1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perempuan banyak dipandang sebagai gender yang didomestikasi, ditempatkan
di rumah untuk berperan mengurus rumah tangga. Peranan yang diberikan ini
menjadi penghalang bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik dan
ekonomi di luar institusi keluarga. Menurut West & Zimmerman (1991), gender
merupakan suatu konstruksi budaya dan sosial yang meletakkan identitas
perempuan pada kedudukan subordinat bagi laki-laki1. Konsep subordinasi
perempuan dari laki-laki secara umum memusatkan perhatian pada apa yang
disebut sebagai problematik feminis, yaitu hubungan antara perempuan dan lakilaki dalam proses sosial secara keseluruhan dan bagaimana hubungan tersebut
berlangsung sehingga merendahkan posisi perempuan (Mackintosh, 1984)2. Karena
itu,
muncul
gerakan
perempuan
untuk
menolak
segala
sesuatu
yang
Kesadaran
feminisme
di
Jepang
merupakan
bagian
dari
perlawanan
1.4.2
Sumber data dari penelitian ini menggunakan kajian pustaka dalam mencari
sumber-sumber yang diperlukan baik dari buku maupun internet.
Penelitian ini akan meneliti kaitan antara feminisme sosialis marxis yang diduga
dianut wanita Jepang dengan krisis demografi di Jepang, yang diasumsikan menjadi
faktor/pemicu terbesar dari terjadinya fenomena shoushika atau yang disebut krisis
demografi di Jepang. Feminisme sosialis lebih menekankan penindasan gender di
samping penindasan kelas sebagai salah satu sebab dari penindasan terhadap
perempuan, sedangkan feminisme marxis menganalisis penindasan perempuan
terjadi melalui produk politik, sosial, dan struktur ekonomi yang berkaitan erat
dengan apa yang disebut kapitalisme (Arivia, 2003: 111)15. Menurut Ann Forman16,
telah terjadi alienasi pada perempuan yang mengkhawatirkan karena pengalaman
hidup perempuan lebih dirasakan hanya sebagai kelengkapan hidup orang lain.
Misalnya, sebelum seorang perempuan menikah, ia lebih banyak diatur oleh orang
tuanya, dan ketika ia menikah, ia diserahkan oleh bapaknya kepada suaminya,
kemudian statusnya berubah menjadi milik suaminya, berkewajiban mengurus
rumah tangganya, dan ketika ia menjadi seorang ibu, ia pun mengurusi anaknya.
Hidup perempuan terlihat diperuntukkan untuk orang lain atau menjadi bagian dari
orang lain hanya sebagai pelenggap, dan karena itu, dapat dikatakan perempuan
telah kehilangan jati dirinya 17. Kasus demikian sama persis dengan yang terjadi
pada sistem Ie di Jepang, sehingga unsur-unsur diatas bisa dikatakan sesuai dengan
latar belakang fenomena shoushika atau yang dikenal sebagai krisis demografi
Jepang.
Penelitian ini menggunakan sumber data dokumen, serta penelitian terdahulu
yang berkaitan dengan materi yang akan diteliti sekarang. Teori yang digunakan
adalah Teori Feminisme Sosialis Marxis karena dianggap sesuai dengan karakter
perempuan Jepang sekarang ini. Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan
penelitian ini adalah jurnal pada majalah Wacana volume 5, yang berjudul
Gerakan Feminisme Jepang Studi tentang Gerakan Protes Ketidakadilan terhadap
Perempuan pada Awal Zaman Modern, yang ditulis oleh Endah H. Wulandari dan
15 Gadis Arivia. Filsafat Berperspektif Feminis. (Jakarta: 2003), hlm.111
16 Ibid., 117
17 Ibid.
terbit pada bulan April tahun 2003. Jurnal tersebut membahas gerakan feminisme
Jepang yang menitik beratkan terhadap ketidakadilan perlakuan terhadap
perempuan.
menguasai
organisasi-oraganisasi
sentral
di
masyarakat
semakin
baru
yang
memberikan
kesempatan
kaum
wanita
untuk
mensponsori rapat umum buruh tekstil untuk mendukung resolusi ILO19 mengenai
kondisi buruk buruh perempuan Jepang. Pada masa itu pula muncul beberapa
kelompok kaum perempuan sosialis yang bercita-cita menghapuskan kapitalisme
yang dianggap sebagai penyebab tekanan terhadap kaum perempuan. Secara
spesifik kelompok-kelompok ini memperjuangkan penerimaan upah yang sama,
kesejahteraan ibu, dan penghapusan prostitusi.
3. ANGKA KELAHIRAN BAYI DI JEPANG SEJAK ZAMAN MODERN
Mulai tahun 1947, Jepang mengalami penurunan tingkat kelahiran yang cukup
drastis selama beberapa tahun, hal ini sebagian besar juga disebabkan oleh
kebijakan pemerintah yang mengadakan perubahan besar terhadap Undang-undang
Perlindungan Kelahiran pada tahun 1952, akibat peningkatan jumlah penduduk
yang sangat cepat pada periode baby boom20 yang pertama. Saat itu untuk
membatasi pertambahan penduduk, pemerintah melonggarkan larangan-larangan
pengguguran kandungan sehingga sesudah itu, angka kelahiran sedikit demi sedikit
menurun.
Penurunan kelahiran sangat mencolok terjadi pada tahun 1966, yaitu dengan
rata-rata kelahiran 2. Penurunan ini terjadi karena tahun 1966 merupakan tahun
kuda api. Berdasarkan kepercayaan orang Jepang, wanita yang lahir pada tahun
kuda api ini dianggap membawa ketidakberuntungan bagi suaminya, bahkan
dianggap dapat membawa kematian yang terlebih dahulu bagi suaminya. Pasangan
yang telah menikah pun menghindari memiliki anak pada tahun ini.
Setelah tahun 1966 tersebut, rata-rata tingkat kelahiran di Jepang baru kembali
menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi pada sekitar tahun 1971. Namun
peningkatan ini hanya bertahan lima tahun.
Sejak tahun 1975, rata-rata tingkat kelahiran di Jepang terus mengalami
penuruan hingga saat ini. Bertambahnya jumlah wanita yang tidak menikah
dianggap sebagai faktor terbesar dan utama dalam berkembangnya fenomena
shoushika. Penurunan rata-rata tingkat kelahiran menunjukkan bahwa wanitawanita Jepang merasakan semakin sulit untuk menerima syarat-syarat, tanggung
jawab, dan keadaan kehidupan menjadi seorang ibu. Semakin banyaknya wanita
19 International Labour Organization (badan pengurus PBB yang menangani masalah
ketenagakerjaan)
20 Baby Boom: ledakan kelahiran pada periode kemapanan ekonomi setelah PD II
Jepang yang menganggap bahwa menjadi seorang ibu rumah tangga adalah
pekerjaan yang membosankan dan melelahkan.
Menurut Suzuki (2003)21 seorang research director of the consumer culture
department dari Institut Dentsu, yang mempelajari masyarakat, mengatakan bahwa
alasan sedikitnya anak yang lahir di Jepang adalah karena para wanita akan
kehilangan kebebasan mereka, waktu luang mereka, dan uang mereka.
Terutama bagi wanita yang berorientasi pada karir, memiliki anak dianggap
menjadi penghalang untuk mencapai tujuan profesional mereka. Menurut Hunter
(1993: 50)22, wanita yang memiliki anak tidak dapat bekerja seperti wanita yang
bekerja di perusahaan. Karena mereka harus membesarkan anak, maka mereka
bekerja paruh waktu. Mereka tidak punya waktu untung diluangkan, sementara
waktu akan memberikan pengaruh yang kuat di dalam kehidupan keluarganya.
Mereka tidak dapat mengerjakan rumah secara menyeluruh dan tidak dapat
merawat anak dengan baik. Hal ini akan membawa kurangnya kesenangan di dalam
rumah dan kondisi yang tidak sehat. Kondisi seperti ini sesuai dengan pola tradisi
pembinaan rumah tangga di Jepang. Wanita-wanita Jepang yang merasa diambil
hak pembuktian eksistensi dirinya melakukan perlawanan dengan memilih untuk
tidak memiliki anak agar dapat terus bekerja di perusahaan tanpa harus disalahkan
karena tidak dapat mengurus anak dengan baik.
4. KESIMPULAN
Pekerjaan yang awalnya untuk menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan
akhirnya menjadi sesuatu yang mengikat, terlebih lagi semenjak terjadi krisis
ekonomi di Jepang. Bekerja dan berkarier akhirnya menjadi sebuah pilihan hidup,
serta untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Bagi mereka yang single dan yang
sedang menikmati karier, menikah dan membentuk sebuah keluarga serta memiliki
anak justru akan menjadi beban ekonomi bagi kaum pria serta menjadi hambatan
bagi wanita.
Melihat dari apa yang telah dibahas, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
diinginkan wanita-wanita Jepang adalah pembagian kerja yang setara di kehidupan
rumah tangga antara laki-laki dan perempuan, kesetaraan hak di dunia kerja antara
21 Rieko Suzuki
22 Janet Hunter, Japanese Women Working. (1993), hlm.5
10
pekerja laki-laki dan prempuan. Dengan terpenuhinya dua hal tersebut, dapat
dipastikan pilihan perempuan-perempuan Jepang untuk memiliki anak akan
meningkat kembali karena berkurangnya rasa tertindas oleh kaum pria. Saat ini
yang ada di benak kaum perempuan Jepang adalah perempuan tidak dapat
membentuk dirinya sendiri bila secara sosial ekonomi masih bergantung kepada
laki-laki dan perubahan kebijakan di dunia kerja yang memberikan perempuan
kekuatan ekonomi dan posisi ekonomi yang baik bagi perempuan merupakan
jawaban untuk mengakhiri penindasan terhadap perempuan.
Daftar referensi
Arivia, Gadis. 2003. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan.
Chie, Nakane. 1995. Japanese Society. Tuttle.
Hauser, Philip M., dan Otis Dudley Duncan. 1959. The Study of Population: An
Inventory and Appraisal. Chicago: The University of Chicago Press.
Humm, Maggie. 1955. The Dictionary of Feminist Theory. Second Edition. New York:
Oxford University Press.
Hunter, Janet. 1993. Japanese Women Working. Routledge.
Komatsu, Makiko. 1993. Watashi no Joseigaku Koogi. Tokyo: Minerva Shoboo.
Mackie, Vera. 2003. Feminism in Modern Japan: Citizenship, Embodiment and
Sexuality. Cambridge University Press
Mackintosh, M. 1981. Gender and Economics: The Sexual Division of Labour and The
Subordination of Women. Young, K.; Wolkowitz, C.; dan McCullagh, R. Of
Marriage in The Market: Women Subordination in International Perspective 7-13,
London: CSE Books.
11
Okamura, Masu. 1973. Womens Status. Terjemahan Emi Kuntjoro Jakti. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: Dari
Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sumiarni, Endang. 2004. Jender dan Feminisme. Yogyakarta: Wonderful Publishing
Company.
Tong, Rosemarie. 1992. Feminist Thought. London: Routledge.
West, Candace and Don H. Zimmerman. 1991. Doing Gender. In Judith Lorber and
Susan A. Farrell (Eds.), The Social Construction of Gender. Newbury Park, CA:
Sage.
Penelitian terdahulu
Wulandari, Endah H. 2003. Gerakan Feminisme Jepang Studi tentang Gerakan Protes
Ketidakadilan terhadap Perempuan pada Awal Zaman Modern. Wacana Vol. 5
No.1, 12-32.
12