Anda di halaman 1dari 40

INTERAKSI SOSIAL

Pengantar
Restorasi meiji yang dikenal juga dengan sebutan Meiji Ishin merupakan suatu
pembaharuan sehingga menyebabkan perubahan dalam struktur politik serta sosial
masyarakat Jepang. Sebelum tahun 1853 Jepang merupakan negara yang tertutup dari
bangsa asing terutama ketika dibawah pemerintahan Shogun Tokugawa.
Pada saat itu, Jepang di bawa Shogun Tokugawa menerapkan politik isolasi
(menutup diri) dari bangsa asing ditetapkan. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya
ancaman dari bangsa-bangsa eropa yang melakukan perdagangan di Jepang. Keberadaan
bangsa Eropa dikhawatirkan akan menimbulkan kolonialisme dan imperialisme di
Jepang. Selain itu alasan politik isolasi ini adalah banyaknya misionaris Kristen yang
datang menyebarkan Agama Kristen. Tokugawa berpikiran bahwa misionaris Kristen
akan membawa dampak negative bagi Jepang. Berkembangnya agama Kristen akan
membawa mimpi buruk bagi kekaisaran, oleh sebab itu Tokugawa mengambil langkah
untuk tidak berhubungan dengan dunia asing.
Politik isolasi yang dijalankan hampir selama 200 tahun itu telah membuat
Jepang menjadi suatu negara yang mempunyai ciri khas negaranya sendiri yang
menonjol. Setidaknya terdapat 4 dampak yang terjadinya akibat diberlakukannya
kebijkan politik isolasi yaitu sebagai berikut:
1. Terbentuknya identitas nasional
Politik Isolasi selama lebih dari 200 tahun ini ternyata telah berhasil
membangun Jepang dengan identitas masyarakat feodal yang kuat sebagai
identitas masyarakat Jepang, dan kebudayaan Jepang telah mengalami proses
kematangan pada masa isolasi ini.
2. Mencegah dari perang-perang besar
Selama diberlakukannya politik isolasi ini, karena yang bertindak sebagai
penguasa di Jepang adalah keturunan Tokugawa, maka tidak terjadi perang-
perang besar antara klan yang satu dengan lainnya seperti yang telah terjadi pada
masa pemerintahan sebelum Tokugawa.
3. Terciptanya nasionalisme
Jepang menganut sistem kepercayaan Shinto yang berpusat pada pemujaan
terhadap Tennou, dan perkembangan Studi Nasional (Kokugaku) telah
mempertebal semangat nasionalisme Jepang dengan Tennou sebagai simbolnya.
4. Ketertinggalan
Pada masa bangsa barat telah maju dalam bidang industrialisasi, jepang masih
merupakan negara feodal terbelakang.
Pada tahun 1868 pemerintah Jepang menyatakan secara resmi zaman Meiji telah
dimulai. Ibukota yang semula bernama Edo berubah menjadi Tokyo. Perubahan ini
terjadi setelah selama 250 tahun Jepang menjalani kebijakan politik isolasi negaranya.
Jepang mulai membuka dirinya sejak Jenderal Matthew Calbraith Perry berhasil
memaksa Jepang untuk menandatangani perjanjian pembukaan negara Jepang pada
tanggal 8 Juli 1853. Kedatangannya yang disertai empat kapal perang ini tiba di Uraga.
Peristiwa ini merupakan kontak pertama kali, setelah sekian lama tidak terjadi kontak
dengan pihak internasional yang juga turut diikuti dengan kontak dagang dengan pihak
asing.
Dalam beberapa hal, masa itu merupakan hari-hari yang paling indah bagi kaum
muda Jepang. Masa yang ditandai oleh perubahan yang menyeluruh sesudah kedatangan
Perry itu membawa suatu iklim segar yang memupuk ambisi, vitalitas, dan panggilan
sejarah baru. Tiba-tiba kekangan-kekangan lama dilenyapkan. Jepang yang sudah tertutup
rapat-rapat bagi seluruh dunia selama lebih dari dua abad, sekarang tiba-tiba saja
membuka diri terhadap pengaruh-pengaruh yang menyegarkan. Penghancuran sistem
Tokugawa yang penuh dengan kekangan-kekangan menciptakan suatu lingkungan baru
yang secara tak terduga menaruh simpati dan mau mendengarkan gejolak dan percobaan-
percobaan kaum muda.
Atas peristiwa sejarah ini menunjukkan betapa seriusnya Jepang saat itu untuk
melindungi diri dari pengaruh asing. Politik ini, secara langsung akan berpengaruh pada
interaksi multikultural. Minimnya interaksi dengan dunia luar akan berkorelasi minimnya
masuknya idiologi-idiologi trans nasional (barat). Masyarakat Jepang tidak ada pilihan
lain selain mengembangkan idiologi leluhurnya sebagai bagian falsafah hidup. Situasi
inilah menciptakan rasa nasionalisme hingga ultranasionalisme bangsa Jepang yang
tinggi. Situasi ini telah menjadikan Jepang sebagai negara beraliran Chauvinisme yaitu
paham yang menganggap dirinya lebih unggul dari ras lainnya. Pandangan
ultranasionalisme Jepang adalah Hakko I Chiu yaitu dunia sebagai satu keluarga yang
dipimpin oleh Jepang.
Lamanya politik isolasi ini disebabkan penemuan teknologi saat itu tidak sehebat
itu. Tentu hal ini sangat berbeda pada era teknologi informasi dan komunikasi. Dalam
kaitan ini pengaruh asing adalah hal tidak bisa dihindari. Arus penyebaran teknologi yang
semakin masif menciptakan peluang masuknya teknologi informasi komunikasi masuk ke
dala m ruang-ruang publik dan privat kita. Dengan adanya percepatan penyebaran
teknologi informasi komunikasi telah menciptakan sistem baru masyarakat yang bersifat
global. Identitas yang bersifat nasionalisme lambat laun akan pudar menjadi identitas
global. Begitupun sistem sosial telah mengarah pada sistem global. Tata nilai sosial yang
berlaku tidak hanya tata nilai sosial bangsa Asia, Eropa, Amerika tetapi menjadi tata nilai
sosial global yang bersifat universal. Dan pada akhirnya tata pergaulan dunia akan
menjadi kecil dan sempit. Hal ini yang disebut oleh Marshall McLuhan sebagai Global
Village.
Global Village menjelaskan bahwa tidak ada lagi batas waktu dan tempat yang
jelas. Interaksi kapan saja dapat dilakukan tanpa harus adanya kontak fisik antara person
yang satu dengan person lainnya. Dampak-dampak interkasi akan terlihat lebih hebat
disebabkan proses umpan balik yang cepat. Makna asosiatif disassotif tidak lagi dapat
ditunjukkan dengan ucapan-ucapan verbal semuanya telah diganti dengan simbol-simbol
yang lain.

Hakikat Interaksi Sosial


Dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat terlepaskan dari
interaksi sosial. Tujuan interaksi sosial lebih diupayakan sebagai langkah pemenuhan
kebutuhan hajat hidup. Dalam pandangan Abraham Maslow, kebutuhan manusia terbagi
dalam lima macam kebutuhan, yaitu:
1. Physical Needs (Kebutuhan-kebutuhan fisik)
Kebutuhan fisik merupakan kebutuhan yang berhubungan dengan kondisi tubuh
seperti pangan, sandang, dan papan.
2. Safety Needs (Kebutuhan-kebutuhan rasa aman)
Kebutuhan ini lebih bersifat psikologi individu dalam kehidupan sehari-hari.
Misal: perlakuan adil, pengakuan hak dan kewajiban, jaminan keamanan.
3. Social Needs (Kebutuhan-kebutuhan sosial)
Kebutuhan ini jiga cenderung bersifat psikologis dan sering kali berkaitan dengan
kebutuhan lainnya. Misal: diakui sebagai anggota, diajak berpartisipasi,
berkunjung ke tetangganya.
4. Esteem Needs (Kebutuhan-kebutuhan penghargaan)
Kebutuhan ini menyangkut prestasi dan prestise individu setelah melakukan
kegiatan. Misal: dihargai, dipuji, dipercaya.
5. Self Actualization (kebutuhan aktualisasi diri)
Kebutuhan ini merupakan kebutuhan tertinggi dari individu dan kebutuhan ini
sekaligus paling sulit dilaksanakan. Misal: mengakui pendapat orang lain,
mengakui kebenaran orang lain, mengakui kesalahan orang lain,dapat
menyesuaikan diri dengan situasi (Santosa, 2010).
Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis.
Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang satu
dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, maupun
antara kelompok dengan individu.
Menurut Soekanto (2003), interaksi sosial merupakan kunci semua kehidupan
sosial. Dengan tidak adanya komunikasi ataupun interaksi antar satu sama lain, maka
tidak mungkin ada kehidupan bersama. Jika hanya fisik yang saling berhadapan antara
satu sama lain, tidak dapat menghasilkan suatu bentuk kelompok sosial yang dapat saling
berinteraksi. Maka dari itu dapat disebutkan bahwa interaksi merupakan dasar dari suatu
bentuk proses sosial karena tanpa adanya interaksi sosial, maka kegiatan-kegiatan antar
satu individu dengan yang lain tidak dapat disebut interaksi.
Proses Interaksi sosial menurut Herbert Blumer adalah pada saat manusia
bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi manusia.
Kemudian makna yang dimiliki sesuatu itu berasal dari interaksi antara seseorang dengan
sesamanya. Dan terakhir adalah Makna tidak bersifat tetap namun dapat dirubah,
perubahan terhadap makna dapat terjadi melalui proses penafsiran yang dilakukan orang
ketika menjumpai sesuatu. Proses tersebut disebut juga dengan interpretative process.
Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial (yang juga dapat dinamakan
proses sosial), oleh karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-
aktivitas sosial. Beberapa ahli membuat definisi interaksi sosial sebagai berikut:
1. Walgito (2003), interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu dengan
individu lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain atau
sebaliknya, jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik. Interaksi
sosial merupakan salah satu cara individu untuk memelihara tingkah laku sosial
individu tersebut sehingga individu tetap dapat bertingkah laku sosial dengan
individu lain.
2. H. Bonner dalam Santoso (2010), interaksi sosial adalah suatu hubungan antara
dua atau lebih individu manusia dimana kelakuan individu yang satu
mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau
sebaliknya.
3. Gillin dan Gillin dalam Soekanto (2003), interaksi sosial merupakan hubungan-
hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang
perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang
perorangan dengan kelompok manusia.
4. Soekanto (2003), mengungkapkan bahwa interaksi sosial itu sendiri merupakan
dasar proses sosial yang terjadi karena adanya hubungan-hubungan sosial yang
dinamis mencakup hubungan antar individu, antar kelompok, atau antara individu
dan kelompok.
5. Gerungan (2000), interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih
individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi,
mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya.
6. Dirdjosisworo dalam Syani (2002), interaksi sosial diartikan sebagai hubungan
sosial timbal balik yang dinamis secara perseorangan, antara kelompok, maupun
antara orang dengan kelompok manusia.
Dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial adalah hubungan manusia satu dengan
manusia yang lain baik orang perorangan, ataupun perorangan dengan kelompok, dan
satu kelompok dengan kelompok yang dan saling melakukan komunikasi serta terjadi
proses saling mempengaruhi satu yang lain.

Faktor-Faktor Interaksi Sosial


Kelangsungan interaksi sosial, sekalipun dalam bentuknya yang sederhana,
ternyata merupakan proses yang kompleks. Gerungan (2000) menyatakan bahwa faktor-
faktor yang menyebabkan terjadinya interaksi sosial adalah sebagai berikut pertama
faktor imitasi. Gabriel Tarde beranggapan bahwa seluruh kehidupan sosial sebenarnya
berdasarkan faktor imitasi. Walaupun pendapat ini ternyata berat sebelah, peranan imitasi
dalam interaksi sosial itu tidak kecil. Misalnya bagaimana seorang anak belajar berbicara.
Faktor imitasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses interaksi
sosial. Salah satu segi positifnya adalah bahwa interaksi dapat mendorong seseorang
untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Namun demikian, imitasi
mungkin pula mengakibatkan terjadinya hal-hal yang negatif dimana misalnya yang ditiru
adalah tindakan-tindakan yang menyimpang kecuali dari pada itu imitasi juga dapat
melemahkan atau bahkan mematikan pengembangan daya kreasi seseorang (Soekanto,
2003).
Imitasi secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap
perkembangan kepribadian individu. Suatu contoh yang baik dapat merangsang
perkembangan individu atau kelompok untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang
baik. Peranan imitasi dalam interaksi sosial juga mempunyai segi-segi yang negatif. Hal
ini apabila hal-hal yang diimitasi itu mungkinlah salah atau secara moral dan yuridis
harus ditolak. Apabila contoh demikian diimitasi orang banyak, proses imitasi itu dapat
menimbulkan terjadinya kesalahan kolektif yang meliputi jumlah serba besar.
Selain itu, adanya proses imitasi dalam interaksi sosial dapat menimbulkan
kebiasaan di mana orang mengimitasi sesuatu tanpa kritik, seperti yang berlangsung juga
pada faktor sugesti. Dengan kata lain, adanya peranan imitasi dalam interaksi sosial dapat
memajukan gejala-gejala kebiasaan malas berpikir kritis pada individu manusia yang
mendangkalkan kehidupannya.
Imitasi bukan merupakan dasar pokok dari semua interaksi sosial seperti yang
diuraikan oleh Gabriel tarde, melainkan merupakan suatu segi dari proses interaksi sosial,
yang menerangkan mengapa dan bagaimana dapat terjadi keseragaman dalam pandangan
dan tingkah laku di antara orang banyak.
Kedua faktor sugesti, dalam ilmu jiwa sosial dapat dirumuskan sebagai suatu
proses dimana seorang individu menerima suatu cara pengelihatan atau pedoman tingkah
laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu (Gerungan, 2000). Sugesti merupakan
tindakan seseorang untuk memberi pandangan atau sikap yang kemudian diterima.
Secara garis besar, terdapat beberapa keadaan tertentu serta syarat-syarat yang
memudahkan sugesti terjadi, yaitu:
1. Sugesti karena hambatan berpikir
Dalam proses sugesti terjadi gejala bahwa orang yang dikenainya mengambil alih
pandangan-pandangan dari orang lain tanpa memberinya pertimbangn-
pertimbangan kritik terlebih dahulu. Orang yang terkena sugesti itu menelan apa
saja yang dianjurkan orang lain. Hal ini tentu lebih mudah terjadi apabila ia –
ketika terkena sugesti –berada dalam keadaan ketika cara-cara berpikir kritis itu
sudah agak terkendala. Hal ini juga dapat terjadi – misalnya – apabila orang itu
sudah lelah berpikir, tetapi juga apabila proses berpikir secara itu dikurangi
dayanya karena sedang mangalami rangsangan-rangsangan emosional.
2. Sugesti karena keadaan pikiran terpecah-pecah (disosiasi)
Selain dari keadaan ketika pikiran kita dihambat karean kelelahan atau karena
rangsangan emosional, sugesti itu pun mudah terjadi pada diri seseorang apabila
ia mengalami disosiasi dalam pikirannya, yaitu apabila pemikiran orang itu
mengalami keadaan terpecah-belah. Hal ini dapat terjadi – misalnya – apabila
orang yang bersangkutan menjadi bingung karena ia dihadapkan pada kesulitan-
kesulitan hidup yang terlalu kompleks bagi daya penampungannya. Apabila
orang menjadi bingung, maka ia lebih mudah terkena sugesti orang lain yang
mengetahui jalan keluar dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya itu. Keadaan
semacam ini dapat pula menerangkan mengapa dalam zaman modern ini orang-
orang yang biasanya berobat kepada dokter juga mendatangi dukun untuk
memperoleh sugestinya yang dapat membantu orang yang bersangkutan
mengatasi kesulitan-kesulitan jiwanya.
3. Sugesti karena otoritas atau prestise
Dalam hal ini, orang cenderung menerima pandangan-pandangan atau sikap-
sikap tertentu apabila pandangan atau sikap tersebut dimiliki oleh para ahli dalam
bidangnya sehingga dianggap otoritas pada bidang tersebut atau memiliki prestise
sosial yang tinggi.
4. Sugesti karena mayoritas
Dalam hal ini, orang lebih cenderung akan menerima suatu pandangan atau
ucapan apabila ucapan itu didukung oleh mayoritas, oleh sebagian besar dari
golongannya, kelompknya atau masyarakatnya.
5. Sugesti karena ”will to believe”
Terdapat pendapat bahwa sugesti justru membuat sadar akan adanya sikap-sikap
dan pandangn-pandangan tertentu pada orang-orang. Dengan demikian yang
terjadi dalam sugesti itu adalah diterimanya suatu sikap-pandangan tertentu
karena sikap-pandangan itu sebenarnya sudah tersapat padanya tetapi dalam
kedaan terpendam. Dalam hal ini, isi sugesti akan diterima tanpa pertimbangan
lebih lanjut karena pada diri pribadi orang yang bersangkutan sudah terdapat
suatu kesediaan untuk lebih sadar dan yakin akan hal-hal disugesti itu yang
sebenarnya sudah terdapat padanya.
Ketiga, fakor identifikasi. Identifikasi merupakan suatu kecendurungan-
kecendurungan atau keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi identik
(sama) dengan orang lain (Soekanto, 2003). Menurut kamus istilah sosiologi identifikasi
adalah menerima kepercayaan dan nilai orang lain atau kelompok lain sebagai
kepercayaan dan nilai sendiri (Soekanto, 2003). Timbulnya identifikasi sebagai dasar
interaksi sosial menurut Freud, bahwa setiap individu mempunyai nafsu untuk
menempatkan diri pada situasi tertentu ketika individu itu berada bersama-sama individu
lain tetapi tidak semua individu dapat menempatkan diri sehingga sukar untuk
berperilaku dan bertingkah laku. Tujuan dari proses identifikasi adalah individu yang
bersangkutan ingin mempelajari tingkah laku maupun perilaku individu lain meskipun
tanpa disadari sebelumnya dan baru disadari apabila proses ini telah membawa hasil.
Identifikasi dalam psikologi berarti dorongan untuk menjadi identik (sama)
dengan seorang lain. Kecenderungan ini bersifat tidak sadar bagi anak dan tidak hanya
merupakan kecenderungan untuk menjadi seperti seseorang secara lahiriah saja, tetapi
justru secara batin. Artinya, anak itu secara tidak sadar mengambil alih sikap-sikap
orangtua yang diidentifikasinya yang dapat ia pahami norma-norma dan pedoman-
pedoman tingkah lakunya sejauh kemampuan yang ada pada anak itu.
Sebenarnya, manusia ketika ia masih kekurangan akan norma-norma, sikap-
sikap, cita-cita, atau pedoman-pedoman tingkah laku dalam bermacam-macam situasi
dalam kehidupannya, akan melakukan identifikasi kepada orang-orang yang dianggapnya
tokoh pada lapangan kehidupan tempat ia masih kekurangan pegangan. Demikianlah,
manusia itu terus-menerus melengkapi sistem norma dan cita-citanya itu, terutama dalam
suatu masyarakat yang berubah-ubah dan yang situasi-situasi kehidupannya serba ragam.
Ikatan yang terjadi antara orang yang mengidentifikasi dan orang tempat identifikasi
merupakan ikatan batin yang lebih mendalam daripada ikatan antara orang yang saling
mengimitasi tingkah lakunya. Di samping itu, imitasi dapat berlangsung antara orang-
orang yang tidak saling kenal, sedangkan orang tempat kita mengidentifikasi itu dinilai
terlebih dahulu dengan cukup teliti (dengan perasaan) sebelum kita mengidentifikasi diri
dengan dia, yang bukan merupakan proses rasional dan sadar, melainkan irasional dan
berlangsung di bawah taraf kesadaran kita.
Keempat faktor simpati yang dapat dirumuskan sebagai perasaan tertariknya
seseorang terhadap orang lain. Prosesnya berdasarkan perasaan semata-mata tidak
melalui penilaian yang berdasarkan resiko, dengan kata lain simpati adalah suatu proses
dimana seseorang merasa tertarik pada pihak lain (Soekanto, 2003). Faktor-faktor inilah
yang mendorong dalam proses interaksi sosial yang terjadi pada tiap kelompok pergaulan
hidup.
Simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, tetapi berdasarkan penilaian
perasaan sebagaimana proses identifikasi. Akan tetapi, berbeda dengan identifikasi,
timbulnya simpati itu merupakan proses yang sadar bagi manusia yang merasa simpati
terhadap orang lain. Peranan simpati cukup nyata dalam hubungan persahabatan antara
dua orang atau lebih. Patut ditambahkan bahwa simpati dapat pula berkembang perlahan-
lahan disamping simpati yang timbul dengan tiba-tiba.
Dalam pandangan lain faktor-faktor yang berpengaruh terhadap berhasil tidaknya
menentukan interaksi menurut (Santoso, 2010) adalah sebagai berikut pertama faktor
situasi sosial. Situasi sosial, memberi bentuk tingkah laku terhadap individu yang berada
dalam situasi tersebut. Misalnya, apabila berinteraksi dengan individu lainnya yang
sedang dalam keadaan berduka, pola interaksi yang dilakukan apabila dalam keadaan
yang riang atau gembira, dalam hal ini tampak pada tingkah laku individu yang harus
dapat menyesuaikan diri terhadap situasi yang dihadapi.
Kedua kekuasaan norma-norma kelompok, sangat berpengaruh terhadap
terjadinya interaksi sosial antar individu. Misalnya, individu yang menaati norma-norma
yang ada dalam setiap berinteraksi individu tersebut tak akan pernah berbuat suatu
kekacauan, berbeda dengan individu yang tidak menaati norma-norma yang berlaku,
individu itu pasti akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan sosialnya, dan
kekuasaan norma itu berlaku untuk semua individu dalam kehidupan sosialnya.
Ketiga, ada tujuan kepribadian yang dimiliki masing-masing individu sehingga
berpengaruh terhadap pelakunya. Misalnya, dalam setiap interaksi individu pasti
memiliki tujuan. Hal ini dapat dilihat ketika seorang warga berinteraksi dengan seorang
pedagang, ia memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Keempat, setiap individu berinteraksi sesuai dengan kedudukan dan kondisinya
yang bersifat sementara. Pada dasarnya status atau kedudukan yang dimiliki oleh setiap
individu adalah bersifat sementara, misalnya seorang warga yang biasa berinteraksi
dengan ketua RT, maka dalam hubungan itu terlihat adanya jarak antara seorang yang
tidak memiliki kedudukan yang menghormati orang yang memiliki kedudukan dalam
kelompok sosialnya.
Kelima, ada penafsiran situasi, dimana setiap situasi mengandung arti bagi setiap
individu sehingga mempengaruhi individu untuk melihat dan menafsirkan situasi
tersebut. Misalnya, apabila ada teman yang terlihat murung atau suntuk, individu lain
harus bisa membaca situasi yang sedang dihadapainya, dan tidak seharusnya individu lain
tersebut terlihat bahagia dan cerita dihadapannya. Bagaimanapun individu harus bisa
menyesuaikan diri dengan keadaan dengan keadaan yang sedang dihadapi dan berusaha
untuk membantu menfsirkan situasi yang tak diharapkan menjadi situasi yang
diharapkan.

Kontak sosial dan Komunikasi


Kontak Sosial
Berdasarkan pendapat para ahli sosiologi menunjukan bahwa interaksi sosial,
merupakan aspek dinamis dari kehidupan masyarakat. Dalam proses interaksi sosial
terdapat suatu proses hubungan antar manusia satu dengan yang lainnya. Proses
hubungan tersebut berupa antara aksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari
yang terus menerus. Antara aksi (interaksi) sosial, dimaksudkan sebagai pengaruh timbal
balik antara dua belah pihak, yaitu antara individu satu dengan individu atau kelompok
lainnya dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Terjadinya interaksi sosial sebagaimana yang dimaksud, karena adanya saling
mengerti tentang maksud dan tujuan masing-masing pihak dalam suatu hubungan sosial.
Menurut Rouceck dan Warren, interaksi adalah satu masalah pokok karena ia merupakan
dasar segala proses sosial. Interaksi merupakan proses timbal balik, dengan mana satu
kelompok dipengaruhi tingkah laku reaktif pihak lain dan dengan demikian ia
mempengaruhi tingkah laku orang lain melalui Kontak. Kontak ini mungkin berlangsung
melalui organisme, fisik, seperti dalam obrolan, pendengaran, melakukan gerakan pada
beberapa bagian badan, melihat dan lain-lain lagi, atau secara tidak langsung melalui
tulisan, atau dengan cara berhubungan dari jauh (Syani. 2010)
Dalam proses sosial, baru dapat dikatakan terjadi interaksi sosial, apabila telah
memenuhi persyaratan sebagai aspek kehidupan bersama, yaitu kontak sosial dan
komunikasi sosial. Hal ini menunjukan proses interkasi sosial dapat terjadi karena adanya
kontak sosial dan komunikasi sosial. Kontak sosial merupakan gejala sosial, dalam kaitan
ini kontak sebenarnya tidah harus dengan menyentuh, bisa saja misalnya hanya cukup
tersenyum.
Kontak sosial menunjukkan adanya hubungan masing-masing pihak dalam
berinteraksi baik dengan berbicara, tatap muka, maupun bersalaman. Perlambangan
kontak sosial adalah komunikasi. Artinya tidak ada kontak sosial tanpa adanya
komunikasi. Kontak sosial tejadi tidak semata-mata oleh karena adanya aksi belaka, akan
tetapi harus memenuhi syarat pokok kontak sosial, yaitu reaksi (tanggapan) dari pihak
lain sebagai lawan kontask sosial (Syani, 2010).
Dalam kontak sosial, dapat terjadi hubungan yang positif dan hubungan negatif.
Kontak sosial positif terjadi karena hubungan antara kedua belah pihak terdapat saling
pengertian, disamping menguntungkan masing-masing pihak tersebut, sehingga biasanya
hubungan dapat berlangsung lama, atau mungkin dapat berulang-ulang dan mengarah
kepada suatu kerja sama. Sedangkan kontak negatif tejadi oleh karena hubungan antara
kedua belah pihak tidak melahirkan saling pengertian, mungkin merugikan masing-
masing keduah belah pihak atau salah satu pihak, sehingga mengakibatkan suatu
pertentangan atau perselisihan. Dilihat dari caranya kontak sosial terdiri dari kontak sosial
secara langsung dan tidak langsung.
Kontak sosial secara langsung dapat dilihat dari bentuk kontak itu sendiri. Dalam
hal ini proses terjadinya kontak antara satu dengan lainnya dilakukan secara langsung
tanpa dibatasi melalui media apapun. Berjabat tangan, mengucapkan salam, menggobrol,
berpidato di muka umum merupakan contoh kontak langsung.
Kontak secara tidak langsung yaitu kontak yang terjadi antara pelaku dengan
menggunakan alat atau orang lain sebagai perantara. Contohnya penyampaian pesan
melalui radio atau televisi, ucapan selamat dengan menggunakan kartu atau hadiah seperti
parcel, kado dan lain-lain.
Dalam pandangan lain, Soedjono membedakan kontak sosial menjadi dua
macam, yaitu kontak sosial primer dan skunder. Yang primer adalah kontak sosial dalam
bentuk tatap muka, bertemu, jabatan tangan, bercak-cakap antara pihak-pihak yang
melakukan kontak sosial. Sedangkan yang bersifat sekunder adalah kontak yang tidak
langsung, yaitu suatu kontak sosial yang membutuhkan perantara. Hal ini sama halnya
dengan hubungan secara tidak langsung, misalnya; melalui telepon, radio, surat, dan lain-
lain ( Syani, 2010).

Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan)
dari satu pihak kepada pihak lain. Pada umumnya, komunikasi dilakukan secara lisan atau
verbal yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. apabila tidak ada bahasa verbal
yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan
menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum,
menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut komunikasi nonverbal.
Menurut Ruben dan Lea (2010), komunikasi adalah suatu proses dalam mana
seseorang atau beberapa orang, kelompok, organisasi, dan masyarakat menciptakan, dan
menggunakan informasi agar terhubung dengan lingkungan dan orang lain. Berelson dan
Starainer dalam Fisher adalah penyampaian informasi, ide, emosi, keterampilan, dan
seterusnya melalui penggunaan simbol kata, angka, grafik dan lain-lain (Fisher, 1990).
Sedangkan menurut Effendy (2008), komunikasi adalah peristiwa penyampaian ide
manusia.
Harold Lasswell dalam karyanya, The Structure and Function of Communication
in Society dalam Effendy (2005), mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan
komunikasi ialah menjawab pertanyaan sebagai berikut: Who Says What in Which
Channel To Whom With What Effect.
Dari pengertian diatas dapat dilihat bahwa komunikasi merupakan suatu proses
penyampaian pesan yang dapat berupa pesan informasi, ide, emosi, keterampilan dan
sebagainya melalui simbol atau lambang yang dapat menimbulkan efek berupa tingkah
laku yang dilakukan dengan media-media tertentu.

Unsur-Unsur Komunikasi dalam Interaksi Sosial


Dalam proses komunikasi setidaknya membutuhkan dua elemen penting yakni
pelekau komunikasi (komunikan dan komunikator) dan pesan. Lassweell menjabarkan
bahwa proses komunikasi terdiri dari Komunikator (communicator, source, sender),
pesan (message), media (channel, media ), komunikan (communicant, communicatee,
receiver, recipient ), efek (effect, impact, influence).
Aristoteles, ahli filsafat Yunani Kuno dbukunya rhetorica menyebutkan bahwa
proses komunikasi memerlukan tiga unsur yang mendukungnya, yakni siapa yang
berbicara, apa yang dibicarakan dan siapa yang mendengarkan. Pandangan Aristoteles ini
oleh sebagian besar pakar komunikasi dinilai lebih tepat untuk mendukung suatu proses
komunikasi public dalam bentuk pidato atau retorika. Hal ini bisa dimegerti, karena pada
zaman Aristoteles retorika menjadi bentuk komunikasi yang sangat popular bagi
masyarakat Yunani.
Claude E. Shannon dan Warren Weaver (1949) (Cangara, 2005), dua orang
insinyur listrik mengatakan bahwa terjadinya proses komunikasi memerlukan lima unsur
pendukungnya, yakni pengirim, transmitter, signal, penerima dan tujuan. Kesimpulan ini
didasarkan atas hasil studi yang mereka lakukan mengenai pengiriman pesan melalui
radio dan telepon.
Awal tahun 1960-an David k. Berlo membuat formula komunikasi yang leih
sederhana. Formula itu dikenal dengan nama “SMCR”, yakni Source (pengirim),
Message (pesan), Channel (saluran – media), dan Receiver (penerima).
Tercatat juga Charles Osgood, Gerald Miller dan Melvin L. de Fleur
menambahkan lagi unsur efek dan umpan balik (feedback) sebagai pelengkap dalam
membangun komunikasi yang sempurna. Kedua unsur ini nantinya lebih banyak
dikembangkan pada proses komunikasi antarpribadi (persona) dan komunikasi massa.
Perkembangan terakhir adalah munculnya pandangan dari Joseph de Vito, K.
Sereno dan Erika Vora yang minilai faktor lingkungan merupakan unsur yang tidak kalah
pentingnya dalam mendukung terjadinya proses komunikasi.
unsur-unsur komunikasi yang dikemukakan di atas dapat dijabarkan sebagai
berikut:
1. Sumber
Semua peristiwa komunikasi akan melibatkan sumber sebagai pembuat atau
pengirim informasi. Dalam komunikasi antarmanusia, sumber bisa terdiri dari
satu orang, tetapip bisa juga dalam bentuk kelompok misalnya partai, organisasi
atau lmbaga. Sumber sering disebut pengirim, komunikastor atau dalam bahasa
Inggrisnya disebut source, sender atau encode.
2. Pesan
Pesan yang dimaksud dalam proses komunikasi adalah sesuatu yang disampaikan
pengirim kepada penerima. Pesan dapat disampaikan dengan cara tatap muka
atau melalui media komunikasi. Isinya bisa berupa ilmu pengetahuan, hiburan,
informasi, nasihat atau propaganda. Dalam bahasa Inggris pesan biasanya
diterjemahkan dengan kata message, content atau information.
3. Media
Media yang dimaksud di sini adalah alat yang digunakan untuk memindahkan
pesan dari sumber kepada penerima. Terdapat beberapa pendapat mengenai
saluran atau media. Ada yang menilai bahwa media bisa bermacam-macam
bentuknya, misalnya dalam komunikasi antarpribadi pancaindera dianggap
sebagai media komunikasi.Dalam komunikasi massa, media adalah alat yang
dapat menghubungkan antara sumber dan penerima yang sifatnya terbuka,
dimana setiap orang dapat melihat, membaca dan mendengarnya. Media dalam
komunikasi massa dapat dibedakan kedalam dua kategori, yakni media cetak dan
media elektronik. Media cetak seperti halnya surat kabar, majalah, buku, leaflet,
brosur, stiker, buletin, hand out, poster, spanduk, dan sebagainya. Sedangkan
media elektronik antara lain: radio, film, televisi, video recording, komputer,
electronic board, audio cassette dan sebagainya.
4. Penerima
Penerima adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber.
Penerima bisa saja satu orang atau lebih, bisa dalam bentuk kelompok, partai atau
negara. Penerima biasa disebut dengan berbagai macam istilah, seperti khalayak,
sasaran, komunikan, atau dalam bahasa Inggrisnya disebut audience atau
receiver. Dalam proses komunikasi telah dipahami bahwa keberadaan penerima
adalah akibat karena adanya sumber. Tidak ada penerima jika tidak ada sumber.
Penerima adalah elemen penting dalam proses komunikasi, karena dialah yang
menjadi sasaran dari komunikasi. Jika suatu pesan tidak diterima oleh penerima,
akan menimbulkan berbagai macam masalah yang seringkali menuntut
perubahan, apakah pada sumber, pesan atau saluran.
5. Efek
Pengaruh atau efek adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan, dan
dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. Pengaruh ini bisa
terjadi pada pengetahuan, sikap dan tingkah laku seseorang, karena pengaruh
juga bisa diartikan perubahan atau penguatankeyakinan pada pengetahuan, sikap
dan tindakan seseorang sebagai akibat penerimaan pesan.
6. Umpan balik
Ada yang beranggapan bahwa umpan balik sebenarnya adalah salah satu bentuk
daripada pengaruh yang berasal dari penerima. Akan tetapi sebenarnya umpan
balik bisa juga berasal dari unsur lain seperti pesan dan media, meski pesan
belum sampai pada penerima. Misalnya sebuah konsep surat yang memerlukan
perubahan sebelum dikirim, atau alat yang digunakan untuk menyampaikan
pesan ittu mengalami gangguan sebelum sampai ke tujuan. Hal-al seperti ini
menjadi tanggapan balik yang diterima oleh sumber.
7. Lingkungan
Lingkungan atau situasi adalah faktor-faktor tertentu yang dapat mempengaruhi
jalannya komunikasi. Faktor ini dapat digolongkan atas empat macam, yakni
lingkungan fisik, lingkungan sosial budaya, lingkungan psikologis, dan dimensi
waktu.

Bentuk Komunikasi dalam Interaksi Sosial


Interaksi sosial dapat terjadi dalam berbagai situasi. Dalam konteks komunikasi
interaksi sosial dapat melalui bentuk komunikasi sebagai berikut:
1. Komunikasi antarpersona
R. Wayne Pace (1979) dalam Cangara (2005) mengemukakan bahwa komunikasi
antarpribadi atau communication interpersonal merupakan proses komunikasi
yang berlangsung antara dua orang atau lebih secara tatap muka dimana pengirim
dapat menyampaikan pesan secara langsung dan penerima pesan dapat menerima
dan menanggapi secara langsung. Menurut Effendi, pada hakekatnya komunikasi
interpersonal adalah komunikasi antar komunikator dengan komunikan,
komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam upaya mengubah sikap,
pendapat atau perilaku seseorang, karena sifatnya yang dialogis berupa
percakapan. Arus balik bersifat langsung, komunikator mengetahui tanggapan
komunikan ketika itu juga. Pada saat komunikasi dilancarkan, komunikator
mengetahui secara pasti apakah komunikasinya positif atau negatif, berhasil atau
tidaknya. Jika ia dapat memberikan kesempatan pada komunikan untuk bertanya
seluas-luasnya (Sunarto, 2011). Redding yang dikutip Budyatna (2011)
mengembangkan klasifikasi komunikasi interpersonal menjadi interaksi intim,
percakapan sosial, interogasi atau pemeriksaan dan wawancara.
a. Interaksi intim termasuk komunikasi di antara teman baik, anggota
famili, dan orang-orang yang sudah mempunyai ikatan emosional yang
kuat.
b. Percakapan sosial adalah interaksi untuk menyenangkan seseorang secara
sederhana. Tipe komunikasi tatap muka penting bagi pengembangan
hubungan informal dalam organisasi.
c. Interogasi atau pemeriksaan adalah interaksi antara seseorang yang ada
dalam kontrol, yang meminta atau bahkan menuntut informasi dari yang
lain.
d. Wawancara adalah salah satu bentuk komunikasi interpersonal di mana
dua orang terlibat dalam percakapan yang berupa tanya jawab.
2. Komunikasi kelompok
Komunikasi dalam kelompok merupakan bagian dari kegiatan keseharian. Sejak
lahir sudah mulai bergabung dengan kelompok primer yang paling dekat, yaitu
keluarga. Kemudian seiring dengan perkembangan usia dan kemampuan
intelektualitas, masuk dan terlibat dalam kelompok-kelompok sekunder seperti
sekolah, lembaga agama, tempat pekerjaan dan kelompok sekunder lainnya yang
sesuai dengan minat ketertarikan (Sendjaja, 1994). Kelompok memiliki tujuan
dan aturan-aturan yang dibuat sendiri dan merupakan konstribusi arus informasi
diantara mereka. Sehingga mampu menciptakan atribut kelompok sebagai bentuk
karakteristik yang khas dan melekat pada kelompok itu (Bungin, 2009).
Komunikasi kelompok terklasifikasi menjadi kelompok kecil dan besar.
Komunikasi kelompok kecil apabila situasi komunikasi seperti itu dapat diubah
menjadi komunikasi antarpesona dengan setiap komunikan. Komunikasi
kelompok besar jika antara komunikator dan komunikan sukar terjadi komunikasi
antarpersona. Kecil kemungkinan untuk terjadi dialog seperti halnya pada
komunikasi kelompok kecil (Effendy, 2008).
3. Komunikasi Massa
Komunikasi massa adalah proses penyampaian pesan seseorang kepada orang
lain untuk memberitahukan atau mengubah sikap, pendapat atau perilaku baik
secara langsung maupun tidak langsung melalui media. Massa ditandai oleh
komposisi yang selalu berubah dan berada pada batas wilayah yang selalu
berubah pula. Ia tidak bertindak untuk dirinya sendiri, tetapi ”dikendalikan”
untuk melakukan suatu tindakan. Para anggotanya heterogen dan banyak sekali
jumlahnya, serta berasal dari lapisan sosial dan kelompok yang demografis.
Meskipun demikian, dalam menentukan suatu objek perhatian tertentu mereka
selalu bersikap sama dan berbuat sesuai dengan persepsi orang yang akan
memanipulasi mereka. Komunikasi massa merupakan salah satu proses
komunikasi yang berlangsung pada peringkat masyarakat luas, yang
identifikasinya ditentukan oleh ciri khas institusionalnya (gabungan antara tujuan,
organisasi, dan kegiatan yang sebenarnya). Komunikasi massa adalah komunikasi
yang dilakukan oleh media massa modern, misalnya : televisi, radio, majalah,
surat kabar, film. Everest M. Rogers, berpendapat bahwa selain media massa
modern, ada media massa tradisional yang meliputi teater rakyat, juru dongeng
keliling, juru pantun dan lain-lain (Effendy, 2008). Ardianto (2007) menyebutkan
beberapa karakterisitik komunikasi massa yakni:
a. Komunikator terlembagakan. Dalam hal ini komunikasi massa itu
melibatkan lembaga dan komunikator lainnya adalah lembaga media
massa. Lembaga ini adalah sebuah sistem organisasi yang melakukan
kegiatan mengolah, meyimpan, menuangkan ide, gagasan, simbol,
lambang menjadi pesan untuk dikirimkan kepada komunikan.
b. Bersifat umum. Komunikasi massa ditujukan untuk semua orang dan
tidak ditujukan untuk sekelompok orang tertentu. Pesan komunikasi
massa dapat berupa fakta, peristiwa atau opini. Dengan kata lain, pesan-
pesannya ditujukan pada khalayak yang plural.
c. Komunikan bersifat anonim dan heterogen dalam hal ini komunikator
tidak mengenal komunikan (anonim) dan terdiri dari berbagai lapisan
masyarakat yang berbeda faktor usia, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, latar belakang budaya, agama dan tingkat ekonomi
(heterogen).
d. Menimbulkan keserempakan. Menunjukkan dalam komunikasi massa
terjadi kontak secara bersama dengan sejumlah besar penduduk dalam
jarak yang jauh dari komunikator dan penduduk tersebut satu sama
lainnya berada dalam keadaan terpisah.
e. Mengutamakan isi daripada hubungan. Setiap komunikasi melibatkan
unsur isi dan unsur hubungan sekaligus. Dalam komunikasi massa, pesan
harus disusun sedemikian rupa berdasarkan sistem tertentu dan
disesuaikan dengan karakteristik media massa yang akan digunakan.
f. Bersifat satu arah. Dalam hal ini komunikator dan komunikan tidak dapat
melakukan kontak langsung. Komunikator aktif menyampaikan pesan,
komunikan juga aktif menerima pesan, namun diantara keduanya tidak
dapat melakukan dialog lebih mendalam.
g. Stimulasi alat indera terbatas. Dalam komunikasi massa, stimulasi alat
indera bergantung pada jenis media massa. Pada surat kabar dan majalah
pembaca hanya melihat. Pada radio siaran, khalayak hanya mendengar
dan pada media televisi, film dan internet khalayak menggunakan indera
pengelihatan dan pendengaran.
h. Umpan balik tertunda (delayed). Dalam hal ini umpan balik komunikan
terhadap komunikator tertunda tidak seperti komunikasi antarpribadi atau
komunikasi kelompok, feedback dalam komunikasi massa dapat
langsung diketahui.
Hal penting komunikasi dalam interaksi sosial adalah kualitas. Kualitas
komunikasi akan berpengaruh terhadap kualitas interaksi sosial. Untuk mendapatkan
kualitas diperlukan komunikasi yang efektif yakni komunikasi yang mampu
menghasilkan perubahan sikap (attitude change) pada orang yang terlibat dalam
komunikasi dan saling bertukar informasi, ide, kepercayaan, perasaan dan sikap antara
dua orang atau kelompok yang hasilnya sesuai dengan harapan.
Kontak dan komunikasi merupakan awal terjadinya interaksi sosial, interaksi
tidak mungkin terjadi bila sebelumnya tidak ada kontak dan komunikasi. Kontak dan
komunikasi sama-sama memiliki tujuan yaitu untuk menciptakan kerja sama dan
kesamaan tujuan yang dimaksud oleh kedua belah pihak yang melakukan interaksi.
Kontak dan komunikasi tidak selamanya berjalan dengan baik. Kontak dan komunikasi
ada yang bersifat positif dan negatif. Bersifat positif apabila kontak dan komunikasi
tersebut menciptakan kerjasama yang baik sehingga tercapai tujuan bersama kedua belah
pihak. Bersifat negatif apabila tidak tercapai kerjasama, dan menimbulkan bentrokan atau
pertentangan antar kedua belah pihak yang melakukan interaksi.

Interaksi Sosial dalam Perspektif Hubungan Interpersonal


Masyarakat merupakan hasil proses sosial. Proses tersebut berkelindan dari satu
tahap ketahap berikutnya secara berputar sehingga setelah sampai pada tahap akhir dari
siklus, dimungkinkan untuk kembali ke tahap awal. Proses ini dilihat dari hubungan pola
hubungan interpersonal dimulai dari perkenalan menuju kebersamaan, kemudian
perpisahan, kembali lagi pada tahap awal. Siklus hubungan interpersonal antara lain:
1. Tahap Perkenalan
Tahap ini ditandai adanya tindakan memulai. Biasanya dilakukan dengan hati-
hati agar terbentuk persepsi dan kesan pertama yang baik. Tahap ini merupakan
langkah pertama, fase kontak permulaan (Suranto, 2011). Menurut William
Brooks dan Philip Emert bahwa kesan pertama sangat menentukan, kerana itu
hal-hal yang pertama kelihatan menjadi sangat penting. Penampilan fisik, apa
yang diucapkan pertama, apa yang dilakukan pertama menjadi penentu penting
terhadap pembentukan citra pertama orang tersebut (Rahmat, 1991)
2. Penjajagan (Experimenting)
Penjajagan, merupakan usaha mengenal diri orang lain. Tahap ini dignakan untuk
mencari perbedaan dan kesamaan masin-masing individu. Bila merasa ada
kesamaan maka dilakukan proses mengungkapkan diri, mengidentifikasi status
social, misalnya sosial, ekonomi, pendidikan maupun agam, dan sebagainya,
(Suranto, 2011). Disebut juga dengan pertukaran penjajakan afeksi, pada tahap
ini ada kesediaan untuk anttar individu membolehkan individu lain mengetahui
dan memahami satu sama lain (Dayaksini dan Hudaniah, 2012).
3. Penggiatan (Intensifying)
Penggiatan menandai awal keintiman, berbagai informasi pribadi, akrab sehingga
banyak perubahan ketika berinteraksi. Derajat keterbukaan lebih besar, frekuensi
komunikasi juga semakin tinggi (Suranto, 2011). Disebut juga dengan pertukaran
afeksi, interkasi melibatkan beberapa aspek pribadi. Terjadi peningkatan
komunikasi yang menitikberatkan pada wilayah pribadi, bahkan ungkapan
perasaan yang mendalam ditunjukkan (Dayaksini dan Hudaniah, 2012).
4. Pengikatan (Bonding)
Tahap yang lebih formal terjadi bila dua orang mulai menganggap diri mereka
sendiri sebagai pasangan. Dapat berupa pasangan, persahabatan, suatu kelompok,
dan sebagainya (Suranto, 2011).
5. Kebersamaan
Tahap ini merupakan tahap puncak hubungan interpersonal. Hakikat
kebersamaan adalah bahwa mereka saling menerima seperangkat aturan yang
mengatur hidup mereka. Perasaan saling menerima, saling menghargai, dan
saling menghormati (Suranto, 2011).
Pada fase kebersamaan bukan berarti struktur masyarakat bersifat ajeg. Interaksi
yang ada di masyarakat akan menuju pada fase perenggangan yang meliputi:
1. Tahap membedakan (differentiating), pada tahap ini, toleransi terhadap perilaku
orang lain mulai menurun.
2. Tahap membatasi (circum scaribing), terjafi ketika salah satu piha mulai
membahas menegenai hubungan, tetapi pihak lain berusaha untuk menghindar.
3. Tahap memacetkan (stagnating), komunikasi hanya terjadi karena terpakasa dan
dilakukan sangat hati – hati.
4. Tahap pemutusan hubungan (terminating), dilakukan melalui pernyataan
mengenai jarak dan pemisahan diri, sehingga di harapakan komunikasi dapat
semaikin terhalang.
Dalam pandangan Rakhmat (2003) hubungan interpersonal mulai terbentuk
ketika individu dan orang lain bertemu dan berbagi pengalaman, bila menyenangkan
permainan peranan akan berlangsung seperti yang diharapkan sehingga hubungan
komplementer akan dilanjutkan, dipertahankan dan diperkokoh. Sebaliknya jika
hubunngan menimbulkan ketidakcocokan maka hubungan akan berakhir. Secara umum
hubungan interpersonal akan melewati tiga tahap yakni:
1. Tahap pembentukan atau perkenalan
Tahap ini sering disebut tahap perkenalan. Beberapa peneliti seperti Newcomb
(1961), Berger (1973), Zunin (1972), dan Duck (1976) dalam Rakhmat (2003),
telah menemukan hal-hal menarik dari proses perkenalan. Fase pertama, “fase
kontak yang permulaan”, ditandai oleh usaha kedua belah pihak untuk
menangkap informasi dari reaksi kawannya. Masing-masing pihak berusaha
menggali secepatnya identitas, sikap dan nilai pihak yang lain. Bila mereka
merasa ada kesamaan, mulailah dilakukan proses mengungkapkan diri. Pada
tahap ini informasi yang dicari meliputi data demografis (kependudukan), usia,
pekerjaan, tempat tinggal, keadaan keluarga dan sebagainya. Apabila mereka
merasa berbeda, mereka akan berusaha menyembunyikan dirinya sehingga
hubungan interpersonal mungkin diakhiri.
2. Peneguhan hubungan
Hubungan interpersonal tidaklah bersifat statis, tetapi selalu berubah. Untuk
memelihara dan memperteguh hubungan interpersonal, diperlukan tindakan-
tindakan tertentu untuk mengembalikan keseimbangan (equilibrium). Ada empat
faktor penting dalam memelihara keseimbangan ini, yaitu:
a. Faktor keakraban. Keakraban merupakan pemenuhan kebutuhan akan
kasih sayang. Hubungan interpersonal akan terperlihara apabila kedua
belah pihak sepakat tentang tingkat keakraban yang diperlukan.
b. Faktor kedua adalah kesepakatan tentang siapa yang akan mengontrol
siapa, dan bilamana. Jika dua orang mempunyai pendapat yang berbeda
sebelum mengambil kesimpulan, siapakah yang harus berbicara lebih
banyak, siapa yang menentukan, dan siapakah yang dominan. Konflik
terjadi umumnya bila masing-masing ingin berkuasa, atau tidak ada
pihak yang mau mengalah.
c. Faktor ketepatan respons. Di mana, respons A harus diikuti oleh respons
yang sesuai dari B. Dalam percakapan misalnya, pertanyaan harus
disambut dengan jawaban, lelucon dengan tertawa, permintaan
keterangan dengan penjelasan. Respons ini bukan saja berkenaan dengan
pesan-pesan verbal, tetapi juga pesan-pesan nonverbal. Jika pembicaraan
yang serius dijawab dengan main-main, ungkapan wajah yang
bersungguh-sungguh diterima dengan air muka yang menunjukkan sikap
tidak percaya, maka hubungan interpersonal mengalami keretakan. Ini
berarti kita sudah memberikan respons yang tidak tepat.
d. Faktor keserasian suasana emosional ketika komunikasi sedang
berlangsung. Walaupun mungkin saja terjadi interaksi antara dua orang
dengan suasana emosional yang berbeda, tetapi interaksi itu tidak akan
stabil. Besar kemungkinan salah satu pihak akan mengakhiri interaksi
atau mengubah suasana emosi.
3. Pemutusan hubungan
Hubungan interpersonal dapat berakhir bila terjadi konflik sehingga hubungan
tidak dapat dipertahankan lagi. Beberapa sumber konflik yang menjadi penyebab
berakhirnya suatu hubungan interpersonal meliputi, kompetisi di mana salah
satu pihak berusaha memperoleh sesuatu dengan mengorbankan orang lain. R.D.
Nye (1973) dalam Jalaluddin Rakhmat (2003) mengatakan bahwa setidaknya ada
lima sumber konflik yang dapat menyebabkan pemutusan hubungan yaitu:
a. Kompetisi; adalah di mana salah satu pihak berusaha memperoleh
sesuatu dengan mengorbankan orang lain. Misalnya, menunjukkan
kelebihan dalam bidang tertentu dengan merendahkan orang lain.
b. Dominasi; adalah di mana salah satu pihak berusaha mengendalikan
pihak lain sehingga orang tersebut merasakan hak-haknya dilanggar.
c. Kegagalan; adalah di mana masing-masing berusaha menyalahkan yang
lain apabila tujuan bersama tidak tercapai.
d. Provokasi; adalah di mana salah satu pihak terus-menerus berbuat
sesuatu yang ia ketahui menyinggung perasaan yang lain.
e. Perbedaan nilai; adalah di mana kedua pihak tidak sepakat tentang nilai-
nilai yang mereka anut.
Proses hubungan interpersonal tidak selamnya akan berada pada titik
kematangan. Artinya terjadi proses proses perkenalan dan perpisahan adalah proses alami
yang terjadi dalam interkasi sosial di masyarakat. Meski demikian pergerakan dari
kebersamaan menuju perenggangan tergantung dari sistem yang ada pada masyarakat.
Bagi masyarakat yang menganut sistem kebersamaan seperti masyarakat pedesaan proses
ini berjalan secara lamban. Hal ini berbeda dengan masyarakat kota. Meski demikian
proses tersebut akan senantiasa ada dalam suatu masyarakat.
Suranto (2010) mengatakan bahwa untuk memelihara dan memperteguh
hubungan interpersonal, diperlukan tindakan-tindakan tertentu untuk mengembalikan
keseimbangan. Hal itu disebabkan, salah satu keadaan yang dapat memelihara
kebersamaan adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban. Jadi selama kedua belah
pihak masih secara seimbang merasa memperoleh manfaat dari hubungan interpersonal
itu, maka akan ada tindakan nyata untuk memeliharanya dalam suasana kebersamaan.
Secara teoritis, hubungan interpersonal akan terjaga manakala kedua belah pihak
sama-sama memperoleh manfaat dari hubungan tersebut. Apabila salah satu pihak sudah
merasa tidak memperoleh manfaat, apalagi merasa dikhianati, maka hubungan
interpersonal dapat tergelincir kepada situasi kadar hubungan yang makin buruk, bahkan
pemutusan, ada beberapa faktor yang memicu penurunan kadar hubungan interpersonal
yaitu kompetisi, dominasi, saling menyalahkan, meremehkan dan perbedaan nilai
(Suranto, 2010).
Pola-pola komunikasi interpersonal mempunyai efek yang berlainan pada
hubungan interpersonal. Tidak benar anggapan orang bahwa makin sering orang
melakukan komunikasi interpersonal dengan orang lain, makin baik hubungan mereka,
yang menjadi soal bukanlah berapa kali komunikasi dilakukan, tetapi bagaimana
komunikasi itu dilakukan. Bila antara Anda dengan Saya berkembang sikap curiga,
makin sering anda berkomunikasi dengan Saya makin jauh jarak Kita. Maka perlu
dipahami bahwa ada
Faktor-faktor yang dapat menumbuhkan hubungan interpersonal yang baik
menurut Jalaluddin Rakhmat (2003) yaitu:
1. Percaya (trust)
Faktor percaya adalah yang paling penting karena dengan percaya itu berarti akan
membuat kita banyak membuka diri tentang kita kepada orang yang kita percaya
dan karena kita yakin orang tersebut tidak akan mengkhianati atau merugikan
kita. Sejak tahap pertama dalam hubungan interpersonal (tahap perkenalan),
sampai tahap kedua (tahap peneguhan), percaya menentukan efektivitas
komunikasi.
2. Sikap suportif
Sikap suportif adalah sikap yang mengurangi sikap defentif dalam komunikasi.
Orang bersikap defentif bila ia tidak menerima, tidak jujur, dan tidak empatis.
Sudah jelas, dengan sikap defentif komunikasi interpersonal akan gagal karena
orang defentif akan lebih banyak melindungi diri dari ancaman yang
ditanggapinya dalam situasi ketimbang memahami pesan orang lain. Komunikasi
defentif dapat terjadi karena faktor-faktor personal (ketakutan, kecemasan, harga
diri yang rendah, pengalaman defentif dan sebagainya).
3. Sikap terbuka (open-mindedness)
Sikap terbuka sangat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan komunikasi
interpersonal yang efektif. Karakteristik sikap terbuka yaitu menilai pesan secara
objektif, dengan menggunakan data dan keajegan logika, berorientasi pada isi,
mencari informasi dari berbagai sumber dan sebagainya.
Adapun sikap-sikap yang tidak mendorong hubungan interpersonal baik bahkan
merusakan diantaranya adalah:
1. Etnosentris
Menurut Matsumoto (1996) etnosentrisme adalah kecenderungan untuk melihat
dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Istilah ini sering dipandang 
negatif, yang didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk melihat orang lain
dengan cara di luar latar belakang budaya anda sendiri. Sebuah definisi terkait
etnosentrisme memiliki kecenderungan untuk menilai orang dari kelompok,
masyarakat, atau gaya hidup yang lain sesuai dengan standar dalam kelompok
atau budaya sendiri, seringkali melihat kelompok lainnya sebagai inferior (lebih
rendah) (Healey, 1998; Noel, 1968).
2. Streotipe
Dalam The Blackweel Encyclopedia of Social Psychology (Manstead dan
Hewstone, 1996) stereotipe didefinisikan sebagai keyakinan-keyakinan tentang
karakteristik seseorang (ciri kepribadian, perilaku, nilai pribadi) yang diterima
sebagai suatu kebenaran kelompok sosial. Stereotip adalah menyamaratakan citra
kita tentang kelompok orang lain, terutama tentang karakteristik psikologis
mereka atau ciri kepribadiannya. stereotip merupakan bagian integral dan penting
dari sebuah paket lengkap dari proses psikologis yang merupakan rasa diri dan
konsep diri. Mereka sangat erat terkait dengan emosi, nilai, dan inti diri, dan
dengan demikian, sulit untuk mengubahnya. Stereotip adalah kombinasi dari ciri-
ciri yang paling sering diterapkan oleh suatu kelompok tehadap kelompok lain,
atau oleh seseorang kepada orang lain (Soekanto, 2003). Secara lebih tegas
Matsumoto (1996) mendefinisikan stereotip sebagai generalisasi kesan yang kita
miliki mengenai seseorang terutama karakter psikologis atau sifat kepribadian.
3. Prasangka
Prasangka sosial (Manstead dan Hewstone, 1996) didefinisikan sebagai suatu
keadaan yang berkaitan dengan sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan. Yaitu,
ekspresi perasaan negatif, penunjukkan sikap bermusuhan atau perilaku
diskriminatif terhadap anggota kelompok lain. Prasangka sosial yang pada
mulanya hanya merupakan sikap-sikap perasaan negatif itu, lambat-laun
menyatakan dirinya dalam tindakan-tindakan yang diskriminatif terhadap orang-
orang yang termasuk golongan yang diprasangkai itu, tanpa terdapat alasan-
alasan yang objektif pada pribadi orang yang dikenakan tindakan-tindakan
diskriminatif. Prasangka ini dapat bersumber dari dorongan sosiopsikologis,
proses-proses kognitif, dan pengaruh keadaan sosiokultural terhadap individu dan
kelompoknya (Manstead dan Hewstone, 1996).
4. Deskriminasi
Menurut Theodorson & Theodorson, (1979): Diskriminasi adalah perlakuan yang
tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu,
biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras,
kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Istilah tersebut
biasanya akan untuk melukiskan, suatu tindakan dari pihak mayoritas yang
dominan dalam hubungannya dengan minoritas yang lemah, sehingga dapat
dikatakan bahwa perilaku mereka itu bersifat tidak bermoral dan tidak demokrasi.
Dalam arti tersebut, diskriminasi adalah bersifat. Aktif atau aspek yang dapat
terlihat (overt) dari prasangka yang bersifat negatif (negative prejudice) terhadap
seorang individu atau suatu kelompok.
Untuk menganalisis hubungan interpersonal, menurut Goleman dan Hammen
dalam Rakhmat (2003) terdapat empat buah model, yaitu:
1. Model pertukaran sosial (social exchange model)
Diasumsikan bahwa transaksi-transaksi pertukaran akan terjadi hanya jika kedua
belah pihak dapat memperoleh keuntungan dari pertukaran itu, dan bahwa
kesejahteraan masyarakat pada umumnya dapat dengan baik sekali dijamin
apabila individu-individu diberikan untuk mengejar kepentingan pribadinya
melalui pertukaran-pertukaran yang dirembukkan secara pribadi. Tekanan yang
sama pada tujuan-tujuan individual dan imbalannya (reward) inilah yang juga
menandai sifat teori pertukaran masa kini di Amerika (Johnson, 1986). Model ini
memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Pada model
ini, orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang
memenuhi kebutuhannya. Thibault dan Kelley dalam Jalaluddin Rakhmat (2011)
menyimpulkan model ini sebagai asumsi dasar yang mendasari seluruh analisis
kami adalah bahwa setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam
hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari
segi ganjaran dan biaya.
2. Model peranan (role model)
Model ini memandang hubungan interpersonal sebagai panggung sandiwara.
Disini setiap orang harus memainkan peranannya sesuai dengan “naskah” yang
telah dibuat oleh masyarakat. Cohen, (1992) terdapat beberapa bagian dalam
peranan yakni:
a. Peranan nyata (Anacted Role) adalah suatu cara yang betul-betul
dijalankan seseorang dalam menjalankan suatu peranan.
b. Peranan yang dianjurkan (Prescribed Role) adalah cara yang diharapkan
masyarakat dari kita dalam menjalankan peranan tertentu.
c. Konflik peranan (Role Conflick) adalah suatu kondisi yang dialami
seseorang yang menduduki suatu status atau lebih yang menuntut
harapan dan tujuan peranan yang saling bertentangan satu sama lain.
d. Kesenjangan Peranan (Role Distance) adalah Pelaksanaan Peranan secara
emosional.
e. Kegagalan Peran (Role Failure) adalah kagagalan seseorang dalam
menjalankan peranan tertentu.
f. Model peranan (Role Model) adalah seseorang yang tingkah lakunya kita
contoh, tiru, diikuti.
g. Rangkaian atau lingkup peranan (Role Set) adalah hubungan seseorang
dengan individu lainnya pada saat dia sedang menjalankan perannya.
Ketegangan peranan (Role Strain) adalah kondisi yang timbul bila
seseorang mengalami kesulitan dalam memenuhi harapan atau tujuan
peranan yang dijalankan dikarenakan adanya ketidakserasiaan yang
bertentangan satu sama lain.
3. Model permainan
Model ini berasal dari psikiater Berne (1964). Analisisnya kemudian dikenal
sebagai analisis transaksional. Dalam model ini, orang-orang berhubungan dalam
bermacam-macam permainan. Mendasari permainan ini adalah tiga bagian
kepribadian manusia yaitu: orang tua (parent), orang dewasa (adult), dan anak
(child).
4. Model interaksional (interactional model)
Teori interaksi simbolik mengasumsikan bahwa individu-individu melalui aksi
dan interaksinya yang komunikatif, dengan memanfaatkan simbol-simbol bahasa
serta isyarat lainnya yang akan mengonstruk masyarakatnya, (Soeprapto, 2002).
Model ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu sistem. Setiap
sistem memiliki sifat struktural, integratif, dan medan. Semua sistem, terdiri atas
subsistem-subsistem yang saling bergantung dan bertindak bersama sabagai satu
kesatuan. Setiap hubungan interpersonal harus dilihat dari tujuan bersama,
metode komunikasi, ekspektasi dan pelaksanaan peranan, serta permainan yang
dilakukan. Dalam perspektif Blumer, teori interaksi simbolik mengandung
beberapa ide dasar, yaitu:
a. Masyarakat terdiri atas manusia yang bertinteraksi. Kegiatan tersebut
saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk struktur sosial.
b. Interaksi terdiri atas berbagai kegiatan manusia yang berhubungan
dengan kegiatan manusia lain. Interaksi nonsimbolis mencakup stimulus
respons, sedangkan interaksi simbolis mencakup penafsiran tindakan-
tindakan.
c. Objek-objek tidak memiliki makna yang intrinsik. Makna lebih
merupakan produk interaksi simbolis. Objek-objek tersebut dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu objek fisik, objek sosial,
dan objek abstrak.
d. Manusia tidak hanya mengenal objek eksternal. Mereka juga melihat
dirinya sebagai objek.
e. Tindakan manusia adalah tindakan interpretasi yang dibuat manusia itu
sendiri.
f. Tindakan tersebut saling berkaitan dan disesuaikan oleh anggota-anggota
kelompok.Ini merupakan “tindakan bersama”. Sebagian besar “tindakan
bersama” tersebut dilakukan berulang-ulang, namun dalam kondisi yang
stabil. Kemudian di saat lain ia melahirkan kebudayaan. (Bachtiar, 2006).
Kemampuan dalam membangun hubungan interpersonal pada seseorang akan
membantu mengembangkan kemampuan dan keterampilan dalam bersosialisasi. Pada
individu yang memiliki ketrampilan dan kemampuan dalam membangun hubungan
interpersonal akan berkorelasi terhadap kualitas diri terutama terkait dengan
penerimaannya di masyarakat.

Bentuk Interaksi Sosial


Proses Asosiatif
Proses Asosiatif, pada hakikatnya proses ini mempunyai kecenderungan untuk
membuat masyarakat bersatu dan meningkatkan solidaritas di antara anggota kelompok.
Proses assosiatif terdiri dari pertama kerjasama atau cooperation. Menurut Sarwono
(2005) dimaksudkan sebagai suatu usaha bersama antara orang perorangan atau
kelompok manusia untuk mencapai satu atau berapa tujuan bersama.
Kerjasama merupakan bentuk interaksi sosial yang pokok. Kerja sama di sini
dimaksudkan sebagai suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok
manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Fungsi kerjasama
digambarkan oleh Charles H.Cooley yakni kerjasama timbul apabila orang menyadari
bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang
bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk
memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut, kesadaran akan adanya kepentingan-
kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta penting dalam
kerjasama yang berguna (Kolip dan Usman, 2011).
Bentuk dan pola-pola kerja sama dapat dijumpai pada semua kelompok masyarakat
mulai sejak masa kanak-kanak di dalam kehidupan keluarga atau kelompok-kelompok
kekerabatan. Bentuk kerja sama tersebut berkembang jika pelaku-pelaku kerjasama
digerakkan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan muncul kesadaran bahwa tujuan
tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi semua.
Kerja sama timbul karena orientasi orang perorangan terhadap kelompoknya (in-
group-nya) dan kelompok lainnya (out-group-nya). Kerja sama mungkin akan bertambah
kuat apabila ada bahaya luar yang mengancam atau ada tindakan-tindakan luar yang
menyinggung kesetiaan yang secara tradisional atau institusional telah tertanam di dalam
kelompok, dalam diri seseorang atau segolongan orang. Kerja sama dapat bersifat agresif
apabila kelompok dalam jangka waktu yang lama mengalami kekecewaan sebagai akibat
perasaan tidak puas, karena keinginan-keinginan pokoknya tak dapat terpenuhi oleh
karena adanya rintangan-rintangan yang bersumber dari luar kelompok itu.
Menurut Soekanto (2003) dalam buku Pengantar Sosiologi menyatakan bahwa
kerjasama memiliki empat bentuk yaitu:
1. Kerjasama spontan (Spontaneous Cooperation) : Kerjasama yang sertamerta
2. Kerjasama langsung (Directed Cooperation) : Kerjasama yang merupakan hasil
perintah atasan atau penguasa
3. Kerjasama kontrak (Contractual Cooperation) : Kerjasama atas dasar tertentu
4. Kerjasama tradisional (Traditional Cooperation) : Kerjasama sebagai bagian atau
unsur dari sistem sosial.
Lebih lanjut Soekanto (2003) membagi pelaksanaan kerja sama, ke dalam lima
bentuk, yaitu:
1. Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong-menolong.
2. Bargaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang-barang
dan jasa-jasa antara dua organisasi atau lebih.
3. Ko-optasi (Co-optation), yaitu suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam
kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi, sebagai salah
satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilisasi organisasi
yang bersangkutan.
4. Koalisi (Coalition), yaitu kombinasi antara dua ornagisasi atau lebih yang
mempunyai tujuan-tujuan yang sama. Koalisi dapat menghasilkan keadaan yang
tidak stabil untuk sementara waktu,karena dua organisasi atau lebih tersebut
kemungkinan mempunyai struktur yang tidak sama antara satu dengan lainnya.
Akan tetapi karena maksud utama adalah untuk mencapai satu atau beberapa
tujuan bersama, maka sifatnya alaha kooperatif.
5. Joint-ventrue, yaitu kerja sama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu,
misalnya pemboran minyak, pertambangan batu bara, perfilman, perhotelan, dll.
Faktor yang mendorong terjadinya kerjasama menurut Chitambar (1972) adalah
sebagai berikut:
1. Motivasi pribadi, ini berarti tujuan-tujuan pribadi dihimpun dalam usaha-usaha
bersama untuk mencapainya.
2. Kepentingan umum. Kepentingan umum atau kepentingan bersama berdasarkan
tujuan yang dianggap bernilai tinggi dapat pula memberi motivasi kepada orang-
orang atau kelomok-kelompok dan organisasi untuk bekerja sama.
3. Motivasi altruistik. Motivasi ini bersumber dari keinginan seseorang untuk
menolong pihak lain kerena panggilan hati, misalnya kelompok sukarela yang
berniat menolong suatu pihak yang memerlukan bantuan.
4. Tuntutan situasi. Misalnya karena musibah banjir, orang-orang tergerak untuk
menanggulanginya.
Kedua akomodasi (accomodation) yakni adalah suatu pengertian untuk
menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial yang sama artinya
dengan pengertian adaptasi (adaptation). Dengan pengertian tersebut dimaksudkan
sebagai suatu proses dimana orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia yang
mula-mula saling bertentangan, saling mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi
ketegangan-ketegangan (Gillin dan Gillin dalam Soekanto, 2003).
Akomodasi sebenarnya merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan
tanpa menghancurkan pihak lawan, sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya
(Soekanto, 2003). Tujuan akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi yang
dihadapinya, yaitu:
1. Untuk mengurangi pertentangan antara orang perorangan atau kelompok-
kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham. Akomodasi disini bertujuan
untuk menghasilkan suatu sintesa antara kedua pendapat tersebut, agar
menghasilkan suatu pola yang baru.
2. Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu.
3. Untuk memungkinkan terjadinya kerja sama antara kelompok-kelompok sosial
yang hidupnya terpisah sebagai akibat faktor-faktor sosial psikologis dan
kebudayaan, seperti yang dijumpai pada masyarakat yang mengenal sistem kasta.
4. Mengusahakan peleburan antara kelompok-kelompok sosial yang terpisah.
Sehubungan dengan dengan hal itu menurut Kimball Young dan Richard W.
Mack dalam Soekanto (2003) akomodasi memiliki delapan bentuk yakni:
1. Coercion yaitu suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan oleh
karena adanya paksaan. Coercion merupakan bentuk akomodasi, dimana salah
satu pihak berada dalam keadaan yang lemah bila dibandingkan dengan pihak
lawan.Pelaksanaannya dapat dilakukan secara fisik (langsung), maupun
psikologis (tidak langsung).
2. Compromise, adalah suatu bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat
saling mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu penyelesaian terhadap
perselisihan yang ada. Sikap dasar untuk dapat melaksanakan compromise adalah
bahwa salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan memahami keadaan pihak
lainnya dan begitu pula sebaliknya.
3. Arbitration, merupakan suatu cara untuk mencapai compromise apabila pihak-
pihak yang berhadapan tidak sanggup mencapainya sendiri. Pertentangan
diselesaikan oleh pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak atau oleh
suatu badan yang berkedudukan lebih tinggi dari pihak-pihak bertentangan.
4. Mediation hampir menyerupai arbitration. Pada mediation diundanglah pihak
ketiga yang netral dalam soal perselisihan yang ada. Tugas pihak ketiga tersebut
adalah mengusahakan suatu penyelesaian secara damai. Kedudukan pihak ketiga
hanyalah sebagai penasihat belaka, dia tidak berwenang untuk memberi
keputusan-keputusan penyelesaian perselisihan
tersebut.
5. Conciliation, adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginan-keinginan dari
pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama.
Conciliation bersifat lebih lunak daripada coercion dan membuka kesempatan
bagi pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan asimilasi.
6. Tolerantion, juga sering disebut sebagai tolerant-participation. Ini merupakan
suatu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal bentuknya. Kadang-
kadang toleration timbul secara tidak sadar dan tanpa direncanakan, ini
disebabkan karena adanya watak orang perorangan atau kelompok-kelompok
manusia untuk sedapat mungkin menghindarkan diri dari suatu perselisihan.
7. Stalemate, merupakan suatu akomodasi, dimana pihak-pihak yang bertentangan
karena mempunyai kekuatan yang seimbang berhenti pada suatu titik tertentu
dalam melakukan pertentangannya. Hal ini disebabkan oleh karena kedua belah
pihak sudah tidak ada kemungkinan lagi baik untuk maju maupun untuk mundur.
8. Adjudication, yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan.
Hasil-hasil akomodasi yang dilakukan masyarakat menurut Gillin dan Gillin
dalm Soekanto (2003) adalah sebagai berikut:
1. Akomodasi, dan integrasi masyarakat, telah berbuat banyak untuk menghindari
masyarakat dari benih-benih perentangan latent yang akan melahirkan
pertentangan baru.
2. Menekan oposisi. Seringkali suatu persaingan dilaksanakan demi keuntungan
suatu kelompok tertentu demi kerugian pihak lain.
3. Koordinasi berbagai kepribadian yang berbeda.
4. Perubahan lembaga-lembaga kemasyarakatan agar sesuai dengan keadaan baru
atau keadaan yang berubah.
5. Perubahan-perubahan dalam kedudukan.
6. Akomodasi membuka jalan ke arah asimilasi.
Ketiga asimilasi (assimilation) merupakan proses sosial dalam taraf lanjut. Ia
ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat
antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-
usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan
memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama (Milton Singer
dalam Soekanto, 2003).
Menurut Horton dan Chester (1993), asimilasi merupakan proses sosial yang
terjadi pada tingkat lanjut. Proses tersebut ditandai dengan adanya upaya-upaya untuk
mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara perorangan atau kelompok-
kelompok manusia. Bila individu-individu melakukan asimilasi dalam suatu kelompok,
berarti budaya individu-individu kelompok itu melebur. Biasanya dalam proses peleburan
ini terjadi pertukaran unsur-unsur budaya. Pertukaran tersebut dapat terjadi bila suatu
kelompok tertentu menyerap kebudayaan kelompok lainnya.
Menurut Koentjaraningrat (1990) asimilasi dapat didefinisikan sebagai suatu
proses sosial yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan
yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga
meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses
mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama.
Secara singkat, proses asimilasi ditandai dengan pengembangan sikap-sikap yang
sama, walau kadangkala bersifat emosional, dengan tujuan untuk mencapai kesatuan, atau
paling sedikit mencapai integrasi dalam organisasi, pikiran, dan tindakan. Proses
asimilasi timbul bila:
1. Kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya.
2. Orang perorangan sebagai warga kelompok tadi saling bergaul secara langsung
dan intensif untuk waktu yang lama.
3. Kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia tersebut masing-
masing berubah dan saling menyesuaikan diri.
Proses asimilasi dapat terbangun dengan baik jika didukung beberapa faktor.
Menurut Soekanto (2003), faktor tersebut antara lain :
1. Toleransi
2. Kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi
3. Sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya
4. Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat
5. Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan
6. Perkawinan campur (amalgamation)
7. Adanya musuh bersama di luar.
Adapun faktor yang dapat menjadi penghalang terjadinya asimilasi menueurt
Soekanto (2003) adalah sebagai berikut:
1. Terisolasi kehidupan suatu golongan tertentu dalam masyarakat.
2. Kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan yang dihadapi.
3. Perasaan takut terhadap kekuatan suatu kebudayaan yang dihadapi.
4. Perasaan bahwa suatu kebudayaan golongan atau kelompok tertentu lebih tinggi
daripada kebudayaan golongan atau kelompok lainnya.
5. Perbedaan warna kulit atau perbedaan ciri-ciri badaniah.
6. In-group feeling yang kuat.
7. Golongan minoritas mengalami gangguan-gangguan dari golongan yang
berkuasa.
8. Perbedaan kepentingan dan pertentangan-pertentangan pribadi
Milton M. Gordon (1968) mengemukakan suatu model asimilasi yang terjadi
dalam proses yang multi-tingkatan (multi-stages of assimilation). Model asimilasi ini
memiliki tujuh tingkatan.
1. Asimilasi budaya atau perilaku (cultural or behavioral assimilation);
berhubungan dengan perubahan pola kebudayaan guna menyesuaikan diri dengan
kelompok mayoritas.
2. Asimilasi struktural (structural assimilation); berkaitan dengan masuknya
kelompok minoritas secara besar-besaran ke dalam klik, perkumpulan, dan
pranata pada tingkat kelompok primer dari golongan mayoritas.
3. Asimilasi perkawinan (marital assimilation); berkaitan dengan perkawinan antar-
golongan secara besar-basaran.
4. Asimilasi identifikasi (identificational assimilation); berkaitan dengan kemajuan
rasa kebangsaan secara eksklusif berdasarkan kelompok mayoritas.
5. Asimilasi penerimaan sikap (attitude receptional assimilation); menyangkut
tidak adanya prasangka (prejudice) dari kelompok mayoritas.
6. Asimilasi penerimaan perilaku (behavior receptional assimilation); ditandai
dengan tidak adanya diskriminasi dari kelompok mayoritas.
7. Asimilasi kewarganegaraan (civic assimilation), berkaitan dengan tidak adanya
perbenturan atau konflik nilai dan kekuasaan dengan kelompok mayoritas.
Teori tujuh tingkatan asimilasi Gordon, sebenarnya, tetap relevan digunakan
dalam penelitian asimilasi. Namun, teori asimilasi Gordon ini sulit diaplikasikan dengan
utuh. Hal ini mengingat bahwa setiap masyarakat cenderung memiliki kondisi sosial dan
ekonomi yang berbeda. Sementara itu, keadaan struktur sosial dan ekonomi itu seringkali
mempengaruhi keadaan asimilasi.

Proses Disosiatif
Proses disosiatif sering disebut sebagai oppositional processes, persis halnya
dengan kerja sama, dapat ditemukan pada setiap masyarakat, walaupun bentuk dan
arahnya ditentukan oleh kebudayaan dan system social masyarakat bersangkutan
(Soekanto, 2003). Proses disosiatif merupakan sebuah proses yang cenderung membawa
anggota masyarakat ke arah perpecahan dan merenggangkan solidaritas di antara
anggota-anggotanya. Proses disassosiatif dalam interaksi sosial meliputi pertama
persaingan (competition).
Persaingan adalah suatu proses sosial, di mana individu atau kelompok-kelompok
manusia yang bersaing, mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada
suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok
manusia) dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka
yang telah ada, tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan. Faktor-faktor terkait
dengan persaingan meliputi: kepribadian seseorang, kemajuan masyarakat, solidaritas
kelompok dan disorganisasi.
Soekanto (2003) dalam beberapa macam tipe persaingan. Tipe-tipe tersebut
adalah:
1. Persaingan ekonomi.
Persaingan di bidang ekonomi timbul karena terbatasnya persediaan apabila
dibandingkan dengan jumlah konsumen. Dalam teori ekonomi klasik, persaingan
bertujuan untuk mengatur produksi dan distribusi. Persaingan merupakan salah
satu cara untuk memilih produsenprodusen yang baik. Bagi masyarakat selaku
konsumen, hal demikian dianggap menguntungkan karena produsen yang terbaik
akan memenangkan persaingannya dengan cara memproduksi barang dan jasa
yang lebih baik dan dengan harga yang rendah. Namun, kenyataannya tidak
selalu demikian karena kemungkinan besar untuk mempertahankan kehidupan
bersama, perusahan besar harus melakukan kerjasama. Selain itu, perusahaan
besar yang mulamula bersaing sering kali harus bekerja sama untuk dapat
memonopoli pasaran jenis barang barang tertentu.
2. Persaingan kebudayaan.
Persaingan dalam bidang kebudayaan menyangkut persaingan di bidang
keagamaan, bahasa, kesenian, lembaga kemasyarakatan seperti pendidikan, dan
sebagainya. Persaingan kebudayaan dapat dilihat dari upaya-upaya yang
dilakukan negara-negara maju dengan memberi kesempatan kepada siswa-siswa
Indonesia untuk melakukan kajian terhadap kebudayaannya, memberi beasiswa
dan kesempatan belajar kebudayaan setempat dan sebagainya.
3. Persaingan kedudukan dan peranan.
Persaingan ini adalah untuk mendapatkan kedudukan atau peranan yang lebih
tinggi dalam suatu organisasi. Apabila seseorang dihinggapi perasaan bahwa
kedudukan dan peranannya sangat rendah, dia pada umumnya hanya
menginginkan kedudukan dan peranan yang sederajat dengan orang-orang lain.
Selanjutnya orang-orang yang mempunyai rasa rendah diri yang tinggi pada
umumnya mempunyai keinginan kuat untuk mengejar kedudukan dan peranan
yang terpandang dalam masyarakat sebagi kompensasi. Kedudukan dan peranan
yang dikejar tergantung dari apa yang paling dihargai oleh masyarakat pada suatu
masa tertentu.
4. Persaingan ras.
Perbedaan ras, baik karena perbedaan warna kulit, bentuk tubuh, maupun corak
rambut dan sebagainya, hanya merupakan suatu perlambang kesadaran dan sikap
atas perbedaan-perbedaan dalam kebudayaan. Hal ini disebabkan karena ciri-ciri
badaniah lebih mudah terlihat dibanding unsur-unsur kebudayaan lainnya.
Misalnya persaingan antara kulit hitam dan kulit putih di Amerika Serikat,
persaingan antara suku madura dan suku jawa dalam memperebutkan imej
Dalam batas tertentu ternyata persaingan memiliki fungi. Adapun fungsi
persaingan menurut Soekanto (2003) adalah:
1. Menyalurkan keinginan-keinginan individu atau kelompok yang bersifat
kompetitif
2. Sebagai jalan di mana keinginan, kepentingan serta nilai-nilai yang pada suatu
masa menjadi pusat perhatian, tersalurkan dengan baik oleh mereka yang
bersaing.
3. Merupakan alat untuk mengadakan seleksi atas dasar seks dan social
4. Alat untuk menyaring para warga golongan karya (fungsional) yang akhirnya
akan menghaslkan pembagian kerja yang efektif.
Kedua kontravensi (contravention). Pada hakikatnya kontravesnsi merupakan
suatu bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dan pertentangan atau
pertikaian. Bentuk-bentuk kontravensi menurut Leopold von Wiese, dan Howard Becker
(1932) dalam Soekanto (2003) adalah sebagai berikut:
1. Bersifat umum meliputi perbuatan-perbuatan seperti penolakan, keengganan,
perlawanan, perbuatan menghalang-halangi, protes,gangguan-gangguan,
perbuatan kekerasan, dan mengacaukan rencana pihak lain.
2. Bersifat sederhana seperti menyangkal pernyataan orang lain di depan umum,
memaki melalui selembaran surat, mencerca, memfitnah, melemparkan beban
pembuktian kepada pihak lain, dan sebagainya.
3. Bersifat intensif mencakup penghasutan, menyebarkan desas-desus,
mengecewakan pihak lain, dsb.
4. Bersifat rahasia, seperti mengumumkan rahasia pihak lain, perbuatan khianat, dll.
5. Bersifat taktis, misalnya mengejutkan lawan, mengganggu atau membingungkan
pihak lain, seperti dalam kampanye parpol dalam pemilihan umum.
Menurut Leopold von Wiese, dan Howard Becker (1932) dalam Soekanto (2003)
terdapat tiga tipe umum kontravensi yaitu pertama kontravensi generasi masyarakat. Tipe
kontravensi ini lebih umum terjadi di masyarakat modern dan pada umumnya terdapat di
perkotaan. Hal itu terjadi karena perbedaan budaya antara anak dan orang tua. Orang tua
yang terkait karena perbedaan budaya antara anak dan orang tua. Orang tua yang terkait
tradisi-tradisi tidak begitu saja menerima perubahan dalam masyarakat, sedangkan anak
atau generasi muda terutama karena alat omunikasi yang modern, kadang-kadang tanpa
pertimbangan mendalam dengan mudah sekali meniru unsur kebudayaan lain.
Ketidakstabilan kepribadian generasi muda yang tidak jarang menimbulkan konflik
dalam dirinya akan berhadapan dengan kepribadian generasi tua yang telah lama
terbentuk dengan budaya lama yang konservatif sehingga terjadi gap. Apabila hubungan
tersebut hanya sampai pada sikap keragu-raguan, hanya terjadi kontravensi dan belum
mengarah ke konflik atau pertikaian.
Kedua, kontravensi yang menyangkut seks (hubungan suami dengan istri dalam
keluarga). tipe kontravensi jenis kelamin menyangkut hubungan suami-istri yang
mengalami perubahan cara pandang terhadap jenis kelamin. Di satu sisi masyarakat telah
menampilkan suami-istri itu memiliki kedudukan sejajar dalam bentuk emansipasi, akan
tetapi di sisi lain masyarakat masih mimiliki keraguan terhadap peran dan status wanita
sehingga muncul kontravensi jenis kelamin.
Ketiga kontravensi parlementer, kontravensi ini terkait dengan hubungan antara
golongan mayoritas dengan minoritas dalam masyarakat baik yang menyangkut
hubungan mereka di dalam lembaga-lembaga legislative, keagamaan, pendidikan, dan
seterusnya.
Dalam tipe yang murn, kontravensi memiliki lima bentuk yakni: (Leopold von
Wiese, dan Howard Becker 1932 dalam Soekanto 2003) adalah sebagai berikut:
1. Kontravensi umum Misalnya penolakan, keengganan, perlawanan, protes,
gangguan, kekerasan, dan mengancam.
2. Kontravesi sederhana Misalnya menyangkal pernyataan orang lain di depan
umum, memaki-maki orang lain melalui selebaran, mencerca, dan memfitnah.
3. Kontravensi intensif Misalnya penghasutan, penyebaran desas-desus, dan
mengecewakan pihak lain.
4. Kontravensi rahasia berupa pengkhianatan, membuka rahasia pihak lain.
4. Kontravensi taktis berupa intimidasi, mengganggu pihak lain, dan provokasi.
Selain tipe-tipe umum tersebut ada ada pula beberapa kontravensi yang
sebenarnya terletak di antara kontravensi dan pertentangan atau pertikaian,yang
dimasukkan ke dalam kategori kontravensi, yaitu:
1. Kontravensi antar masyarakat
2. Antagonism keagamaan
3. Kontravensi intelektual
4. Oposisis moral
Ketiga pertentangan atau pertikaian (conflict). Pertentangan atau pertikaian
adalah suatu proses social di mana individu atau kelompok berusaha memenuhi ujuannya
dengan jalan menentang pihak lawan dengan ancaman atau kekerasan. pertentangan
adalah sarana untuk mencapai keseimbangan antara kekuatan-kekuatan dalam
masyarakat. Karena timbulnya pertentangan merupakan pertanda bahwa akomodasi yang
sebelumnya tercapai, tidak dihiraukan lagi (Soekanto, 2003). Pertentangan adalah sarana
untuk mencapai keseimbangan antara kekuatan-kekuatan dalam masyarakat. Karena
timbulnya pertentangan merupakan pertanda bahwa akomodasi yang sebelumnya
tercapai, tidak dihiraukan lagi. (Soekanto, 2003)
Ada beberapa faktor penyebab pertentengan dan pertikaian baik secara kelompok
maupun individu. Secara psikologis, pada umumnya dikenal dua jenis kepentingan dalam
diri individu yaitu kepentingan untuk memenuhi kepentingan biologis dan kebutuhan
sosial/psikologis. Oleh karena itu tidak ada dua orang individu yang sama persis di dalam
aspek-aspek pribadinya baik yang bersifat jasmani atau rohani, maka dengan sendirinya
akan timbul perbedaan individu dalam kepentingannya.
Menurut Soekanto (2003) pertentangan atau pertikaian dapat disebabkan
beberapa hal yaitu:
1. Perbedaan individu-individu
Sebagai mahluk individu, manusia memiliki karakter yang khas menurut corak
kepribadiannya. Setiap individu berkembang sejalan dengan ciri-ciri khasnya,
walaupun berada dalam lingkungan yang sama. Pada saat interaksi berlangsung
individu akan mengalami proses adaptasi dan pertentangan dengan individu
lainnya. Apabila terdapat ketidaksesuaian maka akan terjadi konflik.
2. Perbedaan kebudayaan
Kebudayaan seringkali dianggap sebagai sebuah ideologi, sehingga memicu
terjadinya konflik. Anggapan yang berlebihan terhadap kebudayaan yang dimiliki
oleh sebuah kelompok menempatkan kebudayaan sebuah sebuah tingkatan sosial.
Sehingga kebudayaan miliki sendiri dianggap lebih tinggi daripada kebudayaan
lain. Dalam catatan sejarah umat manusia konsep suku dan kebudayaannya telah
memainkan peranan yang sangat penting dan sekaligus dramatis dalam
percaturan masyarakat.
3. Perbedaan kepentingan
Manusia memang membutuhkan proses pergaulan dengan orang lain untuk
memenuhi kebutuhan batiniah dan lahiriah untuk membentuk dirinya, karena
itulah terjadi hubungan timbal balik sehingga manusia dikatakan sebagai mahluk
sosial. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya manusia akan berbeda-beda
kebutuhannya, perbedaaan kebutuhan ini akan berubah menjadi kepentingan yang
berbeda-beda.
4. Perbedaan sosial
Kecenderungan terjadinya perubahan sosial merupakan gejala wajar sebagai
akibat dari interelasi sosial dalam pergaulan hidup antar manusia. Perubahan
sosial dapat pula terjadi karena adanya perubahan-perubahan dalam unsur-unsur
yang mempertahankan keseimbangan masyarakat. Pada masyarakat yang tidak
dapat menerima perubahan sosial akan timbul konflik sebagai proses
pertentangan nilai dan norma yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang
dianut oleh masyarakat.
Pertentangan-pertentangan yang menyangkut suatu tujuan, nilai atau kepentingan,
sepanjang tidak berlawanan dengan pola-pola hubungan social di dalam srtuktur social
tertentu, maka pertentangan-pertentangan tersebut bersifat positif.
Masyarakat biasanya mempunyai alat-alat tertentu untuk menyalurkan benih-
benih permusuhan, alat tersebut dalam ilmu sosiologi dinamakan safety-valve institutions
yang menyediaka objek-objek tertentu yang dapat mengalihkan perhatian pihak-pihak
yang bertikai ke arah lain. Dilihat pada bentuknya bentuk-bentuk pertentangan antara
lain:
1. Pertentengan pribadi
2. Pertentangan rasial
3. Pertentangan antara kelas-kelas social, umumnya disebabkan oleh karena adanya
perbedaan-perbedaan kepentingan.
4. Pertentangan politik
5. Pertentangan yang bersifat internasional.
Pertentangan secara langsung dan tegas memiliki akibat ataupun dampak.
Adapun bentuk-bentuk akibat pertentangan adalah sebagai berikut:
1. Bertambahnya solidaritas “in-group” atau malah sebaliknya yaitu terjadi goyah
dan retaknya persatuan kelompok.
2. Perubahan kepribadian.
3. Akomodasi, dominasi dan takluknya satu pihak tertentu.
Secara umum bahwa interaksi sosial adalah situasi yang tidak bisa dihilangkan
pada diri setiap manusia. Hal ini disebabkan posisi manusia sebagai makhluk sosial yang
saling menggantungkan sama sama lainnya. Selain itu interakasi sosial hanya dapat
terjadi jika adanya kontak sosial dan komunikasi. Dalam melakukan interakaksi sosial
masyarakat akan berhadapan pada proses yang asosiatif dan dissosiatif.
Daftar Pustaka

Ardianto, Elvinaro. 2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbosa


Rekatama Media.
Bachtiar, Wardi. 2006. Sosiologi Klasik. Bandung: Remaja Rosdakarya
Berne, Eric (1964). Games People Play – The Basic Hand Book of Transactional
Analysis. New York: Ballantine Books.
Budyatna, Muhammad. 2011. Teori Komunikasi Antarpribadi. Jakarta: Kharisma Putra
Utama.
Bungin, Burhan. 2009. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana.
Cangara, Hafied . 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Chitambar, J.B., 1977. Introductory Rural Sociology. A Synopsis of Concepts and
Principle. New Delhi: Wiley Eastern Limited.
Cohen, Bruce J. 1992. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Dayakisni, Tri dan Hudaniah. 2012. Psikologi Sosial Malang: UMM Press.
Efendy, Onong Ucjhana. 2005. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja
Rosda Karya
_________________. 2008.Dinamika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya
Fisher, Aubrey .1990. Teori-Teori dan Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Gordon, Milton M. 1968. Assimilation in American Life: The Role of Race, Religion, and
National Origins. New York: Free Press.
Gerungan. 2000. Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama.
Horton, Paul B, dan Chester L. Hunt. 1990. Sosiologi . Klasik dan Modern. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid I. Diindonesiakan
oleh Robert MZ Lawang. Jakarta: Penerbit Gramedia.
Kolip, Usman dan Setiadi, Ellim M. 2011.Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial: Teori Aplikasi, dan Pemecahannya, Jakarta:
Kencana Prenada Media.
Manstead, Antoni S.R. and Hewstone, Miles. 1996. The Blackweel Encyclopedia of
Social Psychology. Oxford: Blackwell Publishing
Matsumoto, D. 1996. Culture and Psychology. USA: Brooks/Cole Publishing Company.
Rakhmat, Jalaluddin. 2003. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ruben Brent D dan Lea P Stewart. 2006. Communication and Human Behavior. United
States: Allyn and Bacon.
Santoso, Slame. 2010.Teori-Teori Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama.
Sarwono, S.W. 2005. Psikologi sosial. Jakarta: Balai Pustaka.
Sendjaja, Sasa Djuarsa. 1994. Teori Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka.
Soekanto, Soerjono. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Soeprapto, Riyadi. 2002. Interaksi Simbolik, Perspektif Sosiologi Modern. Yogyakarta:
Averrpes Press dan Pustaka Pelajar.
Sunarto, AW. 2011. Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Syani, Abdul. 2002. Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara.
Theodorson, George A, and Achilles G. Theodorson, 1979 A Modern Dictionary of
Sociology. New York, Hagerstown, San Francisco, London: Barnes & Noble
Books.
Walgito, B. 2003. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta: Andi Offset.

Anda mungkin juga menyukai