Anda di halaman 1dari 12

Fenomena Shoushika, Dampak dari Pergerakan Feminisme Wanita Jepang

Salsabil Herdiati (1106018625)


Abstrak
Domestikasi yang terjadi pada perempuan Jepang diawali dengan adanya sistem Ie di rumah tangga
Jepang yang menuntut wanita Jepang mengurus segala keperluan rumah tangga, termasuk mengurus
anak, tanpa membebani suami yang sudah menanggung perekonomian keluarga. Meskipun sistem ini
telah dihapuskan setelah Perang Dunia II, tradisi mendomestikasikan perempuan tidak hilang begitu saja
sehingga perempuan merasa terhambat dalam karier dibandingkan dengan laki-laki. Keadaan seperti ini
memicu pergerakan perempuan Jepang untuk menuntut keadilan peran gender dalam kehidupan rumah
tangga maupun dunia kerja. Tindakan yang dilakukan salah satunya dengan memilih untuk tidak memiliki
anak yang akhirnya menjadi awal dari penurunan angka kelahiran bayi yang berkelanjutan sehingga
terjadi fenomena shoushika atau yang dikenal sebagai krisis demografi Jepang.
Kata kunci: domestikasi, sistem Ie, pergerakan perempuan, peran gender, krisis demografi, shoushika

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perempuan banyak dipandang sebagai gender yang didomestikasi, ditempatkan
di rumah untuk berperan mengurus rumah tangga. Peranan yang diberikan ini
menjadi penghalang bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik dan
ekonomi di luar institusi keluarga. Menurut West & Zimmerman (1991), gender
merupakan suatu konstruksi budaya dan sosial yang meletakkan identitas
perempuan pada kedudukan subordinat bagi laki-laki1. Konsep subordinasi
perempuan dari laki-laki secara umum memusatkan perhatian pada apa yang
disebut sebagai problematik feminis, yaitu hubungan antara perempuan dan lakilaki dalam proses sosial secara keseluruhan dan bagaimana hubungan tersebut
berlangsung sehingga merendahkan posisi perempuan (Mackintosh, 1984)2. Karena
itu,

muncul

gerakan

perempuan

untuk

menolak

segala

sesuatu

yang

dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan


baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya (Ratna, 2004:184)3.

1 West & Zimmerman. Doing Gender. (1991), hlm. 13-14


2 Prof Maureen Mackintosh. Gender and Economics: The Sexual Division of Labour and The
Subordination of Women. (London: 1981)
3 Nyoman Kutha Ratna. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: Dari Strukturalisme
Hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. (Yogyakarta: 2004), hlm. 184

Kesadaran

feminisme

di

Jepang

merupakan

bagian

dari

perlawanan

perkembangan modernisasi (Mackie, 2003:2)4. Dalam membentuk negara modern


industrialisasi, wanita dideskripsikan sebagi Istri yang baik dan ibu yang bijaksana
yang perannya adalah untuk reproduksi dan mengurus anak. Mereka berperan
sebagai pendukung pasif dalam pembentukan negara yang kaya dan tentara yang
kuat (fukoku kyouhei5). Di akhir abad ke-19, beberapa aktivis feminis Jepang
terkemuka menjalankan gerakan Hak populer dan kebebasan (Jiyuu Minken
Undou)6 di tahun 1870-1880an. Mereka berpendapat bentuk kebijakan sosial untuk
wanita diperlukan untuk mencapai kemerdekaan tanpa harus mengorbankan peran
reproduksi mereka dan beberapa bergerak di dalam kampanye tentang hak pilih
wanita. (Mackie, 2003:4)7
Perempuan-perempuan Jepang dihadapkan pada pilihan meneruskan karier atau
mengabdikan hidupnya untuk keluarga, terutama untuk mendidik dan membesarkan
anak. Namun, dengan adanya krisis ekonomi yang menuntut wanita untuk ikut
andil dalam dunia kerja membuat kaum perempuan Jepang menuntut pengakuan
atas eksistensi dirinya. Eksistensi tersebut bukan dilihat atas keberadaan dari sosok
wanita itu sendiri, namun dari apa yang telah dihasilkan. Salah satu bentuk
ketidakadilan yang terjadi adalah pada saat krisis minyak di Jepang (19681970),
perempuan diterjunkan ke lapangan kerja, pada tahun 1968 perempuan
diperbolehkan bekerja setara dengan laki-laki secara status menjadi pekerja tetap
sebelumnya perempuan hanya diperbolehkan bekerja paruh waktunamun dengan
syarat seperti tidak ada tunjangan untuk keluarga, dan status tersebut diberikan
hanya untuk perempuan yang tidak memiliki anak atau perempuan yang anaknya
sudah memasuki usia produktif.
4 Vera Mackie. Feminism in Modern Japan: Citizenship, Embodiment and Sexuality. (2003),
hlm. 2
5 Fukoku Kyouhei: slogan yang digunakan Jepang selama masa peemerintahan Meiji, ditujukan
untuk membangun semangat masyarakat agar dapat mengalahkan negara-negara barat
6 Jiyuu Minken Undou: gerakan politik yang dipimpin Itagaki Taisuke yang ingin menciptakan
demokrasi di Jepang pada tahun 1870-an
7 Mackie. op.cit., hlm.4

Pertanyaan mengenai wanita yang tidak pernah mendapatkan kesempatan yang


sama dengan pria melanda perempuan Jepang mulai awal zaman modern. Sistem
Ie, dengan kekuasaan dan wewenang tertinggi ada di tangan ayah sebagai kepala
keluarga8, dihapuskan pada Hukum tentang Keluarga sesudah Perang Dunia II.
Hal ini memberikan pencerahan bagi kaum perempuan dalam menegakkan
persamaan hak dengan pria. Bukan hanya dalam lingkup keluarga, perempuan
Jepang pada akhirnya juga menuntut kedudukan yang sama dengan laki-laki di
lingkungan kerja. Namun kebijakan tentang pekerja perempuan yang memiliki anak
ternyata memberatkan karir perempuan. Penghapusan sistem Ie bukan berarti
menghapus kewajiban perempuan dalam bertanggung jawab terhadap pendidikan
anak. Bahkan 2,1 persen pekerja perempuan berhenti setiap tahunnya demi
memelihara anak-anak mereka (Okamura, 1973:34)9. Ke depannya banyak
perempuan yang memilih tidak mau mempunyai anak karena merasa dengan
memiliki anak mereka akan mendapatkan diskriminasi dalam dunia kerja,
sedangkan karir laki-laki terus maju tanpa perlu dibebani kewajiban mengurus
anak. Hal seperti ini yang diduga menjadi cikal bakal terjadinya fenomena
shoushika, atau yang dikenal sebagai krisis demografi10 di Jepang.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, peneliti merumuskan masalah
penelitian yaitu fenomena shoushika terjadi karena wanita-wanita Jepang mulai
memperjuangkan keadilan peran gender dalam kehidupan rumah tangga dan dunia
kerja di Jepang sejak zaman modern. Dengan proposisi semakin gencar
pelaksanaan gerakan feminisme di Jepang, maka semakin menurun angka kelahiran
bayi di Jepang yang mengakibatkan terjadinya fenomena shoushika.
8 Makiko Komatsu. Watashi no Joseigaku Koogi. (Tokyo: 1993)
9 Masu Okamura. Peranan Wanita Jepang. (Yogyakarta: 1983), hlm. 34
10 Demografi adalah studi tentang ukuran, distribusi teritorial dan komposisi penduduk,
perubahan dan komponen perubahan tersebut muncul karena kelahiran, gerakan teritorial
(migrasi) dan mobilitas sosial yang mengacu pada perubahan suatu negara (Philip M. Hauser
dan Otis Dudley Duncan. The Study of Population: An Inventory and Appraisal. (Chicago:
1959))

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan di atas, tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah menjelaskan sejarah pergerakan feminisme
Jepang, dimana wanita-wanita Jepang mulai memperjuangkan keadilan peran
gender dalam kehidupan rumah tangga dan dunia kerja di Jepang sejak zaman
modern diasumsikan sebagai penyebab fenomena shoushika.

1.4 Metode Penelitian


1.4.1

Metode pengumpulan data


Penelitian ini menggunakan metode studi dokumen. Alasannya adalah karena
informasi mengenai sejarah pergerakan feminisme wanita Jepang dan data
mengenai perkembangan demografi di Jepang terdahulu dapat diperoleh melalui
data-data dokumen.

1.4.2

Metode Analisa Data


Penelitian ini menggunakan penalaran deduktif, dimana peneliti menjelaskan
pengetahuan mengenai permasalah secara umum lalu mengaitkannya dengan teori
hingga didapatkan kesimpulan yang bersifat khusus. Penelitian berangkat dari teori
kemudian menggunakannya untuk menganalisis data hingga kemudian ditemukan
kesimpulannya11. Peneliti menggunakan metode analisis deskriptif dalam mencari
dan menganalisis data mengenai tingkat krisis demografi, kemudian mencari
hubungan antara data-data sumber tersebut dengan teori yang digunakan. Peneliti
menggunakan Teori Feminisme Sosialis Marxis untuk menganalisis data mengenai
perkembangan demografi Jepang yang kemudian akan diambil kesimpulannya
berdasarkan kerangka permasalahan penelitian.

1.5 Sumber Data


11 Zaenal A. Hasibuan. Metodologi Penelitian. (Jakarta : 2007), hlm. 10

Sumber data dari penelitian ini menggunakan kajian pustaka dalam mencari
sumber-sumber yang diperlukan baik dari buku maupun internet.

1.6 Landasan Teori


Feminisme muncul diawali dengan persepsi masyarakat tentang ketimpangan
posisi perempuan terhadap laki-laki yang dianggap merugikan perempuan. Definisi
feminisme merupakan penggabungan doktrin hak-hak yang sama bagi perempuan,
gerakan yang terorganisasi untuk mencapai hak-hak wanita (Humm, 1955:93-94)12.
Pada prakteknya, gerakan feminisme terbagi menjadi beberapa aliran seperti
feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme sosialis, dan feminisme teologi
(Sumiarni, 2004:58)13. Penelitian ini akan menggunakan Teori Feminisme Sosialis
Marxis dalam meneliti hubungan feminisme terhadap krisis demografi Jepang.
Feminisme marxis dan sosialis menyatakan kalau mustahil bagi siapapun,
terutama wanita untuk mencapai kebebasan yang sesungguhnya di tengah
masyarakat yang menganut sistem yang berdasarkan kelas, dimana kekayaan
diproduksi oleh orang yang tak punya kekuatan yang dikendalikan oleh sedikit
orang yang mempunyai kekuatan (Tong, 2009:4). Aliran feminisme sosialis
berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis
kelamin dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan peran antara kedua jenis
kelamin itu sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor budaya alam (Sumiarni,
2004:77)14. Sedangkan, marxis berpendapat bahwa ketertinggalan perempuan bukan
disebabkan oleh tindakan individu secara sengaja, tetapi akibat dari struktur sosial,
politik, dan ekonomi yang erat kaitannya dengan sistem kapitalisme yang membuat
perempuan terdomestikasi dan bertugas mengurus rumah serta anak. Dengan
pandangan demikian dapat menimbulkan pertanyaan mengapa wanita tidak pernah
memperoleh kesempatan yang sama dengan pria.
12 Maggie Humm. The Dictionary of Feminist Theory. (New York: 1955), hlm. 93-94
13 Dr. Endang Sumiarmi, Dra., SH., M.Hum. Jender dan Feminisme. (Yogyakarta: 2004), hlm.
58
14 Ibid., 77

Penelitian ini akan meneliti kaitan antara feminisme sosialis marxis yang diduga
dianut wanita Jepang dengan krisis demografi di Jepang, yang diasumsikan menjadi
faktor/pemicu terbesar dari terjadinya fenomena shoushika atau yang disebut krisis
demografi di Jepang. Feminisme sosialis lebih menekankan penindasan gender di
samping penindasan kelas sebagai salah satu sebab dari penindasan terhadap
perempuan, sedangkan feminisme marxis menganalisis penindasan perempuan
terjadi melalui produk politik, sosial, dan struktur ekonomi yang berkaitan erat
dengan apa yang disebut kapitalisme (Arivia, 2003: 111)15. Menurut Ann Forman16,
telah terjadi alienasi pada perempuan yang mengkhawatirkan karena pengalaman
hidup perempuan lebih dirasakan hanya sebagai kelengkapan hidup orang lain.
Misalnya, sebelum seorang perempuan menikah, ia lebih banyak diatur oleh orang
tuanya, dan ketika ia menikah, ia diserahkan oleh bapaknya kepada suaminya,
kemudian statusnya berubah menjadi milik suaminya, berkewajiban mengurus
rumah tangganya, dan ketika ia menjadi seorang ibu, ia pun mengurusi anaknya.
Hidup perempuan terlihat diperuntukkan untuk orang lain atau menjadi bagian dari
orang lain hanya sebagai pelenggap, dan karena itu, dapat dikatakan perempuan
telah kehilangan jati dirinya 17. Kasus demikian sama persis dengan yang terjadi
pada sistem Ie di Jepang, sehingga unsur-unsur diatas bisa dikatakan sesuai dengan
latar belakang fenomena shoushika atau yang dikenal sebagai krisis demografi
Jepang.
Penelitian ini menggunakan sumber data dokumen, serta penelitian terdahulu
yang berkaitan dengan materi yang akan diteliti sekarang. Teori yang digunakan
adalah Teori Feminisme Sosialis Marxis karena dianggap sesuai dengan karakter
perempuan Jepang sekarang ini. Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan
penelitian ini adalah jurnal pada majalah Wacana volume 5, yang berjudul
Gerakan Feminisme Jepang Studi tentang Gerakan Protes Ketidakadilan terhadap
Perempuan pada Awal Zaman Modern, yang ditulis oleh Endah H. Wulandari dan
15 Gadis Arivia. Filsafat Berperspektif Feminis. (Jakarta: 2003), hlm.111
16 Ibid., 117
17 Ibid.

terbit pada bulan April tahun 2003. Jurnal tersebut membahas gerakan feminisme
Jepang yang menitik beratkan terhadap ketidakadilan perlakuan terhadap
perempuan.

1.7 Sistematika Penyajian


Penelitian ini akan dibagi dalam empat bab yang diuraikan sebagai berikut;
Pendahuluan, berisi latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, metode
penelitian, sumber data, landasan teori, dan sistematika penyajian. Berikutnya bab
yang berisi penjelasan secara lebih rinci mengenai bagaimana sejarah pergerakan
feminisme wanita Jepang. Selanjutnya merupakan bab yang berisi tentang
penguraian angka kelahiran bayi yang terus menurun sejak adanya pergerakan
feminisme wanita Jepang. Terakhir adalah bab yang berisi jawaban atas
permasalahan beserta rangkuman pokok-pokok penelitian. Sebagai penutup,
penelitian ini akan dilengkapi dengan daftar pustaka.
2. SEJARAH PERGERAKAN FEMINISME WANITA JEPANG
Tumbuh bangkitnya gerakan feminisme di Jepang berkaitan erat dengan sejarah
masyarakat khususnya sejarah kaum perempuan dan tidak dapat dilepaskan dari
sejarah perkembangan politik negara tersebut. Di Jepang, gerakan feminisme mulai
tumbuh pada akhir abad ke-19. Kaum perempuan Jepang pada masa-masa
sebelumnya, terutama pada masa kekuasaan Tokugawa, mengalami diskriminasi
dalam berbagai hal yang dilatarbelakangi oleh berlangsungnya mitos patriarki yang
banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh adalah sistem Ie
pada rumah tangga Jepang yang melakukan praktik pewarisan tunggal melalui anak
laki-laki pertama, dan sistem pergundikan yang legal yang dilakukan untuk
menjamin adanya keturunan laki-laki, serta adat-istiadat lain yang dilaksanakan
melalui keluarga.
Pada struktur masyarakat Jepang di masa sebelum Perang, seperti yang
diungkapkan Nakane (1970)18, Jepang merupakan masyarakat yang terintegrasi,
dengan struktur hierarki (vertikal) dan dominasi kaum laki-laki. Hal tersebut
menyebabkan kekuasaan perempuan sangat jauh tertinggal dari laki-laki yang
18 Nakane Chie. Japanese Society. (1970)

memegang peran dominan dalam masyarakat maupun organisasi. Kaum laki-laki


yang

menguasai

organisasi-oraganisasi

sentral

di

masyarakat

semakin

mempersempit ruang gerak perempuan di area publik. Bahkan pada masa


kekuasaan klan-klan samurai, kebebasan untuk menikmati pengalaman di luar
rumah merupakan hal yang sangat jarang bagi para perempuan Jepang. Citra
perempuan yang dikaitkan dengan pekerjaan domestik mulai menguat dalam pola
pikir masyarakat Jepang pada masa kekuasaan kaum samurai, khususnya di era
kekuasaan Tokugawa (16031867).
Meskipun di era Meiji sistem kelas dihapuskan dan modernisasi mulai
berkembang di Jepang, namun kultur samurai berpenetrasi ke dalam struktur sosial
masyarakat, sehingga perempuan Jepang semakin kehilangan kekuatan dan
kesetaraannya. Seiring dengan modernisasi dan sentralisasi yang berkembang pada
era Meiji, dominasi kaum laki-laki semakin meningkat, dan struktur masyarakat
hierarkis semakin mengakar. Sebagai akibatnya, perempuan semakin kehilangan
kekuasaan, dan hak-hak perempuan untuk aktif di ruang publik semakin berkurang.
Hal ini kemudian melatarbelakangi munculnya gerakan-gerakan yang mengusung
hak-hak perempuan di era Meiji.
Ketika pemerintah Meiji (18681912) mengadopsi kebijakan modernisasi dan
mulai memperkenalkan peradaban Barat ke Jepang, ada salah satu intelektual yang
menyorot masalah emansipasi para istri dan masalah pergundikan. Respon
pemerintah adalah menghapuskan diskriminasi kelas dan memberlakukan sistem
pendidikan

baru

yang

memberikan

kesempatan

kaum

wanita

untuk

mengembangkan diri secara terbatas, pada September 1872.


Namun, menurut tradisi yang masih berlaku, kebahagiaan bagi seorang wanita
adalah apabila ia dapat memajukan pendidikan di rumah tangganya, sedangkan
menurut ajaran konfusianisme, tugas wanita adalah memelihara anak. Dengan
demikian, jika ditinjau baik dari segi agama maupun tradisi yang telah mengakar
pada masa-masa sebelumnya, peranan wanita tidak mengalami perubahan.
Sementara itu, akibat revolusi industri yang dilakukan pada awal zaman Meiji,
muncul masalah-masalah yang berkaitan dengan perburuhan, misalnya kondisi
kerja yang buruk di pabrik, jam kerja yang panjang, upah yang rendah, masalah
buruh anak-anak, diskriminasi di lapangan pekerjaan, dan prostitusi. Sejak awal
tahun 1886 sudah mulai muncul pemogokan buruh yang dilakukan oleh kaum
perempuan dan pada tahun 1919 seksi perempuan dari organisasi buruh Jepang
8

mensponsori rapat umum buruh tekstil untuk mendukung resolusi ILO19 mengenai
kondisi buruk buruh perempuan Jepang. Pada masa itu pula muncul beberapa
kelompok kaum perempuan sosialis yang bercita-cita menghapuskan kapitalisme
yang dianggap sebagai penyebab tekanan terhadap kaum perempuan. Secara
spesifik kelompok-kelompok ini memperjuangkan penerimaan upah yang sama,
kesejahteraan ibu, dan penghapusan prostitusi.
3. ANGKA KELAHIRAN BAYI DI JEPANG SEJAK ZAMAN MODERN
Mulai tahun 1947, Jepang mengalami penurunan tingkat kelahiran yang cukup
drastis selama beberapa tahun, hal ini sebagian besar juga disebabkan oleh
kebijakan pemerintah yang mengadakan perubahan besar terhadap Undang-undang
Perlindungan Kelahiran pada tahun 1952, akibat peningkatan jumlah penduduk
yang sangat cepat pada periode baby boom20 yang pertama. Saat itu untuk
membatasi pertambahan penduduk, pemerintah melonggarkan larangan-larangan
pengguguran kandungan sehingga sesudah itu, angka kelahiran sedikit demi sedikit
menurun.
Penurunan kelahiran sangat mencolok terjadi pada tahun 1966, yaitu dengan
rata-rata kelahiran 2. Penurunan ini terjadi karena tahun 1966 merupakan tahun
kuda api. Berdasarkan kepercayaan orang Jepang, wanita yang lahir pada tahun
kuda api ini dianggap membawa ketidakberuntungan bagi suaminya, bahkan
dianggap dapat membawa kematian yang terlebih dahulu bagi suaminya. Pasangan
yang telah menikah pun menghindari memiliki anak pada tahun ini.
Setelah tahun 1966 tersebut, rata-rata tingkat kelahiran di Jepang baru kembali
menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi pada sekitar tahun 1971. Namun
peningkatan ini hanya bertahan lima tahun.
Sejak tahun 1975, rata-rata tingkat kelahiran di Jepang terus mengalami
penuruan hingga saat ini. Bertambahnya jumlah wanita yang tidak menikah
dianggap sebagai faktor terbesar dan utama dalam berkembangnya fenomena
shoushika. Penurunan rata-rata tingkat kelahiran menunjukkan bahwa wanitawanita Jepang merasakan semakin sulit untuk menerima syarat-syarat, tanggung
jawab, dan keadaan kehidupan menjadi seorang ibu. Semakin banyaknya wanita
19 International Labour Organization (badan pengurus PBB yang menangani masalah
ketenagakerjaan)
20 Baby Boom: ledakan kelahiran pada periode kemapanan ekonomi setelah PD II

Jepang yang menganggap bahwa menjadi seorang ibu rumah tangga adalah
pekerjaan yang membosankan dan melelahkan.
Menurut Suzuki (2003)21 seorang research director of the consumer culture
department dari Institut Dentsu, yang mempelajari masyarakat, mengatakan bahwa
alasan sedikitnya anak yang lahir di Jepang adalah karena para wanita akan
kehilangan kebebasan mereka, waktu luang mereka, dan uang mereka.
Terutama bagi wanita yang berorientasi pada karir, memiliki anak dianggap
menjadi penghalang untuk mencapai tujuan profesional mereka. Menurut Hunter
(1993: 50)22, wanita yang memiliki anak tidak dapat bekerja seperti wanita yang
bekerja di perusahaan. Karena mereka harus membesarkan anak, maka mereka
bekerja paruh waktu. Mereka tidak punya waktu untung diluangkan, sementara
waktu akan memberikan pengaruh yang kuat di dalam kehidupan keluarganya.
Mereka tidak dapat mengerjakan rumah secara menyeluruh dan tidak dapat
merawat anak dengan baik. Hal ini akan membawa kurangnya kesenangan di dalam
rumah dan kondisi yang tidak sehat. Kondisi seperti ini sesuai dengan pola tradisi
pembinaan rumah tangga di Jepang. Wanita-wanita Jepang yang merasa diambil
hak pembuktian eksistensi dirinya melakukan perlawanan dengan memilih untuk
tidak memiliki anak agar dapat terus bekerja di perusahaan tanpa harus disalahkan
karena tidak dapat mengurus anak dengan baik.
4. KESIMPULAN
Pekerjaan yang awalnya untuk menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan
akhirnya menjadi sesuatu yang mengikat, terlebih lagi semenjak terjadi krisis
ekonomi di Jepang. Bekerja dan berkarier akhirnya menjadi sebuah pilihan hidup,
serta untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Bagi mereka yang single dan yang
sedang menikmati karier, menikah dan membentuk sebuah keluarga serta memiliki
anak justru akan menjadi beban ekonomi bagi kaum pria serta menjadi hambatan
bagi wanita.
Melihat dari apa yang telah dibahas, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
diinginkan wanita-wanita Jepang adalah pembagian kerja yang setara di kehidupan
rumah tangga antara laki-laki dan perempuan, kesetaraan hak di dunia kerja antara
21 Rieko Suzuki
22 Janet Hunter, Japanese Women Working. (1993), hlm.5

10

pekerja laki-laki dan prempuan. Dengan terpenuhinya dua hal tersebut, dapat
dipastikan pilihan perempuan-perempuan Jepang untuk memiliki anak akan
meningkat kembali karena berkurangnya rasa tertindas oleh kaum pria. Saat ini
yang ada di benak kaum perempuan Jepang adalah perempuan tidak dapat
membentuk dirinya sendiri bila secara sosial ekonomi masih bergantung kepada
laki-laki dan perubahan kebijakan di dunia kerja yang memberikan perempuan
kekuatan ekonomi dan posisi ekonomi yang baik bagi perempuan merupakan
jawaban untuk mengakhiri penindasan terhadap perempuan.

Daftar referensi
Arivia, Gadis. 2003. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan.
Chie, Nakane. 1995. Japanese Society. Tuttle.
Hauser, Philip M., dan Otis Dudley Duncan. 1959. The Study of Population: An
Inventory and Appraisal. Chicago: The University of Chicago Press.
Humm, Maggie. 1955. The Dictionary of Feminist Theory. Second Edition. New York:
Oxford University Press.
Hunter, Janet. 1993. Japanese Women Working. Routledge.
Komatsu, Makiko. 1993. Watashi no Joseigaku Koogi. Tokyo: Minerva Shoboo.
Mackie, Vera. 2003. Feminism in Modern Japan: Citizenship, Embodiment and
Sexuality. Cambridge University Press
Mackintosh, M. 1981. Gender and Economics: The Sexual Division of Labour and The
Subordination of Women. Young, K.; Wolkowitz, C.; dan McCullagh, R. Of
Marriage in The Market: Women Subordination in International Perspective 7-13,
London: CSE Books.

11

Okamura, Masu. 1973. Womens Status. Terjemahan Emi Kuntjoro Jakti. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: Dari
Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sumiarni, Endang. 2004. Jender dan Feminisme. Yogyakarta: Wonderful Publishing
Company.
Tong, Rosemarie. 1992. Feminist Thought. London: Routledge.
West, Candace and Don H. Zimmerman. 1991. Doing Gender. In Judith Lorber and
Susan A. Farrell (Eds.), The Social Construction of Gender. Newbury Park, CA:
Sage.
Penelitian terdahulu
Wulandari, Endah H. 2003. Gerakan Feminisme Jepang Studi tentang Gerakan Protes
Ketidakadilan terhadap Perempuan pada Awal Zaman Modern. Wacana Vol. 5
No.1, 12-32.

12

Anda mungkin juga menyukai