MAKALAH
Disusun Oleh:
Deden Agustira NIM : 210341970406
Mucharommah Sartika Ami NIM : 210341970412
Saparuddin NIM : 210341970408
Segala puji dan syukur, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
rahmat, karunia dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan judul “Faktor-faktor Pendorong Timbulnya Filsafat dan Ilmu”. Makalah
ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu.
Makalah ini masih jauh dari sempurna, disebabkan oleh keterbatasan
pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan yang penulis miliki. Penulis
sampaikan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Dra. Utami Sri Hastuti, M.Pd. selaku
Dosen Pengampu Mata Kuliah Filsafat Ilmu. Penulis selalu terbuka akan segala
kritik dan saran yang menuju perbaikan sangat penulis harapkan.
Dengan segala kesederhanaan dalam penulisan makalah ini penulis
berharap mudah-mudahan dapat memberi sumbangsih pemikiran untuk
perkembangan ilmu pengetahuan baik bagi penulis maupun pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... iii
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Hirarki Data-Information-Knowledge-Wisdom ............................................. 11
iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk:
1. Menjelaskan mengenai manusia sebagai mahkluk yang berakal budi.
2. Menjelaskan kekaguman manusia pada alam semesta.
3. Menjelaskan mengenai manusia yang senantiasa menghadapi masalah.
4. Menjelaskan dimensi ilmu yang meliputi ontologi, epistemologi, dan
aksiologi.
C. Batasan Penulisan
Hal-hal yang dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Manusia sebagai mahkluk yang berakal budi.
2. Manusia memiliki rasa kagum (thauma) pada alam semesta.
3. Manusia senantiasa menghadapi masalah.
4. Dimensi ilmu yang meliputi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
4
5
Akal itu adalah sebuah timbangan yang cermat, yang hasilnya adalah pasti
dan dapat dipercaya (Khaldun, 2001). Akal membuat manusia jauh melebihi
makhluk-makhluk yang ada di muka bumi ini. Dengan kekuatan akal ini, manusia
tidak hanya dapat mencapai kemajuan dalam bidang kebudayaan melainkan juga
dalam bidang kerohanian. Ketidaksanggupan manusia (panca indera) menjangkau
dan menelusuri kemungkinan adanya yang ghaib (metafisik), maka
ditampilkanlah akal untuk mencoba mengkaji dan mengambil kepastian. Namun,
akal dapat melaksanakan fungsinya, tetapi juga memiliki kelemahan. Di sinilah
wahyu memperbantukan akal apa yang harus dikonfirmasi atas apa yang didapat
oleh akal (Ya’qub, 1992).
Akal merupakan alat yang digunakan manusia untuk berpikir dengan
proses penangkapan objek oleh indera, yang kemudian akal memprosesnya secara
analisis, menguraikan, membedakan, memilah dan mengelompokkan, serta
mencari keterkaitan dan maknanya, setelah itu memberikan hasil akhir dari
analisis tersebut yaitu berupa hasil pemikiran. Sehingga, dengan akal manusia
dapat memahami perbedaaan antara yang benar dan yang salah di dalamnya
berdasarkan pemikiran dan risetnya sendiri, sehingga manusia mampu berpikir.
Dengan akal budinya kemampuan manusia dalam bersuara bisa berkembang
menjadi kemampuan berbahasa dan berkomunikasi sehingga manusia disebut
sebagai homo loquens dan animal symbolicum. Dengan akal budinya, manusia
dapat berfikir abstrak dan konseptual sehingga manusia disebut sebagai homo
sapiens (makhluk pemikir) atau menurut aristoteles, manusia di pandang sebagai
animal that reasons yang di tandai dengan sifat selalu ingin tau (all men by nature
desire to know). Pada diri manusia melekat kehausan intelektual yang menjelma
dalam wujud beragam pertanyaan. Bertanya adalah berpikir, dan berfikir
dimanifestasikan dalam bentuk pertanyaan (Hamdani, 2011).
Adanya akal manusia telah bisa melihat potensi-potensi yang terdapat di
alam dan di sekitar lingkungan dimana dia hidup. Ketika manusia sudah tahu
bahwa di alam realitas itu banyak potensi-potensi yang bisa dikembangkan, maka
manusia dengan menggunakan akal sehatnya mencoba merefleksikan realitas dan
memberikan penjelasan-penjelasan yang sesuai dengan hukum-hukum berpikir
untuk melahirkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang diperoleh lewat akal
6
merupakan ilmu pengetahuan yang bisa dijadikan ukuran dan patokan untuk bisa
diterapkan dalam kehidupan, karena kerja akal dapat dilakukan secara tepat
menggunakan sistem dan metode yang sesuai dengan prosedur ilmiah. Namun
demikian kebenaran pengetahuan yang dihasilkan oleh hasil kerja akal juga
mengandung kelemahan dan keterbatasan, sebab akal itu tidak selamanya bisa
benar dan terarah, kadang akal juga bisa melakukan kesalahan-kesalahan ketika
perenungan itu dikerjakan. Karena itu kaum positivisme, realisme dan
materialisme menganggap bahwa rasionalisme atau menggunakan akal semata-
mata tidak bisa diandalkan dalam melahirkan kebenaran pengetahuan.
Hakikat akal adalah insting yang disiapkan untuk mengenali informasi-
informasi nalar. Seakan-akan ia adalah cahaya yang ditempatkan di dalam kalbu.
Dengannya hati siap mengenali sesuatu. Kadar dari insting berbeda sesuai dengan
tingkatannya. Al-Ghazali (1991) melihat akal sebagai jiwa rasional, yang
mempunyai dua daya. Jika jiwa tumbuhan dan jiwa binatang hanya memiliki lebih
dari satu daya, maka jiwa manusia hanya memiliki daya berpikir yakni akal. Akal
terbagi dua;
1. Akal praktis yang menangkap arti-arti yang berasal dari materi melalui indera
pengingat, memusatkan perhatian kepada alam materi, menangkap
kekhususan. Akal praktis digunakan untuk kreativitas dan akhlak manusia.
Artinya, terwujudnya tingkah laku yang baik bergantung pada kekuatan akal
praktis dalam menguasai daya-daya jiwa tersebut.
2. Akal teoritis yang menangkap arti murni yang tak pernah ada dalam materi
bersifat metafisis, memusatkan perhatian kepada dunia immateri dan
menangkap keumuman. Akal teoritis berfungsi untuk menyempurnakan
substansinya yang bersifat immateri dan abstrak. Hubungannya adalah
dengan ilmu-ilmu yang abstrak dan universal.
Melihat kemampuan akal yang luar biasa, cukupkah kita mengandalkan
indera dan akal sebagai sumber pengetahuan? Akal boleh memiliki kecakapan
yang luar biasa, baik untuk menangkap objek-objek fisik maupun nonfisik, tetapi
ia juga memiliki keterbatasan-keterbatasannya yang fundamental. Khaldun (2005)
mengatakan “Sebagai timbangan emas dan perak, akal adalah sempurna; tapi
masalahnya adalah mampukah timbangan emas dipakai untuk menimbang
7
gunung? Dengan demikian, betapapun sempurnanya akal, tetap saja menurut para
pemikir Muslim, memiliki kekurangan-kekurangan yang fundamental karena
masih banyak hal besar yang berada di luar jangkauan akal. Akal hanya menjadi
alat analisis dan sumber ilmu hanya pada sektor tertentu, tetapi bungkam pada
sektor yang lainnya.
Akal sebagai salah satu sumber ilmu memiliki peran yang sangat esensial
dalam melengkapi segala kekurangan yang dimiliki oleh sumber ilmu yang lain;
indera. Kekuatan khas yang dimiliki akal menurut filosof adalah kemampuannya
untuk mengabstrakkan dari konsep-konsep universal yang sudah diabstrakkan dari
benda-benda konkret, sehingga ia mampu berpikir sesuatu yang sama sekali tidak
memiliki sangkutan dengan benda-benda fisik. Adapun cara akal untuk
menyelidiki benda fisik yang sebelumnya diserap oleh indera adalah dengan
mengajukan pertanyaan berdasarkan kategori-kategori mental seperti kategori
ruang, waktu substansi, kuantitas, kualitas, dan kausalitas. Maka muncullah
pertanyaan, apa, dimana, mengapa, siapa, berapa, yang mana, dan lain-lain. Selain
itu, akal mampu mengenal atau menangkap konsep dan informasi tidak terbatas
hanya pada objek-objek inderawi saja, tetapi juga dapat menangkap konsep-
konsep abstrak yang tidak berdasar pada penginderaan. Misal, akal mampu
memahami perasaan seseorang, seperti perasaan sedih, gembira, kecewa, dan
sebagainya, padahal itu bukan entitas-entitas fisik melainkan keadaan jiwa.
Dengan kemampuan yang sama juga kal mampu mengomunikasikan pikiran,
perasaan, gagasan, dan lainnya, kepada sesama manusia melalui simbol-simbol
yang mereka ciptakan, yang disebut bahasa.
Akal adalah sebagai tolak ukur, mengidentifikasi mana yang benar dan
mana yang keliru. Akal bahkan menjadi satu-satunya tolak ukur penilaian bagi
sebagian proposisi agama, misalnya agama Islam sering kali disebut sebagai
agama yang rasional. Tentu itu semua masih terbatas dalam proposisi rasional
saja, di luar dari iru akal tidak memiliki nilai validitas apa-apa. Kemudian
selanjutnya dari fungsi akal adalah membuktikan kebenaran agama sekaligus
prinsip-prinsipnya. Akal mengakui keniscayaan diutusnya nabi oleh Tuhan, dan
mampu membedakan mana nabi palsu dan nabi sebenarnya. Pembuktian
keniscayaan ini adalah tugas dari akal, dalam tataran ini agama tidak bertentangan
8
permulaan dan prinsip pendukung dari filsafat. Plato tidak hanya membatasi
manusia menjadi jenis yang kagum dengan benda-benda seperti teka-teki
matematika dan lain sebagainya, akan tetapi ia juga menganggap manusia menjadi
sumber atau objek dari kekaguman. Singkatnya, manusia merupakan subjek dan
penyebab dari thauma (kekaguman) yang mana filsafat dilahirkan dan secara
berkesimbungan diperkaya (Bollert, 2010).
Latar belakang lahirnya filsafat didorong oleh dua faktor penting yaitu
interen dan eksteren. Faktor interen adalah kecenderungan atau dorongan dari
dalam diri manusia yaitu rasa ingin tahu itu sendiri. Sebuah kodrat manusia
tentang kehidupan manusia. Inilah ruh dasar makna inherenitas filsafat bagi
manusia. Adakah manusia yang tidak ingin tahu? Mungkin ada, tetapi jika ini
terjadi maka dapat diprediksi manusia yang demikian tidak akan dinamis.
Bukankah perubahan bermula dari keingintahuan?. Faktor eksteren hakikatnya
merupakan faktor dari luar manusia itu yaitu adanya hal atau sesuatu yang
menggejala di hadapan manusia sehingga menimbulkan rasa heran atau kagum.
Mengapa ini terjadi? Karena manusia berhubungan dengan hal-hal di luar dirinya
yaitu alam, hewan, tumbuhan, dan manusia lainnya. Segala hal yang ada di luar
dirinya secara kausalitas memang diperuntukkan untuk diri manusia. Manusia
yang berpikir dengan begitu akan terdorong untuk terus menerus
mengembangkannya untuk kemaslahatannya (Sutejo & Susanto, 2010).
Jika kita mengamati realita sosial keilmuan maka sesuatu yang menggejala
itu menimbulkan rasa kagum bagi manusia. Ada manusia yang rasa
kekagumannya itu terhenti, tidak diikuti oleh rasa ingin tahu secara radikal. Ada
orang yang memiliki rasa kagum atas hal yang ada di luar dirinya kemudian
berhenti dan hanya pasif dan ada pula orang yang kagum kemudian
menggerakkan untuk berbuat dan terus melakukan pencarian makna, proses, dan
kehakikatan dari kekagumannya. Untuk inilah naluri filsafat pada manusia dengan
sendirinya tidak berhenti tetapi terus berkembang sesuatu situasi dan keadaan
yang menyertainya (Abidin, 2000).
10
berlainan. Dunia dan materi adalah objek pengenalan yang merupakan sistem
materi dan merupakan suatu proses yang berlangsung tanpa hentinya atas dasar
hukum mekanisme. Atas pandangan ini, ajaran Hobbes merupakan system
materialistis pertama dalam sejarah filsafat modern (Suaedi, 2015).
seperti langit yang mendung dan biasanya diikuti oleh hujan, logam yang
dipanaskan akan memanjang. Berdasarkan teori ini, akal hanya berfungsi sebagai
pengelola konsep gagasan indrawi dengan menyusun konsep tersebut atau
membagi-baginya. Akal juga sebagai tempat penampungan yang secara pasif
menerima hasil-hasil pengindraan tersebut. Akal berfungsi untuk memastikan
hubungan urutan-urutan peristiwa tersebut.
Dengan kata lain, empirisme menjadikan pengalaman indrawi sebagai
sumber pengetahuan. Sesuatu yang tidak diamati dengan indra bukanlah
pengetahuan yang benar. Walaupun demikian, ternyata indra mempunyai
beberapa kelemahan, antara lain pertama, keterbatasan indra, seperti kasus
semakin jauh objek, semakin kecil ia penampakannya. Kasus tersebut tidak
menunjukkan bahwa objek tersebut mengecil atau kecil. Kedua, indra menipu.
Penipuan indra terdapat pada orang yang sakit. Misalnya, penderita malaria
merasakan gula yang manis, terasa pahit, dan udara yang panas dirasakan dingin.
Ketiga, objek yang menipu, seperti pada ilusi dan fatamorgana. Keempat, objek
dan indra yang menipu. Penglihatan kita kepada kerbau atau gajah. Jika kita
memandang keduanya dari depan, yang kita lihat adalah kepalanya, sedangkan
ekornya tidak kelihatan dan kedua binatang itu tidak bisa menunjukkan seluruh
tubuhnya. Kelemahan-kelemahan pengalaman indra sebagai sumber pengetahuan
maka lahirlah sumber kedua, yaitu rasionalisme (Suaedi, 2015).
global tampaknya tidak mungkin ada jawaban tunggal dan sederhana (Groumpos,
2018).
Setiap manusia membutuhkan landasan untuk perjalanannya melalui alam
semesta fisik. Landasan ini merupakan sekumpulan fakta, ide, aktivitas, dan
keyakinan yang dianggap valid dan dapat diandalkan oleh orang tersebut. Elemen-
elemen ini membentuk pandangan dunia seseorang dan pandangan ini
memengaruhi cara kita melihat diri kita sendiri, dunia, dan hubungan kita dengan
dunia itu. Pertanyaan yang menantang adalah apakah orang-orang senang dengan
dunia seperti sekarang ini. Jika tidak apa yang mereka lakukan? Kunci untuk
meningkatkan setiap aspek kehidupan (dari memunculkan penemuan baru hingga
memecahkan masalah pribadi) adalah meningkatkan pemahaman kita tentang
masalah tersebut. Oleh karena itu, inti dari segala jenis pertumbuhan pribadi
adalah bahwa kita harus memperluas dan menyempurnakan pandangan dunia kita.
Hal ini dapat dicapai dengan terus meningkatkan pengetahuan kita (Groumpos,
2018).
Gejala alam dan kejadian yang terjadi pada kehidupan manusia menjadi
suatu permasalahan yang mengarahkan manusia bertanya terus menerus. Bertanya
terus-menerus adalah bukan sekadar bertanya tanpa arah tetapi sebuah rangkaian
pertanyaan mendasar untuk menguak obyek yang sedang dipikirkan. Itulah yang
dimaksudkan dengan bertanya terus-menerus sampai pada batas terakhir, yang
tentunya disebut juga pertanyaan ilmiah. Pertanyaan itu berjumlah empat,
berturut-turut adalah: apa, bagaimana, mengapa, dan ke mana (Sutejo & Susanto,
2010). Ini tentu merupakan rangkaian filsafat yang harus dilakukan seseorang
manakala ingin berpikir filsafat. Dalam berpikir filsafat maka yang pertama-tama
dilakukan adalah bertanya apa. Apa ini akan menuntun berpikir ontologis
(kehakikatan, apa, jenis, dan kategori). Dari pertanyaan ini diperlukan suatu
jawaban yang berupa inti-isi mutlak dari obyeknya Persoalan yang muncul di sini
adalah hakikat itu sendiri. Hakikat adalah unsur-unsur yang bersama-sama
menyusun segala sesuatu yang terpisah dari hal-hal lain dan membuatnya menjadi
satu kesatuan, yaitu sebagai diri (Nasution, 2016).
15
D. Dimensi Ilmu
Filsafat memiliki tiga sudut pandang dalam menelaah obyeknya, yaitu
ontologi, epistemologi, dan aksiologi (Sutomo, 2013). Ketiga hal ini dapat pula
diterapkan untuk menelaah suatu ilmu. Berikut ini adalah definisi ontologi,
epistemologi, dan aksiologi menurut Hamdani (2011).
1. Ontologi
Ontologi adalah pembahasan mengenai eksistensi dan ragam dari suatu
kenyataan. Tafsiran tentang kenyataan dapat dibedakan menjadi dua menurut
paham supernaturalisme dan naturalisme. Kenyataan menurut
supernaturalisme tidak terbatas pada wujud alam yang nyata, tetapi termasuk
juga wujud-wujud yang bersifat gaib (supernatural) yang dapat bersifat lebih
tinggi dan lebih kuasa dibandingkan wujud nyata yang ada di alam. Contoh
paham supernaturalisme adalah animisme, yakni kepercayaan tentang
keberadaan roh atau jiwa dalam setiap benda di bumi (misalnya kawasan
tertentu, gua, pohon, atau batu besar) yang harus dihormati agar membantu
kehidupan manusia atau tidak mengganggu manusia (Afandi, 2016).
Kenyataan menurut naturalisme adalah gejala-gejala alam yang disebabkan
oleh sesuatu yang dapat dipelajari dan dapat diketahui, bukan disebabkan
oleh kekuatan gaib. Contoh paham naturalisme adalah materialisme, dengan
salah satu tokohnya adalah Demokritus. Satu contoh karya Demokritus yang
mencerminkan materialisme adalah tentang teori atom, yaitu bagian terkecil
yang tidak dapat dibagi lagi dari suatu benda.
2. Epistemologi
Epistemologi adalah pembahasan mengenai pertanyaan “bagaimana proses
untuk mengetahui sesuatu?”. Ada tiga aliran yang mendasari epistemologi,
yaitu dogmatisme, skeptisisme, dan fallibilisme. Dogmatisme adalah aliran
yang menganggap bahwa kita dapat dan benar-benar mengetahui (we can and
do know) sehingga kita yakin (we are certain). Skeptisisme adalah aliran
yang menganggap bahwa kita tidak benar-benar dapat mengetahui dan tidak
benar-benar mengetahui. Fallibilisme adalah aliran yang menganggap bahwa
kita dapat mengetahui sesuatu tetapi tidak benar-benar pasti. Epistemologi
mencakup identifikasi dan pengujian kriteria pengetahuan dan kebenaran.
17
3. Aksiologi
Aksiologi adalah pembahasan mengenai nilai. Ada dua kategori dasar dalam
aksiologi, yaitu obyektivisme dan subyektivisme. Teori nilai menurut
obyektivisme adalah teori nilai intuitif dan teori nilai rasional. Teori nilai
intuitif memandang suatu nilai ditemukan melalui intuisi, karena ada tatanan
moral yang bersifat baku. Seseorang yang menemukan dan mengakui nilai
melalui proses intuitif, harus mengatur perilaku individual dan sosialnya
sesuai dengan preskripsi-preskripsi moralnya. Teori nilai rasional
memandang suatu nilai ditemukan melalui penalaran manusia dan pewahyuan
supernatural. Adapun teori nilai menurut subyektivisme adalah teori nilai
alamiah dan teori nilai emotif. Teori nilai alamiah memandang nilai sebagai
produk yang diciptakan oleh manusia yang bertujuan untuk membimbing
perilaku manusia. Teori nilai emotif memandang nilai sebagai ekspresi emosi
atau tingkah laku.
18
BAB III
RANGKUMAN
18
19
DAFTAR PUSTAKA
20