Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

“KAJIAN BUDAYA”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 8

Alvito Deni Hendri (19711075)

Danny Chairy Ahlaqi (19711028)

M. Taufiq Qr Wijaya (19711085)

Muhammad Ibnu Maulana (19711090)

Riyan Hidayat (19711044)

UNIVERSITAS BANDAR LAMPUNG


FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
2019/2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-
Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta
kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat
nanti.

Tentunya kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah
ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.

Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak khususnya kepada dosen teori komunikasi kami Bapak wawan yang telah
membimbing kami dalam menulis makalah ini.

Bandar Lampung, 11 April 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................... ii


DAFTAR ISI ................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................... 2
1.3 Tujuan Masalah ............................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kajian Budaya ………………….. ............... 3
2.2 Ruang Lingkup Kajian Budaya ………………………. 4

2.3 Metode-metode utama dalam Kajian Budaya ……........... 7

2.4 Wilayah Garap Kajian Budaya ……………....................... 8

2.5 Medan Minat Kajian Budaya .......................................... 9

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan ......................................................................... 12
3.2 Saran .................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kajian Budaya (Cultural studies) merupakan paradigma baru dalam kajian ilmu
sosial, memperkenalkan budaya dalam dimensi yang baru. Tidak hanya sebagai
kreasi manusia dan hasil perilaku, tetapi menelaah pemahaman mendalam antara
budaya dan kekuasaan yang mendasarinya. Sebagai makhluk sosial, manusia
senantiasa saling berhubungan satu sama lain. Untuk itulah peran komunikasi
dibutuhkan. Dalam hidup bermasyarakat orang yang tidak pernah berkomunikasi
dengan orang lain niscaya akan terisolasi dari masyarakatnya. Masyarakat
Indonesia sejak dulu sudah dikenal sangat heterogen dalam berbagai aspek,
seperti: adanya keberagaman suku agama, bahasa, adat istiadat.

Kajian ilmu komunikasi yang cenderung linier seperti di atas terasa mendapatkan
angin segar dengan kehadiran kajian budaya, atau yang disebut cultural studies.
Ada banyak orang yang membicarakan kebudayaan dengan berbagai aspeknya,
tetapi tak banyak orang yang mampu mendefinisikan apa sesungguhnya
kebudayaan itu dan mengapa kebudayaan demikian kuat memberikan pengaruh
pada kehidupan manusia selama perjalanan hidupnya. Tidak hanya di bidang ilmu
komunikasi saja, cultural studies juga merambah bidang keilmuwan yang lain
seperti psikologi, antropologi, linguistik ilmu politik hingga sains. Kenapa bisa
seperti itu? karena memang yang menjadi objek perhatiannnya adalah budaya,
tentu saja dalam arti luas. Dari uraian tersebut kami ingin sedikit menjelaskan
mengenai pengertian dan ruang lingkup kajian budaya atau cultural studies.

1
1.2      Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Kajian Budaya (cultural studies) ?
2. Apa saja ruang lingkup cultural studies?
3. Apa saja Metode-metode Utama dalan Kajian Budaya?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu Kajian Budaya


2. Untuk mengetahui ruang lingkup cultural studies
3. Untuk mengetahui Metode-metode Utama dalan Kajian Budaya

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1      Pengertian Kajian Budaya (Cultural Studies)

Kajian Budaya (Cultural studies) merupakan suatu pembentukan wacana, yaitu


‘kluster (atau bangunan) gagasan-gagasan, citra-citra dan praktik-praktik, yang
menyediakan cara-cara untuk membicarakan topik, aktivitas sosial tertentu atau
arena institusional dalam masyarakat. Cara-cara tersebut dapat berbentuk
pengetahuan dan tindakan yang terkait dengannya’ (Hall, 1997a:6). Cultural
studies dibangun oleh suatu cara berbicara yang tertata  perihal objek-objek (yang
dibawanya sebagai permasalahan) dan yang berkumpul di sekitar konsep-konsep
kunci, gagasan-gagasan dan pokok-pokok perhatian. Selain itu, cultural studies
memiliki suatu momen ketika dia menamai dirinya sendiri, meskipun penamaan
itu hanya menandai penggalan atau kilasan dari suatu proyek intelektual yang
terus berubah.[1]
Tradisi kajian budaya menjadi tradisi studi yang banyak dilakukan awal
kemunculannya oleh para akademisi dan peneliti di Center for Contemporary
Cultural Studies (CCCC). Universitas Birmingham di Inggris pada tahun 1960an.
Sejak saat itu kajian budaya menjadi tradisi studi yang meluas di kalangan
intelektual di negara-negara seperti Amerika, Afrika, Asia, Amerika Latin, dan
Eropa, dengan setiap informasi yang berbeda-beda objek kajiannya (Barker,
2012).
Sejak awal kemunculannya, kajian budaya menjadi semakin besar dan hasil-
hasil studi yang dihasilkannya semakin meningkat. Buku-buku teks tentang kajian
budaya dan budaya populer dikalangan akademik tumbuh pesat. McGuigan
(1997) bahkan menyatakan bahwa perkembangan kajian budaya secara
profesional dan institusional pada akhirnya membawa kondisi yang disebut oleh
Stuart Hall sebagai kajian yang mempermasalahkan secara kritis keberadaan,
kekuasaan, sejarah/ masa lalu, dan politik (dalam arti luas), atau yang
dikatakannya : “formalize out of existence the critical questions of power, history
and politics,”(Hall, 1992: 286).[2]

3
Stuart Hall (1972) menjelaskan bahwa kajian media dan budaya, atau yang
lebih dikenal dengan Media and Cultural Studies, pada dasarnya mencoba untuk
menggoyang kemampuan berpikir kita tentang “realitas” dan apa yang dimaksud
dengan “real” (yang sebenarnya) dalam kehidupan budaya kita sehari-hari. Dalam
dunia yang sudah dipenuhi dengan images atau gambar-gambar, dan tulisan-
tulisan yang ada di koran, televisi, film, video, radio, iklan, novel dan lain
sebagainya, cara kita dan lingkungan sekitar kita ternyata bervariasi dan berbeda
satu sama lain. Di era yang disebutnya sebagai “media saturated world” saat
kehidupan manusia telah dimediasi oleh media masa, dan cara kita melihat,
memandang, memahami dan berperilaku terhadap realitas sosial telah diantarai
oleh media massa. Apa yang ada di sekitar kita, menentukan cara kita bertindak
dan berperilaku terhadapnya, karena apa yang kita lihat, tonton, baca, dengarkan,
dan nikmati dari media massa seolah “mengajarkan” kita untuk melakukan seperti
itu. Pada kenyataannya, budaya kita sebenarnya juga dibentuk oleh media massa
yang kita nikmati tiap harinya.[3]
Lebih jauh lagi, Hall (1972) menyatakan bahwa sentral dari studi media dan
budaya adalah pada khalayak atau masyarakat yang selama ini kurang disentuh,
terutama masyarakat sebagai makhluk yang membuat makna secara aktif dan
masyarakat yang tidak dikooptasi oleh  kepentingan-kepentingan kekuasaan
(power interrest) yang selama ini mendominasi media massa dan menentukan
kehidupan sosial budaya masyarakat.[4]

2.2      Ruang Lingkup Cultural Studies

Mengenai ruang lingkup kajian budaya diungkapkan secara jelas dalam Barker
(2000), yakni (1) relasi antara kebudayaan dan kekuasaan, (2) seluruh praktik,
institusi, dan sistem klasifikasi yang tertanam dalam nilai-nilai partikular,
kepercayaan, kompetensi, kebiasaan hidup, dan bentuk-bentuk perilaku yang biasa
dari sebuah populasi, (3) pelbagai kaitan antara bentuk-bentuk kekuasaan gender,
ras, kelas, kolonialisme dan sebagainya dengan pengembangan cara-cara berpikir
tentang kebudayaan dan kekuasaan yang biasa digunakan oleh agen-agen dalam
mengejar perubahan, dan (4) pelbagai kaitan wacana di luar dunia akademis

4
dengan gerakan sosial dan politik, para pekerja di lembaga kebudayaan, dan
manajemen kebudayaan.[5]
Selain itu cultural studies juga mencakup budaya pop, ideologi, wacana,
feminisme, politik budaya, media, dan lain sebagainya. Karena cakupannya yang
luas, di sini akan dipaparkan beberapa cakupan-cakupan tersebut.

1.  Politik Kultural (Budaya)

Cultural studies adalah bidang multidisipliner atau bahkan pascadisipliner


yang mengaburkan sekat-sekat antara dirinya dengan disiplin lain. Namun karena
cultural studies tidak ingin dipandang sebagai ‘apa pun’ (Hall, 1992a), maka ia
harus berusaha membedakan dirinya melalui politik. Cultural studies selalu
meklaim terfokus pada isu kekuasaan, politik dan kebutuhan akan perubahan
sosial. Sesungguhnya, cultural studies memiliki aspirasi untuk membangun
jaringan dengan gerakan politik di luar akademi. Jadi, cultural studies adalah
setumpuk teori dan serangkaian tindakan politis, termasuk produksi teori sebagai
praktik politis (sebenarnya, praktik yang diunggulkan). Bagi cultural studies,
pengetahuan tidak pernah menjadi fenomena netral atau objektif, melainkan soal
posisionalitas, yang digambarkan Gray sebagai ‘siapa dapat mengenal apa tentang
siapa, dengan cara apa dan untuk tujuan apa’ (Gray, 1997:94).[6]

2. Feminisme

Franklin et al. (1991) menunjukkan sejumlah kesamman pokok perhatian


antara cultural studies dengan feminisme. Franklin et al. tertarik pada aspirasi
feminisme dan cultural studies dalam mengkaitkan gerakan sosial dan politik di
luar akademik dan dengan sikap kritisnya disiplin yang lebih mapan semisal
sosiologi dan sastra inggris. Fokus kepada produksi pengetahuan muncul
kecurigaan timbal balik dan tantangan terhadap gagasan mapan tentang
‘pengetahuan yang pasti’ , dengan menyatakan tempatnya sebagai posisionalitas
proses mengetahui. Gray mendeskripsikan demikian “siapa yang bisa tahu tentang
siapa, dengan cara apa dan untuk tujuan apa ‘(gray, 1997:94). Jadi baik feminisme
maupun cultural studies ingin menghasilkan pengetahuan diri dan oleh kelompok
yang ‘terpinggirkan’ dan tertindas dengan niatan tegas yaitu malakukan intervensi

5
politik. Walhasil, cultural studies dan feminisme sama-sama memiliki
kepentingan substantif dalam isu kekuasaan, reprensentasi, kebudayaan pop,
subjektivitas, identitas dan konsumsi.[7]

3.   Budaya Pop

Kebudayaan pop terutama adalah kebudayaan yang diproduksi secara


komersial dan tidak ada alasan untuk berpikir bahwa tampaknya ia akan berubah
dimasa yang akan datang. Namun, dinyatakan bahwa audien pop menciptakan
makna mereka sendiri melalui teks kebudayaan pop dan melahirkan kompetensi
kultural dan sumber daya diskursif mereka sendiri. Kebudayaan pop dipandang
sebagai makna dan praktik yang dihasilkan oleh audien pop pada saat konsumsi
dan studi tentang kebudayaan pop terpusat pada bagaimana dia digunakan.
Argumen-argumen ini menunjukkan adanya pengulangan pertanyaan tradisional
tentang bagaimana industri kebudayaan memalingkan orang kepada komoditas
yang mengabdi kepada kepentingannya dan lebih suka mengeksplorasi bagaimana
orang mengalihkan produk industri menjadi kebudayaan pop yang mengabdi
kepada kepentingan.[8]
Edgar & Sedgwick (1999) dalam bukunya Key Concepts on Cultural
Theory menulis, istilah “culture” memang tidak mudah didefinisikan, karena
memiliki makna yang berbeda-beda dalam beragam konteks. Kendati demikian,
konsep tentang budaya yang mendasari cultural studies dapat ditemukan
bermuara pada antropologi kultural, sebagaimana cultural studies itu sendiri.
“… It entails recognition that all human beings live in a world that is created by
human beings, and in which they find meaning.” Karena itu, “culture is the
complex everyday world we are all encounter and through which we all move.”
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka, tampaknya, budaya mencakup
(hampir) segala sesuatu dan cultural studies, sebagai konsekuensinya, juga
mempelajari (hampir) segala sesuatu!
Namun, kendatipun cultural studies tampaknya merupakan kajian yang paling
sukar ditetapkan batas-batasnya, tidak berarti segala sesuatu dapat masuk menjadi
bahasan cultural studies. Sardar dan Van Loon (2002) merinci
karakteristik cultural studies (CS) sbb.

6
1)      CS bertujuan mengkaji pokok persoalan dari sudut praktik kebudayaan dan
hubungannya dengan kekuasaan. Tujuan tetapnya adalah mengungkapkan
hubungan tersebut mempengaruhi dan membentuk praktik kebudayaan.
2)      CS tidak hanya studi tentang budaya, seakan-akan ia merupakan entitas
tersendiri yang terpisah dari konteks sosial dan politiknya. Tujuannya adalah
memahami budaya dalam segala bentuk kompleksnya dan menganalisis konteks
sosial dan politik tempat budaya mengejawantahkan dirinya.
3)      Budaya dalam CS selalu menampilkan dua fungsi: ia sekaligus merupakan
objek studi maupun lokasi tindakan dan kritisisme politik. CS bertujuan, baik
usaha pragmatis maupun ideal.
4)      CS berupaya membongkar dan mendamaikan pengotakan pengetahuan,
mengatasi perpecahan antara bentuk pengetahuan yang tak tersirat (yaitu
pengetahuan intuitif berdasarkan budaya lokal) dan yang objektif (yang
dinamakan universal). CS mengasumsikan suatu identitas bersama dan
kepentingan bersama antara yang mengetahui dan yang diketahui, antara
pengamat dan yang diamati.
5)      CS melibatkan dirinya dengan evaluasi moral masyarakat modern dan dengan
garis radikal tindakan politik. Tradisi CS  bukanlah tradisi kesarjanaan yang bebas
nilai, melainkan tradisi yang punya komitmen bagi rekontruksi sosial dengan
melibatkan diri pada kritik politik. Jadi, CS bertujuan memahami dan mengubah
struktur dominasi di mana-mana, namun secara khusus lagi dalam masyarakat
kapitalis industrial.[9]

2.3 Metode-metode Utama dalan Kajian Budaya

Secara keseluruhan kajian budaya lebih memadukan metode-metode kualitatif


dengan perhatiannya pada makna kebudayaan.

1. Etnografi
Etnografi adalah pendekatan empiris dan teoritis yang bertujuan mendapatkan
deskripsi dan analisis mendalam tentang kebudayaan berdasarkan penelitian
lapangan (fieldwork) yang intensif. Kajian budaya etnografis memusatkan diri
pada penjelajahan kualitatif tentang nilai dan makna konteks keseluruhan hidup
yaitu persoalan kebudayaan, dunia kehidupan dan identitas.

7
Beberapa kritik pada etnografi yang patut diperhatikan :
a. Data yang dipresentasikan oleh seorang etnografer merupakan suatu
interpretasi sumber data yang selalu bersifat posisional.
b. Etnografi hanya dianggap sebagai sebuah genre penulisan yang
menggunakan alat-alat retorika, yang sering disamarkan untuk mempertahankan
klaim-klaim realisnya (Clifford dan Marcus, 1986)
2. Pendekatan Tekstual
Dua corak analisi yang sering dipakai dalam kajian budaya, yaitu :
a. Teks Sebagai Tanda (Semiotika)
Semiotika mempelajari bagaimana makna dari sebuah teks bisa diperoleh melalui
pengaturan tertentu, tanda-tanda dan penerapan kode-kode kultural. Analisis ini
menaruh perhatian pada ideologi atau mitos-mitos dari teks.
b. Teks Sebagai Narasi
Narasi adalah penuturan yang tertata dan urut yang mengklaim diri sebagai suatu
kejadian atau bentuk terstruktur yang digunakan suatu cerita untuk menjelaskan
tata cara dunia. Narasi memberikan pemahaman dan aturan mengenai dibentuknya
tatanan sosial.

3. Kajian-kajian Resepsi
Para pelopor kajian resepsi mengatakan bahwa khalayak merupakan pencipta
makna yang aktif dalam hubungannya dengan teks. Hall (1981) mengatakan
bahwa produksi makna tidak menjamin dikonsumsinya makna tersebut.

2.4 Wilayah Garap Kajian Budaya

Dalam buku Stuart Hall yang berjudul Cultural Studies and Its Theoretical
Legacies. Mengatakan bahwa harus ada sesuatu yang dipertaruhkan dalam
cultural studies untuk membedakan dari wilayah subyek lain.
Dengan perspektif Hall dapat disimpulkan bahwa kajian budaya bukanlah
bangunan pengetahuan yang netral, tetapi menganggap bahwa produksi bangunan
pengetahuan adalah tindakan politik. Secara sederhana, wilayah garap kajian
budaya dapat dipetakan menjadi tiga, mengikuti pemetaan yang dilakukan oleh
Melani Budianta, wilayah tersebut adalah:

8
1. Psikolonial-Nasional-Transnasional
Klasifikasi ini menjadi wakil dari tiga masa atau fase sejarah yang menantang dan
sepertinya menjadi keharusan untuk dilalui oleh negara-negara dunia ketiga.
Disaat mereka baru melepaskan diri dari kolonialisme, pada saat yang sama
mereka dipaksa untuk merumuskan budaya nasional ditengah fenomena
transnasional akibat globalisasi.
2. Gender, Ras, dan Etnisitas
Pengaturan norma dan perilaku yang diperlakukan atas dasar perbedaan Jenis
kelamin (gender), Ras, dan Etnisitas merupakan proses sejarah. Semua bersifat
kultural melalui, majalah-majalah wanita, karya sastra, iklan, televisi, dan institusi
negara maupun agama, ini merupakan kajian yang menarik bagi kajian budaya.
Misalnya kajian Paul Gilroy menganalisis tradisi absolutisme etnis/agama dan
nasionalisme dari berbagai teks fiksi, sejarah, dan tokoh kulit hitam, Inggris, dan
Amerika.
3. Sastra/Budaya Pop, Pembaca, dan Institusi
Kajian budaya jenis ini memperkaya sosiologi sastra dan sejarah sastra dalam
meneliti kaitan teks dengan sistem-sistem yang ikut menentukan keberadaannya
(reproduksi, pengayom, pengarang, pembaca, kritikus).

2.5 Medan Minat Kajian Budaya

1. Identitas
Dalam kajian budaya identitas dipandang bersifat kultural dan tidak punya
keberadaan diluar representasinya dalam wacana kultural. Identitas bukan suatu
yang tetap yang bisa kita simpan melainkan suatu proses menjadi etnisitas, ras dan
nasionalitas. Sebagai konsep, etnisitas mengacu pada pembentukan dan
pelanggengan batas-batas kultural dan punya keunggulan dan penekanannya pada
sejarah, budaya dan bahasa.
Ras adalah sebuah gagasan yang problematis karena asosialisasinya dengan
wacana biologis tentang superioritas dan subordinasi yang intrinsik dan tak
terhindarkan.

9
Ide tentang identitas, ras, etnis dan bangsa mesti dilihat didalam kerangka saling
bersandarnya yang satu pada lainnya, seperti dalam kemurnian etnis suatu bangsa
atau peran yang dimainkan metafora gender dalam konstruksi tentang bagsa.

2. Seks, Subjek, Representasi


Dalam kajian budaya, seks dan gender dilihat sebagai konstrusi sosial yang secara
intriksi terimplikasi dalam persoalan representasi. Konstruksi sosial adalah
sesuatu yang diregulasi dan memiliki konsekuensi. Maka meskipun seks adalah
suatu kostruksi sosial seks yang mengkonstitusi kita melalui tekanan-tekanan
kekuasaan dan identifikasi dalam psikis kita. Kajian-kajian resepsi menekankan
pada negosiasi yang terjadi antara subjek dengan teks.

3. Televisi, Teks, Penonton


Televisi sudah lama mendapatkan perhatian dalam kajian budaya karena
kedudukannya yang sentral dalam praktek komunikais masyarakat modern. Kajian
budaya menaruh perhatian pada konstruksi ideologis program televisi. Meskipun
demikian, program televisi juga dipandang bersifat polisemik memuat berbagai
makna yang biasanya kontradiktif. Pentingnya televisi tidak bisa dibatasi pada
makna tekstual karena televisi ditempatkan dan dialami dalam aktivitas hidup
sehari-hari.

4. Ruang, Kota
Ruang selalu merupakan masalah hubungan sosial tentang kelas gender, etnisitas
dan sebagainya. Dengan kata lain sebagai tempat kekuasaan dicirikan dengan
adanya persaingan dalam berbagai makna.
Kota termanifestasi dan dibaca sebagai serangkaian ruang dan representasi yang
diperebutkan. Perstrukturan ulang kota adalah salah satu aspek reorganisasi
ekonomi global.

5. Remaja, Gaya, Perlawanan


Usia merupakan patokan klasifikasi dan stratifikasi sosial yang penting, serta
merupakan kategori identitas yang mengandung berbagai konotasi mengenai
kemampuan dan tanggung jawab. Pemuda mengusung harapan orang dewasa
untuk masa depan sekaligus menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran. Terdapat
tiga alat analitik penting sebagai berikut :

10
a. Konsep homologi, benda simbolik subkultural dianggap sebagai ekspresi dari
keprihatinan dan posisi struktural tersembunyi kelompok muda.
b. Brikolase, simbol yang sebelumnya tidak terkait kemudian dipadukan untuk
menciptakan makna baru.
c. Gaya, suatu brikolase simbol yang membentuk suatu ekspresi yang koheren dan
bermakna.

6. Politik Kebudayaan
Politik kebudayaan merupakan kekuasaan untuk menamai dan merepresentasi
dunia. Dimana bahasa bersifat konstitutif bagi dunia dan menjadi panduan untuk
bertindak. Politik kebudayaan bisa dipahami sebagai serangkaian pergulatan
kolektif yang di oraganisasi sebuah kelas, gender, ras, seksualitas, usia dan
sebagainya yang mendeskripsikan ulang dunia sosial berdasarkan nilai tertentu
dan untuk mencapai konsekuensi yang diharapkan.

11
BAB III

PENUTUP

3.1      Kesimpulan

Cultural studies merupakan suatu pembentukan wacana, yaitu ‘kluster (atau


bangunan) gagasan-gagasan, citra-citra dan praktik-praktik, yang menyediakan
cara-cara untuk membicarakan topik, aktivitas sosial tertentu atau arena
institusional dalam masyarakat. Cara-cara tersebut dapat berbentuk pengetahuan
dan tindakan yang terkait dengannya’ (Hall, 1997a:6). Cultural studies dibangun
oleh suatu cara berbicara yang tertata perihal objek-objek (yang dibawanya
sebagai permasalahan) dan yang berkumpul di sekitar konsep-konsep kunci,
gagasan-gagasan dan pokok-pokok perhatian.
Mengenai ruang lingkup kajian budaya diungkapkan secara jelas dalam Barker
(2000), yakni (1) relasi antara kebudayaan dan kekuasaan, (2) seluruh praktik,
institusi, dan sistem klasifikasi yang tertanam dalam nilai-nilai partikular,
kepercayaan, kompetensi, kebiasaan hidup, dan bentuk-bentuk perilaku yang biasa
dari sebuah populasi, (3) pelbagai kaitan antara bentuk-bentuk kekuasaan gender,
ras, kelas, kolonialisme dan sebagainya dengan pengembangan cara-cara berpikir
tentang kebudayaan dan kekuasaan yang biasa digunakan oleh agen-agen dalam
mengejar perubahan, dan (4) pelbagai kaitan wacana di luar dunia akademis
dengan gerakan sosial dan politik, para pekerja di lembaga kebudayaan, dan
manajemen kebudayaan.

3.2      Saran

12
Semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah pengetahuan kita
mengenai cultural studies, dari pengertian, ruang lingkup sampai contoh-
contohnya. Agar kita dapat memanfaatkan pengetahuan yang kita dapat ini dengan
benar.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Santi Indra. 2003. “Cultural Studies” dalam Studi Komunikasi: Suatu


Pengantar.
           MEDIATOR, Vol. 4, No. 1
Barker, Chris. 2009. Cultural Studies; Teori & Praktik (Cet. Ke-6), Terjemahan
Nurhadi. Bantul :
           Kreasi Wacana
Ida, Rachmah. 2014. Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya. Jakarta :
Prenada Media
           Group
Santoso, Anang. Ilmu Bahasa dalam Perspektif Kajian Budaya. Jurusan Sastra
Indonesia  Fak. Sastra
           Universitas Negeri Malang

[1] Chris Barker, Cultural Studies; Teori & Praktik (Cet. Ke-


6), Terjemahan Nurhadi, Kreasi Wacana, Bantul, 2009, Hlm. 6
[2] Rachmah Ida, Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya,
Prenada Media Group, Jakarta, 2014, Hlm. 1-2
[3] Ibid., Hlm. 3
[4] Ibid., Hlm. 4

13
[5] Anang Santoso, Ilmu Bahasa dalam Perspektif Kajian Budaya,
Jurusan Sastra Indonesia Fak. Sastra Universitas Negeri Malang, Hlm. 2-3
[6] Chris Barker, Cultural Studies; Teori & Praktik (Cet. Ke-
6), Terjemahan Nurhadi, Kreasi Wacana, Bantul, 2009, Hlm. 371-372
[7] Ibid., Hlm. 237-238
[8] Ibid., Hlm. 50
[9] Santi Indra Astuti, “Cultural Studies” dalam Studi Komunikasi: Suatu
Pengantar, MEDIATOR, Vol. 4, No. 1, 2003, Hlm. 58-59

14

Anda mungkin juga menyukai