Anda di halaman 1dari 18

BAB II

PENDAHULUAN

2.1. Hakikat dan Konsep Pemberdayaan Masyarakat

2.1.1. Pengertaian pemberdayaan masyarakat

Empowerment atau yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia


berarti pemberdayaan merupakan sebuah konsep yang lahir sebagai bagian
dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan barat
utamaya Eropa. Untuk memahami konsep empowerment secara tepat dan
jernih memerlukan upaya pemahaman latar belakang kontekstual yang
melahirkannya.

Secara konseptual, pemberdayaan atau pemerkuasaan


(empowerment) berasal dari kata power (kekuasaan atau keberdayaan).
Karena ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan kemampuan untuk
membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari
keinginan dan minat mereka (Edi Suharto, 2005:57).

Pemberdayaan menurut (Suhendra, 2006:74-75) adalah “suatu


kegiatan yang berkesinambungan dinamis secara sinergis mendorong
keterlibatan semua potensi yang ada secara evolutif dengan keterlibatan
semua potensi”

Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi, saat ini


telah banyak diterima, bahkan telah berkembang dalam berbagai
literatur, baik di dunia barat maupun di Indonesia. Menurut Prijono
dan Pranarka (1996: 2) bahwa lahirnya konsep pemberdayaan sebagai
antitesa dan jawaban terhadap model pembangunan yang kurang
memihak pada rakyat mayoritas.

Konsep pemberdayaan dibangun dari kerangka logik sebagai


berikut: (1) bahwa proses pemusatan kekuasaan terbangun dari
pemusatan kekuasaan faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor
produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha
pinggiran; (3) kekuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem
pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan sistem ideologi yang
manipulatif untuk memperkuat legitimasi; dan (4) pelaksanaan sistem
pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan ideologi secara
sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu
masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya Prijono dan Pranarka
(1996: 3).
Berkaitan dengan konsep pemberdayaan, Suharto (2004:2-3)
mengemukakan bahwa secara konseptual, pemberdayaan atau
pemberkuasaan (empowerment), karena ide utama pemberdayaan
bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali
dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain
melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat
mereka. Ilmu sosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan
berkaitan dengan pengaruh dan kontrol. Pengertian ini mengasumsikan
bahwa kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak berubah atau tidak dapat
dirubah. Kekuasaan tidak vakum dan terisolasi, karena kekuasaan
senantiasa hadir dalam konteks relasi sosial antar manusia.

Kekuasaan tercipta dalam relasi sosial, karena kekuasaan dan


hubungan kekuasaan dapat berubah. Dengan pemahaman kekuasaan
seperti ini, pemberdayaan sebagai sebuah proses perubahan kemudian
memiliki konsep yang bermakna. Dengan kata lain, kemungkinan
terjadinya proses pemberdayaan sangat tergantung pada dua hal, yaitu:
(1) Bahwa kekuasaan dapat berubah, karena jika kekuasaan tidak
dapat berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara
apapun, dan (2) Bahwa kekuasaan dapat diperluas, karena konsep ini
menekankan pada pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan
dinamis.

Berkenaan dengan pemaknaan terhadap konsep pemberdayaan,


Ife (dalam Hadi, 2010: 1) menyatakan bahwa konsep pemberdayaan
(empowerment) sebagai upaya memberikan otonomi, wewenang, dan
kepercayaan kepada setiap individu dalam suatu organisasi, serta
mendorong mereka untuk kreatif agar dapat menyelesaikan tugasnya
sebaik mungkin.

Proses pemberdayaan menurut Prijono dan Pranarka (1996: 3)


mengandung 2 dua) kecenderungan, yaitu pertama kecenderungan primer,
dalam pemahaman akan hal ini proses pemberdayaan yang dimaksudkan
lebih menekankan pada proses atau mengalihkan sebagian kekuasaan,
kekuatan atau kemampuan kepada rakyat agar menjadi lebih berdaya
(survival of the fittes). Kecenderungan ke dua, yaitu kecenderungan
sekunder, dalam kaitan dengan hal ini mekanisme pemberdayaan lebih
menekankan pada proses menstimulasi, mendorong ataupun
memotivasi guna menghadapi berbagai persoalan dan tantangan untuk
dipecahkan melalui solusi terbaik.

2.1.2. Prinsip-prinsip pemberdayaan mayarakat


Pemberdayaan masyarakat memiliki prinsip dasar yang menjadi
pedoman bagi pemberdaya dan seluruh unsur stakeholders. Dalam kaitan
dengan hal ini. Depdagri (2004: 1-2) mengemukakan prinsip-prinsip
pemberdayaan, meliputi:

1) Keberpihakan kepada orang miskin, dalam setiap tahapan


kegiatan, termasuk pemanfaatannya diutamakan kepada orang
miskin.

2) Transparansi, dalam hal ini masyarakat harus tahu, memahami


dan mengerti adanya kegiatan ini serta memiliki kebebasan
dalam melakukan pengendalian secara mandiri.

3) Partisipasi, dalam hal ini masyarakat berperan secara aktif dalam


setiap tahapan kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengendalian, pengawasan dan pelestariannya.

4) Musyawarah, untuk memilih sesuatu yang menjadi priorititas


dalam setiap pengambilan keputusan di desa maupun antar desa
dilakukan secara musyawarah berdasarkan pada prioritas kebutuhan
nyata.

5) Desentralisasi, masyarakat memiliki kewenangan dan


tanggungjawab yang luas untuk mengelola kegiatan secara mandiri
dan partisipatif tanpa intervensi negatif dari luar.

6) Akuntabilitas, setiap pengelolaan kegiatan harus dapat


dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan pihak yang
berkompeten;

7) Keberlanjutan, dalam setiap pengambilan keputusan atau tindakan


pembangunan harus selalu mempertimbangkan sistem
pelestariannya

8) Kesetaraan gender, dalam setiap pelaksanaan kegiatan dan


pengambilan keputusan, perempuan mempunyai hak yang sama
dengan laki-laki.

Sejalan dengan pendapat di atas, Owin (2004: 11) mengemukakan 12


prinsip pemberdayaan masyarakat yang harus dijadikan kekuatan internal
pelaku pemberdaya. Kedua belas prinsip tersebut meliputi: (1) adil; (2)
jujur kepada diri sendiri dan kepada orang lain; (3) memecahkan
masalah; (4) kerjasama dan koordinasi; (5) partisipasi aktif; (6) terpadu;
(7) mengutamakan penggalian dan pengembangan potensi lokal; (8)
bertumpu kepada kekuatan masyarakat; (9) pembinaan yang konstruktif
dan berkesinambungan; (10) pelaksanaan kegiatan berlangsung secara
gradual/bertahap; (11) konsisten; (12) komitmen serta peduli kepada misi
pemberdayaan. Prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat dimaksud dapat
dijelaskan sebagai berikut.

1) Adil, dimana para pelaku utama pemberdaya dan seluruh unsur


stakeholders, harus berlaku adil, dalam hal ini melaksanakan
prinsip kerja berdasarkan keadilan dan komitmen untuk
meningkatkan kualitas kerja yang adil. Keadilan dimaksud
meliputi keadilan distribusi dan keadilan prosedural. Adil distribusi
adalah berlaku adil ketika mendistribusikan sesuatu sekalipun yang
miskin harus diutamakan. Keadilan prosedural adalah berlaku
adil dalam memberikan pelayanan sekalipun yang harus dutamakan
adalah orang miskin. pelayanan yang cepat kepada mereka yang kaya
atau yang tidak miskin.

2) Jujur, seluruh unsur stakeholders harus jujur, baik jujur kepada


diri sendir i maupun kepada orang lain. Kejujuran sangat besar
pengaruhnya terhadap keadilan. Keduanya merupakan sifat dasar
manusia.

3) Mecahkan masalah, dalam hal ini pemberdayaan masyarakat harus


mampu memecahkan masalah dalam masyarakat. Memecahkan
masalah (problem solving) adalah proses bagaimana semua pihak
menerima jalan keluar yangditawarkan. Tenaga pemberdaya harus
trampil dan kreatif mencari inovasi (ide dan pemikiran baru atau
terobosan baru), serta terampil melakukan asistensi dan fasilitasi
(bimbingan dan pendampingan).

4) Kerjasama dan koordinasi, seluruh unsur stakeholders berdasarkan


kemitraan. Kendatipun ada struktur pengelolaan program dengan
berbagai atributjabatannya, namun dalam proses perjalanannya
harus berlangsung secara kemitraan. Mengejar misi dan mencapai
tujuan program adalah tugas bersama.

5) Partisipasi aktif, yakni partisipasi aktif dari seluruh unsur


stakeholders. Partisipasi tidak hanya diukur oleh jumlah atau
kuantitas, melainkan harus juga diukur oleh seberapa banyak elemen
masyarakat yang terlibat, misalnya dari latar belakang jenis
kelamin, latar belakang usia, latar belakang sosialekonomi.

6) Terpadu, lingkup dan cakupan program berlangsung secara


terpadu. Keterpaduan ini diawali dengan ketajaman analisis dalam
melihat persoalan. Keterpaduan dari sudut pandang “tujuan”
mengandung arti bahwa tujuan pemberdayaan harus meliputi
aspek intelektual, sosial-ekonomi, fisik, dan aspek manajerial.
Tujuan juga harus mampu meningkatkan aspek pengetahuan,
kemampuan, dan keterampilan. Dari sisi pelakunya, unsur
stakeholders yang harmonis dan kondusif.

7) Mengutamakan penggalian dan pengembangan potensi local,


pengembangan potensi lokal untuk merintis kemandirian dan
memperkecil terjadinyaketergantungan kepada pihak luar.
Pengembangan potensi lokal yang konsisten, juga mengandung
maksud agar masyarakat sadar bahwa kontribusi itu jauh lebih
realistis untuk tujuan rasa memiliki.

8) Bertumpu kepada kekuatan masyarakat, pemberdaya harus aktif


melakukan mobilisasi dan peningkatan swadaya yang bertumpu
kepada kekuatan masyarakat sendiri/kelompok sasaran (self-reliant
development).

9) Pembinaan yang kon struktif dan berkesinambungan,


pemberdayaan harus mengembangkan metode pembinaan yang
konstruktif dan berkesinambungan. Program pembinaan
dikonstruksi bersama oleh semua pihak sehingga dapat dipastikan
bahwa antara satu bentuk pembinaan dengan bentuk yang lainnya
akan berkorelasi positif, saling mendukung dan berkesinambungan.

10) Kegiatan berlangsung secara gradual/bertahap, pelaksanaan


kegiatan berlangsung secara gradual/bertahap. Tahapan kegiatan
dibuat bersamamasyarakat. Fasilitator dapat menggabungkan antara
waktu yang tersedia bagi program dan yang tersedia pada
masyarakat. Tahapan kegiatan tidak akan berpengaruh kepada
waktu yang disediakan.

11) Konsisten, seluruh unsur stakeholders harus konsisten terhadap


pola kerjapemberdayaan. Pola ini harus dibedakan dengan pola
kerja pada pembangunan fisik. Pemberdayaan adalah untuk
kepentingan manusia seutuhnya. Oleh karena itu pola dan cara
kerja harus mampu menyentuh kepada seluruh kepentingan
masyarakat.

12) Komitmen dan peduli pada misi pemberdayaan, dalam hal ini seluruh
elemen pemberdayaan harus komitmen serta peduli kepada misi
pemberdayaan dan kepada masyarakat miskin yang kurang
mampu (Sense of mission, sense ofcommunity, and mission driven
profesionalism).
2.1.3. Tujuan dan strategi cara pemberdayaan masyarakat

Tujuan pemberdayaan masyarakat adalah memampukan dan


memandirikan masyarakat terutama dari kemiskinan dan
keterbelakangan/kesenjangan/ketidakberdayaan. Kemiskinan dapat dilihat
dari indikator pemenuhan kebutuhan dasar yang belum mencukupi/layak.
Kebutuhan dasar itu, mencakup pangan, pakaian, papan, kesehatan,
pendidikan, dan transportasi. Sedangkan keterbelakangan, misalnya
produktivitas yang rendah, sumberdaya manusia yang lemah,
terbatasnya akses pada tanah padahal ketergantungan pada sektor
pertanian masih sangat kuat, melemahnya pasar-pasar lokal/tradisional
karena dipergunakan untuk memasok kebutuhan perdagangan
internasional. Dengan perkataan lain masalah keterbelakangan
menyangkut struktural kebijakan) dan kultural (Sunyoto Usman, 2004).

Ada beberapa strategi yang dapat menjadi pertimbangan untuk


dipilih dan kemudian diterapkan dalam pemberdayaan masyarakat.

Strategi 1 : Menciptakan iklim, memperkuat daya, dan melindungi.

Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat


dari tiga sisi, yaitu ;

1. Menciptakan suasana atau iklim yang


memungkinkan potensi masyarakat berkembang
(enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan
bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki
potensi yang dapat dikembangkan.

2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki


masyarakat (empowering). Dalam rangka
pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah
peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan,
serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi
seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja,
dan pasar. Masukan berupa pemberdayaan ini
menyangkut pembangunan prasarana dan sarana
dasar fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial
seperti sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan, yang
dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling
bawah, serta ketersediaan lembagalembaga pendanaan,
pelatihan, dan pemasaran di perdesaan, dimana
terkonsentrasi masyarakat menjadi makin tergantung
pada berbagai program pemberian (charity). Karena,
pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus
dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat
dipertikarkan dengan pihak lain). Dengan demikian
tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat,
memampukan, dan membangun kemampuan untuk
memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik
secara berkesinambungan.penduduk yang
keberdayaannya amat kurang. Untuk itu, perlu ada
program khusus bagi masyarakat yang kurang
berdaya, karena program-program umum yang
berlaku tidak selalu dapat menyentuh lapisan
masyarakat ini. Pemberdayaan bukan hanya meliputi
penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga
pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya
modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan
kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari
upaya pemberdayaan ini. Demikian pula
pembaharuan institusi-institusi sosial dan
pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan
serta peranan masyarakat di dalamnya. Yang
terpenting disini adalah peningkatan partisipasi
rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang
menyangkut diri dan masyarakatnya. Oleh karena
itu, pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya
dengan pemantapan, pembudayaan, pengamalan
demokrasi.

3. Memberdayakan mengandung pula arti melindungi.


Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang
lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena
kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat.
Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan
kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam
konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak
berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena
hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan
melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat
sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan
yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat
atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan
membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada
berbagai program pemberian (charity). Karena, pada
dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan
atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertikarkan
dengan pihak lain). Dengan demikian tujuan akhirnya
adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan
membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah
kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan.

Strategi 2 : Program Pembangunan Pedesaan

Pemerintah di Negara-negara berkembang termasuk


Indonesia telah mencanangkan berbagai macam program
pedesaan, yaitu (1) pembangunan pertanian, (2) industrialisasi
pedesaan, (3) pembangunan masyarakat desa terpadu, dan (4)
strategi pusat pertumbuhan ( Sunyoto Usman, 2004). Penjelasan
macam-macam program sebagai berikut:

Program pembangunan pertanian, merupakan program


untuk meningkatkan output dan pendapatan para petani. Juga
untuk menjawab keterbatasan pangan di pedesaan, bahkan
untuk memenuhi kebutuhan dasar industri kecil dan
kerumahtanggaan, serta untuk memenuhi kebutuhan ekspor
produk pertanian bagi negara maju. Program industrialisasi
pedesaan, tujuan utamanya untuk mengembangkan industri
kecil dan kerajinan. Pengembangan industrialisasi pedesaan
merupakan alternative menjawab persoalan semakin sempitnya
rata-rata pemilikan dan penguasaan lahan dan lapangan kerja
dipedesaan.

Program pembangunan masyarakat terpadu, tujuan


utamanya untuk meningkatkan produktivitas, memperbaiki
kualitas hidup penduduk dan memperkuat kemandirian. Ada
enam unsur dalam pembangunan masyarakat terpadu, yaitu:
pembangunan pertanian dengan padat karya, memperluas
kesempatan kerja, intensifikasi tenaga kerja dengan industri
kecil, mandiri dan meningkatkan partisipasi dalam pengambilan
keputusan, mengembangkan perkotaan yangdapat mendukung
pembangunan pedesaan, membangun kelembagaan yang dapat
melakukan koordinasi proyek multisektor.

Selanjutnya program strategi pusat pertumbuhan, merupakan


alternatif untuk menentukan jarak ideal antara pedesaan dengan kota,
sehingga kota benar-benar berfungsi sebagai pasar atau saluran distribusi
hasil produksi. Cara yang ditempuh adalah membangun pasar di
dekat desa. Pasar ini difungsikan sebagai pusat penampungan hasil
produksi desa, dan pusat informasi tentang hal-hal berkaitan dengan
kehendak konsumen dan kemampuan produsen. Pusat pertumbuhan
diupayakan agar secara social tetap dekat dengan desa, tetapi secara
eknomi mempunyai fungsi dan sifat-sifat seperti kota.

Senada dengan program pembangunan pedesaan, J. Nasikun


(dalam Jefta Leibo,1995), mengajukan strategi yang meliputi : (1)
Startegi pembangunan gotong royong, (2) Strategi pembangunan
Teknikal – Profesional, (3) Strategi Konflik, (4) Strategi pembelotan
kultural.

1) Strategi gotong royong, melihat masyarakat sebagai sistem sosial.


Artinya masyarakat terdiri dari atas bagian-bagian yang saling
kerjasama untuk mewujudkan tujuan bersama. Gotong royong
dipercaya bahwa perubahan-perubahan masyarakat, dapat
diwujudkan melalui partisipasi luas dari segenap komponen dalam
masyarakat. Prosedur dalam gotong royong bersifat demokratis,
dilakukan diatas kekuatan sendiri dan kesukarelaan.

2) Strategi pembangunan Teknikal-Profesional, dalam memecahkan


berbagai masalah kelompok masyarakat dengan cara
mengembangkan norma, peranan, prosedur baru untuk menghadapi
situasi baru yang selalu berubah. Dalam strategi ini peranan agen-
agen pembaharuan sangat penting. Peran yang dilakukan agen
pembaharuan terutama dalam menentukan program pembangunan,
menyediakan pelayanan yang diperlukan, dan menentukan tindakan
yang diperlukan dalam merealisasikan program pembangunan
tersebut. Agen pembaharuan merupakan kelompok kerja yang terdiri
atas beberapa warga masyarakat yang terpilih dan dipercaya untuk
menemukan cara -cara yang lebih kreatif sehingga hambatan-
hambatan dalam pelaksanaan program pembangunan dapat
diminimalisir.

3) Strategi Konflik, melihat dalam kehidupan masyarakat dikuasasi


oleh segelintir orang atau sejumlah kecil kelompok kepentingan
tertentu. Oleh karena itu, strategi ini menganjurkan perlunya
mengorganisir lapisan penduduk miskin untuk menyalurkan
permintaan mereka atas sumber daya dan atas perlakuan yang
lebih adil dan lebih demokratis. Strategi konflik menaruh tekanan
perhatian pada perubahan oraganisasi dan peraturan (struktur)
melalui distribusi kekuasaan, sumber daya dan keputusan masyarakat.

4) Strategi pembelotan kultural, menekankan pada perubahan tingkat


subyektif individual, mulai dari perubahan nilai-nilai pribadi
menuju gaya hidup baru yang manusiawi. Yaitu gaya hidup cinta
kasih terhadap sesame dan partisipasi penuh komunitas orang lain.
Dalam bahasa Pancasila adalah humanis-relegius. Strategi ini
merupakan reaksi (pembelotan) terhadap kehidupan masyarakat
modern industrial yang berkembang berlawanan dengan
pengembangan potensi kemanusiaan.

Permendagri RI Nomor 7 Tahhun 2007 tentang Kader


Pemberdayaan Masyarakat,dalam konsiderannya menyatakan bahwa
dalam rangka pertumbuh kembangan, penggerakan prakarsa dan
partisipasi masyarakat serta swadaya gotong royong dalam
pembangunan di desa dan kalurahan perlu dibentuk Kader
Pemberdayaan Masyarakat Desa. Lebih lanjut dinyatakan bahwa
Kader Pemberdayaan Masyarakat merupakan mitra Pemerintahan Desa
dan Kelurahan yang diperlukan keberadaan dan peranannya dalam
pemberdayaan masyarakat dan pembangunan partisipatif di Desa dan
Kelurahan. Adapun peran Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM)
intinya adalah mempercepat perubahan (enabler), perantara (mediator),
pendidik (educator), perencana (planer), advokasi (advocation), aktivis
(activist) dan pelaksana teknis (technisi roles) (lihat Pasal 10
Permendagri RI No.7 Tahan 2007).

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa Permendagri tersebut,


tampaknya dalam strategi pemberdayaan masyarakat dapat dinyatakan
sejalan dengan Strategi pembangunan Teknikal – Profesional.

2.1.4. Tugas pemberdayaan masyarakat

Pemberdayaan masyarakat bisa dilakukan oleh banyak elemen:


pemerintah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, pers,partai
politik, lembaga donor, aktoraktor masyarakat sipil, atau oleh organisasi
masyarakat lokal sendiri. Birokrasi pemerintah tentu saja sangat strategis
karena mempunyai banyakkeunggulan dan kekuatan yang luar biasa
ketimbang unsur-unsur lainnya: mempunyai dana, aparat yang banyak,
kewenangan untuk membuat kerangka legal, kebijakan untuk pemberian
layanan publik, dan lain-lain. Proses pemberdayaan bisa berlangsung
lebih kuat, komprehensif dan berkelanjutan bila berbagai unsur tersebut
membangun kemitraan dan jaringan yang didasarkan pada prinsip saling
percaya dan menghormati (Sutoro Eko, 2002).

Dalam hal pada setiap desa telah terbentuk KPM, maka


kemitraan KPM dan pemerintahan desa perlu didorong untuk
bersama-sama melakukan pemberdayaan masyarakat. Ketika kemitraan
mampu mendorong percepatan kemapanan ekonomi masyarakat,
berfungsi secara efektif pemerintahan desa (sistem politik lokal),
keteladanan pemimpim (elit lokal), dan partisipasi aktif masyarakat
(lihat Kutut Suwondo, 2005), maka kemampuan dan kemandirian
masyarakat dalam pembangunan akan dapat terwujud.

2.2 Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat

Konsep pembangunan yang selama ini dijalankan pemerintah


nampaknya belum mampu menjawab tuntutan masyarakat yang
menyangkut keadilan, pemerataan dan keberpihakan kepada masyarakat,
sehingga belum mengangkat sebagian penduduk yang masih hidup
dibawah garis kemiskinan. Upaya pemerintah untuk meningkatkan
keberpihakan pembangunan kepada kepentingan masyarakat nampaknya
tidak akan lepas dari pemberdayaan masyarakat (empowerment) sebagai
model pembangunan yang berdimensi rakyat. Berangkat dari kondisi itu
pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan pemerintah :

1. Kebijakan Pemerintah tentang pemberdayaan masyarakat secara


tegas tertuang dalam GBHN Tahun 1999 dan UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam GBHN tahun
1999, khususnya didalam “Arah Kebijakan Pembangunan
Daerah” antara lain dinyatakan “mengembangkan otonomi
daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka
pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik,
lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga
swadaya masyarakat serta seluruh potensi masyarakat dalam
wadah NKRI”

2. Dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,


antara lain ditegaskan bahwa “ halhal yang mendasar dalam
undangundang ini adalah mendorong untuk memberdayakan
masyarakat, menumbuhkembangkan prakarsa dan kreatifitas
serta meningkatkan peran serta masyarakat”

3. Mencermati kedua rumusan Kebijakan Pemerintah diatas dapat


disimpulkan bahwa “kebijakan pemberdayaan masyarakat
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan
otonomi daerah;

4. Dalam UU Nomor 25 Tahun 2000 tentnag Program


Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004 dan
Program Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dinyatakan bahwa
tujuan pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan
keberdayaan masyarakat melalui penguatan lembaga dan
organisasi masyarakat setempat, penanggulangan kemiskinan dan
perlindungan social masyarakat, peningkatan kswadayaan
masyarakat luas guna membantu masyarakat untuk
meningkatkan kehidupan ekonomi, social dan politik”

5. Dalam rangka mengemban tugas dalam bidang pemberdayaan


masyarakat , Badan Pemberdayaan menetapkan visi, misi,
kebijakan, strategi dan program pemberdayaan masyarakat
sebagai berikut :

a. Visi Pemberdayaan Masyarakat adalah meningkatkan


kemandirian masyarakat

b. Misi Pemberdayaan Masyarakat adalah


mengembangkan kemampuan dan kemandirian dan
secara bertahap masyarakat mempu membangun diri
dan lingkungannya secara mandiri. Kemandirian
dalam konsep pemberdayaan masyarakat yang
dimaksud adalah tingkat kemajuan yang harus dicapai
sehingga masyarakat dapat membangun dan
memelihara kelangsungan hidupnya berdasarkan
kekuatannya sendiri secara berkelanjutan , artinya
untuk membangun bangsa yang mandiri dibutukan
perekonomian yang mapan.

2.3 Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan Melalui Pemberdayaan


Masyarakat (Empowerment)

Empowerment (pemberdayaan masyarakat) adalah konsep


pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial dan mencerminkan
paradigma baru dalam pembangunan yang bersifat people centered
participatory, empowering and sustainable (Chambers, 1995). Konsep
empowering ini lebih luas yang dikembangkan sebagai alternatif konsep-
konsep pembangunan yang telah ada

Dalam kerangka ini upaya untuk memberdayakan masyarakat


(empowering) dapat dikaji dari 3 (tiga) aspek :

1) ENABLING yaitu menciptakan suasana yang memungkinkan


potensi masyarakat dapat berkembang. Asumsinya adalah
pemahaman bahwa setiap orang, setiap masyarakat mempunyai
potensi yang dapat dikembangkan artinya tidak ada orang atau
masyarakat tanpa daya. Pemberdayaan adalah upaya untuk
membanguna daya dengan mendorong, memotivasi dan
membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki masyarakat
serta upaya untuk mengembangkannya.

2) EMPOWERING yaitu memperkuat potensi yang dimiliki


masyarakat melalui langkah-langkah nyata yang menyangkut
penyediaan berbagai input dan pembukaan dalam berbagai peluang
yang akan membuat masyarakat semakin berdaya. Upaya yang
paling pokok dalam empowerment ini adalah meningkatkan taraf
pendidikan dan derajat kesehatan serta akses ke dalam sumber-
sumber kemajuan ekonomi (modal, teknologi, informasi, lapangan
keja, pasar) termasuk pembangunan sarana dan prasarana dasar
seperti (irigasi, jalan, listrik, sekolah, layanan kesehatan) yang
dapat dijangkau lapisan masyarakat paling bawah yang
keberdayannya sangat kurang. Oleh karena itu diperlukan program
khusus, karena programprogram umum yang berlaku untuk semua
tidak selalu menyentuh kepentingan lapisan masyarakat seperti ini.

3) PROTECTING yaitu melindungi dan membela kepentingan


masyarakat lemah. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan
masyarakatnya merupakan unsur penting, sehingga pemberdayaan
masyarakat sangat erat hubungannya dengan pementapan,
pembudayaan dan pengalaman demokrasi (Friedmann, 1994).

Pendekatan pemberdayaan pada intinya memberikan tekanan pada


otonomi pengambilan keputusan dari kelompok masyarakat yang
berlandaskan pada sumberdaya pribadi, langsung, demokratis dan
pembelajaran social.

Dalam hal ini Friedmann menegaskan bahwa pemberdayaan


masyarakat tidak hanya sebatas bidang ekonomi saja tetapi juga secara
politis, sehingga pada akhirnya masyarakat akan memiliki posisi tawar
(bargaining position) baik secara nasional maupun internasional. Sebagai
titik fokusnya adalah aspek lokalitas, karena civil society akan merasa
lebih siap diberdayakan lewat isu-isu lokal.

2.4 Pendekatan Metodologi dan mekanisme Pemberdayaan Masyarakat


( Empowering)

2.4.1 Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat

Pendekatan utama dari konsep pemeberdayaan adalah “masyarakat


tidak dijadikan obyek dari proyek pembangunan tetapi merupakan
subyek dari pembangunannya sendiri”. Berdasarkan pada konsep
pemberdayaan masyarakat sebagai model pembangunan hendaknya
pendekatan yang dipakai adalah :

1. Targeted artinya upayanya harus terarah kepada yang


memerlukan dengan program yang dirancang untuk mengatasi
masalahnya dan sesuai kebutuhannya.

2. Mengikutsertakan bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang


menjadi sasaran. Tujuannya adalah supaya bantuan efektif
karena sesuai kebutuhan mereka yang sekaligus meningkatkan
keberdayaan (empowering) masyarakat dengan pengalaman
dalam merancang, melaksanakan, mengelola dan
mempertangung jawabkan upaya peningkatan diri dan
ekonominya.

3. Menggunakan pendekatan kelompok, karena secara individual


masyarakat miskin sulit memecahkan masalahnya sendiri.
Disamping itu kemitraan usaha antar kelompok dengan
kelompok yang lebih baik saling menguntungkan dan
memajukan kelompok.

Selanjutnya untuk kepentingan analisis pemberdayaan masyarakat


(empowering) harus dilakukan baik dengan pendekatan
Komprehensif Rasional maupun Inkremental

2.4.2 Mekanisme Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan Masyarakat harus melibatkan berbagai potensi yang


ada dalam masyarakat, beberapa elemen yang terkait, misalnya :

1) Peranan Pemerintah dalam artian birokrasi pemerintah harus


dapat menyesuaikan dengan misi ini, mampu membangun
partisipasi, membuka dialog dengan masyarakat, menciptakan
instrument peraturan dan pengaturan mekanisme pasar yang
memihak golongan masyarakat bawah.

2) Organisasi-organisasi kemasyarakatan diluar lingkunan


masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi
kemasyarakatan nasional maupun local,

3) Lembaga masyarakat yang tumbuh dari dan didalam


masyarakat itu sendiri (local community organization) seperti
BPD, PKK, Karang Taruna dan sebagainya,
4) Koperasi sebagai wadah ekonomi rakyat yang merupakan
organisasi sosial berwatak ekonomi dan merupakan bangun
usaha yang sesuai untuk demokrasi ekonomi Indonesia,

5) Pendamping dierlukan karena masyarakat miskin biasanya


mempuyai keterbatasan dalam pengembangan diri dan
kelompoknya,

6) Pemeberdayaan harus tercermin dalam proses perencanaan


pembangunan nasional sebagai proses bottom-up.

7) Keterlibatan masyarakat yang lebih mampu khususnya dunia


usaha dan swasta.

2.5 Partisipasi

2.5.1. Pengertian partisipasi

Partisipasi merupakan komponen penting dalam pembangkitan


kemadiriandan proses pemberdayaan (Craig dan May, 1995 dalam Hikmat,
2004). Lebih lanjutHikmat (2004) menjelaskan pemberdayaan dan
partisipasi merupakan strategi yangsangat potensial dalam rangka
meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasibudaya. Proses ini, pada
akhirnya akan dapat menciptakan pembangunan yangberpusat pada rakyat.

Partisipasi menurut Hoofsteede (1971) yang dikutip oleh


Khairuddin (2000)berarti ”The taking part in one or more phases of the
process” atau mengambilbagian dalam suatu tahap atau lebih dari suatu
proses, dalam hal ini prosespembangunan. Sedangkan menurut Fithriadi,
dkk. (1997) Partisipasi adalah pokokutama dalam pendekatan
pembangunan yang terpusat pada masyarakat danberkesinambungan serta
merupakan proses interaktif yang berlanjut.

Prinsip dalam partisipasi adalah melibatkan atau peran serta


masyarakat secara langsung, dan hanya mungkin dicapai jika masyarakat
sendiri ikut ambil bagian, sejak dari awal, proses dan perumusan hasil.
Keterlibatan masyarakat akanmenjadi penjamin bagi suatu proses yang
baik dan benar. Dengan demikian, Abe (2005) mengasumsikan bahwa hal
ini menyebabkan masyarakat telah terlatih secarabaik. Tanpa adanya pra
kondisi, dalam arti mengembangkan pendidikan politik maka keterlibatan
masyarakat secara langsung tidak akan memberikan banyak arti.

Lebih lanjut Abe (2005) mengemukakan, melibatkan masyarakat


secaralangsung akan membawa dampak penting, yaitu : (1) Terhindar dari
peluang terjadinya manipulasi. Keterlibatan masyarakat akan memperjelas
apa yang sebenarnya dikehendaki oleh masyarakat; (2) Memberikan nilai
tambah pada legitimasi rumusan perencanaan karena semakin banyak
jumlah mereka yang terlibatakan semakin baik; dan (3) Meningkatkan
kesadaran dan keterampilan politik masyarakat.

Pada dasarnya pembangunan desa merupakan tanggung jawab


bersama antara pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini masyarakat
menjadi sasaran sekaligus pelaku pembangunan. Keterlibatan masyarakat
pada setiap tahapan pembangunan didesa, merupakan salah satu kunci
keberhasilan pembangunan. Kegagalan berbagai program pembangunan
perdesaan di masa lalu adalah disebabkan antara lain karena penyusunan,
pelaksanaan dan evaluasi program-program pembangunan tidak
melibatkan masyarakat.

2.5.2. Tingkatan Partisipasi

Menurut Prety, J., 1995, ada tujuh karakteristik tipologi partisipasi, yang
berturut turut semakin dekat kepada bentuk yang ideal, yaitu :

1. Partisipasi pasif atau manipulatif. Ini merupakan bentuk partisipasi


yangpaling lemah. Karakteristiknya adalah masyarakat menerima
pemberitahuan apayang sedang dan telah terjadi. Pengumuman
sepihak oleh pelaksana proyek tidakmemperhatikan tanggapan
masyarakat sebagai sasaran program. Informasi yang
dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok
sasaran belaka.

2. Partisipasi informatif. Di sini masyarakat hanya menjawab


pertanyaanpertanyaan untuk proyek, namun tidak berkesempatan
untuk terlibat dan mempengaruhi proses keputusan. Akyurasi hasil
studi, tidak dibahas bersama masyarakat.

3. Partisipasi konsultatif. Masyarakat berpartisipasi dengan cara


berkonsultasi,sedangkan orang luar mendengarkan, serta
menganalisis masalah dan pemecahannya. Dalam pola ini belum
ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama. Para
profesional tidak berkewajiban untuk mengajukan pandangan
masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti.

4. Partisipasi insentif. Masyarakat memberikan korbanan dan jasa


untuk memperoleh imbalan insentif berupa upah, walau tidak
dilibatkan dalam proses pembelajaran atau eksperimen-
eksperimen yang dilakukan. Masyarakat tidak memiliki andil
untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah insentif dihentikan.
5. Partisipasi fungsional. Masyarakat membentuk kelompok sebagai
bagian proyek, setelah ada keputusan-keputusan utama yang
disepakati. Pada tahap awal, masyarakat tergantung kepada pihak
luar, tetapi secara bertahap kemudian menunjukkan
kemandiriannya.

6. Partisipasi interaktif. Masyarakat berperan dalam proses analisis


untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan
kelembagaan, Pola ini cenderung melibatkan metode
interdisipliner yang mencari keragama perspektif dalanm proses
belajar yang terstruktur dan sistematis. Masyarakat memiliki peran
untuk mengontrol atas pelaksanaan keputusan-keputusan mereka,
sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan.

7. Mandiri (self mobilization). Masyarakat mengambil inisiatif


sendiri secara bebas (tidak dipengaruhi pihak luar) untuk merubah
sistem atau nilai-nilai yang mereka junjung. Mereka
mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk
mendapatkan bantuan dan dukungan teknis serta sumberdaya yang
diperlukan. Yang terpenting, masyarakat juga memegang kandali
atas pemanfaatan sumberdaya yang ada dan atau digunakan.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai