Anda di halaman 1dari 24

FAKTOR PENDORONG TIMBULNYA FILSAFAT DAN ILMU

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu


yang dibina oleh Prof. Dr. Dra. Utami Sri Hastuti, M.Pd.

Disusun Oleh:
Deden Agustira NIM : 210341970406
Mucharommah Sartika Ami NIM : 210341970412
Saparuddin NIM : 210341970408

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM DOKTOR PENDIDIKAN BIOLOGI
September 2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
rahmat, karunia dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan judul “Faktor-faktor Pendorong Timbulnya Filsafat dan Ilmu”. Makalah
ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu.
Makalah ini masih jauh dari sempurna, disebabkan oleh keterbatasan
pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan yang penulis miliki. Penulis
sampaikan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Dra. Utami Sri Hastuti, M.Pd. selaku
Dosen Pengampu Mata Kuliah Filsafat Ilmu. Penulis selalu terbuka akan segala
kritik dan saran yang menuju perbaikan sangat penulis harapkan.
Dengan segala kesederhanaan dalam penulisan makalah ini penulis
berharap mudah-mudahan dapat memberi sumbangsih pemikiran untuk
perkembangan ilmu pengetahuan baik bagi penulis maupun pembaca.

Malang, September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1


A. Latar Belakang Penulisan ............................................................................. 1
B. Tujuan Penulisan ........................................................................................... 3
C. Batasan Penulisan ......................................................................................... 3

BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................................... 4


A. Manusia merupakan Makhluk yang Berakal Budi ....................................... 4
B. Manusia Memiliki Rasa Kagum (Thauma) pada
Alam Semesta dan Seisinya .......................................................................... 8
C. Manusia Senantiasa Menghadapi Masalah ................................................... 12
D. Dimensi Ilmu ................................................................................................ 16

BAB III RANGKUMAN ..................................................................................... 18


DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 20

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
2.1 Hirarki Data-Information-Knowledge-Wisdom ............................................. 11

iii
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan


Istilah filsafat mulai dikenal pada zaman yunani kuno, berasal dari
kata philo yang berarti cinta dan shopia yang berarti kebenaran. Jadi orang yang
mempelajari filsafat adalah orang yang cinta kebenaran. Seseorang yang
mengetahui sesuatu, dapat dikatakan telah mencapai kebenaran tentang sesuatu
tersebut menurut dirinya sendiri, meskipun apa yang di anggap benar itu belum
tentu benar menurut orang lain. Pengetahuan tidak sama dengan ilmu karena ilmu
adalah bagian dari pengetahuan. Seseorang yang mengetahui cara memainkan
berbagai alat musik atau cara menggunakan berbagai alat untuk melukis, tidak
dapat dikatakan memiliki ilmu bermain musik atau ilmu melukis. Hal ini karena
bermain musik dan melukis bukanlah ilmu, melainkan seni. Demikian pula, orang
yang memiliki pengetahuan tentang adanya kebangkitan atau kehidupan setelah
kematian sebab hal tersebut telah berada diluar batas pengalaman manusia.
Dengan kata lain , hal itu telah menjadi urusan agama.
Filsafat adalah dasar pijakan ilmu, berbagai disiplin ilmu yang
berkembang dewasa ini, pada mulanya adalah filsafat. Ilmu fisika berasal dari
alam (natural philosophy) dan ilmu ekonomi pada mulanya bernama filsafat
moral (moral pholosophy). Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu, terdapat
taraf peralihan. Dalam taraf peralihan ini, ruang kajian filsafat menjadi lebih
sempit dan sektoral. Pada masa transisi ini, ilmu tidak mempermasalahkan lagi
untuk unsur etika untuk keseluruhan, tetapi terbatas pada unsur-unsur praktis guna
memenuhi hajat hidup manusia. Meskipun demikian secara konseptual ilmu masih
menyandarkan dirinya pada norma filsafat. Pada tahap lebih lanjut, ilmu
menyatakan dirinya bebas dari filsafat dan berkembang berdasarkan penemuan
ilmu, sesuai dengan tabiat alam apa adanya. Pada tahap ini perkembangan ilmu
tidak lagi berdasarkan metode normatif dan deduktif, tetapi menggunakan
kombinasi dari metode deduktif dan induktif, yang dihubungkan oleh pengujian
hipotesis, yang dikenal sebagai metode logico-hypothetico-verificative dan kita
menyebutnya metode ilmiah.

1
2

Oleh karena itu, kebenaran ilmiah diperoleh melalui prosedur baku


dibidang keilmuan, yang disebut dengan metodologi ilmiah. Teori manakah yang
berlaku bagi kebenaran ilmiah? Pada kebenaran ilmu-ilmu alam, berlaku teori
korespondensi, sedangkan pada kebenaran ilmu-ilmu manusia berlaku teori
koherensi. Pada ilmu-ilmu alam, fakta objektif mutlak diperlukan untuk
membuktikan setiap proporsi atau pernyataan. Kebenaran adalah kesesuaian
antara proporsi dan fakta objektif. Sebaliknya, pada ilmu-ilmu manusia, yang
dituntut adalah konsistensi dan koherensi antarproposisi.
Kebenaran ilmiah bersifat objektif dan universal. Bersifat objektif, artinya
kebenaran sebuah teori ilmiah (atau axioma dan paradigma) harus didukung oleh
kenyataan objektif (fakta). Itu berarti, kebenaran ilmiah tidak bersifat subjektif.
Kebenaran ilmiah bersifat universal sebab kebenaran ilmiah merupakan hasil
konvensi dari para ilmuwan di bidangnya masing-masing. Hanya dengan cara
demikian, kebenaran ilmiah dapat dipertahankan.
Hal ini mengandalkan pula bahwa tidak tertutup kemungkinan suatu teori
yang dianggap benar suatu waktu akan gugur oleh hasil penemuan baru. Biasanya,
dalam kasus seperti ini dilakukan penelitian ulang dan pengkajian yang
mendalam. Kalau penemuan baru (yang menolak kebenaran lama) bisa dibuktikan
kebenarannya, kebenaran lama harus ditinggalkan. Mengapa kebenaran ilmiah
juga bersifat relatif? Hal ini karena rasio manusia terbatas. Ilmu dan teknologi,
mengalami perkembangan tidak sekaligus dan final, tetapi tahap demi tahap.
Dengan demikian, kebenaran merupakan tujuan dari setiap pengetahuan dan ilmu.
Kebenaran yang dituju oleh ilmu adalah kebenaran ilmiah.
Segala bentuk kebenaran yang di ketahui dan dinyatakan harus
diberlakukan dalam kehidupan dan kebenaran yang terstruktur menjadikannya
sebagai ilmu. Ilmu yang bersumber dari kebenaran yang di proses dengan benar
dan di gunakan dengan merupakan tujuan yang benar (Hatta, 1986). Manusia
diciptakan bukanlah untuk diri sendiri dan ilmupun ada bukanlah untuk ilmu itu
sendiri. Manusia, ilmu, dan amal harus terintegrasi dengan moral dan hikmah
sehingga manusia bisa mewarnai dunia dengan ilmu dan hikmah. Manusia
bertanya tentang dirinya dan orang lain atau bertanya tentang suatu gejala karena
dalam dirinya terdapat kegelisahan untuk berpikir, atau ia merasa bahwa apa yang
3

didengar dilihat tidak jelas baginya (Suriasumantri, 2005). Ketika manusia


melakukan atau melihat segala sesuatu dengan penuh perhatian dan minat, merasa
heran dan takjub bagi dirinya, kemudian mengajukan berbagai pertanyaan tentang
apa yang dilakukan atau dilihatnya, berarti ia sedang berfilsafat (Garna, 1992).
Keingintahuan adalah konsekuensi logis dan keberadaan akal bagi
manusia. Rasa ingin tahu itu ada pada pada manusia dan sudah dibangun dalam
penciptaan manusia. Manusia ingin tahu, lantas ia mencari tahu, dan hasilnya ia
mengetahui akan sesuatu. Ini adalah awal dari ilmu. Adapun menurut Ibin Bajjah,
akal adalah satu-satunya saarana untuk memperoleh dan mendapatkan
pengetahuan yang benar dan mencapai kemakmuran dan membangun
kepribadian. Perkembangan ilmu sering melupakan manusia, sehingga teknologi
yang berkembang tidak lagi seiring dengan perkembangan dan kebutuhan
manusia, tetapi sebaliknya, manusia harus menyesuaikan diri dengan teknologi.
Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan kemudahan bagi
manusia, tetapi ia berada untuk tujuan eksistensinya. Sesuatu yang kadang-kadang
harus dibayar mahal oleh manusia yang kehilangan sebagai ahli kemanusiaan.

B. Tujuan Penulisan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk:
1. Menjelaskan mengenai manusia sebagai mahkluk yang berakal budi.
2. Menjelaskan kekaguman manusia pada alam semesta.
3. Menjelaskan mengenai manusia yang senantiasa menghadapi masalah.
4. Menjelaskan dimensi ilmu yang meliputi ontologi, epistemologi, dan
aksiologi.

C. Batasan Penulisan
Hal-hal yang dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Manusia sebagai mahkluk yang berakal budi.
2. Manusia memiliki rasa kagum (thauma) pada alam semesta.
3. Manusia senantiasa menghadapi masalah.
4. Dimensi ilmu yang meliputi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
4

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Pengetahuan tentang proses berfikir ilmiah adalah hakikat ilmu


pengetahuan dan aspek-aspeknya. Dengan demikian, pengenalan ilmu
menyangkut kognitif dan afektif terhadap wujud ilmu. Menurut Suriasumantri
(2005) kegiatan pendidikan keilmuan, tidak boleh berhenti pada kematangan
intektual semata, tetapi harus menjangkau kedewasaan moral dan kemampuan
berfikir saja, tetapi harus mengikutsertakan kedewasaan sikap dan tindakan.
Hamdani (2011) menjelaskan faktor-faktor yang mendorong timbulnya filsafat
dan ilmu ada tiga yaitu : 1) manusia merupakan makhluk yang berakal budi, 2)
menusia memiliki rasa kagum (thauma) pada alam semesta dan isinya, dan 3)
manusia senantiasa menghadapi masalah. Berikut penulis uraikan ketiga hal
tersebut.

A. Manusia Merupakan Makhluk yang Berakal Budi


Ketika membahas mengenai manusia, maka akan memunculkan berbagai
pertanyaan. Apa itu manusia? Apa yang membedakan manusia dengan makhluk
lainnya? Dan apa nilai-nilai kemanusiaan dari berbagai definisi manusia? Pada
hakikatnya manusia senantiasa berperan ganda, yaitu sebagai makhluk individu
dan makhluk sosial. Manusia berinteraksi dengan lingkungan sekitar baik secara
vertikal (hubungan dengan Tuhan) dan secara horizontal (hubungan dengan
manusia, alam, dan makhluk lainnya). Interaksi manusia sebagai masyarakat
dengan segala persoalannya tidak lepas dari pandangan mengenai hakikat manusia
itu sendiri. Khaldun (2001), memiliki pendapat tentang manusia dari sudut
pandang sosiologis, filosofis, dan historis yaitu mengenai bagaimana manusia
dapat mempertahankan eksistensinya dalam kebudayaan tinggi untuk
melestarikan berbagai kemampuan untuk dapat mempertahankan hidup dan
eksistensinya sesuai dengan alur perkembangan zaman. Dan sumber daya yang
berkualitas menurut Khaldun terdiri dari akal pikir, keterampilan, ta’awun
(kerjasama), kewibawaan, dan kedaulatan.

4
5

Akal itu adalah sebuah timbangan yang cermat, yang hasilnya adalah pasti
dan dapat dipercaya (Khaldun, 2001). Akal membuat manusia jauh melebihi
makhluk-makhluk yang ada di muka bumi ini. Dengan kekuatan akal ini, manusia
tidak hanya dapat mencapai kemajuan dalam bidang kebudayaan melainkan juga
dalam bidang kerohanian. Ketidaksanggupan manusia (panca indera) menjangkau
dan menelusuri kemungkinan adanya yang ghaib (metafisik), maka
ditampilkanlah akal untuk mencoba mengkaji dan mengambil kepastian. Namun,
akal dapat melaksanakan fungsinya, tetapi juga memiliki kelemahan. Di sinilah
wahyu memperbantukan akal apa yang harus dikonfirmasi atas apa yang didapat
oleh akal (Ya’qub, 1992).
Akal merupakan alat yang digunakan manusia untuk berpikir dengan
proses penangkapan objek oleh indera, yang kemudian akal memprosesnya secara
analisis, menguraikan, membedakan, memilah dan mengelompokkan, serta
mencari keterkaitan dan maknanya, setelah itu memberikan hasil akhir dari
analisis tersebut yaitu berupa hasil pemikiran. Sehingga, dengan akal manusia
dapat memahami perbedaaan antara yang benar dan yang salah di dalamnya
berdasarkan pemikiran dan risetnya sendiri, sehingga manusia mampu berpikir.
Dengan akal budinya kemampuan manusia dalam bersuara bisa berkembang
menjadi kemampuan berbahasa dan berkomunikasi sehingga manusia disebut
sebagai homo loquens dan animal symbolicum. Dengan akal budinya, manusia
dapat berfikir abstrak dan konseptual sehingga manusia disebut sebagai homo
sapiens (makhluk pemikir) atau menurut aristoteles, manusia di pandang sebagai
animal that reasons yang di tandai dengan sifat selalu ingin tau (all men by nature
desire to know). Pada diri manusia melekat kehausan intelektual yang menjelma
dalam wujud beragam pertanyaan. Bertanya adalah berpikir, dan berfikir
dimanifestasikan dalam bentuk pertanyaan (Hamdani, 2011).
Adanya akal manusia telah bisa melihat potensi-potensi yang terdapat di
alam dan di sekitar lingkungan dimana dia hidup. Ketika manusia sudah tahu
bahwa di alam realitas itu banyak potensi-potensi yang bisa dikembangkan, maka
manusia dengan menggunakan akal sehatnya mencoba merefleksikan realitas dan
memberikan penjelasan-penjelasan yang sesuai dengan hukum-hukum berpikir
untuk melahirkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang diperoleh lewat akal
6

merupakan ilmu pengetahuan yang bisa dijadikan ukuran dan patokan untuk bisa
diterapkan dalam kehidupan, karena kerja akal dapat dilakukan secara tepat
menggunakan sistem dan metode yang sesuai dengan prosedur ilmiah. Namun
demikian kebenaran pengetahuan yang dihasilkan oleh hasil kerja akal juga
mengandung kelemahan dan keterbatasan, sebab akal itu tidak selamanya bisa
benar dan terarah, kadang akal juga bisa melakukan kesalahan-kesalahan ketika
perenungan itu dikerjakan. Karena itu kaum positivisme, realisme dan
materialisme menganggap bahwa rasionalisme atau menggunakan akal semata-
mata tidak bisa diandalkan dalam melahirkan kebenaran pengetahuan.
Hakikat akal adalah insting yang disiapkan untuk mengenali informasi-
informasi nalar. Seakan-akan ia adalah cahaya yang ditempatkan di dalam kalbu.
Dengannya hati siap mengenali sesuatu. Kadar dari insting berbeda sesuai dengan
tingkatannya. Al-Ghazali (1991) melihat akal sebagai jiwa rasional, yang
mempunyai dua daya. Jika jiwa tumbuhan dan jiwa binatang hanya memiliki lebih
dari satu daya, maka jiwa manusia hanya memiliki daya berpikir yakni akal. Akal
terbagi dua;
1. Akal praktis yang menangkap arti-arti yang berasal dari materi melalui indera
pengingat, memusatkan perhatian kepada alam materi, menangkap
kekhususan. Akal praktis digunakan untuk kreativitas dan akhlak manusia.
Artinya, terwujudnya tingkah laku yang baik bergantung pada kekuatan akal
praktis dalam menguasai daya-daya jiwa tersebut.
2. Akal teoritis yang menangkap arti murni yang tak pernah ada dalam materi
bersifat metafisis, memusatkan perhatian kepada dunia immateri dan
menangkap keumuman. Akal teoritis berfungsi untuk menyempurnakan
substansinya yang bersifat immateri dan abstrak. Hubungannya adalah
dengan ilmu-ilmu yang abstrak dan universal.
Melihat kemampuan akal yang luar biasa, cukupkah kita mengandalkan
indera dan akal sebagai sumber pengetahuan? Akal boleh memiliki kecakapan
yang luar biasa, baik untuk menangkap objek-objek fisik maupun nonfisik, tetapi
ia juga memiliki keterbatasan-keterbatasannya yang fundamental. Khaldun (2005)
mengatakan “Sebagai timbangan emas dan perak, akal adalah sempurna; tapi
masalahnya adalah mampukah timbangan emas dipakai untuk menimbang
7

gunung? Dengan demikian, betapapun sempurnanya akal, tetap saja menurut para
pemikir Muslim, memiliki kekurangan-kekurangan yang fundamental karena
masih banyak hal besar yang berada di luar jangkauan akal. Akal hanya menjadi
alat analisis dan sumber ilmu hanya pada sektor tertentu, tetapi bungkam pada
sektor yang lainnya.
Akal sebagai salah satu sumber ilmu memiliki peran yang sangat esensial
dalam melengkapi segala kekurangan yang dimiliki oleh sumber ilmu yang lain;
indera. Kekuatan khas yang dimiliki akal menurut filosof adalah kemampuannya
untuk mengabstrakkan dari konsep-konsep universal yang sudah diabstrakkan dari
benda-benda konkret, sehingga ia mampu berpikir sesuatu yang sama sekali tidak
memiliki sangkutan dengan benda-benda fisik. Adapun cara akal untuk
menyelidiki benda fisik yang sebelumnya diserap oleh indera adalah dengan
mengajukan pertanyaan berdasarkan kategori-kategori mental seperti kategori
ruang, waktu substansi, kuantitas, kualitas, dan kausalitas. Maka muncullah
pertanyaan, apa, dimana, mengapa, siapa, berapa, yang mana, dan lain-lain. Selain
itu, akal mampu mengenal atau menangkap konsep dan informasi tidak terbatas
hanya pada objek-objek inderawi saja, tetapi juga dapat menangkap konsep-
konsep abstrak yang tidak berdasar pada penginderaan. Misal, akal mampu
memahami perasaan seseorang, seperti perasaan sedih, gembira, kecewa, dan
sebagainya, padahal itu bukan entitas-entitas fisik melainkan keadaan jiwa.
Dengan kemampuan yang sama juga kal mampu mengomunikasikan pikiran,
perasaan, gagasan, dan lainnya, kepada sesama manusia melalui simbol-simbol
yang mereka ciptakan, yang disebut bahasa.
Akal adalah sebagai tolak ukur, mengidentifikasi mana yang benar dan
mana yang keliru. Akal bahkan menjadi satu-satunya tolak ukur penilaian bagi
sebagian proposisi agama, misalnya agama Islam sering kali disebut sebagai
agama yang rasional. Tentu itu semua masih terbatas dalam proposisi rasional
saja, di luar dari iru akal tidak memiliki nilai validitas apa-apa. Kemudian
selanjutnya dari fungsi akal adalah membuktikan kebenaran agama sekaligus
prinsip-prinsipnya. Akal mengakui keniscayaan diutusnya nabi oleh Tuhan, dan
mampu membedakan mana nabi palsu dan nabi sebenarnya. Pembuktian
keniscayaan ini adalah tugas dari akal, dalam tataran ini agama tidak bertentangan
8

dengan akal. Akal sebagai cahaya, alat memperoleh pengetahuan. Tanpa


menggunakan akal siapapun tidak akan memahami hukum-hukum fisika dan
syariat.
Dengan akal budinya kemampuan manusia dalam bersuara bisa
berkembang menjadi kemampuan berbahasa dan berkomunikasi sehingga
manusia disebut sebagai homo loquens dan animal symbolicum. Dengan akal
budinya, manusia dapat berfikir abstrack dan konseptual sehingga manusia
disebut sebagai homo sapiens (makhluk pemikir) atau menurut aristoteles,
manusia di pandang sebagai animal that reasons yang di tandai dengan sifat selalu
ingin tau (all men by nature desire to know). Pada diri manusia melekat kehausan
intelektual yang menjelma dalam wujud beragam pertanyaan. Bertanya adalah
berpikir, dan berfikir dimanifestasikan dalam bentuk pertanyaan.

B. Manusia Memiliki Rasa Kagum (Thauma) pada Alam Semesta dan


Seisinya
Manusia merupakan makhluk yang memiliki rasa kagum pada segala
sesuatu yang diciptakan oleh Sang Pencipta, misalnya kekaguman pada matahari,
bumi, dirinya sendiri dan sebagainya. Kekaguman tersebut kemudian mendorong
manusia untuk berusaha mengetahui alam semesta serta asal usulnya (masalah
kosmologis). Ia juga berusaha mengetahui dirinya sendiri, eksistensi, hakikat dan
tujuan hidupnya (Hamdani, 2011). Dalam kehidupan sehari-hari, naluri manusia
bekerja secara otomatis. Umumnya kita sering bertanya tentang ini dan itu, untuk
apa ini dan itu, mengapa ini dan itu, bagaimana ini dan itu, untuk apa ini dan itu.
Pertanyaan apakah ini atau itu seringkali membuat seseorang heran dan kagum.
Sebuah naluri yang mendorong keinginan untuk mengetahui lebih jauh. Di sinilah
sumber filsafat bermula (Sutejo & Susanto, 2010).
Pandangan bahwa filsafat didasari pada kekaguman atau thauma adalah
suatu bagian dari warisan fisafat Plato yang telah diadopsi dan disesuaikan oleh
para pemikir seperti Aristotle, Hegel, Kierkegaard, Heidegger dan Arendt. Banyak
pemikir kontemporer seperti Philip Fisher, John Llewlyn, R.W. Hepburn dan
Mary-Jane Rubenstein juga telah berusaha memahami secara mendalam deklarasi
Plato bahwa hasrat (passion) atau pathos dari kekaguman merupakan arche atau
9

permulaan dan prinsip pendukung dari filsafat. Plato tidak hanya membatasi
manusia menjadi jenis yang kagum dengan benda-benda seperti teka-teki
matematika dan lain sebagainya, akan tetapi ia juga menganggap manusia menjadi
sumber atau objek dari kekaguman. Singkatnya, manusia merupakan subjek dan
penyebab dari thauma (kekaguman) yang mana filsafat dilahirkan dan secara
berkesimbungan diperkaya (Bollert, 2010).
Latar belakang lahirnya filsafat didorong oleh dua faktor penting yaitu
interen dan eksteren. Faktor interen adalah kecenderungan atau dorongan dari
dalam diri manusia yaitu rasa ingin tahu itu sendiri. Sebuah kodrat manusia
tentang kehidupan manusia. Inilah ruh dasar makna inherenitas filsafat bagi
manusia. Adakah manusia yang tidak ingin tahu? Mungkin ada, tetapi jika ini
terjadi maka dapat diprediksi manusia yang demikian tidak akan dinamis.
Bukankah perubahan bermula dari keingintahuan?. Faktor eksteren hakikatnya
merupakan faktor dari luar manusia itu yaitu adanya hal atau sesuatu yang
menggejala di hadapan manusia sehingga menimbulkan rasa heran atau kagum.
Mengapa ini terjadi? Karena manusia berhubungan dengan hal-hal di luar dirinya
yaitu alam, hewan, tumbuhan, dan manusia lainnya. Segala hal yang ada di luar
dirinya secara kausalitas memang diperuntukkan untuk diri manusia. Manusia
yang berpikir dengan begitu akan terdorong untuk terus menerus
mengembangkannya untuk kemaslahatannya (Sutejo & Susanto, 2010).
Jika kita mengamati realita sosial keilmuan maka sesuatu yang menggejala
itu menimbulkan rasa kagum bagi manusia. Ada manusia yang rasa
kekagumannya itu terhenti, tidak diikuti oleh rasa ingin tahu secara radikal. Ada
orang yang memiliki rasa kagum atas hal yang ada di luar dirinya kemudian
berhenti dan hanya pasif dan ada pula orang yang kagum kemudian
menggerakkan untuk berbuat dan terus melakukan pencarian makna, proses, dan
kehakikatan dari kekagumannya. Untuk inilah naluri filsafat pada manusia dengan
sendirinya tidak berhenti tetapi terus berkembang sesuatu situasi dan keadaan
yang menyertainya (Abidin, 2000).
10

Atas dasar kekaguman itu pada hakikatnya manusia dapat dibedakan ke


dalam jenis dan sifat manusianya. Ada diantara mereka yang hanya sekadar ingin
tahu dan setelah mendapatkannya lalu puas adalah tergolong orang-orang pada
umumnya. Sebaliknya ada sebagian kecil dari mereka yang secara radikal ingin
tahu tentang segala hal atau segala sesuatu sampai ke taraf hakikat adalah
tergolong para pemikir, ahli pikir atau filsuf (Nasution, 2016).
Keadaan demikian maka sangat ditentukan oleh pengetahuan seseorang.
Pengetahuan akan mempengaruhi pendirian, sikap dan tingkah laku seseorang.
Jika ada orang yang dorongan ingin tahunya itu radikal dan selanjutnya
pengetahuannya mengenai hakikat sesuatu kemudian membentuk pendirian,
sikap, dan tingkah laku, maka orang tersebut cenderung berkebijaksanaan dan
senantiasa mencintai kebijaksanaan. Sementara itu ada yang berkonsentrasi pada
taraf pengetahuan yang teoritis mengenai segala sesuatu menurut segi tertentu.
Mereka ini adalah para praktisi atau teknolog. Dengan demikian di dalam
kehidupan masyarakat, ada beberapa golongan yaitu para filsuf, ilmuwan,
teknolog, dan golongan masyarakat awam (Sutejo & Susanto, 2010).
Kekaguman yang mendorong keingintahuan akan sesuatu hal akan
mendorong proses belajar untuk mendapatkan pengetahuan baru. Belajar adalah
kapasitas yang paling penting dari semua makhluk hidup. Setiap tindakan yang
tidak melibatkan pembelajaran cukup banyak membuang-buang waktu. Suatu
organisme tidak dapat menganimasikan dirinya dengan baik tanpa mempelajari
caranya. Manusia sebelum mereka dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri,
mereka harus terlebih dahulu mempelajari kebutuhan, memahami dan
mengevaluasinya dengan cermat sebelum mereka memutuskan bagaimana
memuaskannya (Goumpos, 2018).
Baškarada & Koronios (2013) menggambarkan lahirnya pengetahuan dan
kebijaksanaan melalui Hirarki Data-Information-Knowledge-Wisdom (DIKW)
(Gambar 1). Hirarki DIKW merupakan konsep yang sangat mendasar yang
menggambarkan hubungan langsung antara pengetahuan dengan kebijaksanaan.
Thomas Hobbes menganggap bahwa pengalaman inderawi sebagai permulaan
segala pengenalan dan data. Pengenalan intelektual tidak lain dari semacam
perhitungan yaitu penggabungan data-data indrawi yang sama dengan cara yang
11

berlainan. Dunia dan materi adalah objek pengenalan yang merupakan sistem
materi dan merupakan suatu proses yang berlangsung tanpa hentinya atas dasar
hukum mekanisme. Atas pandangan ini, ajaran Hobbes merupakan system
materialistis pertama dalam sejarah filsafat modern (Suaedi, 2015).

Gambar 2.1 Hirarki Data-Information-Knowledge-Wisdom (DIKW)


Sumber: Baškarada & Koronios (2013: 746)

Ilmu pengetahuan diperoleh dari pengalaman manusia dalam kehidupan


nyata yang berhubungan dengan pemanfaatan alat indra manusia atau pengalaman
indrawi atau (sense-experince). John Locke (1632−1704) mengemukakan teori
tabula rasa yang menyatakan bahwa pada awalnya manusia tidak tahu apa-apa,
seperti kertas putih yang belum ternoda. Pengalaman indrawinya mengisi catatan
harian jiwa hingga menjadi pengetahuan yang sederhana sampai begitu kompleks
dan menjadi pengetahuan yang cukup berarti. Selain John Locke, ada juga David
Hume (1711−1776) dalam bukunya yang berjudul A Treatise of Human Nature
mengatakan bahwa manusia sejak lahirnya belum membawa pengetahuan apa-
apa. Manusia mendapatkan pengetahuan melalui pengamatannya yang
memberikan dua hal, kesan (impression), dan pengertian atau ide (idea) (Suaedi,
2015).
Kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman,
seperti merasakan sakitnya tangan yang terbakar. Sementara ide adalah gambaran
tentang pengamatan yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau
terefleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman. Gejala alam
menurut aliran ini bersifat konkret, dapat dinyatakan dengan pancaindra dan
mempunyai karakteristik dengan pola keteraturan mengenai suatu kejadian,
12

seperti langit yang mendung dan biasanya diikuti oleh hujan, logam yang
dipanaskan akan memanjang. Berdasarkan teori ini, akal hanya berfungsi sebagai
pengelola konsep gagasan indrawi dengan menyusun konsep tersebut atau
membagi-baginya. Akal juga sebagai tempat penampungan yang secara pasif
menerima hasil-hasil pengindraan tersebut. Akal berfungsi untuk memastikan
hubungan urutan-urutan peristiwa tersebut.
Dengan kata lain, empirisme menjadikan pengalaman indrawi sebagai
sumber pengetahuan. Sesuatu yang tidak diamati dengan indra bukanlah
pengetahuan yang benar. Walaupun demikian, ternyata indra mempunyai
beberapa kelemahan, antara lain pertama, keterbatasan indra, seperti kasus
semakin jauh objek, semakin kecil ia penampakannya. Kasus tersebut tidak
menunjukkan bahwa objek tersebut mengecil atau kecil. Kedua, indra menipu.
Penipuan indra terdapat pada orang yang sakit. Misalnya, penderita malaria
merasakan gula yang manis, terasa pahit, dan udara yang panas dirasakan dingin.
Ketiga, objek yang menipu, seperti pada ilusi dan fatamorgana. Keempat, objek
dan indra yang menipu. Penglihatan kita kepada kerbau atau gajah. Jika kita
memandang keduanya dari depan, yang kita lihat adalah kepalanya, sedangkan
ekornya tidak kelihatan dan kedua binatang itu tidak bisa menunjukkan seluruh
tubuhnya. Kelemahan-kelemahan pengalaman indra sebagai sumber pengetahuan
maka lahirlah sumber kedua, yaitu rasionalisme (Suaedi, 2015).

C. Manusia Senantiasa Menghadapi Masalah


Faktor lain yang juga mendorong timbulnya filsafat dan ilmu adalah
masalah yang dihadapi manusia (aporia) (Hamdani, 2011). Dialog Plato sering
disebut dialog aporetis karena biasanya diakhiri dengan aporia
(kebingungan). Dalam dialog Plato, Socrates mempertanyakan lawan
bicaranya tentang sifat atau definisi suatu konsep, misalnya kebajikan atau
keberanian. Socrates kemudian, melalui pengujian elentik, menunjukkan kepada
lawan bicaranya bahwa jawabannya tidak memuaskan. Setelah beberapa kali
gagal, lawan bicaranya mengakui bahwa dia aporia tentang konsep yang
diperiksa, menyimpulkan bahwa dia tidak tahu apa itu. Aporia adalah langkah
penting dalam pergerakan dari ketidaktahuan menuju pengetahuan. Aporia dengan
13

demikian melibatkan semacam pemahaman yang pada prinsipnya menuntun


seseorang keluar dari kebingungan menuju pengetahuan (Mccoy, 2001).
Kehidupan manusia selalu diwarnai masalah, baik masalah yang bersifat
teoritis maupun praktis. Masalah mendorong manusia untuk berbuat dan mencari
jalan keluar yang tidak jarang menghasilkan temuan yang berharga (Hamdani,
2011). Dikatakan bahwa pada setiap tahap perkembangan masyarakat dari
masyarakat pemburu hingga penggembala nomaden, pertanian, feodal, dan
kapitalis dimana kebutuhan baru dari tingkatan masyarakat membawa pada
konsep-konsep ilmiah baru. Kepemilikan hewan secara pribadi membawa
penemuan angka, kebutuhan akan kalender untuk pertanian, pengembangan
sistem nilai posisi, kebangkitan demokrasi Yunani menuntut pemikiran rasional
dan membawa pemisahan sains dari agama, Bangunan kerajaan Muslim
membawa matematika baru, kapitalisme pedagang membawa kolonialisme dan
kapitalisme modern menundukkan sains di bawah pencarian keuntungan
(Tomczak, 2014).
Saat ini seluruh dunia sedang menghadapi serangkaian masalah yang
belum pernah terjadi sebelumnya. Masalah yang menantang dan sulit yang
berkaitan dengan energi dan lingkungan, ekologi, bisnis dan ekonomi, stabilitas
global, sistem yang tidak dapat bertahan dan tidak berkelanjutan, baik itu sistem
lingkungan, politik, teknologi, sosial atau ekonomi, menempatkan umat manusia
dalam bahaya (Groumpos, 2018).
Dalam menghadapi berbagai masalah itu sangat ditentukan oleh
kematangan, kemampuan berpikir, pengalaman, dan filsafat hidup manusia. Hal-
hal itu dengan demikian seperti alat yang dapat dimaksimalkan. Alat yang utama
dengan sendirinya adalah pikiran atau akal yang berfungsi di dalam
pembahasannya secara filosofis tentang masalah yang dihadapi. Pikiran yang
bagaimanakah yang dapat masuk dalam bidang filsafat itu? Jawabannya adalah
pikiran yang senantiasa bersifat ilmiah (Sutejo & Susanto, 2010). Selanjutnya
untuk mempertimbangkan dan menggunakan kebijaksanaan dan filosofi untuk
menyikapi dan memberikan solusi terhadap masalah global, diperlukan konsep
yang lebih mendasar. Untuk membuat dunia menjadi tempat tinggal yang lebih
baik dengan memiliki solusi yang bijaksana dan berguna untuk semua masalah
14

global tampaknya tidak mungkin ada jawaban tunggal dan sederhana (Groumpos,
2018).
Setiap manusia membutuhkan landasan untuk perjalanannya melalui alam
semesta fisik. Landasan ini merupakan sekumpulan fakta, ide, aktivitas, dan
keyakinan yang dianggap valid dan dapat diandalkan oleh orang tersebut. Elemen-
elemen ini membentuk pandangan dunia seseorang dan pandangan ini
memengaruhi cara kita melihat diri kita sendiri, dunia, dan hubungan kita dengan
dunia itu. Pertanyaan yang menantang adalah apakah orang-orang senang dengan
dunia seperti sekarang ini. Jika tidak apa yang mereka lakukan? Kunci untuk
meningkatkan setiap aspek kehidupan (dari memunculkan penemuan baru hingga
memecahkan masalah pribadi) adalah meningkatkan pemahaman kita tentang
masalah tersebut. Oleh karena itu, inti dari segala jenis pertumbuhan pribadi
adalah bahwa kita harus memperluas dan menyempurnakan pandangan dunia kita.
Hal ini dapat dicapai dengan terus meningkatkan pengetahuan kita (Groumpos,
2018).
Gejala alam dan kejadian yang terjadi pada kehidupan manusia menjadi
suatu permasalahan yang mengarahkan manusia bertanya terus menerus. Bertanya
terus-menerus adalah bukan sekadar bertanya tanpa arah tetapi sebuah rangkaian
pertanyaan mendasar untuk menguak obyek yang sedang dipikirkan. Itulah yang
dimaksudkan dengan bertanya terus-menerus sampai pada batas terakhir, yang
tentunya disebut juga pertanyaan ilmiah. Pertanyaan itu berjumlah empat,
berturut-turut adalah: apa, bagaimana, mengapa, dan ke mana (Sutejo & Susanto,
2010). Ini tentu merupakan rangkaian filsafat yang harus dilakukan seseorang
manakala ingin berpikir filsafat. Dalam berpikir filsafat maka yang pertama-tama
dilakukan adalah bertanya apa. Apa ini akan menuntun berpikir ontologis
(kehakikatan, apa, jenis, dan kategori). Dari pertanyaan ini diperlukan suatu
jawaban yang berupa inti-isi mutlak dari obyeknya Persoalan yang muncul di sini
adalah hakikat itu sendiri. Hakikat adalah unsur-unsur yang bersama-sama
menyusun segala sesuatu yang terpisah dari hal-hal lain dan membuatnya menjadi
satu kesatuan, yaitu sebagai diri (Nasution, 2016).
15

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana. Pertanyaan ini dengan


sendirinya menggambarkan proses atau langkah kejadian. Untuk apa? Untuk
memperoleh jawaban sistematis dari sifat-sifat obyek yang diselidiki
(pengetahuan atau deskriptif). Misalnya sebuah meja sebagai obyek, maka
diperoleh sifat kuat, warna, dan bentukny. Pertanyaan selanjutnya adalah
mengapa. Sebuah pertanyaan yang menggiring kita akan sebab-musabab dari hal
atau sesuatu (obyek), yang disebut juga sebagai pengetahuan kausal. Hubungan
sebab-akibat (causal) adalah hal yang menyebabkan adanya obyek secara mutlak.
Lalu pengertian sebab adalah sesuatu hal yang memengaruhi perubahan dalam arti
yang luas terhadap suatu hal. Sedangkan akibat merupakan hasil dari sebab.
Berkaitan dengan sebab-akibat (causa) ini ada empat hal penting secara hakikat
yang dapat menjelaskannya. Keempat hal yang dimaksud adalah: (a) Causa
materialis, yaitu sebab yang berupa bahan, (b) Causa formalis, yaitu sebab yang
berupa bentuk, (c) Causa finalis, yaitu sebab yang berupa tujuan, dan (d) Causa
efisien, yaitu sebab yang berupa karya (Suaedi, 2015). Dalam praktik berpikir
ilmiah, keempat dasar ini menarik untuk dipikirkan dan seringkali menggerakkan
kita untuk mempertanyakan hakikat sebab atas kemunculan sesuatu.
Pertanyaan terakhir adalah ke mana. Pertanyaan ini mewujudkan jawaban
yang merupakan norma-norma (pengetahuan normatif). Norma adalah peraturan-
peraturan atau hukum-hukum yang dikenakan pada saat penyelidikan dinyatakan
selesai. Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian digolongkan pada dimensi ilmu
yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi ilmu yang akan dibahas selanjutnya.
16

D. Dimensi Ilmu
Filsafat memiliki tiga sudut pandang dalam menelaah obyeknya, yaitu
ontologi, epistemologi, dan aksiologi (Sutomo, 2013). Ketiga hal ini dapat pula
diterapkan untuk menelaah suatu ilmu. Berikut ini adalah definisi ontologi,
epistemologi, dan aksiologi menurut Hamdani (2011).
1. Ontologi
Ontologi adalah pembahasan mengenai eksistensi dan ragam dari suatu
kenyataan. Tafsiran tentang kenyataan dapat dibedakan menjadi dua menurut
paham supernaturalisme dan naturalisme. Kenyataan menurut
supernaturalisme tidak terbatas pada wujud alam yang nyata, tetapi termasuk
juga wujud-wujud yang bersifat gaib (supernatural) yang dapat bersifat lebih
tinggi dan lebih kuasa dibandingkan wujud nyata yang ada di alam. Contoh
paham supernaturalisme adalah animisme, yakni kepercayaan tentang
keberadaan roh atau jiwa dalam setiap benda di bumi (misalnya kawasan
tertentu, gua, pohon, atau batu besar) yang harus dihormati agar membantu
kehidupan manusia atau tidak mengganggu manusia (Afandi, 2016).
Kenyataan menurut naturalisme adalah gejala-gejala alam yang disebabkan
oleh sesuatu yang dapat dipelajari dan dapat diketahui, bukan disebabkan
oleh kekuatan gaib. Contoh paham naturalisme adalah materialisme, dengan
salah satu tokohnya adalah Demokritus. Satu contoh karya Demokritus yang
mencerminkan materialisme adalah tentang teori atom, yaitu bagian terkecil
yang tidak dapat dibagi lagi dari suatu benda.
2. Epistemologi
Epistemologi adalah pembahasan mengenai pertanyaan “bagaimana proses
untuk mengetahui sesuatu?”. Ada tiga aliran yang mendasari epistemologi,
yaitu dogmatisme, skeptisisme, dan fallibilisme. Dogmatisme adalah aliran
yang menganggap bahwa kita dapat dan benar-benar mengetahui (we can and
do know) sehingga kita yakin (we are certain). Skeptisisme adalah aliran
yang menganggap bahwa kita tidak benar-benar dapat mengetahui dan tidak
benar-benar mengetahui. Fallibilisme adalah aliran yang menganggap bahwa
kita dapat mengetahui sesuatu tetapi tidak benar-benar pasti. Epistemologi
mencakup identifikasi dan pengujian kriteria pengetahuan dan kebenaran.
17

3. Aksiologi
Aksiologi adalah pembahasan mengenai nilai. Ada dua kategori dasar dalam
aksiologi, yaitu obyektivisme dan subyektivisme. Teori nilai menurut
obyektivisme adalah teori nilai intuitif dan teori nilai rasional. Teori nilai
intuitif memandang suatu nilai ditemukan melalui intuisi, karena ada tatanan
moral yang bersifat baku. Seseorang yang menemukan dan mengakui nilai
melalui proses intuitif, harus mengatur perilaku individual dan sosialnya
sesuai dengan preskripsi-preskripsi moralnya. Teori nilai rasional
memandang suatu nilai ditemukan melalui penalaran manusia dan pewahyuan
supernatural. Adapun teori nilai menurut subyektivisme adalah teori nilai
alamiah dan teori nilai emotif. Teori nilai alamiah memandang nilai sebagai
produk yang diciptakan oleh manusia yang bertujuan untuk membimbing
perilaku manusia. Teori nilai emotif memandang nilai sebagai ekspresi emosi
atau tingkah laku.
18

BAB III
RANGKUMAN

Tiga faktor penting timbulnya filsafat yaitu 1) manusia merupakan


makhluk yang berakal budi, 2) menusia memiliki rasa kagum (thauma) pada alam
semesta dan isinya, dan 3) manusia senantiasa menghadapi masalah. Manusia
menggunakan akal pikirannya mempertahankan eksistensinya dalam kebudayaan
tinggi. Akal merupakan alat yang digunakan manusia untuk berpikir dengan
proses penangkapan objek oleh indera, yang kemudian akal memprosesnya secara
analisis, menguraikan, membedakan, memilah dan mengelompokkan, serta
mencari keterkaitan dan maknanya, setelah itu memberikan hasil akhir dari
analisis tersebut yaitu berupa hasil pemikiran. Dengan akal budinya, manusia
dapat berfikir abstrak dan konseptual.
Akal manusia terbagi menjadi dua yaitu akal praktis dan akal teoritis. Akal
praktis yang menangkap arti-arti yang berasal dari materi melalui indera
pengingat, memusatkan perhatian kepada alam materi, menangkap kekhususan.
Akal teoritis yang menangkap arti murni yang tak pernah ada dalam materi
bersifat metafisis, memusatkan perhatian kepada dunia immateri dan menangkap
keumuman. Kekuatan khas yang dimiliki akal menurut filosof adalah
kemampuannya untuk mengabstrakkan dari konsep-konsep universal yang sudah
diabstrakkan dari benda-benda konkret, sehingga manusia mampu berpikir
sesuatu yang sama sekali tidak memiliki sangkutan dengan benda-benda fisik.
Manusia merupakan makhluk yang dianugerahkan pikiran dan indera yang
sangat peka terhadap lingkungan tempat hidupnya sehingga dapat merasa kagum
(thauma) terhadap segala sesuatu yang diciptakan oleh Sang Pencipta.
Kekaguman tersebut mendorong rasa ingin tahu lebih jauh tentang segala sesuatu
tersebut sehingga bermulanya filsafat. Rasa kagum yang melahirkan filsafat
haruslah diikuti oleh rasa ingin tahu secara radikal sehingga dapat disimpulkan
latar belakang lahirnya filsafat oleh karenanya didorong oleh dua faktor yaitu
intern dan ekstern. Faktor interen adalah kecenderungan atau dorongan dari dalam
diri manusia yaitu rasa ingin tahu itu sendiri. Faktor eksteren hakikatnya
merupakan faktor dari luar manusia itu yaitu adanya hal atau sesuatu yang
menggejala di hadapan manusia sehingga menimbulkan rasa heran atau kagum.

18
19

Kekaguman yang mendorong keingintahuan akan sesuatu hal akan


mendorong proses belajar untuk mendapatkan pengetahuan baru. Selanjutnya
pengetahuan akan mempengaruhi pendirian, sikap dan tingkah laku seseorang
sehingga orang tersebut mempunyai kebijaksanaan. Digambarkan pada Hirarki
Data-Information –Knowledge-Wisdom (DIKW) yang diajukan oleh Baškarada &
Koronios (2013) bahwa data yang diperoleh dari penggabungan pengalaman
inderawi akan membentuk informasi yang kemudian membentuk pengetahuan dan
kebijaksanaan. Menurut paham empirisme, manusia mendapatkan pengetahuan
melalui pengamatannya yang memberikan dua hal, kesan (impression), dan
pengertian atau ide (idea). Empirisme menjadikan pengalaman indrawi sebagai
sumber pengetahuan, walaupun selanjutnya terdapat kritik yang membuktikan
bahwa terdapat keterbatasan indera.
Faktor yang mendorong timbulnya filsafat dan ilmu selanjutnya adalah
manusia senantiasa menghadapi masalah (aporia). Aporia didokumentasikan pada
dialog Plato yang menunjukkan kebingungan dan ketidaktahuan. Aporia adalah
langkah penting dalam pergerakan dari ketidaktahuan menuju pengetahuan.
Masalah sebagai faktor pendorong filsafat dibuktikan oleh perkembangan
masyarakat primitif hingga modern saat ini. Berbagai kebutuhan hidup manusia
mengarahkan pada konsep pengetahuan baru. Gejala alam dan kejadian yang
terjadi pada kehidupan manusia menjadi suatu permasalahan yang mengarahkan
manusia bertanya terus menerus. Bertanya terus-menerus dengan sebuah
rangkaian pertanyaan mendasar untuk menguak obyek yang sedang dipikirkan.
Dimensi ilmu meliputi ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi
adalah pembahasan tentang hakikat dari ilmu. Epistemologi adalah pembahasan
tentang proses pemerolehan ilmu dan kebenarannya. Aksiologi adalah
pembahasan tentang nilai yang dikandung oleh ilmu, yang dapat mempengaruhi
perilaku manusia dalam kehidupannya. Ketiga hal tersebut dapat digunakan untuk
mengkaji suatu ilmu. Kajian ontologi dari biologi misalnya adalah suatu ilmu
yang mempelajari tentang makhluk hidup beserta proses kehidupannya. Kajian
epistemologi dari biologi misalnya adalah proses berpikir manusia untuk
mendapatkan berbagai konsep biologi. Kajian aksiologi dari biologi misalnya
adalah etika ilmiah yang diterapkan dalam melakukan penelitian biologi.
20

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 2000. Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat.


Bandung: Rosdakarya.
Afandi, A. 2016. Kepercayaan Animisme-Dinamisme serta Adaptasi Kebudayaan
Hindu-Budha dengan Kebudayaan Asli di Pulau Lombok-NTB. Historis,
1(1), 1-9.
Al-Ghazali. 1991. Misykat al-Anwar, terj. Misykat Cahaya-Cahaya, oleh
Muhamad Bagir. Bandung: Mizan.
Baškarada, S. & Koronios, A. 2013. Data, Information, Knowledge, Wisdom
(DIKW): A Semiotic Theoretical and Empirical Exploration of the
Hierarchy and its Quality Dimension. Australian Journal of Information
Systems, 18(1), 5-24.
Bollert, D.W. 2010. The Wonder of Humanity in Plato’s Dialogues. Kritike, 4(1),
174-198.
Garna, J.K. 1992. Teori-Teori Perubahan Sosial. Bandung: Progam Pasca Sarjana
Universitas Padjadjaran.
Groumpos, P.P. 2018. Making the World a Better Place to Live through Wisdom
and Philosophy. IFAC PapersOnLine, 51(30), 744–749.
Hamdani, M.A. 2011. Filsafat Sains. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Kartanegara, M. 2005. Integrasi Ilmu. Jakarta: UIN Press.
Mccoy, J. 2001. Aporia and Philosophy: A Commentary on Plato's "Meno".
Unpublished Dissertation. Boston: Boston University.
Nasution, A.T. 2016. Filsafat Ilmu: Hakikat Mencari Pengetahuan. Yogyakarta:
Deepublish.
Nasution, H. 1980. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press.
Suaedi, 2015. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press.
Suriasumantri, J.S. 2005. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Sutejo & Susanto, H. 2010. Filsafat Ilmu: Telaah Kritis atas Hakikat dan Cara
Kerja Ilmu Pengetahuan. Ponorogo: P2MP Spectrum Press.
Sutomo, H. 2013. Filsafat Ilmu Kealaman dan Etika Lingkungan. Malang: UM
Press.
Tomczak, M. 2014. On the Driving Forces of Science. The International Journal
of Science in Society, 5, 1–10.
Ya’qub, H. 1992. Filsafat Agama; Titik Temu Akal dengan Wahyu. Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya.

20

Anda mungkin juga menyukai