DISUSUN OLEH :
DOSEN PENGAMPU :
Dr. Paed. H. Sjaeful Anwar
Dr. Parsaoran Siahaan, M.Pd
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
kami kesehatan dan kesempatan, sehingga kami bisa menyelesaikan makalah
kami yang berjudul tentang “Revolutionary Change and Rationality: Kuhn and his
Rivals” ini.
Selanjutnya, kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah memberikan pengarahan-pengarahan sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan tepat waktu. Tidak lupa juga kepada bapak dosen dan teman-
teman yang lain untuk memberikan sarannya kepada kami agar penyusunan
makalah ini lebih baik lagi.
Demikian, semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan
umumnya semua yang membaca makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya.
Semoga, makalah ini dapat memberikan wawasan baru dan bermanfaat bagi
pembaca. Apabila terdapat kesalahan, kami mohon maaf, kritik dan saran dari
pembaca.
Penulis
Kelompok 4
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................................. i
Daftar Isi.......................................................................................................................... ii
BAB I – Pendahuluan...................................................................................................... 1
1.1...............................................................................................................................Latar Belakang
.............................................................................................................................. 1
1.2...............................................................................................................................Rumusan Mas
.............................................................................................................................. 2
1.3...............................................................................................................................Tujuan Masala
.............................................................................................................................. 2
BAB II – Pembahasan...................................................................................................... 3
2.1. Thomas Kuhn.................................................................................................... 3
2.2. Sifat Revolusi Ilmiah......................................................................................... 6
2.3. Kuhn Tentang Persepsi...................................................................................... 8
2.4. Catatan Kemajuan Kuhn .................................................................................. 14
2.5. Feyereband........................................................................................................ 16
2.6. Pandangan Kuhn Tentang Kumulativisme........................................................ 20
BAB III – Penutup .......................................................................................................... 22
3.1. Hasil Diskusi....................................................................................................... 22
3.2. Kesimpulan......................................................................................................... 27
3.2. Saran................................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 28
ii
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah filsafat ilmu ditandai oleh perdebatan intens dua kutub mengenai
bagaimana sebuah teori ilmiah dibentuk, diterima, didukung dan dipertahankan
oleh komunitas ilmiah. Di satu kutub berdirilah para filsuf empiris yang
mendukung gagasan falsifikasionisme dan empirisme logis bagi pembentukan
teori ilmiah. Kutub ini ada Karl R. Popper yang berpendapat bahwa
pembentukan konsensus teori ilmiah dicapai melalui disetujuinya aturan-aturan
3
metodologis yang berperan sebagai algoritma yang menentukan pilihan sebuah
teori. Konteks pemikiran semacam ini jelas bahwa metode ilmiah dipertahankan
sebagai tahap/langkah untuk mencapai pengetahuan dan teori ilmiah. Hanya
saja mengikuti pandangan Popper mengenai metode ilmiah tersebut tidak
diaplikasikan secara deduktif, karena peralihan dari yang partikular ke yang
universal tidak sah secara logis. “Dengan observasi terhadap angsa-angsa putih,
betapapun besar jumlahnya, orang tidak akan sampai pada kesimpulan bahwa
semua angsa berwarna putih, tetapi sementara itu cukup satu kali observasi
terhadap seekor angsa hitam untuk menyangkal pendapat tadi,” demikian Karl
R. Popper. Aplikasi metode ilmiah untuk mencapai teori dan hukum ilmiah
dilakukan dengan mengoperasikan asas falsifiabilitas atau falsifikasionisme.
Asas ini menegaskan bahwa ciri khas pengetahuan adalah dapat dibuktikan
salah. Artinya, ciri khas pengetahuan ilmiah bukan apakah pengetahuan tersebut
dapat dipertahankan atau tidak, tetapi apakah dapat dibuktikan salah atau tidak.
Suatu pengetahuan ilmiah hanya bisa dipertahankan jika tahan terhadap
falsifikasi, dan sebaliknya. Dalam aplikasi metode ilmiah, falsifikasi
memainkan peran algoritmik sebagaimana dikatakan Laudan di atas.
4
atau penelitian. Sains modern ditarik dari analogi-analogi antara tingkah laku
manusia dengan cara kerja mekanik.
Sains sekarang banyak menimbulkan efek polusi dan radiasi, namun sains
negatif itu terabaikan mengingat sains produktif akan lebih benefit
(menguntungkan) sehingga mengugah ilmuan mengeksplorasi ataupun ekspansif
untuk sebanyak mungkin menemukan sains-sains baru. Sains dalam modernitas
bersifat otoritatif bukan karena rasionalitas argumentasi, melainkan karena
propaganda (represif) lewat industri, teknologi, dan institusi-institusi ilmiah.
Sains hanya mengakomodir pandangan dunia secara ilmiah atau alamiah.
Perkembangan sains di era modern telah mendistorsi nilai-nilai religiusitas. Sains
bukan hasil dari refleksi sekumpulan kitab suci yang cenderung mengakibatkan
penolakan eksistensi Tuhan dan penciptaan. Sains telah menyebabkan teknologi
dikembangkan untuk memenuhi kesenangan-kesenangan materi (hedonis-
materialistis) dan mengorbankan alam semesta. Paradigma telah melahirkan
banyak budaya baru melalui eksperimentasi, kuantifikasi, dan prediksi.
6
berdasarkan studi ilmiah baru yang dikaji berdasarkan deteksi baru menjadi teori
baru berada dalam tataran unggul dalam membentuk paradigma baru dengan
sudut pandang baru dan teknik metodologinya lebih unggul dibandingkan
paradigma lama dalam memecahkan masalah yang timbul.
Menurut Kuhn, revolusi ilmiah muncul jika suatu paradigma lama tidak
mampu memecahkan masalah yang menyimpang dari hukum alami (anomali)
dan penyimpangan yang menumpuk kemudian menghasilkan krisis sehingga
terjadilah revolusi sains yang pada akhirnya memunculkan paradigma baru.
Dalam hal ini Kuhn beranggapan bahwa kemajuan ilmiah bersifat revolusioner.
(Putra Afiandi, 2015). Transformasi paradigma juga dapat disebut sebagai
revolusi sains dan perkembangan dari transisi yang berurutan melalui revolusi
disebut juga dengan sains yang telah matang. Contohnya adalah teori cahaya
dalam ilmu fisika yang pada awalnya dinyatakan sebagai foto atau wujud
mekanis kuantum yang memperlihatkan beberapa karakteristik gelombang dan
beberapa karakteristik partikel. Teori ini hanya berumur setengah abad untuk
dijadikan landasan riset selanjutya dan kemudian muncul teori baru dari Newton
yang menjelaskan bahwa cahaya adalah partikel yang sangat halus. Teori
Newton banyak diterima oleh pemraktik sains optik sebelum kemudian muncul
teori baru lagi dari Young dan Fresnel pada awal abad ke 19 yang lebih unggul.
Teori ini menyatakan bahwa cahaya adalah gerakan gelombang universal yang
kemudian dikembangkan oleh Planck dan Eisnten (Almas Fikri Afiq, 2018).
Menurut Kuhn yang terjadi dalam revolusi ilmiah yaitu yang pertama
dalam revolusi ilmiah para ilmuwan terkemuka yang bekerja dalam paradigma
lama dan baru tidak akan dapat mencapai penerimaan yang disetujui secara
rasional atas keunggulan paradigma baru. Sekelompok ilmuwan yang berpikiran
tradisional yang ingin tetap berpegang pada paradigma lama akan berkembang,
biasanya terdiri dari mereka yang lebih tua yang telah menggunakan paradigma
lama untuk waktu yang lama. Mereka akan dapat memberikan alasan yang baik
untuk keputusan mereka, karena alasan yang baik dipahami dalam paradigma
lama. Juga akan ada sekelompok ilmuwan pemberontak, biasanya terdiri dari
anggota yang lebih muda dari profesi yang pemikirannya tidak dibatasi oleh
paradigma lama, yang akan dapat memberikan alasan yang baik untuk
perubahan mereka ke paradigma baru. Alasan tersebut akan berkaitan dengan
fakta bahwa paradigma lama diakui secara luas memiliki masalah serius, dan
7
mereka juga akan menggunakan kriteria paradigma baru untuk menilai teori
yang dikembangkan di bawah paradigma lama sebagai tidak tepat.
8
2.3 Kuhn Tentang Persepsi
Klaim pertama adalah karena kita mengubah titik fokus kita ketika kita
dilatih dalam paradigma sehingga kita memperhatikan hal-hal yang tidak kita
sadari sebelumnya, persepsi kita berubah. Misalnya, sebagai hasil dari penunjuk
orang tua, anak memperhatikan bahwa angsa tertentu memiliki leher yang lebih
panjang daripada bebek tertentu. Dia kemudian memperhatikan bahwa leher
angsa lebih mirip satu sama lain daripada leher bebek. Sebagai hasil dari
pelatihan ini, ketika anak melihat burung, secara tidak sadar ia cenderung
berkonsentrasi pada area tertentu dan bukan area lainnya. Anak itu sekarang
dapat langsung memutuskan apakah burung itu bebek atau angsa.
Klaim Kuhn yang kedua tentang persepsi juga benar dan penting. Namun,
hal pertama yang perlu diperhatikan tentang pernyataan kedua Kuhn adalah
bahwa tidak ada perubahan pengalaman seseorang yang benar-benar terjadi
dalam kasus-kasus seperti itu - karena siapa pun dapat bersaksi siapa yang telah
belajar melakukan hal-hal yang dijelaskan Kuhn. Komentar tentang perubahan
persepsi adalah metafora yang menyesatkan. Bola pada bidang miring dan
pendulum terlihat sama sebelum dan sesudah seseorang menyadari bahwa
keduanya adalah massa. Ini berarti bahwa jika perlu, kita dapat menguji berbagai
teori tentang apa yang terjadi di dunia dengan menghasilkan deskripsi netral
yang mengandalkan ciri-ciri yang menonjol secara perseptual. Bahkan jika
bahasa ilmiah yang kita gunakan diliputi oleh teori, seperti fisika Newtonian,
kita dapat memperkenalkan bahasa baru dengan menunjukkan, dan
mengandalkan, ciri-ciri yang secara alamiah menonjol.
Klaim kedua Kuhn dengan demikian mengungkapkan tidak ada bias yang
tidak dapat dibenarkan dalam praktik ilmiah dan tidak menghalangi kita untuk
menguji teori secara objektif (Kuhn,1962).
Jika klaim ketiga dan keempat Kuhn benar, mereka mungkin dianggap
menimbulkan masalah yang sangat serius untuk menguji teori secara objektif
dengan menggunakan pengalaman. Karena tampaknya, setelah menjalani
pelatihan, kami akan kesulitan dalam menarik fitur-fitur yang jelas-jelas berbeda
dari hal-hal yang independen dari paradigma untuk mengujinya. Namun, klaim
ketiga dan keempat Kuhn tidak masuk akal (Couvalis, 1997). Paradigma
10
didefinisikan sebagai pandangan dasar tentang apa yang menjadi pokok bahasan
yang seharusnya dikaji oleh disiplin ilmu pengetahuan, mencakup apa yang
seharusnya ditanyakan dan bagaimana rumusan jawabannya disertai dengan
interpretasi jawaban. Paradigma dalam hal ini adalah konsesus bersama oleh
para ilmuan tertentu yang menjadikannya memiliki corak yang berbeda antara
satu komunitas ilmuan dan komunitas ilmuan lainnya. Varian paradigma yang
berbeda-beda dalam dunia ilmiah dapat terjadi karena latar belakang filosofis,
teori dan instrumen serta metodologi ilmiah yang digunakan sebagai pisau
analisisnya (Ambo, 2010).
Menurut Kuhn objektivitas ilmu tidak bersifat otoritatif hanya sebatas pada
sebuah justifikasi kebenaran. Inilah landasan epistimologi paradigma yang
mengkritik keyakinan manusia terhadap kebenaran ilmu pengetahuan sebagai
representasi realitas dan fenomena. Ilmu pengetahuan secara natural memiliki
kesempatan dan otonomi dalam pencarian kebenaran antara prediksi dan deteksi
sebagai penelusuran ilmiah dalam menemukan kebenaran ilmiah baru. Apa yang
benar menurut paradigma lama belum tentu benar menurut paradigma baru
adanya relativisme.
Paradigma tidak selalu terikat pada nilai benar atau salah. Akan tetapi juga
bisa terbimbing oleh sesuatu yang baik atau yang paling baik bagi
perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya. Dengan kata lain, hasil final dari
penelitian dilakukan ilmuwan seharusnya tidak terpaku pada hanya untuk
menemukan kebenaran, tapi juga bisa memberikan makna aksiologinya, yaitu
nilai manfaat bagi kehidupan manusia. Hal ini bukan berarti bahwa paradigma
11
dalam menyelesaikan masalah keilmuan tidak benar-benar objektif, karena nilai
objektifnya tersebut relatif dan dapat diperoleh berdasarkan penggunaan metode
tertentu yang disepakati masyarakat ilmiah. Dengan kata lain, penggunaan
paradigma akan menentukan metode apa yang sesuai lalu disepakati untuk
dipakai dalam pemecahan suatu masalah ilmiah.
Anak harus sudah memiliki kategori persepsi yang secara kasar menandai
angsa, dan dapat mengidentifikasi mereka di dunia, sebelum dapat memahami
konsep 'angsa'. Mungkin anak belum memperhatikan kesamaan manifold antara
angsa, dan perbedaan antara angsa dan bebek. Mungkin anak bahkan tidak
memiliki konsep leher panjang sampai dia mengikuti jari orang tua pada
sejumlah kesempatan dan tiba-tiba disambar oleh kemiripan, sehingga
memperoleh konsep leher panjang sebelum memiliki kata-kata. Mungkin anak
belum terhubung bersama banyak kesamaan antara angsa untuk membentuk
konsep independen 'angsa'. Tetapi apa yang bisa secara persepsi penting bagi
anak tidak berubah ketika anak belajar menggunakan kata 'angsa' untuk
menggambarkan angsa. Arsitektur konseptual yang memungkinkan anak untuk
dapat memilih fitur yang sesuai dalam pengalaman harus sudah ada jika dia
harus dapat mempelajari konsep 'angsa' dari pengalaman, dan mengikatnya ke
kata yang sesuai. Anak dapat mempelajari konsep 'angsa' dengan mempelajari
burung untuknya sendiri dan Kuhn tidak memberikan alasan yang baik untuk
percaya bahwa pengalaman anak akan berubah dengan cara apa pun yang akan
menimbulkan ancaman terhadap objektivitas pengujian teori ketika dia
mempelajari konsep ini. Selain itu, setelah pelatihan, anak dapat belajar untuk
melihat kesamaan yang tidak dia fokuskan dengan menunjukkannya (Couvalis,
1997).
Hal ini bahwa klaim ketiga Kuhn dalam pelatihan paradigmanya yang
mengubah pengalaman dan konsep terkait sehingga kita berada pada kondisi
melihat hal-hal yang sebelumnya tidak miliki kapasitas untuk mengalami dan
mengenali. Paradigma ini menyinggung pada paradigma ilmiah dan paradigma
social yaitu yang disampaikan oleh (Ambo, 2010) bahwa paradigma ilmiah
meliputi paradigma fakta sosial dan paradigma perilaku sosial. Paradigma fakta
12
sosial menemukan bahwa ada sesuatu di luar diri manusia yang dapat memaksa
dirinya untuk melakukan sesuatu agar dapat berperilaku sesuai dengan apa yang
ada di luar dirinya, sehingga perilaku seseorang dapat dikontrol. Fakta sosial
meliputi norma-norma, nilainilai, adat istiadat dan aturan-aturan yang bersifat
memaksa dan mengikat. Paradigma fakta sosial ini dipelopori oleh Emile
Durkheim.
Kuhn menjelaskan hal ini dengan menarik fakta bahwa memeriksa prediksi
adalah bisnis yang sulit yang membutuhkan keterampilan interpretatif yang
cukup besar - karena ketidakakuratan instrumen, gangguan konstan oleh agen
kausal yang tidak relevan, dan berbagai standar untuk teori penjurian yang
14
berlaku di seluruh paradigma (Kuhn, 1970a: 92-110; Barnes, 1982: 69-70).
Artinya, ia menjelaskannya dengan menarik varian pandangan bahwa
pengamatan ilmiah sarat teori, serta klaim bahwa standar adalah untuk beberapa
tingkat internal untuk paradigma (Couvalis, 1997).
2.5 Feyereband
Implisit dalam sejumlah ucapan Kuhn adalah beberapa balasan atas kritik
tersebut. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya dalam bab ini, Kuhn
mengatakan bahwa sebagian besar masalah ilmiah secara langsung atau tidak
langsung ditimbulkan oleh alam. Ini menunjukkan bahwa masalah yang sains
coba selesaikan ada secara objektif dan dapat dirasakan sebagian besar secara
independen dari paradigma. Jika adanya masalah sebagian besar independen dari
paradigma, mungkin dipikirkan bahwa apa yang merupakan memecahkan
masalah juga sebagian besar independen dari paradigma. Tetapi, jika kita
mencatat secara rinci pandangan Kuhn yang dinyatakan, sulit untuk melihat
bagaimana masalah dapat langsung ditimbulkan oleh alam, karena dia dengan
16
jelas memegang bahwa pengamatan sarat paradigma dan sarat teori (Couvalis,
1997).
Pendapat dari Kuhn yakni pertama, Kuhn berpendapat bahwa akan ada
perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara rasional antara para penjunjung
tinggi paradigma yang berbeda tentang prediksi dan masalah mana yang lebih
penting. Ini berarti bahwa ukuran numerik dari kekuatan prediktif atau kapasitas
pemecahan masalah dari teori yang berbeda akan sedikit digunakan dalam
memutuskan manfaat objektif mereka tanpa akun berbasis objektif mengapa
beberapa prediksi atau masalah lebih penting daripada yang lain. Kedua,
menurut Kuhn, apakah sebuah prediksi benar-benar telah berhasil atau sebuah
masalah telah benar-benar diselesaikan harus sangat tergantung pada asumsi
yang bergantung pada paradigma- tergantung. Tetapi ini berarti bahwa teori
tidak dapat dibandingkan secara objektif untuk kapasitas pemecahan masalah
mereka. Sebagai contoh, pengamatan Galileo tentang apa yang disebutnya 'fase
Venus' hanyalah kemenangan prediktif utama untuk teori Copernican jika kita
berasumsi bahwa apa yang sebenarnya kita lihat melalui teleskop adalah Venus
close up. Jika apa yang kita lihat adalah ilusi yang diproduksi oleh teleskop atau
bintang aneh, ini seharusnya tidak dihitung mendukung teori Copernican karena
18
tidak ada hubungannya dengan menilai prediksi teori (Couvalis, 1997).
20
kumulativisme, suatu teori itu bersifat relatif. Alasan utama Kuhn untuk
menolak kumulativisme adalah bahwa ketika satu paradigma menggantikan
paradigma lain, teori-teori yang terkandung dalam paradigma seringkali
memiliki asumsi metafisik yang sangat berbeda. Jadi jika teori-teori yang lebih
baru benar, tidak ada bagian dari teori-teori yang lebih lama yang bisa mendekati
benar. Kuhn berfikir bahwa komponen yang relevan adalah makna dari istilah
deskriptif yang identik dengan asumsi metafisis yang fundamental dari
paradigma teori itu berasal. Ungkapan tersebut membuatnya berada dalam teka-
teki karena jika asumsi itu salah secara radikal di dunia ini, tampaknya teori itu
pasti merujuk ke dunia lain.
21
BAB III
PENUTUP
Apa saja sumbangan dari paradigma Thomas S. Kuhn dalam Ilmu Dan
Pendidikan yang bisa diterapkan untuk kita sebagai penerus Pendidikan?
22
Keadaan ini akan menuntut anak untuk mengadakan akomodasi atau membentuk
skema baru yang dapat sesuai dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi
skema yang ada sehingga sesuai dengan data anomali. Perubahan ini yang
kemudian Kuhn sebut dengan revolusi skema. Guru perlu mendesain proses
belajar mengajar yang kemudian dapat merangsang atau menyediakan data-data
anomali, sehingga dapat mengubah skema pengetahuan murid ke arah suatu
skema yang lebih baik. Murid sendiripun tidak akan berkembang dan
pengetahuannya tetap seperti semula apabila murid tersebut tidak mau
mengubah skema atau merevolusi pengetahuan yang telah ia miliki ke arah
skema yang lebih unggul.
Apa yang dimaksud dengan sains mencoba menyelesaikan secara objektif dan
dapat dirasakan sebagain besar secara independent dari paradigma, serta
implikasi contohnya
23
Pertanyaan Arizaldy
Apa perbedan antara Popper dan Kuhn dari ilmu pengethauan yang dikaikan
dengan contoh Pendidikan?
Jawaban: Menurut Popper tak ada fondasi yang tak tergoyahkan bagi ilmu
pengetahuan. Semua pengetahuan bersifat tentatif (Syamsuri, 2013). Menurut
Popper, teori-teori senantiasa dapat disalahkan. Karena itu tidak ada teori yang
benar, pasti dan mantap. Jika teori tidak ada yang pasti, maka tidak ada teori
yang diterima tanpa sikap kritis. Popper kemudian mengritik empirisme yang
menyatakan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah pengalaman. Kesalahan
utama kaum empiris adalah tidak dapat membedakan antara pernyataan
mengenai asal-usul (context of discovery) teori dalam ilmu pengetahuan dan
pernyataan mengenai validitasnya (context of justification.). Popper berangapan
bahwa suatu teori hanya akan diterima bila sudah dapat meruntuhkan teori yang
lama (sebelumnya.) Pengujian atas kekuatan teori dilakukan melalui tes suatu
teori terbukti salah, maka teori tersebut dianggap batal, sedangkan teori yang
bertahan dan lolos dari pengujian, diterima (corroboration) Dcngan demikian,
ilmu pengetahuan berkembang dan maju bukan melalui proses akumulasi tetapi
lewat proses eliminasi yang ketat terhadap kemungkinan kesalahan dan
kekeliruan. Menurut Popper, perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarahnya
tidak selalu melalui logika penemuan yang didasarkan pada metodologi yang
ketat. Ide baru bisa saja berupa kilatan intuisi atau refleksi religius. Observasi
tidak pernah mendahului teori seperti yang diyakini positifisme logis karena
semua observasi bermuatan teori dan merupakan interpretasi fakta-fakta
(Syamsuri, 2013)
Kuhn pada dasarnya menyerang tesis kesatuan ilmu yang selama ini
diadopsi positifisme dan menurutnya masih meninggalkan jejaknya pada Popper.
Menurut Kuhn ilmu tidaklah satu melainkan plural, ilmuwan selalu bekerja di
bawah satu payung paradigma yang memuat asumsi ontologis, metodologis, dan
struktur nilai. Sebagai konsep, paradigma memiliki definisi yang jumlahnya
berkembang sampai 22 buah definisi yang secara garis besar dapat dirangkum
menjadi tiga definisi. Pertama, kerangka konseptual untuk menglasifikasi dan
24
menerangkan obyek-obyek fisikal alam. Kedua, patokan untuk menspesifikasi
metode yang tepat, teknik-teknik, dan instrumen dalam meneliti obyek-obyek
dalam wilayah yang relevan. Ketiga, kesepakatan tentang tujuan-tujuan kognitif
yang absah. Oleh para ilmuwan, paradigma dijadikan kerangka konseptual
dalam memersepsi semesta. Karena itu, tidak ada observasi yang netral. Semua
pengalaman perseptual ilmuwan selalu dibentuk oleh kerangka konseptual yang
digunakan. Misalnya, Aristoteles melihat gerak benda jatuh sebagai garis lurus,
sedangkan Newton memersepsinya sebagai gerak pendulum. Hal ini menurut
Kuhn disebabkan oleh perbedaan paradigma yang dianut keduanya. Aristoteles
dan Newton mengadopsi asumsi ontologis yang berbeda tentang semesta.
Jawaban : Dalam hal ini memang sebelum kita menguji teori aatu menguji
paradigma suatu cara pikir, kita harus terlebih dahulu untuk mengetahui konsep
apa yang ingin dibahas dan diteliti lebih lanjut. Setelah itu barulah kita dapat
mempelajari lebih lanju dengan cara mengujinya apakah teori itu benar atau
tidaknya. Sains dalam hal ini mencoba menyelsaikan masalah contohnya pada
teknik pewarnaan gram bakteri untuk menentukan dan mencari perbedaan antara
bakteri postif dan bakteri negatif. Mkaa kita perlu dulu untuk membaca dan
memahami prosedur dengan baik apa yang menjadi poin utama dari yang ingin
dicari baik dalam bentuk sains secara modern ataupun sians secara konvensional
dengan menggunakan buah naga. Barulah setelah itu kita dapat langsung
menguji coba dan hasilnya mengetahui dari apa yang ditemukan. Adapun hasil
akhirnya adalah penemuan konsep persepsi yang berasal dari paradigm aatau
cara pandang kita terhadap suatu penemuan baru atau masalah.
Apakah teori atom itu contoh dari ilmu pengetahuan berkembang secara
kumulatif?
25
Jawab: Ya. Konsep atom pertama kali dicetuskan oleh Democritus itu
akhirnya dikembangkan oleh John Dalton pada tahun 1800-an. Sayangnya, teori
yang dibuat oleh Dalton masih belum memuaskan, sebab berdasarkan beberapa
percobaan ternyata atom masih bisa dipecah menjadi beberapa partikel
penyusunnya, yaitu: proton, neutron dan elektron. Elektron adalah bagian atom
yang bermuatan negatif, ditemukan oleh J. J. Thomson pada tahun 1897. Proton
merupakan bagian dari atom yang bermuatan positif, ditemukan oleh E.
Rutherford pada tahun 1911. Di suatu saat antara Thomson dan Chadwick, para
fisikawan menyadari bahwa seharusnya ada muatan positif di dalam atom untuk
menyeimbangkan muatan negatif elektron, sehingga dapat membentuk atom
yang bermuatan netral. Oleh karena itu siapa yang menjadi penemu proton
sering menjadi perdebatan, namun Rutherford-lah yang membuktikan ini melalui
eksperimen. Dalam eksperimen ia menemukan bahwa atom mempunyai muatan
positif yang terkonsentrasi di inti yang mengandung sebagian besar dari massa
atom. Neutron merupakan bagian atom yang tak bermuatan dan ditemukan pada
tahun 1932 oleh James Chadwick. Sejak masa Rutherford telah diketahui bahwa
nomor massa (A) dari nukleus lebih besar dari dua kali dari nomor atom (Z)
untuk sebagian besar atom. Secara esensial semua massa dari sebuah atom
terkonsentrasi dalam nukleus. Mulai dari sekitar tahun 1930 proton dan elektron
telah dianggap sebagai partikel dasar, tetapi entah bagaimana membutuhkan
sejumlah kecil elektron yang terikat di nukleus untuk meniadakan sebagian
muatan proton (pada saat ini kita tahu bahwa hal itu tidak dapat terjadi karena
tidak terdapat energi yang cukup). Akhirnya Chadwick berhasil menghitung
massa dari neutron, sehingga lengkaplah penyusun sebuah atom.
26
3.2 Kesimpulan
Kuhn telah berjasa besar, terutama dalam mendobrak citra filsafat ilmu
sebagai logika ilmu, dan mengangkat citra bahwa ilmu adalah suatu kenyataan
yang punya kebenaran seakan-akan sui-generis, obyektif. Di samping itu teori
yang dibangun Kuhn mempunyai implikasi yang sangat luas dalam bidang-
bidang keilmuan yang beraneka ragam. Selama lebih dari dua dekade, gagasan
Kuhn tentang paradigma menjadi bahan diskusi dalam wacana intelektual,
sejumlah kajian kritis, baik yang mendukung maupun yang menentang,
berkembang dalam berbagai kancah disiplin keilmuan, hampir semua cabang
keilmuan menyampaikan respon lewat berbagai versi yang dianggap cukup
mewakili nuansa pemikiran yang selama ini berkembang dalam disiplin ilmu
masing-masing. Paradigma sebagai kosa kata, menjadi wacana tersendiri, baik
pada level teori maupun praksis. Kata tersebut seolah menjadi sesuatu yang
hidup, tumbuh dan berkembang.
3.3 Saran
27
Daftar Pustaka
Almas. (2018). Sumbangan Paradigma Thomas S. Kuhn dalam Ilmu Dan Pendidikan
(Penerapan Metode Problem Based Learning dan Discovery Learning). At
Tarbawi. Volume. 3, No. 1
Couvalis G. (1997). The Philosophy of Science. Science and Objective. Great Britain:
The Cromwell Press Ltd.
Damsyid Ambo Upe. (2010). Asas-Asas Multiple Researches: Dari Nornam K.Denzim
hingga John W. Creswell dan Penerapannya. Yogyakarta: Penerbit Tiara
Wacana,
Kuhn, Thomas S. (1962) The Structure of Scientific Revolution. Leiden: Instituut Voor
Theoretische Biologie.
Lubis, Yusuf, Akhyar, (2015). Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada,
The Columbia Encyclopedia. (1963). Edisi: third, Washington D.C.: National Science
Teachers Association.
28
Toulmin, S. (1972). Pemahaman Manusia . Oxford: Clarendon Press.
Ulya, I., & Nushan Abid. (2015). Pemikiran Thomas Kuhn dan Relevansinya terhadap
Keilmuan Islam. Fikrah, 3(2).
29