seks malah lebih dahsyat, meski (atau
mungkin justru karena) dalam kenyataan kaum muda sangat menyepelekan urusan seks dan bahkan menjadi
konsumen penting industri seks; lihat, misalnya, Julia Suryakusuma, Seks dalam Jaring Kekuasaan, dalam
Prisma, No. 7 (Juli 1991), hal. 70-83.
11
semangat. Lain halnya di bidang sastra. Memang ada puisi perjuangan yang biasa
diserukan saat mobilisasi politik, namun jumlahnya tidak sebanding dengan karya-karya
puisi bersifat perenungan. Karya prosa malah sebaliknya mengkritik revolusi yang penuh
dengan ekses negatif, seperti tindak kekerasan terhadap orang tidak bersalah tapi
terlanjur diasosiasikan sebagai musuh. Karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan Idrus,
misalnya, terlepas dari perbedaan ideologi di antara mereka, bisa disebut sebagai karya
antiperang yang sama sekali tidak merayakan kehadiran pemuda revolusioner. Namun,
terlepas dari perbedaan itu, semua karya di masa revolusi 1945-1949 menampilkan apa
yang disebut kesederhanaan baru (nieuwe zakelijkheid) dalam berbahasa.
Tema yang diangkat juga bukan tentang pengorbanan dan perjuangan seperti yang
mungkin diharapkan dari sastra yang ditulis di masa revolusi. Justru sebaliknya banyak
cerita di masa itu berkisah tentang orang yang berjuang dan bertahan hidup, walaupun
itu berarti menyempal atau melenceng dari perjuangan kemerdekaan. Tidak sedikit
yang berbicara mengenai pengkhianatan orang-orang Indonesia sendiri. Tema ini terasa
kuat dalam beberapa karya Pramoedya Ananta Toer seperti Perburuan, Keluarga Gerilya,
dan kumpulan cerita pendek Subuh. Beberapa cerita pendek karya Idrus bahkan lebih
kritis (dan sinis) terhadap revolusi. Dia menggambarkan para pemuda sebagai koboi
yang pergi berperang melawan bandit (pasukan Sekutu), dan menekankan bahwa perang
di antara keduanya justru merampas kehidupan dan membuat rakyat sengsara. Korupsi,
ketidakpedulian, kebodohan merajalela, dan tidak seorang pun tahu apa yang harus
diperbuat.
Imaji para pemuda juga jauh dari menawan. Dalam Jalan Tak Ada Ujung, Mochtar Lubis
menghadirkan seorang tokoh guru muda yang bertolak belakang dengan imaji pemuda
perwira.16 Dia bertubuh kurus, penakut, dan impoten. Perangainya halus dan baik hati,
jauh dari sifat beringas dan revolusioner. Sama halnya dengan para tokoh Di Tepi Kali
Bekasi karya Pramoedya Ananta Toer. Tak seorang pun di antara mereka, kecuali Farid,
punya sifat dan jiwa perwira. Hal ini juga tidak menjadikan Farid sebagai tokoh super.
Justru status keperwiraan membuatnya selalu canggung dalam situasi revolusi yang
penuh pertimbangan, dan perenung yang cukup dominan tentu sangat kontras dengan
gejolak revolusioner dalam kehidupan nyata.
Karya yang mencoba memberi tafsir radikal terhadap pergolakan itu justru muncul
setelah revolusi atau lebih tepat setelah arus revolusi pemuda berhasil diredam oleh
politik moderat kalangan tua. Puncaknya adalah konflik bersenjata di Madiun
pertengahan September 1948 yang, menurut kritikus AS. Dharta, menjadi tempat
Angkatan 45 dibunuh oleh orang Indonesia sendiri.17 Peristiwa yang menyingkirkan
gerakan kiri itu memberi jalan kepada arus moderat dalam revolusi untuk terus
berunding dengan pihak Belanda. Hasil akhirnya adalah keputusan Konferensi Meja
Karya ini kali pertama diterbitkan Pustaka Jaya di Jakarta pada 1952.
L ihat, Angkatan 45 Sudah Mampus, dalam Spektra, 27 Oktober 1949. Dimuat dalam Budi Setiyono (ed.),
Kepada Seniman Universal: Kumpulan Esai Sastra AS Dharta (Bandung Ultimus, 2010).
16
17
Kesan pemuda yang berontak dan bergolak dengan cepat pudar ketika militer berhasil
menguasai keadaan. Organisasi-organisasi pemuda yang terlibat dalam operasi
pembasmian PKI dikendalikan dan menjadi bagian penting dari rezim Orde Baru.19
Mereka mendukung penuh agenda rezim yang kolot dan justru merestorasi kekuasaan
neokolonial. Dalam konteks ini, pemuda di masa awal Orde Baru jauh dari sifat spontan
dan revolusioner yang menjadi ciri khas pemuda masa sebelumnya. Kegiatan pemuda
kemudian direduksi di seputar disiplin (militer) yang lebih mengedepankan
simbol-simbol seperti seragam, bendera, dan lambang ketimbang pemikiran. Sastra
hampir tidak dikenal. Tidak ada surat kabar atau penerbitan apa pun yang signifikan lahir
dari kalangan ini. Kegiatan kultural para pemuda sebatas pada penyelenggaraan
hiburan. Setelah gejolak politik berlalu, banyak di antara mereka kembali ke habitat
semula sebagai tukang catut karcis bioskop atau penjaga keamanan di klab malam.
Mereka hanya tampil sesekali dalam ritual kenegaraan. Kalau pun sastra ditampilkan
dalam acara semacam itu, yang ada hanyalah sajak keperwiraan Chairil Anwar yang
telah mengalami fosilisasi. Sajak seperti Siap Sedia atau Karawang-Bekasi, misalnya,
dibacakan dengan intonasi datar nyaris tanpa makna.
Hubungan dengan gejolak politik semakin pupus ketika Orde Baru berbiak semakin
mapan. Fokus sepenuhnya kini diarahkan pada pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi. Dalam subjektivitas Orde baru yang penting bukan lagi gagasan atau tujuan
politik di luar dirinya, tetapi kemampuan konsumsi. Orang tidak lagi bersaing secara
politik untuk membentuk masa depan lebih baik, tetapi berlomba-lomba mengakumulasi
kekayaan. Sementara di lapang sastra ada perkembangan cukup menarik. Setelah semua
elemen radikal diberantas, inovasi dan penjelajahan sepertinya melulu terarah pada
bentuk. Di tingkat lebih formal ada upaya untuk menegaskan kembali hubungan dengan
tradisi Balai Pustaka, seperti terlihat dari para penerima Anugerah Seni 1969 yang
sebagian besar adalah sastrawan Balai Pustaka dan Angkatan 45 dari garis nonradikal.
Semua ini kemudian mengarah pada, meminjam istilah Ariel Heryanto, sastra resmi.20
Lekra dan kalangan kiri jelas berada di luar orbit dan dimusuhi, tetapi lawan politiknya di
masa lalu-dari kelompok Gelanggang sampai Manifes-juga tidak bisa mengklaim
kemenangan. Sastra secara umum dengan cepat menjadi minoritas dalam produksi
kebudayaan. Produksi karya sastra anjlok sejak 1970-an dan mencapai titik terendah
justru ketika teknologi memungkinkan perluasan distribusi. Gerak berlawanan terhadap
kecenderungan umum itu muncul di kalangan mahasiswa yang sejak awal memang sulit
dikooptasi Orde baru. Gerakan protes mahasiswa terhadap kecenderungan otoriter
tampak semakin membuncah pada akhir 1960-an. Ketegangan di antara mahasiswa
dengan rezim terus berlanjut dan dalam banyak kesempatan mahasiswa justru harus
Korporatisme tidak hanya berlaku di kalangan pemuda, tetapi juga di semua sektor masyarakat. Di setiap
sektor, penguasa mendirikan organisasi payung. Semua organisasi dipaksa menganut asas tunggal
(Pancasila) dan menginduk pada organisasi payung tersebut. Setiap langkah menyebal dihadapi dengan represi
dan pengucilan.
20
Lihat, Ariel Heryanto, Masihkah Politik Jadi Panglimas? Politik Kesusasteraan Indonesia Mutakhir, dalam
Prisma, No. 8 (Agustus 1988).
19
berhadapan dengan pemuda yang sudah berada dalam genggaman Orde baru.21
Sepanjang 1970-an, meruyak pelbagai gerak perlawanan yang terkadang berkembang
menjadi aksi protes massal seperti dalam peristiwa Malari 1974 dan pendudukan
kampus 1978. Di tengah semua itu muncul sastra protes dari penyair seperti Rendra.
Karyanya menjadi semacam kesaksian atas masalah-masalah sosial dan keberpihakan
kepada rakyat kecil. Seperti di masa sebelumnya puisi adalah bentuk yang paling sering
dipilih, sementara novel dan cerita pendek cenderung lebih konservatif.
Dalam konteks ini, karya beberapa sastrawan seperti Pramoedya Ananta Toer meraih
pencapaian istimewa, baik dair segi bentuk maupun isi. Dia memperkenalkan kembali
novel sejarah yang sudah lama tidak terlihat dalam sastra Indonesia. Tetralogi Buru juga
mengangkat orang muda sebagai tokoh utama yang asing dan berlawanan dengan imaji
pemuda Orde baru serta mahasiswa penentang Suharto. Pramoedya memberi dimensi
sejarah pada perlawanan terhadap Orde Baru. Dari segi hubungan antara pemuda dan
lingkungan, dia kembali pada cerita nyai yang sempat menghilang lama dari khazanah
sastra dengan mengkombinasikannya dengan sastra sosialis yang agak didaktik.
Pramoedya menempatkan Nyai Ontosoroh sejajar dengan mantan tentara Belanda,
jurnalis radikal, pengacara impoten, keluarga liberal Belanda, dan petani Jawa yang tidak
pernah ditempatkan satu panggung dalam karya sastra mana pun.
Di luar pemuda dan mahasiswa ada kategori baru yang muncul di masa Orde Baru, yakni
anak muda dan remaja. Keduanya bukan produk gerakan politik seperti halnya pemuda
di awal abad ke-20 atau mahasiswa di awal Orde Baru, tetapi produk ekspansi kapitalis
dan politik depolitisasi Orde Baru. Mereka lebih mudah dikenali dari pola konsumsi dan
gaya hidup daripada pemikiran politik. Cermin pemikiran mereka ada di dalam majalah
populer seperti Le Laki dan majalah remaja Hai serta novel remaja. Beberapa generasi
penulis mulai dari Ashadi Siregar dan Teguh Esha sampai Leila Chudori dan Hilman
Hariwijaya mengisi apa yang kerap disebut sastra pop itu. Di tengah gegap gempita
korporatisme Orde Baru mereka sengaja memilih menjauh dari politik. Tema novel dan
cerita pendek mereka tetap punya kaitan dengan masalah-masalah sosial seperti
keterasingan akibat modernisasi, konflik ideologi antargenerasi, dan kadang kala konflik
sosial berbasis kelas. Akan tetapi, ciri paling menonjol adalah tingkat individualisme yang
tidak tampak dalam karya-karya sebelumnya. Jika di masa Balai Pustaka atau Angkatan
45 kita selalu berjumpa dengan tokoh muda yang hidup dalam hubungannya dengan
atau sepenuhnya untuk orang lain, di masa Orde baru kita sering melihat tokoh muda
yang disibukkan dengan pikiran dan persoalannya sendiri. Di sini ada semacam
pergeseran dalam cara melihat diri sebagai subjek.
Salah satu insiden terjadi saat aksi protes menentang pembangunan Taman Mini di Jakarta. Sekelompok
pemuda menyerang mahasiswa yang sedang berdemonstrasi; lihat, Loran Ryter, Pemuda Pancasila: The Last
Loyalist Free Men of Suhartos Order? Dalam Benedict ROG Anderson (er.), Violence and the State in Suhartos
Indonesia (Southeast Asia Program Publications, Cornel University, 2001), hal. 140.
21
Di antara para penulis yang menarik untuk diperhatikan ialah Yudhistira Ardi Noegraha
-kemudian lebih dikenal sebagai Yudhistira AN Massardi. Tulisannya khas dibandingkan
dengan penulis sezaman, karena jelas menunjukkan pemberontakan terhadap tatanan
dengan bahasa sama sekali baru dan tidak dikenal dalam sejarah sastra Indonesia.22
Dalam seri Arjuna Mencari Cinta (1977), Arjuna Dropout (1980), dan Arjuna Wiwahahaha
(1984), dia tidak hanya membuat parodi atas kisah wayang dan kekuasaan Orde baru,
tetapi juga terhadap sastra serius yang dominan saat itu. Bahasa yang digunakannya
sangat khas mencerminkan sikap semau gue yang menjadi ciri khas anak muda masa
itu. Novelnya boleh dibilang picisan karena ringan, tetapi sekaligus subversif dan
menggugat kemapanan kaum elite Jakarta. Ada gema subversi dari sastra awal abad ini
dan sebagian sastra sosialis yang mengacak tatanan sosial dan semua perasaan yang
direpresi justru diangkat ke permukaan.23 Dia juga menyusun novel yang dikategorikan
serius berjudul Aku Bukan Komunis yang meraih penghargaan Dewan Kesenian pada
1977 dan kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul baru, Mencoba Tidak
Menyerah (1979). Dalam novel itu dia mengangkat pengalaman seorang anak yang
terlibat pembunuhan massal 1965-1966, sementara orang tuanya sendiri ditahan.
Dengan bahasa dan cara berbeda-beda semakin banyak penulis yang kemudian
menonjolkan ketidakpedulian terhadap politik (dan Orde Baru) serta menjelajahi dunia
mereka sendiri secara penuh. Hasilnya adalah sosok muda yang dalam banyak hal
berseberangan dengan keteraturan dan ide Orde Baru tentang pemuda dan anak muda.
Perbedaan ini juga tidak dapat diatasi rezim Orde baru dengan mudah, karena salah satu
tenaga penggeraknya justru ekspansi kapital yang mereka dukung. Kehadiran mereka
menjadi bukti keterbatasan Orde Baru dalam mengembangkan dan mempertahankan
hegemoni. Walaupun demikian saya kira terlalu berlebihan jika menganggap kaum muda
yang lahir dari proses sosial ini niscaya subversif dan punya potensi untuk
memberontak. Bahkan, banyak di antara mereka menjadi bagian penting dari kekuasaan
Orde Baru setelah mereka melewati usia muda.
Sekarang, situasi itu sudah jauh berubah. Gejolak politik 1998 kembali memunculkan
mahasiswa ke panggung politik. Pemuda yang dikuasai Orde Baru berada di seberang
gerakan itu dan dikerahkan dalam bentuk Pamswakarsa untuk menghadapi mahasiswa
dan juga gerakan pro kemerdekaan di Timor Leste. Mundurnya Suharto mengubah
lanskap ini secara signifikan. Organisasi pemuda yang sebelumnya hanya ada secara
formal kembali dihidupkan, baik sebagai onderbouw partai ataupun organisasi yang
relatif mandiri. Namun, pemuda tampaknya sudah kehilangan pesona politik. Dalam
karya sastra, misalnya, pemuda jelas bukan lagi kategori yang dianggap penting.
Savitri Scherer, Yudhistira Ardi Noegraha: Social Attitudes in the Works of a Popular Writer, dalam Indonesia,
No. 31 (April 1981), hal. 31-52. Tentang implikasi lebih luas karya Yudhistira terhadap kebudayaan jawa; lihat,
Benedict ROG Anderson, Sembah-Sumpah: The Politics of Language and Javanese Culture, dalam Language
and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1990), hal. 194-237.
23
Yudhistira tentu bukan satu-satunya penulis dengan karya carnivalesque subversif seperti itu, meski bisa
dibilang paling subversif di antara semua. Tentang karnival dalam sastra; lihat, Mikhail Bakhtin, Rabelais and
His World (Bloomington: Indiana University Press, 1941).
22
Kedudukan istimewa yang pernah dimilikinya sekarang ditempati banyak aktor baru
mulai dari buruh dan kaum miskin kota sampai perempuan dan orang yang hidup
dengan HIV. Perempuan, misalnya, jauh lebih menonjol sebagai kategori penting dalam
sastra Indonesia mutakhir daripada pemuda. Dari segi tema juga tidak banyak karya
yang mempersoalkan konflik antargenerasi yang begitu penting di masa lalu. Walaupun
masih berakar pada persoalan sosial, wujud konflik dalam karya sastra sudah sangat
beragam dan sulit direduksi menjadi sumber tunggal. Beberapa di antaranya malah
mengkritik posisi pemuda di masa lalu, terutama keterlibatan mereka dalam
pembunuhan massal 1965-66, seperti dalam cerita pendek Bau Busuk karya Eka
Kurniawan.24
Kesimpulan
Tulisan ini menyoroti perubahan representasi pemuda dalam karya sastra dari waktu ke
waktu dalam kaitannya dengan pembentukan kesadaran dan ideologi kaum muda.
Pemuda di sini tersua sebagai floating signifier, sebuah kategori yang tidak memiliki
kualitas tertentu yang inheren pada dirinya kecuali perbedaan usia. Adalah proses sosial,
politik, dan kultural yang memberi makna berbeda-beda pada kategori pemuda. Pada
satu masa ia bisa berwajah progresif dan menyatu dengan kekuatan sosial yang
menginginkan perubahan radikal, pada masa lain ia bisa berbalik total menjadi bagian
dari kekuatan konservatif bahkan reaksioner. Pada masanya, terutama sekitar Revolusi
Agustus 1945, pemuda menjadi kategori politik yang mandiri dan penting. Namun,
momen bersejarah itu tidak membentuk pola yang berkelanjutan. Segera setelah
gelombang revolusi surut pemuda kembali menjadi onderbouw kekuatan-kekuatan
sosial dan politik di luar dirinya. Gerak dinamis ini direkam dengan baik dalam beberapa
karya sastra dan juga ikut membentuk perkembangan sastra itu sendiri. Di setiap fase
sejarah sastra muncul para penulis muda dengan bahasa ungkap dan pilihan bentuk
yang berbeda. Umumnya mereka meronta dan berontak pada tatanan lama yang dirasa
terlalu mengekang. Dari gerak itu lahir situasi baru yang menarik sekaligus mengundang
tanya: setelah itu apa?
Hilmar Farid, 2011
Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Prisma edisi Gerakan Pemuda 1926-2011: Persatuan
Terhenti, Kesatuan Asimetris, Vol. 30 No. 2, 2011
Cerita pendek ini diterbitkan dalam kumpulan Cinta Tak Ada Mati (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005).
24