Anda di halaman 1dari 43

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Pemberdayaan
1. Pengertian Pemberdayaan
Pemberdayaan atau disebut dalam arti bahasa inggris adalah
(Empowerment) yaitu berasal dari kata power artinya control, authority,
dominion. Jika dilihat dari awalan emp itu memiliki arti on put on to atau bisa
berarti to cover with, lebih jelasnya adalah more power. Pemberdayaan
(Empowerment) ialah sebuah alat penting dan sebuah strategi untuk
memperbaiki atau membenahi, pembaharuan dan peningkatan kinerja suatu
organisasi baik organisasi pemerintahan maupun organisasi kegiatan dunia
berwirausaha (Modul Diklatpim Tingkat III, 2008: 8).
Dalam arti lain bahwa yang dimaksud dengan pemberdayaan adalah
suatu upaya untuk membangun kekuatan (masyarakat) dengan
mendorong/mempengaruhi, memotivasi dan membangkitkan kesadaran
terhadap potensi yang dimilikinya serta berupaya terus menerus untuk
mengembangkannya potensi itu (Mubyartanto, 2000: 263).
Ada juga yang menjelaskan bahwa pemberdayaan ialah proses
pematahan atau disebut breakdown dari ikatan ataupun kedekatan antara
subyek dengan obyek. Proses ini mementingkan terdapatnya pengakuan
subyek akan kemampuan ataupun kekuatan(power) yang dimiliki obyek,
kemampuan pada subyek akan timbul apabila diberikan keyakinan tentang ini
terfokuskan pemberian keyakinan terhadap obyek supaya bisa bebas
menghasilkan kemampuan apa yang ia miliki. Secara garis besar, proses ini
memandang berartinya mengalir kekuatan (flow of power) dari subyek ke
obyek dengan

21
22

diberikan sebuah peluang untuk meningkatkan hidupnya dengan


menggunakan sumber yang telah ada (Hadiyanti, 2008).
Menurut Edi Suharto, Pemberdayaan dapat menunjukkan pada
kemampuan orang, khususnya suatu kelompok yang rentan dan lemah
sehingga mereka akan memiliki kekuatan atau kemampuan, dalam memenuhi
kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom). Bukan
berarti hanya bebas mengemukakan pendapat, tapi juga bebas dari kelaparan,
kebodohan, dan kesakitan. Pemberdayaan juga mengarah kepada kemampuan
dalam menjangkau sumber yang poduktif yang memungkinkan seseorang
dapat meningkatkan pendapatnya dan memperoleh suatau barang dan jasa
yang akan diperlukan, serta kemampuan dalam berpatisipasi terhadap proses
pembangunan dan beberapa keputusan yang mempengaruhi kehidupan
mereka (Suharto, 2005: 58).
Adapun definisi tentang pemberdayaan bagi Prayitno dalam harian
Amin Nasir, adalah upaya untuk membangun kekuatan masyarakat dengan
mendorong, memotivasi, dan membangkitkan lembaga ataupun organisasi
yang bisa melaksanakan pemberdayaan pada masyarakat atau disebut Agen of
development, pengorganisasian dalam suatu pemberdayaan menjadi sangat
berarti dan bisa lebih cepat tercapainya suatu yang akan digapai, sebab dalam
organisasi akan saling memberikan satu sama lain untuk kemampuannya
kepada setiap orang yang bisa di contohkan oleh individu-individu yang lain
(Nasir, 2019).
Dalam arti lain pemberdayaan atau empowerment adalah suatu konsep
pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Pemberdayaan
mencerminkan paradigma baru dalam pembangunan, yaitu pembangunan
pembangunan yang bersifat berpusat pada masyarakat (people centered),
partisipatif (participatory), memberdayakan (empowering), dan berkelanjutan
(sustainable) (Mardikanto, 2015).
23

Sebagai agen pemberdayaan, kompetensi pendampingan adalah salah


satu kemampuan yang perlu dimiliki. Pendamping ini bukan hanya bertugas
menggurui, tetapi lebih tepat sebagai fasilitator, komunikator, dinamisator,
dan pembimbing bagi masyarakat di lapangan. Kemampuan yang dimaksud
adalah kemampuan memberikan motivasi yang menginspirasi untuk ikut andil
dalam kegiatan pemberdayaan dan kemampuan dalam meningkatkan
kesadaran masyarakat ternyata memiliki potensi dan kesempatan yang dapat
dikembangkan dengan cara dibimbing untuk berubah dalam meningkatkan
kualitas kehidupanya (Anwas, 2013: 75).

2. Teori Pemberdayaan
Dijelaskan oleh Wrihatnolo dan Dwi Djowito dalam bukunya Dr.
Rahman Mulyaman tentang penerapan adanya teori pada program
implementasi bahwa pemberdayaan dimaksud dengan sesuatu proses, ataupun
sesuatu mekanisme dalam tentang individu, organisasi serta warga selaku
pakar yang permasalahan mereka hadapi serta bisa membongkar masalah-
masalah yang dihadapi ataupun yang bakal dihadapi. Teori pemberdayaan
mengasumsikan sebagai berikut (Mulyawan, 2016: 75- 76).
a. Pemberdayaan akan berbeda wujud buat orang yang berbeda. Anggapan,
kemampuan serta aksi yang di perlukan untuk menyelesaikan
permasalahan tenaga kerja akan berbeda antara anak muda yang belum
menikah serta perempuan dewasa yang lagi berbadan dua. Latar belakang
situasi dan kematangan seorang sangatlah menentukan. Latar belakang
seseorang sangat memastikan sebab setiap orang mempunyai takaranya
sendiri-sendiri dalam menyelesaikan permasalahan serta setiap orang
mempunyai metode sendiri-sendiri dalam memecahkan permasalahan.
b. Pemberdayaan akan bentuk konteks yang berbeda. Persepsi kemampuan
serta aksi yang dibutuhkan untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu
akan berbeda antara pekerja di organisasi otoritatif serta pekerja
24

partisipatif, inisiatif pekerja pada suasana awal ditekan di tingkatan sangat


rendah sedangkan pada suasana kedua pekerja didorong untuk tumbuh
semaksimal mungkin.
c. Pemberdayaan akan berfluktuasi ataupun berganti sejalan dengan waktu.
Seseorang bisa merasakan terberdayakan pada suatu saat dan tidak
terberdayakan pada keadaan lain tergantung ke pada keadaan yang
mereka hadapi pada suatu waktu.

3. Strategi Pemberdayaan
Strategi merupakan cara untuk mengerahkan tenaga, kekuatan, energi,
dan peralatan yang dimiliki demi mencapai tujuan yang ditentukan.
Sedangkan yang dimaksud pemberdayaan suatu proses yang mengembangkan
dan memperkuat kemampuan dan keahlian seseorang untuk terus ikut andil
dalam proses pembangunan yang berlangsung secara dinamis sehingga
masyarakat dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi serta dapat
mengambil keputusan yang sudah ditentukan secara bebas/independent dan
secara mandiri (Sumaryo, 1991).
Strategi pemberdayaan ialah sesuatu metode dalam memaksimalkan
berbagai upaya pemberdayaan yaitu dengan cara menatang atau mengangkat
dan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menggunakan pengetahuan
serta ketrampilan lebih lanjut dalam rangka membenahi taraf kehidupan
(Wulandari, 2017).
Dalam realisasi startegi pemberdayaan akan ditemukan beberapa
faktor internal yang menghambat pemberdayaan diantaranya, (1) kurangnya
saling mempercayai satu sama lain; (2) kurangnya daya inovasi/kreativitas;
(3) terlalu mudah pasrah atau menyerah atau merasa berputus asa; (4)
rendahnya aspirasi dan cita-cita; (5)ketidakmampuan dalam menunda
menikmati hasil kerja (tidak sabaran); (6)pengetahuan dalam manajemen
waktu yang kurang baik; (7) familisme (posesif); (8) ketergantungan terhadap
25

bantuan pemerintah; (9) keterikatan pada diamana bertempat tinggal dan (10)
ketidakmampuan atau ketidaksediaan dalam menempatkan diri sebagai orang
lain (Hikmat, 2001:12).
Sejak dari awal dijelaskan bahwa pemberdayaan sebagai suatu proses,
maka implementasi pemberdayaan mengedepankan proses dari pada hasil
(output). Menurut Ife (1995: 63) bahwa terdapat tiga strategi dalam
pemberdayaan masyarakat, yaitu dapat melalui kebijakan dan suatu
perencanaan, aksi sosial dan aksi politik, pendidikan dan penyadaran.
Pemberdayaan melalui kebijakan dan perencanaan akan mudah
diterima dalam pengembangan atau perubahan struktur dan kelembagaan
tertentu sebagai akses yang lebih merata terhadap sumber daya atau pelayanan
masyarakat, dan kesempatan untuk berpartisipasi lebih besar dalam kehidupan
bermasyarakat. Pemberdayaan melalui aksi social lebih menitikberatkan pada
pentingnya suatu perjuangan politik dan perubahan dalam mengembangkan
kekuatan lebih efektif. Sedangkan pemberdayaan melalui pendidikan dan
penyadaran yaitu mengembangkan pentingnya proses pedidikan yang dapat
melengkapi dan membenahi masyarakat untuk meningkatkan kekuasaanya
(Supardjan, 2012: 43).

4. Proses Pemberdayaan
Proses pemberdayaan bisa diartikan sebagai susunan perubahan dalam
perkembangan sebuah usaha untuk membuat masyarakat menjadi lebih
diberdayakan dan memiliki kualitas yang lebih bermutu dan unggul.
Adapun proses pemberdayaan memiliki empat tahapan, yaitu sebagai
berikut (Tukasno, 2013).
a. Penyadaran (awakening), maksudnya pemberdayaan lebih fokus terhadap
penyadaran akan skill/kemampuan, sikap dan keahlian yang dimiliki serta
perencanaan dan harapan terhadap kondisi yang jauh lebih baik dan lebih
efektif. Menunjukkan sesuatu apa yang ada pada diri seseorang baik
26

keahlian, sikap dan ketrampilan agar dapat memberikan perubahan yang


jauh lebih baik.
b. Pemahaman (understanding), maksudnya pemberdayaan lebih fokus
memberikan pemahaman dan pandangan yang baru tentang diri, aspirasi,
termasuk keadaan umum.
c. Memanfaatkan (harnessing), maksudnya setelah sadar dan tahu tentang
pemberdayaan, maka seseorang akan memutuskan untuk menggunakan
kepentingan komunitas yang dikembangkannya. Memanfaatkan dan
menempatkan keahliannya pada komuitas yang dikembangkan tersebut.
d. Menggunakan (using), maksudnya kemampuan dan keterampilan sebagai
suatu bagian dari aktivitas sehari-hari.
Dalam (Nursidik, 2021: 18) menjelaskan, bahwa ada tahapan-tahapan
tertentu dalam sebuah proses pemberdayaan santri, diantaranya:
a. Penyadaran
Tahap penyadaran merupakan suatu pembentukkan karakter seorang anak
menuju kepada perilaku sadar dan peduli sehingga mereka akan merasa
membutuhkan peningkatan kapasitas diri lebih baik dari sebelumnya.
Tidak ada seorang pun yang sama sekali tanpa daya (energi), maka perlu
ada yang membangun daya itu dengan mendorong (push), memotivasi
(motivate), dan membangkitkan (Grow up). Kesadaran terhadap
kemampuan yang dimilikinya dan berusaha untuk mengembangkannya,
dengan ini sangat dibutuhkan adanya dorongan/bimbingan atau
pembinaan yang membuatnya menyadari akan kemampuan dirinya yang
dibutuhkan dalam sebuah tempat atau dapat memecahkan masalah
(problem solving). Dalam proses penyadaran sangat memerlukan
kesadaran terhadap apa yang sedang terjadi diluar diri seseorang, karena
sama penting dan sama dibutuhkan dengan kesadaran diri yang menuntut
seseorang untuk menjadi lebih sensitif terhadap apa yang dikatakan oleh
orang lain. Penyadaran ini menggiring seseorang terhadap tujuan yang
27

berusaha memberikan pengetahuan yang kognitif, belief dan healing.


Dalam prinsip dasarnya ini membuat suatu target untuk dapat dimengerti
bahwa mereka memerlukan untuk membangun sebuah kapasitas diri
(capacity self) masing-masing diri seseorang, dan proses pemberdayaan
itu dapat dimulai dari dalam diri mereka sendiri dengan selalu diberikan
motivasi yang membangun ataupun pencerahan dan sosialisasi yang dapat
membangun kemampuan life skill mereka.
b. Peningkatan kapasitas (capasitas building), maksudnya akan terciptanya
suatu kedaan yang mampu mendorong potensi seseorang, agar dapat
mandiri dan berwawasan entrepreneurship yang saling bersinambungan.
proses capacity building ini terdiri dari tiga jenis, yaitu sebagai berikut.
1) Kapasitas manusia yaitu kemampuan life skill, baik individu maupun
kelompok, yaitu dengan melalui pelatihan (training), seminar-
seminar, studi banding dan sebagainya.
2) Kapasitas berorganisasi yaitu dilakukan dalam suatu bentuk
restrukturisasi organisasi yang akan menerima daya atau kapasitas itu
sendiri. Dengan mengatur manajemen organisasi dalam perencanaan
program akan dilakukan.
3) Kapasitas sistem nilai yaitu manajemen pada suatau sistem, anggaran
keuangan, dan procedural dalam tingkatan yang lebih maju dan
tersistematis. Sistem nilai yang tersusun atas budaya organisasi, etika,
dan good government.
c. Empowering, maksudnya pemberian daya (power), kekuasaan dan
peluang kepada target tertentu. Ini sesuai dengan kualitas kecakapan
sebelumnya dimiliki atau tahap dimana kecakapan dan keterampilan atau
kemampuan yang dimiliki membentuklah sebuah inisiatif dan
kemampuan yang inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian
seseorang (Sholikhah, 2020).
28

Menurut penjelasan Kementerian Sosial mengutip dari penjelasan dari


Miley and DuBois didalam (Shera & Wells, 1999:3), bahwa proses
pemberdayaan adalah “melalui dialog, pekerja mengembangkan kemitraan
berkolaboratif dengan klien, mengartikulasikan sebuah aspek terhadap
situasi yang menantang, dan menentukan tujuan untuk menemukan sumber
daya untuk menyusun rencana kearah perubahan. Untuk pengembangan,
pekerja dan klien mengaktifkan sumber daya antarpribadi dan kelembagaan,
menjalin hubungan dengan seseorang dan sistem lain, dan menciptakan
peluang baru untuk mendistribusikan sumber daya masyarakat yang adil dan
aman.”
Adi (2013) menjelaskan ada beberapa tahapan dalam proses
pemberdayaan masyarakat, yaitu sebagai berikut.
a. Engagement (tahap persiapan), yaitu kegiatan pengembangan masyarakat
terdiri dua hal, persiapan petugas dan persiapan lapangan. Persiapan
petugas digunakan untuk menyamakan persepsi antar banyaknya persepsi
anggota tim sebagai subyek perubahan tentang pendekatan apa yang akan
dipilih dalam melakukan pengembangan masyarakat. Sedangkan,
persiapan lapangan dilaksanakan melalui studi kelayakan terhadap suatu
daerah yang akan dijadikan sasaran sebagai obyek, baik dilaksanakan
secara formal maupun informal.
b. Assessment (tahap pengkajian), yaitu proses pengkajian yang dilakukan
dengan cara mengidentifikasi suatu masalah atau suatu kebutuhan yang
diekspresikan. Sumber daya yang dimiliki komunitas sasaran dengan
masyarakat akan dilibatkan secara aktif supaya jika permasalahan yang
keluar itu dari sudut pandang mereka sendiri, dan petugas memfasilitasi
warga untuk menyusun yang lebih utama dari permasalahan yang mereka
sampaikan. Hasil dari pengkajian ini nantinya akan ditindaklanjuti pada
tahap perencanaan.
29

c. Planning (tahap perencanaan), pada tahap ini seorang petugas secara


partisipatif akan mencoba melibatkan warga masyarakat untuk berpikir
tentang masalah yang dihadapi, bagaimana cara mengatasi masalah itu
dan memikirkan beberapa alternatif lain seperti perencanaan suatu
program dan kegiatan yang dapat dilakukan.
d. Action plan formulation (tahap formulasi rencana aksi) dalam tahapan ini
petugas akan membantu kepada masing-masing kelompok untuk
merumuskan dan menentukan suatu program dan kegiatan apa yang akan
dilakukan guna mengadaptasi permasalahan yang sudah ada.
e. Implementation (tahap implementasi), pada tahapan pelaksanaan ini
adalah salah satu tahapan yang paling penting dalam suatu proses
pengembangan masyarakat, sebab sesuatu yang sudah direncanakan
dengan baik akan dapat melenceng dalam pelaksanaan di lapangan
apabila tidak ada kerjasama antara pelaku perubahan dan masyarakat,
maupun kerjasama antarmasyarakat.
f. Evaluation (tahap evaluasi), yaitu evaluasi sebagai suatu proses
pengawasan dari masyarakat dan petugas terhadap suatu program yang
telah atau akan berjalan. Ini sebaiknya melibatkan warga masyarakat
untuk melakukan pengawasan secara internal agar dalam waktu jangka
panjang diharapkan dapat membentuk suatu sistem dalam tatanan
masyarakat yang lebih mandiri dengan memanfaatkan sumber daya yang
telah ada. Suatu evaluasi dimaksudkan untuk memberikan timbal balik
bagi pembenahan kegiatan.
g. Termination (tahap terminasi), pada tahapan ini merupakan tahap terakhir
atau disebut tahap perpisahan hubungan secara formal dengan komunitas
yang menjadi sasaran. Terminasi dilakukan seringkali bukan karena
masyarakat sudah terlihat mandiri, namun karena kegiatan sudah harus
dihentikan karena sudah melebihi jangka waktu ditetapkan, atau karena
30

anggaran sudah selesai atau cukup dan tidak ada penyandang dana yang
dapat membantu dan mau meneruskan program yang sudah berjalan.

Dalam hal ini setidaknya harus ada tiga tahapan dalam pemberdayaan,
seperti dalam tabel 2.1. berikut ini (Sumardi, 1984: 32).
Tabel 2.1. Tahapan Pemberdayaan

Input

Proses

Output

Dalam tabel di atas diketahui, Pertama, Input yaitu menetapkan


sesuatu dan menganalisa sesuatu kebutuhan pemberdayaan melalui
identifikasi kebutuhan dan penetapan obyek sasaran, maksudnya untuk
mencapai tujuan yang dapat meingkatkanan dan menuju perubahan yang lebih
baik. Kedua, yang dimaksud proses adalah proses pelaksanaan dari
pemberdayaan yang telah direncanakan. Ketiga, Output yaitu meninjau dan
memantau, mengevaluasi dan menganalisa suatu pemberdayaan.

5. Prinsip Pemberdayaan
Menurut Sumaryadi (2005: 94-96) mengemukakan bahwa ada 5 prisip
dasar dari konsep pemberdayaan, yaitu sebagai berikut.
31

a. Pemberdayaan membutuhkan break even di setiap kegiatan yang


dikembangkannya, meskipun esensinya berbeda dari organisasi
bisnis/berwirausaha, dimana dalam pemberdayaannya semua keuntungan
yang diperoleh akan disalurkan kembali dalam bentuk rencana program
atau kegiatan pembangunan lainya.
b. Pemberdayaan untuk masyarakat selalu melibatkan partisipasi masyarakat
itu sendiri baik dalam sebuah perencanaan maupun pelaksanaan yang
akan dilaksanakan sesuai rencana.
c. Dalam melaksanakan rencana program pemberdayaan untuk masyarakat,
seperti kegiatan training merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan
dari pembangunan fisiknya.
d. Implementasinya, usaha pemberdayaan harus dimaksimalkan dalam
sumber daya, terutama dalam hal pembiayaan atau dana yang bisa berasal
dari pemerintah, swasta atau sumber- sumber lainya.
e. Sedangkan untuk kegiatan pemberdayaan bagi masyarakat berfungsi
sebagai penghubung (connecting) antara kepentingan Pemerintah bersifat
makro terhadap kepentingan masyarakat yang bersifat mikro.
Ada juga yang menjelaskan (Hamid 2018), didalam bukunya
Hendrawati Hamid bahwa pemberdayaan harus memegang 11 prinsip dalam
pemberdayaannya, sebagai acuan dalam pelaksanaan. Sehingga kegiatan akan
berjalan dengan tepat dan benar, sesuai dalam hakikat dan konsep
pemberdayaannya. Prinsip pemberdayaan yang di maksud adalah sebagai
berikut.
a. Harus penuh demokratis dalam pelaksanaan pemberdayaan kemudian
harus penuh keikhlasan, tidak boleh ada unsur keterpaksaan, sebab pada
setiap masyarakat mempunyai masalah yang berbeda, profesi yang
berberda, dan kebutuhan yang berbeda. Maka perlu mereka mempunyai
hak yang sama untuk di berdayaakan (empowering). Pemberdayaan pada
suatu organisasi dengan banyaknya individu dibutuhkan kemampuan
32

memahami akan setiap individu/personal dan mengetahu apa yang sedang


dibutuhkan sehingga tidak menimbulkan kecemburuan social satu dengan
yang lainnya.
b. Harus berdasarkan kebutuhan pada setiap kegiatan pemberdayaan
masyarakat, ada masalah, dan profesi yang dimiliki setiap kelompok
sebagai sasaran. Ini dapat diketahui dengan jelas jika sebuah proses
identifikasi dan sosialisasi pada tahap pertama berlangsung dengan
melibatkan kelompok yang disasarankan.
c. Masyarakat adalah sebagai sasaran utama dalam pemberdayaan, sehingga
masyarakat perlu di posisikan sebagai subyek dalam semua kegiatan
pemberdayaan, dan menjadi landasan utama dalam menetapkan suatu
tujuan, pendekatan, dan semua bentuk kegiatan pemberdayaan.
d. Nilai budaya dan kearifan lokal perlu ditumbuhkan kembali, seperti
menumbuhkan jiwa gotong royong, yang lebih muda menghormati orang
yang lebih tua, dan yang lebih tua mengayomi dan menghargai yang lebih
muda sehingga menimbulkan rasa timbal balik berupa kasih saying, sebab
semua ini akan menjadi modal sosial dalam pembangunan.
e. Bertahap dam berkesinambungan dalam mengimplementasikan
pemberdayaan, karena itu merupakan proses yang membutuhkan waktu
yang cukup, dilakukan secara sederhana dan masuk akal Iogis) menuju ke
hal yang lebih bermacam-macam (komplek).
f. Keberagaman karakter diperhatikan, seperti budaya dan kebiasaan-
kebiasaan (habit) masyarakat yang sudah mendarah daging atau
berlangsung turun temurun sejak nenek moyangnya.
g. Aspek kehidupan masyarakat perlu diperhatikan, terkhusus aspek sosial
dan aspek ekonomi.
h. Non-diskriminasi, terkhusus kepada seorang perempuan. Hal ini berusaha
menghindari banyaknya resiko yang sekiranya akan menimbulkan hal
yang negatif terhadap seseorang.
33

i. Mengambil keputusan secara partisipatif yang diterapkannya, seperti


penentuan waktu, penentuan materi, penentuan metode kegiatan dan lain
sebagainya.
j. Mendukung dan menggerakan partisipasi masyarakat dalam setiap
bentuk kegiatan, baik yang bersifat fisik yaitu materi, tenaga dan bahan
ataupun non-fisik yaitu saran, waktu, dan dukungan.
k. Pemberdayaanya bersifat fasilitator yang perlu diterapkan yaitu harus
memiliki kompetensi sosial dengan potensi, kebutuhan, masalah yang
akan dihadapi masyarakat. Bersedia bekerjasama dengan berbagai pihak
maupun lembaga masyarakat yang saling terkait.

6. Pemberdayaan Dalam Islam


Dalam pandangan Islam pemberdayaan dalam ruang lingkup
masyarakat tidak diartikan sebagai sesuatu yang bersifat asing. Secara historis
hal ini telah dipraktekkan oleh Rasulallah SAW. Ketika Rasulullah
memerintahkan kepada umatnya untuk membangun kepedulian kepada
sesame makhluk, terutama kepada masyarakat lemah secara ekonomi
(lower class) (Hakim & Widjaya, 2002: 16-18).
Upaya Nabi Muhammad SAW dalam merealisasikan pemberdayaan
kepada seseorang yang belum berdaya atau disebut miskin, dapat
dipelajari dari Hadits yang diriwayatkan dari Abu Daud r.a. sebagai berikut.
“Dari sahabat Annas bin Malik bahwa ada seorang laki-laki dari
kalangan Bani Anshar dating kepada Nabi Muhammad SAW meminta kepada
Nabi SAW, kemudian beliau bertanya: “Apakah di rumahmu ada
sesuatu?” ia berkata: ya, alas pelana yang kami pakai sebagian dan kami
hamparkan sebagiannya serta gelas besar yang kami gunakan untuk
minum. Nabi Muhammad SAW berkata: “Bawalah keduanya kepadaku.”
Annas berkata: kemudian ia membawanya kepada Nabi Muhammad SAW,
lalu beliau mengambil dengan tangannya dan bersabda: ”Siapa yang mau
34

membeli kedua barang ini?"Seorang laki-laki berkata: saya membelinya


dengan satu Dirham ya rasulullah. Beliau berkata: ”siapa yang menambah
lebih dari harga satu dirham?” beliau mengatakanya dua atau sampai tiga
kali. Seorang laki-laki berkata: saya membelinya dua dirham ya Rasulullah.
Lalu Beliau memberikanya kepada orang tersebut, dan mengambil uang
dua dirhamnya. Beliau memberikan uang tersebut kepada sahabat Anshar
dan bersabda: ”Belikanlah makanan dengan satu dirham ini lalu berikan
kepada keluargamu, dan belikanlah kapak kemudian bawalah kepadaku.
”Lalu orang tersebut membawanya kepada Nabi Muhammad SAW, lalu
Rasulallah SAW. mengikatkan kayu pada kapak dengan tangannya
kemudian berkata kepadanya:“Pergilah kamu lalu carilah kayu dan
kemudian juallah. Jangan sampai aku melihatmu selama 15 hari. "Lalu
orang tersebut pergi dan mencari kayu serta menjualnya kembali,
kemudian datanglah dan ia telah memperoleh uang sepuluh dirham.
Kemudian ia membeli senuah pakaian dengan barang lainnya dan
makanan dan lain sebagainya. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Ini
adalah lebih baik bagimu daripada sikap meminta-minta datang sebagai
tanda pada wajahmu pada hari kiamat nanti. Sesungguhnya perilaku
meminta-minta itu tidak layak kecuali bagi tiga orang, yaitu seorang fakir
dan miskin, atau orang yang memiliki banyak hutang yang sangat berat, atau
orang yang menanggung diyah (dam/denda) dan ia tidak mampu untuk
membayarnya” (Hadits Sunan Abu Daud No. 1398)
Dalam Hadits ini dijelaskan bahwa upaya dalam pemberdayaan yang
dilakukan Nabi Muhammad SAW, adalah dengan menjadikan orang miskin
dari Bani Anshar memiliki kemampuan, maksudnya kemapuan dalam
berdagang kayu bakar. Dengan keahlian itu orang dari kalangan Anshar
tersebut memiliki kehidupan jauh lebih baik dari pada sebelumnya dan dapat
terlepas dari lingkaran kemiskinan. Dari sini kita dapat dikatakan bahwa
model pembedayaan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW merupakan
35

dengan memaksimalkan potensi yang terdapat dalam diri umatnya (Saeful &
Ramdhayanti, 2020).
Konsep pemberdayaan yang Nabi Muhammad SAW lakukan barang
tentu menjadi uswah (contoh) bagi umatnya untuk melakukan hal yang
sama baiknya. Maka keberadaan orang-orang yang lemah secara ekonomi
atau miskin bisa diberdayakan (minimalisir). Dalam konteks keindonesiaan
kemiskinan terlihat masih menjadi momok yang sulit untuk dihilangkan.
Berbagai macam program pengentasan kemiskinan di Indonesia yang
dilakukan oleh pemerintah masih belum menghilangkan lingkaran kesuliatan
ekonomi (Saeful & Ramdhayanti, 2020). Kemiskinan juga mendekati gerbang
kejahatan bahkan perkataan Ulama menegaskan bahwa kemiskinan mendekati
kekufuran.
Praktik pemberdayaan ekonomi masyarakat sebagai suatu usaha untuk
meningkatkan ekonomi merupakan sesuai dengan ajaran Islam, karena agama
Islam memandang kegiatan ekonomi merupakan tuntutan dalam kehidupan,
karena Islam telah menjamin bagi setiap orang secara pribadi untuk
memenuhi kebutuhan. Dijelaskan Sebagaimana dalam firman Allah SWT
dalam surat Al Mulk [67] ayat 15.
ِ ِ ِ
ُ ‫ض َذلُْواًل فَ ْام ُش ْوا يِف ْ َمنَاكِبِ َها َو ُكلُ ْوا ِم ْن ِّر ْزقه َوالَْي ِه الن‬
‫ُّش ْو ُر‬ َ ‫ُه َو الَّذ ْي َج َع َل لَ ُك ُم ااْل َْر‬
“Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah untuk
dijelajahi, maka jelajahilah dari segala penjurunya dan makanlah sebagian
dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu akan kembali setelah
dibangkitkan” (QS. Al Mulk [67]: 15) (Al Qur'an terjemahan Departemen
Agama).
Di dalam (Nursidik, 2021: 22) Ayat di atas menjelaskan bahwa Islam
sebagai agama yang rahmatan lil 'alamiin, sangat memahami kebutuhan
pemeluknya dalam segala aspek kehidupannya. Dalam hal ini pemberdayaan
yang dimaksudkan adalah untuk dapat menjadi suatu bentuk perubahan dalam
36

memperbaiki kehidupan bermasyarakat. Seperti yang dijelaskan dalam Al-


Qur'an surat Ar-Ra'du [13] ayat 11.

‫اِ َّن ال ٰلّهَ اَل يُغَِّيُر َما بَِق ْوٍم َحىّٰت يُغَِّيُر ْوا َما بِاَْن ُف ِس ِه ۗ ْم‬
“Sesungguhnya Allah SWT tidak akan merubah keadaan sesuatu
kaum (bangsa) sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri”. (QS. Ar Ra'du [13]: 11) (Al Qur'an terjemahan Departemen
Agama).
Dijelaskan bahwa ayat ini bermaksud menerangkan pemberdayaan
mempunyai sebuah makna filosofi dasar sebagai suatu cara untuk mengubah
masyarakat dari yang tidak mampu menjadi berdaya (mampu), masyarakat
mampu secara ekonomi, sosial, dan budaya (Nursidik, 2021: 23).

7. Tujuan Pemberdayaan
Pemberdayaan memiliki tujuan yang perlu dicapai dalam
pemberdayaan demi untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi lebih
mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian daya berfikir, bertindak
dan mengendalikan apa yang manusia lakukan tersebut. Untuk mencapai
kemandirian masyarakat diperlukan sebuah proses yang memakan waktu,
melalui proses belajar maka secara bertahap, masyarakat akan memperoleh
kemampuan (skill), ketrampilan dan daya (energy) dari sebuah proses yang
dikerjakannya. (Koeswantoro, 2014).
Selain itu tujuan pemberdayaan masyarakat sejatinya adalah demi
mencapai suatu keadilan sosial. Menurut Payne (1997: 268) menyatakan
keadilan sosial yaitu dengan memberikan kesejahteraan dan ketentraman
kepada masyarakat yang jauh lebih besar dan persamaan politik dan sosial
melalui upaya untuk saling membantu dan belajar satu sama lain melalui
pengembangan beberapa langkah kecil guna tercapainya tujuan yang lebih
besar pula.
37

Disamping tujuan pemberdayaan masyarakat yang bermuara kepada


akhirnya adalah untuk keadilan, ada pula tingkatan yang menjadi mekanisme
berjalannya suatu pemberdayaan itu. Menurut Susiladiharti dan Huraerah
(2011) sebagai berikut.

a. Dapat terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat;


b. Dapat terjangkaunya suatu sistem sumber atau akses terhadap layanan
publik;
c. Adanya kesadaran akan kekuatan dan kelemahan atas diri sendiri dan juga
lingkungannya
d. Dapat berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan yang lebih bermanfaat di
masyarakat dan lingkungan yang lebih luas
e. Adanya kemampuan untuk mengendalikan diri dan mengendalikan
lingkungannya. Pada tingkatan terakhir ini dapat dilihat dari keikutsertaan
masyarakat dan dinamika masyarakat dalam mengevaluasi dan
mengendalikan suatu program serta kebijakan institusi tertentu dan
kebijakan pemerintahan.
Adapun jika dilihat dari bagan di bawah ini suatu keberdayaan
terhadap masyarakat terlihat jelas ruang lingkupnya dalam gambar 2.1. berikut

Kemampuan mengendalikan diri dan lingkungannya

Mampu untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan yang


bermanfaat di masyarakat dan lingkungan yang lebih luas

Kesadaran atas kelemahan atau kekurangan atas diri sendiri


dan lingkungannya

Terjangkaunya sistem dan sumber atau akses terhadap publik

Terpenuhinya kebutuhan dasar

Gambar 2.1. Tingkat Keberdayaan Masyarakat


(Huraerah, 2011)
38

2.2. Manajemen pemberdayaan Santri


1. Konsep Pemberdayaan Santri
Pemberdayaan tidak hanya sekedar memberikan wewenang atau
kekuasaan kepada pihak yang lemah. Dalam pemberdayaan terkandung arti
dari proses pendidikan dalam meningkatkan kualitas individu, kelompok, atau
masyarakat tertentu, maka mampu berdaya atau memiliki power (kekuatan),
memiliki daya saing (kompetitif), serta mampu hidup secara mandiri.
Dalam kakikat pemberdayaannya ialah bagaimana membuat seorang
santri mampu membangun dirinya (self) dan memperbaiki kehidupannya
sendiri. Istilah kata "mampu" di sini adalah mengandung arti: berdaya,
memahami, termotivasi, memiliki kesempatan atau peluang, dapat melihat dan
bisa memanfaatkan peluang, berenergi/memiliki kekuatan, mampu menjalin
kerjasama, tahu sebagai suatu alternatif, mampu mengambil keputusan yang
benar, berani mengambil resiko apapun, mampu mencari dan menangkap
informasi yang akurat, dan mampu bertindak sesuai inisiatif sendiri (Anwas,
2019).
Jadi yang maksud pemberdayaan santri dalam pembahasan ini ialah
santri yang ditingkatkan kualitasnya untuk mencapai satu tujuan yang telah
ditentukan, agar para santri setelah selesai dari pesantren dan terjun untuk
mempraktekannya di masyarakat agar tidak merasa kebingungan.

2. Faktor Pendukung Pemberdayaan Santri


Ada beberapa faktor pendukung dalam pemberdayaan santri di pondok
pesantren sebagai berikut (Nasri & Sundarani, 2004: 28).
a. Mengasah ketrampilan (skill) khusunya dalam dunia berwirausaha
39

1) Lokasi Pesantren umumnya di daerah pedesaan atau perkampungan


sehingga banyak lahan yang kosong baik milik sendiri, keluarag, atau
wakaf umat;
2) Banyak tersedia Sumber Daya, seperti santri, Kiyai, ustadz, ahlu beit
atau keluarga besar pesantren;
3) Banyak waktu yang tersedia, karena para santri tinggal di asrama atau
Boarding School;
4) Adanya pemdamping sebagai pembimbing yaitu tokoh pesantren
seperti Kiyai/Buya, Bu Nyai, Gus, Ceng dll sebutan lainnya yang
menjadi sosok karismatik dan menjadi panutan di tengah-tengah
masyarakat;
5) Tertanam jiwa kemandirian, keikhlasan, dan kesederhanaan dari pola
pendidikan pesantren bagi santri-santrinya; dan
6) Dengan Jumlah santri yang banyak dan masyarakat Islam sekitarnya
yang menjadi bagian dari jamaah ta’lim di pesantren yang merupakan
pasar yang cukup potensial dalam memenuhi pemberdayaan.

b. Bimbingan Potensi Santri


Tujuan bimbingan untuk potensi santri yaitu agar dapat membantu para
santri untuk dapat mengembangkan potensinya (Soft skill) secara optimal
yang lebih utama mengembangkan dalam bidang ekonomi dan wirausaha
(Masyhud & Khusnurdilo, 2003: 124-125). Santri dapat mengenali
potensinya sendiri yang ada pada dirinya dan mampu menganalisis dan
memecahkan beberapa masalah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Oleh karena itu, santri yang telah menyelesaikan pendidikannya di
pondok pesantren dapat berperan aktif dalam meningkatkan kesejahteraan
ekonomi dan pendidikan agama di masyarakat karena telah
berpengalaman saat masih belajar di pondok pesantren. Adapun dari
40

diadakannya bimbingan potensi santri, memiliki tujuan sebagai berikut


(Nizar, 2007: 136).

1) Untuk membantu santri dalam mencapai kebahagiaan hidup yang


lebih baik;
2) Untuk membantu santri mencapai kehidupan yang efektif dan
produktif dalam kehidupan bermasyarakat
3) Untuk membantu santri dalam mencapai keharmonisan antara cita-
cita dan kemampuan yang dimilikinya;
4) Untuk membantu santri dapat melalui tahap transisi dari pesantren ke
dunia kerja dengan lebih baik;
5) Untuk membantu santri agar dapat menyesuaikan diri dengan lebih
baik dalam menghadapi banyaknya perubahan sosial yang terjadi
dalam masyarakat.
c. Memberikan Alternatif dalam Bidang Usaha/Bisnis
Beberapa pondok pesantren yang sudah melirik dunia wirausaha telah
menyediakan berbagai jenis bidang usaha, di mana masing-masing
pondok pesantren memiliki karakter yang berbeda sesuai yang
disesuaikan dengan kondisi dan letak geografis pesantrennya. Secara
umum bidang usaha yang dimaksud adalah menjadi empat bidang, yaitu
agribisnis (pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan),
perdagangan, produksi, dan bidang jasa (Nasri & Sundarini, 2004: 49).

3. Faktor Penghambat Pemberdayaan Santri


Selain beberapa faktor pendukung dalam pemberdayaan santri untuk
mendukung kemandirian santri, disamping itu pada umumnya ada beberapa
Faktor penghambat dalam program pemberdayaan ini adalah sebagai berikut
41

a. Sumber Daya Manusia yang selalu bergantian, oleh karena itu akan
menghamabat sistem dan struktur menajemen yang sudah berjalan di
pesantren.
b. Masih kurang terkontrolnya sistem menajemen pesantren, seperti
konsistesnsi waktu dan perekrutan Sumber Daya Manusia (Zaelani,
2018).

2.3. Kemandirian Ekonomi Pesantren


1. Pengertian Kemandirian Ekonomi Pesantren
Kemandirian merupakan sikap yang memprioritaskan kemampuan diri
sendiri dalam mengatasi berbagai macam masalah demi mencapai satu tujuan,
tanpa menutupi diri sendiri untuk berbagai kemungkinan kerjasama yang
saling mengutungkan satu sama lain (Mukeri, 2012).
kemandirian bisa juga dikatakan sebagai suatu kondisi ketika
seseorang memiliki hasrat dan itikad bersaing untuk lebih maju demi kebaikan
dirinya sendiri, mampu mengambil sebuah keputusan dan mengambil insiatif
untuk masalah yang akan dihadapi, memiliki suatu kepercayaan diri dalam
mengerjakan semua tugasnya, dan bertanggungjawab terhadap semua yang
dilakukannya (Muttaqin, 2011).
Definisi secara umum kemandirian adalah saat dalam menghadapi
suatu problematika yang harus diselesaikan dan dihadapi dengan cepat dan
tepat mengambil sebuah insiatif atau solusi terbaik, dan tidak tergantung
kepada siapapun. (Rahman, 2019)
Dalam pandangan Islam, kemandirian adalah identitas diri bagi
seorang muslim yang berlandaskan tauhid yang kuat, sehingga mampu
sebagai khalifah atau pemimpin (divine vicegereny), tampil menjadi seorang
syuhada, menjadi pilar-pilar kebenaran yang kokoh. Maka keyakinannya
seorang akan nilai tauhid menyebabkan setiap pribadi muslim akan memilki
semangat juang dalam jihad sebagai etos kerjanya. Semangat ini akan
42

melahirkan keinginan untuk memperoleh hasil dan usaha atas karyanya yang
dibuahkan dari dirinya. Kemandirian bagi seorang muslim sejati merupakan
simbol perjuangan semangat jihad (fighting spirit) yang sangat mahal nilainya
(Muttaqin, 2011).
Ada empat ciri-ciri kemandirian yaitu sebagai berikut (Rofiq, 2005).
a. Dapat mengambil inisiatif
b. Dapat mengatasi suatu masalah
c. Adanya ketekunan
d. Dapat memperoleh kepuasan dari usahanya.
Menurut Lindzery dan Aronson dalam (Rofiq, 2005) menyebutkan
ciri-ciri kemandirian seseorang adalah: (1) Relatif jarang meminta
perlindungan atau bantuan orang lain; (2) Menunjukkan sikap inisiatif dan
berusaha untuk mengejar suatu prestasi; (3) Memiliki rasa percaya diri; dan
(4) Bersikap ingin terlihat (menonjol).
Sedangkan kemandirian ekonomi merupakan suatu keadaan saat
masyarakat atau kelompok atau organisasi atau suatu negara dapat
bereproduksi dan mampu untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan pribadi
dalam batasan mensejahterakan diri, dan tidak bergantung pada orang lain
atau kelompok dalam menjalankan persoalan ekonomi di lingkungan.
Meskipun sebagian dari banyaknya kebutuhan ekonominya yang impor atau
membeli dari pihak luar dengan suatu tujuan untuk meminimalisir biaya
operasional (Basit, 2019).
Kemandirian ekonomi pesantren merupakan kemampuan pesantren
untuk mengatur operasional pesantren melalui kegiatan pengelolaan ekonomi
tanpa bergantung pada pihak tertentu. Kemandirian ekonomi pesantren
memiliki indikator salah satunya sebuah pesantren memiliki kemandirian
ekonomi adalah memiliki hasil dari unit usaha yang dimiliki memiliki
kontribusi yang produktif dan signifikan terhadap kegiatan edukasi dan
operasional dipesantren sehingga bersifat sustainable (berkesinambungan)
43

pesantren tidak selalunya tergantung pada kontribusi dana partisipasi dari


santri dan bantuan pihak lain baik pemerintah maupun swasta (Bank
Indonesia, 2015).
Langkah yang paling baik dalam mencapai kemandirian ekonomi
pesantren adalah dengan mendirikan unit-unit usaha pesantren. Berbagai
jenis unit usaha yang dapat digeluti dan dikembangkan oleh lembaga
pesantren umumnya dapat diklasifikasikan ke dalam empat kelompok besar,
yaitu: agrobisnis seperti (pertanian, perikanan, perkebunan, peternakan), jasa
(percetakan, Lembaga Amil Zakat, (BMT) Baitul Maal wa Tamwil, dan
koperasi), perdagangan seperti (ritel, pertokoan, dan agen penjualan), dan
industri (penjernihan air/filter air, dan mebel)
Menurut Marlina dalam Yaqin (2021), dengan sumber daya yang telah
ada dalam hal ini adalah santri, pesantren mempunyai potensi yang sama
besar untuk mengembangkan ekonomi syariah di Indonesia.
Lembaga pesantren dianggap sebagai lembaga
pengkaderan/kaderisasi para Ulama dan da'i yang mengayomi dan diakui oleh
masyarakat. Potensi besar yang dimiliki oleh lembaga pesantren dalam
mengembangkan ekonomi syari'ah mencakup tiga hal yaitu; (1) sebagai
agen perubahan social dalam bidang ekonomi syari'ah; (2) sebagai
laboratorium bisnis syari'ah dan (3) sebagai pusat belajar ekonomi syari'ah
masyarakat. (Silvana & Lubis, 2021).
Sejalan dengan sebuah penelitian dari Annisa (2019) dalam (Silvana &
Lubis, 2021) entang hubungan Kopontren (Koperasi Pondok Pesantren)
dengan halal value chain ecosystem (ekosistem rantai nilai halal). Pesantren
mempunyai sumber daya manusia (santri) yang sangat berpotensi untuk
mengembangkan perekonomian pesantren yang dapat berdampak baik atau
positif untuk perekonomian di Indoensia. Ini menunjukkan bahwa adanya
Kopontren sebagai penggerak perekonomian pesantren yang sangat
berpengaruh secara signifikan dalam menghidupkan rantai nilai halal,
44

disetiap bagian dari dalam lingkungan ekosistem pondok pesantren dengan


mengimplentasikan semua nilai halal dalam aktivitas produksi barang di
pesantren, distribusi barang sampai aktivitas konsumsi anggotanya baik
berupa barang maupun jasa.

2. Aspek Kemandirian Ekonomi Pesantren


Ada empat aspek manajerial yang harus diperhatikan demi
menunjang kesuksesan kemandirian ekonomi pesantren dalam
mengembangkan unit-unit usaha pesantren, yaitu aspek produksi, aspek
pemasaran, aspek keuangan, dan aspek pengelolaan sumber daya insani (Bank
Indonesia,2016).
a. Aspek Produksi
Lembaga pendidikan pesantren sebaiknya perlu memiliki aspek operasi
yang lebih efektif untuk diterapkan, maka disetiap kegiatan produksi atau
segala bentuk pelaporannya dilakukan dengan efektif dan efisien.
Didalam penelitian (Rahmadani & Makmur 2019) bahwa aspek produksi
penting sekali dan ketersediaan standar operasional pada semua unit
usahanya. Hal ini digunakan sebagai tolak ukur dalam penjualan
produksi untuk menunjang kesuksesan unit usaha pesantren seperti dari
berbagai sumber daya, inovasi-inovasi, pengelolahan, rasa makanan, dan
kualitas mesin produksi termasuk maintenance (perwatan). Lembaga
pesantren sebaiknya mempunyai standar produksi yang jauh lebih efektif
untuk diterapkan sehingga dalam setiap kegiatan produksi unit usaha
maupun dalam pelaporannya dapat dilakukan dengan efektif
(Rahmadani & Makmur 2019).

b. Aspek Pemasaran
Lembaga pesantren dalam aspek pemasaran, untuk unit-unit usaha bisnis
pesantren harus mempunyai bauran kebijakan pemasaran yang baik
45

dan benar, maka akan dapat bertahan dalam menghadapi kompetisi atau
memiliki daya saing dengan beberapa pesaing-pesaingnya. Aspek
pemasaran merupakan sebuah strategi yang disusun untuk mencapai
target pasar yang jelas dan tujuan unit usaha, dari segi penentuan suatu
harga, promosi barang, distribusi barang, dan kepuasan konsumen sebagai
maraketnya (Rahmadani & Makmur 2019).

c. Aspek Keuangan
Lembaga pesantren pada aspek keuangannya harus selalu transparansi
dalam pembuatan laporan keuangan yang standar untuk dimengerti dan
dipahami secara formal. Ini akan memudahkan akses pesantren ke
berbagai pasar. Aspek keuangan sangat berperan penting untuk
menganalisis dan meninjau seberapa besar biaya yang akan dikeluarkan
untuk dipakai dan adanya rincian penggunaan dana. Selain itu juga,
dalam pembuatan laporan keuangan yang standar untuk dipahami dan
diaplikasikan secara formal akan sangat memudahkan akses pesantren
ke semua pasar. Metode transparansi pada aspek keuangan pesantren
juga berpotensi memiliki pengaruh yang sangat besar (Rahmadani &
Makmur 2019). Hal ini didukung oleh sebuah hasil penelitian Umar dan
Syawalina (2018) tentang bagaimana pengaruh transparansi pengelolaan
keuangan daerah terhadap kinerja instansi inspektorat daerah Aceh.
Sangat berpengaruh transparansi dalam peningkatan kualitas kinerja.

d. Aspek Pengelolaan Sumber Daya Insani


Lembaga pesantren harus mempunyai sistem yang memadai agar cukup
kompetitif dalam persaingan dengan lembaga pendidikan lain dalam
hal menarik pengelola unit usaha pesantren yang memiliki komitmen
46

bersama dan memiliki kualitas tinggi. Ini juga sejalan dengan penelitian
dari Melis (2019) dia menyatakan bahwa dalam perkembangan zaman
menjadi sangat urgensi kebutuhan sumber daya manusia yang berkualitas.
Disamping aspek yang menunjang kesuksesan unit-unit usaha
pesantren, ada empat aspek yang dapat menghambat pengembangan
kemandirian ekonomi pesantren, yaitu dapat menghambat dalam aspek
pemasaran, jaringan, kapabilitas, dan permodalan (Bank Indonesia, 2019).
a. Menghambat dalam aspek pemasaran, maksudnya terbatasnya akses pasar
untuk menjual hasil produksi pesantren.
b. Menghambat dalam aspek jaringan, maksudnya keterbatasan networking
(jaringan) baik dari sisi supply maupun dari sisi demand.
c. Menghambat dalam aspek kapabilitas, maksudnya kapabilitas arti lain
dari kemampuan dalam manajemen bisnis. Artinya keterbatasan
kapabilitas untuk meningkatkan kapasitas ekonomi pesantren.
d. Menghambat dalam aspek permodalanya, maksudnya keterbatasan
permodalan sendiri oleh pesantren dan akses ke lembaga keuangan.

3. Tujuan Kemandirian Ekonomi Pesantren


Kemandiran ekonomi pesantren adalah salah satu program yang
dimiliki oleh Bank Indonesia (BI) yang memiliki tujuan sebagai berikut.
1. Untuk meningkatkan kapabilitas dan keterampilan pondok pesantren agar
memiliki kemandirian ekonomi yang produktif, mendukung penguatan
ketahanan pangan dan keuangan secara inklusif.
2. Untuk mendukung dalam peningkatan kemampuan kewirausahaan di
lembaga pondok pesantren.
3. Untuk meningkatkan efisiensi dan tata kelola keuangan yang jauh lebih
baik di lingkungan pondok pesantren.
Menurut KNEKS (Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syari'ah)
Dalam upaya mewujudkan kemandirian ekonomi pesantren, melalui Kemenag
47

bahwa ada di tahun 2021 ini membuat peta jalan kemandirian tercantum
dalam keputusan Menteri Agama Nomor 1252 Tahun 2021 Ada empat empat
tujuan yang ingin dicapai, yaitu sebagai berikut.
a. Untuk penguatan pesantren dalam menjalankan fungsi pemberdayaan
masyarakat dengan menjadi sebuah Community Economic Hub di
lingkungannya.
b. Untuk penguatan fungsi ekonomi pesantren dalam menghasilkan insan
yang unggul (SDM) yang unggul dalam ilmu agama, keterampilan dalam
bekerja (ikhtiar), dan kewirausahaan, penguatan peran Kementerian
Agama dalam mewujudkan kemandirian pesantren.
c. Untuk penguatan pesantren dalam mengelola semua unit bisnis sebagai
sumber daya ekonomi.

2.4. Pondok Pesantren


1. Pengertian Pondok Pesantren
Kata Pondok Pesantren terdiri dari dua suku kata yaitu pondok dan
pesantren, keduanya sangat familiar di kalangan masyarakat dan di dalamnya
ada santri dan kiyai. Adapun penjelasannya satu persatu berikut ini.
a. Pondok
Di dalam kamus bahasa Indonesia lengkap arti pondok adalah rumah
tempat sementara (Suharso & Ana, 2011: 395). Asal kata pondok dari
bahasa arab yaitu Punduk yang artinya adalah ruang tempat tidur, wisma
atau hotel. Pengertian secara sederhana dalam bahasa Indonesia adalah
digunakan untuk menunjukkan kesederhanaan dalam bangunannya, atau
dapat diartikan pondok adalah kamar atau gubuk atau rumah kecil.
Realitasnya, pondok adalah tempat tinggal sederhana bagi seorang santri
yang jauh dari tempat asalnya atau tempat kampung halamannya
(Ziemek, 1986: 98-99). Di Pulau Jawa, termasuk Sunda sampai Madura,
pada umumnya digunakan dengan istilah pesantren atau pondok pesantren
48

sedangkan di daerah Aceh familiar dengan istilah dayah atau rangkang


atau disebut juga meunasah dan di Minangkabau dikenal dengn istilah
surau (Mas'ud, 2002: 50).

b. Pesantren
Pesantren merupakan asrama tempat santri ataupun tempat murid-murid
belajar mengaji dan sebagainya (Departemen Pendidikan Nasional). Ada
pandangan lain menjelaskan bahwa pesantren merupakan lembaga
pembelajaran tradisional islam untuk menguasai, menghayati, serta
mengamalkan ajaran agama islam atau disebut Tafaqquh fiddin dengan
menekankan moral agama islam sebagai pendoman hidup bermasyarakat
tiap hari (Yulianti, 2016: 17). Menurut Haidir Putra berperpendapat jika
pesantren merupakan sesuatu wujud lingkungan warga yang unik serta
mempunyai tata nilai kehidupan yang positif yang memiliki karakteristik
khas tertentu, selaku lembaga pendidikan Islam. Ada pula faktor pokok
dari pesantren merupakan Kiyai, Santri, Pondok, Masjid serta Kitab- kitab
klasik (Putra, 2001: 69).
Apabila penafsiran digabung jadi satu dua suku kata di atas ialah
pondok pesantren, bagi Abdul Mujib merupakan sesuatu lembaga
pembelajaran islam yang di dalamnya ada seseorang kyai(pendidik) yang
mengajar dan mendidik para santri( partisipan didik) dengan fasilitas masjid
yang digunakan buat menyelenggarankan pembelajaran tersebut, serta
didukung terdapatnya pemondokan ataupun asrama selaku pas tinggal para
santri (Mujib & Mudzakir, 2006: 235). Sebaliknya bagi sebutan, pondok
pesantren adalah lembaga pembelajaran tradisional islam untuk dapat
menekuni, menguasai, mendalami, menghayati, serta mengamalkan ajaran
islam.
Menurut Hafidhuddin (1998: 15), pondok pesantren ialah salah satu
lembaga pendidikan diantara lembaga iqamatuddin lainnya yang mempunyai
49

dua fungsi utama, yaitu yang pertama fungsi kegiatan tafaqquh fi al-din yang
termasuk di dalamnya pengajaran, pemahaman, dan pendalaman ajaran agama
islam, dan kedua fungsi indzar didalamnya ada menyampaikan dan
mendakwahkan ajaran kepada semua orang.
Kedua fungsi di atas telah banyak dilaksanakan oleh pondok pesantren
di Indonesia, walaupun banyak halangan dalam banyak keadaan dan berbagai
kekurangan yang dihadapi lembaga tersebut. Dari situlah melahirkan para
ustadz, para kyai, dan pendakwah, serta tokoh-tokoh masyarakat yang ahli
dibidang keagamaan. Sehingga dapat dinyatakan bahwa sesungguhnya
pendidikan pondok pesantren mengarah pada pembentuan kekuatan jiwa
spiriritual, kekuatan mental, dan jiwa rohani.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan yang dimaksud dengan
pondok pesantren ialah sebuah institusi pendidikan islam yang didalamnya
terdapat kyai sebagai pendidik yang mengajak dan mendidik para santri
sebagai peserta didik dengan masjid sebagai salah satu sarana penunjang yang
digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung
adanya pondokan atau asrama untuk tempat tinggal santri. Dikategorikan
sebuah institusi pendidikan dapat disebut sebagai pondok pesantren atau
pondokan jika didalamnya terdapat sedikitnya lima unsur (SDM) yaitu adanya
Kyai, adanya Santri, dan kegiatan Pengajian (Ta'lim), adanya asrama dan
adanya masjid (Departemen Agama RI, 2003: 28).
Agar lebih jelas Dari lima unsur yang mencakup kedalam tubuh
pondok pesantren dapat dilihat pengertian di bawah ini.
1) Kiyai, yaitu sebutan bagi guru ngaji atau alim ulama’ yang memiliki sifat
cerdik pandai dalam agama islam atau seorang pengasuh, pendidik,
pengajar di lembaga pendidikan pondok pesantren dan di masyarakat.
2) Santri, yaitu siswa atau anak yang belajar di pondok pesantren untuk
menimba ilmu pengetahuan agama secara mendalam. Kata santri berasal
dari bahasa sangsekerta yaitu sastri berarti "melek muru" berasal dari
50

bahasa jawa berarti “cantik” dalam artian santri adalah orang yang selalu
mengikuti seorang guru kemana pun guru itu menetap (Dhofier, 1995:
19). Tapi menurut Majid (1997: 19) berpendapat kata "santri" berasal dari
bahasa Yutamil berarti guru ngaji, menurut sumber lain menyebutkan
kata "santri" berasal dari bahasa India yaitu “shastri” memiliki akar kata
“shastra” yang memiliki arti "Buku Suci", atau berarti "Buku-buku
Agama" atau juga berarti "buku-buku tentang Pengetahuan". Ada
pendapat lain yang menjelaskan bahwa santri adalah seorang peserta didik
atau pelajar yang disiapkan oleh pengasuh pondok pesantren sebagai
kaderisasi Ulama’ dan kaderisasi bangsa yang pada akhirnya akan
membawa warga masyarakat kepada kebaikan arah kemajuan dan
kesejahteraan dunia dan akhirat nantinya. Mengingat tabi'at (karakter)
masyarakat kita pada umumnya selalu mengikuti pemimpin, maka
kreativitas seorang pemimpin menjadi hal yang sangat penting untuk
kemajuan bangsa (Departemen Agama RI, 2004: 72). Ada 2 Kategori
santri, yaitu santri kalong dan santri mukim. Sebutan santri kalong ialah
para santri yang berada di desa-desa disekeliling pesantren, biasanya
mereka tidak menetap dalam lingkungan pesantren mereka hanya bolak
balik dari rumah untuk hanya mengikuti pelajaran sehari-hari (Dhofier,
1982: 18). Sedangkan santri ialah mereka yang mukim, para santri yang
berasal dari berbagai daerah yang jauh dan menetap di lingkungan
pondok pesantren. Menurut Sutejo (1999: 77), santri dapat
dikelompokkan mejadi tiga macam, yaitu: (1) Santri konservatif, yaitu
santri dibina dan memelihara nilai-nilai yang ada di pesantren dengan
caranya masing-masing dan bervariasi; (2) Santri reformatif, maksudnya
santri berusaha mempertahankan dan memelihara kaidah-kaidah agama
islam, dan berusaha menggantikannya dengan bentuk dan model yang
baru jika dibutuhkan; (3) Santri tranformatif, maksudnya santri yang
melakukan lompatan budaya dan intelektual secara bersifat progresif
51

tepatnya untuk memerhatikan nilai dan kaidah keagamaan yang mereka


peroleh dari pesantren.
Dapat disimpulkan dari beberapa pendapat di atas, bahwa santri adalah
seorang murid atau pelajar yang selalu mengikuti apa yang telah
diperintahkan oleh seorang guru yang akan disiapkan sebagai kader ulama dan
kader bangsa.
3) Asrama, adalah tempat menetapnya para santri sebagai tempat
tinggalnya (berdomisili). Dalam definisi lain sesuatu tempat
penginapan yang diperuntukan untuk anggota suatu kelompok,
biasanya murid- murid sekolah. Asrama umumnya ialah sebuah
bangunan denga kamar kamar yang bisa dihuni oleh sebagian
penunggu di setiap kamarnya. Para penghuninya menginap di asrama
buat jangka waktu yang lebih lama dibandingkan di hotel ataupun
losmen. Alibi untuk memilah menghuni suatu asrama dapat
berbentuk tempat tinggal asal si penunggu yang sangat jauh, ataupun
buat biayanya yang terbilang lebih murah dibanding dengan bentuk
penginapan yang lain. Misalnya apartemen. Tidak hanya buat
menampung murid murid, asrama juga kerap dihuni partisipan
sesuatu acara berolahraga. Asrama dalam arti sempit bangunan
tempat tinggal bagi kelompok orang yang bersifat homogeny (Balai
Pustaka, 1995).
4) Pengajian, merupakan penyelenggaraan atau kegiatan belajar
keagamaan Islam yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat
yang akan membimbing atau diberikan oleh seorang guru ngaji (da’i)
terhadap beberapa orang atau sekolompok orang (Arifin, 1997: 67).
5) Masjid, menurut Syafri (1996: 96) masjid ialah salah satu unsur
penting dalam struktur di masyarakat yang Islami. Masjid bagi
pemeluk agama Islam memiliki makna yang besar dalam kehidupan,
baik makna secara fisik maupun makna secara spiritual. Kata masjid
52

itu sendiri berasal dari kata Bahasa arab sajada-yasjudu-masjidan


(tempat sujud).

4. Sejarah dan Perkembangan Pesantren


Sejarah mencatat lumayan panjang dan banyak pandangan yang
menerangkan kapan dan bagaimana sesungguhnya pesantren itu ada dan lahir,
banyak para sarjana dari berbagai studinya yang sudah dilakukan terkadang
belum menemukan titik terang yang dapat dipakai sebagai reeferensi yang
benar-benar akurat mengenai perjalanan kehidupan pesantren (Prayitno, 2016:
42).
Sejarah mencatat, bahwa Pondok pesantren dikenal di Indonesia sejak
zaman adanya Wali Songo. Saat itu sunan Ampel yang mendirikan sebuah
padepokan di Ampel Surabaya Jawa Timur dan menjadikannya padepokan itu
sebagai pusat pendidikan di Jawa. Santri-santrinya yang berasal dari pulau
jawa berdatangan untuk menimba ilmu agama (Jamhuri, 1990: 1).
Ada juga yang menyatakan pendiri pesantren adalah Sunan Gunung
Jati yaitu Syarif Hidayatullah, tetapi pendapat yang paling kuat terdapat di
daerah sepanjang pantai utara Jawa, yaitu daerah Giri, Gresik, daerah Ampel
Denta, Surabaya, daerah Bonang, Tuban, daerah Kudus, Lasem, Cirebon, dan
sebagainya (Haedari, 2004: 7).
Kita ambil dari daerah Ampel tentang pesantren bahwa sangat
pesatnya pertumbuhan dan perkembangan Pesantren Ampel Denta pada saat
itu pada dasarnya didukung oleh beberapa faktor utama, yaitu: (1) letaknya
yang strategis yaitu terletak di pintu gerbang utama kerajaan Majapahit, oleh
karena itu harus bersinggungan langsung dengan sirkulasi perdagangan di
kekuasaan kerajaaan Majapahit, Kapal dari kerajaan Majapahit harus
melewati pelabuhan Surabaya; (2) lembaga pendidikan tersebut serupa dengan
pendidikan sebelumnya; (3) lembaga pendidikan itu dapat diikuti oleh setiap
orang tanpa memandang keturunan dan kedudukan. Dasarnya dalam
53

perkembagnnya, ada dua fungsi pesantren, pertama, pesantren sebagai


lembaga pendidikan, kedua, sebagai lembaga syiar dakwah agama. Saat ini
telah banyak perubahan yang terjadi namun fungsi utama itu masih melekat
pada tubuh lembaga pesantren (http://www.depag.net.id).
Dalam Zuhairini (1992: 212) tumbuh dan berkembangnya yang sangat
pesat Pesantren di Indonesia dari abad ke-18 sampai dengan abad ke-20
pesantren sebagai lembaga pendidikan islam semakin banyak dirasakan
keberadaannya oleh masyarakat indonesia secara luas, maka kemunculan
pesantren ditengah masyarakat selalu di respon dengan positif oleh
masyarakat itu sendiri.
Dalam catatan Departemen Agama RI tentang berdirinya pondok
pesantren bermula di Jawa yang dipelopori oleh Wali Songo sangatlah penting
sehubungan dengan perannya yang sangat lebih menonjok. Pondok Pesantren
merupakan salah satu lembaga tertua di Indonesia yang memiki kontribusi
penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa bernegara. Sebelum masa
kemerdekaan lahir 1945, pesantren telah menjadi sistem pendidikan di
Indonesia. Hampir diseluruh pelosok, khususnya di pusat kerajaan islam di
Indonesia adanya lembaga pendidikan yang kurang lebih sama walaupun
menggunakan nama berbeda, seperti disebut Meunasah di Aceh, Surau di
Minangkabau dan juga pesantren di Jawa (Departemen Agama, 2003: 3).
Sedangkan ada yang memberikan definisi bahwa pesantren merupakan
lembaga pendidikan Islam yang diadopsi dari kultur asing. Steenbrink
memandang pesantren diambil dari negara India, dan Bruinessen berpendapat
bahwa pesantren berasal dari negara arab. Keduanya memiliki argumentasi
untuk memperkuat pendapat mereka masing-masing. Streenbrink kemudian
menjelaskan menemukan dua alasan yang memperkuat pandangan bahwa
lembaga pesantren diadopsi dari negara India, yaitu alasan termologi dan
alasan persamaan dalam bentuk (Steenbrink, 1986: 20).
54

Menurut Madjid (1997: 19-21) bahwa asal usul pesantren dari tradisi
asing yaitu dari India dan Arab menurut penjelasan di atas perlu di uji
kebenarnya. Pasalanya jika diperhatikan istilah di dalam dunia pesantren
berasal dari Bahasa jawa yaitu ada empat istilah yaitu santri, kiyai, ngaji, dan
njenggoti.
Perkembangan pondok pesantren dalam kacamata sekarang Pondok
pesantren merupakan bagian dari pendidikan nasional yang memiliki ciri
khas, keaslian atau indegeneous pendidikan Indonesia. Kemandirian yang
dimiliki pesantren, pesantren akan menjadi lembaga pendidikan yang otonom
mampu mengendalikan diri sendiri tanpa terpengaruh atau dipengaruhi, baik
dari sistem pembelajaran maupun pendanaan operasional pesantren (Irwan
dkk, 2008: 124)
Saat ini secara garis besar pesantren sekarang ini dibedakan menjadi
tiga macam, yaitu sebagai berikut.
(1) Pesantren tradisional, yaitu pesantren yang masih mampu
mempertahankan sistem pengajaran tradisional dengan materi
pengajaran kitab-kitab klasik yang sering disebut kitab kuning.
(2) Pesantren modern, yaitu pesantren yang berusaha
mengintegrasikan secara penuh antara sistem klasikal dan sekolah
ke dalam pondok pesantren. Para santri yang masuk pondok
modern terbagi dalam tingkatan kelas. Pengajian kitab-kitab klasik
tidak menjadi prioritas, bahkan ada yang hanya mengkaji kitab
kuning sebagai pelengkap, dan berubah menjadi mata pelajaran
atau bidang studi. Sistem yang diterapkan seperti cara sorogan
bandungan mulai berubah menjadi individual dalam hal belajar
dan kuliah secara umum, atau stadium general (Rukiati &
Hikmawati, 2006: 111).
(3) Pesantren komprehensif, yaitu pondok pesantren kenapa disebut
komprehensif karena sistem pendidikan dan pengajaran gabungan
55

atau campuran sistem pendidikan pondok pesantren tradasional


dengan sistem pendidikan pondok pesantren modern. Maksudnya
di dalam menerapkan pendidikan dan pengajaran kitab-kitab salafi
dengan metode sorogan, bandongan, dan wethonan secara regular
sistem persekolahan terus dikembangankan oleh pesantren
(Ghozali, 2001: 97).
Sekarang ini banyak pesantren menuju ke gaya pendidikan modern
atau disebut pesantren modern seperti pondok pesantren modern Gontor dan
Pondok Pesantren Jombang termasuk Pondok Pesantren Al Ashriyyah Nurul
Iman Islamic Boarding School Parung-Bogor.
Menurut Almira dkk (2021) arah perkembangan ini adalah salah satu
usaha untuk menuju pembaharuan pesantren yang tradisional menjadi
pesantren yang lebih modern dan dilakukan dengan memperbaiki sistem
manajemen pengelolaannya menjadi lebih relefan dengan perkembangan
zaman.
Masksud dari pembaharuan ini menandakan beberapa hal yaitu
sebagai berikut Almira dkk (2021).
1) Membuat perubahan kurikulum yang mengarah sesuai dengan
kebutuhan masyarakatnya
2) Kualitas tenaga pendidik (guru) dan fasilitas lebih ditingkatkan
3) Pembaharuan dilakukan secara berangsur dan bertahap
4) Bagi kiyai sebagai pemilik pesantren dianjurkan terbuka pada
usaha perbaikan yang lebih positif ini.
Nilai yang menjadi dasar yang ada di atas tidak boleh sampai luntur
karena adanya peradaban baru, harus selalu dipertahankan walaupun demikian
seiring perkembangan zaman yang tidak boleh tergerus, walaupun begitu
bukan berarti harus menutup diri pada perubahan, pesantren juga
membutuhkan ada tren baru atau gaya baru dalam lingkungan pesantren.
56

Pembinaan Pesantren telah diatur di dalam undang-undang 20 tahun


2003 yang telah disahkan oleh DPR, Pada Departemen Agama pusat sudah
menetapkan bahwa pejabat yang memegang dalam pembinaan dan
pengembangan pada pondok pesantren yang menjadi tugas pokok dan fungsi
direktorat hub.
Jadi kesimpulannya dari penjelasan di atas, pesantren merupakan salah
satu lembaga pendidikan islam di Indonesia yang digunakan untuk memper
dalam pembelajaran tentang agama islam dan menjadikan hasil pembelajaran
tersebut sebagai pedoman dalam hidup manusia. Perkembangan pesantren ada
sejak zaman kerajaan yaitu zaman kerjaan Majapahit bersamaan datangnya
islam ke nusantara pada abad ke 7 yaitu zaman wali songo sunan Ampel.

5. Kurikulum Pondok Pesantren


Kurikulum pondok pesantren memiliki gaya masing-masing,
tergantung model apa yang di ambil, jika kita lihat ada 2 yaitu kurikulum
pondok pesantren tradisional dan kurikulum pondok pesantren modern.
a. Kurikulum Pondok Pesantren Tradisional
Menurut Nisa dan Chotimah (2020), Materi dalam pengajaran pondok
pesantren tradisional merupakan hanya ilmu agama saja, seperti kajian
fiqih, nahwu, tafsir, tauhid, hadist dan lain sebagainya. Biasanya sebagai
rujukannya adalah kitab turost atau yang dikenal dengan kitab kuning
atau kitab klasik. Kajian itu menjadi prioritas utama para santri dalam
pengajarannya. Hal itu karena mereka memandang bahwa ilmu nahwu
adalah kunci segala ilmu. Apabila seseorang tidak dapat membaca kitab
kuning jika belum menguasai nahwu. Sedangkan materi fiqih karena
dipandang sebagai ilmu yang banyak berhubungan dengan kebutuhan
masyarakat. Maka jika sebagian pakar disebut sistem pendidikan Islam
pada pesantren dahulu bersifat fiqih orientied atau nahwu orientied. Maka
statusnya kurikulum pondok pesantren tradisional sebagai lembaga
57

pendidikan non formal yang hanya mempelajari kitab klasik saja. Oleh
karena itu pelaksanaan kurikulum pendidikan pesantren ini berdasarkan
kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam
kitab kuning. Jadi ada 3 tingkatan yaitu awal, tengah, dan lanjutan. Masa
pendidikan tidak tertentu, yaitu sesuai dengan keinginan santri dan
keputusan Kyai sebagai bila dipandang santri telah cukup menempuh
pelajaran atau telah dianggap selesai (Nisa & Chotimah, 2020). Jenjang
pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga-
lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya,
kenaikan tingkat seorang santri didasarkan kepada isi mata pelajaran
tertentu yang ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang
dipelajarinya. Menuru Prayitno (2016: 47) bahwa perkembangan
pesantren tradisionalsaat ini sudah jarang sekali kita temukan. Jika masih
ada itu juga hanya tinggal beberapa saja, sekurang kurangnya pondok
pesantren sudah diajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau ke arah
digitalisasi.

b. Kurikulum Pondok Pesanten Modern


Kurikulum pendidikan pesantren modern adalah mempertahankan pola
pengajaran pesantren dan dipadukan dengan pengajaran madrasah atau
sekolah dengan jiwa, nilai, dan artibut lainnya. Pengajarannya
menggunakan sistem klasikal dengan sistem evaluasi (Prayitno, 2016:
48). Pengembangan kurikulum Pendidikan pesantren kearah modern yang
terus menerus menyangkut seluruh komponennya ialah sesuatu yang
mutlak dan pasti untuk dilakukan, agar ia tidak kehilangan relevansi
dengan kebutuhan riil yang dihadapi komonitas pendidikan Islam yang
kecenderungannya akan terus mengalami proses dinamika kearah
tranpormatif (Nisa & Chotimah, 2020). Menurut Mastuhu (1999: 54-56)
pengembangan kurikulum pendidikan menuju konsep dengan model dan
58

paradigma pendidikan pesantren sebagai landasan dalam kurikulumnya


yaitu sebagai berikut.
1) Dasar Pendidikan harus teosentris dengan menjadi antroposentris
sebagai isi dari konsep teosentris.
2) Tujuan pendidikan untuk membangun kehidupan dunia yang lebih
baik debagai bentuk pengabdian kepada-Nya.
3) Konsep manusianya yang terlahir fitrah yang perlu dikembangkan
bukan cara pandang sekuler dengan memandang manusia dari
subular-nya.
4) Nilainya pendidikannya harus berorientasi ke arah IPTEK sebagai
kebenaran relatif.
Pendidikan waktunya pada dewasa ini berlangsung selama 24 jam.
Oleh karena itu kurikulum meliputi segala pengalaman yang sengaja
diberikan untuk memupuk perkembangan anak-anak atau disebut sistem
boarding school dengan jalan menciptakan situasi belajar mengajar
(Daryanto, 1998: 45).
Menurut Imam (2003) kurikulum pondok pesantren modern
mengakomodasikan perkembangan terkini yang faktual, IPTEK, serta
mempunyai kemampuan beradaptasi terhadap segala bentuk perubahan
zaman.
Pondok pesantren tidak selalunya berkutat pada kurikulum religion
based curriculum atau yang berbasis keagamaan dan cenderung melangit,
tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan society based
curriculum atau kekinian di masyarakat Namun pengembangan kurikulum
pondok pesantren jangan sampai kehilangan nilai dan identitasnya (At
Turaats). Pondok pesantren sebagai bentuk pendidikan harus
berorientasi exelent education atau kebutuhan masa depan (Nisa & Chotimah,
2020).
59

Menurut Nisa dan Chotimah (2020) upaya rekonstruksi kurikulum


pondok pesantren bentuk dari upaya pengembangan pola pikir santri. Untuk
model pengembangan kurikulum yang dipentingkan implementasinya adalah
bertumpu untuk mencapai tujuan, pengembangan bahan belajar mengajar,
peningkatan proses belajar mengajar dan pengembangan sistem penilaian
yang komprehensif.

6. Tujuan Pondok Pesantren


Sejak dari awal lahir dan tumbuhnya pondok pesantren di Indonesia,
memiliki tujuan utama yaitu sebagai berikut (Departemen Agama, 2003: 9).
a. Tafaqquh Fid-Din yaitu untuk mempersiapkan santri dalam
mendalami dan menguasai ilmu agama Islam.
b. Untuk dakwah menyebarkan agama Islam.
c. Sebagai benteng pertahanan umat dalam berakhlak
d. Sebagai upaya meningkatkan pemberdayaan masyarakat di
berbagai sektor kehidupan.

2.5. Penelitian Terdahulu


Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu
Metode
Nama& Persamaa
No Judul Penelitia Kesimpulan
Sumber n
n
1 Prima Pemberdayaan Pemberday Kualitatif Hasil Penelitiannya
Prayitno Sumber Daya aan menunjukkan 3
(2016) Manusia Sumber tahapan pemberdayaan.
Jurnal Pondok Daya 1. Input,santri
Pesantren Manusia ditempatkan pada
Melalui bidang unit usaha
Pendidikan yang dipilihnya.
Wirausaha 2. Proses
60

Metode
Nama& Persamaa
No Judul Penelitia Kesimpulan
Sumber n
n
( Studi Kasus pelaksanaan,santri-
Yayasan Al- santri diajarkan
Ashriyyah Nurul praktek secara
Iman Islamic langsung.
Boarding School 3. Output, pemantauan
Parung-Bogor), dan pengevaluasi
dari pelaksanaan
kegiatan ditiap-tiap
unit kewirausahaan.
2 Abdul Model Pemberday Kulitatif Hasil penelitian
Basit & Pemberdayaan aan dan Deskripti menunjukkan
Tika Dan Kemandiri f 1. Pesantren
Widiastut Kemandirian an Mamba'us Sholihin
i Ekonomi Di ekonomi menggunakan
(2019) Pondok Pesantren model muslim
Jurnal Pesantren dalam
Mamba’us pemberdayaan
Sholihin Gresik santri melalui
praktek, pelatihan
dan menjadi
pegawai di unit-
unit usaha yang
dimiliki oleh
pondok pesantren.
2. pemberdayaan
masyarakat sekitar
dilakukan melalui
sosial pesantren
lembaga yaitu
berupa bantuan-
bantuan dan
pengajian rutin,
Wujud kemandirian
ekonomi pesantren
adalah mampu
61

Metode
Nama& Persamaa
No Judul Penelitia Kesimpulan
Sumber n
n
memenuhi
kebutuhan operasional
pondok pesantren dari
keuntungan unit-unit
usaha yang dimiliki
oleh
pesantren.

Rizal Kemandirian Kemandiri Kualitatif Hasil penelitian


Muttaqin Dan an dan dan menunjukkan bahwa
(2011) Pemberdayaan Ekonomi Kuantitati kemandirian ekonomi
Ekonomi Pesantren f mahasiswa dan
Berbasis masyarakat
Pesantren pemberdayaan
ekonomi yang
3 dilakukan oleh
pesantren Al-Ittifaq
dan kepemimpinan
Kiyai sangat
berpengaruh dalam
pembentukan
kemandirian ekonomi
siswa.
4 Rohmat Manajemen Pemberday Deskripti Hasil penelitian ini
Koswara Pelatihan Life aan Santri f adalah manajemen
(2014) Skill Dalam Kualitatif pelatihan life skills di
Jurnal Upaya Pondok Pesantren
Pemberdayaan Misbahul Falah ini
Santri Di belum sepenuhnya
Pondok berjalan dengan baik.
Pesantren (tudi 1. proses
Deskriptif perencanaanny
Kualitatif di a yang kurang
Pondok baik
Pesantren 2. dokumentasi
Misbahul Falah dengan kurang
62

Metode
Nama& Persamaa
No Judul Penelitia Kesimpulan
Sumber n
n
Desa baik,
Mandalasari Pelaksanaan kegiatan
Kecamatan life skill dapat berjalan
Cikalongwetan dengan baik sedangkan
Kabupaten dalam kegiatan
Bandung Barat) evaluasi kegiatan life
skill kurang efektif
karena tidak ada alat
ukur penilaian yang
jelas.
Rudi Pemberdayaan Pemberday Hasil Penelitian ini
Haryanto Santri Pondok aan Santri menunjukkan:
(2017) Pesantren 1. Pemberdayaan
Jurnal Musthafawiyah ruhaniah di Pondok
Di Era Pesantren
Globalisasi Musthafawiyah
(Studi Kasus mencakup
Pondok penyadaran,
Pesantren pengapasitasan, dan
5
Musthafawiyah) pendayaan.
2. pemberdayaan
intelektual di
Pondok Pesantren
Musthafawiyah
dilakukan dengan
sistem badongan,
ceramah, diskusi,
dan hafalan
6 Ahmad Analisis Pemberday Deskripti Hasil penelitian ini
Fawaiq Pemberdayaan aan f menunjukkan bahwa
dkk Ekonomi Santri Kualitatif adanya program
(2021) Terhadap Minat pemberdayaan
Jurnal Berwirausaha di ekonomi santri melalui
Pondok program UKS yang ada
Pesantren di pesantren mampu
mendorong para santri
63

Metode
Nama& Persamaa
No Judul Penelitia Kesimpulan
Sumber n
n
untuk berwirausaha

Anda mungkin juga menyukai