Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MAKALAH

“ILMU SARANA BERPIKIR”


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstuktur mata kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Dadang Suhardan, M.Pd
Dr. Cepi Triatna, M.Pd

Disusun oleh :
Eka Risna (2002579)
Semester 1 Kelas B

SEKOLAH PASCA SARJANA


PRODI ADMINISTRASI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2020 M / 1441 H
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, kita panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga makalah ini dapat tersusun
dengan baik. Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada Baginda Nabi
Muhammad saw, kepada para keluarganya, shohabatnya hingga mudah-mudahan
sampai kepada kita selaku ummatnya mendapatkan syafaatnya kelak di yaumil
qiyamah.

Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Prof. H. Dadang


Suhardan, M.Pd. beserta Bapak Dr. Cepi Triatna, M.Pd selaku dosen pengampu yang
telah membimbing kami dalam perkuliahan Filsafat Ilmu ini. Insyaa Allah penulis
telah berusaha menyusun makalah ini dengan sebaik mungkin. Akhir kata semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan umumnya bagi para
pembaca.

   
                                                                                     Bandung, 23 Oktober 2020
   

                                                                                              Penulis
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia
di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Ilmu
mempelajari alam sebagaimana adanya dan terbatas pada lingkup pengalaman
manusia (Suriasumantri, 2005). Ilmu memulai penjelajahannya pada
pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Ilmu tidak
berbicara tentang sesuatu yang berada di luar lingkup pengalaman manusia,
seperti surga, neraka, roh, dan seterusnya.

Melalui cara berpikir filsafati, manusia mampu menemukan ilmu, baik


kajian mengenai “ilmu” itu sendiri, kaitan antara ilmu dengan seni atau
agama, juga pembahasan mengenai kaitan satu bidang ilmu dengan bidang
ilmu yang lainnya atau pun kebermanfaatan dari ilmu. Walaupun begitu, ilmu
merupakan pengetahuan yang memiliki ciri dan karakteristik tertentu sehingga
dapat dibedakan dengan pengetahuan-pengetahuan yang lain.

Pada pembahasan ini, penulis akan memaparkan mengenai ilmu


sebagai sarana berpikir ilmiah beserta ciri dan karakteristik dari ilmu berdasar
pada gambar bagan berikut ini :

B. Rumusan Masalah
1. Apa makna keseluruhan dari gambar bagan?
2. Bagaimana penjelasan isi gambar yang tersaji dalam bagan secara rinci?
3. Mengapa ilmu disebut anak filsafat dan sarana berpikir ilmiah?
4. Apa definisi ilmu pengetahuan?
5. Apa makna kebenaran ilmu dan bagaimana contohnya?
6. Apa saja kekuatan atau kelebihan dan keterbatasan ilmu?
7. Apa saja ciri-ciri ilmu sebagai sarana berpikir ilmiah dan bagaimana?
8. Mengapa kita memerlukan sekali ilmu pengetahuan? Apa kegunaan ilmu
pengetahuan?

C. Tujuan
1. Menjelaskan makna keseluruhan dari gambar bagan.
2. Menjelaskan makna isi gambar bagan secara rinci.
3. Menjelaskan makna dari ilmu sebagai anak filsafat dan ilmu sebagai
sarana berpikir ilmiah.
4. Menjelaskan definisi ilmu pengetahuan.
5. Menjelaskan kebenaran ilmu dan contohnya.
6. Menyebutkan kekuatan atau kelebihan dan keterbatasan ilmu.
7. Menjelaskan ciri-ciri ilmu sebagai sarana berpikir ilmiah.
8. Menjelaskan kegunaan atau manfaat ilmu pengetahuan.
PEMBAHASAN
A. Makna Keseluruhan Bagan
Bagan di atas secara umum menerangkan mengenai ilmu sebagai
sarana berpikir ilmiah. Ilmu diciptakan oleh Sang Maha Pencipta tidak lain
dan tidak bukan adalah untuk dicari dan diamalkan kebermanfaatannya.
Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa kajian ilmu itu sangatlah luas.
Pada pembahasan ini berdasar pada bagan di atas, penulis akan mengupas
mengenai kajian ilmu mengenai “ilmu” itu sendiri.

Dalam kajian filsafati, kebermanfaatan atau kegunaan dari “ilmu”


tidak bisa ditemukan begitu saja, tetapi ada suatu proses kajian mengenai apa
definisi ilmu, ciri atau karakteristik ilmu dan bagaimana kelebihan juga
keterbatasan dari ilmu agar kita dapat menemukan manfaat “ilmu” dengan
benar. Pemaparan berikutnya insyaa Alloh akan kita bahas secara rinci.

B. Makna Bagan Secara Rinci


Kita kenal bahwa salah satu fungsi dari filsafat adalah sebuah cara
untuk mendapatkan pengetahuan. Kaidah ini sesuai dengan statement bahwa
filsafat merupakan induk dari ilmu pengetahuan. Sejatinya sebagai ummat
beragama memang ilmu pengetahuan itu sudah ada, tetapi kita sebagai
manusia adalah wajib untuk mencari dan merenung setiap ilmu yang sudah
ada tersebut. Ilmu pengetahuan merupakan hasil dari sebuah pemikiran
ideologis atau rasionalis juga sebagai hasil dari sebuah pengalaman empirik.
Ilmu pengetahuan tidak didapatkan begitu saja, tetapi harus berdasar atas
sebuah penelitian ilmiah yang dapat dibuktikan kebenarannya. Kebenaran
ilmiah inilah yang akan memperkuat bahwa ilmu pengetahuan tersebut benar-
benar telah teruji kebenarannya. Karena tanpa kebenarannya ilmu tidak akan
mampu mengantarkan manusia kepada keyakinan akan ilmu tersebut.

Manusia memang diciptakan oleh Tuhan sangat sempurna, namun,


dalam mencari ilmu tetap manusia diberikan batasan oleh Tuhan karena
bagaimana pun manusia adalah makhluk Tuhan yang disamping
kewajibannya sebagai pencari ilmu bahwa ilmu itu sendiri merupakan
pemberian Tuhan yang tidak bisa dipaksakan dalam mendapatkannya.

Begitu juga ilmu itu sendiri. Dalam kajian filsafat ilmu, ilmu
pengetahuan memiliki kelebihan dan kekurangannya tersendiri jika ditelaah
secara filsafati. Dari kelebihan dan kelemahannya inilah kita mendapatkan
atau mampu menafsirkan ciri karakteristik dari ilmu pengetahuan.

Seperti yang sudah disampaikan di atas bahwa, sebuah ilmu Tuhan


ciptakan bukan tanpa kebermanfaatan. Justru, ilmu hidup karena
kebermanfaatannya. Tuhan menciptakan ilmu. Manusia mencari ilmu untuk
mendapati kebermanfaatannya. Itulah yang dinamakan amal, bahwa ilmu
yang bermanfaat merupakan ladang amal kebaikan bagi manusia yang akan
terbawa sampai manusia itu meninggalkan dunia. Semua itu kembali lagi
kepada Tuhan bahwa manusia yang mampu memanfaatkan atau mengamalkan
ilmu maka Tuhan akan senantiasa memberikan pahala yang tiada putusnya.
Begitulah Maha Sempurna-nya Tuhan yang mana sekecil apapun ciptakan,
tidak Tuhan ciptakan melainkan ada kebermanfaatannya. Maha Suci Alloh
Robbul’alamiin.

C. Ilmu sebagai Anak Filsafat


Beberapa ahli filsafat menjelaskan bahwa filsafat itu adalah induk
semua ilmu pengetahuan dan ilmu merupakan anak dari filsafat.Dahulu pada
mulanya filsafat meliputi semua ilmu yang ada pada zamannya: politik,
ekonomi, hukum, seni, dan sebagainya. Akan tetapi lama kelamaan dengan
intensifnya usaha-usaha yang bersifat empiris dan eksperimental terciptalah
satu persatu ilmu yang khusus memecahkan satu bidang masalah. Sehingga
terwujudlah berbagai ilmu pengetahuan yang mendasarkan penyelidikannya
secara empiris dan eksperimental dan terlepaslah dari filsafat sebagai
induknya.

Tetapi dengan munculnya ilmu-ilmu tidak berarti telah lenyaplah


eksistensi filsafat dan fungsinya. Filsafat masih tetap eksis dan mempunyai
fungsi sendiri yang tidak dapat digantikan oleh ilmu pengetahuan. Garapan
filsafat berbeda dengan garapan ilmu pengtahuan dan masing-masing
dibutuhkan. Dalam kenyataan, setiap ilmu membutuhkan filsafatnya. Ada
ilmu hukum ada pula filsafat hukum, ada ilmu pendidikan ada pula filsafat
pendidikan.

Pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu, kepastian dimulai dari rasa
ragu-ragu dan filsafat dimulai dari keduanya. Dalam berfilsafat kita didorong
untuk mengetahui apa yang kita tahu dan apa yang belum kita tahu.
Ilmu lahir dari filsafat dalam perkembangannya mempunyai produk
yaitu teknologi. Sekarang ini perkembangan filsafat telah terkalahkan oleh
teknologi. Ramifikasi filsafat menjadi lebih sempit dibandingkan dengan
ramifikasi teknologi yang lebih luas perkembangannya.

D. Ilmu sebagai Sarana Berpikir Ilmiah


Berfikir menurut Salam adalah suatu aktifitas untuk menemukan
pengetahuan yang benar atau kebenaran. Berfikir juga dapat diartikan sebagai
proses yang dilakukan untuk menentukan langkah yang akan ditempuh.
Ilmiah adalah ilmu. Jadi berfikir ilmiah adalah proses atau aktifitas manusia
untuk menemukan atau mendapatkan ilmu yang bercirikan dengan adanya
kausalitas, analisis dan sintesis.

Dalam epistemology atau perkembangan untuk mendapatkan ilmu,


diperlukan adanya sarana berfikir ilmiah. Sarana berfikir ilmiah ini adalah alat
bagi metode ilmiah dalam melakukan fungsinya secara baik. Jadi fungsi
sarana berfikir ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah dalam
mendapat ilmu atau teori yang lain. Hah-hal yang perlu diperhatikan dari
sarana berfikir ilmiah adalah:

a. Sarana berfikir ilmiah bukanlah ilmu, melainkan kumpulan


pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah.
b. Tujuan mempelajari metode ilmiah adalah untuk memungkinkan
kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik.

Manusia disebut sebagai homo faber yaitu makhluk yang membuat


alat; dan kemampuan membuat alat dimungkinkan oleh pengetahuan.
Berkembangnya pengetahuan juga memerlukan alat-alat. Sarana merupakan
alat yang membantu kita dalam mencapai suatu tujuan tertentu, sedangkan
sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi metode ilmiah dalam melakukan
fungsinya secara baik, dengan demikian fungsi sarana ilmiah adalah
membantu proses metode ilmiah, bukan merupakan ilmu itu sendiri (Bachtiar,
2011).

Dalam proses penelitian harus memperhatikan dua hal, pertama sarana


berpikir ilmiah bukan merupakan kumpulan ilmu, tetapi merupakan kumpulan
pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah. Kedua, tujuan
mempelajari sarana berpikir ilmiah adalah untuk memungkinkan menelaah
ilmu secara baik dan benar. Dari penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa sarana berpikir ilmiah adalah alat berpikir dalam membantu metode
ilmiah sehingga memungkinkan penelitian dapat dilakukan secara baik dan
benar.

Suhartono Suparlan menjelaskan dalam bukunya Sejarah Pemikiran


Filsafat Modern bahwa: “manusia mempunyai kemampuan menalar, artinya
berpikir secara logis dan analitis”. Kelebihan manusia dalam kemampuannya
menalar dan karena mempunyai bahasa untuk mengkomunikasikan hasil
pemikirannya yang abstrak, maka manusia bukan saja mempunyai
pengetahuan, melainkan juga mampu mengembangkannya.

Karena kelebihannya itu maka Aristoteles memberikan identitas


kepada manusia sebagai “animal rationale”. Sarana bepikir juga
menyandarkan diri pada proses logika deduktif dan proses logika induktif,
sebagimana ilmu yang merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan
induktif. Implikasi proses deduktif dan induktif menggunakan logika ilmiah.
Logika ilmiah merupakan sarana berpikir ilmiah yang paling penting
(Burhanuddn, 1997). Logika adalah sarana untuk berpikir sistematis, valid dan
dapat dipertanggung jawabkan. Karena itu, berpikir logis adalah berpikir
sesuai dengan atura-aturan berpikir, seperti setengah tidak boleh lebih besar
dari pada satu.

Dalam penelitian ilmiah terdapat dua cara penarikan kesimpulan


melalui cara kerja logika yaitu adalah induktif dan deduktif. Logika induktif
adalah cara penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi
kesimpulan yang bersifat umum dan rasional. Logika deduktif adalah cara
penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum rasional menjadi
kasus-kasus yang bersifat khusus sesuai fakta di lapangan. Untuk dapat
melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana
berupa bahasa, logika, matematika dan statistika. Salah satu langkah ke arah
penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar peranan masing-masing
sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan proses ilmiah. Oleh karena itu,
sarana berfikir ilmiah adalah bahasa, matematika, statistika dan logika, ke-
empat sarana berfikir ilmiah ini sangat berperan dalam pembentukan ilmu
yang baru.
E. Definisi Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan, yang dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan
knowledge, menurut Jujun S., pada hakikatnya merupakan segenap apa yang
kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu,
jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di
samping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama.

Ilmu, menurut pendapat di atas, menunjuk pada terminologi yang


bersifat khusus, yang merupakan bagian dari pengetahuan. Pengertian ilmu
dan perbedaannya dengan pengetahuan nampak lebih jelas sebagaimana
dinyatakan oleh Ketut Rinjin. Menurut Rinjin, ilmu merupakan keseluruhan
pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan logis dan bukanlah sekadar
kumpulan fakta, tetapi pengetahuan yang mempersyaratkan objek, metoda,
teori, hukum, atau prinsip.

Ilmu, yang dalam bahasa Inggris dinyatkan dengan science, bukan


sekadar kumpulan fakta, meskipun di dalamnya juga terdapat berbagai fakta.
Selain fakta, di dalam ilmu juga terdapat teori, hukum, prinsip, dan lainnya,
yang diperoleh melalui prosedur tertentu yaitu metoda ilmiah. Jadi ilmu
merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metoda ilmiah. Sedangkan
pengetahuan dapat diperoleh melalui beberapa cara, yaitu pengalaman, intuisi,
pendapat otoritas, penemuan secara kebetulan dan coba-coba (trial and error)
maupun penalaran.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu disamakan artinya


dengan pengetahuan, ilmu adalah pengetahuan. Untuk memperjelas
pemahaman kita perlu juga dibedakan antara pengetahuan yang sifatnya pra
ilmiah dan pengetahuan ilmiah.

Pengetahuan yang bersifat pra ilmiah ialah pengetahuan yang belum


memenuhi syarat-syarat ilmiah pada umumnya. Sebaliknya, pengetahuan
ilmiah adalah pengetahuan yang harus memenuhi syarat-syarat ilmiah.
Pengetahuan pertama disebut sebagai pengetahuan biasa dan pengetahuan
kedua disebut pengetahuan ilmiah. Adapun syarat-syarat yang dimiliki oleh
pengetahuan ilmiah adalah : a) harus memiliki objek tertentu (objek formal
dan materil); b) harus bersistem; c) memiliki metode tertentu; dan d) sifatnya
umum.
Dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pengetahuan berbeda dengan
ilmu. Perbedaan itu terlihat dari sifat sistematisnya dan cara memperolehnya.
Dalam perkembangannya, pengetahuan dengan ilmu bersinonim arti,
sedangkan dalam arti material keduanya mempunyai perbedaan.

F. Kebenaran Ilmu
Menurut Ford (2006), kebenaran atau truth dapat dibedakan atas 4
macam, diantaranya :

1. Kebenaran metafisik (T1). Sesungguhnya kebenaran ini tidak bisa diuji


kebenarannya (baik melalui justifikasi maupun falsifikasi/kritik)
berdasarkan norma eksternal seperti kesesuaian dengan alam, logika
deduktif, atau standar-standar perilaku profesional. Kebenaran metafisik
merupakan kebenaran yang paling mendasar dan puncak dari seluruh
kebenaran (basic, ultimate truth) karena itu harus diterima apa adanya
(given for granted). Misalnya, kebenaran iman dan doktrin-doktrin absolut
agama.
2. Kebenaran etik (T2). Kebenaran etik merujuk pada perangkat standar
moral atau profesional tentang perilaku yang pantas dilakukan. Seseorang
dikatakan benar secara etik bila ia berperilaku sesuai dengan standar
perilaku itu. Sumber kebenaran etik bisa berasal dari kebenaran metafisik
atau dari norma sosial-budaya suatu kelompok masyarakat atau komunitas
profesi tertentu. Kebenaran ini ada yang mutlak (memenuhi standar etika
universal) dan ada pula yang relatif.
3. Kebenaran logika (T3). Sesuatu dianggap benar apabila secara logik atau
matematis konsisten dan koheren dengan apa yang telah diakui sebagai
benar atau sesuai dengan apa yang benar menurut kepercayaan metafisik.
Aksioma metafisik yang menyatakan bahwa 1+1= 2 maka secara logika
dapat dianggap benar. Namun demikian, di dalam kebenaran ini juga tidak
terlepas dari konsensus orang-orang yang terlibat di dalamnya. Misalnya,
1+1 ≠ 3, karena secara konsensus telah diterima demikian.
4. Kebenaran empirik (T4). Kebenaran ini yang lazimnya dipercayai
melandasi pekerjaan ilmuwan dalam melakukan penelitian. Sesuai
(kepercayaan asumsi, dalil, hipotesis, proposisi) dianggap benar apabila
konsisten dengan kenyataan alam, dalam arti dapat diverifikasi,
dijustifikasi, atau kritik.
Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk
mencapai kebanaran, namun masalahnya tidak hanya sampai disitu saja,
problem kebenaran inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya
epistimologi, telaah epistimologi terhadap kebenaran membawa kita pada
sebuah kesimpulan bahwa perlu dibedakan adanya 3 jenis yaitu kebenaran
epistimologis, kebenaran ontologis dan kebenaran semantik.  

Kebenaran epistimologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan


pengetahuan manusia, kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran
sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau
diadakan, kebenaran dalam arti semantik adalah kebenaran yang terdapat serta
melekat dalam tutur kata dan bahasa. Dalam pembahasannya penulis
membahas kebenaran epistimologis karena kebenaran yang lainnya secara
inheren akan masuk dalam kategori kebenaran epistimologis, teori yang
menjelaskan epistimologis adalah sebagai berikut :

1. Teori Korespondensi (the correspondence theory of truth)


Teori ini dikembangkan oleh Bertrand Russel (1872-1970).
Menurut teori korespondensi, suatu pernyataan dapat dianggap benar bila
materi pengetahuan yang terkandung dalam pernyataan tersebut
berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh
pernyataan tersebut. Pernyataan bahwa si A sedang mengalami depresi
berat dapat dipandang sebagai pernyataan yang benar bila secara faktual
memang si A sedang mengalami depresi berat. Teori korespondensi
dijadikan dasar dalam pengembangan ilmu-ilmu empiris. Ilmu-ilmu
empiris memperoleh bahan-bahannya melalui pengalaman. Tetapi
pengalaman atau empiris ilmiah sesungguhnya lebih dari sekadar
pengalaman sehari-hari serta hasil tangkapan inderawi, cara ilmiah untuk
menangkap sesuatu harus dipelajari terlebih dahulu dan untuk sebagian
besar tergantung pada pendidikan ilmiah yang harus ditempuh oleh
peneliti (Beerling, 1996).
2. Teori Koherensi / Teori Konsistensi (the coherence of truth / the
consistence of truth)
Menurut teori koherensi, suatu pernyataan dianggap benar bila
pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-
pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila pernyataan semua
logam bila kena panas memuai adalah suatu pernyataan yang benar, maka
pernyataan bahwa besi merupakan logam, sehingga bila besi kena panas
memuai adalah pernyataan yang benar. Matematika adalah bentuk
pengetahuan yang penyusunannya dilakukan dengan pembuktian
berdasarkan teori koherensi. Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-
322) telah mengembangkan teori koherensi berdasarkan pola pemikiran
yang digunakan Euclid dalam menyusun ilmu ukurnya (Suriasumantri,
2005).
Teori koherensi menjadi dasar dalam pengembangan ilmu deduktif
atau matematik. Nama ilmu deduktif diberikan karena dalam
menyelesaikan suatu masalah atau membuktikan suatu kebenaran tidak
didasarkan pada pengalaman atau hal-hal yang bersifat faktual, melainkan
didasarkan atas deduksi-deduksi atau penjabaran-penjabaran. Apa yang
harus dipenuhi agar ciri-ciri deduksi dapat diketahui dengan tepat,
merupakan masalah pokok yang dihadapi filsafat ilmu. Pendirian yang
banyak dianut sampai saat ini adalah deduksi merupakan penalaran yang
sesuai dengan hukum-hukum serta-serta aturan logika formal, dalam hal
ini orang menganggap bahwa tidaklah mungkin titik tolak-titik tolak yang
benar menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak benar (Beerling,
1996).
3. Teori Pragmatisme (the fragmatic theory of truth)
Pencetus teori pragmatisme adalah Charles S. Peirce (1839-
19914). Menurut teori ini benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori
semata mata tergantung kepada azas manfaat, sesuatu dianggap benar jika
mendatangkan manfaat dan akan dikatakan salah jika tidak mendatangkan
manfaat. Suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan tersebut
bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Pernyataan bahwa motivasi
merupakan faktor yang sangat penting untuk meningkatkan prestasi
belajar anak dapat dianggap benar bila pernyataan tersebut mempunyai
kegunaan praktis, yaitu bahwa prestasi belajar anak dapat ditingkatkan
melalui pengembangan motivasi belajarnya. Teori pragmatisme dijadikan
dasar dalam pengembangan ilmu terapan.
4. Agama sebagai Teori Kebenaran
Manusia sebagai makhluk pencari kebenaran, salah satu cara untuk
menemukan suatu kebenaran adalah melalui agama, agama dengan
karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas persoalan asasi yang
dipertanyakan manusia baik tentang alam, manusia maupun tentang
Tuhan. Agama mengedepankan wahyu yang bersumber dari Tuhan.
Dengan demikian suatu hal dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran
agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak. Oleh karena itu
sangat wajar bila Imam Al Ghazali merasa tidak puas dengan penemuan
penemuan akalnya dalam mencari suatu kebenaran, akhirnya Al Ghazali
sampai kepada kebenaran  dalam tasawuf, tasawuf lah yang
menghilangkan keragu raguan tentang segala sesuatu.

G. Kekuatan atau Kelebihan dan Kekurangan Ilmu


Kelebihan ilmu terletak pada pengetahuan yang tersusun secara logis
dan sistematis serta telah teruji kebenarannya. Proses penilaian yang terus-
menerus ini mengembangkan suatu mekanisme yang bersifat memperbaiki
diri. Mekanisme ini dimungkinkan dengan adanya karakteristik ilmu yang
lain, yakni bersifat terbuka dan tersurat (eksplisit). Kegiatan keilmuan
dilakukan dengan cara terbuka sehingga semua pihak mengetahui keseluruhan
proses yang dilakukan. Pengungkapan ini dilakukan secara tersurat dengan
mempergunakan berbagai media yang tersedia dalam komunikasi keilmuan.
Ilmu bersifat kumulatif (ilmu berkembang dengan sangat pesat dan waktu
relatif singkat).

Kekurangan ilmu bersumber pada asumsi landasan epistimologi ilmu,


yaitu memperoleh pengetahuan bertumpu pada persepsi, ingatan,
dan penalaran. Ketiga hal tersebut memiliki kelemahan. Panca indera yang
diandalkan oleh persepsi amatlah tidak sempurna, begitupun ingatan yang
kurang bisa dipercaya, serta cara penalaran dalam suatu kesimpulan jelas
sekali memiliki kelemahan. Kekurangan lain terlihat pada penjelajahan ilmu
secara ontologis yang membatasi diri pada gejala-gejala empiris. Aspek
kehidupan manusia amatlah kompleks dan tidak semata bersifat empiris.
Intinya masih banyak hal-hal yang tidak bisa terjangkau oleh kegiatan
keilmuan.

H. Ciri-ciri Ilmu sebagai Sarana Berpikir Ilmiah


Harsoyo (1977), mengemukakan ciri-ciri ilmu itu ada empat, yaitu :
bersifat rasional, empiris, umum dan akumulatif. Dari ke empat ciri tersebut,
makna dari masing-masing ciri dan contoh-contoh pengaplikasiannya secara
kongkrit, diantaranya :
1. Bersifat Rasional
Hasil dari proses berfikir merupakan akibat dari penggunaan akal (rasio)
yang bersifat objektif.
Contoh: Penggunaan pembelajaran partisipatif dapat menumbuhkan
kreativitas pada siswa, karena pada pelaksanaannya setiap siswa diberi
kesempatan untuk mengungkapkan pendapat/gagasan, atau dalam
mengambil keputusan • Penggunaan pembelajaran kooperatif dapat
menumbuhkan kerjasama diantara peserta belajar, karena dalam
pelaksanaannya peserta belajar dibagi dalam kelompok kecil untuk
memecahkan suatu permasalahan
2. Bersifat Empiris
Ilmu diperoleh dari dan sekitar pengalaman oleh pancaindera, ilmu
sifatnya tidak abstrak berdasarkan pengalaman hidup dan penelitian dapat
menghasilkan ilmu.
Contoh: Penggunaan pembelajaran partisipatif didasarkan pada
pengamatan bahwa keaktifan dan kreatvitas peserta didik sangat
memuaskan, karena setiap siswa diberi kesempatan untuk berpartisipasi
dalam berbagai aspek; Penggunaan pembelajaran kooperatif dianggap
efektif dalam menciptakan peserta didik untuk belajar bekerja sama ketika
harus memecahkan suatu masalah, sehingga pada diri anak tumbuh rasa
kebersamaan.

3. Bersifat Umum
Hasil dari ilmu dapat dipergunakan oleh semua manusia tanpa kecuali.
Ilmu tidak hanya dapat dipergunakan untuk wilayah tertentu, tetapi ilmu
dapat dimanfaatkan secara makro tanpa dibatasi oleh ruang.
Contoh : Penggunaan model pembelajaran partisipatif ataupun
pembelajaran kooperatif tidak hanya digunakan oleh seorang guru dalam
mata pelajaran tertentu, tetapi dapat juga digunakan oleh guru lainnya
dalam mata pelajaran yang berbeda; Penggunaan media dengan
memanfaatkan potensi lokal dalam pembelajaran dapat digunakan pada
tempat-tempat tertentu sesuai dengan potensi lokal yang dimilikinya.
4. Bersifat Akumulatif
Hasil ilmu dapat dipergunakan untuk dijadikan objek penelitian
berikutnya. Ilmu sifatnya tidak statis, setelah diperoleh ilmu tentang
sesuatu, maka akan muncul ilmu-ilmu baru lainnya.
Contoh : Setelah muncul model pembelajaran partisipatif dan model
pembelajaran kooperatif, muncul lagi model pembelajaran lainnya,
misalnya model kontekstual learning.

I. Manfaat atau Kegunaan Ilmu


Sebuah ilmu ditemukan dalam rangka memberikan kemanfaatan bagi
manusia. Dengan ilmu diharapkan semua kebutuhan manusia dapat terpenuhi
secara cepat dan lebih mudah. Peradaban manusia akan sangat bergantung
pada sejauh mana ilmu dimanfaatkan. Beberapa kemajuan yang dirasakan
manusia dengan ditemukannya ilmu pengetahuan antara lain kemudahan
dalam transportasi, komunikasi, pendidikan, pertanian, dan sebagainya.
Ilustrasi ini akan berkaitan dengan ilmu dilihat dalam perspektif aksiologi.

Dalam tahap awal perkembangannya, ilmu sudah dikaitkan dengan


tujuan tertentu. Ilmu tidak saja digunakan untuk menguasai alam melainkan
juga untuk memerangi sesama manusia, atau menguasai manusia. Tidak
jarang manusia diperbudak oleh ilmu. Dengan ilmu, kadang-kadang manusia
mengorbankan nilai-nilai kemanusiannya. Akhirnya hanya karena ilmu terjadi
gejala dehumanisasi, sehingga tidak salah jika banyak orang mengatakan
bahwa ilmu sudah tidak berpihak kepada manusia, tetapi ilmu sudah
mempunyai tujuannya sendiri. Dalam zaman globalisasi saat ini, di mana
proses perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi
menunjukkan perkembangan sedikit demi sedikit, setapak demi setapak,
melainkan melalui lompatan-lompatan atau terobosan-terobosan yang besar.

Dalam filsafat, ilmu juga dikaitkan dengan nilai. Pertanyaan yang


banyak dibahas antara lain bahwa apakah selalu ilmu itu bebas nilai atau tidak
bebas nilai. Tentu tidak ada orang yang meragukannya kalau ilmu itu sendiri
bernilai. Nilai ilmu terletak pada manfaat yang diberikannya sehingga
menusia dapat mencapai kemudahan dalam hidup. Ilmu dikatakan bernilai
karena menghasilkan pengetahuan yang dapat dipercaya kebenarannya yang
objektif, yang terkaji secara kritik. Dengan demikian ilmu sebagai sebuah
nilai adalah sesuatu yang bernilai dan masih bebas nilai. Akan tetapi setelah
ilmu digunakan oleh ilmuwan, ia menjadi tidak bebas nilai, hal ini disebabkan
sejauh mana moral yang ada pada ilmuwan untuk bertanggung jawab terhadap
ilmu yang dimilikinya akan menyebabkan ilmu itu menjadi baik atau menjadi
buruk.
DAFTAR PUSTAKA

Arafandi, A. (2014, September 13). Economic Development. Retrieved from


Rangkuman Buku Filsafat Ilmu (Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A.):
https://ecodevzone.blogspot.com/2014/09/rangkuman-buku-filsafat-ilmu-prof-
dr.html
Imam. (2010, November 12). Filsafat Itu Adalah Induk Semua Ilmu Pengetahuan.
Retrieved from Guidance and Counselling:
https://sultoh.blogspot.com/2010/11/filsafat-itu-adalah-induk-semua-
ilmu.html
Kuntjojo. (2009). Filsafat Ilmu. Kediri: Universitas Nusantara PGRI.
Muhamad Rijal, d. (2017). Sarana Berpikir Ilmiah. Journal Biology Science &
Education, 176-185.
Nurhiba. (2020, Februari 22). Tugas Kuliah. Retrieved from Makalah Filsafat Ilmu:
https://nurhibatullah.blogspot.com/2015/12/makalah-filsafat-ilmu.html
Suaedi. (2016). Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press.
Suriasumantri, J. S. (2005). Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.

Anda mungkin juga menyukai