Anda di halaman 1dari 3

Cerlang Wilfrid – 16/397356/FI/04221 Gilang Ramadhan – 16/397368/FI/04233

Nugroho Tri Prastyo – 16/393444/FI/04179 Childrena P – 16/395652/FI/04197


Siti Farra – 16/397411/FI/04276 Ravika Septharika – 16/393447/FI/04182

Multikulturalisme: Charles Taylor

Charles Taylor lahir pada 5 November 1931 di Montreal, Quebec, Canada. Pada 1952
Taylor meraih gelar B.A jurusan Sejarah di Universitas McGill. Kemudian ia melanjutkan studi
ke Oxford on major Filsafat, Politik, dan Ekonomi (PPE). Pada 1955 ia menjalani studi
doktoral di Isaiah Berlin dan G.E.M Anscombe pada bidang Filsafat. Taylor merupakan
professor pada bidang Teori Sosial dan Teori Politik di University of Oxford, juga seorang
professor Filsafat dan Ilmu Politik di Universitas McGill, Canada. Pada 1955 ia memperoleh
gelar kehormatan Order of Canada. Pada Juni 2008 Taylor memperoleh Kyoto Prize pada
bidang Philosophy and Arts.
Charles Taylor dapat dianggap sebagai salah satu filsuf terbesar abad ke-20. Selama
lebih dari empat puluh tahun, Taylor menulis banyak artikel dan buku, serta berdiskusi di
forum-forum publik tentang masalah-masalah yang sedang relevan. Ia banyak menulis tentang
moral, subyektivitas, teori politik, epistemologi, hermeneutika, filsafat pikiran, filsafat bahasa,
dan bahkan estetika. Tulisan-tulisan Taylor terkenal dengan analisis dan refleksinya yang
sangat mendalam, Abbey bahkan menempatkan Taylor setara dengan Plato, Aristoteles,
Augustinus, Hobbes, Locke, Rousseau, Kant, Hegel, John Stuart Mill, dan Nietzsche dalam hal
keluasan sekaligus kedalaman pemikiran.

Pemikiran Charles Taylor


1. Multikulturalisme

Menurut Taylor esensi atau inti terdalam dari wacana multikulturalisme adalah
perjuangan untuk mendapatkan pengakuan (struggle for recognition). Perjuangan inilah
yang menjadi dorongan dasar dari begitu banyak gerakan politik yang muncul pada
pertengahan sampai akhir abad ke-20, seperti feminisme, gerakan kaum gay, dan
sebagainya. Tidak hanya itu gerakan tersebut juga muncul di dalam perjuangan kelompok
minoritas untuk mempertahankan identitas mereka dari penjajahan kelompok mayoritas,
baik dalam hal agama maupun etnis.
Dalam politik pengakuan orang-orang yang berasal dari budaya yang berbeda dari
budaya minoritas ingin mempertahankan identitasnya yang unik. Mereka tidak hanya ingin
supaya identitasnya ada, tetapi supaya identitas tersebut bisa berkembang secara dinamis
dengan identitas-identitas lainnya di dalam masyarakat. Dalam arti ini identitas diri
seseorang adalah sesuatu yang sangat penting, karena di dalamnya terdapat pemahaman
tentang siapa dan dari mana mereka. Dapat juga dikatakan bahwa identitas adalah hakikat
fundamental dari manusia itu sendiri.

2. Formasi Identitas dan Pengakuan

Charles Taylor merefleksikan multikulturalisme dari sudut pandang teori politik


dan filsafat sosial. Pertama, refleksi politis, filosofis dan juridis tentang hidup bersama
dalam masyarakat multikultural ditandai dengan koeksistensi egaliter dan bukan dominasi
budaya mayoritas (Leitkultur) atas budaya-budaya lainnya. Konsep ini menawarkan model
penyelesaian konflik yang tidak bersifat etnosentris dan budaya solidaritas di tengah
multikulturalisme. Kedua, Charles Taylor menghimpun dan merumuskan pertimbangan
pertimbangan mengenai hubungan antara formasi identitas dan pengakuan social kultural.

“identitas kita separuhnya terbentuk lewat pengakuan atau tidak adanya pengakuan, bahkan sering juga lewat
pengakuan yang keliru dari sesama, sehingga seorang manusia atau sekelompok orang dapat mengalami
kerugian atau menderita deformasi, jika lingkungan sekitar atau masyarakat menciptakan gambaran yang
mengekang atau menghina tentang diri atau kelompok orang lain. Tidak adanya pengakuan atau gambaran
yang keliru tentang orang lain dapat menyebabkan penderitaan, dapat berupa penindasan serta membawa
orang lain kepada cara berada yang palsu dan menghancurkan”

Pelecehan terhadap kekhasan individual dan kultural seseorang dapat dipandang sebagai
instrumen represi paling kuat dari budaya mayoritas: Pelecehan menyebabkan subjek
bersangkutan menginternalisasi perasaan rendah diri serta mengungkapkannya kembali
lewat perilakunya. Menurut Taylor, “pengakuan bukan sekadar ungkapan sopan santun
terhadap sesama. Lebih dari itu, tuntutan akan pengakuan merupakan kebutuhan dasar
manusia.“

3. Politik Difrensiasi

Politik diferensiasi menuntut kita untuk menghormati dan menghargai takaran


perbedaan masing-masing. Pada politik praktis konsep difrensiasi melahrikan pertanyaan
tentang bentuk-bentuk diskriminasi yang diperbolehkan, kaum liberal dengan politik
martabat manusia universal menuntut perlakuan politisis dan hukum yang sama tanpa
memandang ras,gender, agama dan ideologi. Menurut kaum komunitarian atau
poststrukturalian hal itu sebagai kebutaan akan keberbedaan yang berbahaya karena dapat
menyebabkan penindasan dan pelecehan kaum minoritas.
Politik diferensiasi tidak mau menciptakan ruang yang buta terhadap keunikan
masing-masing budaya dan individu. Politik diferensiasi berusaha untuk menjaga dan
merawat kekhasan setiap budaya dan individu bukan hanya untuk sementara namun
selamanya. Menurut taylor politik diferensiasi baru terealisasi ketika kaum minoritas
memperjuangkan eksistensinya dan memperjuangkan tekanan asimilasi kelompok
mayoritas,

Kesimpulan
Teori Charles Taylor tentang politik pengakuan dan multikulturalisme bias mendorong
Indonesia menjadi komunitas yang bermakna, dalam komunitas yang bermakna ini, setiap
pandangan hidup dan keyakinan akan nilai diakui dan dikembangkan dalam relasinya dalam
pandangan hidup dan keyakinan-keyakinan.

Referensi:
Abbey, Ruth. (2000). Charles Taylor. Princenton: Princenton University Press

Reza A.A Wattimena. (Maret 2011). Charles Taylor. (diakses pada 15 April 2018) via:
https://rumahfilsafat.com/2011/03/15/charles-taylor/#more-1022

Reza A.A Wattimena. (Maret 2011). MENUJU INDONESIA YANG BERMAKNA: Analisis
Tekstual-Empiris terhadap Pemikiran Charles Taylor tentang Politik Pengakuan dan
Multikulturalisme, serta Kemungkinan Penerapannya di Indonesia. (diakses pada 12
April 2018) via:
http://repository.wima.ac.id/4126/1/Vol_11_Nomor_1_Maret_2011_p1-
30%2C%20Menuju%20Indonesia%20bermakna%2C%20filsafat%20charles%20tayl
or.pdf

Wattimena, Reza. (2011). Filsafat Politik Untuk Indonesia: Dari Pemikiran Plato, Edmund
Husserl, Charles Taylor sampai dengan Slavoj Zizek. Jakarta: Pustaka Mas

Anda mungkin juga menyukai