Anda di halaman 1dari 19

TUGAS

FILSAFAT BEHAVIORISME DAN KOGNITIFISME SERTA IMPLIKASI


DALAM PEMBELAJARAN FISIKA

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Filsafat dan Didaktik Fisika yang dibimbing oleh Ibu Dr. Lia Yuliati, M.Pd.

OLEH KELOMPOK 6:
Leddy Avista Lestari (180321864533)
Nurul Mutowi’ah (180321864516)
Kelas C

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
November2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Filsafat pendidikan merupakan hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam
sampai ke akar-akarnya mengenal pendidikan. Para filsuf melalui karya filsafat
pendidikannya, berusaha menggali ide-ide baru tentang pendidikan, yang menurut
pendapatnya lebih tepat ditinjau dari kewajaran keberadaan peserta didik dan pendidik
maupun ditinjau dari latar geografis, sosiologis, dan budaya suatu bangsa. Dari sudut
pandang keberadaan manusia akan menimbulkan aliran idealis, realis, empirisme,
prgamatisme, progresivisme, essentialisme, perenialisme, rekonstruktionisme,
existensialisme, behaviorisme, kognitifisme, dan konstruktivisme.
Berbagai aliran filsafat pendidikan tersebut di atas, memberi dampak terciptanya
konsep-konsep atau teori-teori pendidikan yang beragam. Masing-masing konsep akan
mendukung masing-masing filsafat pendidikan itu. Dalam membangun teori-teori
pendidikan, filsafat pendidikan juga mengingatkan agar teori-teori itu diwujudkan di atas
kebenaran berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan. Dengan kata lain, teori-teori pendidikan
harus disusun berdasarkan hasil-hasil penelitian ilmiah. Dalam makalah ini akan dibahas
mengenai aliran behaviorisme dankognitifisme serta implikasinya dalam pendidikan.

B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud aliran behaviorisme dan kognitivisme ditinjau dari ontologi,
epistemologi, dan aksiologi?
2. Bagaimanakah implikasi aliran behaviorisme dan kognitivisme dalam dunia pendidikan?

C. TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka makalah ini
ditulis dengan tujuan:
1. Mengetahui pengertian aliran behaviorisme dan kognitivisme ditinjau dari ontologi,
epistemologi, dan aksiologi.
2. Mengetahui implikasi aliran behaviorisme dan kognitivisme dalam dunia pendidikan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. BEHAVIOURISM
1. Pengertian dan Sejarah Aliran Behaviorisme
Behaviorisme didasarkan pada prinsip bahwa perilaku manusia yang diinginkan
merupakan produk desain bukannya kebetulan. Menurut kaum behavioristik, merupakan
suatu ilusi yang mengatakan bahwa manusia memiliki suatu keinginan yang bebas. Sekalipun
kita mungkin berttindak seakan-akan kita bebas, perilaku kita benar-benar ditentukan oleh
tekanan-tekanan lingkungan yang membentuk perilaku kita. Menurut Power (1982:168), “
Kita adalah kita apa adanya dan kita melakukan apa yang kita lakukan, tidak karena suatu
kekuatan misterius terhadap kemauan manusia, namun karena tekanan-tekanan luar atas
kurangnya kesamaan kontrol yang membuat kita terperangkap dalam suatu jaring yang tidak
fleksibel. Apapun kita adanya, kita tidak dapat menjadi kapten dari nasib kita atau peguasaan-
penguasaan jiwa kita”.
John B. Watson (1878-1958) adalah perintis psikollogi behavorisme yang utama dan
B. F. Skinner (1904-1990) adalah promotor terkenalya. Watson terlebih dahulu mengklaim
bahwa perilaku manusia terdiri dari stimuli spesifik yang muncul dalam respon-respon
tertentu. Sebagian, dia mendasarkan pada konseepsi barunya terhadap pembelajaran pada
pengalaman klasik yang dilaksanakan oleh psikolog Rusia Ivan Pavlov (1984-1936). Pavlov
telah memperlibatkan bahwa seekor anjing yang dia teliti megeluarkan air liur ketika anjing
itu diberi makanan. Dengan memperkenalkan bunyi bell ketika makanan diberikan dan
mengulangi hal ini selama beberapa kali. Pavlov menemukan bahwa suara bell saja (suatu
stimulus yang terkondisikan) dapat membuat anjing mengeluarkan air liur (suatu respon
terkondisikan). Watson sangat yakin bahwa semua pembelajaran sesuai dengan stimulus-
respon dasar seehingga dia pernah sesumbar “ Beri saya selusin bayi yang sehat,
berperawatan baik dan dunia yang ditentukan oleh saya sendiri untuk membentukmereka, dan
saya menjamin untuk mengambil salah satunya secara acak dan melatih dia untuk menjadi
semacam spesialis yang saya pilih: dokter, pengacara, kepala pemasaran, dan bahkan
pengemis dan pencuri, terlepas dari bakat, kegemaran, kecenderungan, kemampuan,
pekerjaan/keterampilan khusus, dan ras dari pendahulunya.”
Skinner berjalan di luarr model dasar Watson dan mengembangkan suatu pandagan
yang lebih komprehensif terhadap pengkondisian yang ditentukan sebagai operant
conditioning. Operant conditioningdidasarkan gagasan bahwa respon-respon yang

3
memuaskan itu dikondisikan. Dengan kata lain, “hal-hal yang kita katakan menyenangkan
memiliki efek yang memberi kekuatan atau memperkuat perilaku kita”, demikian Skinner
(Parkay. Et.al, 1998). Bagi guru, ini berarti bahwa perilaku siswa yang diinginkan harus
diperkuat, perilaku yang tidak diinginkan tidak boleh diperkuat. Juga, guru harus
berhubungan dengan perubahan perilaku siswa bukannya berusaha mengubah keadaan
mental mereka.
Di dalam novelnya Walden Two (1962), Skinner (Parkay. Et.al, 1998)
menggambarkan bagaimana “perekayasaan perilaku” dapat mengarahkan pada penciptaan
masyarakat utopian. Buku tersebut menggambarkan bagaimana suatu masyarakat dengan
tatanan sosial yang diinginkan itu diciptakan dengan desain bukannya dengan kebetulan.
Dalam cara yang sama, para ahli pendidikan dapat menciptakan pembelajar yang
memperlihatkan perilaku-perilaku yang diharapkan dengan mengontrol proses edukatif
secara hati-hati dan ilmiah. Guru hanyalah perlu mengetahui bahwa semua pembelajaran
adalah pengkondisian dan mengikuti empat langkah berikut ini:
a. Mengidentifikasi perilaku yang diharapkan dalam bentuk yang kongkrit (dapat diamati
dan diukur).
b. Membangun suatu prosedur untuk mencatat perilaku-perilaku spesifik dan menghitung
frekuensi perilakunya.
c. Untuk masing-masing perilaku, identifikasi suatu pemerkuat (reinforcer) yang tepat.
d. Pastikan bahwa para siswa menerima reinforcer sesegera mungkin setelah menunjukkan
suatu perilaku yang diharapkan.
Aliran behaviorisme mengabaikan faktor-faktor kehidupan intrapsikis, yang berarti
bahwa pendidikan pun tidak berorientasi pada tujuan-tujuan yang bersumber dari diri siswa.
Tujuan pendidikan bersifat eksternal, artinya ditentukan dan dirumuskan oleh lingkungan.
Siswa dianggap tidak perlu melakukan pengendalian belajar sendiri (Kartadinata, dalam
Dasar-dasar kependidikan, 1987:80)

2. Behaviorisme dalam Perspektif Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis


a. Behaviorisme dalam Perspektif Ontologis
Behaviorisme sebagai aliran filsafat yang diterapkan dalam teori belajar mendasarkan
pada filsafat realisme, positivisme dan materialisme. Ketiga aliran filsafat tersebut sangat
kuat pengaruhnya dalam perkembangan behaviorisme. Dimana semua tokoh behavioris
memfokuskan proses belajar pada perilaku yang diakibatkan oleh stimulus melalui penguatan
maupun hukuman. Realitas bagi behavioristik tidak tergantung pada manusia yang

4
mengetahui (Knight, 2007). Setelah hukum-hukum tingah laku ini diungkap, maka akan
tersedia sebuah landasan bagi teknologi tingkah laku.
Dasar behaviorisme yang kedua adalah postivisme. Filsafat positivisme memberikan
landasan metodologis bagi behaviorisme tentang verifikasi empiris. Proses ilmiah dalam
perubahan tingkah laku menjadi basis penelitian kelompok behavioristik.
Akar historis ketiga dari behaviorisme adalah materialisme. Materialisme pada intinya
adalah teori yang menegaskan bahwa realitas kiranya dapat dijelaskan dengan hukum-hukum
materi (benda) dan gerak. Dimana tokoh-tokoh behaviorisme berpendapat bahwa psikologi
harus berhenti mengkaji apa yang dipikirkan dan dirasakan manusia, dan mulai mengkaji apa
yang dilakukan manusia. Disinilah materialisme menjadi dasar dalam analisis-analisis
behaviorisme dalam penerapannya.
Maka behaviorisme secara ontologis memandang sebuah realitas adalah hal yang
dapat diindera, logis dan berdasarkan hukum-hukum materi. Behaviorisme harus memandang
manusia dari sisi yang hidup dan dinamis, dapat dibuktikan secara empiris dan harus
berwujud materi. Sehingga bagi behaviorisme perilaku manusia sebagai pusat kajian adalah
hal yang dapat diindera dapat dibuktikan secara saintifik dengan berbasis hukum-hukum
alam.

b. Behaviorisme dalam Perspektif Epistemologis


Epistemologi memberitahu bagaimana sebuah ilmu atau pengetahuan diperoleh
sehingga melahirkan tentang sebuah kebenaran. Behaviorisme sebagai aliran filsafat
psikologi memandang manusia dari aspek perilaku yang menganut anggapan-anggapan
pokok sains. Sehingga kebenaran dalam filsafat behaviorisme mengikuti cara sains diperoleh
yang sering kita kenal dengan pendekatan ilmiah (saintific approach). Hampir seluruh tokoh
behaviorisme menguji teorinya seperti percobaan pada sains. Dengan melihat dan menguji
perilaku pada percobaan binatang (tikus, anjing, dll) dengan memberikan perlakuan yang
berbeda-beda. Bagi behaviorisme semua perilaku yang akan diamati akibat adanya stimulus
baik melalui pengkondisian tertentu harus dapat diuji melalui percobaan.

c. Behaviorisme dalam Persopektif Aksiologis


Aksiologi melahirkan sistem tata nilai (system of value). Perilaku secara utuh
dijadikan penilaian personal dalam keterlibatan lingkungan. Seseorang dinilai pribadinya
berdasarkan kelakuan yang ia realisasikan dalam lingkungan sosialnya. Behaviorisme yang
menjadikan perilaku sebagai fokus kajian dengan pemberian stimulus sehingga didapatkan

5
respon yang ditampilkan oleh setiap individu. Pengaruh lingkungan baik internal maupun
eksternal dan hubungan antar stimulus melalui pengutan positif dan negatif akan
menghasilkan sebuah kondisi atau perilaku yang bisa diamati. Sehingga behaviorisme
membentuk sistem tata nilai mekanistis. Penghargaan dan hukuman adalah salah satu produk
dari sistem tata nilai filsafat behaviorisme.
Dengan cara pandang yang empiris mekanistis, behaviorisme sangat bisa
dipertanggungjawabkan dan dibuktikan secara ilmiah baik secara langsung maupun tidak
langsung. Sehingga secara aksiologis, behaviorisme mempunyai nilai manfaat bagi dunia
pendidikan dengan ide sentralnya bahwa perilaku (hasil belajar) harus dikondisikan melalui
stimulus-stimulus tertentu baik internal dan eksternal sehingga terbentuk respon yang
diharapkan.

3. Implikasi Behaviorisme dalam Pendidikan


Peran lingkungan lebih penting dibanding peran proses kesadaran. Menurut filsafat
behaviorisme kegiatan belajar ditandai dengan adanya perubahan perilaku. Perubahan
perilaku yang dimaksud adalah perilaku yang sesuai dengannorma dan etika dimana
seseorang berada. Di samping itu perubahan perilaku yang dimaksud bersifat relatif
permanen dan diperoleh dengan kesadaran. Jika kita mengikuti pengertian seperti itu, maka
dapat dikatakan bahwa pekerjaan seseorang pendidik selalu terkait dengan kegiatan
perubahan perilaku (behavior modification). Implikasi aliran behaviorisme dalam pendidikan
dalam bentuk teori belajar behavioristik.

a. Tujuan pembelajaran
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedang belajar sebagai aktivitas "mimetic" yang menuntut siswa untuk
mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis,
atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada keterampilan yang terisolasi
atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti
urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku
teks/buku wajib dengan penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali isi buku
teks/buku wajib tersebut.

6
b. Model pembelajaran
Behaviorisme mempunyai nilai dasar tentang perilaku yang dihasilkan dari proses
stimulus yang diberikan sehingga individu memberikan respon berupa perilaku yang dapat
diukur dan dilakukan secara mekanistis. Sehingga dalam penerapan pembelajaran,
behaviorisme memandang siswa sebagai objek yang bisa dibentuk melalui pengkondisian
baik berupa penguatan, penghargaan dan hukuman. Pembiasaan terhadap pengkondisian
tersebut dapat meningkatkan perilaku yang diharapkan. Sehingga behaviorisme cenderung
mudah dilakukan karena dapat dilihat hasilnya secara langsung. Dengan menerapkan hukum-
hukum belajar dapat mengontrol individu-individu dalam pencapaian belajar.
Model pembelajaran yang sesuai dengan teori belajar behavioristik adalah direct
instructionatau pembelajaran langsung yang berpusat pada guru. Guru harus memiliki
ketrampilan dalam mengelola kelas untuk menciptakan suasana kelas yang nyaman agar
siswa mudah dalam memahami materi. Guru diharapkan mampu memberikan sebuah
stimulus yang sesuai dengan kondisi anak dan kondisi lingkungan yang ada saat ini.
Tujuan utama model direktif adalah memaksimalkan penggunaan waktu belajar siswa.
Beberapa temuan dalam teori perilaku dihubungkan dengan pencapaian siswa yang
dihubungkan dengan waktu yang digunakan oleh siswa dalam belajar/tugas dan kecepatan
siswa untuk berhasil dalam mengerjakan tugas. Dengan demikian, model pembelajaran
langsung dirancang untuk menciptakan lingkungan belajar terstruktur, dan berorientasi
akademik. Guru berperan sebagai penyampai informasi, dalam melakukan tugasnya, guru
dapat menggunakan berbagai media, misalnya film, tape recorder, gambar, peragaan, dan
sebagainya. Informasi yang dapat disampaikan dengan strategi direktif dapat berupa
pengetahuan prosedural, yaitu pengetahuan tentang bagaimana melaksanakan sesuatu atau
pengetahuan deklaratif, yaitu pengetahuan tentang sesuatu dapat berupa fakta, konsep,
prinsip, atau generalisasi. Dengan demikian pembelajaran langsung dapat didefinisikan
sebagai model pembelajaran dimana guru mentransformasikan informasi atau keterampilan
secara langsung kepada siswa dan pembelajaran berorientasi pada tujuan dan distrukturkan
oleh guru.

c. Sistem evaluasi behavioristik menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara


terpisah, dan biasanya menggunakan tes tertulis
Teori behavioristik menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut satu jawaban benar.

7
Maksudnya, bila siswa menjawab secara "benar" sesuai dengan keinginan guru, hal ini
menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi dipandang
sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah
selesai kegiatan pembelajaran (Smith,2010:195).
Kebijakan berkaitan dengan pandangan ini tentu saja masih sangat dekat dalam
kehidupan pendidikan kita, misalnya dengan adanya test tengah semester, test akhir semester,
bahkan sampai kebijakan Ujian Nasional. Semua instrumen dari penilaian ini selalu dalam
bentuk pilihan yang menunjuk pada satu jawaban yang paling benar walaupun ada pertanyaan
yang menuntut jawaban sikap. Lebih-lebih dalam Ujian Nasional yang sampai saat ini masih
banyak dipertanyakan tentang pelaksanaannya juga sangat kental dengan suasana
behaviorisme.

B. KOGNITIVISME
1. Pengertian dan Sejarah Aliran Kognitivisme
Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian, mengerti.
Pengertian secara luas yaitu cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan
pengetahuan (Neisser, 1976). Kognitif adalah proses yang terjadi secara internal di dalam
pusat susunan saraf pada waktu manusia sedang berpikir (Gagne dalam Jamaris, 2006).
Istilah kognisi digunakan oleh filsuf untuk mencari pemahaman terhadap cara manusia
berpikir. Karya Plato dan Aristoteles telah memuat topik tentang kognisi karena salah satu
tujuan filsafat adalah memahami segala gejala alam melalui pemahaman manusia itu sendiri.
Menurut Kathy L. Schuh dan Sasha A. Barab, kognitivisme adalah sebuah objektivis dan
perspektif rasionalis berkaitan dengan struktur kognitif individu. Kerangka kerja atau dasar
pemikiran dari kognitivisme adalah dasarnya rasional. Pengetahuan seseorang diperoleh
berdasarkan pemikiran.
Kognitivisme mengacu pada studi tentang pikiran dan bagaimana memperoleh,
memproses dan menyimpan informasi (Stavredes, 2011). Kognitivisme berusaha menjelaskan
dalam belajar bagaimana orang-orang berpikir, karena dalam belajar suatu proses lebih
penting dibanding dengan hasil belajar, sehingga belajar melibatkan proses berpikir yang
kompleks.
Abad ke 20 telah menjadi masa yang paling bergejolak dalam dunia psikologi. Abad
di mana disiplin bergulat dengan pertanyaan dasar tentang identitas intelektualnya, tetapi
tetap berhasil mencapai pertumbuhan dan pematangan yang menabjubkan. Hal inilah yang
kemudian menjadikan psikologi menjadi hal yang menarik perhatian filosofis dan kaya akan

8
perdebatan filosofis. Para filsuf berusaha untuk menemukan implikasi dari temuan psikologis
dan teori-teori untuk pertanyaan filosofis yang lebih luas seperti: Apakah manusia benar-
benar berahi yang rasional? Bagaimana sesuatu yang mudah dibentuk adalah sifat manusia?
Dan apakah kita memiliki pengetahuan bawaan atau ide bawaan? Satu fakta khusus yang
penting tentang filsafat psikologi di abad ke-20 adalah bahwa pada kuartal terakhir abad,
perbedaan antara psikologi dan filsafat psikologi mulai ditiadakan seperti filsuf memainkan
peran yang semakin aktif dalam mengartikulasikan dan menguji teori empiris tentang pikiran
dan psikolog menjadi semakin tertarik dengan dasar-dasar filosofis dan implikasi dari
pekerjaan mereka.
Kognitivisme, muncul dengan revolusi kognitif selama tahun 1950-an, yang
menekankan fokus baru pada pikiran. Seperti yang dikemukakan oleh Bruner, “revolusi
dimaksudkan untuk membawa “pikiran” kembali ke ilmu-ilmu manusia setelah masa yang
panjang dari objektivisme.” Mereka tidak melakukan ‘reformasi’ behaviorisme, tetapi untuk
menggantinya. Teori ini merupakan tanggapan terhadap behaviorisme. Dikatakan bahwa
tidak semua belajar terjadi melalui pembentukan dan perubahan perilaku. Dalam teori ini,
siswa adalah peserta aktif dalam pembelajaran mereka dan fungsi pikiran seperti prosesor
komputer. Informasi datang sebagai masukan, pikiran memproses informasi untuk saat ini,
dan informasi yang disimpan akan diambil nanti (Learning Theories, 2011b ). Belajar
dibentuk oleh strategi yang diperoleh pembelajaran dan pengetahuan dan sikap yang disebut
skema.
Mungkin tidak ada tokoh yang lebih erat terkait dengan kejatuhan psikologis
behaviorisme dari Noam Chomsky. Dalam serangkaian karya yang berpengaruh , termasuk
1.965 nya Aspek klasik Teori Sintaksis, Chomsky memulai pendekatan pergantian ke studi
bahasa yang menyimpang dari strategi psikologis behaviorisme dalam dua hal penting.
Pertama, sementara behavioris berusaha menjelaskan akuisisi semua pola perilaku dengan
cara mekanisme pembelajaran hanya beberapa domain umum, Chomsky berpendapat bahwa
banyak jenis perilaku atau kapasitas perilaku yang penting adalah bawaan. Chomsky
menekan klaim ini bahkan di behavioris penjelasan yang relatif perilaku sederhana pada
hewan yang lebih rendah. Misalnya dalam kritik yang mungkin berkembang di masa depan
dari Perilaku verbal Skinner, Chomsky mencatat bahwa banyak perilaku hewan, seperti
respon menganga dari anak burung yang sedang guam ( spesies burung), tampaknya bawaan
dalam arti bahwa perilaku ini muncul awal, andal dan tanpa perlu belajar (Chomsky, 1959).
Karya Chomsky dalam bahasa adalah bagian dari upaya yang lebih luas sudah
berlangsung oleh teori lainnya termasuk George Miller dalam psikologi dan John McCarthy,

9
Allan Newell dan Herbert Simon dalam kecerdasan buatan (lihat Gardner 1985). Teori ini
sangat dipengaruhi oleh perkembangan baru dalam logika matematika dan ilmu komputer
dan bersama-sama mereka meletakkan dasar untuk alternatif behaviorisme dalam studi
pikiran disebut kognitivisme. Kognitivisme tumbuh dari strukturalisme, di mana keadaan
mental dipandang sebagai keadaan komputasional dari mesin turing atau sebagai keadaan
waktu yang berkembang dari sebuah mesin koneksionis (jaringan syaraf) (Turvey and Shaws,
1995). Fokus ini pada pikiran, di mana pikiran dipandang sebagai sebuah sistem yang
memproses informasi sebagaimana dicontohkan oleh metafora/kiasan pikiran sebagai
komputer/mesin hitung yang muncul. Dicari pemahaman tentang organisasi,
encoding/pengkodean dan pengambilan pengetahuan.
Kognitivisme telah berkembang dalam empat puluh tahun terakhir dan telah menjadi
program penelitian yang berbuah sangat besar. Sebuah prestasi inti kognitivisme adalah
bahwa kognitivisme berbicara mengenai mental dan memungkinkan untuk mengembangkan
teori dari pikiran bukan hanya perilaku. Teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar
merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Pada dasarnya belajar
adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia
sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu
perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap
yang bersifat relatif dan berbekas (Rasyidin & Wahyudin, 2011).

2. Kajian Cognitivism Secara Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi


a. Ontologi Cognitivism
Ontologi filsafat membicarakan hakikat filsafat, yaitu apa pengetahuan filsafat itu
sebenarnya. (Tafsir Ahmad, 2004). Bruner (1990) menyatakan meskipun revolusi kognitif
adalah reaksi terhadap masa objektivisme, kognitivisme masih menemukan akar di
objektivitas sebagai dasar ontologis. Seperti yang dinyatakan oleh Ertmer dan Newby (1993),
behaviorisme dan kognitivisme keduanya terutama objektif dan dunia nyata dan eksternal ke
pelajar. Kognitivisme mempertahankan tampilan ontologis objektivis didunia, sehingga
memiliki beberapa tujuan desain yang sama sebagai behaviorisme. Bahan dianalisis dan
diurutkan, sering secara sederhana dengan jenis kompleks atau organisasi hirarkis (Gagne et
al., 1992).
Ontologi dari cognitivism berfokus pada bagaimana cara manusia memperoleh
informasi mengenai dunia dan bagaimana pemrosesannya. Bagaimana cara informasi itu
disimpan dan diproses oleh otak, bagaimana informasi itu disampaikan dengan struktur

10
penyusunan bahasa dan proses-proses tersebut ditampilkan dengan sebuah perilaku yang
dapat diamati dan juga yang tidak dapat diamati. Cognitivism juga mencakup keseluruhan
proses psikologis dari sensasi ke persepsi, pengenalan pola, atensi, kesadaran, belajar,
memori, formasi konsep, berfikir, imajinasi, bahasa, kecerdasan, emosi dan bagaimana
keseluruhan hal tersebut berubah sepanjang hidup (terkait perkembangan manusia) dan
bersilangan dengan berbagai bidang perilaku.

b. Epistemologi Cognitivism
Epistemologi membicarakan tiga hal, yaitu objek (yaitu yang dipikirkan), cara
memperoleh pengetahuan dan ukuran kebenaran (pengetahuan), (Tafsir Ahmad, 2004).
Epistemologi cognitivism membahas proses yang terlibat dalam usaha atau cara untuk
memperoleh pengetahuan tentang bagaimana manusia memperoleh informasi mengenai dunia
dan bagaimana memprosesnya serta bagaimana menyampaikannya. Cara untuk memperoleh
pengetahuan dari cognitivism bersumber dari cara yang biasa digunakan oleh peneliti.
Beberapa cara tersebut diantaranya mencoba mendeskripsikan fenomena yang terjadi (studi
observasi) dan cara lain yang membantu menjelaskan fenomena yang terjadi (eksperimen).
Melalui sebuah eksperimen determinan sebab dan akibat dapat ditentukan sehingga metode
eksperimen menjadi sebuah cara yang berharga bagi cognitivism.
Karakteristik umum dari sebuah cara memperoleh pengetahuan adalah adanya unit
analisis. Unit analisis adalah bahan atau fokus utama dari sebuah studi. Cognitivism
menggunakan unit analisis berupa individu perseorangan.

c. Aksiologi Cognitivism
Kegunaan dari cognitivism diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Kognisi atau proses mental merupakan masalah pokok dalam studi cognitivism.
Sehingga dalam kehidupan sehari-hari, seseorang tak akan lepas dari aspek
kognisinya. Contohnya persepsi, atensi terhadap suatu stimulus, ingatan, pengetahuan,
dll.
b. Pandangan cognitivism banyak berpengaruh pada bidang-bidang lain. Misalnya dalam
psikologi pendidikan (misal fungsi ingatan terhadap prestasi).
c. Melalui prinsip-prinsip cognitivism, seseorang dapat menangani dan memproses
informasi secara efisien dan terorganisasi dengan baik. Dengan memahami
cognitivism serta proses-proses yang terkait, manusia menjadi lebih tahu dan mampu

11
menciptakan cara-cara mengolah informasi agar dapat bermanfaat bagi diri sendiri
dan lingkungannya secara lebih baik.
Aliran kognitivisme sangat berpengaruh terhadap praktik belajar yang dilaksanakan di
sekolah. Aliran ini telah memberikan kontribusi terhadap penggunaan unsur kognitif atau
mental dalam proses belajar. Berbeda dengan pandangan aliran behavioristik yang
memandang belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon,
aliran kognitif memandang kegiatan belajar bukanlah sekedar stimulus dan respon yang
bersifat mekanistik, tetapi lebih dari itu, kegiatan belajar juga melibatkan kegiatan mental
yang ada di dalam diri individu yang sedang belajar. Oleh karena itu, menurut aliran kognitif,
belajar adalah sebuah proses mental yang aktif untuk mencapai, mengingat, dan
menggunakan pengetahuan. Sehingga perilaku yang tampak pada manusia tidak dapat diukur
dan diamati tanpa melibatkan proses mental seperti motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan
lain sebagainya (Baharuddin & Wahyuni, 2007: 88).
Menurut perspektif cognitivism, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan
peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat behavioral
tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa. Secara lahiriah, seorang anak
yang sedang belajar membaca dan menulis, misalnya, tentu menggunakan perangkat
jasmaniah (dalam hal ini mulut dan tangan) untuk mengucapkan kata dan menggoreskan
pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan
anak tersebut bukan semata-mata respons atas stimulus (rangsangan) yang ada, melainkan
yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya (Syah, 1999: 111).
Berdasarkan penjelasan di atas, bukan berarti aliran cognitivism ini menentang aliran
behaviorism. Hanya saja, menurut pandangan cognitivism, aliran behaviorism tidak lengkap,
sebab tidak memperhatikan proses kejiwaan yang berdimensi ranah cipta seperti berpikir,
mempertimbangkan pilihan dan mengambil keputusan. Selain itu, aliran behaviorism juga
tidak mau tahu urusan ranah rasa.
Teori-teori belajar berdasarkan aliran cognitivism diantaranya teori gestalt, teori
medan, teori perkembangan Piaget, teori belajar bermakna Ausubel dan teori kognitif
Bandura.
Teori Gestalt. Tokoh dari teori ini yaitu Max Wertheimer, Wolfgang Kohler, dan
Kurt Koffka. Mereka tidak puas dengan teori sebelumnya yaitu belajar sebagai proses
stimulus dan respon. Penelitian mereka menekankan pada persepsi, yaitu manusia sebagai
makhluk yang utuh rohani dan jasmaninya sehingga dalam interaksi terhadap lingkungan,
manusia melibatkan kedua unsur tersebut (Baharuddin & Wahyuni, 2007: 88). Belajar adalah

12
proses mengembangkan insight (wawasan, pengertian/pengetahuan) yaitu pemahaman
terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalahan.
Teori Medan. Dikembangkan oleh Kurt Lewin. Menurut teori ini, individu selalu
berada dalam suatu medan atau ruang hidup kaitannya dengan proses belajar yaitu sebagai
proses pemecahan masalah yang diantaranya:
a) Belajar adalah perubahan struktur kognitif. Setiap orang akan dapat memecahkan masalah
jika ia bisa mengubah struktur kognitif.
b) Pentingnya motivasi. Motivasi adalah faktor yang dapat mendorong setiap individu untuk
berperilaku. Motivasi ini dapat berasal dari dalam (intern) dan dari luar (ektern).
Teori Perkembangan Piaget. Jean Piaget mengemukakan bahwa ada tahap-tahap
yang harus dilalui seorang dalam mencapai tingkatan perkembangan proses berpikir formal.
Teori ini sangat besar pengaruhnya dalam bidang pendidikan. Tahap-tahapnya adalah sebagai
berikut.
a. Tahap sensorimotor (0 -2 tahun)
b. Tahap pra-operasional (2-7 tahun)
c. Tahap operasional konkrit (7 – 11 tahun)
d. Tahap operasional formal (> 11 tahun)
Kaitannya dengan proses belajar, Piaget membagi proses belajar menjadi tiga tahapan,
yaitu asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi. Asimilasi adalah proses penyatuan
(pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak peserta
didik. Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif dalam situasi yang baru.
Sedangkan equilibrasi adalah proses penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan
akomodasi.
Teori Belajar Bermakna Ausubel. Dalam belajar bermakna, terdapat dua komponen
penting, yaitu bahan yang dipelajari dan struktur kognitif yang ada pada individu. Struktur
kognitif ini adalah jumlah, kualitas, kejelasan dan pengorganisasian dari pengetahuan yang
sekarang dikuasai oleh individu. Agar tercipta belajar bermakna, maka bahan yang dipelajari
harus mempunyai makna, artinya bahan pelajaran hendaknya dihubungkan dengan struktur
kognitif secara substansial dan dengan beraturan (Sukmadinata, 2007: 188).

3. Implikasi Cognitivism Terhadap Pembelajaran


Dalam lingkungan kelas, ada banyak variabel yang mempengaruhi dan berkontribusi
dalam pembelajaran. Ketika membuat dan menerapkan lingkungan pembelajaran, sangat
penting bahwa guru tidak hanya membuat pengaturan yang memajukan/mengembangkan

13
pembelajaran, tetapi juga menyediakan waktu untuk memahami setiap anak. Ruang kelas
yang luas sangat beragam dan kompleks. Siswa belajar dengan cara berbeda dan di berbagai
tingkatan perkembangan. Guru yang baik harus mengelola kelas mereka dan membangun
harapan akan dapat menggabungkan filosofi pengajaran beragam dan menciptakan
lingkungan belajar yang sangat baik untuk setiap siswa.
Penting bahwa guru menciptakan lingkungan belajar yang mendorong siswa untuk
melakukan yang terbaik dan membuat pembelajaran yang menarik. Hal ini menciptakan
suasana motivasi dalam kelas. Ada dua faktor yang sangat penting untuk memotivasi siswa,
nilai dan usaha. (Manajemen Kelas) Siswa harus memahami bahwa pekerjaan yang mereka
lakukan berharga. Nilai mengukur pentingnya pekerjaan siswa untuk dirinya dan orang lain.
Usaha adalah jumlah waktu dan energi siswa dimasukkan ke dalam pekerjaan mereka.
Memahami nilai tugas akademik dan usaha yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas
dapat memotivasi siswa untuk tampil lebih baik di lingkungan kelas.
Kognitivisme cocok baik untuk pemecahan masalah, di mana konsep-konsep yang
kompleks dan harus dipecah menjadi bagian yang lebih kecil. Ide dan konsep dari masalah ini
terkait dengan pengetahuan sebelumnya, yang pada gilirannya membantu pelajar
mengembangkan pemahaman yang lebih kuat (Stavredes, 2011). Kelebihan: struktur
terorganisir untuk belajar: informasi masuk dan diproses ke dalam memori jangka pendek
sebelum disimpan jauh dalam memori jangka panjang. Ketika masalah dipecah menjadi
bagian yang lebih kecil, peserta didik tidak kewalahan dengan informasi yang masuk dan
punya waktu untuk memproses bit yang lebih kecil. Kelemahan: Karena belajar sangat
terstruktur, mungkin menjadi sulit untuk beradaptasi dengan perubahan apa yang telah
diproses dan dipelajari.
Pengembangan kognitif yang di Implikasikan di Kelas (Teori Piaget)
a. Guru harus berhati-hati saat menilai tahap perkembangan kognitif anak dan hanya
memberikan tugas yang anak siapkan. Anak kemudian dapat diberi tugas yang
disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan memotivasi mereka.
b. Guru harus memberikan anak-anak kesempatan belajar yang memungkinkan mereka
untuk maju melalui setiap tahap perkembangan. Hal ini dicapai dengan menciptakan
ketidakseimbangan. Guru harus menjaga keseimbangan yang tepat antara aktif
membimbing anak dan memungkinkan kesempatan bagi mereka untuk mengeksplorasi
hal-hal pada mereka sendiri untuk belajar melalui penemuan.

14
c. Guru harus peduli dengan proses belajar daripada produk akhir. Misalnya, guru harus
mengamati cara anak memanipulasi suatu alat daripada berkonsentrasi pada bentuk jadi
dengan kata lain penilaian formatif lebih besar dibanding penilaian suamtif.
d. Anak-anak harus didorong untuk belajar dari satu sama lain. Mendengar orang lain dapat
membantu pemecahan egosentrisme. Hal ini penting bagi guru untuk menyediakan
beberapa peluang untuk kegiatan kelompok kecil.
e. Piaget percaya bahwa guru harus bertindak sebagai panduan untuk proses belajar anak-
anak dan bahwa kurikulum harus disesuaikan dengan kebutuhan individu dan tingkat
perkembangan.
Contoh Permainan Kognitif di Kelas
Permainan kognitif dirancang untuk membantu merangsang berbagai daerah otak .
Game ini digunakan untuk meningkatkan refleks , membantu orang belajar , pengembangan
berpikir kritis dan membantu orang belajar dengan pola yang berbeda dari asosiasi .
Permainan kognitif yang membantu ketika digunakan untuk belajar bahasa asing dan
menghafal materi baru. Berbagai teknik pembelajaran yang digunakan di dalam kelas karena
ada berbagai gaya belajar. Ada banyak game yang mengembangkan dan mempengaruhi
pembelajaran kognitif. Kebanyakan game komputer situs pendidikan fokus untuk
merangsang indera anak dengan melibatkan mereka dalam berbagai tugas kognitif . Berikut
adalah tiga dari banyak situs pembelajaran yang tersedia untuk meningkatkan perkembangan
kognitif pada anak-anak. Dalam pembelajaran fisika, kita dapat membuat selftest berbantuan
powerpoint, flashplayer, swishmax, delphi, dsb.
Menyortir Game
Menyortir game mengharuskan individu untuk memanfaatkan pengenalan dan
penalaran. Guru dapat melibatkan anak-anak dalam permainan di mana anak-anak
mengurutkan item dengan berbagai kriteria, seperti warna, ukuran, tekstur , dan atribut fisik
lainnya dari item . Pendekatan yang lebih canggih untuk menyortir membahas bagaimana
item serupa. Proses ini mendorong pemikiran kritis.
Permainan papan
Guru dapat memasukkan permainan papan dalam kelas mereka untuk mengembangkan
perkembangan kognitif. Tidak seperti komputer dan video game, permainan papan adalah
nyata. Anak-anak dapat memanipulasi bagian yang berbeda dalam permainan. Permainan
papan dapat diimplementasikan untuk meningkatkan kemampuan matematika dan linguistik
dan meningkatkan kemampuan anak untuk memahami dan mengikuti arah. Monopoli dan
Bingo adalah dua contoh dari game yang dapat dipertimbangkan di dalam kelas .

15
Puzzle
Menemukan solusi untuk teka-teki dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah
anak. Teka-teki membutuhkan seorang anak untuk mempertimbangkan pola, perintah dan
asosiasi. Beberapa anak merupakan pemecah masalah dan teka-teki yang lebih baik daripada
yang lain. Anak-anak yang aktif memecahkan teka-teki bahwa mereka mampu
menghubungkan dan mengumpulkan lebih mungkin untuk memahami konsep-konsep
tertentu dan mengembangkan teori-teori mereka sendiri tentang konsep-konsep.

16
BAB III
PENDAHULUAN

A. Kesimpulan
Menurut kaum behavioristik, behaviourism merupakan suatu ilusi yang mengatakan
bahwa manusia memiliki suatu keinginan yang bebas. Sekalipun kita mungkin bertindak
seakan-akan kita bebas, perilaku kita benar-benar ditentukan oleh tekanan-tekanan
lingkungan yang membentuk perilaku kita. Sedangkan Kognitivisme adalah sebuah objektivis
dan perspektif rasionalis berkaitan dengan struktur kognitif individu. Kerangka kerja atau
dasar pemikiran dari kognitivisme adalah dasarnya rasional. Pengetahuan seseorang diperoleh
berdasarkan pemikiran.
Pekerjaan seseorang pendidik selalu terkait dengan kegiatan perubahan perilaku
(behavior modification). Implikasi aliran behaviorisme dalam pendidikan adalah dalam
bentuk teori belajar behavioristik. Sedangkan implikasi aliran kognitivisme pandangan piaget
di dalam pendidikan adalah guru harus bertindak sebagai panduan untuk proses belajar anak-
anak, kurikulum harus disesuaikan dengan kebutuhan individu dan tingkat perkembangan,
pembelajaran merupakan proses pemecahan masalah, penerapan pembelajarannya dengan
menggunakan permainan seperti puzzel, permainan papan dan permainan kognitif.

B. Saran

17
DAFTAR PUSTAKA

Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan pembelajaran, Medan :Perdana
Publishing, 2011.

Baharudin & Wahyuni, Esa Nur. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-
RuzMedia.http://teachinglearningresources.pbworks.com/w/page/31012664/Cognitivi
sm.

Baum, W.M. 2005. Understanding behaviorism: Behavior, Culture and Evolution.


Blackwell.

Depdikbud. 1987. Dasar-dasar Kependidikan. Bandung : IKIP Bandung.

Etmer, Peggy A. 1993. Behaviorism, Cognitivism, Constructivism: Comparing Critical


Features From An Instructional Design Perspective. Performance Improvement
Quarterly, 6(4) Pp. 50-72.

Jalaludin. & Idi, A. 2013. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan. Depok: PT
Rajagrafindo Persada.

Kathy L. Schuh and Sasha A. Barab. Philosophical Perspectives. University of Iowa, Iowa
City, Iowa and Indiana University, Bloomington, Indiana.

Neisser, U. 1976. Cognition and reality: Principles and implications of cognitive psychology.
New York: Freeman.

Parkay W. Forest, dan Stanford, Bavetly Hardcestle. (1998), Becoming A Teacher (fourth
edition), Boston: Allyn Bacon.

Sadulloh, Uyoh. 2004. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Scuh, L Kathy And Sasha A. Barab. 2011. Philosophical Perspectives. University Of Iowa,
Iowa City, Iowa And Indiana University, Bloomington, Indiana.

Smith, Mark K. 2010. Teori Pembelajaran dan Pengajaran. Yogyakarta: Mirza Media
Pustaka

Soemanto, Wasty. (1990). Psikologi Pendidikan; Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan.


Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Suryabrata, Sumadi. (1990). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.

Sutardjo A. Wiramihardja. Pengantar Filsafat. Bandung : PT Refika Aditama, 2006

Syah, Muhibbin.(2004). Psikologi Belajar. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Winch, C.& John, G. 2008.The Key Concept in The Philosophy of Education. Routledge

18
Syah, Muhibbin. 1999. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Cet. IV. Bandung:
Remaja Rosdakarya.

Tafsir Ahmad. 2004. Filsafat Ilmu, Mengurai Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi
pengetahuan. Bandung: Rosda Karya.

Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher.

Turvey, M. T. and Shaw, R. E. (1995). Toward an ecological physics and a physical


psychology. In The Science of the Mind: 2001 and Beyond, edited by R. L. Solso and
D. W. Massaro, pp. 144–169. New York: Oxford.

19

Anda mungkin juga menyukai