Anda di halaman 1dari 20

1

Pimpinan Soeharto
Di Masa Orde Baru
Penulis: Shofikhul Maulana Alamsyah
Desain cover: Shofikhul Maulana Alamsyah
Penerbit dan Pengarang:
Shofikhul Maulana Alamsyah
Adam Gusna Ramadhan
Yafi Aisyah Shelly Kirana
Nabila Intan Ramadan
Feliz Trezicha Purnomo
Khoiril dio Wahyu putra
Aditya Aprianto

Cetakan pertama:
Pimpinan Soeharto di Masa Orde Baru / kelompok IPS masa Orde Baru
kelas 9C: SMP negeri 50 Surabaya, 2023
...hlm; 14,8 x 21 cm

2
Kata pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya,
yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan novel ini berjudul “Pimpinan Soeharto
Di Masa Orde Baru”.
Novel ini bercerita tentang kesuksesan Soeharto di era orde baru.
Era Orde Baru juga diwarnai dengan sejumlah program dan gerakan seperti
transmigrasi, Keluarga Berencana, pemberantasan buta huruf, swasembada
pangan, Replita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), Gerakan Wajib
Belajar, Gerakan Nasional Orang Tua Asuh, serta pers di masa Orde Baru.
Novel ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembautan
novel ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan novel ini.
Terlepas dari semua itu, kami meyadari sepenuhnya bahwa masih
ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.
Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan
kritik dari pembaca novel ini demi kesempurnaan novel di masa
mendatang.
Akhir kata kami berharap semoga novel tentang kerja keras
pemburu berita di masa orde baru ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi terhadap pembaca.

3
Daftar isi
Book cover ~ 1
Kata pengantar ~ 3
Daftar isi ~ 4
Soeharto dalam Era Orde Baru ~ 5
Politik Anti-Komunis ~ 7
Militer dan Golongan Karya ~ 8
Pengerdilan Partai Politik ~ 10
Para Loyalis dan Orang-Orang kepercayaan ~ 12
Asas Tunggal Pancasila ~ 14
Ideologi Pembangunan ~ 16

4
Soeharto dalam Era Orde Baru
Pemerintah Orde Baru adalah kesuksesan tersendiri pada masa
Soeharto. Soeharto pernah berhasil meningkatkan Produk Domestik Bruto
(PDB) per kapita Indonesia dari 70 dollar AS (1968) menjadi 1.000 dollar
(1996). Pada masa inilah Indonesia berada dalam tingkat keamanan dalam
negeri yang cukup stabil. Hasilnya, investor asing pun bersedia
menanamkan modal di Indonesia.
Era Orde Baru juga diwarnai dengan sejumlah program dan
gerakan seperti transmigrasi, Keluarga Berencana, pemberantasan buta
huruf, swasembada pangan, Replita (Rencana Pembangunan Lima Tahun),
Gerakan Wajib Belajar, serta Gerakan Nasional Orang Tua Asuh.
Untuk mengendalikan jumlah penduduk Indonesia, Soeharto
memulai kampanye Keluarga Berencana yang menganjurkan setiap
pasangan untuk memiliki hanya dua anak. Hal ini dilakukan untuk
menghindari ledakan penduduk yang dapat mengakibatkan berbagai
masalah, dari kelaparan, penyakit, hingga kerusakan lingkungan hidup.
Dalam bidang pendidikan, Soeharto memelopori program Wajib
Belajar yang bertujuan meningkatkan tingkat rata-rata taraf tamatan
sekolah anak Indonesia. Pada awalnya, program ini membebaskan murid
pendidikan dasar dari biaya SPP (Sumbangan Pembiayaan Pendidikan)
sehingga anak-anak dari keluarga miskin juga dapat sekolah. Hal ini
kemudian dikembangkan menjadi program Wajib Belajar 9 tahun.
Pada masa Orde Baru, pemerintah sangat menguntungkan
persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan
televisi mendengungkan slogan “Persatuan dan Kesatuan Bangsa”. Salah
satu cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan persatuan
nasional sekaligus pemerataan populasi adalah dengan program
transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya, seperti Jawa, Bali, dan
Madura, ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur,
dan Irian Jaya.

5
Namun, dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program
transmigrasi ini adalah terjadinya marginalisasi terhadap penduduk
setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak
mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program
transmigrasi sama dengan Jawanisasi. Akibatnya, muncullah sentimen anti-
Jawa di berbagai daerah meskipun tidak semua transmigrasi itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi, sentimen tersebut meledak menjadi konflik
terbuka seperti yang terjadi di Ambon, konflik Madura-Dayak di
Kalimantan, serta gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlukan tidak
adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga
diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.
Di sisi lain, sejumlah kekurangan dan kegagalan juga dilakukan
oleh rezim Orde Baru. Maka, terjadilah korupsi, kolusi, dan nepotisme
dalam berbagai bidang. Pembangunan terbukti tidak merata. Ada
kesenjangan pembangunan antara wilayah pusat dan daerah karena sebagai
besar kekayaan daerah diambil oleh pusat. Hal ini antara lain tampak dari
ketidakpuasan di sejumlah daerah, terutama di Aceh dan Papua.
Pada saat yang sama, muncul kecemburuan di antara penduduk
setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah
yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya. Kesenjangan sosial bahkan
kian menempatkan si kaya dan si miskin dalam posisi diametral.
Dalam ranah politik, Pemerintah Orde Baru membungkam kritik
dan oposisi. Kebebasan pres sangat di batasi, bahkan banyak surat kabar
dan majalah yang diberedel. Represi itu kian mengemuka karena di ranah
lainnya, pemerintah menggunakan koersi, misalnya dalam menggunakan
kekerasan untuk menciptakan keamanan melalui perintah “penembakan
misterius” (Petrus) untuk mengatasi masalah kriminalitas.
Berikut ini adalah hal-hal yang sangat khas dan erat kaitannya
dengan eksistensi Soeharto serta rezim Orde Baru selama tiga dekade.

6
Politik Anti-Komunis
Peristiwa G30S membawa perubahan besar dalam politik
Indonesia. Operasi penumpasan terhadap G30S di bawah komando
Soeharto memberikan legitimasi politik bagi dirinya untuk tampil di
panggung politik nasional. Inilah adalah awal peralihan kekuasaan dari
Presiden Soekarno (Orde Lama) kepada Soeharto (Orde Baru).
Setelah pada 11 Maret 1966 Soeharto mendapat mandat dari
Presiden Soekarno untuk memulihkan keamanan, maka Soeharto keesokan
harinya segera membubarkan PKI (Partai Komunis Indonesia). Bulan-bulan
berikutnya adalah masa pembantaian terhadap orang-orang yang dicurigai
menjadi anggota PKI. Jumlah korbannya diperkirakan antara 400.000
sampai satu juta orang. Dalam konteks Perang Dingin, peristiwa itu lebih
banyak ditanggapi oleh pers Barat sebagai sesuatu yang “salah tetapi
perlu”.
Sejak awal, Soeharto memang berusaha menarik garis yang sangat
tegas antara Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik dilakukan
terhadap orang-orang yang terkait dengan PKI. Sanksi kriminal dilakukan
dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak-
pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai “pemberontak”. Pengadilan
digelar dan sebagai dari mereka yang terlibat dibuang ke Pulau Buru.
Sanksi non-kriminal diberlakukan dengan pengucilan politik
melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus
diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru.
Kartu Tanda penduduk pun ditandai ET (Eks-Tapol).
Soeharto lalu membersihkan parlemen dari kekuatan komunis,
menyingkirkan serikat buruh, dan meningkatkan sensor. Dia juga
memutuskan hubungan diplomatis dengan Republik Rakyat China (RRC)
dan menjalin hubungan dengan negara-negara Barat serta Perserikatan
7
Bangsa-bangsa (PBB). Soeharto bahkan menjadi penentu dalam semua
keputusan politik, yaitu dengan menjadikan Komando Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtip) sebagai lembaga yang permanen.
Upaya itu dia perkuat dengan membentuk Badan Koordinasi Intelijen
Nasional (Bakim).
Politik anti-komunis ala Soeharto mengakibatkan banyaknya
“orang-orang komunis”, “tersangka komunis”, dan “simpatisan PKI” yang
dihukum mati serta dipenjara. Sejumlah pihak menduga bahwa daftar para
tersangka komunis diberikan ke tangan Soeharto oleh CIA.

Militer dan Golongan Karya


Soeharto menjadikan militer sebagai pilar utama pendukung Orde
Baru. Pola tersebut sangat tampak dalam, misalnya pembentukan Komando
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtip). Setelah pemerintah
Orde Baru melarang pemerintah Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 1970,
Kopkamtip pada 23 September 1970 melarang beredarnya ajaran-ajaran
Bung Karno dan melarang peringatan hari kematiannya. Pelarangan itu
didasarkan pada instruksi No. 010/KOPKAM/9/1970.
Militer pendukung utama kekuasaan Soeharto adalah Angkatan
Darat, tempat Soeharto pernah berkiprah sebelum ia menjadi presiden.
Kenaikan Soeharto menjadi presiden juga didukung oleh Angkatan Darat
yang memanfaatkan kekisruhan politik tahun 1965 dan tahun-tahun
sebelumnya.
Setelah peristiwa G30S, posisi militer di Indonesia terpecah
menjadi dua, yaitu mereka yang masih loyal kepada Presiden Soekarno dan
mereka yang lebih loyal kepada Mayjen Soeharto. Pada periode ini
kondisinya tidak jelas benar, siapa loyal kepada siapa masih sulit
diidentifikasi. Namun, pembelahan di tubuh militer mulai jelas pada 1967,
yaitu ketika kelompok-kelompok loyalis Soekarno yang masih tersisa
enggan menerima pendongkelan terhadap presiden.
Secara perlahan-lahan, Soeharto mulai mengonsolidasikan
Angkatan Darat menjadi kekuatan utama di tubuh militer yang loyal kepada
dirinya. Soeharto mulai menempatkan Angkatan Darat sebagai kekuatan
utama di tubuh militer melebihi angkatan-angkatan lain. Dengan kata lain,
Angkatan Darat mendapat porsi yang lebih istimewa dibanding angkatan-
angkatan lainnya. Dengan strategi ini, maka Presiden Soeharto kemudian
8
mendapatkan loyalitas besar dari Angkatan Darat. Buktinya, Angkatan
Darat menjadi pendukung utama Soeharto hingga 1998.
Sepanjang kekuasaannya selama 32 tahun, Soeharto dan
pemerintah Orde Baru sebenarnya melaksanakan strategi yang
berkesinambungan bersama tiga pilar kekuasaannya, yaitu militer,
birokrasi, dan Golongan Karya (Golkar). Akibatnya, terjadi
penyalahgunaan kekuasaan di setiap tingkat pemerintah yang bertujuan
pada pelestarian kekuasaan.
Soeharto juga membangun dan memperluas konsep “Jalan
Tengah”-nya Jenderal Nasution menjadi konsep Dwifungsi ABRI untuk
memperoleh dukungan basis teoretis bagi militer dalam memperluas
pengaruhnya melalui pejabat-pejabat pemerintahan, termasuk cadangan
alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi sipil. Peran
dwifungsi ini adalah peran militer di bidang politik yang permanen.
Peranan militer memang semakin tampak jelas ketika berlangsung
Seminar Angkatan Darat II di Graha Wiyata Yudha, Seskoad Bandung, 25-
31 Agustus 1966. Walaupun terdapat kalangan sipil yang mengikuti
seminar tersebut, tetapi jumlahnya sangat sedikit. Tujuan seminar pada
waktu itu adalah untuk mengoreksi secara total berbagai ketimpangan-
ketimpangan di masa Orde Lama. Jadi, “koreksi total” adalah semangat
Orde Baru. Dalam forum inilah konsepsi mendasar Orde Baru
dikonstruksikan.
Istilah “pembangunan” selama Orde Baru merupakan daya tarik
yang kuat. Setiap pejabat tidak pernah melewatkan istilah ini dalam pidato-
pidatonya. Untuk itu pula, pemerintah Orde Baru membuat konsep
Dwifungsi ABRI dengan penggambaran bahwa ABRI adalah satu-satunya
kekuatan bangsa yang selalu utuh. Konsep Dwifungsi ABRI yang
membuka peluang bagi personel militer memasuki ruang pemerintahan
sipil birokrasi.
Setelah Soekarno memperjuangkan konsep perwakilan politik
berdasarkan “fungsi” dalam masyarakat, ideologi militer seperti
Soehardiman juga mengembangkan konsep “karyawan” di bidang
perburuhan dengan mendirikan SOKSI (Serikat Organisasi Karyawan
Seluruh Indonesia) yang berbasis pada perusahaan negara yang dikuasai
militer. Akhirnya, Sekretariat Bersama Golkar (Sekber Golkar) didirikan

9
oleh tentara untuk menghimpun kekuatan-kekuatan keormasan dan politik
yang berseberangan dengan kekuatan komunis.
Untuk mobilitas politik masyarakat, Golkar memang dibangun
sebagai kekuatan politik pemerintah Orde Baru. Sejarah untuk pembenaran
dan kekuasaan tatanan Orde Baru. Sejarah untuk pembenaran dan
kekuasaan tatanan Orde Baru secara konseptual telah diciptakan dengan
pemikiran rasional-pragmatis. Dwifungsi tersebut diperkuat dengan alasan
seakan-akan sudah sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila.
Pada dasarnya, militerlah yang kemudian menjadi ahli waris
langsung dari konsep golongan karya yang awalnya diperjuangkan oleh
Soekarno. Dalam versi tentara, konsep ini bermutasi menjadi lebih anti-
partai dan anti-komunis. Dalam perjalanan sejarah, Golkar dikembangkan
di masa Soeharto sebagai salah satu pilar utama Orde Baru, yakni sebagai
wadah untuk melegitimasikan kekuasaan lewat sejumlah pemilu yang jauh
dari prinsip bebas dan bersih.

Pengerdilan Partai Politik


Pada awal kekuasaannya, Soeharto berusaha menyakinkan bahwa
rezim baru ini adalah pewaris sah dan konstitusional dari Presiden
Soekarno. Dari khazanah ala Soekarno, pemerintah Orde Baru mengambil
Pancasila sebagai satu-satunya dasar negara sehingga menjadi resep yang
paling tepat untuk melegitimasi kekuasaan Soeharto.
Istilah “Orde Baru” dimaklumkan sebagai keinginan untuk
memberikan pemahaman kepada masyarakat atas munculnya keadaan baru
yang lebih baik daripada keadaan lama. Reorientasi ekonomi, politik, dan
hubungan internasional ditambah stabilitas nasional adalah langkah awal
yang ditegakkan oleh Orde Baru.
Konsolidasi kekuasaan Orde Baru membutuhkan kepastian
stabilitas politik. Bukan hanya komunisme, namun semua yang hal yang
dinilai bertalian erat dengan kekuasaan Soekarno dan memiliki potensi
kontra dengan Orde Baru diminimalisasi sedemikian rupa. Hal itu sesuai
dengan tugas Kabinet Pelita I, yaitu pemilihan umum, stabilitas politik,
pembersihan aparatur negara, dan stabilitas ekonomi serta pembangunan
lima tahun pertama.

10
Atas dasar stabilitas politik pula, pemerintah Soeharto melakukan
fusi terhadap partai-partai politik pada 1973. Golongan Karya menjadi
mesin politik Orde Baru yang hampir bisa dipastikan selalu memenangi
setiap kali penyelenggaraan pemilu. Soeharto selalu mempunyai argumen
bahwa era liberal di tahun 1950-an dengan sistem multipartai tidak
membawa Indonesia pada kemakmuran.
Upaya tersebut diperkuat oleh pemerintah Orde Baru dengan
mengeluarkan UU Politik dan menyatakan Pancasila sebagai asas tunggal.
Namun, dalam perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan
politik, maka muncullah istilah “mayoritas tunggal”, yaitu Golkar dijadikan
sebagai partai utama sambil pada saat yang sama pemerintah mengebiri dua
partai politik lainnya dalam setiap penyelenggaraan pemerintah umum.
Orde Baru lalu berupaya menanamkan keyakinan bahwa
pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik hanya bisa dicapai dengan
membatasi partisipasi politik. Pada saat yang bersamaan, masyarakat
digiring ke pemahaman sebagai bagian utuh dari negara. Setiap individu
harus membaktikan hidupnya, mendahulukan kewajiban ketimbang hak.
Masyarakat hidup dalam lingkup paham kekeluargaan, tidak ada perbedaan
antara pemimpin dan yang dipimpin. Tugas pemimpin adalah menafsirkan
kehendak rakyatnya, sementara tugas rakyat adalah mengikuti pemimpin.
Singkatnya, negara adalah sesuatu yang integral, dengan batas-
batas yang akhirnya malah tak jelas. Pemerintah Orde Baru kemudian
mengenalkan istilah-istilah “negara integralistik” dan “negara
kekeluargaan”, “demokrasi Pancasila”, “sistem kekeluargaan”, dan
“musyawarah untuk mufakat”.
Soeharto selalu mengatakan bahwa keamanan dalam negeri harus
terjamin agar penanaman modal asing yang diperlukan tidak terganggu.
Akibatnya, tindakan represif dilakukan terhadap pers, mahasiswa, maupun
kelompok masyarakat yang melakukan kritik tajam terhadap kebijakan
pemerintah.
Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto mampu menjaga stabilitas dan
melaksanakan secara konsisten. Cara ini membuahkan pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi. Rakyat pun dimanjakan dengan harga-harga
kebutuhan pokok yang terkendali dan bahan bakar minyak yang disubsidi.

11
Namun, untuk semua itu ternyata ongkosnya sangat mahal.
Demokrasi ditempatkan di bawah pertumbuhan ekonomi. Hak asasi
manusia diabaikan atas nama stabilitas keamanan. Korban pun berjatuhan.
Korupsi, kolusi, dan nepotisme merajalela karena menang tidak ada upaya
mengatasinya. Sementara, kalangan pegawai negeri, termasuk personel
militer, dibiarkan hidup dengan gaji kecil.

Para Loyalis dan Orang-Orang kepercayaan


Soeharto mempunyai pembantu dekat yang terdiri dari berbagai
kelompok, terutama beberapa fraksi militer dan intelijen serta para ekonom
pro-Barat. Dengan penuh perhatian, Soeharto mendengar keterangan dan
penjelasan dari para menteri ekonominya meskipun setelah 10 tahun
kemudian dia dapat menguasai persoalan teknis tersebut. Para jenderal
dijadikan sebagai orang-orang yang sangat tergantung kepada Soeharto dan
satu sama lain saling mencurigai.
Tidak ada satu pun “putra mahkota” di bawah Soeharto. Kalaupun
ada riak di dalam pemerintahan Soeharto pada awal kekuasaannya, maka
itu adalah persaingan antara tim ekonomi di bawah pimpinan Widjojo
Nitisastro versus Aspri Presiden Bidang Ekonomi Soedjono Hoemardani.
Padahal, kedua orang ini sangat loyal kepada Soeharto.
Kriteria anggota kabinet dalam pemerintahan Orde Baru adalah
orang-orang yang mempunyai keahlian, loyalitas, dan kemampuan bekerja
12
sama dalam tim. Menteri yang diangkat oleh Soeharto bisa menjabat satu
periode atas berkali-kali, sedangkan rakyat tidak pernah tahu kriteria
keberhasilan atau kegagalan seorang menteri karena semuanya tergantung
kepada presiden.
Bila Soeharto telah memilih seseorang, maka dia akan membelanya
mati-matian meskipun orang tersebut keliru dalam bertugas. Soeharto juga
sangat memperhatikan kesejahteraan bawahannya. Sebaiknya, orang yang
mencoba menentang kebijakannya secara terbuka akan ditekannya habis-
habisnya.
Tujuan jangka pendek pemerintah Orde Baru adalah
mengendalikan inflasi, menstabilkan nilai rupiah, memperoleh utang luar
negeri, serta mendorong masuknya investasi asing. Untuk mencapai tujuan
ini, peran Sudjono Humardani sebagai asisten pribadi presiden dalam
urusan ekonomi memang berperan besar.
Sedangkan, salah satu tokoh terpenting dalam konstruksi politik
Orde Baru adalah Ali Moertopo. Peranannya sebagai ideolog maupun
operator politik utama Soeharto pada awal Orde Baru memang sangat
menonjol. Moertopo bahkan menerbitkan beberapa karya yang
menggambarkan dasar-dasar pemikiran dan cetak-biru politik Orde Baru.
Soeharto sangat mempercayakan urusan-urusan politik kepada
Moertopo. Sosok ini pula yang melalui lembaga bernama Operasi Khusus
(Opsus) selalu berusaha menghilangkan gerakan oposisi dan melemahkan
kekuatan partai-partai politik non-Golkar.
Soeharto kemudian memang menyingkirkan Ali Moertopo karena
sepak terjang Moertopo dinilai mulai mengancam kedudukannya. Pada saat
yang sama, Soeharto mencurigai Pangkopkamtib Jenderal Sumitro sebagai
orang yang ingin mendongkel kedudukannya. Peristiwa Malari pada tahun
1974 menunjukkan rivalitas Moertopo dan Soemitro tersebut. Nah,
persaingan antara Moertopo dan Sumitro inilah yang dipergunakan oleh
Soeharto untuk menyingkirkan kedua orang tersebut. Jabatan
Pangkopkamtib yang dipegang Sumitro segera diambil-alih Soeharto.
Beberapa bulan setelah peristiwa Malari, dua belas surat kabar
ditutup dan kalangan oposan ditangkap serta dipenjarakan. Ali Moertopo
lalu dijadikan menteri dalam kabinet Soeharto.

13
Asas Tunggal Pancasila
Meskipun penggabungan partai-partai pada tahun 1973 merupakan
contoh nyata dari ketergantungan pemerintah kepada ideologi nasional
untuk menciptakan demokrasi Pancasila dan melegitimasi tindakan-
tindakannya, tetapi baru pada 1978 pemerintah Orde Baru melakukan
ideologisasi yang dimaksudkan untuk menetapkan lebih lanjut parameter-
parameter dan kendali-kendali atas wacana politik di Indonesia. Pada 22
Maret 1978, MPR mengesahkan sebuah ketetapan tentang Pedoman
Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4).
Ketetapan ini menjadi sangat penting karena dikaitkan dengan
pedoman MPR untuk rencana pembangunan lima tahun. Dengan P4 ini,
maka dimulailah program indoktrinasi Pancasila secara nasional melalui
program-program pendidikan ideologi yang dilaksanakan secara ketat.
Untuk kepentingan Orde Baru pula, maka muncul BP7 yang menjadi

14
pelaksana dari rangkaian Penataran P4 dengan materi indoktrinasi, yaitu
Pancasila, UUD 1945, serta GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara).
Soeharto menggambarkan UUD 1945 sebagai hal yang sempurna
dan tidak bisa diubah. Pancasila dikatakan tidak lahir pada 1 Juni 1945,
tetapi pada 18 Agustus 1945. Untuk menunjukkan bahwa persatuan dan
kesatuan bangsa dan negara Indonesia telah ada sejak lama, maka Sumpah
Palapa Gadjah Mada diberi pengertian dengan menafsirkannya sebagai
semacam persatuan dan kesatuan Indonesia. Dengan dasar pengertian
itulah, maka Hari Kebangkitan Nasional selalu diperingati dengan biaya
besar.
Penataran P4 pun sarat dengan istilah-istilah simbolis dari bahasa
Sansekerta. Istilah “Nusantara” dipopulerkan sebagai padanan nama
Indonesia. Nama-nama gedung di DPR/MPR bernama Nusantara, ruangan-
ruangannya menggunakan istilah Sansekerta. Bahkan, pembangunan
Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dikatakan oleh Soeharto sebagai
kehendak yang sesuai dengan tujuan Pancasila dan UUD 1945. Semua
usaha itu dilakukan secara berencana dengan hasil yang telah mendapat
pujian dari lembaga-lembaga internasional, Bank Dunia, Dana Moneter
Internasional (IMF), dan lembaga-lembaga di lingkungan PBB lainnya.
Pada masa pemerintahan Soeharto, kurikulum pendidikan dijadikan
sarana indoktrinasi. Banyak materi pelajaran sekolah yang hanya
merupakan pola-pola cuci otak, indoktrinasi, dan pembenaran kekuasaan
Orde Baru. Bagi Orde Baru, sebagai bentuk perdebatan mengenai ideologi
negara, terutama antara kelompok Islam versus nasional, tidak membuat
stabilitas nasional berjalan dengan baik, tetapi justru struktur politik labil
yang lebih mengedepan.
Orde Lama yang memberikan ruang bagi tumbuhnya ideologi lain
justru berakibat fatal bagi berlangsungnya stabilitas kekuasaan tersebut.
Itulah sebabnya Soeharto menggambarkan pentingnya Pancasila bagi Orde
Baru. Pancasila kemudian menjadi kekuatan paling efektif untuk
meminimalisasi kemungkinan munculnya kekuatan di luar negeri.

15
Ideologi Pembangunan
Setelah diangkat menjadi Pejabat Presiden pada tahun 1967 dan
Presiden Republik Indonesia pada tahun 1968, perhatian utama Soeharto
adalah pada pemulihan ekonomi yang sangat merosot pada akhir
pemerintahan Soekarno. Soeharto berprinsip bahwa pembangunan ekonomi
memerlukan stabilitas keamanan secara nasional keamanan secara nasional
maupun regional. Maka, pemerintah Orde Baru segera memulihkan
hubungan dengan Malaysia, kembali menjadi anggota PBB, serta
mensponsori pembentukan ASEAN (Association of South East Asian

16
Nations) dan kemudian menjadi motor penggerak organisasi regional
tersebut.
Dengan naiknya Soeharto sebagai penguasa baru di Indonesia,
sikap pemerintah Indonesia terhadap utang luar negeri berubah secara
drastis. Hal itu tidak hanya tampak pada strategi pembangunan yang
dijalankannya atau pada jumlah utang baru yang dibuatnya, tetapi terutama
tampak secara mencolok pada berbagai tindakan yang dilakukannya dalam
memulihkan kondisi ekonomi internasional.
Beberapa tindakan yang dilakukan Soeharto dalam memulihkan
kondisi ekonomi Indonesia antara lain memperbaiki hubungan dengan para
kreditor, terutama negara-negara blok Barat dan lembaga-lembaga
keuangan multilateral. Tujuannya adalah untuk memperoleh utang luar
negeri baru dan meminta penjadwalan kembali pembayaran utang luar
negeri yang diwariskan Soekarno.
Menyusun pertemuan negara-negara kreditor blok Barat di Tokyo,
Jepang, pada September 1966, yang dikenal sebagai The Paris Club,
Indonesia pada Oktober 1966 memperoleh komitmen untuk menerima
pinjaman siaga sebesar 174 juta dollar AS. Selanjutnya, menyusul
pertemuan serupa di Paris, Prancis, pada Desember 1966, Indonesia
memperoleh komitmen untuk menerima tambahan pinjaman siaga sebesar
375 juta dollar.
Setelah itu, menyusul pertemuan Kelompok Paris di Amsterdam,
Belanda, pada Februari 1967, yang sekaligus menandai lahirnya Inter-
Govermental Group on Indonesia (IGGI), Indonesia kembali memperoleh
komitmen pinjaman siaga sebesar 95,5 juta dollar. Adapun penjadwalan
kembali pembayaran utang luar negeri Indonesia, dengan negara-negara
blok Barat, baru disepakati pada 1971 dan 1972.
Pendaftaran kembali keanggotaan Indonesia pada lembaga-
lembaga keuangan multilateral berlangsung secara bertahap pada 1967.
Pendaftaran kembali ke IMF berlangsung pada Februari 1967. Pendaftaran
kembali ke Bank Dunia pada Mei 1967. Sedangkan, pendaftaran
keanggotaan Indonesia di ADB (Asian Development Bank) berlangsung
bersama dengan pendirian lembaga tersebut pada 1968. Walaupun
pendaftaran kembali keanggotaan Indonesia di IMF baru ditandangani pada
Februari 1967, namun pada Juni 1966 IMF sudah mengirimkan misi ke
Jakarta.
17
Pemerintah Orde Baru melanjutkan pelaksanaan program
stabilisasi IMF serta mengeluarkan kebijakan ekonomi yang lebih
bersahabat dengan sektor swasta dan investasi asing. Sebagaimana
diketahui, sesuai dengan persyaratan utang luar negeri yang diminta AS,
pelaksanaan program stabilisasi IMF ini telah berlangsung sejak tahun
1963. Akan tetapi, menyusul terjadinya G30S, pelaksanaan program
tersebut terpaksa dihentikan.
Dengan dikeluarkannya paket kebijakan 3 Oktober 1966 pada era
Soeharto, maka pelaksanaan program stabilisasi IMF itu dilanjutkan
kembali. Sesuai dengan permintaan IMF, hal yang harus dilakukan
Indonesia untuk meningkatkan stabilitas ekonomi dalam garis besarnya
meliputi penyusunan anggaran berimbang, pelaksanaan kebijakan uang
ketat, penghapusan subsidi dan peningkatan harga komoditas layanan
publik, peningkatan peranan pasar, penyederhanaan prosedur ekspor, dan
peningkatan pengumpulan pajak.
Sehubungan dengan kebijakan untuk lebih bersahabat dengan
sektor swasta dan investasi asing, pada Januari 1967 pemerintah Orde Baru
menerbitkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing No. 1/1967. UU
PMA yang baru ini lebih liberal daripada undang-undang yang
digantikannya. Bersamaan dengan itu, perusahaan-perusahaan asing yang
dinasionalisasikan Soekarno pada 1963-1965 diundang kembali untuk
melanjutkan kegiatan mereka di Indonesia.
Dengan berlangsungnya pembalikan orientasi ekonomi Indonesia
dari orientasi peningkatan kemandirian ekonomi menuju peningkatan
ketergantungan, rasanya tidak berlebihan jika peralihan kekuasaan dari
Soekarno kepada Soeharto diwaspadai sebagai proses sistematis
berlangsungnya transisi kolonialisme di Indonesia. Artinya, setelah
merdeka dari kolonialisme Belanda, pembuatan utang luar negeri secara
besar-besaran dalam pemerintahan Soeharto merupakan proses sistematis
menjerumuskan Indonesia ke dalam perangkat neokolonialisme AS.
Pada awal Orde Baru, program pemerintah terutama diarahkan
pada usaha penyelamatan ekonomi nasional, yaitu mengatakan inflasi,
penyelamatan keuangan negara, dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat.
Untuk melaksanakan stabilitasi dan rehabilitasi ekonomi tersebut, maka
MPRS mengeluarkan ketetapan No. XXIII/MPRS/1966 tentang

18
pembaharuan kebijaksanaan landasan ekonomi, keuangan, serta
pembangunan.
Untuk menyelesaikan urusan stabilisasi dan rehabilisasi ekonomi
serta mempersiapkan landasan pembangunan, pemerintah mengesahkan
Rencana Undang-Undang Anggaran Pendapatan Negara (RUU APBN
1968) menjadi Undang-Undang No. 13/1967. Dengan demikian, maka
kemerosotan ekonomi yang terjadi sejak Orde Lama dapat dihentikan dam
lambat laun perekonomian Indonesia dapat diperbaiki.
Untuk merancang pembangunan ekonomi, berbagai delegasi
dikirim untuk memperoleh pinjaman. Pada saat yang sama, Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) harus merancang
pembangunan apa yang penting didahulukan untuk kemakmuran rakyat dan
bangsa Indonesia. Bappenas dibentuk pada 1968, sedangkan pelaksanaan
Pembangunan Lima Tahun Iv(Pelita I) dimulai pada 1 April 1969.
Ekonomi Indonesia pada pertengahan tahun 1960-an memang
sangat kacau. Tak heran jika beberapa tahun kemudian Soeharto meminta
nasihat dari tim ekonom hasil didikan Barat yang dikenal dengan istilah
“Mafia Berkeley” karena kebanyakan mereka adalah lulusan University of
Berkeley, AS.
Soeharto sejak awal sudah menyiapkan konsep pembangunan yang
diadopsi dari Seminar Seskoad II pada 1966 dan konsep Akselerasi
Pembangunan II yang diusung oleh Ali Moertopo. Soeharto
merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dua tujuan, yaitu tercapainya
stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Dengan ditopang oleh
kekuatan Golkar, militer, dan lembaga pemikiran serta dukungan modal
internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat
kestabilan politik yang tinggi.
Janji Orde Baru pada pertengahan tahun 1960-an tentang
peningkatan besar dalam GNP dan pendapatan per kapita pada
kenyataannya memang dipenuhi. Standar kehidupan rakyat kian membaik.
Realitas ini semakin menguatkan citra Orde Baru di hadapan rakyatnya.
Bahkan, realitas ini telah berhasil membangun citra tentang kebobrokan
ekonomi Orde Lama dan keberhasilan ekonomi Orde Baru. Kebobrokan
ekonomi Orde Lama muncul karena terlalu sibuk melakukan perdebatan
panjang tentang ideologi negara, bahkan cenderung melakukan
penyelewengan atas Pancasila. Bagi Orde Baru, konsekuensi-konsekuensi
19
penyelewengan tersebut adalah kondisi perekonomian yang kacau dan
ketidakstabilan politik.

20

Anda mungkin juga menyukai