Anda di halaman 1dari 32

MATA KULIAH FILSAFAT ILMU

Revolutionary Change and Rationality: Kuhn


and his Rivals

DISUSUN OLEH :

ALVYN KARINA LESTARI (2002052)


DIAGNESIA TAMBUNAN (2002574)
NURUL FARACH (2010437)
SISKA HANDAYANI INANDANG (2002471)

DOSEN PENGAMPU :
Dr. Paed. H. Sjaeful Anwar
Dr. Parsaoran Siahaan, M.Pd

PRODI PENDIDIKAN IPA SEKOLAH PASCASARJANA


UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
kami kesehatan dan kesempatan, sehingga kami bisa menyelesaikan makalah
kami yang berjudul tentang “Revolutionary Change and Rationality: Kuhn and his
Rivals” ini.
Selanjutnya, kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah memberikan pengarahan-pengarahan sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan tepat waktu. Tidak lupa juga kepada bapak dosen dan teman-
teman yang lain untuk memberikan sarannya kepada kami agar penyusunan
makalah ini lebih baik lagi.
Demikian, semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan
umumnya semua yang membaca makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya.
Semoga, makalah ini dapat memberikan wawasan baru dan bermanfaat bagi
pembaca. Apabila terdapat kesalahan, kami mohon maaf, kritik dan saran dari
pembaca.

Penulis

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................................. i
Daftar Isi.......................................................................................................................... ii

BAB I – Pendahuluan...................................................................................................... 1
1.1...............................................................................................................................Latar Belakang
.............................................................................................................................. 1
1.2...............................................................................................................................Rumusan Mas
.............................................................................................................................. 2
1.3...............................................................................................................................Tujuan Masala
.............................................................................................................................. 2
BAB II – Pembahasan...................................................................................................... 3
2.1. Thomas Kuhn.................................................................................................... 3
2.2. Sifat Revolusi Ilmiah......................................................................................... 6
2.3. Kuhn Tentang Persepsi...................................................................................... 8
2.4. Catatan Kemajuan Kuhn .................................................................................. 14
2.5. Feyereband........................................................................................................ 16
2.6. Pandangan Kuhn Tentang Kumulativisme........................................................ 20
BAB III – Penutup .......................................................................................................... 22
3.1. Hasil Diskusi....................................................................................................... 22
3.2. Kesimpulan......................................................................................................... 27
3.2. Saran................................................................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 28

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan sains merupakan suatu proses yang bertahap, dengan


proses ini telah melahirkan para ilmuwan. Perkembangan ilmu pengetahuan telah
melahirkan aliran keilmuan yang digolongkan kedalam dua peran, pertama
mereka harus menemukan ilmuwan mana dan fakta, hukum dan teori apa yang
telah ditemukan. Kedua mereka harus menjelaskan kekeliruan pada kepercayaan
mitos dan tahayul yang telah terkekang oleh penemu ilmu pengetahuan modern.
Setelah sains bersatu dengan tekhnologi pada pertengahan abad ke-19, ia menjadi
kekuatan penting dan sentral dalam perubahan sosial dan budaya bagi masyarakat.
Karena daya tarik sains dan tekhnologi yang begitu tersebar luas ke dalam pikiran
manusia. Sehingga pengaruhnya telah mewarnai seluruh masyarakat dunia dari
Timur hingga Barat. Efek yang dominan ini dipengaruhi kuat oleh model
epistemologi yang berkembang terutama rasionalisme dan empirisisme.

Kecenderungan masyarakat ilmuwan untuk menikmati sains yang


dirumuskan bersama dengan paradigmanya, membuat rasa ingin tahu yang
mendalam oleh sebagian ilmuwan lainnya, seperti yang dialami Thomas Kuhn. Ia
melihat adanya ketidakpedulian terhadap sesuatu yang ada dibalik sains itu. Di
satu pihak masyarakat hanya menikmati sains dalam skala praktis, di pihak lain
para ilmuwan menerapkan penelitian dan eksperimennya dengan kadar
persepsinya terhadap alam yang menurutnya sudah tepat. Kedua sikap tersebut
menuntunnya untuk melakukan sebuah upaya mengungkapkan bahwa sains
berkembang tidak bisa lepas dari paradigma para ilmuan. Pada perkembangan
filsafat ilmu dalam memahami beberapa kerangka teori keilmuwan dan
paradigma keilmuwan, terdapat beberapa filsuf yang terkenal karena hasil
pemikiran dan karyanya berpengaruh terhadap perkembangan suatu ilmu. Istilah
paradigma menjadi begitu popular setelah diperkenalkan oleh tokoh filsafat
terkenal Thomas S. Kuhn melalui bukunya The Structure of Scientific Revolution,
University of ChicagoPress, Chicago,1962 yang membahas mengenai Filsafat
Sains. Dalam buku tersebut juga mengemukakan bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan bukanlah terjadi secara kumulatif melainkan terjadi secara relatif.
Model perkembangan ilmu pengetahuan menurut Kuhn adalah: Paradigma I
(Normal Science,Anomalies &Crisis,Revolusi).

Khun menjelaskan bahwa Paradigma merupakan suatu cara pandang, nilai-


nilai, metode-metode,prinsip dasar atau memecahkan sesuatu masalah yang dianut
1
oleh suatu masyarakat ilmiah pada suatu tertentu. Kuhn melihat adanya kesalahan-
kesalahan fundamental tentang konsep ilmu terutama ilmu sains yang telah
dielaborasi oleh kaum filsafat ortodoks, sebuah konsep ilmu yang dengan
membabi-buta mempertahankan dogma-dogma yang diwarisi dari Empirisme dan
Rasionalisme klasik.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka
permasalahan yang dapat dirumuskan dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1 Siapakah Thomas Kuhn?
2 Bagaimana sifat revolusi ilmiah dan persepsi Thomas Kuhn?
3 Bagaimana catatan kemajuan Kuhn?
4 Apa pandangan Kuhn tentang kumulativisme?

1.3 Tujuan Masalah


Adapun tujuan dari makalah ini adalah
1 Untuk mengetahui siapakah Thomas Kuhn.
2 Untuk mengetahui sifat revolusi ilmiah dan persepsi Thomas Kuhn.
3 Untuk mengetahui catatan kemajuan Kuhn.
4 Untuk mengetahui pandangan Kuhn tentang kumulativisme.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Thomas Kuhn

Thomas Kuhn memberikan gambaran bahwa kebenaran sains akan


ditemukan berkali-kali ataupun berganti-ganti bentuk ilmiahnya walaupun dari
satu objek yang sama. Formulasi teori paradigma yang mencetuskan bahwa
sebuah kebenaran sains (legatimed truth) identik dalam target teleologis yang
didasari pada detection dikenal sebagai final cause (end). Kebenaran sains
bukan continuous (lanjutan), improvisasi, evolusi atau kumulatif, melainkan
terjadi paradigm shift (pergeseran paradigma) atau disebut juga dengan
revolusi.

Perkembangan sains di era modern sangat fantastis telah menyebabkan


banyak ditemukan teori ilmiah (scientific truth) dan temuan alamiah (naturaled
truth) yang dibuktikan dengan banyak bermunculan teori pengetahuan dan
teknologi. Hal ini menggugah Thomas Kuhn dalam magnum opus-nya yakni
The Structure of Scientific Revolutions mengkritisi kebenaran implisit dan
eksplisit di dalam sains itu sendiri. Thomas Kuhn melalui keahliannya mencoba
mengungkapkan secara detail kedudukan sains secara teoritis dan praktis.
Dewasa ini, sains selalu terjadi improvisasi berupa evolusi dari teori sederhana
menuju teori yang lebih sempurna. Namun Kuhn menolak secara keras konsep
demikian, baginya kebenaran sains tumbuh menurut revolusi ilmiah dan
alamiah yakni suatu teori tentang sains ditemukan pada satu objek dan akan
terus-menerus berubah walaupun kesan yang muncul lebih identik sebagai
improvisasi.

Perkembangan ilmu pengetahuan tidak berlangsung akumulatif-linear,


melainkan menurut suatu revolusi yang bersifat berkala dalam cara shift
paradigm. Ilmu pengetahuan berkembang, ketika komunitas ilmiah
meninggalkan paradigma ilmu yang selama ini diterima karena
ketidakmampuan paradigma menjawab persoalan-persoalan baru. Paradigm
atau paradigma, menunjuk kepada ‘ilmu pengetahuan normal’, sesuatu yang
rutin menyangkut cara kerja yang dilakukan ilmuwan dari hari ke hari.

Sejarah filsafat ilmu ditandai oleh perdebatan intens dua kutub mengenai
bagaimana sebuah teori ilmiah dibentuk, diterima, didukung dan dipertahankan
oleh komunitas ilmiah. Di satu kutub berdirilah para filsuf empiris yang
mendukung gagasan falsifikasionisme dan empirisme logis bagi pembentukan
teori ilmiah. Kutub ini ada Karl R. Popper yang berpendapat bahwa
pembentukan konsensus teori ilmiah dicapai melalui disetujuinya aturan-aturan
3
metodologis yang berperan sebagai algoritma yang menentukan pilihan sebuah
teori. Konteks pemikiran semacam ini jelas bahwa metode ilmiah dipertahankan
sebagai tahap/langkah untuk mencapai pengetahuan dan teori ilmiah. Hanya
saja mengikuti pandangan Popper mengenai metode ilmiah tersebut tidak
diaplikasikan secara deduktif, karena peralihan dari yang partikular ke yang
universal tidak sah secara logis. “Dengan observasi terhadap angsa-angsa putih,
betapapun besar jumlahnya, orang tidak akan sampai pada kesimpulan bahwa
semua angsa berwarna putih, tetapi sementara itu cukup satu kali observasi
terhadap seekor angsa hitam untuk menyangkal pendapat tadi,” demikian Karl
R. Popper. Aplikasi metode ilmiah untuk mencapai teori dan hukum ilmiah
dilakukan dengan mengoperasikan asas falsifiabilitas atau falsifikasionisme.
Asas ini menegaskan bahwa ciri khas pengetahuan adalah dapat dibuktikan
salah. Artinya, ciri khas pengetahuan ilmiah bukan apakah pengetahuan tersebut
dapat dipertahankan atau tidak, tetapi apakah dapat dibuktikan salah atau tidak.
Suatu pengetahuan ilmiah hanya bisa dipertahankan jika tahan terhadap
falsifikasi, dan sebaliknya. Dalam aplikasi metode ilmiah, falsifikasi
memainkan peran algoritmik sebagaimana dikatakan Laudan di atas.

Thomas Kuhn sebagai salah satu filsuf ilmu abad XX memberikan


sumbangan yang besar dalam perkembangan filsafat ilmu dengan membongkar
doktrin positivisme yang telah mengakar dalam perkembangan ilmu hingga
abad XX. Kuhn lebih jauh mengenalkan corak pembahasan filsafat ilmu secara
inovatif dengan mendekati ilmu dari aspek sejarah perkembangan ilmu
(Sonjoruri, 2008). Kuhn menolak pemikiran positivistik-objektifistik dan proses
akumulasi, evolusi, dan eliminasi dalam perkembangan ilmu. Pandangan ilmu
dari perspektif sejarah atau sejarah ilmu adalah dasar pemikiranya. Sejarah ilmu
sudah seharusnya menjadi guru oleh filsafat ilmu untuk dapat memahami
hakikat ilmu dan aktivitas ilmiah yang sesungguhnya. Pandangan Kuhn ini
telah membuat dirinya menjadi prototip pemikir non positivistik. Pemikiran
positivisme memang lebih menggarisbawahi validitas hukum-hukum alam dan
hukum sosial yang bersifat universal yang dapat dibangun oleh rasio (Muslih,
2008). Kuhn tercengan oleh jumlah dan tingkat perselisihan pendapat diantara
para ilmuan sosial tentang sifat masalah dan metode ilmiah yang sah. Upaya
untuk menemukan sumber perselisihan itu menyebabkannya menyadari peran
riset ilmiah tentang apa yang sejak itu ia sebut paradigma (Thomas, 1993).

Sains modern bercorak rasionalistik dan empirisis-positivistik dalam


mengamati realitas. Sains modern menganut paham bebas nilai, humanistik dan
individualistik. Tidak ada hal seperti riset dalam ketiadaan paradigma apapun.
Keilmiahan pada situasi pra-modern terasa jauh lebih naturalistis dan pluralistis.
Perspektif ilmiah melihat realitas alam sebagai dunia objektif atau fakta-fakta
yang tunduk pada hukum- hukum kausal dan mekanistis. Para sainstis hanya
berkerja dalam tataran konseptual-obyektif, netral, dan tanpa ada intervensi dari
para saintis untuk mengendalikan sains. Ini menunjukkan bahwa saintisme telah
meletakkan dasar-dasar berpikir yang hanya berpijak pada eksperimen dan
hitungan matematis sebagai ukuran ilmiah atau tidaknya sebuah hasil pemikiran

4
atau penelitian. Sains modern ditarik dari analogi-analogi antara tingkah laku
manusia dengan cara kerja mekanik.

Sains akan terus berubah berbanding lurus dengan ditemukan fakta-fakta


baru. Tujuan sains untuk menggantikan gagasan yang progresif terhadap
kebenaran, sains sebagai pekerjaan eksplorasi yang terus-menerus menarik
lebih dekat untuk beberapa tujuan yang ditetapkan oleh alam yang terus
berkembang (Thomas, 1970). Sains kontingen terhadap dinamika sejarah dan
komunitas ilmuan sehingga kebenaran ilmiah pun berubah-ubah secara
revolusioner. Sains merupakan suatu pembelajaran yang terakumulasi dan
sistimatik tentang fenomena alam. Kemajuan sains ditandai bukan hanya oleh
suatu akumulasi fakta, tetapi oleh berkembangnya metode ilmiah dan sikap
ilmiah.Dengan demikian paradigma berarti standard universal yang didukung
oleh pandangan ilmiah yang didapat dari realitas yang diyakini sebagai prediksi
atau deteksi sebagai source dengan hukum universal yang dimunculkan dari
dinamika-mekanis dan realitas yang diyakini sebagai proses kreatif, thinkable,
inteligible, change of culture, dan idea of progress, berkebebasan mencari
pengetahuan idealis, pragmatis atau hedonis (Needhamet, 1978).

Sains sekarang banyak menimbulkan efek polusi dan radiasi, namun sains
negatif itu terabaikan mengingat sains produktif akan lebih benefit
(menguntungkan) sehingga mengugah ilmuan mengeksplorasi ataupun ekspansif
untuk sebanyak mungkin menemukan sains-sains baru. Sains dalam modernitas
bersifat otoritatif bukan karena rasionalitas argumentasi, melainkan karena
propaganda (represif) lewat industri, teknologi, dan institusi-institusi ilmiah.
Sains hanya mengakomodir pandangan dunia secara ilmiah atau alamiah.
Perkembangan sains di era modern telah mendistorsi nilai-nilai religiusitas. Sains
bukan hasil dari refleksi sekumpulan kitab suci yang cenderung mengakibatkan
penolakan eksistensi Tuhan dan penciptaan. Sains telah menyebabkan teknologi
dikembangkan untuk memenuhi kesenangan-kesenangan materi (hedonis-
materialistis) dan mengorbankan alam semesta. Paradigma telah melahirkan
banyak budaya baru melalui eksperimentasi, kuantifikasi, dan prediksi.

Citra ilmu pengetahuan yang sering ditemukan dalam buku pelajaran


sains, dalam catatan populer tentang kehidupan para ilmuwan besar, dan dalam
diskusi sains sehari-hari adalah salah satu pertumbuhan pengetahuan yang
sangat besar dan kumulatif. Bagaimanapun, ini adalah gambaran banyak akun
yang memberikan ilmu pengetahuan alam sejak zaman Galileo. Gambar ini
memiliki kekuatan besar. Ini memberikan prestise besar sains dan memudahkan
para ilmuwan untuk mendapatkan sejumlah besar uang untuk proyek penelitian
yang menangani hal-hal yang sangat terpencil dari kehidupan sehari-hari,
seperti asal-usul alam semesta. Ini mendorong siswa perilaku manusia untuk
menyebut diri mereka ilmuwan sosial, untuk meniru metode ilmu pengetahuan
alam, dan curiga terhadap pendekatan lain untuk memahami perilaku manusia.
Itu membuat banyak filsuf berpikir bahwa satu-satunya teori epistemologis
5
yang terhormat adalah yang dapat menjelaskan keberhasilan ilmu pengetahuan.

2.2 Sifat Revolusi Ilmiah

Revolusi ilmiah merupakan episode perkembangan nonkomulatif yang


didalamnya paradigma yang lama diganti seluruhnya (sebagian oleh paradigma
baru yang bertentangan). Revolusi ilmiah juga merupakan suatu proses sejarah
perkembangan dan kemajuan ilmu-ilmu kealaman, yang terjadi karena pergantian
paradigma ilmiah, dari paradigma-paradigma lama kepada paradigma-paradigma
baru. (Putra Afriandi,2015). Menurut Kuhn bahwa kemajuan ilmiah itu pertama-
tama bersifat revolusioner, cepat dan dratis bukan maju secara kumulatif. Menurut
Kuhn juga menunjukan bahwa revolusi ilmiah nonkumulatif untuk menuju ke
perkembangan episode baru yang mana sebuah paradigma yang lama diganti
secara keseluruhan atau sebagian oleh yang baru dan menggantikannya sehingga
berakhibat pada perbedaan mendasar antara paradigma lama ke paradigma baru.

Revolusi ilmiah muncul disebabkan ada anomali yang dirasakan semakin


parah dalam riset dan paradigma yang dijadikan referensi riset tidak dapat
menyelesaikan krisis. Paradigma yang lama akan diganti seluruh atau sebagiannya
dengan paradigma baru yang bertentangan dalam episode perkembangan
nonkumulatif pada revolusi sains. Munculnya revolusi sains tidak semerta-merta
mudah, karena ada kalanya sebagian ilmuwan atau masyarakat tidak mau
menerima paradigma baru tersebut, sehingga menimbulkan masalah legitimasi
paradigma yang lebih definitif.

Skema adanya paradigma lama hingga sampai terbentuknya revolusi ilmiah


pada paradigma baru (Ulya Inayatul & Nushan Abid, 2015) sebagai berikut:

Menurut model yang dikembangkan oleh Thomas Kuhn pada paradigma


berlangsung normal sains. Normal sains yaitu situasi ketika sebuah paradigma
menjadi sedemikian dominan/dianggap benar sehingga ia digunakan sebagai
indikator utama dan umum sampai seakan-akan tidak perlu mempertanyakan
ulang prinsip-prinsip pertamanya. Fase ini, para ilmuan tidak mampu lagi
mengelak dari pertentangan karena terjadi banyak penyimpangan. Fase
anomalies terjadi karena paradigma pertama tidak mampu memberikan
penjelasan dan menjawab terhadap persoalan yang timbul secara memadai dan
akhirnya terjadi penyimpangan. Akibat yang muncul karena banyaknya anomali,
maka timbullah crisis. Pada fase crisis ini, paradigma mulai diragukan
kebenarannya. Krisis tersebut terjadi dengan hebatnya, kemudia mengantarkan
jalan untuk menuju fase revolusi. Pada fase revolusi inilah kemudian muncul
paradigma II yang memiliki jawaban atas persoalan yang muncul dari paradigma
sebelumnya. Revolusi ilmiah pada akhirnya akan memunculkan paradigma

6
berdasarkan studi ilmiah baru yang dikaji berdasarkan deteksi baru menjadi teori
baru berada dalam tataran unggul dalam membentuk paradigma baru dengan
sudut pandang baru dan teknik metodologinya lebih unggul dibandingkan
paradigma lama dalam memecahkan masalah yang timbul.

Sebuah anomaly tidak dengan sendirinya cukup untuk perubahan


paradigma dengan ketidaktahuan dan penolakan terhadap paradigma. Kuhn
menyebutkan bahwa kompleksitasi tersebut sebagai syarat yang diperlukan
untuk perubahan paradigma baru. Tapi krisis terungkap dengan cara berubah
dari waktu ke waktu. Namun, proses peningkatan antara fakta dan teori adalah
bagian dari normal science, sehingga anomaly sebagai sebuah kegagalan
harapan, hanya menyajikan puzzle (teka-teki) lain yang harus diselesaikan
dengan eksplorasi dan konstruksi ilmiah.

Menurut Kuhn, revolusi ilmiah muncul jika suatu paradigma lama tidak
mampu memecahkan masalah yang menyimpang dari hukum alami (anomali)
dan penyimpangan yang menumpuk kemudian menghasilkan krisis sehingga
terjadilah revolusi sains yang pada akhirnya memunculkan paradigma baru.
Dalam hal ini Kuhn beranggapan bahwa kemajuan ilmiah bersifat revolusioner.
(Putra Afiandi, 2015). Transformasi paradigma juga dapat disebut sebagai
revolusi sains dan perkembangan dari transisi yang berurutan melalui revolusi
disebut juga dengan sains yang telah matang. Contohnya adalah teori cahaya
dalam ilmu fisika yang pada awalnya dinyatakan sebagai foto atau wujud
mekanis kuantum yang memperlihatkan beberapa karakteristik gelombang dan
beberapa karakteristik partikel. Teori ini hanya berumur setengah abad untuk
dijadikan landasan riset selanjutya dan kemudian muncul teori baru dari Newton
yang menjelaskan bahwa cahaya adalah partikel yang sangat halus. Teori
Newton banyak diterima oleh pemraktik sains optik sebelum kemudian muncul
teori baru lagi dari Young dan Fresnel pada awal abad ke 19 yang lebih unggul.
Teori ini menyatakan bahwa cahaya adalah gerakan gelombang universal yang
kemudian dikembangkan oleh Planck dan Eisnten (Almas Fikri Afiq, 2018).

Menurut Kuhn yang terjadi dalam revolusi ilmiah yaitu yang pertama
dalam revolusi ilmiah para ilmuwan terkemuka yang bekerja dalam paradigma
lama dan baru tidak akan dapat mencapai penerimaan yang disetujui secara
rasional atas keunggulan paradigma baru. Sekelompok ilmuwan yang berpikiran
tradisional yang ingin tetap berpegang pada paradigma lama akan berkembang,
biasanya terdiri dari mereka yang lebih tua yang telah menggunakan paradigma
lama untuk waktu yang lama. Mereka akan dapat memberikan alasan yang baik
untuk keputusan mereka, karena alasan yang baik dipahami dalam paradigma
lama. Juga akan ada sekelompok ilmuwan pemberontak, biasanya terdiri dari
anggota yang lebih muda dari profesi yang pemikirannya tidak dibatasi oleh
paradigma lama, yang akan dapat memberikan alasan yang baik untuk
perubahan mereka ke paradigma baru. Alasan tersebut akan berkaitan dengan
fakta bahwa paradigma lama diakui secara luas memiliki masalah serius, dan

7
mereka juga akan menggunakan kriteria paradigma baru untuk menilai teori
yang dikembangkan di bawah paradigma lama sebagai tidak tepat.

Cara kedua di mana Kuhn berpikir penjelasannya berbeda dari gambaran


yang lebih tua tentang pertumbuhan ilmiah adalah, dalam pandangannya, teori
yang dirumuskan di bawah paradigma baru seringkali sangat berbeda dari teori
yang lebih tua sehingga teori yang lebih tua tidak dapat secara masuk akal
dianggap sebagai perkiraan dari teori teori baru. Alasan mengapa mereka sangat
berbeda adalah karena asumsi ontologis yang mendasari teori-teori baru sangat
berbeda dari yang mendasari teori-teori sebelumnya. Contohnya menjelaskan
klaimnya tentang hubungan antara mekanika Newton dan teori relativitas khusus
Einstein. Mekanika Newton sangat mirip dengan teori relativitas khusus
Einstein. Keduanya tampaknya menggunakan konsep yang mirip, seperti massa,
kecepatan, dan waktu. Prediksi yang dihasilkan oleh kedua teori ini hampir sama
ketika teori tersebut diterapkan pada objek yang bergerak dengan kecepatan
rendah. Hanya ketika mereka diterapkan pada objek yang bergerak dengan
kecepatan tinggi, prediksi kedua teori tersebut berbeda secara signifikan.
Sepintas lalu, tampaknya semua ini menyiratkan bahwa mekanika Newton pasti
merupakan pendekatan teori Einstein. Tetapi Kuhn berpendapat bahwa ini tidak
mungkin benar. Mekanika Newton memiliki ontologi implisit yang sangat
berbeda dengan teori Einstein, sehingga merujuk pada hal-hal yang berbeda.
Dalam mekanika Newtonian, massa suatu benda adalah sifat intrinsik -jumlah
materi yang dikandungnya. Dalam teori Einstein, massa suatu benda adalah
properti relasional yang bervariasi sesuai dengan kerangka acuan
pengukurannya. Dalam mekanika Newton, bentuk suatu benda merupakan ciri
intrinsik. Dalam teori Einstein, bentuk relatif kerangka seperti massa. Kuhn
mengklaim bahwa tidak ada istilah terisolasi dalam dua teori yang memiliki arti
berbeda, setiap istilah deskriptif dalam kedua teori memiliki arti yang sangat
berbeda. Dia berpendapat bahwa perbedaan tersebut berarti bahwa jika teori
Einstein benar, maka mekanika Newtonian bahkan tidak dapat mendekati benar
karena ontologi teori Einstein mengesampingkan keberadaan hal-hal yang
disyaratkan dalam mekanika Newton. Jika Einstein benar, tidak ada massa atau
bentuk intrinsik, atau semacam itu. Jadi, jika teori Einstein benar, mekanika
Newtonian gagal untuk dirujuk, sehingga tidak mungkin mendekati benar.
Demikian pula, jika istilah dalam mekanika Newton diartikan sebagai sesuatu, ia
tidak dapat merujuk pada entitas yang dirujuk oleh teori Einstein (Kuhn,1962)

Tampaknya meskipun Kuhn tidak berkomitmen pada relativisme, dia


harus berkomitmen pada klaim bahwa tidak ada pertumbuhan pengetahuan yang
terjadi di seluruh revolusi ilmiah. Namun, katanya, dia tidak menyangkal bahwa
ilmu pengetahuan berkembang, bahkan ketika suatu disiplin ilmu telah melewati
beberapa revolusi ilmiah. Sains tidak menggantikan teori dengan teori lain yang
lebih mendekati kebenaran; tetapi berkembang karena, seiring paradigma
berhasil satu sama lain, para ilmuwan memecahkan lebih banyak teka-teki,
menghasilkan prediksi yang lebih berhasil, dan meningkatkan keakuratan
prediksi mereka (Kuhn, 1962).

8
2.3 Kuhn Tentang Persepsi

Kuhn berpendapat bahwa karena paradigma membentuk persepsi, mereka


tidak dapat dengan mudah dibandingkan secara rasional oleh peserta. Mungkin
dianggap bahwa Kuhn tidak dapat dibenarkan tidak menarik kesimpulan skeptis
yang jelas bahwa pengetahuan yang dibenarkan secara obyektif tidak mungkin
mengingat pandangannya tentang persepsi. Kuhn menggabungkan empat klaim
berbeda dalam pembahasannya (Kuhn, 1962).

Klaim pertama adalah karena kita mengubah titik fokus kita ketika kita
dilatih dalam paradigma sehingga kita memperhatikan hal-hal yang tidak kita
sadari sebelumnya, persepsi kita berubah. Misalnya, sebagai hasil dari penunjuk
orang tua, anak memperhatikan bahwa angsa tertentu memiliki leher yang lebih
panjang daripada bebek tertentu. Dia kemudian memperhatikan bahwa leher
angsa lebih mirip satu sama lain daripada leher bebek. Sebagai hasil dari
pelatihan ini, ketika anak melihat burung, secara tidak sadar ia cenderung
berkonsentrasi pada area tertentu dan bukan area lainnya. Anak itu sekarang
dapat langsung memutuskan apakah burung itu bebek atau angsa.

Klaim kedua adalah bahwa, dengan ditanamkan ke dalam paradigma, kita


belajar untuk secara otomatis mengklasifikasikan hal-hal sebagai jenis tertentu
dan memperlakukannya dengan tepat sesuai dengan klasifikasi itu,
bagaimanapun mereka melihat dalam pengalaman. Contoh di sini adalah kita
belajar memperlakukan sebagai massa baik bola di pesawat maupun pendulum.
Kami kemudian merasa sulit untuk memperlakukannya dengan cara lain, sama
seperti kami merasa sulit untuk mengubah cara kami mengetik setelah kami
mempelajari cara mengetik tertentu.

Klaim ketiga adalah bahwa pelatihan dalam paradigma secara harfiah


mengubah pengalaman kita dan konsep terkait sehingga kita benar-benar melihat
hal-hal yang sebelumnya tidak kita miliki kapasitas untuk mengalami dan
mengenali. Misalnya, anak tidak memiliki kapasitas untuk mengalami dan
mengenali perbedaan antara bebek dan angsa, meskipun ia memiliki kapasitas
untuk mengenali apa yang membuat benda menjadi burung.

Klaim keempat adalah bahwa pelatihan dalam paradigma menyebabkan


kita dapat mengalami perbedaan tajam antara hal-hal yang sebelumnya kita
anggap berubah secara bertahap. Misalnya, anak tidak memiliki kapasitas untuk
melihat bebek dan angsa sebagai jenis burung yang sangat berbeda sebelum
dilatih dalam paradigma. Sebaliknya dia mengalaminya sebagai burung yang
berbeda. Setelah dilatih memiliki kapasitas ini, anak akan kesulitan melihat
kemiripan yang dilihatnya sebelumnya. Hal ini juga akan membuat anak melihat
bebek dan angsa termasuk dalam kelas alami yang berbeda dan mungkin
dianggap skeptis untuk mencegah anak melihat kesamaan lain di antara mereka.

a) Klaim Pertama Kuhn


9
Klaim pertama Kuhn tentang pengaruh paradigma pada persepsi
tampaknya masuk akal. Oleh karena itu, Kuhn benar dalam berpikir bahwa
melatih pengamat untuk fokus hanya pada serangkaian fitur yang sempit adalah
bagian dari ilmu pengetahuan dewasa yang normal tetapi dia salah dalam
kadang-kadang membicarakannya hanya sebagai semacam bias yang diperlukan
untuk menyelesaikan pekerjaan. Padahal, itu adalah cara berproses yang bisa
dibenarkan. Pandangan naif bahwa fokus selektif dalam suatu sains adalah
bentuk bias yang tidak dapat dibenarkan adalah kebalikan dari situasi yang
sebenarnya (Kuhn,1962).

b)Klaim Kedua Kuhn

Klaim Kuhn yang kedua tentang persepsi juga benar dan penting. Namun,
hal pertama yang perlu diperhatikan tentang pernyataan kedua Kuhn adalah
bahwa tidak ada perubahan pengalaman seseorang yang benar-benar terjadi
dalam kasus-kasus seperti itu - karena siapa pun dapat bersaksi siapa yang telah
belajar melakukan hal-hal yang dijelaskan Kuhn. Komentar tentang perubahan
persepsi adalah metafora yang menyesatkan. Bola pada bidang miring dan
pendulum terlihat sama sebelum dan sesudah seseorang menyadari bahwa
keduanya adalah massa. Ini berarti bahwa jika perlu, kita dapat menguji berbagai
teori tentang apa yang terjadi di dunia dengan menghasilkan deskripsi netral
yang mengandalkan ciri-ciri yang menonjol secara perseptual. Bahkan jika
bahasa ilmiah yang kita gunakan diliputi oleh teori, seperti fisika Newtonian,
kita dapat memperkenalkan bahasa baru dengan menunjukkan, dan
mengandalkan, ciri-ciri yang secara alamiah menonjol.

Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah bahwa ilmuwan yang


menghasilkan sejumlah besar prediksi baru yang berhasil, dengan menggunakan
deskripsi dari hal-hal yang berbeda secara persepsi yang berasumsi bahwa
mereka memiliki kesamaan mendasar yang penting, dibenarkan oleh penalaran
induktif dalam melatih murid mereka secara konstan untuk menggunakan
deskripsi tersebut.

Klaim kedua Kuhn dengan demikian mengungkapkan tidak ada bias yang
tidak dapat dibenarkan dalam praktik ilmiah dan tidak menghalangi kita untuk
menguji teori secara objektif (Kuhn,1962).

c) Klaim Ketiga dan Keempat Kuhn

Jika klaim ketiga dan keempat Kuhn benar, mereka mungkin dianggap
menimbulkan masalah yang sangat serius untuk menguji teori secara objektif
dengan menggunakan pengalaman. Karena tampaknya, setelah menjalani
pelatihan, kami akan kesulitan dalam menarik fitur-fitur yang jelas-jelas berbeda
dari hal-hal yang independen dari paradigma untuk mengujinya. Namun, klaim
ketiga dan keempat Kuhn tidak masuk akal (Couvalis, 1997). Paradigma

10
didefinisikan sebagai pandangan dasar tentang apa yang menjadi pokok bahasan
yang seharusnya dikaji oleh disiplin ilmu pengetahuan, mencakup apa yang
seharusnya ditanyakan dan bagaimana rumusan jawabannya disertai dengan
interpretasi jawaban. Paradigma dalam hal ini adalah konsesus bersama oleh
para ilmuan tertentu yang menjadikannya memiliki corak yang berbeda antara
satu komunitas ilmuan dan komunitas ilmuan lainnya. Varian paradigma yang
berbeda-beda dalam dunia ilmiah dapat terjadi karena latar belakang filosofis,
teori dan instrumen serta metodologi ilmiah yang digunakan sebagai pisau
analisisnya (Ambo, 2010).

Menurut Kuhn bahwa revolusi perkembangan ilmu pengetahuan itu tidak


terjadi secara kumulatif, tapi terjadi secara non kumulatif. Artinya bahwa
perkembangan ilmu pengetahuan tidak berasal dari gabungan beberapa ilmu
pengetahuan yang telah ada tetapi terjadi secara revolusioner melalui
tahapantahapan tertentu (Marcum, 2005). Berdasarkan statemen tersebut Kuhn
menjelaskan paradigma sebagai beberapa contoh praktik ilmiah aktual yang
diterima. Termasuk contohnya adalah hukum, teori, aplikasi, dan instrumen yang
merupakan model yang diterima bersama dan menjadi sumber tradisi khusus
dalam penelitian ilmiah (Thomas, 1962). Hal ini dapat disimpulkan bahwa
paradigma adalah bagian dari teori lama yang pernah digunakan oleh ilmuan
sebagai inspirasi dalam praktik ilmiah sebagai acuan riset terdahulu dan
dipaparkan berdasarkan dari pengujian-pengujian dan interpretasi dari kaum
ilmuan berdasarkan metode ilmiah yang digunakan. Sehingga output pradigma
dipakai sebagai kesuluruhan manifestasi keyakinan, hukum, teori, nilai, teknik,
dan lain-lain yang telah diakui bersama anggota masyarakat. Paradigma dalam
penelitian ilmiah terdapat dua karakteristik yang menjadi substansinya, yaitu:
pertama, menawarkan unsur baru tertentu yang menarik pengikut keluar dari
persaingan metode kerja dalam kegiatan ilmiah sebelumnya; kedua, menawarkan
pula persoalan-persoalan baru yang masih terbuka dan belum terselesaikan
(Kuhn, 1962).

Menurut Kuhn objektivitas ilmu tidak bersifat otoritatif hanya sebatas pada
sebuah justifikasi kebenaran. Inilah landasan epistimologi paradigma yang
mengkritik keyakinan manusia terhadap kebenaran ilmu pengetahuan sebagai
representasi realitas dan fenomena. Ilmu pengetahuan secara natural memiliki
kesempatan dan otonomi dalam pencarian kebenaran antara prediksi dan deteksi
sebagai penelusuran ilmiah dalam menemukan kebenaran ilmiah baru. Apa yang
benar menurut paradigma lama belum tentu benar menurut paradigma baru
adanya relativisme.

Paradigma tidak selalu terikat pada nilai benar atau salah. Akan tetapi juga
bisa terbimbing oleh sesuatu yang baik atau yang paling baik bagi
perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya. Dengan kata lain, hasil final dari
penelitian dilakukan ilmuwan seharusnya tidak terpaku pada hanya untuk
menemukan kebenaran, tapi juga bisa memberikan makna aksiologinya, yaitu
nilai manfaat bagi kehidupan manusia. Hal ini bukan berarti bahwa paradigma
11
dalam menyelesaikan masalah keilmuan tidak benar-benar objektif, karena nilai
objektifnya tersebut relatif dan dapat diperoleh berdasarkan penggunaan metode
tertentu yang disepakati masyarakat ilmiah. Dengan kata lain, penggunaan
paradigma akan menentukan metode apa yang sesuai lalu disepakati untuk
dipakai dalam pemecahan suatu masalah ilmiah.

Berdasarkan hal tersebut kebenaran ilmiah pun berubah-ubah secara


revolusioner. Ilmu pengetahuan merupakan suatu pembelajaran yang
terakumulasi dan sistematik tentang fenomena. Kemajuan ilmu pengetahuan
tidak hanya ditandai oleh suatu akumulasi fakta-fakta ilmiah, tetapi oleh
berkembangnya metode dan sikap ilmiah yang terus mengalami perkembangan
(Columbia Encyclopedia, 1963). Seperti contoh yang digambarkan oleh Kuhn
pada (Couvalis, 1997) Pertimbangkan anak yang belajar kategori baru dengan
cara yang digambarkan Kuhn. Anak tidak dapat belajar untuk memilih kesamaan
persepsi penting antara angsa dan perbedaan mereka dari bebek dengan
ostension kecuali anak sudah dapat memperhatikan fitur-fitur penting yang
menandai angsa dari massa hal-hal yang mungkin ditunjukkan. Misalnya, bagi
anak, leher angsa yang berbeda harus sudah terlihat lebih mirip daripada leher
bebek, memungkinkan anak untuk menghubungkan mereka ke kata 'angsa'.

Anak harus sudah memiliki kategori persepsi yang secara kasar menandai
angsa, dan dapat mengidentifikasi mereka di dunia, sebelum dapat memahami
konsep 'angsa'. Mungkin anak belum memperhatikan kesamaan manifold antara
angsa, dan perbedaan antara angsa dan bebek. Mungkin anak bahkan tidak
memiliki konsep leher panjang sampai dia mengikuti jari orang tua pada
sejumlah kesempatan dan tiba-tiba disambar oleh kemiripan, sehingga
memperoleh konsep leher panjang sebelum memiliki kata-kata. Mungkin anak
belum terhubung bersama banyak kesamaan antara angsa untuk membentuk
konsep independen 'angsa'. Tetapi apa yang bisa secara persepsi penting bagi
anak tidak berubah ketika anak belajar menggunakan kata 'angsa' untuk
menggambarkan angsa. Arsitektur konseptual yang memungkinkan anak untuk
dapat memilih fitur yang sesuai dalam pengalaman harus sudah ada jika dia
harus dapat mempelajari konsep 'angsa' dari pengalaman, dan mengikatnya ke
kata yang sesuai. Anak dapat mempelajari konsep 'angsa' dengan mempelajari
burung untuknya sendiri dan Kuhn tidak memberikan alasan yang baik untuk
percaya bahwa pengalaman anak akan berubah dengan cara apa pun yang akan
menimbulkan ancaman terhadap objektivitas pengujian teori ketika dia
mempelajari konsep ini. Selain itu, setelah pelatihan, anak dapat belajar untuk
melihat kesamaan yang tidak dia fokuskan dengan menunjukkannya (Couvalis,
1997).

Hal ini bahwa klaim ketiga Kuhn dalam pelatihan paradigmanya yang
mengubah pengalaman dan konsep terkait sehingga kita berada pada kondisi
melihat hal-hal yang sebelumnya tidak miliki kapasitas untuk mengalami dan
mengenali. Paradigma ini menyinggung pada paradigma ilmiah dan paradigma
social yaitu yang disampaikan oleh (Ambo, 2010) bahwa paradigma ilmiah
meliputi paradigma fakta sosial dan paradigma perilaku sosial. Paradigma fakta

12
sosial menemukan bahwa ada sesuatu di luar diri manusia yang dapat memaksa
dirinya untuk melakukan sesuatu agar dapat berperilaku sesuai dengan apa yang
ada di luar dirinya, sehingga perilaku seseorang dapat dikontrol. Fakta sosial
meliputi norma-norma, nilainilai, adat istiadat dan aturan-aturan yang bersifat
memaksa dan mengikat. Paradigma fakta sosial ini dipelopori oleh Emile
Durkheim.

Fokus kajian dalam penelitian sosiologi meliputi struktur sosial dan


pranata social pokok pemikiran tentang fakta sosial dalam beberapa hal berikut
ini yaitu pertama model yang digunakan sebagai basis teori fakta sosial adalah
karya Emile Durkheim, khususnya The Rules of Sociological Method and
suicide Kedua yaitu teori fakta sosial lebih fokus pada struktur dan institusi
sosial dan pengaruhnya terhadap pola fikir dan perilaku individu. Ketiga yaitu
metode yang digunakan dalam paradigma fakta sosial adalah interview,
kuesioner dan perbandingan sejarah Terdapat beberapa teori yang dapat
digunakan dalam menganalisa masalah sosial yang tergabung dalam paradigma
fakta sosial, yaitu teori fungsionalisme fungsionalisme struktural, teori konflik,
teori sosiologi makro dan teori system (Lubis, 2015). Sedangkan paradigma
perilaku sosial menyatakan terdapat sesuatu yang dapat menjadi pemicu perilaku
seseorang. Dalam hal ini, perilaku seseorang ditentukan oleh stimulus yang
datang dari luar. Stimulus tersebut dapat membuat individu berfikir dan
berperilaku. Paradigma perilaku sosial meliputi tiga asumsi dasar bahwa
perilaku manusia pada dasarnya dapat dikontrol, kepribadian manusia tidak
dapat dijelaskan melalui mekanisme psikis id dan ego (Walgito, 2004), dan
perilaku manusia tidak ditentukan hanya oleh pilihan individual (Ambo, 2010).
Paradigma perilaku sosial ini dalam ilmu psikologi dikenal dengan pendekatan
behaviorisme dengan tokoh utamanya Burrhus Frederic Skinner.

Kuhn secara menyesatkan memperlakukan pembelajaran biasa tentang


konsep dan istilah seperti melihat ilusi Miiller-Lyer, di mana kita dapat
mengalami kesulitan besar dalam mengubah persepsi kita setelah kita
melihatnya. Tetapi pembelajaran biasa, di mana seseorang berurusan dengan
objek tiga dimensi yang terlihat dalam kondisi baik, tidak seperti ini karena
dalam kasus biasa kita dapat dengan mudah mengenali kesamaan antara objek
yang tidak kita perhatikan sebelumnya serta kesamaan yang sebelumnya kita
perhatikan. Pembaca akan tahu ini dari pengalaman pribadi setelah belajar untuk
mendiskriminasi berbagai hal. Karena klaim ketiga dan keempat Kuhn tidak
masuk akal, mereka tidak menimbulkan masalah untuk menguji teori secara
objektif. Dengan demikian, sejauh klaim Kuhn tentang pengaruh paradigma
pada persepsi masuk akal, mereka tidak menimbulkan masalah untuk teori
pengujian secara objektif (Couvalis, 1997).

Klaim ketiga dan keempat Kuhn ini bersinggungan dengan paradigma


secara alamiah yang mengacu pada paradigma definisi sosial yang diprakarsai
oleh Weber yang memusatkan perhatiannya tentang tindakan sosial dan interaksi
sosial sosial. Tindakan sosial diartikan sebagai tindakan individu yang
13
mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada orang
lain. Weber mendefinisikan tindakan sosial adalah tindakan individu yang
mempunyai pemaknaan berdasarkan subyektivitas dirinya dan diarahkan pada
orang lain. Sehingga, Weber mengarahkan sosiologi sebagai ilmu yang berusaha
memaknai dan memahami tindakan sosial dan berbagai interaksi sosial untuk
memperoleh penjelasan kausal. Sehingga sosiologi kontemporer juga disebut
sosiologi interpretatif (Ambo, 2010). Paradigma definisi sosial ini tidak berpijak
pada fakta sosial yang dianggap obyektif, yaitu struktur dan pranata sosial, tetapi
pada proses berpikir manusia. Sehingga dalam memaknai realitas dan interaksi
sosial, manusia diposisikan sebagai pelaku yang natural dalam mengekspresikan
tindakannya. Sehingga, tindakan dan interaksi sosial terjadi karena kemauan
individu dan masyarakat itu sendiri. Maka, tindakan sosial tersebut tidak terpusat
pada struktur-struktur sosial, tetapi pada definisi bersama berdasarkan perspektif
masing-masing individu dan kelompok sosialnya.

Karya Stephen Toulmin pada tahun 1972, Human Understanding , Stephen


Toulmin berpendapat bahwa gambaran sains yang lebih realistis daripada yang
disajikan dalam The Structure of Scientific Revolutions akan mengakui fakta
bahwa revisi dalam sains terjadi lebih sering, dan jauh lebih dramatis daripada
yang dapat dijelaskan. dengan model revolusi / sains normal. Dalam pandangan
Toulmin, revisi semacam itu terjadi cukup sering selama periode yang oleh
Kuhn disebut "sains normal". Agar Kuhn menjelaskan revisi semacam itu dalam
kerangka solusi teka-teki non-paradigmatik dari sains normal, dia perlu
menjelaskan apa yang mungkin merupakan perbedaan tajam yang tidak masuk
akal antara sains paradigmatik dan non-paradigmatik (Tolumin, 1972).

2.4 Catatan Kemajuan Kuhn

Kemajuan dalam klaim paradigma Kuhn bahwa akunnya kompatibel


dengan pandangan bahwa kemajuan dan pertumbuhan pengetahuan terjadi
dalam sains tampaknya tidak dapat dibenarkan. Di banyak tempat, dia berbicara
seolah-olah apa yang menentukan apakah teka-teki ada atau tidak, dan apakah
itu telah diselesaikan dengan memuaskan, ditentukan oleh paradigma yang
merupakan bagiannya. Ini tampaknya menjadi konsekuensi dari tesis bahwa
pengamatan sarat paradigma. Jika demikian, tampaknya tidak ada tes
independen dari paradigma yang bersangkutan apakah kemajuan telah terjadi.
Selain itu, tampaknya oleh akun Kuhn sendiri, ia tidak berhak untuk mengatakan
bahwa keberhasilan prediktif teori dapat diukur di seluruh paradigma. Ini karena,
dia menekankan, ada banyak ketidaksepakatan rasional di seluruh paradigma
yang berhasil apakah prediksi telah berhasil (Couvalis, 1997).

Kuhn menjelaskan hal ini dengan menarik fakta bahwa memeriksa prediksi
adalah bisnis yang sulit yang membutuhkan keterampilan interpretatif yang
cukup besar - karena ketidakakuratan instrumen, gangguan konstan oleh agen
kausal yang tidak relevan, dan berbagai standar untuk teori penjurian yang

14
berlaku di seluruh paradigma (Kuhn, 1970a: 92-110; Barnes, 1982: 69-70).
Artinya, ia menjelaskannya dengan menarik varian pandangan bahwa
pengamatan ilmiah sarat teori, serta klaim bahwa standar adalah untuk beberapa
tingkat internal untuk paradigma (Couvalis, 1997).

Revolusi ilmiah merupakan konsep Thomas Kuhn yang didefinisikan


sebagai perubahan drastis dalam tahap kemajuan dan perkembangan ilmu
pengetahuan atau merupakan episode perkembangan nonkomulatif yang
didalamnya paradigma yang lama diganti seluruhnya atau sebagian oleh
paradigma baru yang dianggap berseberangan/bertentangan. Menurut Kuhn
bahwa kemajuan ilmiah itu pertama-tama bersifat revolusioner,cepat dan drastis
bukan maju secara kumulatif. Menurut Kuhn, ini menunjukkan bahwa revolusi
ilmiah nonkumulatif untuk menuju ke perkembangan episode baru yang mana
sebuah paradigma yang lama diganti secara keseluruhan atau sebagian oleh yang
baru dan menggantikannya, sehingga berakibat pada perbedaan mendasar antara
paradigma lama ke paradigma baru (Kuhn, 1962). Pemikiran Thomas Kuhn
yang radikal dan progresif terpengaruh dari pengalamannya seorang fisikus yang
diminta mengajar Mekanika Klasik pada tahun 1947. Tugas tersebut
mengarahkannya untuk mempelajari mekanika Aristoteles yang
melatarbelakangi mekanika Galileo Galilei dan Isac Newton (Lubis, 2015).

Mengingat semua ini, tampaknya Kuhn tidak cukup menjelaskan


bagaimana dia dapat mempertahankan tesis yang kemajuan sains. Namun,
pembaca akan ingat bahwa Kuhn mengatakan bahwa seseorang yang
mempelajari kedua paradigma dari paradigma tidak akan dapat menggambarkan
masalah yang masing-masing telah diselesaikan dengan cara yang independen
dari kedua tradisi. Orang seperti itu akan dapat memutuskan bahwa pekerjaan
yang dilakukan dalam paradigma nanti telah memecahkan lebih banyak masalah
(Kuhn dalam Couvalis, 1997). Keberatan yang jelas untuk ini adalah, meskipun
mungkin deskripsi dari sudut pandang yang berbeda dari keduanya, oleh akun
Kuhn itu tidak dapat independen dari paradigma apa pun. Tidak jelas, kemudian,
bagaimana akun yang diberikan dari sudut pandang itu harus disukai secara
rasional karena lebih dibenarkan secara objektif.

Revolusi ilmiah dalam perspektif Kuhn terjadi melalui beberapa lompatan-


lompatan radikal dan revolusioner sebagai berikut. Model yang dikembangkan
Thomas Kuhn pada paradigm I berlangsung normal science. Pada periode ini
terjadi akumulasi ilmu pengetahuan yang mana para ilmuan berusaha
mengembangkan paradigma yang sedang menjadi mainstream atau yang paling
banyak berpengaruh. Kemudian dalam perkembangannnya paradigma lama
mengalami kelumpuhan analitik atau tidak mampu memberi jawaban dan
penjelasan terhadap banyaknya persoalan yang timbul. Pada fase ini, para
ilmuan tidak mampu lagi mengelak dari pertentangan karena terjadi banyak
penyimpangan. Fase inilah yang disebut fase anomalies Akibat yang muncul
karena banyaknya anomali, maka timbullah crisis.31 Pada fase krisis ini,
paradigma mulai diragukan kebenarannya. Krisis tersebut terjadi dengan
15
hebatnya, kemudian mengantarkan jalan untuk menuju fase revolusi
(revolution). Pada fase revolusi inilah kemudian muncul paradigm II32 yang
memiliki jawaban atas persoalan yang muncul dari paradigma sebelumnya.
(Damsyid,

Latar belakang anomali terjadi yakni ketidakselarasan antara kenyataan


yang ada dengan paradigma-paradigma yang digunakan ilmuwan. Anomali
dalam fase ini dijadikan sebagai syarat awal terjadinya proses penemuan baru.
Yakni, ketika ada kesesuaian antara fakta baru dengan teori yang lama. Anomali
terjadi karena paradigma pertama tidak mampu memberikan penjelasan dan
menjawab terhadap persoalan yang timbul secara memadai dan akhirnya terjadi
penyimpangan (Kuhn, 1962).

Sebagaimana dijelaskan Kuhn bahwa ketika penyimpangan memuncak,


suatu krisis akan muncul dan paradigma itu sendiri mulai disangsikan
validitasnya. Seringkali sebuah paradigma baru lahir menjadi embrio,
sebelumnya terjadi krisis lambat laun berkembang jauh secara eksplisit. Namun
anomaly tidak dapat terjadi berulang kali. Bila hal demikian ditemui maka
paradigma tersebut mengalami krisis dan gugur sebagai paradigma yang absah
untuk kemudian digantikan oleh model baru yang membentuk paradigma baru
pula. Adanya anomaly ini merupakan prasyarat bagi penemuan baru yang
akhirnya dapat mengakibatkan perubahan paradigma. Anomali muncul hanya
dengan latar belakang yang disediakan oleh paradigma (Kuhn, 1962).

Revolusi Ilmu (scientific revolution) adalah terjadinya lompatanlompatan


dan perubahan-perubahan secara drastis. Menurut Kuhn proses revolusi ilmu
pengetahuan dapat dikatakan sebagai proses terbentuknya sejarah ilmu
pengetahuan. Revolusi ilmiah pada akhirnya akan memunculkan paradigma
berdasarkan studi ilmiah baru yang dikaji berdasarkan deteksi baru menjadi teori
baru berada dalam tataran unggul dalam membentuk paradigma baru dengan
sudut pandang baru dan teknik metodologinya lebih unggul dibanding
paradigma lama dalam memecahkan masalah yang timbul (Kuhn, 1962).

2.5 Feyereband

Implisit dalam sejumlah ucapan Kuhn adalah beberapa balasan atas kritik
tersebut. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya dalam bab ini, Kuhn
mengatakan bahwa sebagian besar masalah ilmiah secara langsung atau tidak
langsung ditimbulkan oleh alam. Ini menunjukkan bahwa masalah yang sains
coba selesaikan ada secara objektif dan dapat dirasakan sebagian besar secara
independen dari paradigma. Jika adanya masalah sebagian besar independen dari
paradigma, mungkin dipikirkan bahwa apa yang merupakan memecahkan
masalah juga sebagian besar independen dari paradigma. Tetapi, jika kita
mencatat secara rinci pandangan Kuhn yang dinyatakan, sulit untuk melihat
bagaimana masalah dapat langsung ditimbulkan oleh alam, karena dia dengan

16
jelas memegang bahwa pengamatan sarat paradigma dan sarat teori (Couvalis,
1997).

Namun, mungkin dapat memahami klaim bahwa banyak masalah dalam


sains secara tidak langsung disebabkan oleh alam. Kuhn hanya memegang
bahwa paradigma dan teori-teori yang mereka mengandung sebagian
mempengaruhi persepsi, bukan persepsi yang teoritis melalui dan melalui. Objek
terang di langit dapat dianggap sebagai bintang, planet atau dewa oleh orang-
orang dalam paradigma yang berbeda, tetapi itu akan dianggap sebagai sesuatu
yang menonjol oleh pengamat mana pun. Mengingat hal ini, seseorang dapat
memahami bagaimana gerakannya akan menimbulkan masalah bagi para
ilmuwan apa pun paradigma yang mereka kerjakan. Misalnya, Arah apa yang
akan dilakukan selanjutnya? Seberapa cerah akan itu? Seberapa besar
tampilannya di masa depan? Manfaat relatif teori dalam pemecahan masalah
mungkin dinilai secara objektif secara numerik dengan menghitung berapa
banyak hal yang mereka prediksi. Tentu saja, dalam ilmu kehidupan nyata,
prediksi hanya dikonfirmasi secara kasar tetapi seseorang masih dapat mengukur
apakah teori dalam satu paradigma lebih benar dalam prediksinya daripada teori
dalam paradigma lain (Couvalis, 1997).

Feyerabend berusaha membebaskan para ilmuan dari kungkungan metode.


Baginya, peran metode dalam ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dengan
peran ilmuan itu sendiri. Sejarah perkembangan Ilmu pengetahuan menunjukkan
bahwa para ilmuan besar seperti Galileo, Newton, Eintstein dan yang lainnya,
tidak terikat oleh metode-metode yang terlampau baku. Mereka berhasil
memajukan ilmu pengetahuan berkat kebebasan mereka untuk merumuskan
sendiri secara kritis cara-cara untuk melihat realitas.

Feyerabend adalah seorang pemikir bercorak post-modern yang kritis


terhadap keberadaan naras-narasi besar dalam ilmu pengetahuan modern.
Narasi-narasi tersebut perlahan tapi pasti berubah menjadi semacam ideology
yang mengatasnamakan ilmu pengetahuan. Melalui anarkisme epitemologis,
Feyerabend pada dasarnya menolak kepatuhan mutlak pada metode-metode
dalam ilmu pengetahuan. Baginya, apa yang dapat dicerap oleh para ilmuan
hanya menggambarkan kapasitasnya untuk mengetahui, dan sama sekali tidak
ada kaitannya dengan kebenaran tentang realitas itu sendiri (Tahir, 2016).

Feyerabend menganggap bahwa falsifikasi yang digagas oleh Popper,


dalam beberapa hal, tidak relevan dengan tujuan memajukan ilmu pengetahuan.
Begitu juga dengan revolusi pengetahuan yang digagas oleh Kuhn. Feyerabend
menyebut bahwa satu-satunya jalan untuk memajukan ilmu pengetahuan adalah
dengan membebaskannya dari segala macam aturan-aturan metodik yang
mengikat. Bagi Feyerabend, keberadaan metode-metode yang kaku tersebut
telah menjadikan ilmu pengetahuan tak ubahnya sebuah ideology yang
menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Padahal, kebenaran tentang
sesuatu harus diserahkan sepenuhnya pada objek kajian itu sendiri, tanpa
17
memaksakan kerangka yang dibuat para ilmuan atas objek (atau yang dianggap
begitu) itu sendiri. Anti metode, dengan demikian menjadi salah satu prinsip
yang dapat digunakan untuk membebaskan ilmu pengetahuan dari metode-
metode ilmu yang telah berubah menjadi ideology. Secara operational,
penerapan prinsip anti-metode dapat dilakukan dengan membiarkan sebanyak
mungkin teori untuk tumbuh dan bersaing, atau yang disebut Feyerabend sebagai
proliferasi teori. Untuk kepentingan itulah maka Feyerabend menyerukan bahwa
satu-satunya yang tidak menghalangi kemajuan teori adalah membiarkan segala
sesuatunya berjalan sebebas-bebasnya (Tahir, 2016).

Penggunaan metode tertentu untuk mendapatkan pengetahuan tertentu


telah dikritik oleh Feyerabend. Ia menganggap bahwa telah terjadi banyak
kesalahpahaman dalam memahami penggunaan metode oleh para Ilmuan.
Awalnya, para ilmuan melihat Galileo, Kepler, Newton dan yang lainnya
sebagai orang-orang yang sangat mematuhi penggunaan metode tertentu dalam
mengembangkan proyek keilmuan mereka. Mereka percaya bahwa Imuan-
ilmuan yang disebut di atas hanya mengakui bahwa satu-satunya jalan untuk
memajukan ilmu pengetahuan adalah dengan bantuan metode khusus. Menurut
Feyerabend, dalam kenyataannya tokoh-tokoh besar tersebut sama sekali tidak
menuruti satu metode tertentu, alih-alih mereka memilih untuk menggunakan
cara-cara yang eklektik. Feyerabend menyebut bahwa Galileo di satu sisi dapat
dikatakan seorang yang empiris, namun di saat-saat lainnya ia tampak sebagai
seorang rasionalis yang keras kepala dan tidak peduli pada hasil-hasil
pengamatan. Begitu halnya dengan Newton yang melakukan penelitian di
bidang mekanika dan optic. Bagi Feyerabend, jika berkaca pada sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan, maka satu-satunya cara yang tampaknya tidak
akan menghambat kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri adalah dengan
membiarkan segala bidang ilmu berkembang dengan bebas tanpa dibatasi oleh
metode-metode tertentu (Preston, 1999).

Pendapat dari Kuhn yakni pertama, Kuhn berpendapat bahwa akan ada
perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara rasional antara para penjunjung
tinggi paradigma yang berbeda tentang prediksi dan masalah mana yang lebih
penting. Ini berarti bahwa ukuran numerik dari kekuatan prediktif atau kapasitas
pemecahan masalah dari teori yang berbeda akan sedikit digunakan dalam
memutuskan manfaat objektif mereka tanpa akun berbasis objektif mengapa
beberapa prediksi atau masalah lebih penting daripada yang lain. Kedua,
menurut Kuhn, apakah sebuah prediksi benar-benar telah berhasil atau sebuah
masalah telah benar-benar diselesaikan harus sangat tergantung pada asumsi
yang bergantung pada paradigma- tergantung. Tetapi ini berarti bahwa teori
tidak dapat dibandingkan secara objektif untuk kapasitas pemecahan masalah
mereka. Sebagai contoh, pengamatan Galileo tentang apa yang disebutnya 'fase
Venus' hanyalah kemenangan prediktif utama untuk teori Copernican jika kita
berasumsi bahwa apa yang sebenarnya kita lihat melalui teleskop adalah Venus
close up. Jika apa yang kita lihat adalah ilusi yang diproduksi oleh teleskop atau
bintang aneh, ini seharusnya tidak dihitung mendukung teori Copernican karena

18
tidak ada hubungannya dengan menilai prediksi teori (Couvalis, 1997).

Feyerabend berpendapat bahwa memecahkan masalah kecil tidak menarik


bagi tujuan sains, yaitu memberi kita teori menyeluruh yang memajukan
pengetahuan kita. Dia mengatakan bahwa Kuhn gagal membedakan ilmu
pengetahuan dari kegiatan seperti kejahatan terorganisir, di mana tujuan
utamanya adalah memecahkan masalah untuk menghasilkan uang. Instrumen
dan teknik baru dan semakin dapat diandalkan terus dikembangkan oleh para
penjahat untuk memecahkan brankas, merampok bank, menggelapkan, dan
sebagainya. Kejahatan terorganisir adalah ilmu normal Kuhnian yang
memajukan teknologi dan mengumpulkan fakta kecil tentang dunia. Namun, itu
tidak bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan kita tentang hukum dasar yang
mendasari apa yang terjadi - dan ini adalah tujuan sains. Feyerabend
berpendapat bahwa untuk memajukan pengetahuan seperti itu, seseorang harus
membantu teori untuk mengembangkan yang merupakan saingan teori yang
diterima secara luas. Keberadaan teori-teori seperti itu sering membantu dan
kadang-kadang perlu untuk menemukan ketidakmampuan dalam teori yang
diterima. Banyak ketidakmampuan dalam teori tidak akan muncul sampai teori
saingan yang sangat berkembang telah matang. Dengan demikian, tidak masuk
akal untuk menunggu krisis membangun sebelum kita mengembangkan jenis
teori baru di bawah paradigma yang berbeda. Bahkan teori yang sangat sukses
harus ditantang oleh saingan untuk memfasilitasi kemajuan (Couvalis, 1997).

Anti ilmu pengetahuan yang dimaksud oleh Feyerabend merupakan


seperangkat gagasan yang berisi kritik mendalam atas peran dan posisi ilmu
pengetahuan dalam masyarakat luas. Melalui anti ilmu pengetahuan, Feyerabend
berusaha membebaskan masyarakat dari ideology ilmu pengetahuan. Feyerabend
beranggapan bahwa para ilmuan telah menyalahgunakan fungsi ilmu
pengetahuan demi mendapatkan kekuasaan. Cara yang digunakan para
punggawa ilmu pengetahuan tersebut bermacam-macam, mulai dari memanfaan
system pendidikan (baik sekolah maupun pergurian tinggi) (Tahir, 2016).

Karya Kuhn The Structure of Scientific Revolutions (1962/1970) banyak


mengkritik tajam tentang pandangan positivisme dan falsifikasi Popper.
Perkembangan ilmu pengetahuan menurut positivisme bersifat kumulatif yang
artinya berkembang terus sebagai akumulasi yang terjadi yang disebabkan oleh
riset para ilmuwan sepanjang sejarah perkembangannya. Selain itu, positivisme
juga menggunakan prinsip verifikasi untuk menentukan kriteria keilmiahan dan
ketidakilmiahan suatu teori atau proposisi. Prinsip verifikasi ini ditolak oleh
Popper dan mengantinya dengan falsifikasi atau segala sesuatu yang dapat
dibuktikan salahnya suatu teori, proposisi atau hipotesis (Ulya & Nushan Abid,
2015:253). Popper megemukakan dalam teorinya bahwa pengajuan hipotesis
yang kemudian disusul oleh upaya untuk membuktikan kesalahan hipotesis itu
dalam perkembangan ilmiah. Hipotesis telah berubah menjadi tesis (teori) jika
sudah tidak ditemukan kesalahan hipotesis lagi, dengan kata lain jika belum
sampai ditemukan kesalahan teori oleh ilmuwan lain maka kebenaran teori itu
19
dapat diterima.

Intepretasi paradigma Khun terhadap problem-based learning dan


discovery learning. Problem Based Learning (PBL) merupakan proses
pembelajaran dalam suatu lingkungan pekerjaan yang diawali dari masalah-
masalah yang ditemukan. Metode ini menggunakan masalah sebagai langkah
awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru. Metode ini
dalam kegiatan pembelajaran juga berfokus pada keaktifan peserta didik. Peserta
didik tidak lagi seperti pada metode pembelajaran konvensional diberikan materi
belajar secara satu arah (Muhson, 2009:173). Dutch mendefinisikan PBL sebagai
metode instruksional yang menantang siswa untuk mencari solusi bagi masalah
yang nyata agar bekerja sama dalam kelompok, masalah ini diguakan untuk
mengingatkan rasa keingintahuan serta kemampuan analitis dan inisiatif atas
materi pelajaran (Amir, 2009:21).

Discovery learning (DL) menurut Djamarah adalah belajar mencari dan


menemukan sendiri atau mengarah pada terbentuknya kemampuan untuk
melakukan penemuan bebas di kemudian hari. Siswa berpeluang untuk mencari
dan menemukan sendiri inti dari pembelajaran yang ingin dicapai bukan dari
guru yang menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk akhir, seperti rumus yang
instan. Guru hanya membantu, memfasilitasi, dan mengarahkan sehingga tujuan
dan proses pembelajaran dapat tercapai (Djamarah, 2002:7).

Peningkatan kualitas pembelajaran melalui PBL dan DL merupakan salah


satu alternatif solusi yang dapat mengentaskan permasalahan pendidikan.
Memosisikan peran guru sebagai perancang dan organisator pembelajaran
sehingga siswa mendapat kesempatan untuk memahami dan memaknai melalui
aktivitas belajar merupakan fokus utama dalam upaya peningkatan kualitas
pembelajaran. Paradigma Kuhn yang berorientasikan pada Revolusi Sains dan
menemukan teori baru dapat diintepretasikan pada model pembelajaran modern
seperti PBL dan DL. Paradigma Kuhn ini sangat mirip dan berdampingan
dengan tujuan dua model pembelajaran di atas. Tujuan dari ketiganya adalah
untuk menemukan hal baru. Model pembelajaran PBL dan DL juga sama
memiliki tujuan agar siswa dapat menemukan ilmu atau pengetahuan dengan
caranya sendiri. Oleh karena itu, dua model pembelajaran ini dapat dikatakan
mereduksi dari paradigma Thomas S. Kuhn (Almas, 2018).

2.6 Pandangan Kuhn Tentang Kumulativisme

Menurut Thomas Kuhn Positivisme memandang perkembangan ilmu


pengetahuan bersifat kumulatif (Ulya & Abid, 2015), dalam arti bahwa setiap
teori berikutnya mengandung lebih banyak klaim yang benar (Couvalis, 1997).
Dengan catatan kumulatif, bagian teori yang lebih tua yang secara prediktif
berhasil terus menjadi benar secara kasar, sehingga teori yang lebih tua dapat
dikatakan kira-kira benar dalam domain terbatas. Jadi, menurut pandangan

20
kumulativisme, suatu teori itu bersifat relatif. Alasan utama Kuhn untuk
menolak kumulativisme adalah bahwa ketika satu paradigma menggantikan
paradigma lain, teori-teori yang terkandung dalam paradigma seringkali
memiliki asumsi metafisik yang sangat berbeda. Jadi jika teori-teori yang lebih
baru benar, tidak ada bagian dari teori-teori yang lebih lama yang bisa mendekati
benar. Kuhn berfikir bahwa komponen yang relevan adalah makna dari istilah
deskriptif yang identik dengan asumsi metafisis yang fundamental dari
paradigma teori itu berasal. Ungkapan tersebut membuatnya berada dalam teka-
teki karena jika asumsi itu salah secara radikal di dunia ini, tampaknya teori itu
pasti merujuk ke dunia lain.

Telah diperbincangkan bahwa cara yang paling masuk akal untuk


menyelesaikan teka-teki dan menyelamatkan kumulativisme adalah dengan
mengasumsikan bahwa cara teori menghubungkan ke dunia tidak melalui asumsi
metafisik yang mendasarinya tetapi melalui hubungan sebab akibat yang
menetapkan referensi istilah secara langsung (teori referensi kausal). Teori
referensi kausal akan memungkinkan kita untuk mempertahankan intuisi bahwa
meskipun ada perubahan mendasar dalam konsepsi ilmuwan tentang sifat
besaran fisik para ilmuwan terus mengacu pada besaran yang sama. Sebaliknya,
Kuhn tampaknya berkomitmen pada pandangan bahwa bahkan sebelum
kejayaan teori Einstein, beberapa ilmuwan telah secara radikal mengubah
mekanika Newton sehingga tidak lagi mengacu pada hal yang sama.

Teori referensi kausal diterima karena dapat membangun aumsi dasar


Kuhn bahwa pendapat teoritis tentang dunia dapat membangun referensi pada
item-item riil. Istilah teoritis dikaitkan dengan sebab-sebab dari berbagai item
yang diamati untuk dijelaskan. Teori ilmiah menjelaskan dan memprediksi
aspek-aspek dari peristiwa yang riil yang membawa kesulitan. Citra kumulatif
tentang pertumbuhan ilmiah dapat diterapkan pada teori-teori yang diyakini
ilmuwan cukup benar. Teori phlogiston merupakan teori spekulatif yang tidak
berhasil memprediksi luasnya kenyataan-kenyataan baru. Namun phlogiston
secara sistematis berkaitan dengan Hidrogen. Pertumbuhan ilmiah mungkin
dipersalahkan tetapi tidak sungguh dipersalahkan.

21
BAB III

PENUTUP

3.1 Hasil Diskusi

Pertanyaan dari Bu Santy Nurmalasari

Apa saja sumbangan dari paradigma Thomas S. Kuhn dalam Ilmu Dan
Pendidikan yang bisa diterapkan untuk kita sebagai penerus Pendidikan?

Jawaban: Intepretasi Paradigma Khun terhadap Problem Based Learning


dan Discovery Learning. Problem Based Learning (PBL) merupakan proses
pembelajaran dalam suatu lingkungan pekerjaan yang diawali dari masalah-
masalah yang ditemukan. Metode ini menggunakan masalah sebagai langkah
awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru. Metode ini
dalam kegiatan pembelajaran juga berfokus pada keaktifan peserta didik. Peserta
didik tidak lagi seperti pada metode pembelajaran konvensional diberikan materi
belajar secara satu arah (Muhson, 2009:173). Dutch mendefinisikan PBL sebagai
metode instruksional yang menantang siswa untuk mencari solusi bagi masalah
yang nyata agar bekerja sama dalam kelompok, masalah ini diguakan untuk
mengingatkan rasa keingintahuan serta kemampuan analitis dan inisiatif atas
materi pelajaran (Amir, 2009:21).

Discovery learning (DL) menurut Djamarah adalah belajar mencari dan


menemukan sendiri atau mengarah pada terbentuknya kemampuan untuk
melakukan penemuan bebas di kemudian hari. Siswa berpeluang untuk mencari
dan menemukan sendiri inti dari pembelajaran yang ingin dicapai bukan dari
guru yang menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk akhir, seperti rumus yang
instan. Guru hanya membantu, memfasilitasi, dan mengarahkan sehingga tujuan
dan proses pembelajaran dapat tercapai (Djamarah, 2002:7).

Kuhn mengartikan dan mengidentifikasi paradigma dalam teori belajar


sebagai sebuah “skema”. Skema akan berubah terus menerus seiring dengan
perkembangan mental anak dalam belajar. Kuhn sendiri mendefinisikan skema
sebagai suatu struktur mental atau kognisi yang dengannya seseorang secara
intelektual beradaptasi dan mengoordinasi lingkungan sekitarnya (Zubaedi dkk,
2007:208). Anak akan menghadapi rangsangan atau pengalaman baru yang tidak
sesuai dengan skema yang ada ketika dalam perkembangan belajarnya dan juga
tidak dapat mengasimilasikan pengalaman barunya dengan skema yang ia miliki,
hal ini yang kemudian dapat diartikan dengan anomali Kuhn dalam belajar.

22
Keadaan ini akan menuntut anak untuk mengadakan akomodasi atau membentuk
skema baru yang dapat sesuai dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi
skema yang ada sehingga sesuai dengan data anomali. Perubahan ini yang
kemudian Kuhn sebut dengan revolusi skema. Guru perlu mendesain proses
belajar mengajar yang kemudian dapat merangsang atau menyediakan data-data
anomali, sehingga dapat mengubah skema pengetahuan murid ke arah suatu
skema yang lebih baik. Murid sendiripun tidak akan berkembang dan
pengetahuannya tetap seperti semula apabila murid tersebut tidak mau
mengubah skema atau merevolusi pengetahuan yang telah ia miliki ke arah
skema yang lebih unggul.

Pertanyaan dari Bu Eneng Rahmawati

Apa yang dimaksud dengan sains mencoba menyelesaikan secara objektif dan
dapat dirasakan sebagain besar secara independent dari paradigma, serta
implikasi contohnya

Jawaban : Karakter dan prinsip tersebut memang diperlukan untuk


memisahkan antara sains dengan kaidah keilmuan yang lain. Adapun karakter
dan prinsip dari sains itu sendiri yaitu diantaranya pertamasains harus rasional
maksudnya adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Itu sebabnya sains
bisa didapatkan melalui pemikiran yang menggunakan nalar secara logis, kedua
sains harus objektif yang berarti sesuai dengan fakta tanpa dipengaruhi oleh
pandangan pribadi. Dalam hal ini, sains tidak boleh menutupi fakta yang ada,
apalagi sampai mengubah fakta-fakta di lapangan. Jika pun ada pendapat atau
pandangan pribadi, maka pendapat tersebut juga harus didasarkan pada prinsip
dan karakter sains yang ada, ketiga sains harus dibuktikan secara empiris melalui
pengamatan, eksperimen, studi, dan penelitian yang mendalam akan suatu hal.
Setelah pengamatan empiris tersebut dilakukan, maka seorang ilmuwan dapat
membentuk sebuah model dasar yang bisa dijadikan panduan dalam membuat
hipotesis, keempat sains harus bersifat akumulatif artinya, sains harus terbuka
dengan segala kemungkinan yang ada, teori atau hipotesa terbaru harus bisa
menyempurnakan teori dan hipotesa sains yang lama.

Selain itu sains sebagain besar secara independent dari paradigma


maksudnya adalah sians tidak bergantung pada ilmu lain atau bisa dikatakan
dapat berdiri sendiri atau dapat berhubungan dengan ilmu yang lainnya. Selain
itu juga Sains bersikap netral dan tidak politis yang berarti dalam hal prinsip,
sains harus dapat menunjukkan bahwa segala yang digagas olehnya adalah netral
dan murni ilmu pengetahuan. Sains bukanlah sebuah keilmuan yang dapat
dijadikan propaganda politis bagi siapa pun. Itu sebabnya sains wajib bersikap
netral dan tidak bersifat politis terhadap siapa atau apapun.

Siapakah yang menyatakan bahwa pengetahuan ilmiah itu berkembang secara


kumulatif? Jawab: Kaum positivisme.

23
Pertanyaan Arizaldy

Apa perbedan antara Popper dan Kuhn dari ilmu pengethauan yang dikaikan
dengan contoh Pendidikan?

Jawaban: Menurut Popper tak ada fondasi yang tak tergoyahkan bagi ilmu
pengetahuan. Semua pengetahuan bersifat tentatif (Syamsuri, 2013). Menurut
Popper, teori-teori senantiasa dapat disalahkan. Karena itu tidak ada teori yang
benar, pasti dan mantap. Jika teori tidak ada yang pasti, maka tidak ada teori
yang diterima tanpa sikap kritis. Popper kemudian mengritik empirisme yang
menyatakan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah pengalaman. Kesalahan
utama kaum empiris adalah tidak dapat membedakan antara pernyataan
mengenai asal-usul (context of discovery) teori dalam ilmu pengetahuan dan
pernyataan mengenai validitasnya (context of justification.). Popper berangapan
bahwa suatu teori hanya akan diterima bila sudah dapat meruntuhkan teori yang
lama (sebelumnya.) Pengujian atas kekuatan teori dilakukan melalui tes suatu
teori terbukti salah, maka teori tersebut dianggap batal, sedangkan teori yang
bertahan dan lolos dari pengujian, diterima (corroboration) Dcngan demikian,
ilmu pengetahuan berkembang dan maju bukan melalui proses akumulasi tetapi
lewat proses eliminasi yang ketat terhadap kemungkinan kesalahan dan
kekeliruan. Menurut Popper, perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarahnya
tidak selalu melalui logika penemuan yang didasarkan pada metodologi yang
ketat. Ide baru bisa saja berupa kilatan intuisi atau refleksi religius. Observasi
tidak pernah mendahului teori seperti yang diyakini positifisme logis karena
semua observasi bermuatan teori dan merupakan interpretasi fakta-fakta
(Syamsuri, 2013)

Pandangan Popper tentang falsifikasi dan evolusi ilmu pengetahuan


tersebut dikritrik oleh Thomas S. Kuhn, seorang failasuf ilmu pengetahuan yang
menggemparkan wacana falsafat ilmu lewat bukunya The Structure of Scientific
Revolution (1962) Menurut Kuhn, Popper menjungkir-balikkan kenyataan
dengan terlebih dahulu menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui hipotesis
yang disusul dengan upaya falsifikasi. Kuhn memertanyakan apakah yang diuji
itu ‘hipotesis’ atau ‘teori’? Hipotesis yang diajukan untuk diuji biasanya
dihubungkan dengan korpus penelitian yang diterima. Jika pengujian berhasil,
maka ilmuwan telah menemukan sesuatu, atau setidaknya ia telah memecahkan
teka-teki yang diduganya semula. Jika tidak, ilmuwan harus meninggalkan
keseluruhan teka-teki itu atau menyelesaikannya dengan mengajukan hipotesis
baru.

Kuhn pada dasarnya menyerang tesis kesatuan ilmu yang selama ini
diadopsi positifisme dan menurutnya masih meninggalkan jejaknya pada Popper.
Menurut Kuhn ilmu tidaklah satu melainkan plural, ilmuwan selalu bekerja di
bawah satu payung paradigma yang memuat asumsi ontologis, metodologis, dan
struktur nilai. Sebagai konsep, paradigma memiliki definisi yang jumlahnya
berkembang sampai 22 buah definisi yang secara garis besar dapat dirangkum
menjadi tiga definisi. Pertama, kerangka konseptual untuk menglasifikasi dan

24
menerangkan obyek-obyek fisikal alam. Kedua, patokan untuk menspesifikasi
metode yang tepat, teknik-teknik, dan instrumen dalam meneliti obyek-obyek
dalam wilayah yang relevan. Ketiga, kesepakatan tentang tujuan-tujuan kognitif
yang absah. Oleh para ilmuwan, paradigma dijadikan kerangka konseptual
dalam memersepsi semesta. Karena itu, tidak ada observasi yang netral. Semua
pengalaman perseptual ilmuwan selalu dibentuk oleh kerangka konseptual yang
digunakan. Misalnya, Aristoteles melihat gerak benda jatuh sebagai garis lurus,
sedangkan Newton memersepsinya sebagai gerak pendulum. Hal ini menurut
Kuhn disebabkan oleh perbedaan paradigma yang dianut keduanya. Aristoteles
dan Newton mengadopsi asumsi ontologis yang berbeda tentang semesta.

Sejak Popper, perdebatan dalam wacana falsafat ilmu pengetahuan adalah


tentang kemajuan ilmu pengetahuan. Popper sendiri meyakini ilmu pengetahuan
bergerak secara evolusioner ilmu pengetahuan mendekati kebenaran. Popper
meyakini ada akumulasi kognitif yang memungkinkan ada perbandingan
rasional antara teori satu dan teori lain. Artinya antara teori satu dengan teori
lainnya terdapat semacam kesinambungan. Kuhn menolak gagasan Popper ini.
Kuhn mengajukan prinsip ketidakterbandingan. Prinsip ini pada dasarnya
hendak mengatakan bahwa kesinambungan antar teori adalah mustahil karena
masing-masing bekerja di bawah payung paradigmanya masing-masing. Para
ilmuwan sudah dituntun dalam merumuskan masalah, pola riset, dan lain
sebagainya. Kuhn memutuskan garis kesinambungan ilmu pengetahuan yang
diyakini Popper dan menggantinya dengan ketidaksinambungan (Syamsuri,
2013).

Bagaimana paradigma membentuk persepsi, penjelasan materi sebelum


praktikum pada pendidikannya bagaimana?

Jawaban : Dalam hal ini memang sebelum kita menguji teori aatu menguji
paradigma suatu cara pikir, kita harus terlebih dahulu untuk mengetahui konsep
apa yang ingin dibahas dan diteliti lebih lanjut. Setelah itu barulah kita dapat
mempelajari lebih lanju dengan cara mengujinya apakah teori itu benar atau
tidaknya. Sains dalam hal ini mencoba menyelsaikan masalah contohnya pada
teknik pewarnaan gram bakteri untuk menentukan dan mencari perbedaan antara
bakteri postif dan bakteri negatif. Mkaa kita perlu dulu untuk membaca dan
memahami prosedur dengan baik apa yang menjadi poin utama dari yang ingin
dicari baik dalam bentuk sains secara modern ataupun sians secara konvensional
dengan menggunakan buah naga. Barulah setelah itu kita dapat langsung
menguji coba dan hasilnya mengetahui dari apa yang ditemukan. Adapun hasil
akhirnya adalah penemuan konsep persepsi yang berasal dari paradigm aatau
cara pandang kita terhadap suatu penemuan baru atau masalah.

Pertanyaan Putra Habib

Apakah teori atom itu contoh dari ilmu pengetahuan berkembang secara
kumulatif?
25
Jawab: Ya. Konsep atom pertama kali dicetuskan oleh Democritus itu
akhirnya dikembangkan oleh John Dalton pada tahun 1800-an. Sayangnya, teori
yang dibuat oleh Dalton masih belum memuaskan, sebab berdasarkan beberapa
percobaan ternyata atom masih bisa dipecah menjadi beberapa partikel
penyusunnya, yaitu: proton, neutron dan elektron. Elektron adalah bagian atom
yang bermuatan negatif, ditemukan oleh J. J. Thomson pada tahun 1897. Proton
merupakan bagian dari atom yang bermuatan positif, ditemukan oleh E.
Rutherford pada tahun 1911. Di suatu saat antara Thomson dan Chadwick, para
fisikawan menyadari bahwa seharusnya ada muatan positif di dalam atom untuk
menyeimbangkan muatan negatif elektron, sehingga dapat membentuk atom
yang bermuatan netral. Oleh karena itu siapa yang menjadi penemu proton
sering menjadi perdebatan, namun Rutherford-lah yang membuktikan ini melalui
eksperimen. Dalam eksperimen ia menemukan bahwa atom mempunyai muatan
positif yang terkonsentrasi di inti yang mengandung sebagian besar dari massa
atom. Neutron merupakan bagian atom yang tak bermuatan dan ditemukan pada
tahun 1932 oleh James Chadwick. Sejak masa Rutherford telah diketahui bahwa
nomor massa (A) dari nukleus lebih besar dari dua kali dari nomor atom (Z)
untuk sebagian besar atom. Secara esensial semua massa dari sebuah atom
terkonsentrasi dalam nukleus. Mulai dari sekitar tahun 1930 proton dan elektron
telah dianggap sebagai partikel dasar, tetapi entah bagaimana membutuhkan
sejumlah kecil elektron yang terikat di nukleus untuk meniadakan sebagian
muatan proton (pada saat ini kita tahu bahwa hal itu tidak dapat terjadi karena
tidak terdapat energi yang cukup). Akhirnya Chadwick berhasil menghitung
massa dari neutron, sehingga lengkaplah penyusun sebuah atom.

26
3.2 Kesimpulan

Kuhn mengingatkan kita bahwa ada soal penelitian dalam rasionalitas


ilmiah itu yang sebetulnya sangat ambigu. Ilmu pengetahuan di dunia berkaitan
dengan paradigma. Cara ilmuwan memandang dunia menentukan dunia macam
apa yang dilihatnya itu. Jadi pengetahuan ilmiah sama sekali bukanlah jiplakan
atau foto kopi realitas, melainkan realitas hasil konstruksi manusia. Dan bahwa
paradigma yang mendasari konstruksi itu diterima oleh komunitas para ilmuwan,
bukan karena ilmuwan itu tahu bahwa itu benar, melainkan karena mereka
percaya bahwa itu yang terbaik, yang paling menjanjikan bila digunakan dalam
riset-riset selanjutnya.

Kuhn telah berjasa besar, terutama dalam mendobrak citra filsafat ilmu
sebagai logika ilmu, dan mengangkat citra bahwa ilmu adalah suatu kenyataan
yang punya kebenaran seakan-akan sui-generis, obyektif. Di samping itu teori
yang dibangun Kuhn mempunyai implikasi yang sangat luas dalam bidang-
bidang keilmuan yang beraneka ragam. Selama lebih dari dua dekade, gagasan
Kuhn tentang paradigma menjadi bahan diskusi dalam wacana intelektual,
sejumlah kajian kritis, baik yang mendukung maupun yang menentang,
berkembang dalam berbagai kancah disiplin keilmuan, hampir semua cabang
keilmuan menyampaikan respon lewat berbagai versi yang dianggap cukup
mewakili nuansa pemikiran yang selama ini berkembang dalam disiplin ilmu
masing-masing. Paradigma sebagai kosa kata, menjadi wacana tersendiri, baik
pada level teori maupun praksis. Kata tersebut seolah menjadi sesuatu yang
hidup, tumbuh dan berkembang.

3.3 Saran

Sebagai seorang mahasiswa yang mempelajari filsafat ilmu, penting untuk


mengetahui teori-teori dan metode ilmiah pemikiran para tokoh agar dapat
menambah wawasan dan pengetahuan tentang kefilsafatan. Makalah ini terdapat
banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna, untuk itu saran dan kritik yang
membangun penulis harapkan demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan
datang.

27
Daftar Pustaka

Almas. (2018). Sumbangan Paradigma Thomas S. Kuhn dalam Ilmu Dan Pendidikan
(Penerapan Metode Problem Based Learning dan Discovery Learning). At
Tarbawi. Volume. 3, No. 1

Amir, M. T. (2009). Inovasi Pendidikan melalui Problem Based Learning:


Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pemelajar di Era Pengetahuan. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.

Couvalis G. (1997). The Philosophy of Science. Science and Objective. Great Britain:
The Cromwell Press Ltd.

Damsyid Ambo Upe. (2010). Asas-Asas Multiple Researches: Dari Nornam K.Denzim
hingga John W. Creswell dan Penerapannya. Yogyakarta: Penerbit Tiara
Wacana,

Djamarah. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.Couvalis G.


(1997). The Philosophy of Science. Science and Objective. Great Britain: The
Cromwell Press Ltd.

James A. Marcum. (2005). Thomas Kuhn’s Revolution: An Historical Philosophy of


Science New York: Coontinum.

Kuhn, Thomas S. (1962) The Structure of Scientific Revolution. Leiden: Instituut Voor
Theoretische Biologie.

Lubis, Yusuf, Akhyar, (2015). Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada,

Muhson, A. (2009). Peningkatan Minat Belajar dan Pemahaman Mahasiswa melalui


Penerapan Problem-Based Learning. Jurnal Kependidikan, 39(2).

Putra, Afiandi. (2015). Epistemologi Revolusi Ilmiah Thomas Kuhn dan


Relevansinya bagi Studi Al-Qur’an. Refleksi. Volume 15. No 1.

Ritzer, George.(2004). Sosiologi Pengetahuan Berparadigma Ganda, (terj).


Alimandan, cet. 5, Jakarta: Rajawali Press.

Syamsuri. (2013). Doktrin Obyektifisme Ilmu Pengetahuan Modern. Refleksi. Volume


13, No 14.

Tahir. (2016). Kontribusi Pemikiran Filsafat Anarkisme Epistimologis Paul K.


Feyerabend Terhadap Studi Islam. Lentera, Vol. XVIII, No. 2.

The Columbia Encyclopedia. (1963). Edisi: third, Washington D.C.: National Science
Teachers Association.

28
Toulmin, S. (1972). Pemahaman Manusia . Oxford: Clarendon Press. 

Ulya, I., & Nushan Abid. (2015). Pemikiran Thomas Kuhn dan Relevansinya terhadap
Keilmuan Islam. Fikrah, 3(2).

Walgito, Bimo. (2004). Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta: Andi

29

Anda mungkin juga menyukai