Dosen Pengampu
Baihaqi, S.HI, MA
Oleh;
Satrio Nurbantara NIM : 12112002
Kelas : 1A
FAKULTAS SYARIAH
HUKUM KELUARGA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PONTIANAK
2021
MUQODDIMAH
Makalah ini disusun dalam rangka menunaikan tugas akhir mata kuliah
akhlak tasawuf, sebagai bentuk bukti akan kepahaman penulis atas apa yang telah
diajarkan selama proses perkuliahan. Maka wajar apabila masih ditemukan banyak
sekali kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan
kritik serta saran yang membangun agar dapat menjadi lebih baik lagi kedepannya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
MUQODDIMAH ................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan .......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3
A. Pendiri Tarekat Naqsyabandiyah ................................................................. 3
B. Amalan-amalan Tarekat Naqsyabandiyah ................................................... 5
C. Sandaran Dalil Amalan Tarekat Naqsyabandiyah ..................................... 11
D. Silsilah Tarekat Naqsyabandiyah ............................................................... 13
E. Pelajaran ..................................................................................................... 16
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 18
A. Kesimpulan ................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 19
DAFTAR BAGAN
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tarekat adalah jalan yang ditempuh para sufi. Dapat pula digambarkan
sebagai jalan yang berpangkal dari syari‟at, sebab jalan utama disebut syari‟
sedangkan anak jalan disebut thoriq. Tarekat juga berarti jalan atau cara untuk
mencapai maqomat dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan.1 Dalam
tasawuf, tarekat menjadi salah satu bagian penting dalam mencapai maqam
tertinggi (makrifat).
1
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Teruna Grafica, 2012), hlm. 294
2
Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: survei historis,
geografis, dan Sosiologis, (Bandung : Mizan,1992), hlm.34
1
Sejak jaman Syaikh Bahauddin, dilakukan pembaharuan dalam perjalanan
tarekat. Konon ketika beliau meninggal, di dadanya terukir lafadz Allah dengan
jelas. Dengan adanya kejadian tersebut, beliau diberikan gelar Naqsyabandi, yang
berarti ukiran yang sangat jelas. Sehingga setiap Guru Mursyid Tarekat ini memiliki
memiliki gelar Naqsyabandi. Selanjutnya, tarekat ini lebih dikenal oleh masyarakat
dunia dengan nama Tarekat Naqsyabandi. Untuk lebih jelasnya, akan dibahas lebih
lanjut pada makalah ini.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Dr.H.Ahmad Amir Aziz, Teologi Kaum Tarekat, (Yogyakarta : Trussmedia
Grafika, 2020) hlm.61
3
Arif Riwakari > Syekh Abdul Khaliq Ghujdwani > Syekh Yusuf Hamadani > Syekh
Abu Ali Farmadhi> Syekh Abul Hasan Kharqani > Abu Yazid Bustami > Imam
Ja’far Shadiq > Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr > Salman al-Farisi > Abu
Bakar as-Shiddiq > Rasululllah Muhammad Saw. *(pembahasan mengenai silsilah
akan dibahas lebih lanjut pada poin berikutnya).
Para murid Sayyid Amir Kullal al-Bukhari berdzikir dengan dzikir jahr, bila
bersama-sama, dan bila sendiri dengan dzikir khafi. Syekh Naqsyabandi kemudian
memilih dzikir khafi, dan dzikir khafi disebutnya sebagai: “aula wa aqwa”. Syekh
Bahauddin Naqsyabandi merupakan penerus Syekh Amir Kulal, ini mungkin bisa
dianggap sebagai penanda pengikutnya kelak disebut pejalan thoriqoh
4
Naqsyabandiyah, yang ajarannya didapat dari Abdul Khaliq Ghajdawani, yang
ujungnya berasal dari Khalifah Abu Bakar diperoleh dari Nabi Muhammad. Syah
Naqsyaband, menambahkan 8 asas yang telah diletakkan oleh Khawaja Abdul
Khaliq al-Ghuzdawani di dalam bahasa Persia, dengan 3 asas lagi, yaitu: wuquf-
izamani, wuquf-i adadi, wuquf-iqalbi. Sejak masa beliau ini, silsilah Khawajagan
kemudian dikenal dengan Naqsyabandiyah.
5
menghadap ke depan, agar tidak buyar terganggu oleh hal-hal yang tidak
berfaedah.
3. Safar dar watan, “melakukan perjalanan dari tanah kelahiran”. Perjalanan
ini dapar diartikan menjadi dua. Pertama diartikan sebagai perjalanan batin,
kedua diartikan sebagai perjalan dzahir (bersafar ke negeri-negeri yang
jauh).
4. Khalwat dar anjuman, “sunyi di tengah keramaian". Maksudnya tidak
terpengaruh / terpedaya oleh hingar bingar duniawi.
5. Yad kard, "ingat", "menyebut". Terus-menerus berdzikir mengulangi Asma
Allah.
6. Baz gasyt, "kembali", "memperbarui". Bertaubat demi mengendalikan hati
supaya tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang.
7. Nigah do.syt, "waspada”. Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-
menerus sewaktu melakukan dzikir.
8. Yad do.syt,"mengingat kembali".
9. Wuqufi Zamani, “mengingat waktu”. Mengamati secara teratur bagaimana
seseorang menghabiskan waktunya.
10. Wuquf-i 'adadi, "memeriksa hitungan dzikir seseorang". Dengan hati-hati
berapa kali seseorang mengulangi kalimah zikir (tanpa pikirannya
mengembara ke mana-mana).
11. Wuquf-i qalbi, "menjaga hati tetap terkontrol". Dengan membayangkan hati
seseorang (yang di dalamnya secara batin dzikir ditempatkan) berada di
hadirat Allah.4
4
Van Bruinessen, Op-Cit, hlm.78
6
diam ( khafi “tersembunyi” atau qalbi "dalam hati"), sebagai lawan dari zikir keras
(iahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan zikir yang
diamalkan lebih banyak pada tarekat Naqsyabandiyah daripada kebanyakan tarekat
Iain.5
1. Zikir bil lisan, menyebut “Allah” dengan jelas bersuara, dilakukan seribu
kali dalam sehari semalam. Sebelum melakukan zikir ismu zat
(Allah..Allah..) ini ada beberapa tata cara yang harus dilakukan terlebih
dahulu. Yakni :
a. Membaca Istigfar (astagfirullāha rabbī min kulli żanbin wa atūbu
ilaihi) 5 X.
b. Membaca Salawat (Allahhumma Ṣalli ‘ala sayyidina muḥammadin
wa ‘alā āli sayyidina Muḥammad) 5 X.
c. Membaca Surat Al Fatiḥah untuk guru 1 X.
d. Membaca Surat Al Ikhlas (Qul Huwallahu Aḥad) 3 X.
e. Membaca ismu zat (Allah) 1000 X.
f. Membaca doa حمبتك ومعرفتك اهلي انت مقصودي ورضاك مطلويب اعطين
di dalam hati.
Namun zikir lisan ini sulit untuk dilakukan terus menerus, hal ini karena adanya
kesibukan aktivitas lain yang harus dikerjakan. Maka, untuk menutupi kekurangan
zikir lisan ini diajarkanlah zikir Qalbi.
5
Ibid
7
2. Zikir Qalbi (hati), zikir dengan hati bagi para pengamal tarekat
Naqsyabandiyah menjadi amaliah sir (rahasia) yang dipandang memiliki
banyak fadilah (keistimewaan). Zikir qalbi yang dimaksud ialah mengingat
atau menyebut “Allah” dalam hati, tanpa huruf dan tanpa bersuara. Zikir
qalbi tidak akan menganggu ataupun terganggu atas kesibukan aktivitas
duniawi, selain itu zikir ini juga memiliki potensi keriya’an yang sangat
minim. Oleh karena itu, penganut Tarekat Naqsyabandiah lebih cenderung
memilih zikir qalbi.6
Selain zikir, amalan tingkat lanjut yang diajarkan bagi penganut tarekat
Naqsyabandiyah ialah muraqabah. Muraqabah ini hanya diajarkan kepada murid
yang tingkatannya lebih tinggi, biasanya kepada mereka yang telah menguasai zikir
pada semua lathaif. Latihan tahap ini disebut dengan muraqabah atau pengendalian
diri. Ini lebih cenderung ke metode meditasi dan konsentrasi. Ahmad Dhiya' Al-
Din Gumusykhanawi menyebutkan sepuluh tingkat (maqam) muraqabah berturut-
6
Samidi, TAREKAT NAQSYABANDIYAH DI PONTIANAK (Studi Naskah Nukilan
Tarekat Naqsyabandiyah),(Jurnal “Analisa” Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009)
hlm.144-145
7
Ibid
8
turut yakni ihsan, ahadiyah, aqrabiyah, bashariyah, 'ilmiyah, fa'iliyah, malikiyah,
hayatiyah, mahbudiyah dan tauhid syuhudi.8
8
Van Bruinessen,Op-Cit, hlm,82
9
Ibid
9
tarekat Naqsyabandiyah pun mustahil dimasuki tanpa melalui pintu pembaiatan.
Seseorang hanya dapat menjadi anggota setelah melalui upacara pembaiatan.
Ada tiga tingkatan ijazah. Setelah yang pertama, yang dasar sekali (ijazah
untuk melakukan amalan tarekat), ada ijazah yang lebih bergengsi lagi yang mampu
memberikan wewenang kepada sang murid untuk bertindak. sebagai wakil
syaikhnya dalam memberi pelajaran dan membimbing murid-murid lain. Kemudian
jazah yang tertinggi berupa kebolehan memberikan wewenang kepada penerimanya
untuk bertindak sendiri sebagai seorang syaikh dan mengambil baiat bakal calon
murid atas namanya sendiri.10
Kemudian terdapat satu amalan yang tidak diwajibkan dalam ajaran tarekat
Naqsyabandiyah. Namun, sangat dianjurkan ialah untuk berkhalwat atau suluk. Ini
adalah kegiatan untuk menepi atau menghindarkan diri dari kerumunan duniawi
untuk sementara waktu. Biasanya dilaksanakan dalam kurun waktu 40 hari. Pada
masa khalwat, seorang salik akan disibukkan dengan zikir dan doa kepada Allah,
dan berpuasa.
10
Ibid
10
C. Sandaran Dalil Amalan Tarekat Naqsyabandiyah
ِالَّذِينا ياذْكُرُونا اَّللَّا قِياامًا واقُعُودًا واعالاىٰ جُنُوِبِمْ واياتافاكَّرُونا ِفِ خا ْلقِ السَّمااواات
ِوااْلْارْضِ رابَّناا ماا خا ال ْقتا هاٰذاا َباطًِلً سُبْحااناكا افقِناا عاذاابا النَّار
Artinya, “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali
Imran : 191).
Ayat-ayat diatas telah menjadi dalil akan ajaran tarekat Naqsyabandiyah untuk terus
berdzikir.
Lalu bagaimana dengan zikir khusus seperti zikir ismu dzat (zikir
mengulang lafadz Allah terus menerus), apakah zikir seperti ini diperbolehkan?
Memang terdapat beberapa pihak yang menganggap jika zikir ini ialah bentuk
kesesatan, seringkali juga zikir tuduhan terhadap zikir ini mereka jadikan cara untuk
menjatuhkan citra tasawuf terkhusus tarekat Naqsyabandiyah.
11
Permasalahan ini pernah diulas oleh KH. Abdul Wahhab Ahmad di situs NU
Online, ia menyatakan salah satu perintah Allah dalam QS Muzammil : 8 sudah
secara jelas memerintahkan untuk menyebut nama Tuhannya Nabi Muhammad,
yang tak lain tak bukan ialah Allah.11 Pernyataan ini juga didukung oleh pernyataan
Syekh Ali Jum’ah, salah satu mufti kontemporer dari Mesir.
Dalam salah satu video ceramahnya menerangkan bahwa ayat ini sama
sekali tidak menyuruh untuk menyucikan Allah dengan ucapan tasbih,
mengagungkan Allah dengan ucapan takbir, mentauhidkan Allah dengan ucapan
tahlil dan sebagainya tetapi hanya memerintahkan untuk menyebut nama Tuhan,
yakni Allah saja. Ayat ini adalah dalil yang sangat jelas bahwa menyebut nama
Allah berulang kali adalah kebaikan, dan sama sekali bukan hal tercela. Maka
sebenarnya satu ayat ini sudah bisa membantah tuduhan terhadap zikir Allah ini.
Hal ini diperkuat lagi oleh sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim
dari jalur Anas bin Malik;
" َلا تاقُومُ السَّا اعةُ حاَّتَّ َلا يُقاالا: أانَّ راسُو ال هللاِ صالَّى هللاُ عالا ْيهِ واسالَّ ام قاالا،ٍاعنْ أاناس
Artinya, “Dari Anas, bahwasanya Rasulullah ﷺbersabda: Kiamat tak akan terjadi
hingga di muka bumi tak disebut: Allah, Allah.” (HR. Muslim).
11
Abdul Wahhab Ahmad dalam: https://islam.nu.or.id/shalawat-wirid/dzikir-
dengan-mengulang-allah-allah-allah-dalam-islam-GBI8I , (diakses pada 25 Januari 2022
22:23 )
12
“"Tidak melakukan sesuatu tidak berarti menunjukkan sesuatu tersebut terlarang".12
Dari kaidah ini menyatakan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi atau oleh
generasi salafussaleh bukan berarti sesuatu itu menjadi terlarang. Selagi tidak ada
dalil lain yang menyatakan keharaman nya maka ia tetap boleh dilakukan apalagi
kalau sesuatu itu mengandung nilai kebaikan.
Silsilah dalam dunia tarekat tidak berbeda dengan sanad dalam ilmu hadis
dari segi fungsi, sama-sama menjelaskan bahwa sesuatu yang diterima memiliki
mata rantai antara penerima dan pemberi. Namun, dari segi metodologi antara
silsilah dalam tarekat dengan sanad dalam ilmu hadis berbeda. Dalam sanad hadis
antara si pemberi dan penerima harus bertemu secara langsung atau sanadnya harus
muttashil (bersambung) dan perawinya (si pemberi) harus tsiqah, jika si pemberi
dimungkinkan tidak hidup dimasa si penerima sedangkan dalam sanadnya bertemu,
dimungkinkan ada seorang pemberi yang tidak tercantumkan dalam sanad itu,
dalam ilmu hadis dikenal dengan istilah munqati’, hal ini dalam periwayatan hadis
tertolak.13
12
Nur Rohmad, dalam: https://islam.nu.or.id/syariah/jawaban-metodologis-untuk-orang-
yang-gemar-menvonis-bidah-H7oE3, (diakses pada 25 Januari 2022 23:04)
13
Imam Muslim, Shahih Muslim, (Kairo : Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyah).
13
diterima. Karena ilmu tarekat ini adalah ilmu yang bersumber dari Allah yang
ditambatkan kedalam hati. Hal ini diungkapan oleh Syekh Abu Yazid al-Bustami,
ketika ia ditanya tentang muhadith: “Bertanya seseorang kepada Abu Yazid al
Busthami, siapa muhadith itu?” dijawab oleh Abu Yazid “(anda akan mengenal
mereka) jika mereka diberi kabar oleh si fulan dari si fulan. Sedangkan kami diberi
kabar oleh hati yang diterima dari Tuhan”.14
15
Coba perhatikan silsilah pada bagan berikut ini;
14
Adz Dzahabi, Siar A’lam an Nubala, (Kairo : Darul Hadis).
15
Van Bruinessen, Op-cit, hlm.50
14
Silsilah tarekat secara barzakhi16 dapat dilihat pada silsilah no 5 Imam Ja’far al-
Shadiq (w.148 H), Abu Yazid al-Bustami (w.261 H) dan Abu Hasan ‘Ali ibn Ja’far
al-Kharqani (w.425 H). Diperhatikan jarak antara Syeikh Abu Hasan al Kharqani
dengan Abu Yazid Bustami mempunyai rentang waktu yang jauh, Syekh al
Kharqani lahir jauh setelah wafatnya Shakh Abu Yazid. Maka satu-satunya cara
pertemuan mereka ialah melalui alam ruh, karena ruh tidaklah mati ia tetap hidup.
Begitu juga antara Syekh Abu Yazid dengan Imam Ja’far al-Shadiq, mereka tidak
hidup dimasa yang sama dan hanya bertemu secara ruhaniyah, karena ketika Imam
Ja’far wafat Syekh Abu Yazid belum lahir.
16
Pertemuan secra ruh atau alam barzakh dengan Syeikh yang sudah wafat.
17
Asas ini sudah dibahas sebelumnya.
15
Dengan demikian munculnya cabang Muzhariyah, Khalidiyah,
Sulaimaniyah, Haqqani, dan sebagainya adalah karena disandarkan kepada syekh-
syekh yang berpengaruh dalam silsilah tarekat itu. Selain Muzhariyah, contoh yang
juga berkembang di Indonesia adalah Naqsyabandiyah Khalidiyah. Pengikut
tarekat Naqsyabandi cabang khalidiyah ini dinisbatkan kepada syekh Maulana
Khalid Kurdi (wafat pada tahun 1826 di Damaskus). Maulana Khalid adalah
khalifah dari Abdallah ad Dahlawi untuk daerah Kurdistan.Syaikh Khalid Kurdi
mendapatkan silsilah tarekat juga melalui proses barzakhi /pertemuan ruh kepada
Imam Ja’far Shadiq dan Abu Yazi al Bustomi. Selain melalui barzakhi, ia juga
melakukan pertemuan jasmani kepada Imam Ali Ridha, yang mana Imam Ali Ridha
mendapat dari ayahnya, yaitu Imam Musa al Kazhim, kemudian Imam Musa al
kazhim merupakan putra dari Imam Ja’far Shadiq. Syekh-syekh Naqsyabandi
sekarang yang memperoleh jalur isnad atau garis silsilah dari Syekh Maulana
Khalid menamakan dirinya pengikut tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah.
E. Pelajaran
16
terhadap segala sesuatu yang ditakdirkan Allah SWT. Ikhlas dalam setiap amal dan
perbuatan yang dilakukan. Berakhlak yang baik.
18
https://id.wikipedia.org/wiki/Tarekat_Naqsyabandiyah
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
18
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Tarekat_Naqsyabandiyah
Ahmad, A. W. (2019, Oktober 4). NU Online. Diambil kembali dari Islam.nu.or.id:
https://islam.nu.or.id/shalawat-wirid/dzikir-dengan-mengulang-allah-allah-
allah-dalam-islam-GBI8I
al-Nisabur, A. a.-H.-H.-Q. (t.thn.). Shahih Muslim. Kairo: Maktabah al-Tsaqafah
al-Diniyah.
Aziz, A. A. (2020). Teologi Kaum Tarekat. Yogyakarta: Trussmedia Grafika.
Bruinessen, M. V. (1992). Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: survei
historis,geografis, dan sosiologis. Bandung: Mizan.
Dzahabi, A. (t.thn.). Siar A'lam an Nubala. Kairo: Darul Hadis.
Rohmad, N. (2017, Oktober 1). NU Online. Diambil kembali dari islam.nu.or.id:
https://islam.nu.or.id/syariah/jawaban-metodologis-untuk-orang-yang-
gemar-menvonis-bidah-H7oE3
Samidi. (2009). Tarekat Naqsyabandiyah di Pontianak (Study Naskah Nukilan
Tarekat Naqsyabandiyah). Jurnal “Analisa” Volume XVI, No. 02, 144-145.
19