Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan sejak awal sejarah lahirnya selalu diarahkan pada upaya-upaya
menjadikan manusia-manusia subjek didiknya memiliki perbaikan-perbaikan dan
perubahan-perubahan yang mengarah pada realisasi idealitas manusia. Dalam rangka
perwujudan keinginan inilah, maka banyak pemikiran yang ditujukan untuk untuk
penciptaan-penciptaan kondisi kondisi yang benar-benar mendukung bagi pelaksanaan
suatu kegiatan kependidikan.
Merumuskan manusia ideal sangat bergantung pada wawasan dan pengetahuan
manusia tentang diri dan eksistensinya di dunia. Untuk mencari hakikat manusia secara
kompeherensif adalah suatu hal yang sulit. Hal ini dikarenakan keunikan karakter,
keterbatasan data dan kemampuan manusia untuk mengenal dirinya. Kendatipun telah
banyak temuan-temuan dan hasil penelitian para ilmuan, filsuf, sastrawan, bahkan para
ahli di bidang keruhanian sepanjang masa, mereka belum berhasil mengetahui manusian
secara utuh, sehingga persoalan-persoalan yang mereka ajukan sampai sekarang ini masih
tetap tanpa jawaban yang pasti.
Persoalan kualitas manusia bukanlah merupakan entitas yang berdiri sendiri. Ada
banyak varian yang terhubung , baik dari subjek, dan varian lain yang berada diluarnya.
Yang paling dekat dengan hal ini tentulah institusi pendidikan; informal, nonformal, dan
formal yang juga mempunyai varian tersendiri pula.
Pembentukan dan penyempurnaan kualitas manusia dalam dunia pendidikan selalu
berkaitan dengan persoalan proses pemanusiaan yang mengarah pada perbaikan dan
kemajuan, sehingga transformasi sosial dan budaya yang mengarah pada kemajuan
peradaban suatu bangsa dan negara tergantung pada orientasi, sistem, dan strategi yang
ditempuh lembaga pendidikan, utamanya pendidikan formal yang lebih terencana,
terprogram dan tertata secara rapi ke arah tujuan yang diinginkan.
Lahirnya aliran-aliran dalam filsafat pendidikan pun selalu didasarkan atas keinginan
menciptakan manusia-manusia idela melalui jalur pendidikan. Oleh karena itu pula
berbagai pemikiran kependidikan pun akan selalu mengacu pada cara pandang seseorang
atau sekelompok orang dalam menilik eksistensi manusia dalam memperoleh
pengalaman-pengalaman yang ada pada gilirannya akan membentuk peradaban dan
kebudayaan manusia itu sendiri. Dan oleh karena itu, corak dan model yang ditawarkan

memiliki hubungan ssignifikan dengan cara pandang aliran dalam kaitannya dengan
dirinya, alam dan tuhan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan aliran progresivisme ?
2. Apakah yang dimaksud dengan aliran perennialisme ?
3. Apakah yang dimaksud dengan aliran essensialisme ?
4. Apakah yang dimaksud dengan aliran rekonstruksionisme ?
5. Apakah yang dimaksud dengan aliran eksistensialisme ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui dan memahami mengenai aliran progresivisme
2. Untuk mengetahui dan memahami mengenai aliran perennialisme
3. Untuk mengetahui dan memahami mengenai aliran essensialisme
4. Untuk mengetahui dan memahami mengenai aliran rekonstruksionisme
5. Untuk mengetahui dan memahami mengenai aliran eksistensialisme

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Progresivisme
2.1.1 Progresivisme dalam pengertian dan Sejarah
Progresivisme secara bahasa dapat diartikan sebagai aliran yang menginginkan
kemajuan-kemajuan secara cepat cepat. Dalam konteks filsafat pendidikan, progresivisme
merupakan suatu aliran yang menekankan bahwa pendidikan bukanlah sekedar upaya
pemberian sekumpulan pengetahuan kepada subjek didik , tetapi hendaklah berisi berbagai
aktivitas yang mengarah pada pelatihan kemampuan berpikir mereka secara menyeluruh,
sehingga mereka dapat berpikir secara sistematis melalui cara-cara ilmiah seperti penyediaan
ragam data empiris dan informasi teoritis, memberikan analisis, pertimbangan dan pembuatan

kesimpulan menuju pemilihan alternatif yang paling memungkinkan untuk pemecahan


masalah yang tengah dihadapi. Dengan kemampuan berpikir yang baik, subjek didik akan
menghasilkan keputusan-keputusan terbaik pula untuk dirinya dan masyarakat serta mudah
beradaptasi dengan lingkungan.
Para progresivis berkeyakinan bahwa manusia secara ilmiah memiliki kemampuankemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan atau mengatasi berbagai problem
kehidupannya menuju suatu perkembangan yang lebih baik, yang mengarah kepada suatu
progress. Pendidikan dalam hal ini dipaandang sebagai suatu motor bagi
penumbuhkembangan kemampuan dasar subjek didik agar mampu memecahkan kesulitankesulitanyang memiliki hubungan strategis dengan pertumbuhan sikap kemandirian subjek
didik dalam pengambilan keputusan berdasarkan cara-cara yang logis dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Slogan yang pantas untuk aliran ini adalah bahwa dari
kepekaan subjek didik terhadap berbagai problem yang ada disekitarnya, akan muncul
keinginan; dari keinginan akan muncul kreativitas; dari kreativitas akan muncul prediksi dan
dari prediksi akan muncul aksi yang akan membawa pada perubahandan kemajuan.
Secara historis, progresivisme telah muncul pada abad ke-19, namun baru
berkembang secara pesat pada abad ke-20, terutama di negara Amerika Serikat. Bahkan
pemikiran yang dikembangkan aliran ini pun sesungguhnya memiliki benang merah yang
secara tegas dapat dilihat sejak zaman Yunani Kuno, seperti Heraklitos (544-450 SM) ,
Protagoras (480-410), Socrates (469-391) dan Aristoteles (384-322SM).
Sebagai sebuah aliran filsafat pendidikan, progresivisme lahir sebagai protes terhadap
kebijakan-kebijakan pendidikan konvensional yang bersifat formalis tradisionalis yang telah
diwariskan oelh filsafat abad ke-19 yang dianggap kurang kondusif dalam melahirkan
manusia-manusia sejati. Aliran ini memndang bahwwa metodologi pendidikan konvensional
yang menekankan pelaksanaan pendidikan melalui mental dicipline, passive learning yang
telah menjadi karakteristik pendidikan selama ini tidak sesuai dengan watak humanitas
manusia yang sebenarnya.
Progresivisme muncul dari tokoh-tokoh filsafat pragmatis seperti Charles S. Peirce,
William James dan John Dewey dan eksperimentalisme, seperti Francis Bacon. Tokoh lain
yang juga ,memicu lahirnya aliran ini adalah John Locke dengan ajaran filsafatnya tentang
kebebasan politik dan J.J Rousseau dengan ajarannya yang meyakini bahwa kebaikan berada
dalam diri manusia dan telah dibawanya sejak lahir dan oleh karena itu ialah yang harus
mempertahankan kebaikan itu agar selalu ada dalam dirinya. Kebaikan itu memiliki
hubungan signifikandalam segala ruang gerak kehidupan dalam diri manusia. Tuhan
menganugerahkan manusia freedom sebagai suatu kapasitas yang akan menggerakkan
manusia itu untuk mampu memilih dan menetapkan mana perbuatan yang baik untuk dirinya.
Bagi J.J Rousseau institusi-institusi dan keyakinan-keyakinan ini memberikan fase-fase awal
bagi perkembangan manusia menuju fase-fase yang lebih tinggi.
Secara gerakan, tokoh-tokoh Amerika seperti Benjamin Franklin, Thomas Phaine,
Thomas Jefferson telah ikut memengaruhi progrevisisme dengan sikapnya menentang

dogmatisme dan sikap positif yang menjunjung tinggi idividualisme dan nilai-nilai
demokrasi.
Situasi revolusi industri saat itu juga mempengaruhi perkembangan progresivisme.
Revolusi industri adalah suatu peristiwa sejarah yang mengubah ekonomi dan sikap manusia
atas alam dalam rangka eksplorasi alam dan penggunaan tenaga mesin untuk produksi.
Secara psikologis hal ini memberikan dasar bagi kepercayaan bahwa manusia memiliki
kemmapuan untuk menguasai alam. Manusia dalam halini mulai sensitif atas kebebasan
dalam sistem ekonomi yang didasarkan pada kompetisi persaingan bebas. Cara pandang ini
memberi pengaruh pada proses kehidupan manusia, termasuk di dalamnya penyelenggaraan
pendidikan. Zaman renaissace juga turut ambil bagian dalam membentuk pola pikir manusia.
Dalam konteks pendidikan, perkembangan progresivisme tidak dapat dilepaskan dari
pemikiran John Dewey yang menyatakan bahwa hidup selalu berubah dan selalu menuju
pembaharuan-pembaharuan.oleh karena itu pendidikan mestilah dianggap sebagai alat
sekaligus juga pembaharuan hidup, sehingga dalam hal ini, sekolah juga mesti dianggap
sebagai kebutuhan manusia untuk hidup dan sebagai pertumbuhan bagi gerak maju suatu
masyarakat.
2.1.2 Landasan Filosofis Progresivisme
Progresivisme beranggapan bahwa kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh
manusia tidak lain adalah karena kemampuan manusia dalam mengembangkan berbagai ilmu
pengetahuan berdasarkan tata logis dan sistematisasi berpikir ilmiah. Oleh karena itu, tugas
pendidikan adalah melatih kemampuan-kemampuan subjek didiknya dalam memecahkan
berbagai masalah kehidupan yang mengarah pada pengembangan ilmu pengetahuan yang
berguna bagi kehidupannya dalam masyarakat.
Sebagai pragmatis, aliran ini memandang ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang
bermanfaat karena merupakan sarana bagi kemajuan manusia. Ilmu pengetahuan dalam hal
ini sangat dinamis dan berubah sesuai dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
Manusia pada hakikatnya akan selalu menunjuk ke arah kemajuan. Oleh karena itu,
lembaga pendidikan mestilah berfungsi sebagai wahana tumbuh kembang daya kreativitas
subjek didiknya. Semangat berbuat dan mengadakan perubahan yang tentu berguna bagi
pengembangan diri dan masyarakatnya. Semangat mengadakan pendidikan tanpa tanpa
memberikan perhatian penuh pada kemampuan subjek didik secara individu. Oleh karena itu,
azas kebebasan individu dan demokrasi mestilah pula menjadi landasan bagi keseluruhan
aktivitas pembelajaran pada lembaga pendidikan.
Aliran ini bersikap anti pada sikap otoritarianisme dan absolutisme dalam segala
bentuknya. Hal ini mengingat bahwa baginya sikap ini sangat tidak menghargai kemampuan
dasar manusia secara natural akan selalu mampu menghadapi dan memecahkan berbagai
kesulitan hidup.
Progresivisme berpendapat bahwa akal manusia bersifat aktif dan selalu ingin mencari
tahu dan meneliti, sehingga ia tidak mudah menerima begitu saja suatu pandangan atau

pendapat sebelum ia benar-benar membuktikan kebenarannya secara empiris. Ilmu


pengetahuan lahir berdasarkan pada pembuktian-pembuktian eksperimentasi di dunia empris.
2.1.3 Pandangan Progresivisme tentang Pendidikan
Aliran ini berpendapat bahwa pendidikan mestilah dimaknai sebagai sebuah proses
yang berlandaskan pada asas pragmatis. Dengan asas ini pendidikan bertujuan untuk
memberikan pengalaman empiris kepada anak didik sehingga terbentuk pribadi yang selalu
belajar dan berbuat. Belajar mesti pula terpusat pada anak didik, buka pada pendidik.
Pendidik progresif selalu melatih anak didiknya untuk mampu memecahkan problemproblem yang ada dalam kehidupan. Seorang progresif mesti menggiring pemahaman kepada
anak didiknya, bahwa belajar adalah suatu kebutuhan anak didik dan ialah yang ingin belajar.
Oleh krena itu, anak didik progresif mesti selalu mampu menghubungkan apa yang ia pelajari
dengan kehidupannya.
Inti proses pendidikan bagi aliran ini terdapat pada anak didik, karena anak didik
dalam konsepnya adalah manusia yang memiliki potensi rasio dan intelektual yang akan
berkembang melalui pengkondisian pendidikan. Kendatipun demikian, anak didik mesti
menentukan sendiri proses belajarnya. Eksistensinya memerlukam bimbingan dan
pengarahan dari para pendidik.
Pendidikan adalah proses sosialisasi, yaitu proses pertumbuhan dan pengembangan
potensi intelektual anak melalui berbagai pengalaman yang ada di lingkungan sekitarnya.
Proses ini berlangsung terus menerus sepanjang hayat.
2.2 Perenialisme
2.2.1 Perenialisme dalam Pengertian dan Sejarah
Perenialisme dengan kata dasarnya parenial, yang berarti continuing troughout the
whole year atau lasting for a very long time, yakni kekal yang terus ada sampai akhir. Dalam
pengertian yang lebih umum dapat di katakana bahwa tradisi di pandang juga sebagai prinsipprinsip yang abadi dan terus mengalir sepanjang sejarah manusia, kare ia adalah anugerah
tuhan pada semua manusia dan memang merupakan ihakikat insaniah manusia.
Perenialisme, sesuai dengan namanya yang berarti segala sesuatu yang ada sepanjang
sejarah manusia, melihat bahwa tradisi perkembangan intelektual yang pada zaman yunani
kuno dan abad pertengahan yang telah terbukti dapat memberikan solusi bagi berbagai
problem kehidupan masyarakat perlu digunakan dan di terapkan dalam menghadapi alam
modern yang sarat dengan problem kehidupan.
Kondisi dunia modern yang sangat mengandalkan rasionalitas empiris positivistis
yang memandang kebenaran dalam konteks nya yang serba terukur, teramati dan teruji secara
inferensial yang melihat realitas sebagai seuatu yang serba materi, telah pula memunculkan
berbagai problem kemanusiaan, sepeti munculnya sikan ambivalence yang mencekam dan
mendatangkan kebingungan, kebimbangan, kekakuan, kecemasan, ketakutan dalam
beringkah laku, sehingga manusia hidup dalam ketidak menentuan dan cenderung kehilangan

araeh dan jeti dirinya. Pengabdian berpikir logis dalam hal ini telah memunculkan
ketidakmampuan menusia melihat pengetahuan yang sebenarnya. Hal ini mencorak kan
kehidupan yang rasional bertujuan dengan landasan empiris-positivtis yang melihat realitas
dunia dengan serba objektif dimana kebenaran ilmu berangkat dari fakta-fakta yang
terverifikasi dan terukur sacara ketat.
Kondisi dunia yang yang terganggu oleh budaya yang tak menentu yang berada
dakam kebingungan dan kekacauan seperti di ungkap di atas memerlukan usaha yang serius
untuk menyelamatkan manusia dari kondisi yang mencekam denga mencari dan menemukan
orientasi dan tujuan yang jelas, ini adalah tugas utama filsafat pendidikan. Perinialis dalam
hal ini mengambil jalan regersif dengan mengambil arahnya seperti yang menjadi prinsip
dasar perilaku yang di anut pada masa kuno dan abad pertengahan.
Perenialisme secara filosofi memilii dasar pemikiran yang melekat pada ajaran filsafat
klasik yang di tokohi oleh, plato, aristoteles,augustinus dan Aquinas. Namun istilah ini
pertama di pelopori oleh Augustinus (1497-1548) dalam sebuah karyaya yang berjudul de
parennia philosophia yang di terbitkan pada tahun 1540 M. istilah ini lebih popular lagi di
tangan Leibniz yang di gunakan dalam suratnya kepada remundo yang di tulisnya pada tahun
1715 M. perenialisme di tokohi oleh Robert Maynard Hutchins, Mortimer J.Adler, dan Sir
Richard Livingstone.
Prinsip dasar yang di kembangkan sayyed husein nasr, seorang filusuf kontemporer,
yang mengatakan bahwa manusia memiliki fitrah yang sama berpangkal pada asal
kejadiannya yang fitri yang memiliki konsekuensi logis pada watak kesucian dan kebaikan.
Sifatnya tidak berubah karena prinsip-prinsipnya mengandung kontinuitas dalam setiap ruang
dan waktu. Menurutnya, tradisi yang mengisyaratkan kebenaran yang fitri bersifat langgeng,
tetap abadi dan berkesinambungan. Dalam konteks ini Sayyed husein berusaha
mengembalikan kesadaran manusia akan hakikatnya yang fitri yang akan membuatnya
berwatak kesucian dan kebaikan.
2.2.2 Landasan Filosofis Perenialisme
Aliran ini memandang bahwa hakikat manusia sebagai mahluk rasional yang akan
selalu sama bagi setiap manusia dimanapun sampai kapanpun dalam perkembangan
historisitasnya. Keyakinan ontologism sedemikian, membawa mereka pada suatu pemikiran,
bahwa kkemajuan dan keharmonisan yang di alami oleh manusia di suatu masa akan dapat
pula di terapkan pada manusia-manusia yang lain pada masa yang berbeda, sehingga
kesuksesan masa lalu dapat pula di terapkan untuk memecahkan problem masa sekarang dan
masa akan dating bahkan sampai kapanpun dan dimana pun.
Menurut psikologi Plato, manusia pada hakikatnya memiliki tiga potensi dasar yaitu,
nafsu, kemauan, dan pikiran. Ketiga potensi ini merupakan asas bagi bangunan kepribadian
dan watak manusia. Ketiga potensi ini akan tumbuh dan berkembang melalui pendidikan,
sehingga ketiganya berjalan seimbang dan harmonis. Manusia yang memiliki potensi rasio
yang besar akan manusia kelas pemimpin, kelas social yang tinggi. Manusia yang besar
potensi kemauan nya akan menjadi manusa-manusia prajurit, kelas menengah. Sedangakan

manusia yang besar potensi nafsu akan menjadi manusia-manusia pekerja, kelas jelata.
Pendidikan dala hal ini hendaknya berorientasi pada potensi psikologis dan masyarakat,
sehingga dapat mewujudkan pemenuhan kelas-kelas social dalam masyarakat tersebut.
Hal yang senanda juga di ungkap kan oleh Aristoteles dengan mengatakan bahwa
kebahagiaan hidup sebagai tujuan pendidikan itu sendiri dapat terealisasi jika ketiga
komponen potensi dasarnta terdidik dan berkembang secara seimbang. Harmonisasi
fungsionalitas tiga potensi dasar manusia dalam kehidupan nya. Oleh karena itu, pengisian
pendidikan pada ketiga aspek tersebut merupakan keniscayaan. Pendidik bertugas
memberikan bantuan kepada subjek-subjek didik nya untuk mewujudkan potensi-potensi
yang ada padanya agar menjadi aktif., nyata dan actual memalui latihan berfikir secara baik
dan benar.
Aliran ini berkeyakinan bahwa kendatipun dalam lingkungan dan tempat yang berbeda-beda,
hakikat manusia tetap menunjukkan kessamaanya. Oleh karena itu, pola dan corak
pendidikan yang sama dapat di terapkan pada siapapun dan dimanapun ia berada.
Menurutnya setiap manusia memiliki fungsi kemanusiaan yang sama, karena memang
terlahir pada hakikat yang sama. Aliran ini berpendapat bahwa rasionalitas adalah hukum
peratamyang akan tetap benar di segala tempat dan zamannya. Dengan prinsip rasionalitas ini
pula perenialisme berhadapan dengan persoalan adanya prinsip kesadaran dan kebebasan
dalam gerak kehidupan manusia.
Kesadaran dan kebebasan adalah bukti fungsionalitas rasio manusia, sebab kekuatan
bertindak bebas bergantung pada kekuatan berfikir, sehingga otoritas berfikir adalah satusatunya sumber kemardekaan. Tugas pendidikan disini adalah bagaimana menjadikan dan
memajukan manusia yang ada dalam masyarakat. Sehingga dia berfikir manusia utuh, yaitu
manusia yang memiliki kekuatan berfikir. Jadi pendidikan adalah upaya memanusiakan
manusia sebagai manusia yang memiliki kekuatan dalam berfikir.
Pendidikan dalam teori ini dimaknai sebagai suatu aktivitas yang mengaksentuasikan
programnya pada perubahan dan perbaikan. Pengembangan ilmu pengetahuan terus diraih
oleh manusia modern di alam modern.
Mortimer J. Adler sebagai salah satu pendukung parenialisme ini mengatakan bahwa
jika seseorang manusia adalah mahluk rasional yang merupakan hakikat yang senantiasa
seperti itu sepanjang sejarah. Dia juga mengungkapkan bahwa manusia adalah mahluk yang
memiliki kamempuan intelektual yang tampak dalam kapsitasnya sebagai subjek yang aktif
dan dapat melakukan tindakan-tindakan seni, membaca, mendengar, menulis, berbicara serta
berfikir. Aristoteles sebagai salah satu tokoh yang menjadi rujukan aliran ini menekankan,
bahwa melatih dan membiasakan diri merupakan hal yang mendasar bagi pengembangan
kualitas manusia. Oleh karena itu, kesadaran disiplin mesti di tanamkan sejak dini.
2.2.3 Pandangan Parenialisme tentang Pendidikan

Robert M. Hutchins, salah seorang tokoh parenialisme menyimpulkan bahwa, tugas


pokok pendidikan adalah pengajaran. Pengajaran menunjukan pengetahuan,

pengetahuan itu sendiri adalah kebenaraan. Kebenaran pada setian manusia adalah
sama, oleh karena itu, dimanapun dan kapanpun ia akan selalu sama.
Mortimer J. Adler menyebutkan bahwa mengingat esensi manusia ada pada
rasionalitas, maka factor intelektualitas memerlukan perhatian khusus manusia
sebagai manusia. Esensi pendidikan general di sini selaluberkenaan dengan kehidupan
intelektuali

Pendidikan menurut aliran ini bukan lah semacam imitasi kehidupan, tetapi tidak lain
adalah suatu upaya mempersiapkan suatu kehidupan. Sekolah menurut kelompok ini tidak
akan pernah menjadi situasi kehidupan yang riil. Tugasnya adalah bagaimana merealisasikan
nilai-nilai ynag di wariskan kepadanya dan jika memungkinkan meningkatkaan dan
menambah presentasi-presentasi melalui usaha sendiri.
Prinsip mendasar pendidikan bagi aliran parenial ini adalah membantu subjek-subjek
didik menemukan dan menginternalisasikan kebenaran abadi, karena memang kebenaran
mengandung sifat universal yang tetap. Kebenaran-kebenaran seperti ini hanya dapat di
peroleh subjek-subjek didik melalui latihan intelektual yang dapat menjadikan pikirannya
teratur dan tersisiteminasi sedimikian rupa. Hal ini semakin penting terutama jika di kaitkan
dengan persolan pengembangan spiritual manusia.
Aliran ini menyakinkan bahwa pendidikan adalah transfer ilmu pengetahuan tentang
kebenaran abadi. Pengetahuan adalah suatu kebenaran sedangkan kebenaran selamanya
memiliki kesamaan. Oleh karena itu pula, maka penyelenggaraan pendidikan pun dimana
mana mestilah sama. Pendidikan mestilah mencari pola agar subjek-subjek didik dapat
menyesuaikan diri bukan pada dunia saja, tetapi hendaklah pada hakikat-hakikat kebenaran.
Penyesuaian diri pada kebenaran merupakan tujian belajar itu sendiri. Oleh karena itu,para
perenialis memandang bahwa tuntutan tertingi dalam belajar adalah latihan. Dan disiplin
mental. Para perenialis percaya bahwa pemikiran subjek-subjek didik akan menjadai nyata
melalu pelatihan-pelatihan intelektual. Cara mudah untuk mengajar subjek-subjek didik
adalah dengan cara menumbuhkan keinginanan untuk belajar. Realisisasi diri sangat
tergantung pada disiplin diri, sedangkan displin itu sendiri dapat di raih melalui disiplin
eksternal. Berdasarkan pemikiran ini maka perenialis sampai pada suatu kesimpulan bahwa
belajar adalah upaya keras untuk memperoleh suatu ilmu pengetahuan melalui displin tinggi
dalam latihan pengembangan prinsip-prinsip rasional.
Perenialisme membedakan belajar pada dua wilayah besar, yaitu wilayah pengajaran
dan penemuan. Yang pertama belajar memerlukan guru. Guru dalam hal ini memberikan
pengetahuan dan pencerahan kepada peserta didik baik dengan cara menunjukkan maupun
menafsirkan implikasi dari pengetahuan yang di berikan. Sedangkan yang kedua tidak lagi
membutuhkan guru, karena peserta didik dalam pola ini di harapkan telah dapat belajar atas
kemampuan sendiri.
Tugas utama perenialisme adalah mempersiapkan peserta didik kearah kematangan
rasiaonalitas dalam menghadapi berbagai problema dan kesulitan kehidupan. Tugas guru
dalam aliran ini tentu lebih membimbing dan membantu peserta didik agar memiliki
kemampuan intelektual dan soiritual yang memadain untik menghadapi problema kehidupan.

Pada tingkat perguruan tinggi alira inimenekankan bahwa materi pembelajaran mestilah
bersendikan filsafat, karena filsafat ini pada dasarnya adalah cinta intelektual dari tuhan. Dan
hanya dengan cara demikian, dunia akademi di topang oleh sendi-sendi yang kuat dalam
menghadapi realitas kehidupannya dalam masyarakat.
2.3 Esensialisme
2.3.1 Esensialisme dalam pengertian dan sejarah
Filsafat esensialisme adalah suatu aliran filsafat yang lebih merupakan perpaduan ide
filsafat idealism-objektif di satu sisi dan realism objektif di sisi lainnya. Sebagai sebuah
aliran filsafat, esensialisme telah lahir sejak zaman renaissance, bahkan dapat dikatakan
zaman aristoteles.
Esensialisme secara formal memang tidak dapat di hubungkan dengan berbagai tradisi
filsafat, tapi compatible dengan berbagai pemikiran filsafaat. Pada zaman ini telah muncul
upaya-upaya untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan seni serta kebudayaan
purbakala, terutama zaman yunani dan romawi.
Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran ini memiliki cirri utamanya yang
menekankan, bahwa pendidikan mesti dibangun di atas nilai-nilai yang kukuh,, tetap stabil.
Kemunculan nya adalah reaksi atas kecenderungan kehidupan manusia pada yang serba
duniawi, ilmiah, pluralistic, dan materialistik, akibat dari prinsip pendidikan yang fleksible,
terbuka untuk segala perubahan. Kondisi dunia yang telah merusak tatanan humanitas
menjadi perhatian kelompok esensialime.
Aliran ini beranggapan, bahwa manusia pelu kembali pada kebudayaan lama, yaitu
kebudayaan yang telaah ada semenjak peradaban manusia yang pertama. Kebudayaan lama
itu telah banyak membuktikan kebaikan-kebaikannya untuk manusia. Tokoh-tokoh yang
tercatat sepanjang sejarah antara lain Desiderius Erasmus, Johann Amos Comenius (15921670), Johann Hendrich Pestalozzi (1746-1827) John loke (1632-1704) John frederich
froeble dan masih banyak tokoh yang lain.
2.3.2 Landasan filosofis Esensialisme
Esensialisme memangdan manusia adalah bagian dari alam semesta yang bersifat mekanis
dan tunduk pada hukum-hukum nya yang objektif-kausalitas nya, maka ia pun secara nyata
terlibat dan tunduk pada hukum-hukum alam. Dengan demikian, manusia selalu bergerak dan
berkembang sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum natural yang bersifat universal.
Hukum universal lah yang mengatur semua makrokosmos yang meliputi aturan benda-bend,
energy, ruang dan waktu bahkan juga pikiran manusia.
Aliran ini berpendapat, bahwa sumber segala pengetahuan manusia terletak pada
keteraturan lingkungan hidupnya. Dalam bidang aksiologi, nilai bagi aliran ini, seperti
kebenaran, berekar dalam dan berasal dari sumber yang objektif. Sumber ini merupakan
perpaduan dari idealism dan realisme. Pemahaman objektif atas fakta dan peristiwa dalam
kehiduapan juga menjadi pertimbangan proposional dalam ekspresi keinginan, rasa suka,

kagum, tidak suka ada penolakan yang akhirnya melahirkan predikat baik dan buruk terhadap
sesuatu.
Imanuel Kant seorang tokoh idealism modern mengemukakan bahwa asas dasar
tindakan moral atas hukum moral adalah apa yang di sebutnya sebagai categoricalimperative, yaitu rrasa kewajiban dan tugas tanpa syarat dan predikat seperti taat atau loyal
terhadap suatu norma. Setiap manusia harus melakukan sesuatu, sebab kebaikan senantiasa
bersifat universal.
2.3.3 Pandangan Esensialisme tentang Pendidikan
Kelompok esensialisme memangdang bawa pendidikan yang di dasari pada nilai-nilai yang
fleksible dapat menjadikan pendidikan ambivalen dan tidak memiliki arah dan orientasi yang
jelas, oleh karena itu, agar pendidikan memiliki tujuan yang jelas dan kukuh yang akan
mendatang kan kestabilan. Untuk itu perlu disiplin nilai yang mempunyai tata yang jelas dan
teruji oleh waktu.
Esensialisme memberikan penekanan upaya kependidikan dalam hal pengujian ulang
materi-materi kurikulum memberikan pembedaan-pembedaan esensial dan non-esensial
dalam berbagai program sekolah dan memberikan kembali pengukuhan autoritas pendidik
dalam suatu kelas di sekolah. Esensialis percaya bahwa pelaksanaan pendidikan memerlukan
modifikasi dan penyempurnaan sesuai dengan kondisi manusia yang bersiifat dimanis dan
selalu berkembang.
Pendidikan yang bersifat fleksible dan terbuka untuk perubahan, toleran, dan tidak
berhubungan dengan doktrin dan norma yang universal menjadikan eksistensinya mudah
goyah dan tidak memiliki arah yang jelas. Oleh karena itu,pendidikan mesti di dasarkan pada
pada asaz yang kukuh yang secara nyata telah teruji kebenarannya dan ketangguhannya
dalam perjalanan sejarah.
Karena para esensialisme meyakini bahwa manusia, alam jagad raya, dan tuhan,
merupakan tiga hal yang sangat terkait dalam peralihan pengetahuan. Comenius(1592-1670)
dalam hal ini pun mengandaikan, bahwa membina kesadaran manusia akan alam semesta dan
dunia nya untuk membentuk kesadaran spiritual menuju tuhannya adalah tugas pokok
pendidikan. John locke dalam hal ini menyebutkan bahwa pendidikan mesti mengutamakan
factor lingkungan dalam mengupayakan penyesuaian manusia pada hal yang natural dan
supranatural.
Para esensialis juga percaya bahwa proses belajar adalah proses penyesuaian diri
individu dengan lingkungan dalam pola stimulus dan respon. Dalam hal ini guru alah sebagai
agen untuk memperkuat pembentukan kebiasaaan dalam rangka penyesuain dengan
lingkungan tersebut. Mereka yakin bahwa belajar mesti menekankan pada disiplin kerja keras
yang ketat. Dan juga yakin bahwa inisiatif pendidikan sepenuhnya tergantung pada guru,
bukan pada peserta didik. Oleh karena itu, guru harus mengambil peranan yang paling besar
untuk mengatur dan mengarah kan perserta didik kearah kedewasaaan.

Para esensial juga sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh progresivme bahwa
belajar tidak akan sukses tanpa didasarkan dengan berbagai kapasitas, inters dan tujuan
subjek belajar. Namun aliran ini juga yakin bahwa kesemuanya itu mesti melalui kemampuan
dan ketrampilan mengajar guru. Karena guru yang berkualitas dapat melahirkan peserta didik
yang berkualitas pula.
2.4 Rekonstrusionisme
2.4.1 Rekontruksionisme Dalam Pengertian Dan Sejarah
Kata rekontruksionisme berasal dari bahasa inggris yang berarti menyusun kembali. Aliran
ini sebagai aliran pendidikan sejak awal sejarahnya di tahun 1920 dengan lahirnya sebuah
karya John Dewey yang berjudul Recontruction in Philosophy yang kemudian di gerakkan
nyata oleh George counts dan Harold Rugg di tahun 1930, selalu menjadikan lembaga
pendidikan sebagai rekontruksi masyarakat.
Aliran ini prinsipnya sependapat dengan perenialisme dalam mengungkapkan krisis
kebudayaan modern. Menurut Syam kedua aliran tersebut memandang bahwa keadaan
sekarang merupakan zaman yang kebudayaan nya terganggu oleh kehancuran, kebingungan
dan kesimpangsiuran. Bila aliran perenialisme memilih cara dengan jalan pemecahan
masalah dengan kembali kepada budaya abad pertengahan, maka rekontruksionalime
berupaya membina suatu consensus yang paling luas dan paling mungkin dengan tujuan
pertama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.
Tujuan utama dan tertinggi hanya melalui kerja sama semua bangsa. Penganut aliran
ini percaya telah tumbuh keinginan yang sama dari bangsa-bangsa yang tersimpul dalam ide
rekontruksiolisme. Rekontruksiolisme di barat bercita-cita melaksanakan dan mewujudkan
perpaduan antara ajaran agama dan demokrasi modern dengan teknologi modern dan seni
modern dalam suatu kebudayaan yang di bina bersama oleh seluruh kedaulatan bangsabangsa dunia. Rekontruksionalisme mencita-citakan terwujudya suatu dunia baru dari satu
kedaulatan dunia dalam mengontrol umat manusia.
Muhammad Iqbal(1938) dalam hal ini mengungkapkan, bahwa perubahan mendasar
dalam pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang meliputi kesuluran system pendidikan
guna untuk membentuk pandangan baru yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Menciptakan
masyarakat baru melalui rekontruksi pendidikan merupan suatu keharusan.
2.4.2 Landasan Filosofis Rekontruksionisme
Aliran ini memandang bahwa realitas itu bersifat universal, realitas itu ada dimana saja.
Untuk memahami suatu realitas di mulai dari suatu yang konkret menuju arah yang khusus
untuk menampakkan diri dalam perwujudan sebagaimana yang kita lihat di hadapan kita dan
di tangkap oleh panca indra manusia. Prinsipnya aliran ini memandang alam metafisika
dalam bentuk dualisme dimana alam nyata ini mengandung dua hakikat jasmani dan rohani.
Kedua macam hakikat ini memiliki cirri yang bebas dan berdiri sendiri azali dan abadi,
hubungan keduanya merupakan kehidupan alam.

Muhammad iqbal sebagai tokoh rekontruksionalisme dari dunia islam mengatakan


bahwa hakikat manusia adalah seganap kekuatan diri yang akan menentukan siapa ia. Apabila
ego seseorang dapat berkembang dengan baik maka eksistensi nya dalam masyarakat dan
dunia pun akan di akui. Oleh karena itu Iqbal berpendapat bahwa untuk membangun kembali
umat islam yaitu perlu penataan dan membangun kembali system baru dengan mengembang
kan potensi diri dan akal manusia . dia juga percaya bahwa gagasa tidak akan memberikan
pengaruh bagi gerak maju manusia. Suatu gagasan memerlukan penjabaran dalam kehidupan
berupa tindakan yang nyata.
Hal ini sama seperti yang di ungkapka John dewey yaitu bahwa idea tau gagasan
mesti lah sesuatu yang dapat di terapkan dalam bentuk tindakan yang berguna bagi
pemecahan berbagai problema yang muncul dalam masyarakat. Aliran ini juga berpendapat
bahwa dasar suatu kebenaran dapat di buktikan dengan self-evidence, yakni bukti yang ada
pada dirinya sendiri, realitas dan eksistensinya.
Ajaran yang di jadikan pedoman berasal dari Aristoteles yang membicarakan dua hal
pokok, yakni pikiran atau rasio dan bukti atau evidence dengan jalan pemikiran yang
silogisme. Silogisme menunjukkan hubungan yang logis antara premis mayor, premis minor
dan kesimpulan dengan cara mengambil kesimpulan yang deduktif dan induktif.
Aliran rekontruksionisme memandang nilai berdasarkan pada supranatural yang
bersifat universal yang berdasarkan pada nilai-nilai teologis. Karena di pimpin oleh tuhan,
maka peninjauan tentang kebaikan dakeburukan pun dapat di lakukan dan di ketahuinya.
Aristoteles dalam hal ini membedakan kebaikan kepada dua macam yaitu kebaikan moral dan
kebaikan intelektual. Kebaikan moral di peroleh dari pembiasaan dan merupakan dasar dari
kebaikan intelektual.
2.4.3 Pandangan Rekontruksionisme Tentang Pendidikan
Aliran ini yakin bahwa pendidikan tidak lain adalah tanggung jawab social. Hal ini
mengingatk eksistensi pendidikan dalam keseluruhan realitasnya di arahkan untuk
pengembangan atau perubahan masyarakat. Para rekontriksionisme menginginkan, bahwa
pendidikan dapat memunculkan kesadaran para peserta didik untik senantia memperhatikan
pesoalan social., ekonomi dan politik. Tujuan aliran ini tidak lain adalah jawaban atas
keinginan untuk membangun masyarakaat baru, yakni suatu masyarakat global yang
memiliki hubungan interdependensi.
Muhammad Iqbal menyebutkan, bahwa tujuan pendidikan adalah mampu
membangun dunia bagi masyarakat dengan menggunakan kemampuan akal, indra dan intuisi.
Oleh Karena itu tiga aspek hars di tuangkan dalam pendidikan. John Dewey mengatakan
bahwa pengembangan sifat manusia selalu berinteraksi dengan kondisi yang mengelilinginya
dalam menghasilkan kebudayaan. Oleh karena itu manusia selalu beradaptasi dengan
lingkungan masyarakatnya.
Aliran ini percaya bahwa pendidikan sebagai suatu lembaga masyarakat tentulah
diarahkan pada upaya rekayasa social, sehingga segala sesuatu aktivitasnya pun senantiasa

merupakan solusi bagi berbagai problema dalam masyarakat. Oleh karena itu, lebaga
pendidikan harus memiliki komitmen untuk menciptkan masyarakat yang sarat dengan nilai
niai budaya dan social ekonomi akan membentuk harmonisasi dalam suatu kehidupan.
Guru dalam aliran ini bertugas meyakin kan peserta didiknya tentang urgensi
rekontruksi dalam menunjukkan kehidupan social kemasyarakatan dan membiasakan mereka
untuk sensitive terhadap berbagai problem yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
serta mencari solusi yang di perlukan menuju perbaikan dan perubahan-peruubahan .
Kinsley Pric dalam hal ini menggarisbawahi bahwa hal hal yang mendasar dalam
aliran ini tercermin dalam pemilihan corak aktifitas pembelajaran sebagai berikut.

Segala sesuatu yang bercorak oktokrasi mesti di hindari, sehingga yang belajar
terhindar dari unsur pemaksaan
Guru mesti dapat meyakinkan peserta didik akan kemampunnya dalam memcahkan
masalah, sehingga masalh yang ada dalam subjek matters dapat di atasi.
Untuk menumbuh kembangkan keingingan peserta didik, seorang guru mesti mampu
mengenali peserta didik secara individu
Seorang guru mesti dapat menciptakan kondisi kelas sedemikian rupa sehingga
interaksi guru dengan peserta didik dan semua yang hadir dalam suatu ruangan kelas
dapat berkomunikasi dengan baik, tanpa ada yang menunjukkan sikap otoriter.

2.5 Eksistensialisme
2.5.1 Eksistensialisme dalam Pengertian dan Sejarah
Istilah eksistensialisme dikemukakan oleh ahli filsafat Jerman Martin Heidegger
(1889-1976). Eksistensialisme adalah merupakan filsafat dan akar metodologinya berasal dari
metoda

fenomologi

yang

dikembangkan

oleh

Hussel

(1859-1938).

Munculnya

eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Kieggard dan Nietzche. Kiergaard Filsafat Jerman
(1813-1855) filsafatnya untuk menjawab pertanyaan Bagaimanakah aku menjadi seorang
individu). Hal ini terjadi karena pada saat itu terjadi krisis eksistensial (manusia melupakan
individualitasnya). Kiergaard menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia (aku)
bisa menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi
dalam kehidupan. Nitzsche (1844-1900) filsuf jerman tujuan filsafatnya adalah untuk
menjawab pertanyaan bagaimana caranya menjadi manusia unggul. Jawabannya manusia
bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan
berani.
Eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus mendeskripsikan eksistensi
dan pengalaman manusia dengan metedologi fenomenologi, atau cara manusia berada.
Eksistensialisme adalah suatu reaksi terhadap materialisme dan idealisme. Pendapat

materialisme bahwa manusia adalah benda dunia, manusia itu adalah materi , manusia adalah
sesuatu yang ada tanpa menjadi Subjek. Pandangan manusia menurut idealisme adalah
manusia hanya sebagai subjek atau hanya sebagai suatu kesadaran. Eksistensialisme
berkayakinan bahwa paparan manusia harus berpangkalkan eksistensi, sehingga aliran
eksistensialisme penuh dengan lukisan-lukisan yang kongkrit.
Eksistensi oleh kaum eksistensialis disebut Eks berarti keluar, sintesi berarti berdiri.
Jadi ektensi berarti berdiri sebagai diri sendiri.

2.5.2 Landasan Filosofisme Eksistensialisme


Menurut penjelasan di atas eksistensialisme adalah paham yang berkaitan tentang
individu atau diri pribadi seseorang, untuk eksis/bisa menjadi seorang manusia. Gerakan
eksistensialis dalam pendidikan berangkat dari aliran filsafat yang menamakan dirinya
eksistensialisme, yang para tokohnya antara lain Kierkegaard (1813 1915), Nietzsche (1811
1900) dan Jean Paul Sartre. Inti ajaran ini adalah respek terhadap individu yang unik pada
setiap orang. Eksistensi mendahului esensi. Kita lahir dan eksis lalu menentukan dengan
bebas esensi kita masing-masing. Setiap individu menentukan untuk dirinya sendiri apa itu
yang benar, salah, indah dan jelek. Tidak ada bentuk universal, setiap orang memiliki
keinginan untuk bebas (free will) dan berkembang. Pendidikan seyogyanya menekankan
refleksi yang mendalam terhadap komitmen dan pilihan sendiri.
Manusia adalah pencipta esensi dirinya. Dalam kelas guru berperan sebagai fasilitator
untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya dengan membiarkan berbagai bentuk
pajanan (exposure) dan jalan untuk dilalui. Karena perasaan tidak terlepas dari nalar, maka
kaum eksistensialis menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk manusia secara utuh,
bukan hanya sebagai pembangunan nalar. Sejalan dengan tujuan itu, kurikulum menjadi
fleksibel dengan menyajikan sejumlah pilihan untuk dipilih siswa. Kelas mesti kaya dengan
materi ajar yang memungkinkan siswa melakukan ekspresi diri, antara lain dalam bentuk
karya sastra film, dan drama. Semua itu merupakan alat untuk memungkinkan siswa
berfilsafat ihwal makna dari pengalaman hidup, cinta dan kematian.
Eksistensialisme biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi dari sebagian terbesar
reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat perang dunia kedua. Dengan
demikian Eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakan aliran filsafat yang bertujuan

mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki
dan dihadapinya.
Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme berbeda dengan filsafat eksistensi. Paham
Eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia pada dirinya sendiri, sedangkan
filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagai arti katanya, yaitu: filsafat yang menempatkan
cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Secara singkat Kierkegaard memberikan pengertian eksistensialisme adalah suatu
penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah. Eksistensialisme
menolak segala bentuk kemutkan rasional. Dengan demikian aliran ini hendak memadukan
hidup yang dimiliki dengan pengalaman, dan situasi sejarah yang ia alami, dan tidak mau
terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak serta spekulatif. Baginya, segala sesuatu dimulai
dari pengalaman pribadi, keyakinan yang tumbuh dari dirinya dan kemampuan serta keluasan
jalan untuk mencapai keyakinan hidupnya.
Atas dasar pandangannya itu, sikap di kalangan kaum Eksistensialisme atau penganut
aliran ini seringkali nampak aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan untuk
freedom to adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya.
Pandangannya tentang pendidikan, disimpulkan oleh Van Cleve Morris dalam
Existentialism and Education, bahwa Eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturanaturan pendidikan dalam segala bentuk. Oleh sebab itu Eksistensialisme dalam hal ini
menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang. Namun bagaimana
konsep pendidikan eksistensialisme yang diajukan oleh Morris sebagai Eksistensialismes
concept of freedom in education, menurut Bruce F. Baker, tidak memberikan kejelasan.
Barangkali Ivan Illich dengan Deschooling Society, yang banyak mengundang reaksi di
kalangan ahli pendidikan, merupakan salah satu model pendidikan yang dikehendaki aliran
Eksistensialisme tidak banyak dibicarakan dalam filsafat pendidikan.

2.5.3 Pandangan Eksistensialisme tentang Pendidikan


Secara relatif, eksistensialisme tidak begitu dikenal dalam dunia pendidikan, tidak
menampakkan pengaruh yang besar pada sekolah. Sebaliknya, penganut eksistensialisme
kebingungan dengan apa yang akan mereka temukan melalui pembangunan pendidikan.
Mereka menilai bahwa tidak ada yang disebut pendidikan, tetapi bentuk propaganda untuk
memikat orang lain. Mereka juga menunjukkan bahwa bagaimana pendidikan memunculkan
bahaya yang nyata, sejak penyiapan murid sebagai konsumen atau menjadikan mereka

penggerak mesin pada teknologi industri dan birokrasi modern. Malahan sebaliknya
pendidikan tidak membantu membentuk kepribadian dan kreativitas, sehingga para
eksistensialis mengatakan sebagian besar sekolah melemahkan dan mengganggu atributatribut esensi kemanusiaan. Mereka mengkritik kecenderungan masyarakat masa kini dan
praktik pendidikan bahwa ada pembatasan realisasi diri karena ada tekanan sosio-ekonomi
yang membuat persekolahan hanya menjadi pembelajaran peran tertentu. Sekolah
menentukan peran untuk kesuksesan ekonomi seperti memperoleh pekerjaan dengan gaji
yang tinggi dan menaiki tangga menuju ke kalangan ekonomi kelas atas; sekolah juga
menentukan tujuan untuk menjadi warga negara yang baik, juga menentukan apa yang
menjadi kesuksesan sosial di masyarakat. Siswa diharapkan untuk belajar peran-peran ini dan
berperan dengan baik pula. Dalam keadaan yang demikian, kesempatan bagi pilihan untuk
merealisasikan diri secara asli

dan autentik menjadi hilang atau sangat berkurang.

Keautentikan menjadi begitu beresiko karena tidak dapat membawa pada kesuksesan
sebagaimana didefinisikan oleh orang lain Di antara kecenderungan masa kini yang begitu
menyebar cepat tetapi sangat sulit dipisahkan adalah mengikisnya kemungkinan keautentikan
manusia karena adanya tirani dari yang rata-rata (tyranny of the average). Tirani dari aturan
yang diktatorial dan otoriter, rejim dan institusi adalah bentuk nyata dari penindasan dan
paksaan. Tirani dari yang rata-rata tampak seolah demokratis tetapi dalam kenyataannya
adalah gejala penyakit pikiran massa dan pilihan-pilihan nilainya. Dalam masyarakat yang
berorientasi konsumsi, produk barang dan jasa dibuat dan dipasarkan untuk membentuk
kelompok konsumen terbesar. Media massa, seni dan hiburan juga dirancang sebagai produk
yang akan menarik lebih banyak audiens. Agen-agen ini yang disebut sebagai agen
pendidikan informal merefleksikan dan menciptakan selera populer. Dalam masayarakat yang
seperti ini, penyimpangan dari yang rata-rata atau kebanyakan orang tidak akan diterima baik.
Keunikan menjadi begitu mahal sehingga hanya dapat dinikmati oleh orang-orang istimewa,
yaitu kaum elit, atau oleh orang-orang yang tidak populer disebut masyarakat marjinal
(Gutek, 1988:123-124).
Secara filosofis, hal tersebut merupakan pemberontakan terhadap cara hidup individu
dalam budaya populer. Harapan kaum eksistensialis, individu menjadi pusat dari upaya
pendidikan. Maka, sebagaimana dikatakan oleh Van Cleve Morris bahwa penganut
eksestensialis dalam pendidikan lebih fokus untuk membantu secara individual dalam
merealisasikan diri secara penuh melalui bebera pernyataan berikut:

a. Saya sebagai wakil dari kehendak, tidak sanggup menghindar dari kehendak hidup
yang telah ada;
b. Saya sebagai wakil yang bebas, bebas mutlak dalam menentukan tujuan hidup;
c. Saya wakil yang bertanggungjawab, pribadi yang terukur untuk memilih secara bebas
yang tampak pada cara saya menjalani hidup.
Tata cara para guru eksistensialis tidak ditemukan pada tata cara guru tradisional.
Guru-guru eksistensialis tidak pernah terpusat pada pengalihan pengetahuan kognitif dan
dengan berbagai pertanyaan. Ia akan lebih cenderung membantu siswa-siswa untuk
mengembangkan kemungkinan-kemungkinan pertanyaan.
Guru akan fokus pada keunikan indiviadu di antara sesama siswa. Ia akan
menunjukkan tidak ada dua individu yang benar-benar sama di antara mereka yaang sama
satu sama lain, karena itu tidak ada kebutuhan yang sama dalam pendidikan. Penganut
eksistensialis akan mencari hubungan setiap murid sebagaimana yang disebutkan sebagai
acuan hubungan Buber dalam I-Thou dan I-It. Hal itu berarti, ia akan memperlakukan siswa
secara individual di mana ia dapat mengidentifikasi dirinya secara personal.
Para guru eksistensialis berusaha keras memperjelas pernyataan Rogers tentang
fasilitator. Dalam aturan ini guru memperhatikan emosi dan hal-hal yang tidak masuk akal
pada setiap invidu, dan berupaya untuk memandu siswanya untuk lebih memahami diri
mereka sendiri. Ia dan anak-anak muda yang bersamanya akan memunculkan pertanyaanpertanyaan tentang hidup, kematian, dan makna yang mereka tampilkan dalam berbagai
pengalaman kemanusiaan dengan beberapa sudut pandang. Melalui berbagai pengalaman ini,
guru-guru dan siswa akan belajar dan bertukar informasi tentang penemuan jati diri dan
bagaimana realisasinya dalam kehidupan dunia antar-sesama dan sebagai individu.
Kurikulum pada sekolah eksistensialis sangat terbuka terhadap perubahan karena ada
dinamika dalam konsep kebenaran, penerapan, dan perubahan-perubahannya. Melalui
perspektif tersebut, siswa harus memilih mata pelajaran yang terbaik. Tetapi, hal ini tidak
berarti bahwa mata pelajaran dan pendekatan kurikuler pada filsafat tradisional tidak diberi
tempat.
Kaum eksistensialis membuat kesepakatan umum bahwa fundamen pendidikan
tradisional adalah Reading, Writing, Aritmathics (Three Rs), ilmu alam, dan pengetahuan
sosial. Ini semua sebagai dasar atau

fondasi usaha kreatif dan kemampuan manusia

memahami dirinya sendiri. Namun mata pelajaran dasar ini seharusnya disajikan dengan

menghubungkannya secara lebih banyak lsgi pada perkembangan afektif siswa. Mereka tidak
menganjurkan pemisahan mata pelajaran dengan makna dan maksud individual sebagaimana
yang terjadi dalam pendidikan tradisional.
Ilmu humaniora juga tampak lebih luas dalam kurikulum eksistensialis, karena
mereka memberi banyak pemahaman dalam dilema-dilema utama eksistensi manusia.
Humaniora mengembangkan tema-tema di seputar penentuan pilihan manusia dalam dalam
hal seks, cinta, benci, kematian, penyakit, dan berbagai aspek kehidupan yang bermakna
lainnya. Mereka menyampaikan pandangan tentang manusia secara menyeluruh, baik dari
perspektif positif maupun negatif, dan oleh karena itu ilmu mampu menolong manusia
memahami dirinya sendiri. Di luar ilmu dasar dan humaniora, kurikulum eksistensialis
terbuka untuk lainnya. Beberapa mata pelajaran yang bermakna bagi individu disepakati
untuk diajarkan.
Bagi kaum eksistensialis, metodologi memiliki sejumlah kemungkinan yang tidak
terbatas. Mereka menolak penyeragaman mata pelajaran, kurikulum dan pengajaran, dan
menyampaikan bahwa itu semua sebagai pilihan-pilihan terbuka bagi siswa yang memiliki
hasrat untuk belajar. Pilihan-pilihan ini tidak harus dibatasi pada sekolah tradisional, tetapi
mungkin ditemukan pada berbagai tipe sekolah alternatif, atau dalam praktek bisnis,
pemerintahan, dan usaha-usaha perseorangan. Ivan Illich meletakkan empat saran untuk
variasi pendidikan dalam masyarakat tanpa sekolah yang dihargai oleh sebagian besar kaum
eksistensialis.
Kriteria metodologi kaum eksistensialis berpusat seputar konsep tanpa kekerasan dan
metode-metode itu yang akan membantu siswa menemukan dan menjadi dirinya sendiri.
Mungkin tipe ideal metodologi kaum eksistensialis dapat dilihat sebagaimana pendekatan
yang dilakukan oleh Carl Rogers kebebasan belajar (1969) dan A.S. Neills di Sumerhill:
sebuah pendekatan radikal dalam pembelajaran anak (1960).
Kaum eksistensialis secara umum tidak menaruh perhatian khusus terhadap kebijakan
sosial pendidikan atau sekolah. Filsafat mereka bertumpu pada
daripada aspek-aspek sosial eksistensi manusia (Knight, 1982:76-77).

kebebasan individual

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala
sesuatunya secara mendalam dan sungguh-sungguh, serta radikal sehingga mencapai hakikat
segala situasi tersebut. Dalam rangka perwujudan pendidikan yang baik
berperan penting dalam

maka filsafat

penciptaan-penciptaan kondisi kondisi yang benar-benar

mendukung bagi pelaksanaan suatu kegiatan kependidikan.


Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara
Lahirnya aliran-aliran dalam filsafat pendidikan pun selalu didasarkan atas keinginan
menciptakan manusia-manusia ideal melalui jalur pendidikan. Aliran-aliran di dalam filsafat
pendidikan

di

antaranya

adalah

progresivisme,

perenialisme,

essensialisme,

rekonstruksionisme dan eksistensialisme.

3.2 Saran
Sebagai calon guru sudah sepantasnya kita memilih filsafat yang baik untuk kita
terapkan dan aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari supaya kita menjadi insan yang
memahami akan makna kehidupan dunia ini dan supaya bisa menjadi uswatun khasanah (suri
tauladan) bagi peserta didik kita.

DAFTAR PUSTAKA

Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan. Refika Aditama, Bandung, 2013.


Makalah Filsafat Pendidikan Kelompok 9 (Aliran-aliran Filsafat Pendidikan)
Pba09's Blog.htm
Achmad Dardiri. Aspek-aspek Filsafat dan Kaitannya Dengan Pendidikan.Majalah
Ilmiah Fondasi Pendidikan, Volume 1.
http://wahyu09110241008.blogspot.com/2012/03/makalah-aliran-filsafat.html
Knight, George. R, 1982. Issues and Alternatives in Educational Philosophy.
Michigan: Andrews University Press.
Rukiyati. Pemikiran Pendidikan Menurut Eksistensialisme. Fondasia, Nomor
9/Vol. I/Th.VII/Maret 2009

Anda mungkin juga menyukai