Anda di halaman 1dari 40

1

Reformasi Pola Hidup di Jepang


Pada tahun 1868, pemerintah baru di Jepang, melalui Kaisar Meiji1, mengumumkan falsafah
negara yang baru, yang terdiri dari 5 dasar, yaitu:

1. Libatkan publik dalam diskusi dan dalam mengambil semua keputusan;


2. Seluruh elemen masyarakat bersatu dan proaktif terlibat dalam tugas kenegaraan;
3. Seluruh rakyat proaktif mengejar cita-cita masing-masing;
4. Buang tradisi lama yang sudah ketinggalan zaman dan menghambat kemajuan, segala
hal harus diputuskan berdasarkan hukum keadilan universal;
5. Kejar ilmu pengetahuan ke seluruh dunia demi kejayaan negara.

Dalam dasar ke-4 dan ke-5, terlihat bahwa penguasa Jepang berkeinginan kuat mengajak
rakyat ‘membuang tradisi lama’ dan mengejar kemajuan dengan ‘mengejar ilmu dari seluruh
dunia.’ Hal ini wajar, karena pemerintah baru menghadapi kondisi sulit, yaitu tekanan ekonomi
dan militer dari negara-negara Barat. Pemerintah Jepang menyadari bahwa penyebab dari
kelemahan Jepang adalah rendahnya kualitas SDM rakyat Jepang; rakyat Jepang terpaku pada
tradisi lama sehingga tidak bisa maju, dan bodoh karena menutup diri, tidak belajar dari negara-
negara maju.

Upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas SDM adalah melalui pendidikan, baik
pendidikan formal (wajib belajar) maupun pendidikan luar sekolah. Pendidikan formal untuk
membekali rakyat dengan pengetahuan dan ketrampilan, agar kelak dapat bekerja dan mencari
nafkah dengan layak, serta berkontribusi bagi pembangunan nasional; pendidikan luar sekolah
untuk mensosialisasikan pola hidup yang layak, yaitu rajin bekerja, hidup hemat, bersikap
pantas (menjaga tata krama) dalam bermasyarakat, bertindak rasional, sadar, serta menjalankan
kewajiban sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga negara. Dengan kata lain, melalui
pendidikan, pemerintah berupaya mentransformasi ‘rakyat’ yang tradisional menjadi ‘warga
negara’ yang modern. Dan yang dijadikan panutan adalah masyarakat dan budaya Barat
(negara-negara Eropa dan Amerika).

Reformasi ‘Tradisi’ yang Tidak Sesuai dengan Norma Modern

Larangan telanjang di depan umum

1
Kaisar Meiji (1852-1912) waktu itu baru berusia 16 tahun, jadi mustahil merumuskan falsafah negara.
2

Upaya pertama oleh pemerintah untuk ‘memodernisir’ rakyat, adalah dengan mengeluarkan
UU yang melarang ‘tempat pemandian umum di mana laki-laki dan perempuan mandi
bersama-sama (dalam kondisi telanjang)’ (1871), dan UU yang melarang ‘telanjang di tempat
umum’ (1872). UU ini dikeluarkan karena adanya kritik dari orang-orang Barat (Kristen) yang
menilai bangsa Jepang sebagai bangsa tidak beradab.

Menurut catatan orang-orang Eropa yang berkunjung ke Jepang pada tahun 1860-an,
orang-orang Jepang pada waktu itu bisa dengan santainya hilir mudik dalam keadaan setengah
telanjang, baik laki-laki maupun perempuan. Selain itu, karena hanya orang kaya saja yang
mampu memiliki kamar mandi di rumah sendiri (dan mampu membeli kayu bakar untuk
memanaskan air mandi), maka rakyat pada umumnya mandi di tempat mandi umum, berupa
ruang mandi besar, tanpa sekatan untuk memisahkan laki-laki dan perempuan. Di tempat
umum tersebut sering terjadi praktek pelacuran. Ini dianggap ‘biadab’ oleh orang-orang Eropa
(dengan pedoman moral berdasarkan ajaran Kristen Protestan).

Salah satu hiburan warga desa Jepang waktu itu, sumo (gulat), juga terkena imbas UU
ini, karena pesumo bertanding dalam kondisi hampir telanjang. Konon para pesumo resah
karena adanya ancaman hukuman cambuk jika telanjang di tempat umum. Akhirnya, pejabat
tinggi pemerintah intervensi dengan menyelenggarakan pertandingan sumo di gedung yang
megah dan mengundang kaisar untuk menonton. Dengan demikian, status sumo meningkat dari
hiburan di kampung menjadi olah raga nasional (hingga sekarang).

Himbauan untuk tidak mabuk-mabukan

Selain telanjang di depan umum, satu lagi ‘tradisi’ Jepang yang perlu dihapuskan adalah
kebiasaan mabuk-mabukan. Bagi orang Jepang, sake (arak yang dibuat dari beras) merupakan
kebutuhan pada acara pesta, termasuk upacara keagamaan (sake dipersembahkan ke altar
dewa-dewi, kemudian diminum oleh warga desa setelah upacara selesai). Minum sake (dan
mabuk-mabukan) menjadi pemandangan sehari-hari dalam masyarakat. Ini juga dianggap
‘biadab’ oleh orang Barat (terutama pemuka agama Kristen) yang datang ke Jepang waktu itu.

Sejak pertengahan tahun 1860-an, orang Barat, di antaranya ABK (anak buah kapal)
mulai singgah dan menetap untuk sementara di kota-kota pelabuhan di Jepang (dengan tujuan
berdagang). Pejabat kedutaan Inggris di Jepang waktu itu, Sir Harry Parks, prihatin melihat
para ABK yang sering mabuk-mabukan, sehingga mendukung kampanye anti alkohol bagi
pada ABK asing. Ini memberi inspirasi kepada para tokoh masyarakat Jepang yang dekat
3

dengan orang-orang Barat. Pada tahun 1875, seorang pendeta Kristen, Okuno Masatsuna,
membentuk Asosiasi Anti Alkohol bagi Orang Jepang di kota Yokohama, dekat Tokyo.
Mengikuti jejak para misonaris, ia mensosialisasikan bahaya minuman beralkohol bagi
kesehatan, dan dampak negatif dari mabuk-mabukan.

Memasuki tahun 1880-an, semakin banyak misionaris dari Amerika yang datang ke
Jepang. Mereka mendirikan lembaga pendidikan tinggi untuk menyebarluaskan ilmu
pengetahuan modern dan moral Kristen, di antaranya anti alkohol.2Sejumlah tokoh masyarakat
Jepang, termasuk pada pendeta Kristen (terutama dari gereja Methodist), bergabung dan
melancarkan kampanye nasional anti alkohol. Upaya mereka mendapat dukungan dari
pemerintah, karena pemerintah menganggap konsumsi alkohol sebagai pemborosan, dan
mabuk-mabukan membuat rakyat malas bekerja sehingga produktivitas menurun; selain itu,
mabuk-mabukan juga berpotensi memicu pertikaian sehingga kerukunan sosial dan kerja sama
antarmasyarakat terganggu.

Upaya para tokoh Kristen mendapat sambutan dari kelompok agama Buddha. Pada
tahun 1887, para siswa sekolah tinggi agama Buddha di Kyoto membentuk forum diskusi
masalah anti alkohol.

Pada tahun 1890, mantan konjen Jepang di Hawaii, Ando Taro, kembali ke Jepang.
Bersama-sama para aktivis anti alkohol Kristen, ia mendirikan Asosiasi Anti Alkohol Tokyo.
Organisasi ini kemudian bergabung dengan organisasi-organisasi anti alkohol di wilayah-
wilayah lain di Jepang, dan pada tahun 1898 membentuk Federasi Anti Alkohol Jepang (Japan
Temperance Union). Organisasi ini menerbitkan majalah bulanan dan proaktif
mensosialisasikan bahaya minuman beralkohol bagi kesehatan dan bagi ekonomi rumah
tangga.3

Modernisasi pola asupan gizi

Setelah membuka diri terhadap dunia Barat, pemerintah Jepang dan para tokoh masyarakat
menyadari bahwa rendahnya kualitas SDM di Jepang juga bersumber dari masalah gizi, dan
bahwa pola makan dan cara memasak selama ini menyebabkan rakyat kurang gizi.

2
Semangat puritanisme, yang menganggap hidup foya-foya dan mabuk-mabukan adalah dosa.
3
http://nippon-kinshu-doumei.fd531.com/
4

Sejak agama Buddha masuk ke Jepang pada abad ke-6, ajaran Ahimsa (dilarang
membunuh) mulai menyebar di kalangan penguasa dan bangsawan. Pada abad ke-7, kaisar
Tenmu mengeluarkan perintah melarang membunuh binatang; sejak itu, daging diharamkan di
kalangan istana, dan kemudian menyebar ke kalangan rakyat jelata. Sepanjang sejarah Jepang
sampai dengan datangnya orang Barat pada pertengahan abad ke-19, di Jepang tidak ada
peternakan sapi maupun babi.

Untuk menyakinkan rakyat agar mau makan daging, terutama daging sapi (yang banyak
dikonsumsi oleh orang-orang Barat), Kaisar Meiji sendiri memberi panutan dengan makan
daging sapi. Setelah itu, rakyat Jepang, dari kelas menengah ke atas, mulai berani makan
daging sapi, bahkan menganggap makan daging sapi adalah simbol bahwa dirinya sudah
‘beradab’.

Makanan juga menjadi simbol ‘keberadaban’ bagi rakyat Jepang di akhir abad ke-19.
Selain daging sapi, kare dari India (dibawa ke Jepang oleh orang Inggris) dan kroket juga
populer di Jepang. Banyak sekali makanan dari negara-negara Barat yang masuk ke Jepang,
dimodifikasi oleh para juru masak sehingga sesuai dengan lidah rakyat Jepang (mengalami
Jepangisasi), sehingga sekarang justru dikenal sebagai ‘makanan Jepang’.

Kebutuhan untuk perbaikan pola asupan gizi terutama mendesak untuk para serdadu.
Ketika Jepang berperang dengan Tiongkok (1894-1895) dan dengan Rusia (1904-1905),
terbukti banyak serdadu yang meninggal di medan perang akibat penyakit yang disebabkan
oleh kekurangan gizi (terutama vitamin dan protein). Oleh karena itu, militer dan pihak
akademisi (universitas) bekerja sama menyusun menu baru yang dapat memenuhi kebutuhan
gizi serdadu.

Menu daging dan kebiasaan minum susu, mulai diterapkan oleh kelas urban menengah
ke atas sejak tahun 1870-an. Seiring dengan arus urbanisasi dan membaiknya kondisi ekonomi,
pola makan ‘sehat=Barat’ mulai menyebar ke seluruh Jepang.

Modernisasi pakaian

Dibandingkan dengan pola makan, pakaian merupakan aspek yang lebih kasat mata.

Para petinggi Jepang, termasuk kaisar Meiji, selalu tampil di tempat umum dengan
pakai Barat. Foto resmi Kaisar Meiji berpakaian militer ala Prusia (Jerman). Para pejabat
pemerintahan maupun anggota parlemen, yang semuanya adalah laki-laki, berpakaian ala Barat.
5

Sedangkan untuk kaum wanita dan anak-anak, masih memakai pakaian ala Jepang; kecuali
untuk ibu-ibu dari kalangan kelas atas, yang harus mendampingi suami mereka ke acara-acara
resmi.

Sehingga muncul mode pakaian ala Jepang untuk ranah privat (di rumah) dan pakaian
ala Barat untuk ranah publik (kantor, sekolah, tempat umum).

Reformasi Pola Hidup melalui Pendidikan

Pembentukan pola hidup akan lebih mudah jika dimulai dari usia dini. Oleh karena itu, belajar
dari negara-negara maju waktu itu, pemerintah Jepang mengeluarkan dan melaksanakan UU
wajib belajar tingkat SD, semua anak usia sekolah di seluruh Jepang wajib bersekolah, dengan
kurikulum yang ditentukan oleh pemerintah pusat.

Salah satu poin utama yang diajarkan adalah moral, yaitu disiplin dan tepat waktu.
Contoh konkret yang diberikan adalah tokoh-tokoh yang dianggap ‘bermoral’ karena selalu
disiplin, tepat waktu, rajin bekerja, dan berkontribusi kepada masyarakat (berjiwa sosial), yaitu
Benjamin Franklin, Abraham Lincoln, George Washington, Florence Nightingale, Edward
Jenner4, Horatio Nelson5, Socrates, Henri Francois d’Aguesseau,6 dan Christopher Columbus.7

Misalnya, dalam buku pelajaran moral untuk siswa kelas 4 SD (terbit tahun 1904),
terdapat bacaan berikut ini:

D’Aguesseau adalah orang Prancis yang sangat disiplin; begitu jam 12 siang, langsung
pergi ke kantin. Kadang kala, makan siang belum siap, sehingga ia harus menunggu.
Oleh karena itu, ia selalu membawa kerja dan pen ke kantin. Sambil menunggu
makanan disajikan, ia tuliskan semua ide yang muncul. Ini dilakukan selama 10 tahun,
dan jadilah satu buku yang bagus. Ini adalah berkat sikapnya yang menghargai waktu.
Waktu adalah uang.8

4
Edward Jenner (1749-1823), dokter Inggris, penemu vaksin cacar.
5
Horatio Nelson (1758-1805), admiral angkatan laut kerajaan Inggris, memimpin armada Inggris sehingga
menang dalam pertempuran Trafalgar melawan aliansi pasukan Perancis dan Spanyol.
6
Henri Francois d’Aguesseau (1668-1751), hakim agung kerajaan Perancis.
7
豊泉清浩「道徳教育の歴史的考察(1)修身科の成立から国定教科書の時代へ 」『文教大学教育学部紀
要』第 49 号、2015 年、27-38 頁(Toyoizumi Seiko. Penelitian mengenai Sejarah Pendidikan Moral (1)
dari dimulainya Mata Pelajaran Pendidikan Moral (Shushin) sampai Ditetapkannya Buku Teks oleh Pemerintah.
Dalam: Annual report of the Faculty of Education, Bunkyo University (49), hal. 27-38)
8
Hashimoto, op.cit., hal.173
6

Pada buku pelajaran moral untuk SD yang terbit antara tahun 1910 sampai dengan 1917,
juga dicantumkan cerita-cerita mengenai Benjamin Franklin dan Charles Darwin, yang selalu
disiplin dan rajin bekerja sehingga menjadi orang hebat.9

Sosialisasi pola hidup modern melalui media massa

Seiring dengan semakin meningkatnya literasi dan kebutuhan akan bahan bacaan, sejak akhir
abad ke-19 juga terbit sejumlah majalah edukasi untuk anak-anak dan remaja. Majalah-majalah
tersebut memuat wejangan betapa pentingnya sejak usia dini membiasakan diri untuk tepat
waktu, dan reputasi serta kredibilitas seseorang tergantung pada apakah orang tersebut bisa
tepat waktu.

Selain majalah, sejak awal abad ke-20, yaitu seiring dengan mulainya revolusi industri
di Jepang, terbit pula sejumlah buku mengenai pentingnya tepat waktu di zaman modern.

Misalnya, pada tahun 1903, terbit buku Mengenai Jam karya Ishii Kendo. Dalam buku
tersebut, penulis membandingkan jam buatan Jepang, Swiss, dan Amerika, dan kesimpulannya
adalah jam buatan Jepang tingkat ketepatannya paling rendah. Bukan hanya masalah ketepatan
jam, tetapi orang Jepang juga menganggap arloji sebagai hiasan saja; orang Jepang pakai arloji
dengan rantai emas, namun ngobrol ngalor ngidul sampai berjam-jam; janji dengan orang lain
tapi datang terlambat 1 sampai 2 jam dan tidak merasa malu; datang ke stasiun 2 jam sebelum
jam keberangkatan dan bengong saja menunggu kereta datang; jika menerapkan prinsip ‘waktu
adalah uang’ maka betapa banyak uang yang telah dihambur-hamburkan. Sebagai panutan,
diperkenalkan Shibusawa Eiichi (1840-1931), tokoh pengusaha Jepang yang terkenal.
Shibuzawa selalu membuat jadwal kerja 2 minggu ke depan, bekerja dan bertemu orang sesuai
jadwal; tidak ada waktu yang terbuang sia-sia. Episode lain menceritakan pengalaman pebisnis
Jepang yang berkunjung ke Amerika. Janjian bertemu tapi terlambat 20 menit, rekanan bisnis
orang Amerika langsung menolak untuk bertemu. Menurut penulis, terlambat 20 menit itu
biasa di Jepang, tapi di Amerika tidak bisa ditolerir. Di Jepang, banyak pegawai negeri maupun
karyawan swasta sepertinya selalu merokok santai, baca koran bukan hanya semua artikel,
tetapi semua iklan juga dibaca. Sedangkan di Amerika, sedemikian sibuknya, sampai-sampai
satu tangan pegang roti (sambil makan), satu tangan lagi sibuk menghitung atau mencatat.10

9
idem
10
Ibid, hal. 176-178
7

Satu lagi episode yang menggambarkan mentalitas ‘tidak tepat waktu’ orang Jepang
waktu itu adalah pengalaman Yagi Hidetsugu (1886-1976), ilmuwan Jepang penemu antena
gelombang elektromagnetik. Suatu kali, Yagi diundang oleh pemda untuk ceramah. Ia datang
lebih awal dan bermaksud memulai ceramahnya tepat waktu. Tetapi rupanya acara tersebut
harus dibuka oleh pejabat dan ternyata pejabat tersebut terlambat. Para staf pemda menjelaskan
bahwa biasanya pejabat level gubernur atau walikota datang terlambat 30 menit sampai 1 jam,
untuk menunjukkan bahwa mereka orang sibuk; jika mereka datang tepat waktu, justru akan
diremehkan karena dianggap bukan orang penting. Yagi marah dan bersikeras memulai
ceramah tanpa acara dibuka oleh pejabat, dan begitu ceramah selesai, langsung pulang dengan
kereta kelas ekonomi untuk menunjukkan dirinya ‘bukan orang penting’.11

Kampanye Nasional untuk Membangun Tradisi ‘Rajin dan Hemat’

Pada tahun 1904-1905, Jepang berperang dengan Rusia untuk memperebutkan wilayah timur
laut Tiongkok (waktu itu disebut daerah Manchuria). Jepang berhasil memaksa Rusia untuk
menarik pasukan dari Manchuria, sehingga wilayah tersebut (dan semenanjung Korea yang
berada di selatan Manchuria) menjadi wilayah di bawah pengaruh Jepang. Ini berarti terbuka
pasar yang sangat besar bagi produk industri Jepang. Pada kenyataannya, sektor industri dan
ekspor produk industri Jepang berkembang pesat pasca perang.

Selain mengangkat figur Ninomiya sebagai panutan nasional, pemerintah dan para tokoh
masyakarat proaktif memperkenalkan kondisi kehidupan rakyat di negara-negara maju,
terutama Amerika.

Sejak tahun 1890-an sampai dengan 1920-an, di Amerika dilancarkan kampanye reformasi
sosial, untuk menanggulangi masalah-masalah sosial yang timbul akibat industrialisasi dan
urbanisasi (kesenjangan sosial dan konflik sosial). Termasuk di dalamnya adalah kampanye
hidup hemat (thrift movement).12 Pemerintah Amerika, didukung oleh ormas Kristen seperti
YMCA (Young Men’s Christian Association), membuat dan menyebarluaskan poster-poster
yang menggambarkan keluarga yang hidup bahagia karena hidup hemat, dan keluarga yang
melarat karena boros.13

11
Ibid, hal. 153.
12
https://www2.gwu.edu/~erpapers/teachinger/glossary/progressive-era.cfm
13
http://www.umass.edu/umpress/title/thrift
8

Melalui media massa, terutama surat kabar, para pejabat menyajikan data/angka di negara-
negara maju, sebagai pembanding Jepang, untuk menegaskan betapa Jepang masih tertinggal
jauh dibanding negara-negara Barat; dan bahwa rakyat Jepang harus mengejar ketertinggalan
dengan lebih giat bekerja dan hidup lebih hemat.14

Kampanye Pola Hidup Modern

Memasuki era tahun 1910-an, perang berkecamuk di Eropa (Perang Dunia Pertama) dan Jepang
(dan Amerika) mendapat kesempatan emas untuk mengambil alih pasar produk industri di Asia.
Banyak pabrik didirikan atau meningkatkan kapasitas produksi. Sebelum perang meletus pada
tahun 1914, output produk pertanian masih melampaui output produk industri; sebelum perang
berakhir pada tahun 1918, output produk industri telah melampaui output produk pertanian. Ini
berarti Jepang telah beralih dari negara agraria menjadi negara industri.

Industrialisasi dengan sendirinya membawa dampak urbanisasi dan perubahan gaya hidup.
Warga kota tidak bisa swa sembada, semua kebutuhan hidup harus dibeli, dan itu berarti
kebutuhan yang lebih besar terhadap pendapatan dalam bentuk uang kontan. Sedangkan
produktivitas sektor industri masih relatif rendah, sehingga hanya segelintir karyawan
berpendidikan menengah ke atas saja yang mendapatkan upah yang layak. Sebagian besar
warga kota, yang mencari nafkah dengan bekerja sebagai karyawan, buruh atau PNS, hidupnya
semakin sulit karena laju inflasi yang jauh melampaui persentase kenaikan gaji. Di kota-kota
besar, bisnis pegadaian berkembang pesat; banyak anak-anak usia SD harus bekerja sebagai
pedagang asongan untuk membantu ekonomi keluarga. Di Osaka, kota pusat industri dan
perdagangan Jepang waktu itu, 150 orang polisi bersama-sama mengajukan petisi permohonan
naik gaji, dengan alasan gaji mereka jauh dari mencukupi; banyak guru SD terkena penyakit
TBC karena kurang gizi (akibat gaji terlalu rendah), dan 1/3 dari guru SD yang meninggal
adalah karena TBC.15

Pada waktu yang bersamaan, para pengusaha besar meraup laba dalam jumlah yang
fantastis, dan memamerkan kekayaan mereka dengan cara-cara layaknya OKB. Pada tahun

14
Misalnya, Inoue Tomoichi, seorang pejabat tinggi di kementerian dalam negeri, dalam artikel di majalah yang
terbit pada tahun 1912, mengeluhkan betapa malasnya orang Jepang; peternak ayam bekerja asal-asalan,
sehingga ayam di Jepang per tahun rata-rata hanya bertelur 40 butir; sedangkan ayam di Jerman per tahun
rata-rata bertelur 70 butir. (Sheldon Garon. Molding Japanese Mind. Princeton Univ. Press, 1997. Hal. 19)
15
千本秀樹「成金、生活苦、安月給」『朝日百科日本の歴史 11 近代 II』 野上毅(編)、朝日新聞社、
1989 年 4 月。ISBN 4-02-38007-4。(Chimoto Hideki. OKB, Kesulitan Hidup, Gaji Kecil. Dalam: Nogami Takeshi
(ed.) Sejarah Jepang oleh Asahi Hyakka vol.11 Era Kontemporer 2. Asahi Shimbunsha, April 1989)
9

1917, Yamada Tadasaburo, pemilik perusahaan perkapalan, membawa rombongan besar,


lengkap dengan tim peliputan dari surat kabar, pergi ke Korea (waktu itu jajahan Jepang) untuk
berburu harimau; setelah berhasil, Yamada mengundang para menteri dan pengusaha besar
untuk pesta makan daging harimau di hotel mewah di Tokyo.

Kejadian seperti ini diliput dan diberitakan oleh media massa, sehingga memicu rasa
cemburu sosial. Pada tahun 1918, terjadi huru hara penjarahan toko beras di seluruh Jepang.
Selain itu, protes sosial lainnya (demo buruh, demo petani gurem, demo menentang kenaikan
tarif kendaraan umum, dan sebagainya) semakin marak dan radikal, dipicu oleh pengaruh
paham sosialisme yang masuk ke Jepang selama Perang Dunia Pertama.

Menghadapi kondisi sosial yang rawan tersebut, pemerintah Jepang melalui kementerian
pendidikan mencoba menyiasati dengan melakukan kampanye reformasi pola hidup, dengan
asumsi bahwa kesulitan hidup disebabkan oleh pola hidup yang boros, baik dalam hal uang
maupun waktu; dengan meningkatkan efisiensi pemanfaatan waktu, energi dan uang, yaitu
dengan mensosialisasikan gaya hidup sederhana, 16 maka kesulitan hidup akan teratasi, dan
dengan demikian, tindakan radikal akan dapat dicegah dan kerukunan hidup bermasyarakat
dapat tercapai.

Pada bulan November 1919, kementerian pendidikan menyelenggarakan pameran life


improvement (reformasi pola hidup) di Museum Pendidikan Tokyo. 17 Selama dua bulan
(sampai dengan awal 1920), dipamerkan sejumlah foto dan poster mengenai pola hidup yang
‘lebih efisien,’ mencakup segi sandang (model pakaian yang praktis untuk bekerja dan
bepergian, model pakaian yang mudah dijahit dan terlihat anggun), pangan (cara memasak

16
Seiring dengan urbanisasi dan meningkatnya daya beli sebagian kaum urban, gaya hidup yang glamor
berkembang di negara-negara Eropa Barat dan Amerika, serta menjadi tren pula di Jepang. Pada tahun 1895,
seorang pastor Perancis, Charles Wagner (1852-1918), menerbitkan buku berjudul LA VIE SIMPLE, dan
mengkampanyekan gara hidup sederhana. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan terbit di
Amerika pada tahun 1901 dengan judul The Simple Life (https://archive.org/details/simplelife00wagngoog).
Konon Presiden Theodore Roosevelt sangat terkesan dan merekomendasikan buku tersebut kepada rakyat
Amerika. Pada tahun 1905, Nakamura Kaju, wartawan Jepang yang bertugas di Amerika, menerjemahkan dan
menerbitkan buku tersebut di Jepang. Karena merasa terjemahan tersebut kurang pas, pada tahun 1911,
Kementerian Pendidikan Jepang memerintahkan untuk menerjemahkan dan menerbitkan ulang buku tersebut
di Jepang. Sejak itu, ide pola hidup sederhana yang dijabarkan dalam buku tersebut menjadi pedoman
kampanye pola hidup sederhana di Jepang. (磯野さとみ『理想と現実の間に 生活改善同盟会の活動』昭
和女子大学近代文化研究所、2010 年 3 月)(Isono Satomi. Antara Idealisme dan Kenyataan Aktivitas Better
Life Union. Showa Women’s University Modern Culture Research Institute, Maret 2010)
17
Didirikan pada tahun 1877 untuk mensosialisasikan pentingnya pendidikan dasar (SD) bagi kehidupan di
zaman modern. Setelah program wajib belajar SD tercapai, museum ini beralih fungsi sebagai tempat pameran
pendidikan untuk umum.
10

yang praktis dan menghasilkan makanan yang lezat, bergizi, dan tidak ada yang mubazir),
papan (model rumah dengan toilet dan dapur yang higienis dan ventilasi yang baik, ruang tamu
yang memungkinkan komunikasi yang baik antaranggota keluarga) dan tata krama dalam
bermasyarakat (buang gengsi dan basa basi dalam pergaulan).

Pameran tersebut mendapat sambutan yang luar biasa dari warga Tokyo, terutama
masyarakat menengah atas dan para tokoh masyarakat (anggota parlemen, akademisi, tokoh
Protestan, tokoh perempuan progresif, para pengusaha, dan pejabat kementerian pendidikan).
Desember 1919, di Tokyo dibentuk Better Life Union (disingkat BLU; Perkumpulan untuk
Kehidupan yang Lebih Baik). Agenda-agenda yang dicanangkan adalah sebagai berikut:

1. Tepat waktu.
2. Tata krama pada saat melakukan kunjungan, memperkenalkan orang lain, mengajukan
permintaan dan sebagainya.
3. Buang kebiasaan gengsi dan basa basi seperti antar jemput tamu di stasiun, saling tukar
kado pada hari raya, kegiatan-kegiatan yang bersifat seremonial pada upacara
pernikahan, kematian dan perayaan-perayaan lainnya.
4. Hilangkan tingkah laku yang mengganggu kesehatan dan kebersihan umum.
5. Buang kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan karena takhayul.
6. Menghargai kepribadian para pekerja (karyawan dan pembantu).
7. Menabung, uang dan barang yang dipinjam harus dikembalikan pada waktunya.
8. Hindari pemborosan dalam penggunaan air ledeng, listrik dan gas.
9. Jaga tata tertib di tempat umum, menolong orang-orang berkebutuhan khusus.18

Para pengunjung pameran diperkenalkan dengan berbagai jenis jam dari seluruh penjuru
dunia, dari zaman purba hingga sekarang. Selain itu, terdapat pula panel berisi informasi dan
grafik mengenai efisiensi produksi, seperti berapa banyak pensil, buku catatan dan pasta gigi
yang dapat diproduksi dalam waktu 1 menit; bagaimana perubahan efisiensi kerja sebelum dan
sesudah jam istirahat, dan sebagainya.19

18
「生活改善実行のビー・エル組合成る 代議士学者教育者と実業家婦人等の団結」『東京朝日新
聞』1919 年 12 月 27 日(Better Life Union resmi berdiri siap laksanakan perbaikan pola hidup. Artikel dalam
surat kabar Asahi Tokyo, edisi 27 Desember 1919)
19
西本郁子『時間意識の近代 「時は金なり」の社会史』法政大学出版局、2007(Nishimoto Ikuko.
Konsep Waktu di era Modern Sejarah Sosial ‘waktu adalah uang’. Hosei University Press, 2007), hal. 268-269
11

Tujuan utama dari pameran adalah menyadarkan para pengunjung, betapa besarnya
manfaat yang dapat diperoleh dengan menghilangkan pemborosan waktu dan energi dalam
kehidupan sehari-hari; ini terlihat dari judul-judul panel dalam pameran, seperti ‘pemborosan
waktu akibat ngobrol ngalor ngidul’, ‘contoh orang yang tidak disiplin dalam bekerja’, ‘total
waktu sepanjang hidup yang dihabiskan oleh kaum wanita untuk berdandan’, ‘tamu yang
menyebalkan’, ‘rapat di pinggir sumur20―orang-orang yang tidak tahu betapa waktu berharga’
dan sebagainya.21

Kartu pos yang diedarkan bertepatan dengan pameran Life Improvement di Tokyo bulan Mei-Juni 1919. Gambar menunjukkan pembantu
menyuguhkan teh untuk tamu, sedangan tuan rumah masih asyik baca koran di ruang dalam. Caption: jangan membiarkan tamu menunggu;
jangan hanya menjamu, tetapi tanyakan keperluan tamu.

Kartu pos yang diedarkan bertepatan dengan pameran Life Improvement di Tokyo bulan Mei-Juni 1919. Caption: rapat hari ini batal lagi yah?
Jam di dinding menunjukkan pukul 4:55, sedangkan di samping jam tertulis: rapat ditutup pukul 3:00. Peserta rapat ada yang tertidur dan ada
yang baru bangun tidur; di ruang lain, ada orang-orang yang asyik ngobrol.

20
Jaman dulu di desa-desa di Jepang, ibu-ibu mencuci baju dengan air yang ditimba dari sumur bersama,
sehingga pinggir sumur menjadi tempat ibu-ibu berkumpul, cuci baju sambil ngerumpi.
21
Nishimoto, op.cit., hal. 269
12

Memasuki tahun 1920, BLU memulai kampanye nasional melalui pameran, distribusi
pamflet, dan penerbitan majalah dan buku untuk mensosialisasikan informasi mengenai pola
hidup yang lebih sehat dan nyaman.

Program kerja yang pertama adalah menyelenggarakan pameran untuk sosialisasi


tentang pentingnya tepat waktu, pada bulan Mei hingga Juli 1920, bertempat di museum
pendidikan Tokyo; sekaligus menetapkan tiap tanggal 10 Juni sebagai ‘hari peringatan
waktu’(時の記念日).

Dalam majalah yang diterbitkan oleh BLU edisi November 1923, himbauan untuk hidup
hemat dan efisien dibahas secara konkret. Misalnya, untuk sandang, satu orang cukup punya 3
stel pakaian saja; untuk pangan, satu kali makan cukup 2 atau 3 jenis lauk saja; untuk papan,
perabot atau benda koleksi yang tidak perlu, buang saja, supaya rumah terasa lega. Sedangkan
terkait upacara pernikahan, berkabung, dan ritual rutin tahunan yang merupakan sumber
pemborosan utama karena sering kali dijadikan ajang pamer, dibuat panduan secara terinci.

Panduan untuk upacara pernikahan:

1. Upacara dilangsungkan secara sederhana, total biaya diusahakan tidak melebihi 30%
dari penghasilan setahun.22
2. Resepsi dilangsungkan di rumah sendiri secara sederhana, cukup mengundang sanak
keluarga dekat saja.
3. Hindari niat pamer dalam pemberian hadiah pernikahan, hapus tradisi souvenir untuk
tamu undangan.

Panduan untuk upacara berkabung:

1. Dilangsungkan dengan sederhana dan khidmat.


2. Uang duka dalam jumlah yang sesuai; pihak keluarga yang berkabung tidak perlu
memberi souvenir kepada tamu yang datang melayat.

22
Sebagai pembanding, untuk tahun 1915, biaya pernikahan di Jepang untuk kelas menengah ke bawah setara
dengan 2,5 kali lipat dari penghasilan per tahun, untuk kelas atas setara dengan 2 kali lipat penghasilan per
tahun. Angka untuk Inggris adalah 10% dan 8%, Perancis dan Jerman semuanya 10%, Amerika 20%, Italia 40%,
Spanyol 70% dan 50%, Rusia 80%, Cina 3 kali lipat (生活改善同盟会編『実生活の建直し』宝文館、
1929)(Better Life Union (ed.) Cara-cara untuk Memperbaiki Pola Hidup. Hobunkan, 1929 , hal. 219-220)
13

3. Jamuan makan hanya untuk tamu melayat yang datang dari jauh, tidak perlu
menyajikan minuman beralkohol.23
4. Pakaian berkabung diusahakan sesederhana mungkin.

Panduan untuk ritual rutin tahunan:

1. Pesta tahun baru dan pesta akhir tahun sebaiknya ditiadakan; jika pesta, sajikan
makanan secukupnya saja; sebaiknya prioritaskan komunikasi selama pesta.
2. Hindari saling tukar kado dan bingkisan atau oleh-oleh ketika bertamu.
3. Jika hendak bertamu, tamu dan tuan rumah harus sepakati dulu jam berkunjung; jika
tamu hendak menyampaikan pesan singkat, maka cukup sampaikan di depan pintu
rumah.
4. Jangan membiarkan tamu menunggu, selesaikan pembicaraan dalam waktu singkat;
jika tidak mengundang tamu untuk makan, jangan sok akrab menyajikan makanan
ataupun cemilan.
5. Tidak perlu mengantar tamu sampai ke stasiun; kecuali sanak keluarga dekat.
6. Pengiriman kartu ucapan tahun baru cukup sebatas sanak keluarga dekat.
7. Hadir tepat waktu pada acara pertemuan.24

Pada bulan September 1923, terjadi gempa besar di Tokyo dan sekitarnya. Banyak
bangunan roboh dan tersulut api sehingga terbakar. BLU memanfaatkan kesempatan ini untuk
mengkampanyekan pakaian yang lebih sederhana 25 , dan menghimbau agar warga kota
membiasakan diri jalan kaki.26

BLU juga mengkampanyekan pola hidup yang sederhana dan sehat. Misalnya, warga kelas
menengah selalu memilih untuk minum teh atau minuman keras, karena takut dikatai orang
miskin kalau minum air putih; padahal air putih sangat baik untuk kesehatan.27 Di Eropa, anak

23
Himbauan agar tidak mengkonsumsi minuman alkohol mengacu pada kebijakan melarang penjualan
minuman beralkohol oleh pemerintah Amerika, 1920-1933( Larangan Alkohol dan Sisi Negatif dalam
Kehidupan Bermasyarakat. Artikel dimuat dalam harian Hochi tertanggal 6 April 1920)
24
Majalah 『生活改善』(Seikatsu Kaizen) no. 14, 21 November 1923, hal. 2-3
25
Pakaian tradisional Jepang, kimono, terlalu boros kain dan jahitannya rumit; kalau berpakaian kimono, ketika
terjadi kebakaran justru sulit berlari menyelamatkan diri. (ibid, hal. 4)
26
“Orang Jepang gengsinya tinggi, selalu mementingkan penampilan luar, menganggap bekerja itu hina;
merasa dirinya hebat kalau bisa menyuruh-nyuruh orang lain; untuk jarak yang tidak seberapa pun ogah jalan
kaki, selalu naik tram listrik; setelah gempa, SMP putri di Tokyo membuat peraturan baru: untuk siswi yang
jarak tempuh antara rumah dengan sekolah di bawah 30 menit, tidak boleh naik kendaraan, semua harus jalan
kaki pulang pergi sekolah.”(ibid, no. 14, 21 November 1923, hal. 5)
27
Ibid, no. 14, 21 November 1923, hal. 11
14

bangsawan atau pejabat tinggi menikah dengan upacara yang sangat sederhana dan khidmat,
sedangkan di Jepang, bahkan anak orang biasa saja bersikeras menyelenggarakan pesta
pernikahan mewah, karena gengsi.28

BLU membentuk 6 komisi untuk melakukan riset mengenai reformasi pola hidup, yaitu:

1. Komisi masalah ritual dalam kehidupan bermasyarakat.


2. Komisi masalah sandang (pakaian).
3. Komisi masalah perbaikan gizi.
4. Komisi masalah rumah tinggal.
5. Komisi masalah penyeragaman penanggalan,29 dan tradisi ritual tahunan.30
6. Komisi reformasi seremoni hinamatsuri.31

Komisi-komisi tersebut beranggotakan pada akademisi dan birokrat. Mereka mempelajari


kampanye reformasi pola hidup di Amerika dan negara-negara Eropa, menerjemahkan dan
menjabarkannya secara konkret untuk disosialisasikan kepada masyarakat, melalui ceramah
keliling oleh anggota BLU maupun melalui media cetak, termasuk pamflet dan poster32.

Dalam buku terbitan BLU tahun 1929, ditambahkan agenda kerja ‘membasmi takhayul.’
Misalnya, kepercayaan akan adanya hari baik dan hari sial untuk melakukan kegiatan tertentu
(membangun rumah, menikah, pindah rumah, bepergian, melangsungkan upacara pemakaman),
tahun yang mujur dan tahun yang sial, dan sebagainya. Semuanya ini tidak ada landasan ilmiah,
hanya warisan dari zaman di mana ilmu pengetahuan belum berkembang. Oleh karena itu,
masyarakat dihimbau untuk mulai mengabaikannya.33

28
Ibid, no. 15, 21 Desember 1923, hal. 3
29
Pada tahun 1873, pemerintah Jepang mengubah penanggalan Imlek ke penanggalan Masehi, demi
penyeragaman dengan negara-negara Barat. Namun, rakyat Jepang, terutama yang tinggal di pedesaan, masih
menggunakan penanggalan Imlek, sehingga terjadi kekacauan dalam penanggalan.
30
Masyarakat Jepang percaya ada hari-hari tertentu di mana pantang melangsungkan ritual pernikahan (hari
butsumetsu, secara harafiah artinya hampa), dan upacara pemakaman (tomobiki, secara harafiah artinya ajak
teman); di tahun monyet (dalam bahasa Jepang: saru; saru juga memiliki arti pergi) pantang melangsungkan
pernikahan, dan sebagainya.
31
Hinamatsuri adalah perayaan oleh keluarga yang memiliki anak perempuan yang belum menikah,
dilangsungkan setiap tanggal 3 Maret. Menjelang tanggal tersebut, orang tua anak membeli dan memajang
boneka di ruang tamu. Untuk keluarga kaya atau keluarga yang ingin dianggap kaya, boneka yang dipajang
diupayakan mewah dan dalam jumlah banyak. Tidak ada manfaat praktis, hanya pajangan saja. Ini dianggap
sebagai pemborosan.
32
平井八重『生活改善の栞』生活改善同盟会、1928 (Hirai Yae. Seikatsu Kaizen no Shiori (Tips-tips untuk
Perbaikan Pola Hidup). Better Life Union, 1928)
33
生活改善同盟会編『実生活の建直し』宝文館、1929 (Better Life Union (ed.) op.cit., hal. 401-413)
15

Tahun 1920-an adalah dekade penuh gejolak sosial di Jepang. Gerakan buruh, petani dan
kaum urban miskin yang radikal, terjadi berbarengan dengan kampanye reformasi pola hidup.
Uniknya, akademisi ilmu politik pencetus ide demokrasi di Jepang, Yoshino Sakuzo, yang
menggemparkan media Jepang di awal 1910-an dengan konsep penerapan demokrasi,
memasuki tahun 1920-an justru menggandeng sastrawan (novelis) Arishima Takeo dan ahli
ekonomi Morimoto Atsukichi untuk mendirikan lembaga riset dan mengampanyekan pola
hidup yang berbudaya. Baginya, reformasi pola hidup untuk meningkatkan kesejahteraan hidup,
jauh lebih krusial daripada perubahan sistem pemerintahan atau pun ideologi.

Era Perang: Pembaharuan Mentalitas dan Pola Hidup untuk Tingkatkan


Efisiensi

Pada bulan Juli 1937, militer Jepang memulai perang terbuka di daratan Tiongkok, dan mulai
mengirim pasukan dalam jumlah besar ke medan perang di Tiongkok. Ini berarti orang-orang
yang berkecimpung di bidang produksi (sektor pertanian, industri dan jasa) semakin berkurang,
dan pemerintah harus menganggarkan dana dalam jumlah besar untuk operasi militer. Untuk
mencegah menurunnya produktivitas dan menggenjot penerimaan pajak, pemerintah
mengeluarkan sejumlah UU mobilisasi massa. Hidup hemat dan rajin bekerja, yang
sebelumnya bersifat himbauan, selanjutnya menjadi semi pemaksaan (pemaksaan dengan
sanksi sosial).

Hidup hemat

Segera setelah pecah perang terbuka dengan Tiongkok, pada bulan Agustus 1937, pemerintah
Jepang mengeluarkan UU Mobilisasi Spiritual Nasional. Isinya adalah instruksi kepada semua
unit usaha swasta (perusahaan, bank, pabrik, toko, dan sebagainya) agar membuat dan
melaksanakan rencana kerja masing-masing demi mencapai produktivitas maksimum, dan
kepada setiap unit masyarakat (RT34 dan kelurahan) agar setiap warga menjalani pola hidup
hemat dan rajin bekerja. Penghargaan diberikan kepada individu yang berprestasi, dijadikan
sebagai panutan; individu yang malas, tidak disiplin atau melakukan sabotase, diberi sanksi
sosial berupa julukan ‘tidak nasionalistik’. Dengan demikian, terbentuk jaringan saling

34
RT dalam bahasa Jepang adalah tonarigumi (tonari: tetangga, gumi: grup); sistem ini mulai diterapkan
berdasarkan Peraturan Kementerian Dalam Negeri pada bulan September 1940; di setiap lingkungan
tonarigumi dipilih seorang ketua yang bertugas menyampaikan instruksi pemerintah kepada warga dan
memimpin warga melaksanakan instruksi pemerintah. Ketika militer Jepang menduduki Indonesia, sistem ini
diperkenalkan dan diterapkan, dan diterjemahkan menjadi RT (rukun tetangga)
16

mengawasi. Pekerja yang bermalas-malasan atau warga yang hidup berfoya-foya, akan
dimusuhi oleh rekan kerja dan para tetangga.

Penjabaran konkret dari instruksi tersebut misalnya: resepsi pernikahan ditiadakan


(termasuk larangan menjual perlengkapan resepsi pernikahan di toserba), model pakaian harus
sederhana dan sedapat mungkin memanfaatkan pakaian yang ada (tidak perlu menjahit pakaian
baru), remaja putra semuanya dicukur plontos, semua lampu neon di tempat hiburan malam
dimatikan demi menghemat listrik, restoran dan kafe hanya boleh buka sampai jam 10 malam
(supaya tidak mengganggu aktivitas hari berikutnya), tradisi saling memberi bingkisan di hari
raya ditiadakan.35

Pemerintah daerah berlomba-lomba menyusun dan mensosialisasikan rencana kerja


konkret untuk warga. Misalnya, pada bulan Agustus 1939, walikota Osaka (waktu itu kota
niaga terbesar di Jepang) mengumumkan rencana kerja bagi seluruh pegawai kantor
pemerintah kota maupun warga Osaka, yaitu:

1. Setiap tanggal 1 dijadikan ‘hari bakti kebangkitan Asia,’ seluruh warga diwajibkan
mawas diri, intropeksi atas pola hidup masing-masing. 36 Pada hari tersebut, semua
pegawai pemkot maupun warga kota wajib bangun pagi, memberi hormat ke arah timur
(kota Tokyo, di mana kaisar tinggal), dan mengheningkan cipta bagi arwah pahlawan
yang gugur di medan perang; makan dengan 1 lauk saja, pantang minuman beralkohol,
pantang hadir di pesta; sekolah atau perusahaan melakukan kegiatan latihan fisik
bersama; restoran, bioskop, dan tempat hiburan lainnya dihimbau agar tidak beroperasi;
2. Pembaharuan pola hidup dengan membatasi pesta dan acara hiburan:
1. Sedapat mungkin pesta tidak diadakan; jika terpaksa, tentukan batas maksimum
biaya yang dikeluarkan atau batasi jumlah lauk;
2. Acara pesta yang terkait dengan bisnis, diupayakan sesederhana mungkin;
3. Larangan minuman beralkohol bagi siswa sekolah dan di tempat-tempat yang ada
ibu-ibu dan anak-anak (seperti toserba);
4. Jika terpaksa bepergian, sedapat mungkin jangan makan di luar.
3. Penyederhanaan ritual
Untuk ritual pernikahan:

35
Harian Yomiuri tertanggal 10 Juni 1939
36
Pemerintah militer Jepang menyebut perang dengan Tiongkok (dan setelah Desember 1941, perang dengan
Amerika) sebagai perang pembebasan bangsa-bangsa Asia.
17

1. Sedapat mungkin jumlah hari dipersingkat.


2. Tidak memamerkan mas kawin.37
3. Perlengkapan yang dibawa oleh pengantin perempuan ke rumah calon suami
sedapat mungkin berupa alat-alat yang praktis (bukan hiasan).
4. Sedapat mungkin upacara pernikahan dilangsungkan di tempat ibadah.
5. Pakaian pengantin sedapat mungkin juga bisa dipakai di hari-hari biasa.
6. Upacara pernikahan dilangsungkan dalam waktu sesingkat mungkin dan jumlah
tamu undangan dibatasi sampai seminimal mungkin.

Untuk ritual kelahiran:

1. Acara syukuran kelahiran bayi diadakan oleh keluarga dekat saja, tidak perlu
pemberian kado.

Untuk upacara kematian:

1. Jamuan makan untuk para petugas dan sanak keluarga diupayakan sesederhana
mungkin, tanpa minuman beralkohol.
2. Tamu yang datang melayat, tidak perlu dijamu.
3. Bunga-bunga yang dipersembahkan di rumah duka, diupayakan seminimal
mungkin.
4. Tidak perlu menyediakan souvenir kepada pelayat yang memberi uang duka.

Penghematan dalam kehidupan sehari-hari: tradisi saling memberi bingkisan di hari-


hari raya, pengiriman kartu ucapan, membawa oleh-oleh ketika bertamu ke rumah teman,
ditiadakan; penghematan penggunaan listrik, air, kertas, dan sebagainya.38

Bukan hanya di kota-kota besar, tetapi di juga di kabupaten bahkan desa yang terpencil,
kepala daerah (bupati, kepala desa) bersama warga menyusun juklak yang konkret dan terinci
untuk merealisir pola hidup hemat dan rajin bekerja (pasca kekalahan perang di tahun 1945,

37
Di Jepang ada tradisi memamerkan mas kawin (dari pihak pengantin perempuan) berupa perabot rumah
tangga dan baju pengantin mewah kepada sanak keluarga dan tetangga, untuk menunjukkan bahwa yang
menikah adalah putri orang kaya. Jika mas kawin terlalu sedikit, maka yang ayah dari pengantin perempuan
tersebut akan merasa malu karena merasa dikira orang miskin. Tradisi ini terutama mengakar di daerah
Nagoya (sekarang menjadi pusat industri otomotif Toyota), di mana dikatakan bahwa ‘bapak dengan 3 orang
putri pasti bangkrut.’
38
Harian Osaka Jiji Shinpo tertanggal 17 Agustus 1939
18

juklak-juklak tersebut dilaksanakan kembali dengan tujuan membangun kembali industri dan
ekonomi nasional).

Wajib kerja

Seiring dengan meluasnya medan perang bagi militer Jepang dan semakin banyak prajurit yang
gugur sehingga diperlukan pengiriman prajurit pengganti, semakin banyak warga sipil
dikerahkan ke medan perang. Ini berarti semakin banyak unit kerja (pabrik, perusahaan, lahan
pertanian) kekurangan tenaga kerja.

Untuk menutupi kekurangan tenaga kerja tersebut, pada bulan November 1941,
pemerintah mengeluarkan UU Wajib Kerja Nasional. Laki-laki usia 14 sampai dengan 40 tahun,
perempuan usia 14 tahun sampai dengan 25 tahun (bagi yang belum menikah) diorganisir dan
dikerahkan ke pabrik untuk bekerja, menggantikan buruh yang dikirim ke medan perang. Pada
bulan Juni 1943, dikeluarkan UU yang melarang laki-laki usia produktif melakukan pekerjaan
yang dianggap dapat dilakukan oleh perempuan (seperti karyawan toko, pramusaji, pemeriksa
tiket di stasiun). Di akhir masa perang, siswa-siswi SMP pun dikerahkan untuk bekerja. Setiap
pagi, mereka berkumpul di sekolah, kemudian bersama-sama berangkat ke pabrik untuk
bekerja.

Pembekalan keterampilan

Selama era perang, karena kebutuhan untuk produksi senjata (dan suku cadang senjata) dalam
jumlah besar, sedangkan banyak buruh dan teknisi dikerahkan ke medan perang, maka
pemerintah terpaksa mengalihkan pekerja di sektor non industri (pertanian dan jasa) ke sektor
industri, dan tentu saja dengan membekali mereka dengan keterampilan. Jumlah angkatan kerja
di sektor industri meningkat dari 5,8 juta pada tahun 1930, menjadi 9,5 juta di tahun 1944; pada
tahun 1930, hanya 27% dari total angkatan kerja yang bekerja di sektor industri berat; angka
tersebut meningkat hingga 68% di tahun 1942. Meningkatnya jumlah pekerja industri dan
terutama pekerja di sektor industri berat, mensyaratkan adanya peningkatan kompetensi yang
lebih tinggi; ini memang tercapai berkat pelatihan intra perusahaan; selain itu, jutaan warga
sipil yang direkrut oleh militer dan dikirim ke medan perang, juga menjalani pelatihan teknis
(mengoperasikan peralatan militer) dan kedisiplinan.39

39
John Dower. The Useful War. Carol Gluck & Stephen R. Graubard (eds.) Showa: the Japan of Hirohito. New
York: Norton, 1992. Hal. 53-56
19

Dengan demikian, selama era perang, kualitas SDM Jepang mengalami peningkatan
signifikan. Ini juga merupakan modal bagi Jepang dalam membangun kembali industri pasca
kekalahan perang.

Rekreasi untuk meningkatkan produktivitas

Kondisi perang mensyaratkan seluruh rakyat berpartisipasi secara aktif dalam produksi. Agar
para pekerja cepat pulih dari kondisi lelah dan jenuh, dan kembali bekerja dengan penuh
semangat, maka perlu diberikan fasilitas rekreasi.

Penelitian mengenai jenis-jenis kegiatan rekreasi (terutama olah raga dan kegiatan kesenian)
sudah dimulai di Amerika sejak akhir abad ke-19, seiring dengan industrialisasi. Memasuki era
perang, pemerintah proaktif mendorong penyelenggaraan kegiatan rekreasi bagi rakyat.
Misalnya bertamasya ke tempat-tempat wisata terkenal, mendaki gunung, camping, ikut
pertandingan olah raga dan pagelaran musik dan sebagainya. Penelitian dan penerapan
kebijakan serupa juga dilakukan oleh negara-negara Eropa.

Di Jepang, kegiatan olah raga dan kesenian (dan kesehatan masyarakat) ditangani oleh
direktorat jendral Kesejahteraan Rakyat di bawah kementerian dalam negeri. Pada tahun 1938,
atas inisiatif angkatan darat, direktorat jendral tersebut diubah statusnya menjadi kementerian,
dan lahirlah Kementerian Kesejahteraan Rakyat.

Himbauan kepada rakyat agar tertarik ikut kegiatan rekreasi, dilakukan dengan mencontoh
kebijakan yang sudah dijalankan di negara-negara maju. Misalnya, pada koran yang terbit pada
bulan Oktober 1938, dimuat artikel yang memperkenalkan kegiatan dan kebijakan rekreasi di
Amerika, yaitu kegiatan YMCA (Young Men’s Christian Association), yang kemudian
berkembang menjadi National Recreation Association (NRA) pada tahun 1906. 40 NRA
menerbitkan majalah dan mensosialisasikan informasi dan pengetahuan mengenai kegiatan
rekreasi yang sehat dan bermanfaat. Sampai dengan tahun 1930-an, kegiatan rekreasi sudah
meluas sampai ke semua lapisan masyarakat, membuat rakyat, terutama remaja dan masyarakat
usia produktif merasa hidupnya lebih berharga, sehingga mereka lebih bersemangat dalam
belajar dan bekerja. Remaja diberi kesempatan untuk menjalani kehidupan 4H, yaitu kegiatan

40
http://socialwelfare.library.vcu.edu/organizations/national-recreation-association/
20

yang mengerahkan Head, Hands, Heart, Health (berpikir, kerja nyata, mengasah rasa empati
dan menjaga kesehatan diri sendiri).41

Contoh lain yang diperkenalkan adalah Italia dan Jerman. Di Italia, partai Fasis yang
dibentuk oleh Benito Mussolini mendirikan Opera Nazionale Dopolavoro (OND), yang secara
harafiah artinya klub nasional setelah jam kerja. Kegiatan setelah jam kerja artinya rekreasi.
OND mengorganisir pertandingan olah raga, pementasan kesenian (konser, teater, pemutaran
film), program pendidikan kesenian di tingkat daerah (kota, kabupaten, desa, perusahaan), dan
memberi subsidi (termasuk diskon) kepada warga. Di Jerman, pemerintahan Nazi mendirikan
organisasi rekreasi Kraft durch Freude (KdF; kekuatan yang bersumber dari kegembiraan).
KdF mengorganisir buruh pabrik untuk kegiatan rekreasi seperti piknik, mendaki gunung, dan
kegiatan kesenian lainnya, sehingga dalam waktu singkat, produktivitas industri Jerman
meningkat pesat.42

Di Jepang, Kementerian Kesejahteraan Rakyat dibentuk pada bulan Januari 1938;


kemudian, pada bulan April, dibentuk Asosiasi Rekreasi Jepang (ARJ). Ketua ARJ dijabat oleh
Godo Takuo, menteri Perdagangan, Perindustrian, Pertanian dan Kehutanan. Komisaris ARJ
dijabat oleh dirjen dari kementerian Kesejahteraan Rakyat; para pengurus ARJ adalah para
kepala daerah (walikota) dan ketua ormas. Mengikuti jejak negara-negara tersebut, ARJ
bekerja sama dengan pemda dan pimpinan perusahaan swasta untuk mengorganisir serta
mendukung kegiatan rekreasi, serta menyelenggarakan kongres nasional tiap tahun,
mengevaluasi pelaksanaan program-program pertandingan olah raga dan kesenian di tiap
daerah, serta membahas rencana rekreasi ke depan.43

Hasilnya, seperti juga di negara-negara maju lainnya, rakyat Jepang secara umum menjadi
lebih bersemangat dalam bekerja, sehingga produktivitas meningkat.

Peningkatan angka kelahiran, kesehatan dan stamina

41
http://www.clover.okstate.edu/fourh/aitc/lessons/upper/fourh.pdf
42
Kampanye Peningkatan Kesejahteraan Hidup di Berbagai Negara Lain. Dimuat secara bersambung di surat
kabar Osaka Mainichi Shimbun, tanggal 14 – 17 Oktober 1938; Tsuzuku Makoto. A study on the Japanese
recreation association’s perspective on the Kraft durch Freude: Analysis of “Kosei-no-Nihon”. Dalam: Bulletin of
Japan Women’s College of Physical Education. Vol. 47 no. 11, Maret 2017, pp. 115-119
43
Tsuzuku Makoto. The Recreation Movement in Wartime Japan: Focusing on the Japanese Recreation
Convention (1938-1940). Dalam: Bulletin of Institute of Health & Sport Science, Univ. of Tsukuba, vol.34, 2011;
pp. 27-34
21

Menghadapi situasi pecahnya perang dengan Tiongkok pada bulan Juli 1937, yang memaksa
militer mengirimkan serdadu dalam jumlah besar dan dengan kondisi kesehatan (dan stamina)
yang prima ke medan perang, pihak angkatan darat mendesak agar dibentuk kementerian yang
fokus menangani masalah kesehatan (jasmaniah dan rohaniah) calon serdadu. Pada bulan
Januari 1938, ditjen urusan kesehatan dan kesejahteraan rakyat pada Kementerian Dalam
Negeri diubah statusnya menjadi Kementerian Kesejahteraan Rakyat.

Program kerja pertama dari kementerian ini adalah mendirikan puskesmas di seluruh
Jepang. Pada tahun 1937, di seluruh Jepang hanya ada 49 puskesmas; pada tahun 1942, jumlah
tersebut meningkat menjadi 187. Puskesmas berfungsi memberi layanan medis secara gratis
(termasuk cek kesehatan) dan konsultasi bagi ibu hamil.

Pada tahun 1942, pemerintah menerapkan sistem buku rekam jejak ibu hamil. Setiap
perempuan yang hamil wajib lapor ke instansi pemda masing-masing, dan diberi buku rekam
jejak ibu hamil. Setiap kali menjalani pemeriksaan, petugas medis di puskesmas akan
mencatatkan perkembangan terakhir (termasuk tindakan medis terhadap) ibu hamil tersebut.

Selama era perang, angka kematian bayi menurun, kondisi kesehatan dan pengetahuan serta
kesadaran untuk menjaga kesehatan pada masyarakat pada umumnya membaik.

Reformasi Pasca Perang: Demokrasi demi Kehidupan yang Lebih Sejahtera

Pada bulan Agustus 1945, Perang di Asia Pasifik berakhir dengan kekalahan Jepang terhadap
Sekutu (yang diwakili oleh Amerika Serikat).

Menurut data statistik, 66 kota skala besar dan menengah di Jepang, termasuk
Hiroshima dan Nagasaki, hancur karena pemboman oleh Amerika. Sekitar ¼ dari aset nasional
musnah. Di samping itu, aset Jepang (baik milik pemerintah maupun swasta) di negeri-negeri
jajahan (pulau Taiwan 44 dan semenanjung Korea 45 ) serta sejumlah kota besar di Tiongkok
(properti, pabrik, toko dan sebagainya) juga terpaksa ditinggalkan begitu saja.

Ketika Jepang menyerah, banyak ahli memperkirakan Jepang akan jatuh miskin. Tetapi
ternyata tidak. Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1955, produktivitas industri Jepang sudah
pulih hingga ke level tertinggi yang pernah dicapai sebelum perang. Pada tahun 1960, Jepang
memulai era masa pertumbuhan ekonomi tinggi. Pada tahun 1968, PDB Jepang menempati

44
Jajahan Jepang, 1895-1945
45
Jajahan Jepang, 1910-1945
22

urutan nomor 2 di dunia, setelah Amerika Serikat. Jepang di awal abad ke-21 ini adalah salah
satu negara dengan tingkat kriminalitas terendah di dunia.46

Untuk memahami alasan keberhasilan Jepang pasca kekalahan perang, kita perlu
mengetahui upaya apa saja yang telah dilakukan oleh pemerintah dan rakyat Jepang.

Langkah awal untuk bangkit: reformasi pendidikan

Bagi Jepang, kekalahan perang menyebabkan tatanan sosial ekonomi dan politik kacau.
Jaringan produksi dan distribusi hampir lumpuh, sehingga hampir seluruh rakyat Jepang hidup
dalam kemiskinan dan tanpa masa depan yang jelas. Ini menyebabkan mereka putus harapan,
sehingga cenderung apatis, malas, egois, tidak disiplin, dan boros (hanya memikirkan
kesenangan sesaat). Kriminalitas (perampokan, pelacuran, penyalahgunaan obat, penipuan,
sabotase) meningkat drastis. Sanitasi dan gizi yang sangat buruk menyebabkan kondisi
kesehatan rakyat Jepang sangat buruk, sehingga produktivitas rakyat Jepang juga rendah.47

Para birokrat dan tokoh masyakarat lokal, yang sudah melakoni kampanye reformasi
pola hidup sejak tahun 1920-an, segera mulai menyemangati rakyat agar bangkit kembali.

Segera setelah tersiar berita kekalahan dalam perang, para pemimpin masyarakat
Jepang (termasuk kaum intelektual) langsung menyimpulkan bahwa kalah perang disebabkan
oleh buruknya kualitas SDM Jepang; sistem pendidikan sekolah selama ini terlalu menekankan
formalitas dan keseragaman. Akibatnya, rakyat Jepang kurang kreatif, kurang kritis, kurang
inisiatif, dan kurang kemauan untuk hidup lebih sehat sejahtera. Selain itu, pendidikan di
Jepang juga dianggap kurang berhasil dalam menanamkan pola berpikir yang ilmiah, sehingga
rakyat Jepang masih cenderung percaya pada takhayul. Dengan kata lain, pendidikan selama
ini dianggap belum dapat mencerdaskan rakyat, sehingga rakyat tetap bodoh dan minim rasa
tanggung jawab sosial (=cenderung cari aman), dan karena itulah, Jepang kalah perang.

Satu bulan setelah kalah perang, tepatnya pada tanggal 15 September 1945, pemerintah
Jepang mengumumkan ‘Educational Policy for the Construction of a New Japan’ (Kebijakan
Pendidikan untuk Rekonstruksi Nasional). Dalam Kebijakan tersebut dicanangkan bahwa
tujuan pendidikan adalah mendidik generasi muda agar mampu berpikir secara ilmiah dan
rasional; bahwa perlu diselenggarakan program pelatihan kepada para guru agar dapat

46
http://www.civitas.org.uk/content/files/crime_stats_oecdjan2012.pdf
47
John Dower. Embracing Defeat. W.W. Norton & Company, 1999.
23

mengemban misi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan; anjuran kepada rakyat agar
bekerja keras demi membangun kembali Jepang pasca perang.48 Dan untuk mencapai tujuan
pendidikan tersebut, institusi pendidikan calon guru diubah dari IKIP (institut keguruan dan
ilmu pendidikan) menjadi universitas, agar para calon guru tidak hanya dibekali dengan
pengetahuan mengenai metode pengajaran, tetapi juga memiliki pengetahuan dan wawasan
yang luas.

Kemudian, pemerintah dan para pakar pendidikan melakukan pembahasan untuk


merevisi UU Pendidikan. Setelah berdiskusi dan konsultasi dengan tim ahli pendidikan dari
Amerika Serikat, pada tahun 1947 disahkan Undang-Undang Pendidikan (Fundamental Law
of Education).49 Dalam UU tersebut dicantumkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah
membina warga negara yang mampu berpikir rasional (tidak percaya pada takhayul, tidak
bertindak dengan modal nekad), rajin bekerja, memiliki rasa tanggung jawab sosial, serta
berjiwa mandiri (tidak tergantung pada orang lain ataupun pada pemerintah), menjunjung
tinggi kebenaran dan keadilan, dan mampu menghasilkan kebudayaan baru. Di samping itu,
juga dicantumkan kewajiban pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mensponsori
fasilitas untuk pendidikan luar sekolah, seperti perpustakaan, museum, balai kota/balai desa.

Selanjutnya, pelaksanaan pendidikan luar sekolah dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-
undang Pendidikan Luar Sekolah, yang disahkan pada tahun 1949.50

UU Pendidikan Luar Sekolah tersebut mencakup pendidikan untuk anak-anak usia pra-
sekolah dan untuk orang dewasa. Balai desa/balai kota pada setiap pemda merupakan instansi
penyelenggara pendidikan luar sekolah. Tujuan dari pelaksanaan pendidikan luar sekolah
adalah membantu warga untuk terus menerus menambah pengetahuan dan wawasan, dan
menyediakan sarana rekreasi (olah raga dan kesenian) kepada kaum remaja, agar terhindar dari
hiburan yang tidak sehat (pornografi) dan kriminalitas. Di samping itu, juga untuk membangun
solidaritas antarwarga.

Untuk menunjang pendidikan luar sekolah, pada tahun 1950 disahkan Undang-undang
Perpustakaan, dan pada tahun 1951 disahkan Undang-undang Museum. Berdasarkan kedua UU
tersebut, setiap pemda wajib mendirikan dan mengelola sarana perpustakaan dan museum

48
http://www.mext.go.jp/b_menu/hakusho/html/others/detail/1317416.htm
49
https://en.wikipedia.org/wiki/Fundamental_Law_of_Education
50
http://www.mext.go.jp/component/a_menu/education/detail/__icsFiles/afieldfile/2010/06/01/1285289_1.pdf
24

sebagai bentuk layanan publik, dengan tujuan menambah pengetahuan dan memperluas
wawasan pada warga setempat, sehingga dapat bekerja dengan lebih efisien dan hidup lebih
sejahtera.

Kampanye menabung51

Sekitar 3 minggu setelah pengumuman kekalahan perang, tepatnya pada tanggal 11 September
1945, pemerintah Jepang mengumumkan keputusan kabinet terkait program gerakan nasional
menabung.

Dalam keputusan kabinet tersebut disebutkan bahwa pasca kekalahan perang, Jepang
harus melakukan rekonstruksi nasional, dan dana untuk rekonstruksi hanya dapat diharapkan
dari rakyat.

Pasca kekalahan perang, jaringan produksi dan distribusi kacau, sehingga terjadi hiper
inflasi. Rakyat berbondong-bondong memborong dan menimbun barang-barang kebutuhan
pokok, sehingga semakin memicu laju inflasi.

Untuk menekan laju inflasi, pemerintah menghimbau kepada rakyat agar rajin bekerja
dan hidup hemat, meingkatkan pendapatan dan mengurangi belanja, sehingga dapat
menyisihkan sebagian dari pendapatan untuk dimasukkan ke lembaga keuangan sebagai
tabungan. Dengan berkurangnya belanja, maka permintaan barang di pasar akan menurun, dan
harga akan turun. Selain itu, dana yang terhimpun oleh bank dapat dimanfaatkan oleh
pemerintah untuk belanja dan pembiayaan publik, sehingga pemerintah tidak perlu terus
menerus mencetak uang kertas. Dengan demikian, uang yang beredar akan berkurang dengan
sendirinya inflasi akan mereda.

Skema untuk menekan inflasi tersebut dicetuskan oleh gubernur Bank Sentral Jepang
waktu itu, Ichimada Hisato. Ichimada pernah bertugas di Berlin, Jerman, pada tahun 1923-
1926. Ketika itu, Jerman mengalami hiperinflasi pasca kekalahan dalam Perang Dunia Pertama;
adalah gubernur bank sentral Jerman waktu itu, Hjalmar Schacht, yang menerapkan kebijakan
himbauan menabung, dan berhasil menjinakkan hiperinflasi. Ichimada kemudian menerapkan

Deskripsi mengenai kampanye menabung dalam sub-bab ini, dikutip dari buku 貯蓄増強中央委員会編 『貯
51

蓄運動史:貯増委 30 年のあゆみ』東京、1983 (Komite Pusat Kampanye Menabung (ed.). Sejarah Gerakan


Menabung: 30 Tahun Perjalanan Komite Kampanye Menabung. Tokyo, 1983)
25

skema Schacht tersebut di Jepang, juga untuk mengatasi kondisi hiperinflasi pasca kekalahan
perang.

Bersamaan dengan himbauan menabung tersebut, pemerintah juga menginstruksikan


kepada institusi keuangan (kantor pusat dan kantor cabang semua bank) di seluruh pelosok
negeri, agar memberi kemudahan kepada nasabah yang hendak menabung. Pemerintah
(kementerian keuangan) memberikan bantuan kepada lembaga keuangan dalam kampanye
menarik nasabah, yaitu membagikan sepeda, alas kaki dan tiket kereta api kepada pegawai
bank yang berkeliling untuk mendapatkan nasabah, memberikan penghargaan dan insentif
kepada cabang bank atau pegawai bank yang telah berhasil mendapatkan nasabah dan jumlah
tabungan yang signifikan.

Agar rakyat antusias menyimpan uangnya di bank, kementerian keuangan Jepang


mengeluarkan sejumlah kebijakan pendukung, seperti membuat pernyataan resmi bahwa pihak
yang berwajib tidak akan meminta informasi nasabah pada pihak bank, kecuali terdapat dugaan
kuat bahwa nasabah tersebut melakukan tindakan kriminal pengelakan pajak dan sebagainya;
suku bunga untuk deposito berjangka dinaikkan.

Selain itu, pihak bank juga melakukan berbagai upaya guna menarik nasabah, seperti
mengadakan undian berhadiah, di mana hadiah-hadiah yang diberikan adalah produk-produk
yang sulit diperoleh di pasar bebas (seperti mesin jahit, kain, dan sebagainya); juga terdapat
hadiah berupa insentif penambahan jumlah saldo (hadiah sejumlah uang yang langsung
ditambahkan pada saldo nasabah tersebut).

Tabungan perorangan berasal dari surplus keuangan rumah tangga, sedangkan ada
tidaknya (atau banyak sedikitnya) surplus keuangan rumah tangga tergantung pada usaha ibu
rumah tangga. Oleh karena itu, pemerintah mengerahkan organisasi wanita di tiap daerah untuk
membagikan buku catatan pemasukan dan belanja rumah tangga kepada ibu-ibu di daerah
tersebut, mengajarkan cara mencatat setiap pengeluaran, dan cara mengelola keuangan rumah
tangga dengan cermat. Dengan demikian, diharapkan setiap keluarga setiap bulan dapat
menyisihkan sejumlah uang untuk dimasukkan ke dalam tabungan (bank).

Untuk mensukseskan kampanye nasional menabung, sejak Desember 1946,


kementerian keuangan Jepang mengerahkan artis dan pelawak serta pelukis karikatur (manga-
ka) untuk mensosialisasikan manfaat menabung demi kepentingan nasional sekaligus demi
meningkatkan kesejahteraan keluarga.
26

Sejak tahun 1949, perekonomian Jepang mulai beralih dari tahap pemulihan ke tahap
pertumbuhan. Untuk itu, kementerian keuangan Jepang kembali menghimbau rakyat agar giat
menabung, menghimpun modal agar perusahaan dapat melakukan investasi dan meningkatkan
produksi, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat dipacu. Dan dengan pertumbuhan ekonomi,
maka Jepang berpeluang menjadi mandiri secara ekonomi.

Pada bulan September 1951, Jepang menandatangani Perjanjian San Francisco 52 ,


dengan demikian, Jepang kembali menjadi negara merdeka (sejak kalah perang pada tahun
1945 sampai dengan 1952, Jepang diduduki oleh tentara Amerika). Momentum ‘kemerdekaan
politik’ ini dimanfaatkan oleh pemerintah Jepang untuk mendorong rakyat agar semakin rajin
bekerja dan hidup hemat, agar dapat menabung dan membantu pemerintah secepatnya
mencapai ‘kemerdekaan (mandiri secara) ekonomi’.

Pada tanggal 15 April 1952, Bank Sentral Jepang (Bank of Japan) mendirikan Komite
Pusat Kampanye Menabung. Anggotanya terdiri dari mantan pejabat (seperti mantan menteri
keuangan), para kadinda, akademisi, serta anggota parlemen.

Komite ini memberikan himbauan konkret kepada masyarakat supaya menabung, yaitu:

1. Setiap individu dan keluarga harus berusaha untuk hidup hemat.


2. Perusahaan harus berusaha meningkatkan efisiensi (sehingga dapat meningkatkan
laba).

Slogan yang disosialisasikan adalah: ‘menabung adalah pondasi bagi negara merdeka’
‘marilah kita menabung 10 Yen setiap hari setiap warga negara’, ‘marilah ibu-ibu mencatat
semua pengeluaran’. Dengan membuat catatan pengeluaran, ibu-ibu rumah tangga dapat
membuat rencana pengeluaran, sehingga kondisi ekonomi rumah tangga menjadi lebih
terjamin.

Pada tahun 1952, kementerian keuangan menetapkan tanggal 17 Oktober sebagai ‘hari
menabung’; dan agar rakyat semakin tertarik untuk menabung, pajak yang dikenakan pada
bunga tabungan diturunkan.

52
https://treaties.un.org/doc/publication/unts/volume%20136/volume-136-i-1832-english.pdf (perjanjian
perdamaian antara Jepang dengan negara-negara yang telah menyatakan perang dengan Jepang.
Penandatangan yang mewakili pemerintah Indonesia adalah Ahmad Soebardjo)
27

Kaum rohaniawan pun diikutsertakan dalam kampanye ini. Pada acara pemberkatan
pernikahan di jinja (kuil Shinto), pendeta Shinto (disebut kannushi) menyerahkan surat
himbauan menabung yang ditandatangani oleh gubernur dan kepala cabang bank Jepang di
propinsi tempat pasangan baru tersebut bermukim, dengan wejangan agar pasangan baru
tersebut rajin menabung demi kehidupan yang lebih sejahtera.53

Memasuki akhir 1950-an, pemulihan ekonomi sudah berhasil dan ekonomi Jepang
mulai beralih ke tahap pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan ekspor. Kembali pemerintah
menghimbau rakyat agar hidup hemat dan menabung agar perusahaan mendapatkan suntikan
modal guna meningkatkan produktivitas dan daya saing di pasar internasional. Media cetak
maupun media elektronik dimanfaatkan untuk sosialisasi pola hidup hemat dan manfaat
menabung bagi kepentingan pribadi sekaligus bagi kepentingan nasional. Para pejabat, tokoh
masyarakat, dan akademisi tampil memberi ulasan kepada masyarakat luas tentang manfaat
dan pentingnya menabung.

Pekan olah raga untuk memulihkan semangat kerja54

Pasca kekalahan perang, para tokoh dunia olah raga segera melakukan rekonsolidasi secara
organisasi, dan menyusun rencana pelaksanaan pekan olah raga. Pada bulan Agustus 1946,
dilangsungkan pekan olah raga nasional (Kokumin Taiku Taika, disingkat Kokutai) yang
pertama di kota Kyoto. Sebanyak 5377 orang atlet, masing-masing membawa bekal sendiri,
berpartisipasi dalam Kokutai tersebut.

Kokutai kedua diselenggarakan pada tahun 1947. Selanjutnya, secara rutin


dilangsungkan pesta olah raga tahunan; semua prefektur (propinsi) di Jepang mendapat giliran
sebagai tuan rumah.

Kokutai menjadi ajang bagi para atlet nasional untuk mengasah diri dan menimba
pengalaman. Tigabelas tahun setelah kalah perang, pada tahun 1958, Jepang berhasil menjadi
tuan rumah pesta olah raga Asian (Asian Games); dan pada tahun 1964, Jepang berhasil
menjadi negara pertama di luar Eropa dan Amerika Utara yang menyelenggarakan Olimpiade.

53
あしたの日本を創る協会編『私たちの 50 年 上巻』東京、2006 (Asosiasi untuk Pembangunan Jepang
di Masa Depan (ed.) 50 tahun Perjalanan Kami jilid 1. Tokyo, 2006)
54
http://www.japan-sports.or.jp/english/tabid/644/Default.aspx
28

Penyelenggaraan pesta olah raga internasional menjadi kebanggaan bagi seluruh rakyat
Jepang; mereka menjadi semakin percaya diri dan semakin terpacu untuk berusaha menjadi
lebih baik dalam bekerja (produksi), dan sikap hidup sehari-hari.

Program rekreasi nasional

Pasca kekalahan perang, rakyat Jepang pada umumnya merasa pesimis terhadap masa depan.
Ini tentu saja menurunkan semangat kerja, dan menyebabkan produktivitas rendah. Untuk
mengatasinya, pada tahun 1947, Kementerian Kesejahteraan Rakyat mendirikan Asosiasi
Rekreasi Jepang. 55 Asosiasi ini menyelenggarakan kegiatan kesenian (terutama kegiatan
menari bersama/social dance) dan pertandingan olah raga di berbagai daerah di seluruh pelosok
negeri. Tujuannya adalah menciptakan suasana gembira dengan dana yang sangat terbatas.
Melalui kegiatan-kegiatan olah raga dan kesenian, rasa galau (terutama pada generasi muda)
dapat diatasi, rasa kebersamaan dalam komunitas dapat dibina (tercipta masyarakat yang lebih
harmonis), dan kriminalitas akibat kenakalan remaja dapat dicegah.

Sejak tahun 1947, asosiasi ini menyelenggarakan pertemuan tahunan, dengan tema
yang disesuaikan dengan kondisi (permasalahan) di lapangan; setiap propinsi (di Jepang
disebut prefektur) secara bergiliran menjadi tuan rumah. Selain itu, asosiasi ini juga mendanai
penelitian metode penyelenggaraan acara kesenian dan olah raga yang efektif, serta
pendidikan/pelatihan dan sertifikasi untuk petugas penyuluhan rekreasi.

Reformasi pola hidup

Dalam kampanye nasional menabung, pemerintah menekankan bahwa berhasil tidaknya


rekonstruksi ekonomi nasional, tergantung pada usaha setiap individu warga negara.
Menabung hanya dapat terwujud jika setiap warga negara dapat menyisihkan sebagian dari
penghasilan, dan sekaligus menyadari pentingnya menabung bagi kesejahteraan hidup mereka
sendiri. Tujuan kedua dapat dicapai dengan upaya kampanye nasional melalui berbagai media;
sedangkan tujuan pertama dapat dicapai jika setiap warga negara dapat bekerja dengan lebih
efisien sehingga penghasilan meningkat, sekaligus dapat hidup dengan hemat sehingga
pengeluaran berkurang. Dan agar dapat hidup hemat, mereka perlu diarahkan, diberi masukan-
masukan konkret, apa saja yang harus dan dapat dilakukan. Masukan-masukan konkret tersebut
meliputi segi sandang, pangan, papan, dan kehidupan sosial.

55
http://www.recreation.or.jp/association/transition/
29

Sandang

Melanjutkan kampanye nasional yang telah dilakukan sebelum perang dan selama masa perang,
pasca perang dunia kedua, pemerintah bekerja sama dengan tokoh masyarakat dan pelaku
usaha fashion dan dunia pendidikan (kursus menjahit), kembali mempopulerkan pakaian yang
praktis dan patut. Praktis dipakai untuk berbagai aktivitas (di tempat kerja maupun ketika
mengerjakan pekerjaan rumah tangga) dan terlihat patut sehingga tidak perlu berkecil hati
(minder) ketika tampil di depan umum. Tokoh masyarakat (termasuk desainer terkemuka)
mensosialisasikan cara menjahit pakaian, terutama melalui media majalah. Pakaian yang
dianggap praktis dan patut adalah pakaian ala Barat, bukan pakaian tradisional Jepang (yang
kita sebut ‘kimono’).

Pangan

Pasca kekalahan perang, Jepang menderita kekurangan pangan, karena sawah dan ladang
banyak yang terbengkalai akibat para petani dikerahkan ke medan perang. Gizi buruk
menyebabkan daya tahan tubuh rakyat Jepang pada umumnya sangat rendah, sehingga rentan
terhadap berbagai penyakit. Akibatnya, biaya pengobatan membengkak, produktivitas tenaga
kerja sangat rendah. Ini merupakan kerugian nasional.

Satu tahun setelah kalah perang, kementerian kesehatan Jepang membentuk Divisi
urusan Gizi pada Direktorat urusan Kesehatan Masyarakat, dan mulai bekerja sama dengan
para ahli gizi mensosialisasikan cara-cara perbaikan gizi. Pada tahun 1948, disahkan UU
Puskesmas, yang mengatur bahwa di setiap puskesmas di seluruh pelosok negeri harus
ditempatkan ahli gizi. Mereka bertugas memberi penyuluhan untuk perbaikan gizi dan cara
membuat masakan yang lezat dan bergizi namun dengan metode yang praktis (hemat waktu,
hemat tenaga). Para ibu rumah tangga juga diajarkan cara memilih bahan makanan yang
berkualitas dan cara belanja bersama (dalam kelompok RT, misalnya), supaya dapat membeli
bahan makanan dengan harga yang lebih murah.

Sejak tahun 1949, kementerian kesehatan bekerja sama dengan kementerian pertanian,
kementerian pendidikan dan kementerian ketenagakerjaan serta pemprov seluruh Jepang dan
asosiasi ahli gizi nasional, menyelenggarakan pekan kampanye nasional perbaikan gizi.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan mencakup pemutaran film dan slide, kuliah umum di balai
desa atau balai kota, pembagian pamflet, yang semuanya bertujuan mensosialisasikan
30

pengetahuan mengenai pentingnya peningkatan gizi dalam kehidupan sehari-hari setiap


keluarga.

Pada tahun 1952, disahkan Undang-undang Perbaikan Gizi, yang bertujuan


meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi yang baik dan meningkatkan
kondisi fisik masyarakat sehingga kesejahteraan hidup masyarakat dapat ditingkatkan.
Berdasarkan Undang-undang tersebut, dibentuk Lembaga Riset Masalah Gizi dan Kesehatan
Nasional yang bernaung di bawah kementerian kesehatan, dan semua kepala daerah tingkat I
(gubernur) diberi tanggung jawab untuk mengadakan survei mengenai kondisi gizi dari
penduduk di daerah tingkat I tersebut.

Pada tahun 1955, kementerian kesehatan membentuk Asosiasi untuk Meningkatkan


Kualitas Konsumsi Pangan Jepang. Dengan dana anggaran dan struktur organisasi yang
dibentuk, organisasi ini mengelola mobil penyuluhan (kitchen car), berkeliling dari rumah ke
rumah dan dari instansi kerja ke instansi kerja, untuk mensosialisasikan pengetahuan mengenai
asupan gizi yang tepat, agar kondisi kesehatan dan stamina semakin membaik.

Organisasi ini masih aktif hingga sekarang. Melalui website, informasi mengenai resep
lauk pauk khas dari berbagai daerah di Jepang, serta lauk pauk khusus untuk anak-anak, lansia
dan penderita penyakit-penyakit tertentu (yang dirancang oleh para ahli gizi), disosialisasikan
ke publik.56

Papan

Pasca kekalahan perang, Jepang mengalami kekurangan sarana tempat tinggal, terutama di
kota-kota besar; karena banyak kota yang dijatuhi bom oleh militer Amerika, sehingga rumah-
rumah penduduk terbakar. Banyak penduduk mendirikan tempat tinggal sementara, dengan
kondisi sanitasi dan ventilasi yang sangat buruk. Demikian pula di daerah pedesaan, di mana
warga tidak memiliki pengetahuan yang memadai bagaimana mendesain rumah dengan
ventilasi dan sanitasi yang baik.

Setelah kondisi ekonomi mulai membaik, kebutuhan sandang dan pangan nasional
terpenuhi, pemerintah dan tokoh masyarakat memulai kampanye penyuluhan desain rumah

56
http://www.shokuseikatsu.or.jp/index.php
31

yang higienis. Fokus perbaikan adalah dapur dan toilet. Ventilasi dapur dan kebersihan toilet
diperbaiki, sehingga kondisi kesehatan penghuni membaik.

Kehidupan sosial

Melanjutkan kampanye reformasi pola hidup yang sudah dijalankan sejak tahun 1920-an,
perbaikan kehidupan sosial pasca perang ini meliputi upaya mengikis pola berpikir ‘gengsi dan
basa basi’ dan kepercayaan pada takhayul; anjuran untuk tepat waktu (tidak ngaret) pada acara
pertemuan warga, hidup hemat, dan bersedia berdialog dengan warga lain maupun anggota
keluarga sendiri berdasarkan prinsip kesetaraan.

Gengsi dan basa basi merupakan tradisi pada masyarakat mana pun, termasuk
masyarakat tradisional Jepang. Gengsi dengan tetangga atau sanak keluarga sehingga belanja
barang-barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan; menjadikan pesta pernikahan dan upacara
pemakaman sebagai ajang pamer, padahal kondisi keuangan keluarga tidak begitu baik (jiwa
BPJS = budget pas-pasan, jiwa sosialista); saling memberi hadiah/bingkisan pada hari raya
tertentu padahal bingkisan tersebut tidak dibutuhkan oleh si penerima; percaya bahwa tahun
tertentu atau hari tertentu adalah tahun/hari beruntung atau tahun/hari sial; malu untuk hidup
hemat/sederhana karena takut disangka orang miskin. Ini semua adalah kebiasaan-kebiasaan
yang bersumber dari pola pikir tradisional, yang oleh pemerintah dan tokoh masyarakat
dianggap sebagai pola pikir yang tidak rasional, sehingga menghambat kemajuan Jepang. Dan
oleh karena itu, pemerintah bekerja dengan tokoh masyarakat berusaha mengajak masyarakat
untuk sedikit demi sedikit mengikis pola pikir tersebut.

Pada tahun 1955, dibentuk Asosiasi Kampanye Hidup Baru, atas inisiatif para pejabat
kementerian pendidikan dan mantan pejabat kementerian dalam negeri57 serta sejumlah tokoh
akademisi dan tokoh dunia usaha, dan berada di bawah koordinasi Perdana Menteri. Lembaga
ini mendirikan perwakilan di setiap kantor pemprov di seluruh Jepang, dan memulai kampanye
‘hidup baru’ (modernisasi pola hidup).

Dalam wawancara pada tahun 1956, perdana menteri Jepang waktu itu, Hatoyama
Ichiro, menekankan bahwa kesulitan hidup (kemiskinan, rasa frustrasi) menjadikan manusia
(termasuk rakyat Jepang) tidak bermoral; oleh karena itu, tujuan akhir dari kampanye hidup
baru adalah menjadikan rakyat Jepang masyarakat yang bermoral melalui terciptanya

57
Kementerian Dalam Negeri Jepang dibubarkan oleh penguasa pendudukan Amerika pada tahun 1947.
32

kehidupan yang mudah dan nyaman. Contoh konkret adalah upaya-upaya dalam kehidupan
sehari-hari, seperti membuang sampah pada tempatnya dan membersihkan jalan dan selokan
di depan rumah agar tidak menjadi sarang nyamuk dan lalat, akan menjadikan lingkungan
hidup bersih, kemungkinan terjangkitnya penyakit lebih kecil, warga dapat hidup lebih sehat
dan nyaman, waktu dan energi dapat digunakan untuk hal-hal yang produktif, pengeluaran
untuk pengobatan dapat dialihkan untuk keperluan lain. Dengan demikian, rajin menyapu
setiap hari pada akhirnya akan berdampak pada membaiknya kehidupan material dan
menjadikan masyarakat lebih bermoral; dalam konstitusi memang tercantum bahwa
pemerintah wajib menjamin kehidupan rakyat yang berbudaya 58 dan demokratis, namun
kesejahteraan hidup hanya dapat diwujudkan melalui kerja keras dari masing-masing warga
negara.59

Para penyuluh diterjunkan ke dalam masyarakat untuk mensosialisasikan ‘pola hidup


yang modern dan rasional’, seperti saling menghargai sesama anggota masyarakat dan sesama
anggota keluarga, guna menciptakan kehidupan keluarga dan masyarakat yang harmonis; hadir
tepat waktu pada acara pertemuan, topik pembicaraan tidak menyimpang supaya acara
pertemuan dapat berakhir tepat waktu; acara makan-makan pada akhir tahun dan acara pesta
tahun baru, yang merupakan tradisi yang menyebabkan pemborosan, dianjurkan agar
ditiadakan; upacara pernikahan dilaksanakan secara sederhana, dengan anggaran yang dibatasi,
rekan-rekan anggota ormas pemuda (karang taruna) dan ormas wanita (darma wanita)
membantu secara suka rela (tanpa dibayar), resepsi disenggarakan di balai desa/balai kota
sehingga gratis, makanan yang disuguhkan dibuat sederhana; tamu undangan dianjurkan agar
membatasi jumlah uang (tanda ucapan selamat) yang diberikan. Demikian pula pada upacara
kematian, dianjurkan agar hidangan yang disajikan kepada sanak keluarga yang datang melayat,
dibuat menjadi lebih sederhana; dihimbau agar nilai nominal uang duka dikurangi, dan
souvenir tanda terima kasih kepada pelayat, ditiadakan.60

Pada tanggal 1 Januari, rakyat Jepang biasanya menghiasi pintu depan rumah dengan
kadomatsu, yaitu hiasan yang dirangkai dari bambu dan dahan pinus.61 Setelah perayaan tahun

58
Dalam konstitusi Jepang, ‘kehidupan berbudaya’ digunakan sebagai lawan kata dari kondisi ‘hidup serba
berkekurangan’. Lihat pasal 25: https://www.constituteproject.org/constitution/Japan_1946.pdf?lang=en
59
Asosiasi untuk Pembangunan Jepang di Masa Depan (ed.), op.cit.
60
Asosiasi untuk Pembangunan Jepang di Masa Depan (ed.). 25 tahun Perjalanan Kampanye Pola Hidup Baru.
Tokyo, 1981.
61
Bambu dan pinus adalah tumbuh-tumbuhan yang tidak gugur di musim dingin, sehingga dijadikan simbol
panjang umur.
33

baru berakhir, hiasan tersebut dibuang. Ini dianggap sebagai pemborosan. Oleh karena itu,
pemerintah menghimbau agar masyarakat menempelkan kertas dengan gambar bambu dan
pinus saja. Satu lembar kertas tentu jauh lebih murah dibandingkan dengan rangkaian bambu
dan dahan pinus.

Kadomatsu (hiasan tahun baru berupa rangkaian dari bambu dan dahan pinus).

Kadomatsu dari kertas.

Upacara perayaan keagamaan juga menjadi sorotan adalah ritual yang bersifat semi
religius dan semi budaya, yang dalam bahasa Jepang disebut matsuri. Di setiap desa terdapat
sejumlah kuil Shinto (jinja), dan setiap jinja mensyaratkan ritual untuk memuja dewa; dengan
demikian, dalam satu tahun diselenggarakan beberapa kali ritual pemujaan dewa. Bagi
pemerintah, ini pemborosan, karena pengeluaran warga bertambah sedangkan waktu untuk
bekerja menjadi berkurang. Para penyuluh berusaha melakukan persuasi, agar melalui
musyawarah para pengurus masing-masing jinja, disepakati tanggal pelaksanaan yang sama,
sehingga ritual dari beberapa jinja dapat diselenggarakan pada tanggal yang sama. Argumen
yang digunakan adalah bahwa ritual keagamaan tersebut merupakan peninggalan zaman dulu,
ketika tidak ada hiburan bagi warga desa. Sedangkan pasca perang dunia kedua, berbagai
34

hiburan seperti kegiatan olah raga, pagelaran kesenian, film, dan sebagainya semakin
berlimpah; warga desa tidak lagi kekurangan hiburan. Oleh karena itu, ritual pemujaan dewa
sudah tidak lagi relevan.62

Dibandingkan dengan kampanye perbaikan sandang, pangan, dan papan, kampanye


‘modernisasi pola hidup’ kurang berhasil, karena tradisi (rasa gengsi) yang mengakar pada
masyarakat, terutama masyarakat pedesaan, sangat kuat. Para petugas penyuluhan dengan
gigih melakukan persuasi, menekankan bahwa ‘mendobrak tradisi yang menghambat
kemajuan, berarti meningkatkan kesejahteraan hidup kita sendiri’. Seiring dengan
perkembangan sektor industri dan sektor jasa, semakin banyak penduduk desa yang pindah dan
menetap di kota (urbanisasi), mengenyam pendidikan tinggi serta bekerja di sektor formal, di
mana efisiensi semakin ditekankan. Sedikit demi sedikit, mentalitas ‘gengsi’ pada masyarakat
mulai terkikis. Dan seiring dengan arus urbanisasi dan depopulasi di daerah pedesaan, ritual
pemujaan dewa pun semakin berkurang.

Kampanye ‘menjadi warga negara yang beradab’

Sejak tahun 1956, pemerintah dan tokoh masyarakat memulai kampanye nasional
‘meningkatkan moral publik’, yaitu kampanye untuk mengajak rakyat agar bertingkah laku
‘sesuai dengan standar masyarakat yang beradab’. Himbauan-himbauan yang disampaikan
kepada publik antara lain:

1. Tepat waktu (jangan ngaret); ada istilah ‘waktu Jepang’, yang berarti ‘selalu
terlambat’.
2. Mengantri (terutama ketika menunggu kendaraan umum).
3. Buang sampah pada tempatnya.
4. Menanam pohon dan bunga, untuk menciptakan lingkungan yang indah dan asri.63

Perusahaan-perusahaan produsen arloji dan jam dinding menjadi sponsor dalam


kampanye tepat waktu. Kantor-kantor instansi pemerintah pada jam-jam tertentu

62
Asosiasi untuk Pembangunan Jepang di Masa Depan (ed.), op.cit.
63
Gerakan menanam bunga dimulai oleh Komatsu Isamu, seorang guru SD di suatu kota kecil, pada tahun
1952. Awalnya, ia dicemooh oleh rekan-rekannya dengan komentar ‘perut kenyang lebih penting daripada
tanam bunga.’ Namun ia tetap yakin bahwa dengan melihat bunga-bunga bermekaran, warga akan merasa
senang dan timbul semangat kerja, sehingga pemulihan ekonomi dapat segera tercapai. Berkat kampanye
Komatsu, sekarang taman bunga sudah ada di seluruh Jepang.
35

membunyikan lonceng tanda waktu, supaya warga sekitarnya dapat mencocokkan dengan
arloji masing-masing.

Untuk kampanye mengantri, para relawan mendatangi stasiun kereta api, terutama pada
saat-saat ada arus mudik dan arus balik mudik, menegur dan mengingatkan penumpang yang
menyerobot. Jika ada yang buang sampah sembarangan, para relawan menghampiri dan
memberi teguran halus. Untuk program menanam pohon dan bunga, warga masing-masing
daerah dihimbau untuk bersama-sama kerja bakti.

Kampanye-kampanye ini semakin dilakukan dengan gencar ketika menjelang


penyelenggaraan Olimpiade Tokyo pada tahun 1964. Karena ketika penyelenggaraan
Olimpiade, pekerja media dari seluruh dunia akan datang ke Tokyo (dan kota-kota lain di
Jepang). Oleh karena itu, kota-kota Jepang yang bersih dan indah serta masyarakat Jepang yang
sopan dan tertib, akan menaikkan citra Jepang di mata dunia. Inilah argumen yang diberikan
oleh pemerintah kepada rakyat ketika melakukan himbauan. Himbauan tersebut berhasil.
Setelah Olimpiade Tokyo, kota-kota di Jepang menjadi bersih dan indah, masyarakat Jepang
menjadi tertib, tepat waktu, dan sopan.

Kampanye serupa juga dilakukan ketika pemerintah Jepang hendak mengajukan


gunung Fuji sebagai warisan budaya dunia. Selama bertahun-tahun, pengajuan tersebut selalu
ditolak, karena di gunung Fuji banyak sampah berserakan. Pemerintah menghimbau kepada
para pendaki agar membawa pulang sampah masing-masing, supaya gunung Fuji menjadi
bersih. Himbauan tersebut berhasil, dan pada tahun 2013, gunung Fuji resmi diakui sebagai
warisan budaya dunia oleh UNESCO (lembaga yang bernaung di bawah PBB).

Keberhasilan kampanye: dialog, jadikan reformasi sebagai rutinitas

Kampanye reformasi pola hidup di Jepang pasca Perang Dunia kedua, merupakan kunci utama
keberhasilan Jepang dalam rekonstruksi pasca kekalahan perang. Melihat perjalanan sejarah
Jepang sejak awal abad ke-20, jelas bahwa kampanye pasca perang merupakan kelanjutan dari
apa yang telah dilakukan jauh sebelumnya.

Meskipun demikian, ada 2 poin penting yang perlu digarisbawahi.

Pertama, kampanye sebelum perang dimulai dengan himbauan, kemudian setengah


pemaksaan; dua-duanya bersifat top down. Rakyat diancam dengan sanksi sosial (misalnya,
jika malas dan boros maka akan dicaci maki atau dikucilkan oleh tetangga atau rekan kerja).
36

Pasca tahun 1945, Jepang kalah perang, sehingga pemerintah tidak bisa lagi menekan rakyat;
di samping itu, pemikiran demokrasi (sebagai ideologi dari pihak yang menang perang)
menjadi ideologi yang sah di Jepang. Oleh karena itu, strategi kampanye diubah menjadi dialog
dan persuasi; dialog antara petugas penyuluhan dengan warga atas prinsip kesetaraan; warga
diberi pemahaman mengenai hak menyatakan pendapat serta kewajiban ikut mensukseskan
pembangunan nasional melalui reformasi pola hidup. Melalui dialog, para petugas penyuluhan
(dan pemerintah pusat sebagai pengambil kebijakan) dapat mengetahui kesulitan-kesulitan di
lapangan serta harapan-harapan warga, sehingga dapat merumuskan kebijakan yang tepat
sasaran. Selain itu, tujuan kampanye, yang sebelumnya adalah demi kejayaan negara, kini
berubah menjadi peningkatan kesejahteraan hidup diri sendiri dan keluarga. Setelah mulai
mengikuti pola hidup sebagaimana disosialisasikan, warga merasakan bahwa semakin hari
hidupnya semakin nyaman, sehingga semakin bersemangat dan atas kesadaran sendiri untuk
melanjutkan pola hidup yang hemat dan efisien.

Kedua, kampanye pasca perang dilakukan dengan sangat sederhana, tanpa gembar
gembor. Ini terbukti dari minimnya penelitian signifikan mengenai kampanye ini dalam dunia
akademik Jepang. Buku penelitian pertama yang secara komprehensif membahas kampanye
reformasi pola hidup pasca Perang Dunia kedua, baru terbit pada tahun 2012.64 Sebelum itu,
pada tahun 2011, terbit buku yang khusus membahas perubahan pola hidup di daerah pedesaan
di Jepang pasca perang.65 Kedua buku tersebut merupakan rangkuman hasil penelitian (studi
lapangan ke desa-desa) yang dilakukan para akademisi sejak tahun 1980-an.

Mengapa baru mulai disorot pada tahun 1980-an? Para ahli memperkirakan, ini karena
setelah 1980-an, Jepang telah menjadi salah satu negara yang paling maju dan makmur di dunia,
dengan tingkat produktivitas dan tingkat kesejahteraan hidup rakyat yang paling tinggi,
kesenjangan sosial yang rendah, rakyat yang taat hukum dan memiliki tanggung jawab sosial
tinggi. Para ilmuwan mulai berusaha mencari tahu mengapa semua itu bisa terwujudkan, dan
sampailah pada fakta mengenai kampanye tersebut. Sebelumnya, terutama pada tahun 1950-

64
大門正克編著『新生活運動と日本の戦後 敗戦から 1970 年まで』日本経済評論社、2012(Okado
Masakatsu (ed.) Kampanye Pola Hidup Baru dan Jepang Pasca Perang dari Kalah Perang hingga tahun 1970.
Nihon Keizai Hyoronsha, 2012)
65
田中宣一『暮らしの革命 戦後農村の生活改善事業と新生活運動』農文研、2011(Tanaka Sen’ichi.
Revolusi Pola Hidup Program Reformasi Pola Hidup di Daerah Pedesaan Pasca Perang dan kaitannya dengan
Kampanye Reformasi Pola Hidup. Nobunken, 2011). Saya mendapatkan inspirasi untuk judul buku ini dari
judul buku karya Tanaka ini. kata ‘revolusi’ saya ganti menjadi ‘reformasi’, karena saya mengambil rentang
waktu yang jauh lebih panjang, yaitu sejak awal abad ke-20.
37

an sampai dengan 1970-an, hampir-hampir tidak ada tulisan ilmiah yang membahas kampanye
ini. Mengapa? Karena tidak ada yang merasa perlu membahasnya. Mengapa? Karena
menganggapnya lumrah.

Dibandingkan dengan demo buruh atau demo mahasiswa, atau demo anti pemerintah,
yang disorot oleh media massa sehingga menyita perhatian publik, kampanye ini sama sekali
tidak ‘seru’. Banyak orang, termasuk para akademisi itu sendiri, yang tentu saja juga ikut serta
dalam kampanye tersebut (misalnya cermat dalam mengatur keuangan rumah tangga,
membuang sampah pada tempatnya, mengantri di halte dan stasiun, hadir di rapat tepat waktu),
menjalankannya sebagai hal yang lumrah.

Saya kira di sinilah letak kehebatan pada pengambil kebijakan dan pelaksana lapangan.
Mereka berhasil menyakinkan bahwa perubahan (dari boros menjadi hemat dan sebagainya)
adalah hal yang lumrah, sehingga (hampir) semua warga menjalankannya tanpa resistensi;
tidak ada warga yang merasa dipaksa untuk hidup hemat dan sebagainya. Di samping itu, tidak
ada kekuatan politik atau kekuatan sosial yang mampu menghalangi kebijakan pemerintah
tersebut; karena argumen ‘kita rela hidup susah demi menjaga tradisi menyerobot dan ngaret,’
misalnya, tidak akan diterima oleh siapa pun.66

Kesimpulan
Sering kali kita mendengar pujian bahwa ‘Jepang berhasil menjadi negara modern tanpa
meninggalkan budaya tradisionalnya’. Pendapat ini lahir dari asumsi bahwa setiap bangsa
memiliki budaya tradisional, dan sayang sekali kalau ditinggalkan. Oleh karena modernisasi
(sama halnya dengan globalisasi) adalah proses penyeragaman, sehingga setelah modernisasi
= penyeragaman, yang membedakan satu bangsa dengan bangsa lain adalah budaya pra modern
= budaya tradisional masing-masing.

Perjalanan sejarah Jepang selama kurang lebih 150 tahun terakhir, yang dipaparkan dalam
buku ini, membuktikan bahwa Jepang mengambil langkah pertama modernisasi dengan

66
Asumsi ini merupakan hasil diskusi saya dengan para akademisi selama melakukan riset di Jepang pada
tahun 2014.
38

membuang tradisi (budaya tradisional). Faktor pendorongnya adalah ketatnya persaingan


internasional pada masa-masa ketika Jepang memulai modernisasi di akhir abad ke-19.
Tiongkok sudah menjadi setengah jajahan Barat, seluruh wilayah Asia Tenggara sudah menjadi
tanah jajahan negara-negara Barat (kecuali Thailand yang merdeka secara politik namun secara
ekonomi tergantung pada kekuatan Barat). Pilihan bagi Jepang bukan antara menjaga tradisi
dan membuang tradisi, tetapi antara memaksakan modernisasi secepatnya atau menjadi tanah
jajahan. Pilihan antara hidup atau matinya Jepang sebagai negara berdaulat itulah yang
mendorong Jepang untuk memaksakan modernisasi, dengan mengerahkan semua sumber
nasional, termasuk merekayasa tradisi (dari tidak ada menjadi ada, atau mengada-ada); selama
tradisi hasil rekayasa tersebut menguntungkan bagi modernisasi = kejayaan negara Jepang
kontemporer.

Sejarah juga membuktikan, bangsa Jepang sangat terbuka, bahkan antusias terhadap
penyerapan budaya (pengaruh) dari luar negeri, asal bermanfaat bagi peningkatan
kesejahteraan hidup rakyat dan kejayaan negara. Sikap terbuka dan pragmatis inilah yang
memungkinkan Jepang mencapai kemajuan dalam waktu yang relatif singkat.

Sejarah kampanye pola hidup modern, yang dimulai secara intensif sejak tahun 1910 hingga
tahun 1970-an, membuktikan bahwa kemajuan Jepang tidak tergantung pada ideologi ataupun
falsafah apa pun, tetapi pada pelaksanaan konkret perbaikan kehidupan sehari-hari (sandang,
pangan, papan, sikap hidup, tata pergaulan) dari setiap warga negara. Logikanya sangat
sederhana: negara akan menjadi kuat dan makmur jika rakyat (=pembayar pajak) produktif,
dan rakyat produktif jika rajin bekerja dan hidup hemat. Oleh karena itu, titik awal
pembangunan nasional adalah mengubah pola hidup seluruh rakyat agar rajin bekerja dan
hidup hemat.

Upaya mengubah pola hidup rakyat dapat berhasil (meskipun butuh waktu puluhan tahun),
karena bersifat konkret. Dengan mengikuti petunjuk konkret apa saja yang harus dilakukan
dalam kehidupan sehari-hari dan dalam sikap bekerja, maka lambat laun akan terjadi perubahan
mentalitas (persepsi akan hal yang lumrah). Misalnya, jika sebelumnya menganggap ngaret
adalah lumrah, maka setelah dibiasakan untuk tepat waktu, lama kelamaan orang-orang akan
menganggap tepat waktu adalah lumrah dan ngaret adalah tidak lumrah.

Saran
39

Studi mengenai proses modernisasi Jepang, yaitu langkah-langkah konkret yang telah
dijalankan secara konsisten selama puluhan tahun, kiranya dapat memberi 3 poin masukan bagi
Indonesia dalam pembangunan SDM ke depan.

Pertama, pengalaman Jepang membuktikan, metode-metode untuk mewujudkan negara


yang maju dan masyarakat yang modern, bukan milik bangsa ataupun kelompok agama tertentu,
tetapi bersifat universal. Bangsa atau kelompok agama apa pun, jika berkeinginan, dapat belajar
dari pengalaman modernisasi tersebut.

Kedua, sikap bangsa Jepang dalam memandang korelasi antara kesulitan hidup (kesulitan
ekonomi) dengan kemerosotan moral. Sebagaimana diungkapkan oleh Perdana Menteri
Hatoyama Ichiro pada tahun 1956, bahwa kesulitan hidup menyebabkan kemerosotan moral;
oleh karena itu, upaya memperbaiki moral harus dimulai dengan langkah-langkah konkret
memperbaiki kesejahteraan hidup manusia yang bersangkutan.67

Ketiga, pentingnya partisipasi dan peran masyarakat kelas menengah, termasuk di dalamnya
adalah para tokoh agama, sebagai agen perubahan dalam mewujudkan modernisasi. Kelas
menengah terdidik ini adalah orang-orang yang berkesempatan mengenal dunia luar, sehingga
menyadari urgensi bagi bangsa Jepang untuk berubah. Mereka menerjemahkan ide-ide asing
(=modern) dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh masyarakat awam, dan
mensosialisasikan ke masyarakat di daerah mereka masing-masing, dengan memberi
penyuluhan langsung mengenai hal-hal konkret apa saja yang harus dilakukan (misalnya:
mencatat semua pengeluaran, mengkonsumsi makanan bergizi). Modernisasi dan kemajuan
nasional akan tercapai, jika masyarakat secara merata berhasil menyerap dan menerapkan pola
hidup modern; ini akan lebih mudah terwujud, bukan hanya pemerintah pusat saja, tetapi
masyarakat kelas menengah di masing-masing daerah (kota, kabupaten atau desa) juga aktif
memberi penyuluhan, sekaligus berperan sebagai panutan.

67
Pandangan ini bersumber dari ajaran tokoh filsuf Tiongkok, Konfusius (551 SM – 479 SM) dan Mensius (372
SM – 289 SM). Dalam ceramah publik yang diberikan oleh para pejabat maupun tokoh masyarakat serta
pamflet-pamflet mengenai pentingnya perbaikan pola hidup, kata-kata yang paling sering dikutip adalah
wejangan Konfusius: ‘manusia akan sadar apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, jika
kebutuhan sandang pangan sudah tercukupi’ ; wejangan Mensius: ‘manusia tanpa aset tetap adalah manusia
tanpa pendirian tetap’. Artinya, bermoral tidaknya manusia, tergantung pada kondisi kesejahteraan hidup.
Paham ini sebenarnya bertolak belakang dari esensi ajaran Kristen, yaitu ‘manusia hidup bukan dari roti saja,
tetapi juga dari firman Tuhan.’(Matius 4:4)
40

Kondisi setiap daerah tentu berbeda dengan daerah lain (faktor historis, geografis, budaya,
sosio-ekonomi, dan sebagainya). Tentu sulit mencanangkan program nasional yang berlaku
seragam di seluruh negeri. Oleh karena itu, tokoh masyarakat setempat, yang menguasai
kondisi sosial budaya lokal serta mampu menerjemahkan ide-ide reformasi pola hidup
(=modernisasi) ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh masyarakat lokal, menjadi kunci
utama berberhasilan proyek nasional, yaitu modernisasi dan pembangunan negara yang kuat
dan masyarakat yang makmur secara (relatif) merata.

Anda mungkin juga menyukai