Anda di halaman 1dari 22

STRATEGI PENDIDIKAN NASIONAL

Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta PAI


Dosen Pengampu Dr.Hj.Mimin Maryati, M.Pd

Di susun oleh:

Wamidi Fauza 2110632030006


Dewi Ambarsari 2110632030009
Ulfah Fauziah 2110632030012

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
2022 M / 1444 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah S.W.T berkat rahmat, karunia dan kemurahan-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Kapita Selekta Pendidikan Islam yang
berjudul Strategi Pendidikan Nasional ini tepat pada waktunya. Tidak lupa
terimakasih kami ucapkan kepada dosen Kapita Selekta Ibu Dr. Hj.Mimin Maryati,
M.Pd. Makalah ini disusun dari berbagai sumber, dan berbagai buku sehingga
menghasilkan makalah yang insya Allah dapat dipertanggung jawabkan isinya. Kami
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan dan
kelemahannya. Oleh karena itu, kritik dan saran akan kami terima dengan senang
hati demi penyempurnaan makalah ini.
Dengan ini penyusun mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima
kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan
manfaat.

Karawang, 26 November 2022


Penyusun

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................

DAFTAR ISI................................................................................................................ii

BAB I LATAR BELAKANG......................................................................................1

A. Latar Belakang..........................................................................................................1

B. Rumusan Masalah....................................................................................................2

C. Tujuan Penulisan Makalah........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................3

A. Pendidikan Masa Kolonial........................................................................................3


B. Pendidikan Seusai Perang Kemerdekaan..................................................................5
C. Pembaruan Pendidikan Nasional.............................................................................11
D. Strategi Pendidikan Nasional..................................................................................15
BAB III PENUTUP....................................................................................................18

A. Kesimpulan.............................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................19

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Watak budaya suatu bangsa, termasuk alam pikiran dan perilaku, dibentuk
oleh kondisi alam tempat hidupnya. Misalnya, watak budaya orang pantai
berbeda dengan orang pegunungan; orang gurun pasir berbeda dengan orang
lembah hijau; orang bermusim salju dengan orang khatulistiwa. Selain itu, juga
dibentuk oleh kondisi sejarahnya sendiri. Oleh karena itu, terdapat perbedaan
watak bangsa–bangsa seperti yang dikenal dalam sejarah. Watak budaya itu
dapat juga dibentuk oleh sistem dan pertumbuhan ekonomi dan industri
terhadap masyarakat yang semula agraris. Namun, dapat pula dibentuk oleh
konsep pendidikan berdasar strategi politik suatu negara.

Pendidikan amat berperan terhadap keunggulan suatu bangsa. Misalnya,


bangsa Sparta 1000 tahun sebelum Masehi. Pada masa itu, bangsa-bangsa yang
mendiami Balkan hidup terpencar dalam kota-kota kecil yang terpisah oleh
gunung dan pulau-pulau. Mereka senantiasa dilanda perang antara
sesamanya. Oleh karena itu, bangsa Sparta di bawah pimpinan Lycurgus,
seorang pendidik, membangun kekuatan dengan sistem pendidikan militer yang
keras sejak anak berusia 10 tahun. Akhirnya, Sparta disegani bangsa-bangsa di
sekitarnya. Tentu saja strategi dan program pendidikan itu didukung oleh sistem
sosial secara konsisten. Kemudian, “Pendidikan Sparta” menjadi amsal bagi
pendidikan dengan disiplin keras.

Lain lagi dengan Jepang. Ketika mereka sadar telah tertinggal jauh dari
bangsa Eropa, seperti Sparta juga, Jepang mengubah strategi pendidikan dengan
tujuan mengejar ketertinggalan itu. Mereka melaksanakan program pendidikan
yang ketat dan konsisten, ditunjang oleh seluruh kekuatan sosial dan ekonomi.
Berbeda dengan Sparta, Jepang bukan hanya membangun kekuatan militer,
melainkan juga membangun kekuatan ekonomi dan industri. Apa saja yang ada
di Eropa mereka tiru. Sejak dari sistem tata negara, militer, industri, pendidikan,
bahkan cara berpakaian pun. Namun, ada satu hal yang mereka pertahankan,
yaitu kesadaran bahwa mereka adalah bangsa Jepang yang memiliki tradisi
samurai yang sakral, yang terpelihara lebih dari 1000 tahun. Seperti Sparta juga,

1
dengan kekuatan militernya Jepang menjarahi bangsa-bangsa sekitarnya. Meski
akhirnya kekuatan militernya terkalahkan, semangat yang tertanam oleh sistem
pendidikan yang strategis itu, Jepang tetap tampil sebagai bangsa yang kuat di
bidang ekonomi.

B. RUMUSAN MASALAH
1) Bagaimana Pendidikan masa Kolonial.
2) Bagaimana Pendidikan Seusai Perang Kemerdekaan.
3) Bagaimana Pembaruan Pendidikan Nasional.
4) Bagaimana Strategi Pendidikan Nasional.
C. TUJUAN PENULISAN MAKALAH
Tujuan yang hendak dicapai dalam pembahasan makalah ini adalah :
1. Mengetahui Pendidikan masa kolonial.
2. Mengetahui pendidikan seusai perang Kemerdekaan.
3. Mengetahui pembaruan pendidikan Nasional.
4. Mengetahui Strategi Pendidikan Nasional.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pendidikan Masa Kolonial

Strategi pendidikan yang dikembangkan Belanda untuk bangsa Indonesia


ialah untuk mengukuhkan kekuasaan kolonialnya. Kepada bangsa Indonesia
ditanamkan mitos bahwa Eropa, terutama Belanda, adalah bangsa yang unggul.
Sebaliknya, bangsa Indonesia bodoh, malas dan kumuh. Juga ditanamkan
semangat “anak jajahan” yang penurut, elistis, feodalistik dan berpecah – belah.

Sekolah didirikan dengan jenis dan tingkat yang berbeda-beda. Untuk


pribumi didirikan 2 tingkat sekolah : Sekolah rakyat 3 tahun dan Sekolah rakyat
5 tahun. Sekolah ini tidak ada sambungannya, selain ke sekolah pertukangan
untuk mendidik tenaga kerja di bengkel perusahaan milik Belanda.Untuk
golongan elit didirikan sekolah tingkat rendah sampai tingkat atas berbahasa
Belanda.

Sekolah berbahasa Belanda itu didirikan bukan bertujuan untuk mendidik


bangsa Indonesia agar maju, melainkan untuk disiapkan menjadi amtenar atau
pekerja kantoran yang cakap dan loyal serta memiliki prestise elitis atau priayi.
Dengan begitu, seluruh orang terpesona dan bercita-cita pula menjadi amtenar
atau priayi.

Apabila kemudian diperbanyak sekolah berbahasa Belanda, itu bukan


karena pemerintah memerlukan lebih banyak amtenar atau tenaga kerja,
melainkan untuk memenuhi tuntutan para amtenar agar anak mereka dapat
bersekolah seperti yang mereka peroleh sehingga memperluas pengaruh
golongan elit “anak jajahan”.

Pembanyakan jumlah sekolah itu tentu saja berakibat pada meningkatnya


jumlah pengangguran tamatan sekolah, baik sekolah rendah maupun sekolah
menengah, karena lowongan kerja tidak sebanyak jumlah tamatan sekolah.
Kondisi dan situasi itu tampaknya tidak mengkhawatirkan pemerintah karena
dari orang-orang yang bermental “anak jajahan” tidak akan mungkin timbul
dampak politik maupun keamanan. Apabila kemudian bangsa Indonesia dapat
mencapai kemerdekaan bagi tanah air Indonesia, itu karena dipelopori oleh
mereka yang telah menduduki perguruan tinggi, maka wawasan dan konsep

3
pendidikannya jauh berbeda dengan sekolah di bawahnya.

Oleh dominasi hasil pendidikan elistis yang feodalistik, pada umumnya


golongan menengah ke atas tidak menghayati makna demokrasi sebagai cita-
cita nasional.

Pendidikan yang berorientasi elistis juga membuat anak-anak desa terputus


hubungannya dengan tradisi dan sistem budayanya. Sawah–ladang dan usaha
kerajinan terlantar. Kalau tetap dikerjakan, hanya oleh orang–orang yang tidak
terdidik sehingga mutu produksinya tidak bisa meningkat. Akan lain jadinya
kalau lapangan kerja itu diminati orang terdidik yang mampu menggunakan
otaknya mencari dan menemukan cara yang efektif dan efisien serta mutu yang
baik.

Bagi bangsa yang merdeka, menjadi amtenar atau pekerja kantoran


tidaklah dipandang paling ideal. Yang ideal ialah bekerja di bidang produksi.
Namun, bidang itu membutuhkan orang–orang aktif, kreatif dan produktif serta
memiliki etos kerja dan semangat mandiri. Memang pemerintah mendirikan
juga banyak sekolah kejuruan. Namun, programnya untuk mendidik tenaga
kerja gajian, bukan mendidik orang terampil yang memiliki kemauan kerja dan
mandiri. Pesan yang paling tepat dalam menggambarkan hal ini adalah “Lebih
baik jadi tuan kecil daripada jadi budak besar”.

Strategi pendidikan Belanda di negerinya, sama dengan yang berlaku pada


umumnya bangsa-bangsa Eropa. Karena sistem tata negara mereka berdasarkan
demokrasi, dimana manusia sebagai individu tanpa memandang golongan,
sudah sama berwatak aktif-kreatif dan kritis dengan tradisi etos kerja, maka
program pendidikan di sana tinggal mengutamakan dan mengembangkan nalar
dan kebebasan mengeluarkan pendapat.

Meskipun beberapa materi kurikulum banyak persamaan dengan di


Belanda, sistemnya jauh berbeda. Perbedaan yang mencolok sudah dimulai
sejak sekolah rendah. Program dan kurikulum pendidikan di Belanda senantiasa
dapat berubah untuk disesuaikan dengan tuntutan jaman, baik karena
perkembangan tata negara dan ekonomi, maupun karena ilmu dan teknologi
yang meningkat. Namun, sistem dan metode diletakkan bagi sikap mental
manusia yang dinamik, yang merdeka dan demokrasi. Dengan demikian,

4
penghargaan tertinggi bukan pada sikap loyalitas pada pekerja kantoran,
melainkan pada prestasi dalam profesi apapun, seperti negarawan,
cendekiawan, ilmuwan, teknolog, olahragawan, seniman dan usahawan.

Di Belanda, pemerintah tidak mendirikan sekolah lanjutan yang berfungsi


menampung murid dari sekolah di bawahnya. Istilah pendidikan dengan
pengajaran dipahami secara terpisah. Pada sekolah tingkat lebih rendah bobot
pendidikan lebih besar dari pada pengajaran. Di sekolah lanjutan, bobot
pendidikan dikurangi dengan memperbesar pengajaran. Di sekolah tinggi yang
diberikan semata-mata pengajaran tentang ilmu pengetahuan, teori dan praktek.
Oleh karena itu, dalam program sejak awal pendidikan murid disiapkan
memikirkan sendiri masa depannya: mau langsung bekerja dalam masyarakat
atau melanjutkan sekolah. Menjadi mahasiswa atau memakai label sarjana
tidaklah dimitoskan sebagai status sosial yang berprestise. Yang menjadi cita-
cita utama ialah bagaimana supaya bisa bekerja dan tidak sampai menganggur.

Pendidikan di Indonesia masih melanjutkan sistem pendidikan kolonial,


yaitu dengan lebih memakai sistem verbal. Murid mendengar apa kata guru
serta banyak menghafal pelajaran dan memberi banyak pekerjaan ulangan di
rumah. Murid tidak diajak berpikir untuk mengembangkan nalar secara kritis,
kemampuan mencari alternatif. Tidak diajarkan berani bertanya apalagi
mendebat dengan menggunakan dalil yang argumentatif. Yang boleh bertanya
hanya guru.

B. Pendidikan Seusai Perang Kemerdekaan.

Secara politis, strategi pendidikan nasional yang sesuai dengan tujuan


kemerdekaan bangsa Indonesia tidak pernah dipikirkan apalagi ditetapkan.
Program dan sistem pendidikan diserahkan saja kepada birokrat bekas guru-
guru sekolah rendah yang berdiploma. Karena mereka tidak memiliki wawasan,
apalagi menghayati makna nasionalisme dan tujuan kemerdekaan, mereka
“menjiplak” saja apa yang mereka peroleh dari sekolahnya dulu: sistem,
program dan kurikulumnya. Label pendidikan nasional diartikan sama dengan
membuang kurikulum bahasa Belanda dan yang berbau Belanda.

Pelajaran kesenian seperti menggambar dan bernyanyi, serta kerajinan


tangan sejak dari sekolah rendah yang berfungsi untuk melatih murid agar dapat

5
bekerja dan meniru secara teliti secara estetika, tidak diajarkan lagi. Tidak
diajarkan, bukan karena program atau sistemnya salah, melainkan karena tidak
mengerti akan fungsinya serta sangat mendewakan ilmu pengetahuan umum.
Padahal kemampuan meniru dengan baik dan bekerja dengan teliti melalui
pendidikan kesenian itu sangat diperlukan bagi mereka yang akan bekerja pada
bidang administrasi, terutama di pemerintahan. Besertanya pendidikan bagi rasa
keindahan atau estetika pada murid pun terabaikan.

Bahkan sejak dari sekolah rendah, kepada murid tidak diberi perpustakaan
yang menyediakan buku-buku sebagai alat bantu untuk mengembangkan
wawasan murid, karena alasan tidak ada dana. Padahal seluruh kurikulum
menggiring murid agar mampu masuk ke perguruan tinggi yang akan
mewajibkan mahasiswa melakukan banyak studi kepustakaan. Oleh karena itu,
ketika menjadi mahasiswa, mereka tidak mempunyai minat membaca dan
menulis sehingga waktu mereka lebih banyak diisi dengan kelakar atau
mengobrol bergerombol daripada studi.

Tingkat dan jenis sekolah serta program dan kurikulum diseragamkan


untuk seluruh Indonesia tanpa mengindahkan kondisi dan situasi yang berbeda-
beda di berbagai daerah dengan dalih demi persatuan bangsa. Akibatnya, anak
petani atau nelayan di pedesaan terpencil mendapat program pendidikan yang
sama dengan anak kota besar yang makmur. Jika anak kota besar yang
disiapkan ke perguruan tinggi mulai belajar bahasa Inggris di SMP, anak petani
atau nelayan itu pun wajib pula belajar bahasa Inggris. Tidak ada yang peduli,
apakah bahasa itu akan menjadi bahasa kedua atau tidak akan berfaedah bagi
kehidupan masa depan di desanya. Pokoknya, demi persatuan dan kesatuan
bangsa, pendidikan di seluruh Indonesia mesti diseragamkan.

Demokrasi pendidikan diartikan bahwa semua orang berhak mendapat


pendidikan yang sama dan setinggi-tingginya. Oleh karena itu, setiap tingkat
sekolah dijadikan jenjang pendidikan untuk memasuki perguruan tinggi dengan
muatan kurikulum yang disesuaikan untuk ke sana. Tidak ada pikiran bahwa
tidak semua anak yang mampu ke perguruan tinggi, baik karena kemampuan
otaknya maupun kemampuan biaya. Diperkirakan yang mampu ke perguruan
tinggi hanya 10%, sedangkan yang 90% tercecer di SD, SMP dan SMA.
Mereka tak ubahnya sebagai korban dari program demokrasi pendidikan yang

6
salah kaprah itu.

Akibat dari sistem demokrasi pendidikan yang “sama rata” itu, sekolah
pun diperbanyak setiap tahun, sedangkan pemerintah tidak punya dana yang
cukup. Dengan sendirinya, sarana dan prasarana pendidikan menjadi minim dan
kian minim lagi setiap penambahan jumlah sekolah apapun jenjangnya. Sudah
tentu hasil dari pendidikan itu pun kian terpuruk.

Hal yang tidak dapat dipahami pula ialah masalah waktu libur sekolah
yang tetap memakai aturan pada masa kolonial yang menetapkan waktu libur
disesuaikan dengan musim di eropa. Tidak dengan iklim tropis yang mengatur
musim turun ke sawah. Akibatnya, anak-anak petani di pedesaan yang secara
tradisional membantu orang tuanya, terputus dengan tradisinya atau terputus
dengan Sekolahnya. Yang melanjutkan sekolah tidak lagi mencintai pekerjaan
pertanian, yang terputus sekolahnya tetap tinggal bodoh.

Memang banyak sudah upaya pemerintah memperbaiki kondisi pendidikan


sejak dari penyempurnaan prasarana dan sarana sampai kepada perbaikan
kurikulum. Antara lain dengan membuat program yang cukup drastis: membuka
sekolah percobaan sebagai pilot project yang dikelola langsung oleh beberapa
IKIP. Namun, ketika terjadi pergantian menteri, pilot project tersebut
dihentikan. Menteri lain melaksanakan program “modul” dengan
mengelompokkan kurikulum, yang dihentikan pula oleh menteri yang baru.
Berikutnya dilaksanakan lagi perubahan yang lebih mementingkan
“humaniora”, lalu oleh menteri berikutnya lebih mementingkan “program
matematik”. Namun, oleh menteri yang menggantikannya, program baru itu
diganti lagi dengan “sekolah unggul” yang kemudian berganti nama dengan
program sekolah “plus”, disamping ada program kurikulum “muatan lokal”.

Ternyata kurikulum “muatan lokal” cenderung untuk memenuhi tuntutan


sikap emosional orang-orang daerah yang berorientasi lokal pula. Hampir tidak
ada pemikiran yang rasional, agar materi kurikulum “muatan lokal” itu
berfungsi untuk menunjang pembentukan watak bangsa yang tengah berpacu
mengejar ketertinggalan dari bangsa lain.

Semua perubahan itu membuktikan, semua orang menyadari bahwa hasil


pendidikan di Indonesia kian lama kian turun mutunya atau kian tertinggal dari

7
bangsa lain, dan ada usaha untuk memperbaikinya. Yang paling merasakan
rendahnya mutu pendidikan itu ialah para pengajar di perguruan tinggi.
Selanjutnya, kepada mereka pula ditugaskan menyusun konsep perbaikan mutu
pendidikan sekolah di bawahnya. Adalah tidak mengherankan apabila dari sana
lahir program perbaikan pendidikan hanya demi kepentingan mutu perguruan
tinggi, bukan bagi kepentingan tuntutan kehidupan sosial, ekonomi dan
kebudayaan yang tengah berubah dengan cepatnya itu.

Program dan hasil pendidikan di Indonesia dinilai tidak lebih baik


daripada zaman penjajahan. Sesalah-salah strategi dan sistem pendidikan pada
jaman kolonial, mutu dan hasil pendidikannya masih lebih baik, baik di bidang
ilmu maupun etika dan moralnya. Oleh karena sejak sekolah lanjutan sampai ke
perguruan tinggi pengelolaannya melalui prosedur yang terseleksi dengan ketat,
tidak memassal. Sekolah lanjutan dibuka hanya untuk anak-anak yang otaknya
pintar dan orang tuanya mampu. Dengan sendirinya terjadilah perlombaan
ketekunan belajar pada murid. Oleh karena itu, anak-anak yang kurang mampu,
baik otak maupun dananya, tidak didorong untuk melanjutkan sekolah.
Kesalahan strategi pendidikan moral kolonial ialah karena tidak meyiapkan
murid untuk berani terjun ke masyarakat dan tidak menyiapkan murid sebagai
bangsa yang memiliki etos kerja dan sikap yang mandiri.

Kebijaksanaan yang dipakai di Indonesia sekarang ini ialah dengan


membuka sekolah sebanyak-banyaknya, dengan hasil yang bersifat massal,
meskipun sudah diketahui mutunya akan terus merosot. Pada ujungnya, tamatan
pendidikan dari jenjang sekolah manapun akan menjadi penganggur juga.

Apapun macam perbaikan program pendidikan senantiasa tidak akan


mencapai sasaran yang sesuai dengan tuntutan jaman, apabila murid sejak di
sekolah dasar tidak terbentuk wataknya sebagai manusia seperti yang tercantum
dalam filsafat Pancasila dan UUD 1945. Manusia itu dapat diibaratkan seperti
pohon kelapa yang setiap komponennya berfaedah, seperti daging buah, air,
batok, sabut, daun, lidi dan batang. Pohon itu dapat tumbuh, namun kualitasnya
akan ditentukan oleh lembaganya, yaitu umbut atau embrio yang akan menjadi
bibitnya.

8
Kebijaksanaan pendidikan yang berlabel pendidikan nasional dengan
program menyiapkan setiap murid untuk meningkatkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi masih menanamkan cita-cita agar menjadi orang kantoran,
padahal jumlah pegawai negeri terbatas. Pada akhirnya, setiap orang dari setiap
jenjang pemikiran lebih memilih menjadi penganggur daripada tidak dapat
bekerja sebagai pegawai negeri. Kalaupun mereka bekerja juga pada akhirnya,
baik sebagai karyawan maupun wiraswasta, pada umumnya tidak relevan
dengan bidang studi yang dipelajarinya sehingga seolah-olah setiap jenjang
pendidikan itu berfungsi untuk menunda masa pengangguran.

Memang, diwaktu perkembangan ekonomi sangat pesat, banyak terbuka


lapangan kerja di luar pemerintahan. Namun, itu hanya berlaku di kota besar,
tempat kegiatan ekonomi terpusat. Di daerah, tempat perkembangan ekonomi
bergerak lamban, satu-satunya lapangan kerja yang mampu menjamin masa
depan hanyalah di pemerintahan. Akibatnya, jumlah sarjana penganggur kian
membengkak dari tahun ke tahun berhubung instansi pemerintah tidak mampu
menampung. Karena perlu mempertahankan hidupnya, mereka terpaksa bekerja
pada tempat yang sepatutnya untuk tamatan sekolah rendah saja. Itu bukan
suatu pilihan hidup, melainkan karena keterpaksaan.

Sistem kepangkatan menurut diploma pada pegawai negeri, juga menjadi


salah satu pendorong utama bagi orang untuk memasuki perguruan tinggi.
Sebagian mereka memilih fakultas favorit, namun lebih banyak memilih
fakultas apa saja asal bisa masuk. Ukuran favorit tidak terletak pada ilmu yang
hendak diperoleh, melainkan prospek yang menjamin dapat pekerjaan. Hasilnya
sama saja antara memilih fakultas favorit dengan memilih fakultas apa saja, jika
dilihat pada perilaku dari produk sistem pendidikan itu sendiri.

Tampaknya, karena banyak peminat, kebijaksanaan politik dalam


pengelolaan perguruan tinggi lebih memilih memperbanyak fakultas atau
jurusan, daripada meningkatkan kualitas. Masa waktu pendidikan diperpendek
dan lama masa mengikuti kuliah dibatasi. Tampaknya, kebijaksanaan itu seperti
untuk memaksa agar mahasiswa belajar lebih rajin. Namun, bisa terjadi
sebaliknya. Mahasiswa mencari “jalan pintas” yang paling mudah untuk
mendapat diploma. Karena pada umumnya setiap instansi pemerintah, oleh
alasan yang tidak etis, penerimaan tenaga kerja hanya melihat diploma, tidak

9
pada kualitas dan relevansi bidang studinya.

Pemerintah memang mendirikan beraneka ragam sekolah kejuruan. Akan


tetapi, sekolah kejuruan tidak menarik. Oleh karena cita-cita masyarakat, yang
telah dibentuk sejak 100 tahun yang lalu, memandang status sosial pegawai
negeri yang terhormat ialah di perkantoran, bukan di bengkel atau di
lapangan. Di samping itu, sekolah kejuruan tidak mendidik orang agar
memiliki etos kerja yang terampil. Di sisi lain, sekolah kejuruan akan tidak
memungkinkan orang melanjutkan ke perguruan tinggi. Masyarakat
memandang sekolah kejuruan sebagai sekolah kelas dua, sekolah bagi murid
yang bekecerdasan kurang. Memasuki sekolah kejuruan bukan karena pilihan,
melainkan karena tidak dapat memilih. Pada satu masa, pemerintah memang
memberi peluang kepada murid sekolah kejuruan agar mampu ke perguruan
tinggi dengan cara mengisi beberapa kurikulum pendidikan umum, namun
akibatnya kurikulum praktek kejuruannya menjadi kian berkurang.

Di sekolah kejuruan tidak disertakan program pendidikan etos kerja.


Sistem dan metode serta tujuan sama dengan sekolah umum. Tidak ada pikiran
untuk melaksanakan konsep pendidikan kejuruan yang relevan dengan program
pembangunan yang membutuhkan manusia yang cinta pada pekerjaan, ulet dan
tekun. Tentu saja banyak masalah yang menjadi hambatan, terutama karena
setiap sekolah kejuruan yang relevan untuk jamannya, memerlukan peralatan
yang memadai. Dan itu mahal.

Di Jepang, sekolah kejuruan hadir dalam posisi yang tidak kalah


pentingnya dengan sekolah umum. Dalam 1000 sekolah, terdapat 125 sekolah
kejuruan yang menghasilkan tenaga terampil untuk mengisi lowongan beragam
industri. Dalam materi kurikulum ilmu bumi SD Jepang, dicantumkan nama
negara yang menjadi pasar industri Jepang. Sebaliknya, di Indonesia yang
disuruh hafal ialah nama gunung tertinggi, sungai terpanjang atau laut terdalam.
Sejak dari pendidikan di tingkat sekolah menengah di Jepang, para murid telah
dituntun untuk berpikir realistis untuk ke arah mana mereka akan melanjutkan
pendidikan. Namun, murid di Indonesia diarahkan untuk melanjutkan ke SMA
agar kelak bisa masuk ke sekolah tinggi. Sampai menamatkan SMA, murid
tetap tidak tahu ke sekolah tinggi apa mereka akan melanjutkan pendidikan.

10
Kemerdekaan Indonesia yang dicapai berkat usaha para pemimpin bangsa,
tidak diimbangi dengan strategi pendidikan yang konsepsional. Kemerdekaan
Indonesia baru pada tingkat ketatanegaraan dan politik. Maka tujuan
kemerdekaan bangsa menjadi tidak lain daripada penggantian posisi dari bekas
penjajah kepada anak jajahan.

Slogan “Tut Wuri Handayani” yang diambil dari konsep Taman Siswa,
dipahami secara dangkal. Sebatas pengertian bahwa guru berfungsi sebagai
penggiring murid dari belakang, sedangkan arahnya tetap memakai konsep
pendidikan kolonial. Konsep pendidikan Taman Siswa dengan slogan itu,
bertujuan menggiring murid agar sadar pada hak serta kewajiban sebagai
manusia menurut harkatnya, agar memiliki wawasan nasional yang
diperjuangkan tanpa pamrih demi kepentingan bangsa. Bukan untuk
menjadikan bangsa yang menurut pada sistem feodalisme.

Konsep pendidikan nasional yang berlaku, masih terpaut dalam pengertian


perjuangan ideologi politik bernegara akibat terjadinya serentetan
pemberontakan yang memecah belah kesatuan bangsa dan menentang ajaran
ideologi komunis yang ateistis. Oleh karena itu, kurikulum utama yang
diajarkan sejak dari SD sampai ke perguruan tinggi ialah ideologi bernegara
melalui kurikulum moral Pancasila dan agama. Karena kurikulum itu
menggunakan metode indoktrinasi, dan pada setiap ujian nilai hafal lebih
menentukan daripada nilai perbuatan, sekolah cenderung mengabaikan mutu
kurikulum yang berfungsi meningkatkan kecerdasan otak.

C. Pembaruan Pendidikan Nasional

Strategi pendidikan suatu bangsa semestinya ditentukan oleh konsep


ideologi bangsa, bukan oleh konsep politik suatu pemerintahan. Konsep politik
pemerintah lazimnya terpakai pada suatu negara yang menganut sistem diktator.
Arah pendidikan suatu bangsa bukan untuk mengokohkan posisi golongan yang
sedang berkuasa. Sementara itu, konsep suatu bangsa atau negara harus diatur
berdasarkan pertimbangan kondisi alam tempat bangsa itu hidup, dan ke arah
mana bangsa itu akan dididik agar mampu hadir di tengah masyarakat dunia
yang maju di jaman ini dan nanti.

Ideologi bangsa Indonesia yang berakar dari kebangkitan nasional

11
dimotivasi oleh kehendak untuk mengangkat martabat bangsa secara politik,
ekonomi dan sosial melalui kemerdekaan, yang kemudian tertuang pada
Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, strategi dan program pendidikan
seharusnya sejalan dengan tujuan untuk membangkitkan harkat manusia
khatulistiwa yang berbudaya santai itu agar mampu berpacu secara mental
mengejar ketertinggalan dalam arena hidup di dunia tanpa menghilangkan
kodratnya yang beragam. Setiap jenis kurikulum bukan menjadi tujuan,
melainkan menjadi alat untuk mencapai tujuan. Dari sanalah seharusnya
disusun strategi, program dan kurikulum pendidikan itu.

Maksudnya, murid tidak dituntut untuk menguasai secara hafalan akan


materi kurikulum, melainkan setiap materi kurikulum itu membantu murid agar
memiliki nalar pada otaknya. Memaksa murid agar hafal semua materi
kurikulum itu tidak menyebabkan mereka menjadi pintar dan cerdas. Cara
demikian lebih mendorong murid menjadi “pengekor”, bukan pemikir.
Memberi nilai tinggi kepada murid yang mampu menghafal sebetulnya
merupakan sistem yang keliru.

Karena kebijaksanaan program pendidikan bertujuan agar setiap murid


mampu melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi, maka bobot
kurikulum menjadi berat ke bidang akademik. Tujuan perjuangan nasionalisme
untuk mengangkat harkat dan martabat manusia yang merdeka di tanah airnya
terabaikan. Formulasi makna nasionalisme yang dituangkan dalam Pancasila
menuntut sistem dan kurikulum yang seharusnya bermuatan untuk mengangkat
martabat manusia agar beradab, demokratis dan sejahtera. Akan tetapi, apabila
bobot kurikulum berat ke bidang akademik, hasilnya akan tidak ada bedanya
dengan pendidikan pada masa kolonial.

Penyeragaman jenis, tingkat dan materi kurikulum untuk seluruh sekolah


di mana pun lokasinya, berakibat pada penyeragaman kualitas dan wawasan
manusia. Akibat lanjutannya ialah memusnahkan keragaman manusia itu
sendiri. Hal itu bertentangan dengan kodrat alam sebagai ciptaan Tuhan.
Penggiringan murid untuk bercita-cita utama untuk menjadi pegawai negeri
atau tenaga kerja melalui sistem dan proses pendidikan di sekolah, padahal
sudah diketahui daya tampung sangat kecil, merupakan kesalahan besar. Meski
sudah sering diomongkan bahwa bercita- cita menjadi pegawai oleh sekolah

12
sejak dari tingkat dasar sampai ke tingkat tinggi adalah keliru, program
pendidikan tidak memberikan pengertian serius kepada murid sejak dini. Cita-
cita yang keliru itu dibiarkan berkembang terus.

Pendidikan pada madrasah di jaman penjajahan, tidak menjuruskan murid


agar mencari pekerjaan ke kantor. Murid disiapkan untuk hadir dalam
masyarakat sebagai warga yang mandiri. Salah satu kurikulum yang penting
ialah ilmu mantiq atau logika sehingga murid mampu mengadu argumentasi
dari suatu kebenaran yang dianutnya, serta tidak menjadi masyarakat yang
taqlid buta.

Para pakar dan para birokrat pendidikan sama memandang bahwa menjabat
jabatan tinggi di kantor-kantor merupakan status yang paling ideal dan
terhormat. Oleh karena itu, mereka bersikukuh mempertahankan sistem dan
program pendidikan yang sudah ada, meski mereka pun mengetahui bahwa
dalam kenyataannya hal itu adalah keliru. Merombak pandangan lama dengan
pandangan baru secara total, selain membutuhkan keberanian politik juga sosio-
psikologis. Dengan melakukan perombakan total itu, dengan sendirinya akan
menurunkan letak posisi pegawai atau pejabat tinggi, atau dalam perkataan lain
akan menurunkan posisi mereka sendiri di mata masyarakat. Kemungkinan
faktor inilah yang menghambat pemikiran para perencana pembangunan bidang
pendidikan selama ini. Andaikata penyusun kebijaksanaan diserahkan kepada
golongan bukan dari birokrasi, program pendidikan nasional kita akan jadi lain.

Hal ini dapat dituangkan dalam kiasan “Dari pohon mangga jangan
diminta buah rambutan. Tetapi jadikan setiap pohon menghasilkan buah yang
manis.” Maksudnya, agar pendidikan tidak membentuk murid menjadi manusia
yang bercita-cita dan berpikir seragam, tetapi menjadikan mereka manusia yang
berkualitas yang menurut kodratnya. Pendidikan jangan sampai berfungsi untuk
menentukan pilihan hidup murid. Fungsi pendidikan ialah membangkitkan
minat murid agar berkemauan keras untuk memilih sendiri jalan hidupnya.
Anak pegawai atau pedagang di kota dan anak petani di desa harus diberi
bentuk pendidikan yang berbeda karena masing-masing memiliki kondisi dan
latar belakang budaya yang berbeda. Ada banyak materi kurikulum yang
dapat dan perlu sama. Namun, ada banyak pula materi kurikulum yang tidak
boleh sama untuk tempat dan kondisi yang berbeda.

13
Makna pendidikan nasionalisme dan kemerdekaan bangsa seperti yang
terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, bukanlah semacam “barang”
hafalan. Ia harus berfungsi membentuk watak bangsa melalui metode
pendidikan aktif-kreatif agar nalar pemikiran dan amal perbuatan berkembang.
Setiap materi kurikulum sejak SD sampai SMA tidak hanya berfungsi
mengajarkan ilmu, melainkan juga meningkatkan akal budi. Kurikulum
matematik sebagai contoh. Fungsinya untuk memberi latihan berpikir
matematis, logis dan sistematis. Hafal rumus-rumus bukan suatu hal yang
pantas untuk dinilai. Rumus biarkan dalam buku untuk dijadikan pedoman pada
waktu diperlukan, seperti melihat kamus atau ensiklopedi.

Ada baiknya jika ada sekolah yang mendidik anak pintar atau agar anak
menjadi lebih pintar, tetapi bukan berarti seluruh sekolah melaksanakan
program itu. Demikian pula jangan ada program untuk mendidik semua orang
sama pintarnya. Untuk bangsa Indonesia yang hidup dalam alam tropis dan
berbudaya santai, materi pendidikan yang utama diberikan ialah untuk
mengubah watak budaya santai itu agar menjadi manusia berkemauan kerja
keras, bermental ulet dan tekun. Disamping itu, perlu dipahami pula bahwa
orang pintar yang bertabiat santai, tidak ada gunanya bagi mencapai cita-cita
kemerdekaan bangsa.

Dalam program pendidikan di Indonesia lebih diutamakan susunan dan


materi kurikulum pendidikan akademik. Akibatnya, sering terjadi perubahan
dan penambahan materi yang serba tanggung sehingga tidak efektif bagi
peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. Hal itu menjadi lebih buruk lagi
hasilnya oleh sistem target dalam hal belajar mengajar dengan memakai
standard NEM / NAN tertinggi. Dalam masyarakat yang berprilaku santai,
sistem NEM / NAN mendorong sekolah untuk memanipulasi angka, baik
dengan cara membocorkan materi ujian maupun membiarkan murid
menyontek atau mengangkat nilai. Oleh karena itu, fungsi pendidikan sudah
berubah dari tujuan mendidik murid menjadi memperalat murid demi
memelihara “nama baik” sekolah. Dan secara tidak langsung telah memberi
pelajaran kepada murid untuk melakukan manipulasi atau melakukan “jalan
pintas”. Padahal untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, NEM /
NAN tidaklah menentukan secara otomatis dapat melanjutkan ke perguruan

14
tinggi. Mungkin karena perguruan tinggi tidak percaya pada mutu sekolah di
bawahnya, kemampuan murid harus diuji lagi.

Kebijaksanaan program pendidikan di Indonesia dinilai tidak proporsional


dan juga kontroversial. Sejak dari tingkat SD, murid disiapkan agar mampu
menaiki jenjang pendidikan yang paling tinggi. Konsekuensinya, perguruan
tinggi dibangun sebanyak–banyaknya dan jurusan bidang studi diperluas
sebanyak-banyaknya agar dapat menampung sebanyak–banyaknya mahasiswa.
Tampaknya, seperti tidak terpikirkan berapa banyak kebutuhan riil dari
pengguna jasa pada produk perguruan itu.

D. Strategi Pendidikan Nasional

Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dengan latar belakang
budaya dan agama yang berbeda, situasi dan kondisi alam yang tidak sama serta
lingkungan hidup yang berlainan sehingga watak manusianya pun berbeda. Ada
beberapa hal yang sama padanya, yaitu letak geografis di alam khatulistiwa
serta pengalaman sejarah sebagai anak jajahan yang telah memerdekakan tanah
airnya. Dalam posisi sosial, ekonomi, dan ilmu pengetahuan, bangsa Indonesia
berada jauh di bawah bangsa-bangsa yang berasal dari belahan bumi utara.

Kemerdekaan bangsa dan tanah air Indonesia memberi janji atau peluang
yang luas untuk mengangkat harkat bangsa, setidak-tidaknya menyamai posisi
yang dimiliki bangsa-bangsa yang maju di bidang ekonomi, ilmu pengetahuan
dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi dapat saja dipelajari karena otak
bangsa Indonesia tidak kalah mutunya dari bangsa mana pun, berkat rahmat
Alloh Yang Maha Adil.

Pada umumnya, orang menyalahkan penjajahan Belanda yang


menyebabkan bangsa Indonesia seperti keadaan sekarang. Anggapan itu
sebagian saja yang benar jika mengingat bahwa Aceh belum sampai 40 tahun
dijajah dan Minangkabau 100 tahun. Namun, sikap mental orang Aceh atau
Minangkabau praktis sama dengan suku bangsa yang jauh lebih lama dijajah
Belanda. Oleh karena itu, jelaslah bahwa kondisi alam yang ramah yang
menjadi penyebabnya. Penjajahan Belanda hanyalah mengekalkan kondisi itu
melalui strategi pendidikan di sekolah.

Manusia hidup dalam kondisi alam yang berbeda-beda. Oleh karena itu,

15
manusia tidak bisa sama aktivitasnya. Alam yang keras memaksa manusia
hidup dengan dinamika yang keras pula. Kalau tidak, mereka akan mati
dimakan alamnya sendiri. Manusia yang hidup dalam alam yang lembut akan
kalah bila berhadapan dengan manusia yang beralam keras. Seperti watak
manusia yang dikatakan Thomas Hobbes, “Homo Homini Lupus”, manusia
adalah serigala bagi sesamanya.

Manusia yang betapapun pintar otaknya, akan tidak berarti apa-apa dalam
berhadapan dengan bangsa yang selain pintar juga memiliki kemauan bekerja
keras atau etos kerja seperti Jepang atau bangsa-bangsa Barat lainnya.

Di masa pendudukan Jepang terjadi banyak kerusakan mental bangsa


Indonesia umumnya. Pemerintah militer Jepang memang banyak membuka
pabrik untuk kepentingan perangnya. Mereka yang mempunyai kemampuan
kerja tangan atau keterampilan mendapat tempat untuk mencari nafkah hidup,
baik sebagai pekerja di pabrik maupun membuka usaha sendiri. Akan tetapi,
mereka yang hanya memiliki ilmu tanpa memiliki keterampilan, memilih “jalan
pintas”. Pola “jalan pintas” itu menjadi kebiasaan yang diterima oleh umum
sampai sekarang.

Mereka tidak salah, melainkan disebabkan oleh kesalahan sistem dan


program pendidikan yang hanya memberikan ilmu pengetahuan tanpa dibarengi
kemauan kerja keras. Akhirnya, pada waktu yang sulit, mereka memilih “jalan
pintas” dengan akal dan ilmunya untuk mengatasi problem hidupnya.

Kondisi dan situasi Indonesia setelah kemerdekaan adalah masa yang berat
oleh berbagai tuntutan demi mengangkat harkat bangsa dan tanah air agar setara
dengan bangsa yang lain. Karena tuntutan tidak tercapai sebagaimana yang
diharapkan, orang pun menggunakan “jalan pintas” pula, yaitu melakukan aksi
politik dengan mengadakan rapat, demonstrasi sampai ke pemberontakan di
satu pihak, dan di pihak lain mengambil tindakan pragmatis dan berbagai
manipulasi politik dan material untuk mengukuhkan kekuasaan dan kekayaan.
Orang yang terdidik bekerja keras sama sekali tidak tertarik dengan cara-cara
“jalan pintas” itu. Mereka inilah golongan yang mampu bertahan dalam
hidupnya, tidak terombang-ambing oleh situasi ekonomi dan politik yang
semrawut.

16
Kerusakan dan kekacauan politik dan ekonomi, yang berakibat pada
kerusakan moral itu, tidak akan dapat diperbaiki dengan sistem dan program
pendidikan yang memacu ilmu pengetahuan dan kesadaran bangsa secara
verbal atau menyontek pendidikan bangsa lain yang berbeda kondisi alam dan
tradisinya.

Tuntutan pemilikan ilmu pengetahuan teknologi menuntut mental yang


berbeda jauh dengan watak bangsa yang berkebudayaan santai. Karena ilmu
pengetahuan dan teknologi membutuhkan mental disiplin sendiri, yang berakar
pada etos kerja. Oleh karena itu, strategi dan program pendidikan sejak awal
bagi bangsa Indonesia semestinya lebih mengutamakan mengubah mental
santai itu. Strategi dan program pendidikan perlu diiringi dengan sistem dan
metode yang cocok, yaitu yang mampu membangkitkan vitalitas murni sebagai
manusia merdeka, mandiri, berprestasi, aktif dan kreatif serta produktif. Agar
setiap murid mampu memilih arah hidupnya sendiri atau tidak akan merasa
gamang memasuki masyarakat setelah menyelesaikan setiap jenjang
pendidikan.

Untuk masa yang masih panjang, pendidikan mental murid tidak mungkin
dibebankan kepada orang tuanya karena tiga hal. Pertama, kedua orang tua
mereka telah terlalu sibuk untuk mencari nafkah hidup yang kian tinggi
tuntutannya. Kedua, mereka adalah produk pendidikan masa lalu yang
bermental santai dan bermoral yang lepas nilai. Ketiga, tidak memahami
pentingnya arah pendidikan bagi generasi baru.

Perlu juga dilaksanakan kebijaksanaan untuk mengurangi jurusan bidang


studi yang tidak relevan dan fungsional supaya tidak terjadi pemborosan dana
yang terus menerus. Dana yang dihemat itu dapat digunakan untuk
meningkatkan mutu sarana.

Perguruan tinggi yang banyak jumlahnya seperti dewasa ini tidak


menunjukkan tingginya tingkat kecerdasan dan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan bangsa Indonesia. Yang selalu dinilai ialah mutu dari produknya.
Sesungguhnya merombak atau memperbaiki pola dan program serta sistem
pendidikan itu membutuhkan keberanian moral dari pihak penentu kebijakan
politik negara.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Strategi pendidikan pada masa kolonial yang dikembangkan Belanda untuk


bangsa Indonesia ialah untuk mengukuhkan kekuasaan kolonialnya. Kepada
bangsa Indonesia ditanamkan mitos bahwa Eropa, terutama Belanda, adalah bangsa
yang unggul. Sebaliknya, bangsa Indonesia bodoh, malas dan kumuh. Juga
ditanamkan semangat “anak jajahan” yang penurut, elistis, feodalistik dan
berpecah– belah.

Pendidikan pada masa seusai kemerdekaan secara politis, strategi pendidikan


nasional yang sesuai dengan tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak pernah
dipikirkan apalagi ditetapkan. Program dan sistem pendidikan diserahkan saja
kepada birokrat bekas guru-guru sekolah rendah yang berdiploma. Karena mereka
tidak memiliki wawasan, apalagi menghayati makna nasionalisme dan tujuan
kemerdekaan, mereka “menjiplak” saja apa yang mereka peroleh dari sekolahnya
dulu: sistem, program dan kurikulumnya. Label pendidikan nasional diartikan
sama dengan membuang kurikulum bahasa Belanda dan yang berbau Belanda.

Pembaharuan Pendidikan Nasional: Strategi pendidikan suatu bangsa


semestinya ditentukan oleh konsep ideologi bangsa, bukan oleh konsep politik
suatu pemerintahan. Konsep politik pemerintah lazimnya terpakai pada suatu
negara yang menganut sistem diktator. Arah pendidikan suatu bangsa bukan untuk
mengokohkan posisi golongan yang sedang berkuasa. Sementara itu, konsep suatu
bangsa atau negara harus diatur berdasarkan pertimbangan kondisi alam tempat
bangsa itu hidup, dan ke arah mana bangsa itu akan dididik agar mampu hadir di
tengah masyarakat dunia yang maju di jaman ini dan nanti.

18
DAFTAR PUSTAKA

Navis, A.A. 1996. Filsafat dan strategi pendidikan M. Syafei ruang pendidik INS
Kayutanam. Jakarta:Grasindo.

19

Anda mungkin juga menyukai