Anda di halaman 1dari 10

A.

Aliran Esensialisme
1. Latar Belakang Munculnya Aliran Esensialisme
Esensialisme berawal dari suatu gerakan dalam dunia pendidikan dan
tidak mengikatkan diri pada suatu aliran filsafat tertentu. ”Esensialisme” berasal
dari kata latin “esential” yang berarti “hal yang pokok/hakiki”. Aliran ini
merupakan reaksi terhadap progresivisme yang terlalu menekankan metode
belajar melalui pemecahan masalah dan aktivitas sendiri para siswa/mahasiswa
untuk mengikuti minat dan kebutuhan mereka.
Esensialisme muncul pada zaman Renaissans, dengan ciri-ciri utamanya
yang berbeda dengan progressivisme. Perbedaan ini terutama dalam memberikan
dasar berpijak mengenai pendidikan yang penuh fleksibilitas, dimana serba
terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin
tertentu. Bagi esensialisme, pendidikan yang berpijak pada dasar pandangan itu
mudah goyah dan kurang terarah. Karena itu esensialisme memandang bahwa
pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan
lama, sehingga memberikan kestabilan dan arah yang jelas.
Esensialisme merupakan falsafah pendidikan tradisional yang
memandang bahwa nilai-nilai pendidikan hendaknya bertumpu pada nilai-nilai
yang jelas dan tahan lama sehingga menimbulkan kestabilan dan arah yang jelas
pula. Nilai-nilai humanisme yang dipegangi oleh esensialisme dijadikan sebagai
tumpuan hidup untuk menantang kehidupan materialistik, sekuler, dan saintifik
yang gersang dari nilai-nilai kemanusian. Gerakan esensialisme modern
sebenarnya berkembang pada awal abad ke-20, dan muncul sebagi jawaban atas
aliran progresivisme. Esensialisme didasari atas pandangan humanisme yang
merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah pada keduniawian, serba ilmiah
dan materialistik. Selain itu juga diwarnai oleh pandangan-pandangan dari paham
penganut aliran idealisme dan realisme.
Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di
dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian, dan
segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum bagi
esensialisme merupakan semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai
ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan. Maka dalam sejarah
perkembangannya, kurikulum esensialisme menerapkan berbagai pola kurikulum,
seperti pola idealisme, realisme, dan sebagainya. Sehingga peranan sekolah dalam
menyelenggarakan pendidikan bisa berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip dan
kenyataan sosial yang ada di masyarakat.
Dalam hubungannya dengan pendidikan, esensialisme menekankan pada
tujuan pewarisan nilai-nilai kultural-historis kepada peserta didik melalui
pendidikan yang akumulatif dan terbukti dapat bertahan lama serta bernilai untuk
diketahui oleh semua orang. Pengetahuan ini dilaksanakan dengan memberikan
skill, sikap dan nilai-nilai yang tepat, yang merupakan bagian esensial dari unsur-
unsur pendidikan.
Kurikulum dipusatkan pada penguasaan materi pelajaran (subject-
centered), dan karenanya fokus pendidikan selama masa sekolah dasar adalah
keterampilan membaca, menulis, dan berhitung, sementara pada sekolah
menengah hal tersebut diperluas dengan memasukkan pelajaran matematika,
sains, humaniora, bahasa, dan sastra. Penguasaan materi kurikulum ini dianggap
sebagai fondasi yang esensial bagi keutuhan pendidikan secara umum untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Asumsinya adalah bahwa dengan pendidikan yang
ketat terhadap disiplin ilmu ini akan dapat membantu mengembangkan intelek
siswa dan pada saat yang sama akan menjadikan sadar terhadap lingkungan dunia
fisiknya. Menguasai dasar konsep dan fakta dari disiplin ilmu yang esensial
merupakan suatu keharusan.
Guru, dalam proses pendidikan, dipandang sebagai center for exellence,
karena dituntut untuk menguasai bidang studi dan sebagai model atau figur yang
amat diteladani bagi siswa. Guru harus menguasai materi pengetahuannya, sebab
mereka dianggap memegang posisi tertinggi dalam pendidikan. Sekolah, melalui
upaya guru, berperan untuk melestarikan dan mentransmisikan ilmu kepada para
pelajar atau generasi selanjutnya yang berupa budaya dan sejarah melalui
pengetahuan dan hikmah.

2. Hakikat Aliran Esensialisme


Aliran esensialisme merupakan aliran yang ingin kembali kepada
kebudayaan-kebudayaan lama warisan sejarah yang telah membuktikan kebaikan-
kebaikannya bagi kehidupan manusia. Aliran esensialisme didasari atas
pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah
pada keduniawian, serba ilmiah, dan materialistik. Selain itu aliran ini juga
diwarnai oleh pandangan-pandangan dari paham penganut aliran idealisme dan
realisme.
Esensialisme percaya bahwa pendidikan harus didasarkan kepada niai-
nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Esensia adalah
kebudayaan yang mereka wariskan kepada kita hingga sekarang, telah teruji oleh
segala kondisi dan sejarah. Esensia juga mampu mengemban hari kini masa depan
dan umat manusia. Praktek-praktek filsafat pendidikan esensialisme lebih kaya
dibandingkan jika ia hanya mengambil posisi yang sepihak dari salah satu aliran
yang ia sintesakan itu. Pandangan aliran esensialisme tentang ide-ide modern
aliran ini lebih bersifat netral atau lebih tepat dikatakan aliran yang juga
mensintesakan ide-ide abad tengah yang dogmatis religius dengan ide-ide
renaissans yang sekuler.
Dalam rangka mempertahankan pahamnya itu khususnya dari persaingan
dengan paham progresivisme, tokoh esensialisme mendirikan suatu organisasi
yang bernama essentialist commite for the advancement of education pada tahun
1930. Melalui organisasi inilah pandangan-pandangan esensialisme
dikembangkan dalam dunia pendidikan.
Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagi di
dunia dan di akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian,
dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia. Kurikilum sekolah
bagi esensialisme merupakan semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan
sebagai ukuran kenyataan, kebenaran, kegunaan. Dengan demikian peranan
sekolah sebagai penyelenggara pendidikan menjadi berhasil dan berguna sesuai
dengan prinsip-prinsip dan kenyataan sosial.

3. Konsep-konsep Dasar Esensialisme


Terdapat beberapa prinsip asasiah yang menjadi asumsi dalam aliran
esensialisme, yaitu :
a) Kegiatan belajar pada dasarnya menuntut kerja keras dan latihan yang
kadang membosankan.
b) Insiatif pokok dalam pendidikan tidak terletak pada murid tetapi pada
guru.
c) Inti proses pendidikan adalah dikuasainya bahan yang sebelumnya sudah
ditetapkan.
d) Sekolah mesti mempertahankan metode tradisional yang menekankan
disiplin mental.

B. Aliran Progressivisme
1. Latar Belakang Munculnya Aliran Progressivisme
Progressivisme muncul di Amerika Serikat tahun 1870 yang di
perkenalkan oleh Francis W. Parker. Para reformis yang menanamkan
dirinya kaum progresif itu menentang sitem pendidikan tradisional yang
sangat kaku, menuntut disiplin ketat, dan menuntut subjek didik menjadi
pasif. Gerakan pembaharuan yang sudah ada sejak akhir abad XIX itu
mendapatkan angin baru pada abad XX dengan munculnya filsafat
pragmatisme. Filsuf dan pendidik yang bernama Jhon Dewey berusaha
menjalin pendidikan progresif dengan filsafat pragmatisme.
Aliran progressivisme berpendapat bahwa pendidikan merupakan
suatu proses penggalian pengalaman terus-menerus. Pendidik haruslah
siap sedia untuk mengubah metode dan kebijakan perencanaanya dalam
mengikuti perkembanagan zaman yang berkaitan erat dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan perubahan lingkungan. Inti pendidikan tidak
terletak dalam usaha penyesuaian dengan masyarakat atau dunia luar
sekolah, dan juga tidak terletak dalam usaha untuk menyesuaikan dengan
standar kebaikan, kebenaran, dan keindahan yang abadi, melainkan dalam
usaha untuk terus menerus merekonstruksi (menyusun kembali)
pengalaman hidup.
Aliran progressivisme adalah suatu aliran filsafat pendidikan yang
sangat berpengaruh dalam abad ke 20 ini. Pengaruh itu terasa diseluruh
dunia, terlebih di Amerika serikat. Usaha pembaharuan di dalam lapangan
pendidikan pada umumnya terdorong oleh aliran progressivisme ini.
Biasanya aliran progressivisme ini dihubungkan dengan pandangan hidup
liberal –“The liberal road to culture”. Yang dimaksudkan dengan ini ialah
pandangan hidup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: fleksibel
(tidak kaku, tidak menolak perubahan, tidak terikat oleh suatu doktrin
tertentu), corious (ingin mengetahui, ingin menyelidiki), toleran dan open-
minded (mempunyai hati terbuka).

2. Konsep-konsep Dasar Progressivisme


Untuk merealisasikan harapan tersebut, rekontruksionisme
mendasarkan diri pada konsep yang antara lain seperti yang dirumuskan
oleh George F. Kneller bahwa prinsip-prinsip mendasar progressivisme
dapat dirincikan menjadi enam:
a) Pertama, pendidikan harus lebih “aktif” dan berkaitan dengan
minat anak. Progrssivisme menekankan perlunya memusatkan
pendidikan pada anak sebagaimana adanya. Anak sebagai suatu
keutuhan pribadi mempunyai dunianya sendiri yang mesti
dihormati dan dijadikan pangkal tolak untuk kegiatan pendidikan.
Sekolah mesti berpusat pada anak sehingga proses belajar dan
bahan atau materi belajar tidak hanya ditentukan oleh guru
melainkan didasarkan pada minat dan kebutuhan anak sendiri.
b) Kedua, belajar melalui pemecahan masalah mesti menggantikan
cara belajar yang menekankan penerimaan bahan jadi.
Progressivisme menolak pandangan tradisiaonal yang menyatakan
bahwa belajar secara hakiki terjadi melalui penerimaan
pengetahuan dan pengetahuan dimengerti sebagai barang abstrak
yang dimasukkan oleh guru yang dimasukkan kedalam benak
anak. Bagi progressivisme pengetahuan merupakan alat untuk
mengolah pengalaman untuk menangani situasi yang terus
menerus dimunculkan oleh gerak perubahan hidup. Bermakna,
maka kita mesti dapat berbuat sesuatu dengan pengetahuan
tersebut.
c) Ketiga, pendidikan mesti merupakan hidup sendiri dan bukan
hanya suatu persiapan untuk hidup. Semua hidup yang dinalar
merupakan suatu kegiatan belajar karena hal itu melibatkan
penafsiran dan penataan kembali pengalaman. Maka dari itu
sekolah perlu di jadikan tempat anak belajar untuk hidup secara
kritis dan bernalar. Sekolah mesti menempatkan anak didik dalam
situasi belajar yang sesuai dengan umur dan menunjuk pada hal-
hal yang kiranya akan dihadapi dalam hidupnya sebagai orang
dewasa.
d) Keempat, peranan guru lebih sebagai pendamping dan penasehat
dari pada sebagai penentu pokok. Minat dan kebutuhan anak
didiklah yang mesti menjadi penentu pokok tentang apa yang
semestinya mereka pelajari. Anak-anak mesti dibimbing untuk
merencanakan kegiatan belajar mereka. Guru menyediakan
fasilitas dengan memberikan pengetahuan dan pengalamannya
yang lebih luas. Untuk mereka gunakan, dan apabila mengalami
kemacetan guru perlu menolong.
e) Kelima, sekolah mesti mendorong adanya kerjasama diantara
murid-murid dan bukan persaingan. Manusia pada dasarnya
merupakan makhluk sosial dan mendapatkan kepuasannya yang
terbesar dari hubungan-hubungan mereka satu sama lain. Kaum
progresif yakin bahwa pertemanan lebih cocok untuk pendidikan
ketimbang persaingan dan semangt mengejar sukses pribadi. Hal
ini karena pertemanan dapat mengembangkan segi yang lebih
tinggi sebagai manusia, sebagai makhluk yang berbudaya. Pada
faktanya peserta didik lebih senang bekerja secara kolektif
dibandingkan bekerja secara individual. Pendidikan sebagai
penataan kembali kodrat kemanusiaannya dalam lingkup sosial
karena masing-masing orang akan dapat tumbuh dan berkembang
bersama yang lain.
f) Keenam, demokrasi memungkinkan dan mendorong adanya
peraturan bebas gagasan dan peraturan macam-macam pribadi
yang merupakan syarat penting untuk pertumbuhan. Bagi kaum
progresif kerjasama dan demokrasi saling mengendalikan. Secara
ideal, demokrasi merupakan pengalaman yang dijalani bersama,
seperti dinyatakan oleh Dewey: “suatu demokrasi itu lebih dari
pada sekedar suatu bentuk pemerintahan. Demokrasi pertama-
tama merupakan suatu bentuk kehidupan bersama; suatu
pengalaman komunikatif yang digabungkan”.

3. Sifat-sifat Aliran Progressivisme


Sifat-sifat umum aliran progressivisme dapat diklasifikasikan dalam
dua kelompok: (a) sifat-sifat negatif, dan (b) sifat-sifat positif.
a) Sifat itu dikatakan negatif dalam arti bahwa, progressivisme
menolak otoritarisme dan absolutisme dalam segala bentuk seperti
misalnya terdapat dalam agama, politik, etika dan epistimologi.
b) Positif dalam arti bahwa progressivisme menaruh kepercayaan
terhadap kekuatan alamiah dari manusia, kekuatan-kekuatan yang
diwarisi oleh manusia dari alam sejak ia lahir-man’s natural
powers. Terutama yang dimaksud ialah kekuatan–kekuatan
manusia untuk terus-menerus melawan dan mengawasi kekuatan-
kekuatan, takhayul-takhayul dan kegawatan-kegawatan yang
timbul dari lingkungan hidup yang selamanya mengancam. Istilah
filsafat yang biasanya dipakai untuk menggambarkan pandangan
hidup yang demikian disebut pragmatisme. Dalam arti terbatas
pragmatisme adalah suatu teori pikir. Akan tetapi lazim juga istilah
pragmatisme yaitu meliputi sekelompok keyakinan-keyakinan
filsafat mengenai alam dan manusia.
Maka tugas pendidikan menurut progressivisme ialah meneliti sejelas-
jelasnya kesanggupan-kesanggupan manusia itu dan menguji
kesanggupan-kesanggupan itu dalam pekerjaan praktis. Yang dimaksud
disini ialah bahwa manusia hendaknya memperkerjakan ide-ide atau
pikiran-pikirannya. Manusia tidak hendaknya berpikir melulu untuk
kesenangan berpikir saja, manusia hendaknya berpikir untuk berbuat.
Progressivisme menolak pendapat bahwa manusia hanya dapat menyerah
saja kepada kekuatan-kekuatan dalam lingkungannya. Progressivisme
berpendapat, bahwa pendidikan adalah alat kebudayaan yang paling baik.
Bahwa dengan pendidikan sebagai alat, manusia dapat menjadi “the
masters, not the slaves. Of social as well as other kinds of natural change”.

4. Ciri-ciri Pendidikan Progressivisme


Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan
dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan
yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang
dapat menekan atau mengancam adanya manusia itu sendiri.
Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan mempunyai
kesulitan untuk mencapai tujuan –tujuan (yang baik) karena kurang
menghargai dan memberikan tempat semestinya kepada kemampuan-
kemampuan tersebut dalam proses pendidikan. Padahal semuanya itu
adalah ibarat motor penggerak manusia dalam usahanya untuk mengalami
kemajuan atau progres.
Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi perhatian
progresevisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu
menumbuhkan kemajuan dipandang oleh progressivisme merupakan
bagian utama dari kebudayaan. Menurut progressivisme, ide-ide, teori-
teori, atau cita-cita itu tidaklah cukup hanya diakui sebagai hal-hal yang
ada, tetapi yang ada disini haruslah dicari artinya bagi suatu kemajuan atau
maksud bagi yang lain. Disamping itu manusia harus dapat memfungsikan
jiwanya untuk membina hidup yang mempunyai banyak persoalan dan
silih berganti ini.
Ciri utama yang menjadi identitas progressivisme dalam mistion
filsafat pendidikan tercermin dalam:

1. Pendidikan dalam kebudayaan liberal.


2. Menjadi pelopor pembaharuan ide-ide lama menuju asas-asas baru
menyongsong kebudayaan dan zaman baru.
3. Peralihan menuju kebudayaan baru.
Progresif menghendaki pendidikan yang membina dan berdasarkan minat
belajar yang mencakup seluruh pengalaman sosial anak dan orang dewasa
sekaligus menaruh perhatian kepada minat anak secara individual. Aliran ini
lebih memusatkan perhatian pada proses yang continue dari pada interaksi antar
pribadi dengan masyarakat dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan normatif
yang sesungguhnya adalah produk interaksi itu sendiri.

4. Perkembangan Aliran Progressivisme


Dalam abad ke 19 dan ke 20 ini tokoh-tokoh progressivisme terutama
terdapat di Amerika Serikat. Thomas Paine dan Thomas Jefferson memberikan
sumbangan pada progressivisme karena kepercayaan mereka akan demokrasi dan
penolakan terhadap sikap yang dogmatis, terutama dalam agama. Charles S.
Pierce mengemukakan teori tentang pikiran dan hal berpikir: pikiran itu hanya
berguna atau berarti bagi manusia apabila pikiran itu “bekerja”, yaitu memberikan
pengalaman (hasil) baginya. Fungsi berpikir tidak lain dari pada membiasakan
manusia untuk berbuat. Perasaan dan gerak jasmaniah (perbuatan) adalah
manifestasi-manifestasi yang khas dari aktivitas manusia dan kedua hal itu tak
dapat dipisahkan dari kegiatan intilek (berpikir). Jika dipisahkan, perasaan dan
perbuatan menjadi abstrak dan dapat menyesatkan manusia.

5. Keyakinan-keyakinan Progressivisme Tentang Pendidikan


Perlu diketahuai bahwa pragmatisme sebagai filsafat dan progressivisme
sebagai pendidikan erat sekali hubungannya dengan kepercayaan yang sangat
luas dari Jhon Dewey dalam lapangan pendidikan. Hal ini dengan jelas dapat
ditelusuri lewat bukunya, Democracy and Education. Dalam bukunya inilah
Dewey memperlihatkan keyakinan-keyakinan dan wawasan-wawasannya
tentang pendidikan, serta mempraktekannya di sekolah-sekolah yang ia
dirikan. Menurut Dewey tujuan umum pendidikan ialah warga masyarakat
yang demokratis. Isi pendidikannya lebih mengutamakan bidang-bidang studi
seperti, IPA, sejarah, keterampilan, serta hal-hal yang berguna atau langsung
dirasakan oleh masyarakat.
Metode scientific lebih dipentingkan, dan bukan metode memorisasi
seperti pada aliran esensialisme. Praktek kerja di laboratorium, di bengkel, di
kebun (lapangan) merupakan kegiatan yang dianjurkan dalam rangka
terlaksananya “learning by doing”. Progressivisme tidak menghendaki
adanya mata pelajaran yang diberikan secara terpisah, melainkan harus
diusahakan terintegrasi dalam unit. Karena perubahan yang selalu terjadi
maka diperlukan fleksibilitas dalam pelaksanaannya, dalam arti tidak kaku
tidak menghindar dari perubahan, tidak terikat oleh doktrin tertentu bersifat
ingin tahu, toleran, dan berpandangan luas serta terbuka.

C. Perbandingan Esensialisme dan Progresivisme


Maz- Dasar Tokoh Tujuan Peranan Guru Peranan
Hab Filsafat Filsafat Pendidikan Administrato
Barat r
Esensialisme Filsafat ideal- Plato, Penyerapan Guru adalah Pelaksana
isme, bahwa Horney, ide atau contoh yang administrator
hakikat Bagley, gagasan konkret dan
bersifat ideal Kohtam, terpilih yang mengenai kepemim-
dan spiritual. Ulich, Kant, disajikan apa-apa yang pinan sesuai
Juga filsafat Whitehead, diharapkan dengan garis
realisme Locke, organisasi
bahwa Herbart, yang jelas.
hakikat itu Bode, Hegel Pihak yang
ialah dunia realis lebih
yang objektif ketat garis
prosedurnya
Progre Filsafat Parker, Pemecahan Guru sebagai Pengelola
sivisme pragmatisme, Dewey, masalah dan fasilitator fungsi-fungsi
bahwa Kilparick, penghayatan penggugah dengan
hakikat dunia dan yang masalah pimpinan pendekatan
senantiasa lebih kemasyara- proyek hubungan
berupa individualisti katan insani
pengalaman c JJ
yang berubah Rousseau

Anda mungkin juga menyukai