Anda di halaman 1dari 23

menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi,

perasaan, dan intuisi. Dari pendapat ini, tampak bahwa


perjuangan panjang hidup manusiaakan selalu mewarnai
teks sastra. Dalam perjuangan panjang tersebut, menurut

BAB V CPK-5 Mahasiswa mampu memahami


dan mengaplikasikan kajian sosiologi
Goldmann (1981:11) memiliki tiga ciri dasar, yaitu: (1)
sastra dalam bentuk analisis kecendrungan manusia untuk mengadaptasikan dirinya
terhadap lingkungan, dengan demikian ia dapat berwatak
rasional dan signifikan di dalam korelasinya dengan
lingkungan, (2) kecendrungan pada koherensi dalam
Materi Pembahasan
proses penstrukturan yang global, dan (3) dengan
1. Teori dan perspektif sosiologi sastra sendirinya ia mempunyai dinamik serta kecendrungan
Perspektif sosiologi sastra yang patut diperhatikan untuk merubah struktur walaupun manusia menjadi bagian
Kegiatan
adalah pernyataan Levin (Elizabeth dan Burns, 1973:31) struktur tersebut.
“literature is not only the effect of social causes but also the
Pada prinsipnya, menurut Laurenson dan
cause of social effect”.Sugesti ini memberikan arah bahwa
Swingewood (1971) terdapat tiga perspektif berkaitan
penelitian sosiologi sastra dapat kearah hubungan
dengan sosiologi sastra, yaitu : (1) penelitian yang
pengaruh timbal balik antara sosiologi dan sastra.
memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang
Keduanya akan saling mempengaruhi dalam hal-hal
didalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra
tertentu yang pada gilirannya menarik perhatian peneliti.
tersebut diciptakan. (2) penelitian yang mengungkap sastra
Sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus
sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan (3) penelitian
pada masalah manusia.Karena sastra sering
yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa
mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam
sejarah dan keadaan sosial budaya.

31
Ketiga hal tersebut dapat berdiri sendiri-sendiri dan atau bahwa karya sastra akan menyajikan sejumlah nilai yang
diungkap sekaligus dalam suatu penelitian sosiologi berkaitan dengan keadaan masyarakat masa teks ditulis.
sastra.Hal ini tergantung kemampuan peneliti untuk Secara implisit karya sastra merefleksikan proposisi
menggunakan salah satu perspektif atau ketiga-tiganya bahwa manusia memiliki sisi kehidupan masa lampau,
sekaligus.Tentunya, semakin lengkap pemakaian sekarang dan masa mendatang.Karena itu, nilai yang
perspektif pemahaman karya sastra juga relatif terdapat dalam karya sastra adalah nilai yang hidup dan
lengkap.Namun, semua itu juga tergantung pula pada dinamis. Ini berarti karya sastra tidak diberlakukan sebagai
sasaran atau tujuan penelitian.Jika hendak menangkap data jadi melainkan merupakan data mentah yang masih
fakta sejarah masyarakat masa lalu, memang tepat harus diolah dengan fenomena lain.
menggunakan perspektif ketiga.Hal ini seperti ditegaskan Hippolyte Taine (Laurenson dan Swingeood,
oleh Elizabeth dan Tomsburn (1973) bahwa karya sastra 1971:31) adalah peletak dasar sosiologi sastra
memang sering kali tampak terikat dengan momen khusus modern.Yang merumuskan, bahwa sosiologi sastra ilmiah
dalam sejarah masyarakat. apabila menggunakan prinsip-prinsip penelitian seperti ilmu
Dalam konteks metodologis, sosiologi sastra memang pasti. Namun demikian, karya sastra adalah fakta yang
senantiasa mengalami perubahan.Pada mulanya, sosiologi multiinterpretable tentu kadar “kepastian” tidak sebanding
sastra diletakkan dalam kerangka penelitian positivisme- ilmu pasti. Yang penting, penelitian sosiologi sastra
yang berusaha mencari hubungan antara factor iklim, hendaknya mampu mengungkapkan refleksi tiga hal, yaitu
geografi, filsafat, dan politik. Dalam kaitan ini, sastra di ras, saat (momen), dan lingkungan (Milieu). Bila kita
perlakuakan sebagai mana penelitian ilmiah yang lain. mengetahui tiga hal itu, berarti peneliti akan mampu
Perkembangan berikutnya, sosiologi sastra justru menolak memahami iklim rohani suatu kebudayaan yang melahirkan
positivisme pendekatan sosiologi sastra lalu diarahkan seorang pengarang beserta karyanya.
pada telaah refleksi nilai. Hal ini berdasarkan pengertian

32
Menurut Taine, faktor-faktor tersebut diatas yang akan refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya.Teks
menghasilkan struktur mental (pengarang) yang biasanya dipotong-potong, diklasifikasikan dan dijelaskan
selanjutnya diwujudkan kedalam karya sastra dan seni. makna sosiologisnya. Kedua, perspektif biografis, yaitu
Saat itulah situasi politik sosial pada suatu periode peneliti menganalis pengarang, perspektif ini akan
tertentu.Lingkungan meliputi keadaan alam, iklim, dan berhubungan dengan life history seorang pengarang dan
sosial.Hal ini berarti bahwa Taine diam-diam telah menolak latar belakang sosialnya. Memang analisis ini akan
keras anggapan bahwa sastra sebuah meteor yang jatuh terbentuk pada kendala jika pengarang telah meninggal
dari langit.Bahkan, menurut dia hal-hal yang bersifat misteri dunia, sehingga tidak bias ditanyai. Karena itu, sebagai
(ilham) pun dapat dijelaskan melaui lingkungan sosial yang sebuah perspektif tentu di peruntukan bagi pengarang yang
mengitari misteri tersebut. masih hidup dan mudah terjangkau.Ketiga, perspektif yaitu
Senada dengan Taine, Hender (Saraswati 2003:24) peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap
juga mengetengahkan teorinya bahwa sastra ditempat teks sastra.
tertentu dapat berkembang dan dilain tempat tidak.Hal ini 2. Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra
sangat dipengaruhi oleh iklim, ras, lancape, politik, dan 1. Fungsi Sosial Sastra
adat istiadat.Maka studi sosiologi sastra perlu menemukan Fungsi sosial sastra, menurut Watt (Damono,
refleksi pengaruh tersebut.Hegemoni salah satu aspek 1978:70-71) akan berkaitan dengan pertanyaan: seberapa
pengaruh amat mungkin. Pengaruh tersebut terkategorikan jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sampai
“ jiwa zaman”. Itulah sebabnya melalui penelitian tersebut seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial.
akan terungkap sejarah. Dalam kaitan ini ada tiga hal yang perlu di unggap: (a)
Sosiologi sastra dapat meneliti sastra sekurang- sudut pandang kaum romantik yang menganggap sastra
kurangnya melalui tiga perspektif.Pertama, perspektif teks sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi, dalam
sastra, artinya peneliti menganalisis sebagai sebuah pandangan ini tercakup wawasan agar sastra berfungsi

33
sebagai pembaru atau perombak: (b) sudut pandang ideologi dan suprastruktur yang berkaitan secara dialektikal,
bahwa karya sastra bertugas sebagai penghibur belaka: dan dibentuk atau merupakan akibat dari struktur dan
dalam hal ini gagasan “seni untuk seni” taka da bedanya perjuangan kelas zamannya.Dengan demikian, sejarah
dengan praktik melariskan dagangan untuk mencapai best dipandang sebagai suatu perkembangan terus
seller, dan (c) semacam kompromi dapat dicapai dengan menerus.Daya-daya kekuatan didalam kenyataan secara
meminjam slogan klasik sastra harus mengajarkan sesuatu progresif selalu tumbuh untuk menuju kepada suatu
dengan jalan menghibur. masyarakat yang ideal tanpa kelas.Namun, langkah tak
Dari berbagai fungsi tersebut peneliti sosiologi selalu berjalan mulus melainkan penuh hambatan yang
sastra dapat mengkonsentrasikan pada salah satu berarti.Akibatnya pertumbuhan ekonomi dapat
fungsi.Dari tiga fungsi tersebut, tampak menggiring peneliti menyebabkan pertentangan antar kelas.
kearah empiric. Oleh karena itu tanpa data empirik yang Penelitian sosiologi sastra marxis tersebut,
akurat, seorang peneliti hanya akan berandai-andai tampaknya kurang berkembang di Indonesia.Padahal, di
berhadapan dengan fungsi sastra. Fungsi tentu saja harus Indonesia meskipun menolak sistem kelas juga sering ada
digalih langsung dari masyarakat. Masyarakat pembaca pertentangan antar elit dan golongan bawah. Mungkin
yang akan menilai dengan jernih apakah karya tertentu sekali hanya istilah saja yang berbeda, jika orang lain
memiliki fungsi jelas atau tidak. Apakah karya sastra menggunakan istilah kelas, Indonesia menggunakan
tertentu memiliki fungsi sosial spiritual atau yang lain, paham pusat daerah, wong gedhe-wong cilik, elite-rakyat
tergantung pesan masyarakat. kecil dan seterusnya. Berbagai sekmen yang dikotomis
Dalam perkembangan selanjutnya, sosiologi sastra tersebut, ternyata juga sering menarik perhatian sastrawan
banyak dimanfaatkan oleh peneliti sastra yang berbau sehingga seharusnya juga menarik pula bagi penelitian
marxis.Paham marxismeberasumsi bahwa sastra, sosiologi sastra.Misalnya, penyair Ws Rendra Darmanto
kebudayaan, agama pada setiap zaman merupakan Jatman, Wiji Tukul, dan lain-lain sering mengkritisi kinerja

34
orang atas dalam puisi-puisinya.Bahkan, pujangga R. Ng. sastrawan. Itulah sebabnya, karya sastra dapat di pandang
Ranggawarsita pun dimasa silam (kerajaan Surakarta) sebagai refleksi kehidupan sosial dan kekuasaan. Karya
telah mengkritisi terjadinya masa yang tidak menentu sastra akan menggambarkan “jarak’ perbedaan strata
dalam karyanya berjudul Serat Kalathidha.Ia menyebut sosial terus menerus. Hal semacam ini juga sering di
waktu itu telah terjadi zaman edan (zaman gila). ungkap melalui tokoh-tokoh dalam karya sastra yang
Jika bagi Marx, sastra dan kebudayaan merupakan representative.Misalnya saja, tahun 2001 kemarin muncul
refleksi perjuangan kelas untuk “melawan” kapitalis, di antologi cerpen berjudul Soeharto dalam Cerpen terbitan
Indonesia pun hal demikian juga ada hal senada.Di Bentang.Cerpen-cerpen tersebut melukiskan betapa besar
Indonesia telah lama pula terjadi perjuangan kaum kecil tipu daya Soeharto yang diungkap melalui fiksi.
terhadap kapitalis yang dikenal dengan sebutan Pada prinsipnya, di negara barat sosiologi sastra
konglomerat.Hal ini termasuk sastrawan untuk memang lebih memusatkan perhatian pada perangkat
mengekspresikan idenya bahwa konglomerat di era Orde produksi, distribusi dan pertukaran sastra dalam suatu
Baru telah bergandeng tangan dengan pemerintah masyarakat tertentu bagaimana buku-buku ini di terbitkan,
sehingga menyebabkan robohnya sendi-sendi ekonomi bagaimana komposisi sosial terhadap pengarang dan
kerakyatan.Bahkan, sampai sekarang pun (era reformasi) audiensnya, tingkat kemampuan bacanya serta
konglomerat selalu menjadi bahan pergunjingan. keterbatasan sosial “selera”. Sosiologi sastra juga dapat
Berarti hampir tak ada masyarakat tanpa yang tanpa mengkaji teks-teks sastra bagi relevansi “sosiologis”,
kelas, tetapi tidak berarti bahwa kehadiran kelas musti artinya membawa karya sastra kedalam bentuk abstrak
harus bertentangan. Di Indonesia, tampaknya kehadiran melalui tema-tema yang menarik sejarawan sosial.
kelas atau lebih tepatnya strata sosial (elit) sering Pendapat itu memberi gambaran penelitian sosiologi
bersinggungan-bersinggungan kepentingan yang melebar sastra tentang dua hal.Pertama, pengertian sosiologi sastra
ke masalah kekuasaan itu, juga sering menarik perhatian dapat kearah dalam kaitannya dengan keberadaan teks

35
sastra dan pembacanya.Jika karya sastra diproduksi lebih demikian. Ini bererti karya sastra menjadi penentang
banyak serta dicetak ulang berkali-kali, tentu dimungkinkan zaman dan aturan yang keliru.
karya tersebut sejalan dengan komunitas Lebih jauh lagi, karya sastra juga akan digarap
masyarakatnya.Karya tersebut berarti sesuai dengan seakan-akan memperolok atau mengejek kehidupan.
selera masyarakat.Kedua, teks sastra tersebut dapat Biasanya, pencipta sangat mahir memainkan ironi paradox
direlevansikan dengan kepentingan-kepentingan studi dan parody kedalam karyanya.Karena itu, sikap sastra
sosial yang lain, misalkan sejarah sosial.Melalui tema-tema yang memperolok ini sangat sensitive dan peka terhadap
sastra diharapkan dapat dimanfaatkan bagi penulisan perkembangan zaman.Mereka tanggap terhadap
sejarah sosial tertentu. perkembangan situasi yang sering menindas.
Dalam kaitan itu, Saini KM (1986:14-15) 2. Produksi dan Pemasaran Sastra
memberikan tiga kedudukan sastra terhadap kehidupan Penelitian tentang produksi dan pemasaran sastra
(masyarakat), yakni sebagai pemekatan, penentangan, dan memang jarang dilakukan.Karena, masalah ini seakan-
olok-olok.Ketiga ini sebenarnya terkait dengan fungsi akan menjadi tanggung jawab penerbit. Padahal,
sastra bagi kehidupan sosial. Karya sastra sebagai sebenarnya tidak demikian, artinya pengembangan karya
pemekatan, memang akan menggambarkan kehidupan sastra juga menjadi tanggung jawab bersama sekurang-
masyarakat. Namun, gambaran itu bukan jiplakan, kurangnya studi semacam ini akan menghubungkan tiga
melainkan sebuah intensifikator yang dipekatkan, kutub sastra, yaitu penerbit, pembaca, dan pengarang.
dijernihkan, disaring dan dikristalisasi kedalam imajinasi Perhatian peneliti semacam itu, memang sedikit
pengarang. Di sisi lain, mungkin karya sastra justru mengesampingkan sosiologi sastra sebagai teori,
menentang kehidupan, misalkan pencipta tidak setuju melainkan berupaya memperhitungkan berbagai hal yang
dengan KKN rezim orde baru, lalu lahir karya yang bertema terkait dengan faktor-faktor sosial yang menyangkut sastra.
Faktor-faktor tersebut antara lain: tipe dan taraf ekonomi

36
masyarakat tempat berkarya kelas dan kelompok sosial dan patronase tak langsung. Dalam patronase lama ada
yang berhubungan dengan karya, sifat pembaca, sistem identifikasi antara patron dan sastrawan, ada hubungan
sponsor, pengayom, tradisi sastra dan sebagainya. pribadi yang kuat.Bahkan sastrawan sering tinggal di
Dalam kaitan itu, dapat diungkap berbagai hal, kediaman patron.Di dalam patronase baru, hubungan
antara lain: latar belakang sosial pengarang sebelum dan antara patron dan sastrawan lebih longgar.Karena itu,
setelah menjadi penulis. Apakah penulis tergolong orang bukan tidak mungkin kalau sastrawan sering berganti-ganti
kampung, kota, birokrat, pegawai, dosen, anggota partai patron, tergantung mana yang menguntungkan baik secara
dan sebagainya. Masalah umur dan jenis kelamin yang material maupun spiritual.Sedangkan sistem patronase
akan berpengaruh pada studi gender juga perlu dicermari. tidak langsung adalah patron yang hanya berfungsi
Oleh karena, penulis tua dengan mudah, pria dan wanita sebagai mediasi antara sastrawan dengan publik.
tentu akan memiliki ideology yang berbeda. Faktor Dalam sistem patronase lama, biasanya penulis
pendidikan dan hubungan sosial, juga dapat diperhatikan, telah digaji, seperti pujangga R. Ng. Ranggawarsita
karena intelektualitas karya akan dipengaruhi olehnya. sebagai penulis kraton Surakarta tentu karyanya akan
Bahkan, jika mungkin harus sampai pada profesionalitas dibaca. Bahkan raja pun memiliki otoritas agar pembaca di
penulis, artinya apakah mereka menulis sebagai pekerjaan kalangan kraton menikmatinya. Sebaliknya jika penulis
pokok atau sambilan. tidak digaji dan hanya memperoleh honor dari tulisannya
Hubungan antara penulis dan pembaca sering kali kadang-kadang pembaca juga tidak jelas. Kedua kategori
dipengaruhi oleh pengayom. Pengayom bias terdiri dari penulis tersebut, tentu memiliki kelemahan dan
penerbit maupun penguasa. Pengayom adalah patronase kelebihan.Penulis yang digaji, memang seringkali
sastrawan, yang menghidupi dan mengembangkannya. karyanya dipengaruhi oleh penguasa.Penulis harus
Menurut Laurenson dan Swingewood (1971) ada tiga jenis melukiskan “pesanan” yaitu melukisskan ajaran-ajaran
patronase sastra yaitu: patronase lama, patronase baru tertentu.Dalam hal ini penulis hanya bebas mengolah

37
bentuk, sedangkan “pesan” telah ada. Berbeda dengan Pendidikan Nasional, sehingga karya sastra tertentu dapat
penulis bebas ataupun sambilan, mereka akan bebas disebarkan ke sekolah.Hal ini telah terjadi belakangan
melempar karyanya. Mereka juga bebas berimajinasi dengan meruahnya sastra remaja dan anak sebagai buah
tanpa pengaruh siapa pun. Namun demikian, kategori bergandengan tangannya penerbit dengan instansi
penulis ini jika kurang kontrol akan sampai pada tingkat pemerintah.Karya sastra demikian, secara sosiologis
“duplikasi” karya yang di lempar kesana kemari. memang seakan-akan ada pemaksaan kepada pembaca.
Pengarang adalah manusia biasa, yang melahirkan Kaya tersebut kadang-kadang belum tentu lolos dari aspek
karya tidak sekadar untuk idealisme melainkan butuh kualitas, namun bisa “lolos” ke pembaca akibat negosiasi.
imbalan yang berimbang. Jika bukunya diterbitkan maka kita masih ingat, betapa laku kerasnya di sekolah
wajarlah ia berharap imbalan dari padanya, seperti penerbit karya-karya sastra seperti Siti Nurbaya, Layar Terkembang,
yang mengharap keuntungan dari penerbitnya, agen yang Ngulandara, Serat Wedatama, adan lain-lain.Hal ini, lepas
mengharap dari keuntungan dari balas jasa karena dari isinya memang bagus tetapi tetap ada pemaksaan dari
mengedarkannya (Nadeak, 1984:35). Harapan material pihak birokrat agar siswa membaca karya
dari pengarang ini tentu berimplikasi luas secara sosiologis, tersebut.Akibatnya, seringkali karya-karya lain yang lebih
karena pengarang menjadi tergantung pula pada penerbit. belakangan sulit mendapatkan tempat di sekolah. Karya-
Dari kenyataan demikian, berarti peranan sebagai karya Seno Gumiro Adjidarmo, Joni Ariadinata, dan
patronase sangat menentukan kehadiran karya sastra. sebagainya jarang menjadi kudapan anak sekolah.
Penerbit akan mempertimbangkan karya sesuai dengan Mungkin, hanya menjadi bahan serampangan kuliah di
selera dan pemasaran (marketable). Jika karya sastra Perguruan Tinggi Sastra.
sesuai dengan keinginan dan prediksi laku tidaknya, maka Dengan demikian, aspek pemasaran sastra
akan dicetak berlipat ganda. Bahkan, penerbit tertentu ada memang menjadi wilayah garap menarik sosiologi sastra.
yang pandai melobi instansi tertentu khususnya Dinas Peranan penerbit memasarkan karya sastra juga akan

38
tergantung promosi sastra. Berbagai pameran dan bursa Pemasaran sastra akan terkait dengan berbagai hal,
buku, seringkali menggelitik pembaca untuk memborong antara lain aspek promosi dan bentuk buku. Jika promosi
karya sastra.di samping itu, kemampuan penerbit untuk semakin gencar, melalui media, dan bedah buku sastra
memberikan rabat terhadap pembeli juga sering tentu berlainan dengan buku yang sekadar dipajang di rak
mempengaruhi daya jual buku sastra. Peranan promosi took saja. Promosi yang gencar dapat mempengaruhi
atau dalam istilah Schucking (1966:72) disebut propaganda karya sastra lebih popular, dan dengan sendirinya
sastra pada gilirannya akan mempengaruhi taste (selera) pengarannya akan terkenal. Namun, ketika karya sastra
pembaca (public). Pembaca yang tak begitu berminat, dapat laku keras semacam itu belum tentu secara otomatis
setelah menyaksikan penawaranyang menarik bisa saja mengangkat tingkat hidup penulis.Oleh karena itu, kadang-
segera berbondong-bondong membeli karya sastra. kadang penulis telah terikat perjanjian dengan penerbit
Bahkan, dalam kaitan ini peranan took buku sangat bahwa pembayaran dengan sistem royalti. Royalti buku
menentukan laku tidaknya pemasaran buku-buku sastra. sastra, biasanya juga berdasarkan presentase penjualan,
Misalkan saja, di Yogyakarta took buku Gramedia, tetapi penulis seringkali tidak mampu mengontrol secara
Shopping Center, Social Agency, dan Los UII yang sosiologis. Penulis karya menerima royalti atas kejujuran
biasanya memiliki strategi berbeda tentu akan penerbit.
mempengaruhi terhadap laku tidaknya karya sastra. Kalau Kepopuleran sastrawan juga sering mempengaruhi
Gramedia, setelah memberikan “harga pas”, tentu berbeda penerbit dan pemasaran sastra.Sastrawan Pramudya
animo pembelinya disbanding Social Agency yang “berani” Ananta Toer yang pernah ditindas rezim Soeharto di Pulau
memberi diskon 10-25%. Bahkan, di toko lain seperti Buru, ternyata karyanya Bumi Manusia dan Arus Balik
shopping Center sering terjadi “ tawar menawar” buku semakin menarik pembaca dan penerbit.Karya-karya Pram
sastra, tentu peminat akan berlainan dibanding took lain. setelah revormasi mulai berhamburan dan diburu
pembaca.Mungkin, sebagian pembaca memang rindu dan

39
ada rasa penasaran terhadap tulisan sastrawan yang sebagai komoditi. Hubungan ini amat ditentukan pula oleh
sengsara.Begitu pula karya-karya Asrwendo Atmowiloto, kualitas konkret objek yang dibeli (baca:sastra). Sedangkan
ternyata juga banyak dikejar pembaca. Hal ini berarti nilai guna, adalah penjualan teks sastra yang berkaitan
pemasaran sastra memang tidak akan lepas dari siapa dengan kebutuhan pencipta dan pembacanya.Hubungan
penulisnya. Figur sastrawan akan menjadi sebagian keduanya sering telah ditukar dengan uang, sehingga
prasyarat kepopuleran karyanya pula. pencipta mendapat keuntungan material (uang) dan
Pendekatan demikian, pada prinsipnya memang pembaca menerima keuntungan material dan spiritual.
mengabaikan karya sastra. Karya sastra dikesampingkan Atas dasar hal tersebut, memang ada sedikit
terlebih dahulu, dan perhatian justru tertuju pada hal-hal di peringatan Goldmann (Laurenson dan Swingewood,
luar sastra. Karya sastra dianggap periferial. Dengan kata 1972:20) bahwa hanya penulis kelas dua yang mungkin
lain, mutu karya sastra tidak selalu berhubungan langsung dipengaruhi oleh faktor-faktor selera pembaca, dan karya
dengan pemasaran sastra. Karya sastra yang sangat laris mereka bukanlah sastra. Penulis sastra tentu tidak tunduk
terjual di pasaran (bestseller), bukan karena mutunya kepada faktor-faktor itu.Ia tidak tunduk kepada hukum
selalu terjamin.Hal ini penting diingat agar peneliti sosiologi pasaran. Yang penting adalah menghasilkan karya
sastra tidak terjebak padaa masalaah hubungan struktur sastra.Peringatan semacam ini tentu agak gegabah,
baik bentuk maupun isi, sedangkan pemasaran sastra meskipun ada benarnya.Paling tidak Goldmann ingin
sering mengabdi pada keinginan penikmat. menunjukkan bahwa semestinya sastrawan harus tetap
Dalam kaitan itu Goldmann (1977:10) memberikan berkarya dalam situasi apapun.Sastrawan yang banyak
gambaran bahwa penelitian sosiologi sastra yang berkaitan memikirkan aspek pemasaran, berarti karyanya dapat
produksi dan pemasaran sastra, seharusnya mampu dipandang rendah.
mengungkap nilai pasar dan nilai guna. Nilai pasar akan Realitas yang harus dipertaruhkan adalah
selalu dipengaruhi oleh hubungan manusia dengan sastra pernyataan Wilson bahwa penyair rupanya yakin akan

40
profesinya. Tentunya penyair juga merasa senang apabila sanggar tersebut telah ada yang memenangkan
puisinya laku keras, tetapi ia tetap mempertahankan sayembara penulisan.Hanya saja, penelitian ini masih perlu
kepenyairannya daripada harus tunduk kepada ideologi dikembangkan terus-menerus seiring dengan munculnya
politi dan ekonomi yang sedang popoler. Pernyataan ini sanggar-sanggar sastra di berbagai tempat.
mengindikasikan bahwa masih banyak pengarang yang 3. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat
tetap mengharapakan aspek material.Namun juga mungkin Pandangan bahwa setiap karya sastra itu
ada pengarang yang tetap mengabdi terhadap mencerminkan masyarakat dan zamannya pada umumnya
idealism.Keduanya tetap menarik ditekiti secara sosiologis. dianut oleh kritikus akademik (Soekito, 1990:1).Pandangan
Alasan-alasan mereka memiliki pengabdian tertentu, akan ini, semata-mata sering muncul dalam penelitian berupa
menarik peneliti sosiologi sastra. skripsi, tesis, disertasi, dan sejumlah penelitian
Sosiologi produksi sastra, di samping berhubungan kecil.Penelitian tersebut berusaha mengungkap karya
dengan penerbit dan pembaca, perlu sekali dikaitkan pula sastra tertentu, terutama novel karya penulis terkenal untuk
dengan organisasi-organisasi pembina sastra.Organisasi melihat refleksi masyarakat di dalamnya.Bahkan, kadang-
kemungkinan disebut sanggar atau paguyuban yang kadang ada yang mencoba merelevansikan dengan zaman
bertugas mengumpulkan sastrawan untuk berkarya.Hal yang sedang berjalan.Mungkin hasil penelitian tersebut
semacam ini pernah diteliti selintas oleh Hutomo (1997) telah menumpuk demikian banyak di rak perpustakaan.
dengan bukunya Sosiologi Sastra Jawa.Dalam buku ini, Secara panjang lebar (Laurenson dan Swingewood,
peneliti mencoba mengungkap keberadaan sanggar sastra 1971:11-22) telah memaparkan hubungan sosiologi dan
Triwida sebagai bengkel sastraa kreatif.Di dalamnya sastra.Hubungan keduanya, sebenarnya yang menjadi
terungkap beberapa sastrawan jawa dan karyanya, yang obsesi penelitian sosiologi sastra.Peneliti hendaknya
secara sosiologis memiliki pendidikan di atas SLTA.Di mampu menarik kejelasan hubungan keduanya. Dalam
dalamnya juga di terangkan bahwa karya-karya anggota kaitan ini, ada beberapa strategi yang patut di tempuh,

41
yaitu mencoba mendekati karya sastra dari struktur dalam: kondisi sastra. Berbagai aspek tersebut, sesungguhnya
irama, metafora, irama, lukisan, watak, dinamika, plot, dan masih dapat diperluas lagi menjadi berbagai refleksi sosial
sebagainya dihubungkan dengan masyarakatnya. sastra, antara lain: (a) dunia sosial manusia dan seluk-
Itulah sebabnya, secara esensial sosiologi sastra beluknya, (b) penyesuaian diri individu pada dunia lain, (c)
adalah penelitian tentang: (a) studi milmiah manusia dan bagaimana cita-cita untuk mengubah dunia sosialnya, (d)
masyarakat secara objektif, (b) studi lembaga-lembaga hubungan sastra dan politik, (e) konflik-konflik dan
lewat sastra dan sebaliknya, (c) studi proses sosial, yaitu ketegangan dalam masyarakat. Dari paparan demikian,
bagaimana masyarakat bekerja, bagaimana masyarakat berarti hubungan sosiologi dan sastra bukanlah hal yang
mungkin, dan bagaimana mereka melangsungkan dicari-cari. Keduanya akan saling melengkapi kehidupan
hidupnya. Studi semacam itu secara ringkas merupakan manusia.
penghayatan teks sastra terhadap struktur-struktur sosial. Pandangan yang amat popular dalam studi sosiologi
Aspek-aspek sosiologi yang terpantul dalam sastra sastra adalah pendekatan cermin.Melalui pendekatan ini,
tersebut, selanjutnya dihubungkan dengan beberapa hal karya sastra dimungkinkan menjadi cermin pada
yakni: (a) konsep stabilitas sosial, (b) konsep zamannya.Louis de Bonald (1954-1840) adalah filsuf
kesinambungan masyarakat yang berbeda, (c) bagaimana perancis yang banyak memperdebatkan istilah cermin
seorang individu menerima individu lain dalam kolektifnya, setelah membaca karya sastra nasional. Berbeda dengan
(d) bagaimana proses masyarakat dapt berubah secara Stendal yang secara yakin mengemukakan bahwa karya
bertingkat, (e) bagaimana perubahan besar masyarakat, sastra sebenarnya merupaka cermin perjalanan “jalan raya”
misalkan dari feodalisme ke kapitalisme. dan “biru langit” hidup manusia, meskipun kadang-kadang
Hal-hal semacam itu akan menjadi tumpuan peneliti harus mencerminkan “lumpur dalam kubangan”.
sosiologi sastra. Hubungan timbal balik di antara unsur- Maksudnya, karya sastra kadang-kadang mengekspresikan
unsur sosial di atas akan besar pengaruhnya terhadap kebaikan dan keburukan hidup manusia.Atas dasar itu,

42
maka konsep cermin harus digunakan secara ekstra hati- berupaya untuk mendokumentasikan zaman dan sekaligus
hati dalam penelitian sosiologi sastra.Oleh karena itu, sebagai alat komunikasi antara pengarang dengan
kadang-kadang penulis besar memang sering pembacanya. Pengarang sebagai seorang zender
mengungkapkan dunia sosial secara tidak sederhana. (pengirim pesan) akan menyampaikan berita zaman lewat
Konteks sastra sebagai cermin, menurut Vicomte de cermin dalam teks kepada ontvanger (penerima pesan)
Donald (Wiyono, 1974:5) hanya merefleksikan keadaan Berarti bahwa karya satra sekaligus meruapakan alat
pada saat tertentu. Istilah cermin ini akan merujuk pada komunikasi yang jitu. Hal ini diakui oleh Bert Van Heste
berbagai perubahan pada masyarakat. Dalam pandangan bahwa karya sastra meruapakan alat komunikasi kelompok
Lowenthal (Laurenson dan Swingewood, 1972:16-17) dan juga individu.
sastra sebagai cermin nilai dan perasaan, akan merujuk Oleh karena itu masyarakat cenderung dinamis ,
pada tingkatan perubahan yang terjadi pada masyarakat karya sastra juga akan mencerminkan hal yang sama.
yang berbeda dan juga cara individu menyosialisasikan diri Namun demikian pati bahwa cermin itu benar . Hal ini
melalui struktur sosial. Perubahan dan cara individu pernah diragukan Kleden (1986:46-68) bahwa sastra tidak
bersosialisasi biasanya akan menjadi sorotan pengarang harus mencerminkan kenyataan . Maksud dari pernyataan
yang tercermin lewat teks. Cermin tersebut, menurut ini, manakala sastra mencerminkan masyarakat, tentu itu
Stendal dapat berupa pantulan langsung segala aktivitas semua sebagai kenyataan imajiner .Mungkin juga sastra
kehidupan sosial.Maksudnya, pengarang secara real melukiskan beberapa segi dari kenyataan-kenyataan yang
memantulkan keadaan masyarakat lewat karyanya, tanpa terdapat di masyarakat.Bahkan , mungkin sekali sastra
terlalu banyak diimajinasikan. hanya mengeksperiskan “zeitgest” atau sprit ofage ,
Karya sastra yang cenderung memantulkan semangat atau jiwa yang memnuhi zaman tertentu. Namun
keadaan masyarakat , mau tidak mau akan menjadi saksi kenyataan tersebut tidak harus diasumsikan sebagai fakta
zaman. Dalam kaitan ini, sebenarnya pengarang ingin yang terjadi.

43
Goegre Lukacs adalah tokoh sosiologi sastra yang sebenrnya penelitian sosiologi sastra hendak mencari
mempergunakan istilah “cermin” sebagai ciri khas dalam gambaran realitas pada waktu karya tulis.Hanya saja,
keseluruhan karya.Mencerminkan menurut dia, berarti pencerminkan realitas itu dapat secara jujur dan objektif
menyusun sebuah struktur mental. Sebuah novel tidak dan juga dapat mencerminkan kesan realitas subyektif.
hanya mencerminkan “realitas” melainkan lebih dari itu Dalam hal ini, karya sastra akan memberikan realitas dari
memberikan kepada kita “sebuah refelksi yang lebih besar , tatanan hidup masyarakat dan bukan sesuatu yang sama
lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik” yang sekali abstrak. Imajinasi penulis telah ditata rapi untuk
mungkin melampaui pemahaman umum. Sebuah karya mengagarap realitas sebagai perwujuduan cita-cita dan
sastra tidak hanya mencerminkan fenomena individual atau angan-anggannya.
secara tertutup melainkan lebih meruapakan sebuah Dalam kaitannya dengan pendekatan cermin,
“proses yang hidup”. Sastra tidak mencerminkan realitas. Jameson(Taum , 1997:54) menyatakan bahwa setiap teks
Konsep cermin juga telah dikembangkan lagi oleh sastra mengandung resoniasis sosial, historis dan politik.
Abrams dalam buku the mirror and the Lamp bhahwa karya Karya sastra sering berada pada “ketaksadaran politik” ,
sastra adalah cermin kehidupan masyarakat. Senada yang mampu menghilangkan kontradksi-kontradksi sejarah.
dengan ini, Ian Watt (1964:300:313) dalam artikelnya yang Pengarang sering dibius oleh ketaksadaran ini sehingga
berjudul Literature and Society juga mengemukankan tiga secara tidak sadar mengungkapkan hetergenitas diluar
pendekatan , yaitu : (a) pendekatan cermin , yang mencoba teks. Di antara heterogentas itu adalah masalah-masalah
meneliti karya sastra yang dapat mencerminkan keadaan sosial yang akan memperkaya teks sastra. Masalah-
masyarakat pada waktu karya ditulis, (b) pendekatan masalah sosial tersebut sering berupa kesadaran kolektif
konteks sosial pengarang, hal ini akan dijelaskan tersendiri, yang memantul ke dalam sastra. Namun demikian, dalam
dan (c) pendekatan fungsi sosial sastra, pendekatan ini pun kaitannya dengan sastra sebagai pantulan kehidupan
akan dijelaskan tersendiri. Dari pendekatan cermin, kolektif ini, Goldmann (1997:9) mengingatkan bahwa karya

44
sastra bukanlah refleksi dari suatu kesadaran kolektif yang khususnya jika kitab suci yang dibawa para nabi
nyata dan ada, melainkan puncak dari suatu level yang dikategorikan karya sastra, bahkan banyak digolongkan
sangat tinggi koherensi kecenderungan-kecenderungan sebagai sastra agung, bagaimana mungkin bisa diteliti
khusus bagi suatu kelompok tertentu, suatu kesadaran secara sosiologi sastra?Masalahnya, karya luar biasa itu
yang harus dipahami sebagai suatu realitas dinamik yang jelas di anggap bukan berasal dari nabi sendiri, betapa pun
diarahkan ke satu bentuk keseimbangan tertentu. beliau-beliau ini kita percayai jenial.Menurut imam kita,
Penelitian sastra seyogianya juga menjurus ke karya ini jelas berasal dari Tuhan, dan para nabi diberi
masalah-masalah politik. Karena, politik adalah semua cara tugas mengemban amanah penyampai wahyu yang dijamin
pengaturan kehidupan masyarakat yang melibatkan kejujurannya.
hubungan kekuasaan didalamnya. Masalah politik ini akan Persoalannya, akankah peneliti mampu meneliti
mendominasikan kehidupan masyarakat yang suatu saat karya tersebut sebagai refleksi zaman?Lagi pula jika
akan terekam dalam teks sastra. Bahkan kondisi politik peneliti hendak meneliti fungsi karya tersebut, jelas sekali
juga sering mempengaruhi kehidupan sastra itu sendiri. memiliki fungsi tertentu bagi masyarakat, tetapi tidak
Mungkin sekali yang terpantul dalam karya sastra bukan sebaliknya terpengaruh oleh massyarakatnya.Padahal,
hubungan politik secara detail, melainkan berupa ideologi konteks sosiologi sastra semestinya mampu meneliti
tertentu. Ideologi itu yang akan menjadi pijaran sebuah bahwa karya sastra tidak terlepas dari konteks sosial dan
karya sastra mengandung kekuasaan tertentu atau tidak . juga sebaliknya berfungsi bagi kehidupan masyarakat.Inin
Kehadiran sosiologi sastra yang telah banyak berarti bahwa karya sastra adalah wahana komunikasi
mengikuti pendekatan cermin bukan tanpa masalah. yang disampaikan secara khas.
Pendekatan ini jika harus dipaksa “mencerminkan” Dalam kaitan itu, peneliti dapat memfokuskan pada
masyarakat zamannya, akan menghadapinya kendala yang beberapa hal dalam studi satra sebagai cermin. Studi ini
tidak sedikit. Hal senada juga diakui oleh Siregar (1984:1), antara lain dapat meninjau beberapa hal, antara lain

45
mencoba meneliti karya satra sebagai sebuah proyeksi Kondisi sosiologis “penguasa’ semacam itu,kadang-
interes penguasa pada jamannya. Hegemoni penguasa kadang memperkosa karya sastra. Jika idealisme
dalam produksi satra dan sebaliknya satra mencerminkan pengarang terpengaruh oleh pengayom, patahlah
kekuasaan Masyarakatnya, akan diungkap dalam tataran semangat dan mungkin sekali makna karya satra menjadi
ini. Karya yang menyesuaikan dengan hegemoni penguasa ‘tidak orisinal”.Hal ini terjadi karena pengayom sering ada
kemungkinan akan membawa pesan penguasa pula. yang memiliki kepentingan tertentu.Melalui sastra, ada
Secara sosiologis, penguasa sastra juga berupa pengayom yang ingin menyampaikan pesan tertentu agar
maesenas (pengayom), khususnya penerbit.Ketika Balai diikuti oleh pembaca.Pada tingkatan ini, berarti fungsi
Pustaka yang bahkan sampai sekarang menjadi “anak sastra bagi masyarakat dapat dirasakan manakala
emas” pemerintah, buku teks-teks terjemahan sastra lokal pembaca terpengaruh.
banyak tersebar disekolah-sekolah.Dominasi sastra Fungsi sastra dapat berbeda-beda dari zaman ke
transformasi dari lokal ke Indonesia itu, terpaksa harus zaman diberbagai masyarakat. Disuatu zaman dan
dibayar mahal melalui proyek-proyek.Jadi, terlepas dari masyarakat tertentu, sastra mungkin berfungsi sebagai alat
karya sastra, pengayom tetap memiliki kekuatan tertentu. penyebarluasan ideologi; di zaman lain dan masyarakat
Hal yang sama, pernah dialami oleh Ashadi Siregar ketika lain sastra mungkin sekali dianggap sebagai tempat
novelnyaWarisan Sang Jagoan mendapat penghargaan pelarian yang aman dari kenyataan sehari-hari yang tak
dari DKJ, naskah tersebut telah tersemayam lama di tertahankan. Bahkan mungkin saja bagi mereka – sastra
Pustaka Jaya. Penerbit ini tak mau mengorbitkan, lalu dianggap mampu memberikan pengalaman hidup dan nilai-
dilempar ke Gramedia, dan disarankan agar ada bagian nilai kemanusiaan yang luhur bagi pembacanya.Misalnya
yang menyangkut biarawati harus diubah.Namun, saja, novel Siti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli yang
pengarang bersikukuh tidak ingin mengubahnya dan telah difilmkan – sempat cetak ulang belasan kali karena
memasukkan kepenerbit lain, akhirnya terbit juga. memiliki fungsi tertentu.Yakni, bagi remaja tentunya dapat

46
memetik amanat agar adat perkawinan seyogianya (c) Setiap karya sastra yang bisa bertahan lama, pada
disesuaikan dengan kemajuan zaman. hakikatnya suatu moral, baik dalam hubungannya
4. Konteks Sosiobudaya dengan orang dengan kebudayaan sumbernya maupun
Asumsi dasar kajian konteks sosiobudaya berasal dari dalam hubungannya dengan orang-orang. Karya
Grebstein (Damono, 1978:4.5) bahwa: sastramoral dalam arti sempit, yakin yang sesuai
(a) Karya satra tidak dipahami selengkap-lengkapnya dengan suatu kode atau sistem tindak-tindak tertentu,
apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan melainkan pengertian bahwa ia terlibat dalam
atau peradaban yang telah menghasilkannya.Iaharus kehidupan dan menampilkan tanggapan evaluafi.
dipelajari dalam konteks seluas-luasnya, dan tidak Dengan demikian sastra adalah eksperimen moral.
hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil (d) Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah:
pengaruh timbal balik yang rumit antara faktor-faktor pertama, sebagaimana suatu kekuataan atau faktor
sosial dan kultural, dan karya itu sendiri merupakan material istimewa, dan kedua, sebagaiamana tradisi-
obyek kultural yang rumit. Bagaimanapunkarya sastra yakni kecenderungan-kecenderungan spiritual maupun
bukanlah gejala yang tersendiri. kultural yang bersifat kolektif. Bentuk dan isi dengan
(b) Gagasan yang ada dalam karya sastra sama sendirinya dapat mencerminkan perkembangan
pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya: sosiologis, atau menunjukkan perubahan-perubahan
bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik itu yang halus dalam watak kukutral.
ditentukan oleh gagasan tersebut. Tak ada karya besar (e) Kritik sastra seharusnya lebih dari sekadar perenungan
yang diciptakan berdasarkan gagasan sepele dan estetis yang tanpa pamrih, ia harus melibatkan diri
dangkal; dalam pengertian isi satra adalah kegiatan sendiri dalam suatu tujuan tertentu. Kritik adalah
yang sungguh-sungguh. kegiatan penting yang harus mampu mempengaruhi
pencipta sastra, tanpa mendekte sastrawan agar

47
memilih tema tertentu,misalnya, melainkan menciptkan pula. Lebih dari itu, seyogianya penelitian kritis sosiologi
iklim tertentu yang bermanfaat bagi penciptaan seni sastra mampu menggali masa lalu yang masih relevan
besar. dengan masa kini dan mendatang.
(f) Krtikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa Pendeketan sosiobudaya tersebut, dapat digunakan
silam maupun sastra masa datang. Dari sumber sastra dalam penelitian ke dalam dua segi.Pertama ,
yang sangat luas itu krtikus harus memilih yang sangat berhubungan dengan aspek sebagai releksi sosiobudaya.
luas itu kritikus harus memilih yang sesuai dengan Kedua , mempelajari pengaruh sosiobudaya terhadap
masa kini. Perhatiannya bukan seperti pengumpul karya sastra. Aspek pertama ini sebenarnya tidak lepas
benda kuno yang kerjanya hanya menyusun kembali, pula dari masalah refleksi sastra.Sedangkan aspek kedua,
tetapi memberi penafsiran seperti yang dibutuhkan oleh berhubungan dengan “konsep pengaruh”.Konsep pengaruh
masa kini. Dan karena setiap generasi membutuhkan ini juga dapat diperluas lagi menjadi pengaruh timbal balik
pilihan yang berbeda-beda, tugas kritikus untuk sastra dan sosiobudaya.
menggali masa lalu tak ada habisnya. Teori analisis “konsep pengaruh” dalam sosiologi
Dari asumsi demikian tampak bahwa penelitian sosiologi sastra, pernah dipaparkan Madame de Stael (Laurenson
sastra yang lengkap, seharusnya terkait dengan latar dan Swingewood, 1971:26) bahwa ada hubungan antara
belakang sosikultural masyarakat. Karya-karya besar iklim, geografi, dan lembaga sosial. Ketiganya akan
dengan sendirnya akan mempresentasikan latar belakang membentuk watak manusia secara campur aduk kedalam
sosiokultural dan moral yang tangguh. Peneliti bertugas teks sastra. Lebih lanjut, Stael memberikan pandangan
mengungkap hal tersebut agar dapat menangkap watak- bahwa bentuk novel akan berkembangan manakala
watak kultural suatu masyarakat. Keberhasilan kajian masyarakat tempat status wanita itu agak tinggi. Hal ini
demikian akan menjadi bagian kritik sosiologis yang berarti ada perjuangan kemajuan kaum wanita dalam
seharusnya mampu mendorong tersiptanya karya besar sastra, yang kelak dikenal dengan pendekatan gender.

48
Yang penting lagi, manakala novel tersebut lahir dari kelas karya. Citra tentang “sesuatu” itu disesuaikan
menengah, akan memuat kebebasan dan kebijakan. dengan perkembang budaya masyarakat.
Pendekatan yang mengungkap aspek sastra dengan 3) Pendekatan ini boleh juga mengambil motif atau
refleksi dokumen sosiobudaya, mengimplikasikan bahwa tema, yang keduanya berbeda secara gradual.
karya sastra menyimpan hal-hal penting bagi kehiduapan Tema lebih abstrak dan motif lebih konkret. Motif
sosiobudaya.Memang , pendekatan ini hanya parsial, dapat dikonkritkan melalui pelaku.
artinya sekadar mengungkap persoalan kemampuan karya Ketiga strategi penelitian tersebut, menunjukkan bahwa
sastra mencatat keadaan sosiobudaya masyarakat tertentu. penelitian sosiologi sastra dapat dilakukan melalui
Jadi , pendekatan ini tidak memperhatikan struktur teks , potongan-potongan cerita.Hubungan antara unsur dan
melainkan hanya penggalan-penggalan cerita yang terkait keutuhan (unity) unsur juga tidak harus. Hanya saja,
dengan sosiobudaya. pendekatan ini memang ada kelemahannya, amatara lain
Langkah yang bisa ditempuh pendektatan ini, peneliti akan sulit menghubungankan secara langsung
menurut Junus (1989:4-5) ada tiga stategi, yaitu : karya sastra dengan sosiobudaya. Betapapun karya sastra
1) Unsur sastra diambil terlepas dari unsur lain, itu megunakan imajinasi yang tinggi dan realisme, namun
kemudian dihubungkan dengan suatu unsur tidak berati bahwa di dalamnya berhubungan dengan
sosiobudaya. Staregi ini ditempuh karena karya sosiobudaya masyarakatnya.Bisa jadi, yang terungkap
tersebut hanya memidahkan unsur itu ke dalam dalam karya sastra sekadar angan-angan pengarang dan
dirinya. Misalkan, A Johns dalam novel Belenggu bukan realitas.
menlihat telepon adalah simbol kemodernan. Pendekatan yang mengungkap “konsep pengaruh”,
2) Pendekatan ini boleh mengambil image atau citra mempresentasikan bahwa kondisi sosiobudaya memiliki
tentang “sesuatu” perempuan , laki-laki, orang asing , peranan penting bagi sastra. Jika berkiblat pada teori Taine
tradisi, dunia modern dan lain-lain dalam suatu (Junus, 1986:19) karya sastra memang dapat dipengaruhi

49
oleh kondisi sosiobudaya masyarakat , yaitu ras , waktu, interferensi kelompok , konflik kelompok, dan sebagainnya,
dan lingkungan. Dalam hal ini , sastra akan (3) studi perkembangan dan keragaman sikap sosial dan
dipengaruhioleh kondisi sejarah dan kelas masyarakat, model-model yang ditentukan oleh seni, (4) studi
yang akan tampak pada gaya maupun bentuk sastra. pembentuk, pertumbuhan, dan lenyapnya lembaga-
Bahkan , lebih jauh lagi superstruktur masyarakat lembaga sosioarsitik, (5) studi faktor-faktor tipikal dan
(baca:ekonomi) kadang-kadang sangat besar pengaruhnya bentuk-bentuk organisasi sosial yang mempengaruhi seni.
terhadap kehidupan sastra. Hal semacam ini sulit Dalam kaitan itu , sosiologi sastra memang
disangkal , ketika bangsa Indonesia mengalami krisis penelitian manusia dalam perbuatannya dengan
ekonomi dan krisis kepercayaan yang panjang , ternyata masyarakat dan teks sastra. Hubungan manusia dalam
telah menyempitkan penerbitan karya sastra. Tidak sedikit teks sastra itu meruapakan hubungan bersifat
karya sastra yang harus “mengeram” sampai tidak menetes spesifik.Diantara hubungan spesifik itu adalah hubungan
di penerbit, karena memag tidak ada dana lagi. Kalaupun antara teks sastra dengan pembacanya dipandang secara
ada sedikit pertolongan dari ford foundation, itu pun belum sosiologis. Dalam kaitan , Albert Memmi (Segers,2002:70)
mampu menerbitkan semua karya sastrawan, karena memberikan kemungkinan penelitian sosiologi sastra, yaitu
yayasan ini juga memiliki hegemoni tersendiri. menitik beratkan pada pengarang , teks sastra dan
Peneliti sosiologi sastra, juga dapat meneliti dalam masyarakat pembaca. Menitikberatkan pengarang akan
kaitannya dengan pengaruh teks sastra terhadap pembaca. mengkaji status ekonomi dan profesionalitas penulis, kelas
Pengaruh tersebut , kemungkinan besar juga dapat bersifat sosial, dan generasi sastra penulis itu. Yang
timbal balik. Seperti halnya pernyataan Slibermann (Segers, menitikberatkan pada teks, penyelidikan dapat dibuat
200:68-69) bahwa objek sosiologi seni (sastra) adalah : (1) dalam sosiologi genre, bentuk, tema,dan gaya. Akhirnya ,
studi terhadap pengaruh seni pada kehidupan sosial, (2) dalam kesesuaiannya dengan resepsi ,
studi pengaruh seni pada pembentukkan kelompok, mempertimbangkan teks sastra diterima oleh pembaca

50
sebagai indekasi krusial yang penting bagi teks. Dalam (yang juga diketahui lewat monolog tokoh); (2) artikel yang
dibaca oleh tokoh; (3) narator (deskripsi pencerita); (4) latar
kaitan itu, Robert Escarpit juga berpendapat bahwa
tempat; dan (5) latar waktu:
seseorang yang ingin mengetahui arti sebuah teks sastra, Tokoh-tokoh dalam SH, seperti R. Potronojo (orang tua
Hijo), Hijo, Tumenggung Jarak, Wardoyo, dan beberapa orang
pertama-tama harus tahu bagaimana teks itu telah dan yang terlibat dalam organisasi
harus dibaca. Jika ingin mengetahui nilai apa yang Serikat Islam merupakan tokoh-tokoh yang mempresentasikan
nasionalisme. Mereka digambarkan sebagai tokoh pribumi yang
terkandung dalam teks, seseorang perlu mengadakan memiliki sikap, pikiran, dan pandangan yang menolak dan
mencoba melawan hegemoni pemerintah kolonial Belanda.
penelitian tentang keanakaragaman segmen audiens. Mereka juga dihadapkan dengan tokoh-tokoh lain baik dari
3. Penerapan Analisis Sosiologi Sastra kalangan pribumi yang menjadi pegawai pemerintah kolonial
Belanda maupun orang-orang Belanda yang berposisi sebagai
Pada bagian ini disajikan contoh penerapan analisis kaum kolonial, seperti Sersan Djepris, Walter, dan orang-orang
yang ditemui Hijo di negeri Belanda.
sosiologi sastra yang dilakukan oleh Wiyatmi terhadap Secara spesifik nasionalisme yang dipresentasikan lewat
novel SH karya Marco Kartodikromo. tokoh tampak pada aspek berikut: (a) dialog antartokoh, yaitu
antara Ayah dan Ibu Hijo (Potronojo); (b) monolog tokoh, yaitu
monolog yang dilakukan Hijo, yang juga berhubungan dengan
pikiran dan sikap tokoh; (c) pikiran tokoh (Hijo); (d) sikap tokoh
Setelah dilakukan pembacaan yang cermat terhadap novel
(Potronojo); (e) artikel dari surat kabar yang membahas
SH, ditemukan empat klasifikasi gagasan nasionalisme
kehidupan orang Belanda di Hindia. Artikel ini diberikan oleh
dengan sembilan butir data. Secara kuantitatif data Walter kepada Sersan Djepris yang merendahkan orang-orang
tersebut sebenarnya relative sedikit, tetapi secara kualitatif pribumi. Selain itu, (f) narator (pencerita) ketika menguraikan
gagasan nasionalisme berlangsungnya konggres Serikat Islam I di Solo, juga
yang ada di dalamnya cukup dalam, apalagi dalam konteks menguraikan peristiwa ketika pertama kali Hijo mendarat di
waktu itu, ketika novel tersebut ditulis dan dipublikasikan pelabuhan Amsterdam, latar tempat, Solo, sebagai tempat
dalam kekuasaan kolonial Belanda. Keempat klasifikasi tinggal keluarga Hijo (Potronoyo) dan berlangsungnya konggres
gagasan nasionalisme persaudaraan yang ditawarkan oleh Serikat Islam, juga Karesidenan Jarak. Di samping itu, juga
orang orang Belanda karena tidak memiliki kedudukan Amsterdam dan Den Haag (Belanda), tempat Hijo dikirim untuk
yang seimbang; dan (4) bersatu melalui gerakan sosial melanjutkan sekolah dan bergaul dengan keluarga Piet (orang
Belanda). Latar waktu, awal abad XX, masa penjajahan Belanda
atau partai politik (khususnya Serikat Islam) untuk melawan
di Hindia (sebutan Indonesia sebelum (pra) kemerdekaan),
pemerintah kolonial Belanda. Gagasan nasionalisme dalam termasuk di dalamnya waktu didirikannya organisasi Serikat
SH disampaikan dan melekat dalam unsur-unsur fiksi: (1 Islam di Solo (1911)
khususnya dialog antartokoh, sikap tokoh, pikiran tokoh

51
Keempat wujud gagasan nasionalisme yang terdapat amat besar kepala…(SH, hlm. 58).
dalam SH, dapat dikatakan sebagai wujud nasionalisme yang
khas pada masa prakemerdekaan. Sesudahnya Hijo dan Leeraar-nya turun dari
Secara sosial dan historis tumbuhnya nasionalisme, termasuk di kapal, terus ke hotel, kedatangannya di situ
Indonesia, memang merupakan sebuah reaksi atau antitesis Hijo dihormat betul oleh sekian budak hotel,
terhadap kolonialisme (Utomo, 1995:21). Dalam konteks situasi sebab mereka memikirkannya, kalau ada
kolonial, khususnya kolonialisme Belanda di Indonesia, jiwa orang yang baru datang dari tanah Hindia,
nasionalisme yang hidup pada orang-orang pribumi merupakan mesti banyak uang, lebih-lebih kalau orang
perjuangan untuk mengembalikan lagi harga diri manusia yang Jawa. Dari itu, Hijo tertawa dalam hati melihat
hilang karena kolonialisme (Abdulgani, lewat Utomo, 1995:21). keadaan serupa itu, karena dia ingat nasib
Perlawanan terhadap hegemoni kolonial Belanda, misalnya bangsanya yang ada di tanahnya sana dihina
tampak jelas pada kutipan berikut. oleh bangsa Belanda kebanyakan (SH, hlm. 58)
“Saya ini seorang saudagar saja, kamu tahu
sendiri, ini waktu orang seperti saya masih Dari ketiga kutipan tersebut tampak bagaimana orang tua
dipandang rendah oleh orang-orang yang jadi Hijo (R. Potronojo), sebagai pribumi sebenarnya ingin melawan
pegawainya gouvernement. Kadang-kadang kita dan menundukkan orangorang Belanda dan antek-anteknya
punya sanak sendiri yang sama turut (orang-orang pribumi yang menjadi pegawai Belanda). Motivasi
gouvernement, dia tidak suka kumpul dengan Potronojo menyekolahkan Hijo ke Belanda adalah untuk
kita, sebab pikirannya dia orang ada lebih membukakan mata dan menyadarkan mereka bahwa orang-
tinggi derajadnya daripada kita orang yang orang pribumi tidak harus dipandang rendah. Kesadaran
sama jadi saudagar atau tani. Maksud saya nasionalisme Hijo juga timbul setelah dia sampai di Belanda dan
buat mengirim Hijo ke negeri Belanda itu tidak menyaksikan orang-orang Belanda, terutama dari kalangan
lain supaya orang-orang yang merendahkan bawah, dengan menunduk-nunduk melayani Hijo dan gurunya,
kita orang ini bisa mengerti bahwa manusia yang menyadarkan Hijo bahwa tidak seharusnya bangsanya
itu sama saja, tandanya anak kita bisa belajar diperintah oleh Belanda.
juga seperti anaknya regent-regent atau Apa yang digambarkan dalam novel tersebut secara
pangeran-pangeran…” (SH, hlm.2-3)” kontekstual dapat dikatakan merefleksikan realitas yang terjadi
di Indonesia atau Hindia Belanda pada masa kolonial Belanda.
“Waktu itu Hijo turun dari kapal, di pelabuhan Lahirnya tokoh pribumi yang mendapat kesempatan
sudah berdesak-desakan orang-orang yang memperoleh pendidikan, Hijo yang berhasil menamatkan
datang dengan kapal Gunung. Keadaan itulah sekolah HBS, yaitu sekolah Belanda setingkat SMP
sungguh luar biasa bagi Hijo. Bukan karena (Pringgodigdo, 1991:xi) dan melanjutkan pendidikannya ke
kebagusan pakaian orang-orang yanga da di Belanda merupakan akibat dari diberlakukannya politik etis
situ, tetapi luar biasa sebab mulai ini waktu Belanda (politik balas budi). Politik etis adalah sebuah politik
Hijo bisa memerintah orang-orang Belanda, kolonial Belanda yang memberik esempatan kepada rakyat
orang mana kalau di tanah Hindia kebanyakan untuk mendapatkan

52
peningkatan kesejahteraan di bidang irigasi, edukasi, dan membentuk organisasi politik (Serikat Islam). Tokoh-tokoh dalam
emigrasi (Utomo, 1995:14). Di balik politik etis, sebenarnya SH, dalah orang-orang pribumi, khususnya Jawa, tampak dari
pemerintah kolonial Belanda memiliki tujuan utama untuk nama-namanya seperti Potronojo, Hijo, Wardoyo, Wungu, dan
meningkatkan kapasitas keuntungan di bidang perkebunan, Biru, yang mencoba melawan kolonialisme Belanda.
pabrik-pabrik, kantor-kantor dagang, dan kantor-kantor cabang Dalam konteks sosiologi sastra, gagasan nasionalisme
perusahaan yang membutuhkan pegawai berpendidikan barat, prakemerdekaan yang terdapat dalam SH, yang diekspresikan
juga tenaga manusia di luar Jawa. Dengan melalui politik etis, melalui unsur tokoh, latar (tempat dan waktu), serta narator
maka semuanya dapat dicapai (Utomo, 1995: 13-14). (pencerita) menunjukkan adanya hubungan yang tak terpisahkan
SH ditulis dan dipublikasikan pertama kali oleh Marco antara karya sastra, kondisi sosial zamannya, pengarang, dan
pada tahun 1918. Artinya, pada saat itu, secara fakta dan pembacanya.
historis, Marco masih menjadi tokoh Serikat Islam. Dengan
demikian, world view yang terekspresi dalam SH adalah world
view Serikat Islam yang merupakan kelompok sosial Marco. Kegiatan
Realitas sosial ekonomi yang dihadapi oleh Marco dan
kelompok sosialnya adalah realitas yang dialami orang-orang
 mahasiswa secara berkelompok mendiskusikan
pribumi pada masa colonial Belanda pada awal abad XX. Pada
saat itu sekelompok orang yang membayangkan bersatu dalam sasaran dan perpestif sosiologi sastra
komunitas imajiner bernama Indonesia (atau yang nantinya Kegiatan
menjadi bangsa Indonesia) berada kolonialisme Belanda.  mahasiswa secara individu menganalisis teks sastra
Kolonialisme pada hakikatnya merupakan dominasi politik,
dengan menggunakan perspektif sosiologi sastra
eksploitasi ekonomi, dan penetrasi kebudayaan, serta segregasi
sosial (Abdulgani, lewat Utomo, 1995:2). Realitas itulah yang
dipahami dengan pandangan dunia kelompok sosial pengarang
dan kemudian diekspresikan dalam novel SH. Cerita dan tokoh- Tugas
tokoh dalam SH adalah ekspresi dari orang-orang pribumi yang
menjadi korban kolonialisme Belanda, dianggap lebih rendah
dari orang-orang Belanda dan para pegawainya. Melalui  bedah karya
semangat nasionalismenya mereka mencoba melawan
kolonialisme tersebut, baik secara individu maupun melalui Kegiatan
pergerakan kebangsaan, terutama Serikat Islam.
Tokoh-tokoh dalam SH, dapat dikatakan sebagai orang-
orang yang membayangkan dirinya sebagai anggota komunitas
“Indonesia”, atau saat itu sebenarnya lebih tepat disebut sebagai
orang-orang pribumi atau bumiputra, mencoba melawan Sumber
kolonialisme yang dilakukan oleh Belanda baik secara individu,
seperti dilakukan oleh Hijo dan Ayahnya, maupun dengan

Kegiatan 53

Anda mungkin juga menyukai