Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

KEBENARAN ILMIAH
DALAM FILSAFAT ILMU

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas pada


Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pembimbing : Dr. Arisni Kholifatu A.S., M.Pd.

Disusun oleh :

Abdul Ghofur (NIM : 2395114037)


Muhammad Arif Wahono (NIM : 2395114067)
Muhammad Abdul Jabbar (NIM : 2395114039)

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS TEKNIK INFORMASI
UNIVERSITAS HASYIM ASY’ARI TEBUIRENG JOMBANG
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT. yakni, Dzat Yang mahakuasa, tiada tanding
dan banding untuk-Nya. Alhamdulillah, dengan limpahan rahmat dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu.
Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW. yang telah membimbing umatnya menuju zaman penuh cahaya yang Insya Allah di ridhai
oleh Allah SWT. Begitu juga dengan keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir
zaman.
Tak lupa pula, terima kasih kami ucapkan kepada ibu Dr. Arisni Kholifatu A.S., M.Pd.
selaku dosen pembimbing mata kuliah Dasar-dasar informatika. Demikian juga kami ucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu di dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari akan banyaknya kekurangan dan kesalahan dalam pembuatan makalah
ini baik dalam ejaan maupun isinya. Oleh karena itu kami akan menerima kritik dan saran dari
pembaca dan kami berharap semoga materi ini dapat memberikan kemaslahatan baik di dunia
maupun di akhirat nanti.

Jombang, 24 September 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

MAKALAH....................................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR....................................................................................................................................ii
BAB I.............................................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................................................1
1.2.1 Arti Kebenaran..............................................................................................................................1
1.2.2 Teori-Teori Kebenaran..................................................................................................................1
1.2.3 Sifat Kebenaran Ilmiah.................................................................................................................1
1.3 Tujuan..................................................................................................................................................1
1.3.1 Mengetahui dan memahami arti kebenaran..................................................................................1
1.3.2 Mengehaui dan memahami teori-teori kebenaran.........................................................................1
1.3.3 Mengetahui dan memahami sifat kebenaran ilmiah.....................................................................1
BAB II............................................................................................................................................................2
2.1 Arti Kebenaran.....................................................................................................................................2
2.2 Teori-Teori Kebenaran.........................................................................................................................3
2.3 Sifat Kebenaran Ilmiah........................................................................................................................5
BAB III..........................................................................................................................................................7
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................................7

iii
BAB I

1.1 Latar Belakang


Latar belakang kebenaran ilmiah dapat ditelusuri dari sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan itu sendiri. Sejak zaman Yunani Kuno, manusia telah mulai mempertanyakan
hakikat kebenaran. Para filsuf Yunani, seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, telah memberikan
pemikiran-pemikiran penting tentang kebenaran.
Pada abad pertengahan, kebenaran ilmiah didominasi oleh agama. Namun, pada abad ke-
17, kebenaran ilmiah mulai dikaji secara rasional dan empiris. Revolusi ilmiah ini dipelopori
oleh tokoh-tokoh seperti Galileo Galilei, Isaac Newton, dan Rene Descartes.
Pada abad ke-18, filsafat ilmu mulai berkembang secara sistematis. Tokoh-tokoh filsafat
ilmu pada abad ini, seperti Immanuel Kant dan Auguste Comte, memberikan pemikiran-
pemikiran penting tentang kebenaran ilmiah.
Pada abad ke-19, filsafat ilmu berkembang pesat seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan itu sendiri. Tokoh-tokoh filsafat ilmu pada abad ini, seperti Karl Marx, Max Weber,
dan John Dewey, memberikan pemikiran-pemikiran penting tentang filsafat ilmu, termasuk
tentang kebenaran ilmiah.
Pada abad ke-20, filsafat ilmu mengalami perkembangan yang kompleks. Tokoh-tokoh
filsafat ilmu pada abad ini, seperti Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein, dan Thomas Kuhn,
memberikan pemikiran-pemikiran penting tentang filsafat ilmu, termasuk tentang kebenaran
ilmiah.

1. 2 Rumusan Masalah
1. 2.1 Arti Kebenaran
1. 2.2 Teori-Teori Kebenaran
1. 2.3 Sifat Kebenaran Ilmiah

1. 3 Tujuan
1. 3.1 Mengetahui dan memahami arti kebenaran
1. 3.2 Mengehaui dan memahami teori-teori kebenaran
1. 3.3Mengetahui dan memahami sifat kebenaran ilmiah

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Arti Kebenaran
Dalam filsafat ilmu, konsep kebenaran ilmiah menjadi subjek pemikiran yang
mendalam dan merupakan bagian integral dari diskusi tentang epistemologi (teori
pengetahuan) dan metodologi ilmiah. Ada beberapa sudut pandang dalam filsafat ilmu
yang membahas kebenaran ilmiah:

a. **Konsep Kesesuaian (Correspondence)**: Ini adalah konsep yang paling umum


dalam konteks kebenaran ilmiah. Menurut pandangan ini, suatu pernyataan dianggap
benar jika ia sesuai dengan realitas atau fakta yang dapat diamati. Dalam metode
ilmiah, upaya dilakukan untuk membuat pernyataan ilmiah yang sesuai dengan apa
yang dapat diamati dan diukur.

b. **Kepercayaan pada Metode Ilmiah**: Banyak filsuf ilmu percaya bahwa kebenaran
ilmiah terkait erat dengan metode ilmiah yang digunakan untuk mencapainya. Proses
ilmiah, seperti observasi, pengujian, eksperimen, dan analisis data, harus dijalankan
dengan benar dan objektif untuk menghasilkan kebenaran ilmiah yang dapat
diandalkan.

c. **Falsifiabilitas**: Konsep falsifiabilitas, yang diusung oleh filsuf Karl Popper,


ditekankan dalam konteks kebenaran ilmiah. Menurut Popper, suatu pernyataan atau
teori ilmiah yang baik harus dapat difalsifikasi atau dibuktikan salah. Dengan kata
lain, kebenaran ilmiah tidak hanya tentang mencari bukti yang mendukung teori,
tetapi juga mencari bukti yang bisa meruntuhkannya.

d. **Teori-Teori Ilmiah**: Teori-teori ilmiah merupakan konstruksi konseptual yang


mencoba menjelaskan fenomena alam. Kebenaran ilmiah sering dikaitkan dengan
sejauh mana teori ini dapat menggambarkan dan meramalkan fenomena alam dengan
akurat. Namun, teori-teori ilmiah juga bersifat provisional dan dapat direvisi jika ada
bukti baru yang kuat

e. **Reproduksibilitas**: Kebenaran ilmiah dianggap lebih kuat jika hasil penelitian


dapat direproduksi oleh ilmuwan lain yang mengikuti metode yang sama. Ini
menunjukkan keandalan dan kebenaran dari temuan tersebut.

f. **Konteks Sosial dan Budaya**: Beberapa filsuf ilmu menyoroti pentingnya


memahami bahwa konsep kebenaran ilmiah juga dapat dipengaruhi oleh konteks
sosial dan budaya. Ilmu pengetahuan dapat dipengaruhi oleh nilai-nilai, norma, dan
pandangan dunia yang ada dalam Masyarakat.

g. **Kritik Terhadap Kebenaran Ilmiah**: Ada juga pandangan kritis terhadap ide
kebenaran ilmiah, yang menganggapnya sebagai konsep yang selalu relatif dan bisa

2
dipertanyakan. Beberapa filsuf berpendapat bahwa kebenaran ilmiah selalu bersifat
provisional dan tidak pernah mencapai kepastian mutlak.

Dalam filsafat ilmu, penelitian dan diskusi berkelanjutan terus berlangsung mengenai
sifat dan karakteristik kebenaran ilmiah. Ini mencerminkan pentingnya memahami
bagaimana ilmu pengetahuan berkembang, bagaimana pengetahuan dikonstruksi, dan
bagaimana kita dapat memastikan bahwa pengetahuan ilmiah kita sejalan dengan realitas
atau kenyataan yang ada.

2. 2 Teori-Teori Kebenaran
Dalam perkembangan pemikiran filsafat perbincangan tentang kebenaran sudah
dimulai sejak Plato(Plato et al. 2020) yang kemudian diteruskan oleh Aristoteles(Pin-Fat
2005). Plato melalui metode dialog membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap
sebagai teori pengetahuan yang paling awal. Sejak itulah teori pengetahuan berkembang
terus untuk mendapatkan penyempurnaan-penyempurnaan sampai kini.
Untuk menentukan apakah suatu pengetahuan memiliki nilai kebenaran atau tidak,
sangat tergantung pada cara kita memperolehnya. Apakah melalui akal pikiran atau
penginderaan? Sudah berkembang beberapa perspektif yang menghasilkan berbagai
jenis
teori kebenaran dalam tradisi filsafat. Ada empat jenis teori kebenaran yang
berkembang,
yaitu Teori Korespondensi, Teori Koherensi, Teori Pragmatis, dan Teori Performatif.

a. Teori Korespondensi

Teori kebenaran korespondensi merujuk pada teori kebenaran tertua yang


berdasarkan pada teori pengetahuan Aristoteles, yang menyatakan bahwa segala
sesuatu yang kita ketahui dapat ditegakkan pada kenyataan yang diketahui oleh
subyek. (Mintaredja 1982; Atabik 2016) Teori korespondensi mengemukakan bahwa
suatu proposisi dianggap benar apabila sesuai dengan fakta atau realitas yang ada di
dunia. Kebenaran dapat dibuktikan langsung melalui pengalaman dan pengamatan
pada dunia nyata. Sebagai contoh, proposisi "air akan menguap jika dipanaskan
hingga 100 derajat Celsius" dianggap benar jika kita memanaskan air hingga
mencapai suhu 100 derajat Celsius dan melihat apakah air benar-benar menguap. Jika
air tidak menguap, maka proposisi tersebut dianggap salah, tetapi jika air menguap,
maka proposisi tersebut dianggap benar. Teori korespondensi (Padli dan Mustofa
2021) menyatakan bahwa suatu proposisi dianggap benar apabila sesuai dengan

3
kenyataan yang ada. Jika sebuah pengetahuan sudah terbukti benar melalui
pengamatan atau eksperimen(Fadli 2021), maka hal tersebut dapat dijadikan aksioma
atau postulat, yang merupakan kebenaran umum dan tidak perlu dibuktikan lagi.
Contohnya, bahwa matahari terbit dari arah timur adalah sebuah aksioma karena
sudah diyakini benar dan tidak perlu dibuktikan lagi. Aksioma atau postulat dapat
digunakan sebagai dasar untuk membuktikan kebenaran pernyataan lain dalam
disiplin ilmu matematika.
b. Teori Koherensi

Menurut teori koherensi, suatu pernyataan dapat dianggap benar hanya jika tidak
bertentangan dengan pernyataan sebelumnya yang sudah terbukti benar. Teori ini
mengharuskan adanya konsistensi atau ketiadaan pertentangan antara suatu
pernyataan dengan aksioma atau postulat. Dalam contoh disiplin ilmu matematika,
terdapat postulat bahwa jumlah sudut semua jenis bangun ruang segitiga adalah 180°.
Jika ada pernyataan bahwa terdapat suatu segitiga dengan jumlah sudut 210°, maka
kita dapat menyatakan bahwa pernyataan tersebut tidak benar tanpa harus
menyaksikan bukti faktual segitiga 172 tersebut, karena bertentangan dengan postulat
yang sudah ada. Pernyataan tersebut memiliki kontradiksi dengan postulat yang sudah
ada, dan karena itu dianggap tidak benar menurut teori koherensi. Teori koherensi
berbeda dengan teori korespondensi dalam dasar pembuktian kebenarannya. Pada
teori korespondensi, kebenaran suatu pernyataan tergantung pada hubungannya
dengan fakta yang ada, sedangkan pada teori koherensi, kebenaran suatu pernyataan
tergantung pada konsistensinya dengan postulat yang sudah ada sebelumnya. Sebagai
contoh, jika seseorang mengatakan bahwa ada seekor ikan hiu yang masih hidup di
dalam kolam alun-alun kota, menurut teori korespondensi, kebenaran pernyataan
tersebut tergantung pada fakta apakah ikan hiu memang ada di kolam tersebut atau
tidak. Namun, menurut teori koherensi, kita bisa menyimpulkan bahwa pernyataan
tersebut tidak benar karena bertentangan dengan postulat bahwa ikan hiu adalah jenis
ikan air asin dan tidak mungkin hidup di air tawar kolam alun-alun kota.

C . Teori Pragmatis

Teori pragmatis memiliki dasar kebenaran yang berbeda dengan dua teori
sebelumnya. Sementara teori korespondensi dan koherensi menempatkan dasar
kebenaran pada fakta obyektif dan konsistensi logis, teori pragmatis menganggap
kebenaran sebuah pernyataan terletak pada manfaat praktisnya dalam memecahkan
masalah kehidupan. Teori ini tidak hanya berlaku dalam dunia empiris, namun juga
dapat diterapkan pada obyek pengetahuan metafisik. Teori pragmatis muncul sebagai
kritik terhadap pandangan kaum positivis yang menyatakan bahwa pernyataan
metafisik tidak memiliki makna karena tidak didasarkan pada fakta empiris. Kaum
pragmatis menganggap bahwa pernyataan metafisik dapat dianggap benar jika
memiliki manfaat praktis dalam kehidupan. Sebagai contoh, pernyataan "Neraka ada

4
bagi manusia yang berperilaku jahat" meskipun tidak memiliki bukti empiris yang
bisa dipertanggungjawabkan, namun bisa dianggap benar jika memiliki manfaat
dalam menurunkan angka kejahatan. Charles Pierce, seorang tokoh pragmatisme,
menjelaskan bahwa kriteria dasar kebenaran dalam pragmatisme dapat dijelaskan dari
berbagai sudut pandang yang berbeda. Karena berbagai sudut pandang ini memiliki
hasil yang berbeda-beda, maka standar kebenaran juga akan berbeda-beda. Kebenaran
menurut seseorang tidak selalu benar menurut orang lain, karena apa yang
memuaskan bagi seseorang tidak selalu memuaskan bagi orang lain. Namun, kritik
terhadap teori pragmatisme adalah bahwa variasi pandangan ini dapat membuatnya
rentan terhadap relativisme.

a. Teori Performatif
Teori kebenaran performatif adalah hasil dari konsep J.L. Austin yang
membedakan antara ujaran konstatif dan ujaran performatif. Austin, seorang tokoh
filsafat analitik bahasa dari Inggris, menyatakan bahwa pengujian kebenaran yang
berbasis pada fakta, seperti yang terdapat dalam teori korespondensi, hanya dapat
diterapkan pada ujaran konstatif. Ucapan konstatif mengandung pernyataan yang bisa
dianggap konstan, sehingga ia dapat diuji kebenarannya. Ada beberapa hal yang sulit
dibuktikan kebenarannya karena adanya keterbatasan dalam masyarakat untuk
mengakses fakta yang terjadi. Selain itu, suatu ujaran juga dapat sulit dibuktikan
kebenarannya jika berhubungan dengan kondisi atau aktivitas mental seseorang.
Sebagai contoh, ketika seseorang berjanji untuk tidak melakukan kesalahan yang
sama di masa depan, tidak dapat dibuktikan apakah ia benar-benar berjanji dengan
tulus atau 173 tidak karena kesungguhan dalam janji merupakan aktivitas mental
yang sulit untuk diverifikasi. Austin memperkenalkan jenis ujaran performatif untuk
kasus-kasus di mana kebenaran tidak dapat dibuktikan melalui fakta objektif atau
konsistensi logis. Jenis ujaran ini tidak berkaitan dengan kebenaran proposisi,
melainkan dengan apakah ujaran tersebut diucapkan secara layak atau tidak oleh
penutur. Kebenaran performatif bergantung pada otoritas penutur, yang dapat
didefinisikan sebagai kewenangan, keahlian, atau kompetensi sang penutur dalam hal
yang diucapkannya. Salah satu contoh yang paling umum dari kebenaran performatif
adalah dalam penentuan awal bulan Ramadan. Meskipun penentuan ini didasarkan
pada fakta obyektif yaitu munculnya hilal sebagai awal pergantian bulan, namun
akses masyarakat awam untuk membuktikan secara langsung melalui pengamatan
inderawi terbatas. Oleh karena itu, penentuan awal Ramadan bergantung pada otoritas
yang dianggap memiliki kompetensi atau wewenang dalam hal ini, yaitu pernyataan
dari Menteri Agama.

2.3 Sifat Kebenaran Ilmiah


Sifat kebenaran ilmiah dalam filsafat ilmu mencerminkan bagaimana konsep
kebenaran diterapkan dalam konteks penelitian dan metode ilmiah. Sifat-sifat kebenaran
ilmiah yang penting dalam filsafat ilmu meliputi:

5
a. **Empiris**: Kebenaran ilmiah bergantung pada bukti-bukti empiris atau
pengamatan objektif. Ini berarti bahwa pernyataan atau teori ilmiah harus
dapat diuji melalui observasi, eksperimen, dan pengukuran. Kebenaran ilmiah
tidak hanya berdasarkan pada spekulasi atau pendapat, melainkan pada data
empiris yang dapat diandalkan.

b. **Falsifiabilitas**: Konsep falsifiabilitas, seperti yang diajukan oleh filsuf


Karl Popper, adalah sifat penting dari kebenaran ilmiah. Menurut pandangan
ini, suatu pernyataan atau teori ilmiah harus dirumuskan sedemikian rupa
sehingga ada potensi untuk membuktikan bahwa itu salah. Dengan kata lain,
kebenaran ilmiah dapat diuji dan remehkan.

c. **Objektivitas**: Penelitian ilmiah dan proses pencarian kebenaran harus


dilakukan secara objektif, artinya menghindari bias pribadi atau interpretasi
yang subyektif. Metode ilmiah dirancang untuk meminimalkan pengaruh
peneliti atau ilmuwan dalam pengumpulan dan analisis data.

d. **Reproduksibilitas**: Hasil penelitian ilmiah harus dapat direproduksi oleh


ilmuwan lain yang menggunakan metode yang sama atau serupa.
Reproduksibilitas adalah cara untuk memverifikasi dan mengkonfirmasi
temuan ilmiah, meningkatkan kepercayaan pada kebenaran ilmiah.

e. **Sifat Tentatif**: Kebenaran ilmiah bersifat provisional, yang berarti bahwa


pemahaman kita tentang dunia alam selalu terbuka untuk revisi dan perbaikan
seiring dengan perkembangan pengetahuan dan penemuan baru. Ilmu
pengetahuan selalu berkembang.

f. **Konsensus Ilmiah**: Kebenaran ilmiah sering mencapai konsensus dalam


komunitas ilmiah ketika bukti yang cukup banyak dan kuat mendukung suatu
teori atau pernyataan. Konsensus ini mencerminkan tingkat kesepakatan
dalam komunitas ilmiah tentang pemahaman tertentu.

g. **Teori Ilmiah**: Banyak kebenaran ilmiah dikaitkan dengan teori ilmiah


yang merupakan kerangka kerja konseptual yang menjelaskan berbagai
fenomena alam. Namun, teori-teori ini juga dapat diuji dan direvisi seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
h. **Kebenaran Kontekstual**: Kebenaran ilmiah dapat bergantung pada
konteks penelitian dan pertanyaan yang diajukan. Artinya, kebenaran ilmiah
dalam satu konteks mungkin tidak berlaku untuk konteks yang berbeda.
i. **Penyelidikan Berkelanjutan**: Kebenaran ilmiah mencerminkan penelitian
yang terus berlangsung dan pencarian yang tak pernah berhenti untuk
pemahaman yang lebih mendalam tentang dunia alam. Penelitian ilmiah
adalah upaya yang berkelanjutan untuk mendekati kebenaran.

6
Penting untuk diingat bahwa sifat-sifat ini mencerminkan pendekatan metode ilmiah
terhadap pengetahuan dan kebenaran. Ilmu pengetahuan terus berusaha untuk memahami
dunia alam dengan lebih baik melalui metode ilmiah yang ketat dan berdasarkan bukti
empiris. Sebagai hasilnya, kebenaran ilmiah selalu dalam perkembangan dan dapat
berubah seiring dengan perkembangan pengetahuan manusia.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kebenaran ilmiah adalah salah satu konsep yang penting dalam filsafat ilmu.
Kebenaran ilmiah adalah suatu pengetahuan yang telah diuji dan dibuktikan
kebenarannya melalui metode ilmiah. Kebenaran ilmiah memiliki beberapa karakteristik,
antara lain: objektif, berlaku umum, dan dapat diuji. Dalam filsafat ilmu, kebenaran
ilmiah dibahas secara mendalam, antara lain tentang definisi, prinsip-prinsip, metode, dan
implikasinya bagi ilmu pengetahuan.

Anda mungkin juga menyukai