Di susun oleh:
Puji syukur kehadirat Allah S.W.T berkat rahmat, karunia dan kemurahan-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Kapita Selekta Pendidikan Islam yang
berjudul Strategi Pendidikan Nasional ini tepat pada waktunya. Tidak lupa
terimakasih kami ucapkan kepada dosen Kapita Selekta Ibu Dr. Hj.Mimin Maryati,
M.Pd. Makalah ini disusun dari berbagai sumber, dan berbagai buku sehingga
menghasilkan makalah yang insya Allah dapat dipertanggung jawabkan isinya. Kami
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan dan
kelemahannya. Oleh karena itu, kritik dan saran akan kami terima dengan senang
hati demi penyempurnaan makalah ini.
Dengan ini penyusun mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima
kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan
manfaat.
Kelompok 3
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
A. Latar Belakang..........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................3
A. Kesimpulan.............................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Watak budaya suatu bangsa, termasuk alam pikiran dan perilaku, dibentuk
oleh kondisi alam tempat hidupnya. Misalnya, watak budaya orang pantai
berbeda dengan orang pegunungan; orang gurun pasir berbeda dengan orang
lembah hijau; orang bermusim salju dengan orang khatulistiwa. Selain itu, juga
dibentuk oleh kondisi sejarahnya sendiri. Oleh karena itu, terdapat perbedaan
watak bangsa–bangsa seperti yang dikenal dalam sejarah. Watak budaya itu
dapat juga dibentuk oleh sistem dan pertumbuhan ekonomi dan industri
terhadap masyarakat yang semula agraris. Namun, dapat pula dibentuk oleh
konsep pendidikan berdasar strategi politik suatu negara.
Lain lagi dengan Jepang. Ketika mereka sadar telah tertinggal jauh dari
bangsa Eropa, seperti Sparta juga, Jepang mengubah strategi pendidikan dengan
tujuan mengejar ketertinggalan itu. Mereka melaksanakan program pendidikan
yang ketat dan konsisten, ditunjang oleh seluruh kekuatan sosial dan ekonomi.
Berbeda dengan Sparta, Jepang bukan hanya membangun kekuatan militer,
melainkan juga membangun kekuatan ekonomi dan industri. Apa saja yang ada
di Eropa mereka tiru. Sejak dari sistem tata negara, militer, industri, pendidikan,
bahkan cara berpakaian pun. Namun, ada satu hal yang mereka pertahankan,
yaitu kesadaran bahwa mereka adalah bangsa Jepang yang memiliki tradisi
samurai yang sakral, yang terpelihara lebih dari 1000 tahun. Seperti Sparta juga,
1
dengan kekuatan militernya Jepang menjarahi bangsa-bangsa sekitarnya. Meski
akhirnya kekuatan militernya terkalahkan, semangat yang tertanam oleh sistem
pendidikan yang strategis itu, Jepang tetap tampil sebagai bangsa yang kuat di
bidang ekonomi.
B. RUMUSAN MASALAH
1) Bagaimana Pendidikan masa Kolonial.
2) Bagaimana Pendidikan Seusai Perang Kemerdekaan.
3) Bagaimana Pembaruan Pendidikan Nasional.
4) Bagaimana Strategi Pendidikan Nasional.
C. TUJUAN PENULISAN MAKALAH
Tujuan yang hendak dicapai dalam pembahasan makalah ini adalah :
1. Mengetahui Pendidikan masa kolonial.
2. Mengetahui pendidikan seusai perang Kemerdekaan.
3. Mengetahui pembaruan pendidikan Nasional.
4. Mengetahui Strategi Pendidikan Nasional.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
pendidikannya jauh berbeda dengan sekolah di bawahnya.
4
penghargaan tertinggi bukan pada sikap loyalitas pada pekerja kantoran,
melainkan pada prestasi dalam profesi apapun, seperti negarawan,
cendekiawan, ilmuwan, teknolog, olahragawan, seniman dan usahawan.
5
bekerja dan meniru secara teliti secara estetika, tidak diajarkan lagi. Tidak
diajarkan, bukan karena program atau sistemnya salah, melainkan karena tidak
mengerti akan fungsinya serta sangat mendewakan ilmu pengetahuan umum.
Padahal kemampuan meniru dengan baik dan bekerja dengan teliti melalui
pendidikan kesenian itu sangat diperlukan bagi mereka yang akan bekerja pada
bidang administrasi, terutama di pemerintahan. Besertanya pendidikan bagi rasa
keindahan atau estetika pada murid pun terabaikan.
Bahkan sejak dari sekolah rendah, kepada murid tidak diberi perpustakaan
yang menyediakan buku-buku sebagai alat bantu untuk mengembangkan
wawasan murid, karena alasan tidak ada dana. Padahal seluruh kurikulum
menggiring murid agar mampu masuk ke perguruan tinggi yang akan
mewajibkan mahasiswa melakukan banyak studi kepustakaan. Oleh karena itu,
ketika menjadi mahasiswa, mereka tidak mempunyai minat membaca dan
menulis sehingga waktu mereka lebih banyak diisi dengan kelakar atau
mengobrol bergerombol daripada studi.
6
salah kaprah itu.
Akibat dari sistem demokrasi pendidikan yang “sama rata” itu, sekolah
pun diperbanyak setiap tahun, sedangkan pemerintah tidak punya dana yang
cukup. Dengan sendirinya, sarana dan prasarana pendidikan menjadi minim dan
kian minim lagi setiap penambahan jumlah sekolah apapun jenjangnya. Sudah
tentu hasil dari pendidikan itu pun kian terpuruk.
Hal yang tidak dapat dipahami pula ialah masalah waktu libur sekolah
yang tetap memakai aturan pada masa kolonial yang menetapkan waktu libur
disesuaikan dengan musim di eropa. Tidak dengan iklim tropis yang mengatur
musim turun ke sawah. Akibatnya, anak-anak petani di pedesaan yang secara
tradisional membantu orang tuanya, terputus dengan tradisinya atau terputus
dengan Sekolahnya. Yang melanjutkan sekolah tidak lagi mencintai pekerjaan
pertanian, yang terputus sekolahnya tetap tinggal bodoh.
7
bangsa lain, dan ada usaha untuk memperbaikinya. Yang paling merasakan
rendahnya mutu pendidikan itu ialah para pengajar di perguruan tinggi.
Selanjutnya, kepada mereka pula ditugaskan menyusun konsep perbaikan mutu
pendidikan sekolah di bawahnya. Adalah tidak mengherankan apabila dari sana
lahir program perbaikan pendidikan hanya demi kepentingan mutu perguruan
tinggi, bukan bagi kepentingan tuntutan kehidupan sosial, ekonomi dan
kebudayaan yang tengah berubah dengan cepatnya itu.
8
Kebijaksanaan pendidikan yang berlabel pendidikan nasional dengan
program menyiapkan setiap murid untuk meningkatkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi masih menanamkan cita-cita agar menjadi orang kantoran,
padahal jumlah pegawai negeri terbatas. Pada akhirnya, setiap orang dari setiap
jenjang pemikiran lebih memilih menjadi penganggur daripada tidak dapat
bekerja sebagai pegawai negeri. Kalaupun mereka bekerja juga pada akhirnya,
baik sebagai karyawan maupun wiraswasta, pada umumnya tidak relevan
dengan bidang studi yang dipelajarinya sehingga seolah-olah setiap jenjang
pendidikan itu berfungsi untuk menunda masa pengangguran.
9
pada kualitas dan relevansi bidang studinya.
10
Kemerdekaan Indonesia yang dicapai berkat usaha para pemimpin bangsa,
tidak diimbangi dengan strategi pendidikan yang konsepsional. Kemerdekaan
Indonesia baru pada tingkat ketatanegaraan dan politik. Maka tujuan
kemerdekaan bangsa menjadi tidak lain daripada penggantian posisi dari bekas
penjajah kepada anak jajahan.
Slogan “Tut Wuri Handayani” yang diambil dari konsep Taman Siswa,
dipahami secara dangkal. Sebatas pengertian bahwa guru berfungsi sebagai
penggiring murid dari belakang, sedangkan arahnya tetap memakai konsep
pendidikan kolonial. Konsep pendidikan Taman Siswa dengan slogan itu,
bertujuan menggiring murid agar sadar pada hak serta kewajiban sebagai
manusia menurut harkatnya, agar memiliki wawasan nasional yang
diperjuangkan tanpa pamrih demi kepentingan bangsa. Bukan untuk
menjadikan bangsa yang menurut pada sistem feodalisme.
11
dimotivasi oleh kehendak untuk mengangkat martabat bangsa secara politik,
ekonomi dan sosial melalui kemerdekaan, yang kemudian tertuang pada
Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, strategi dan program pendidikan
seharusnya sejalan dengan tujuan untuk membangkitkan harkat manusia
khatulistiwa yang berbudaya santai itu agar mampu berpacu secara mental
mengejar ketertinggalan dalam arena hidup di dunia tanpa menghilangkan
kodratnya yang beragam. Setiap jenis kurikulum bukan menjadi tujuan,
melainkan menjadi alat untuk mencapai tujuan. Dari sanalah seharusnya
disusun strategi, program dan kurikulum pendidikan itu.
12
sejak dari tingkat dasar sampai ke tingkat tinggi adalah keliru, program
pendidikan tidak memberikan pengertian serius kepada murid sejak dini. Cita-
cita yang keliru itu dibiarkan berkembang terus.
Para pakar dan para birokrat pendidikan sama memandang bahwa menjabat
jabatan tinggi di kantor-kantor merupakan status yang paling ideal dan
terhormat. Oleh karena itu, mereka bersikukuh mempertahankan sistem dan
program pendidikan yang sudah ada, meski mereka pun mengetahui bahwa
dalam kenyataannya hal itu adalah keliru. Merombak pandangan lama dengan
pandangan baru secara total, selain membutuhkan keberanian politik juga sosio-
psikologis. Dengan melakukan perombakan total itu, dengan sendirinya akan
menurunkan letak posisi pegawai atau pejabat tinggi, atau dalam perkataan lain
akan menurunkan posisi mereka sendiri di mata masyarakat. Kemungkinan
faktor inilah yang menghambat pemikiran para perencana pembangunan bidang
pendidikan selama ini. Andaikata penyusun kebijaksanaan diserahkan kepada
golongan bukan dari birokrasi, program pendidikan nasional kita akan jadi lain.
Hal ini dapat dituangkan dalam kiasan “Dari pohon mangga jangan
diminta buah rambutan. Tetapi jadikan setiap pohon menghasilkan buah yang
manis.” Maksudnya, agar pendidikan tidak membentuk murid menjadi manusia
yang bercita-cita dan berpikir seragam, tetapi menjadikan mereka manusia yang
berkualitas yang menurut kodratnya. Pendidikan jangan sampai berfungsi untuk
menentukan pilihan hidup murid. Fungsi pendidikan ialah membangkitkan
minat murid agar berkemauan keras untuk memilih sendiri jalan hidupnya.
Anak pegawai atau pedagang di kota dan anak petani di desa harus diberi
bentuk pendidikan yang berbeda karena masing-masing memiliki kondisi dan
latar belakang budaya yang berbeda. Ada banyak materi kurikulum yang
dapat dan perlu sama. Namun, ada banyak pula materi kurikulum yang tidak
boleh sama untuk tempat dan kondisi yang berbeda.
13
Makna pendidikan nasionalisme dan kemerdekaan bangsa seperti yang
terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, bukanlah semacam “barang”
hafalan. Ia harus berfungsi membentuk watak bangsa melalui metode
pendidikan aktif-kreatif agar nalar pemikiran dan amal perbuatan berkembang.
Setiap materi kurikulum sejak SD sampai SMA tidak hanya berfungsi
mengajarkan ilmu, melainkan juga meningkatkan akal budi. Kurikulum
matematik sebagai contoh. Fungsinya untuk memberi latihan berpikir
matematis, logis dan sistematis. Hafal rumus-rumus bukan suatu hal yang
pantas untuk dinilai. Rumus biarkan dalam buku untuk dijadikan pedoman pada
waktu diperlukan, seperti melihat kamus atau ensiklopedi.
Ada baiknya jika ada sekolah yang mendidik anak pintar atau agar anak
menjadi lebih pintar, tetapi bukan berarti seluruh sekolah melaksanakan
program itu. Demikian pula jangan ada program untuk mendidik semua orang
sama pintarnya. Untuk bangsa Indonesia yang hidup dalam alam tropis dan
berbudaya santai, materi pendidikan yang utama diberikan ialah untuk
mengubah watak budaya santai itu agar menjadi manusia berkemauan kerja
keras, bermental ulet dan tekun. Disamping itu, perlu dipahami pula bahwa
orang pintar yang bertabiat santai, tidak ada gunanya bagi mencapai cita-cita
kemerdekaan bangsa.
14
tinggi. Mungkin karena perguruan tinggi tidak percaya pada mutu sekolah di
bawahnya, kemampuan murid harus diuji lagi.
Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dengan latar belakang
budaya dan agama yang berbeda, situasi dan kondisi alam yang tidak sama serta
lingkungan hidup yang berlainan sehingga watak manusianya pun berbeda. Ada
beberapa hal yang sama padanya, yaitu letak geografis di alam khatulistiwa
serta pengalaman sejarah sebagai anak jajahan yang telah memerdekakan tanah
airnya. Dalam posisi sosial, ekonomi, dan ilmu pengetahuan, bangsa Indonesia
berada jauh di bawah bangsa-bangsa yang berasal dari belahan bumi utara.
Kemerdekaan bangsa dan tanah air Indonesia memberi janji atau peluang
yang luas untuk mengangkat harkat bangsa, setidak-tidaknya menyamai posisi
yang dimiliki bangsa-bangsa yang maju di bidang ekonomi, ilmu pengetahuan
dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi dapat saja dipelajari karena otak
bangsa Indonesia tidak kalah mutunya dari bangsa mana pun, berkat rahmat
Alloh Yang Maha Adil.
Manusia hidup dalam kondisi alam yang berbeda-beda. Oleh karena itu,
15
manusia tidak bisa sama aktivitasnya. Alam yang keras memaksa manusia
hidup dengan dinamika yang keras pula. Kalau tidak, mereka akan mati
dimakan alamnya sendiri. Manusia yang hidup dalam alam yang lembut akan
kalah bila berhadapan dengan manusia yang beralam keras. Seperti watak
manusia yang dikatakan Thomas Hobbes, “Homo Homini Lupus”, manusia
adalah serigala bagi sesamanya.
Manusia yang betapapun pintar otaknya, akan tidak berarti apa-apa dalam
berhadapan dengan bangsa yang selain pintar juga memiliki kemauan bekerja
keras atau etos kerja seperti Jepang atau bangsa-bangsa Barat lainnya.
Kondisi dan situasi Indonesia setelah kemerdekaan adalah masa yang berat
oleh berbagai tuntutan demi mengangkat harkat bangsa dan tanah air agar setara
dengan bangsa yang lain. Karena tuntutan tidak tercapai sebagaimana yang
diharapkan, orang pun menggunakan “jalan pintas” pula, yaitu melakukan aksi
politik dengan mengadakan rapat, demonstrasi sampai ke pemberontakan di
satu pihak, dan di pihak lain mengambil tindakan pragmatis dan berbagai
manipulasi politik dan material untuk mengukuhkan kekuasaan dan kekayaan.
Orang yang terdidik bekerja keras sama sekali tidak tertarik dengan cara-cara
“jalan pintas” itu. Mereka inilah golongan yang mampu bertahan dalam
hidupnya, tidak terombang-ambing oleh situasi ekonomi dan politik yang
semrawut.
16
Kerusakan dan kekacauan politik dan ekonomi, yang berakibat pada
kerusakan moral itu, tidak akan dapat diperbaiki dengan sistem dan program
pendidikan yang memacu ilmu pengetahuan dan kesadaran bangsa secara
verbal atau menyontek pendidikan bangsa lain yang berbeda kondisi alam dan
tradisinya.
Untuk masa yang masih panjang, pendidikan mental murid tidak mungkin
dibebankan kepada orang tuanya karena tiga hal. Pertama, kedua orang tua
mereka telah terlalu sibuk untuk mencari nafkah hidup yang kian tinggi
tuntutannya. Kedua, mereka adalah produk pendidikan masa lalu yang
bermental santai dan bermoral yang lepas nilai. Ketiga, tidak memahami
pentingnya arah pendidikan bagi generasi baru.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
18
DAFTAR PUSTAKA
Navis, A.A. 1996. Filsafat dan strategi pendidikan M. Syafei ruang pendidik INS
Kayutanam. Jakarta:Grasindo.
19