Disusun Oleh :
Desi Wahyuni
2205905020041
MEULABOH-ACEH BARAT
2022
BAB I
PENDAHULUAN
2.1 Progresivisme
Secara historis, progresivisme telah muncul pada abad ke-19, namun baru
berkembang secara pesat pada abad ke-20, terutama di negara Amerika Serikat. Bahkan
pemikiran yang dikembangkan aliran ini pun sesungguhnya memiliki benang merah yang
secara tegas dapat dilihat sejak zaman Yunani Kuno, seperti Heraklitos (±544-450 SM) ,
Protagoras (±480-410), Socrates (±469-391) dan Aristoteles (±384-322SM).
Sebagai sebuah aliran filsafat pendidikan, progresivisme lahir sebagai protes terhadap
kebijakan-kebijakan pendidikan konvensional yang bersifat formalis tradisionalis yang telah
diwariskan oelh filsafat abad ke-19 yang dianggap kurang kondusif dalam melahirkan
manusia-manusia sejati. Aliran ini memndang bahwwa metodologi pendidikan konvensional
yang menekankan pelaksanaan pendidikan melalui mental dicipline, passive learning yang
telah menjadi karakteristik pendidikan selama ini tidak sesuai dengan watak humanitas
manusia yang sebenarnya.
Progresivisme muncul dari tokoh-tokoh filsafat pragmatis seperti Charles S. Peirce,
William James dan John Dewey dan eksperimentalisme, seperti Francis Bacon. Tokoh lain
yang juga ,memicu lahirnya aliran ini adalah John Locke dengan ajaran filsafatnya tentang
kebebasan politik dan J.J Rousseau dengan ajarannya yang meyakini bahwa kebaikan berada
dalam diri manusia dan telah dibawanya sejak lahir dan oleh karena itu ialah yang harus
mempertahankan kebaikan itu agar selalu ada dalam dirinya. Kebaikan itu memiliki
hubungan signifikandalam segala ruang gerak kehidupan dalam diri manusia. Tuhan
menganugerahkan manusia freedom sebagai suatu kapasitas yang akan menggerakkan
manusia itu untuk mampu memilih dan menetapkan mana perbuatan yang baik untuk dirinya.
Bagi J.J Rousseau institusi-institusi dan keyakinan-keyakinan ini memberikan fase-fase awal
bagi perkembangan manusia menuju fase-fase yang lebih tinggi.
Sebagai pragmatis, aliran ini memandang ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang
bermanfaat karena merupakan sarana bagi kemajuan manusia. Ilmu pengetahuan dalam hal
ini sangat dinamis dan berubah sesuai dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
Manusia pada hakikatnya akan selalu menunjuk ke arah kemajuan. Oleh karena itu,
lembaga pendidikan mestilah berfungsi sebagai wahana tumbuh kembang daya kreativitas
subjek didiknya. Semangat berbuat dan mengadakan perubahan yang tentu berguna bagi
pengembangan diri dan masyarakatnya. Semangat mengadakan pendidikan tanpa tanpa
memberikan perhatian penuh pada kemampuan subjek didik secara individu. Oleh karena itu,
azas kebebasan individu dan demokrasi mestilah pula menjadi landasan bagi keseluruhan
aktivitas pembelajaran pada lembaga pendidikan.
Aliran ini bersikap anti pada sikap otoritarianisme dan absolutisme dalam segala
bentuknya. Hal ini mengingat bahwa baginya sikap ini sangat tidak menghargai kemampuan
dasar manusia secara natural akan selalu mampu menghadapi dan memecahkan berbagai
kesulitan hidup.
Progresivisme berpendapat bahwa akal manusia bersifat aktif dan selalu ingin mencari
tahu dan meneliti, sehingga ia tidak mudah menerima begitu saja suatu pandangan atau
pendapat sebelum ia benar-benar membuktikan kebenarannya secara empiris. Ilmu
pengetahuan lahir berdasarkan pada pembuktian-pembuktian eksperimentasi di dunia empris.
Aliran ini berpendapat bahwa pendidikan mestilah dimaknai sebagai sebuah proses
yang berlandaskan pada asas pragmatis. Dengan asas ini pendidikan bertujuan untuk
memberikan pengalaman empiris kepada anak didik sehingga terbentuk pribadi yang selalu
belajar dan berbuat. Belajar mesti pula terpusat pada anak didik, buka pada pendidik.
Pendidik progresif selalu melatih anak didiknya untuk mampu memecahkan problem-
problem yang ada dalam kehidupan. Seorang progresif mesti menggiring pemahaman kepada
anak didiknya, bahwa belajar adalah suatu kebutuhan anak didik dan ialah yang ingin belajar.
Oleh krena itu, anak didik progresif mesti selalu mampu menghubungkan apa yang ia pelajari
dengan kehidupannya.
Inti proses pendidikan bagi aliran ini terdapat pada anak didik, karena anak didik
dalam konsepnya adalah manusia yang memiliki potensi rasio dan intelektual yang akan
berkembang melalui pengkondisian pendidikan. Kendatipun demikian, anak didik mesti
menentukan sendiri proses belajarnya. Eksistensinya memerlukam bimbingan dan
pengarahan dari para pendidik.
Perenialisme dengan kata dasarnya parenial, yang berarti continuing troughout the
whole year atau lasting for a very long time, yakni kekal yang terus ada sampai akhir. Dalam
pengertian yang lebih umum dapat di katakana bahwa tradisi di pandang juga sebagai prinsip-
prinsip yang abadi dan terus mengalir sepanjang sejarah manusia, kare ia adalah anugerah
tuhan pada semua manusia dan memang merupakan ihakikat insaniah manusia.
Perenialisme, sesuai dengan namanya yang berarti segala sesuatu yang ada sepanjang
sejarah manusia, melihat bahwa tradisi perkembangan intelektual yang pada zaman yunani
kuno dan abad pertengahan yang telah terbukti dapat memberikan solusi bagi berbagai
problem kehidupan masyarakat perlu digunakan dan di terapkan dalam menghadapi alam
modern yang sarat dengan problem kehidupan.
Kondisi dunia yang yang terganggu oleh budaya yang tak menentu yang berada
dakam kebingungan dan kekacauan seperti di ungkap di atas memerlukan usaha yang serius
untuk menyelamatkan manusia dari kondisi yang mencekam denga mencari dan menemukan
orientasi dan tujuan yang jelas, ini adalah tugas utama filsafat pendidikan. Perinialis dalam
hal ini mengambil jalan regersif dengan mengambil arahnya seperti yang menjadi prinsip
dasar perilaku yang di anut pada masa kuno dan abad pertengahan.
Perenialisme secara filosofi memilii dasar pemikiran yang melekat pada ajaran filsafat
klasik yang di tokohi oleh, plato, aristoteles,augustinus dan Aquinas. Namun istilah ini
pertama di pelopori oleh Augustinus (1497-1548) dalam sebuah karyaya yang berjudul de
parennia philosophia yang di terbitkan pada tahun 1540 M. istilah ini lebih popular lagi di
tangan Leibniz yang di gunakan dalam suratnya kepada remundo yang di tulisnya pada tahun
1715 M. perenialisme di tokohi oleh Robert Maynard Hutchins, Mortimer J.Adler, dan Sir
Richard Livingstone.
Prinsip dasar yang di kembangkan sayyed husein nasr, seorang filusuf kontemporer,
yang mengatakan bahwa manusia memiliki fitrah yang sama berpangkal pada asal
kejadiannya yang fitri yang memiliki konsekuensi logis pada watak kesucian dan kebaikan.
Sifatnya tidak berubah karena prinsip-prinsipnya mengandung kontinuitas dalam setiap ruang
dan waktu. Menurutnya, tradisi yang mengisyaratkan kebenaran yang fitri bersifat langgeng,
tetap abadi dan berkesinambungan. Dalam konteks ini Sayyed husein berusaha
mengembalikan kesadaran manusia akan hakikatnya yang fitri yang akan membuatnya
berwatak kesucian dan kebaikan.
Aliran ini memandang bahwa hakikat manusia sebagai mahluk rasional yang akan
selalu sama bagi setiap manusia dimanapun sampai kapanpun dalam perkembangan
historisitasnya. Keyakinan ontologism sedemikian, membawa mereka pada suatu pemikiran,
bahwa kkemajuan dan keharmonisan yang di alami oleh manusia di suatu masa akan dapat
pula di terapkan pada manusia-manusia yang lain pada masa yang berbeda, sehingga
kesuksesan masa lalu dapat pula di terapkan untuk memecahkan problem masa sekarang dan
masa akan dating bahkan sampai kapanpun dan dimana pun.
Menurut psikologi Plato, manusia pada hakikatnya memiliki tiga potensi dasar yaitu,
nafsu, kemauan, dan pikiran. Ketiga potensi ini merupakan asas bagi bangunan kepribadian
dan watak manusia. Ketiga potensi ini akan tumbuh dan berkembang melalui pendidikan,
sehingga ketiganya berjalan seimbang dan harmonis. Manusia yang memiliki potensi rasio
yang besar akan manusia kelas pemimpin, kelas social yang tinggi. Manusia yang besar
potensi kemauan nya akan menjadi manusa-manusia prajurit, kelas menengah. Sedangakan
manusia yang besar potensi nafsu akan menjadi manusia-manusia pekerja, kelas jelata.
Pendidikan dala hal ini hendaknya berorientasi pada potensi psikologis dan masyarakat,
sehingga dapat mewujudkan pemenuhan kelas-kelas social dalam masyarakat terseebut.
Hal yang senanda juga di ungkap kan oleh Aristoteles dengan mengatakan bahwa
kebahagiaan hidup sebagai tujuan pendidikan itu sendiri dapat terealisasi jika ketiga
komponen potensi dasarnta terdidik dan berkembang secara seimbang. Harmonisasi
fungsionalitas tiga potensi dasar manusia dalam kehidupan nya. Oleh karena itu, pengisian
pendidikan pada ketiga aspek tersebut merupakan keniscayaan. Pendidik bertugas
memberikan bantuan kepada subjek-subjek didik nya untuk mewujudkan potensi-potensi
yang ada padanya agar menjadi aktif., nyata dan actual memalui latihan berfikir secara baik
dan benar.
Aliran ini berkeyakinan bahwa kendatipun dalam lingkungan dan tempat yang berbeda-beda,
hakikat manusia tetap menunjukkan kessamaanya. Oleh karena itu, pola dan corak
pendidikan yang sama dapat di terapkan pada siapapun dan dimanapun ia berada.
Menurutnya setiap manusia memiliki fungsi kemanusiaan yang sama, karena memang
terlahir pada hakikat yang sama. Aliran ini berpendapat bahwa rasionalitas adalah hukum
peratamyang akan tetap benar di segala tempat dan zamannya. Dengan prinsip rasionalitas ini
pula perenialisme berhadapan dengan persoalan adanya prinsip kesadaran dan kebebasan
dalam gerak kehidupan manusia.
Kesadaran dan kebebasan adalah bukti fungsionalitas rasio manusia, sebab kekuatan
bertindak bebas bergantung pada kekuatan berfikir, sehingga otoritas berfikir adalah satu-
satunya sumber kemardekaan. Tugas pendidikan disini adalah bagaimana menjadikan dan
memajukan manusia yang ada dalam masyarakat. Sehingga dia berfikir manusia utuh, yaitu
manusia yang memiliki kekuatan berfikir. Jadi pendidikan adalah upaya memanusiakan
manusia sebagai manusia yang memiliki kekuatan dalam berfikir.
Pendidikan dalam teori ini dimaknai sebagai suatu aktivitas yang mengaksentuasikan
programnya pada perubahan dan perbaikan. Pengembangan ilmu pengetahuan terus diraih
oleh manusia modern di alam modern.
Mortimer J. Adler sebagai salah satu pendukung parenialisme ini mengatakan bahwa
jika seseorang manusia adalah mahluk rasional yang merupakan hakikat yang senantiasa
seperti itu sepanjang sejarah. Dia juga mengungkapkan bahwa manusia adalah mahluk yang
memiliki kamempuan intelektual yang tampak dalam kapsitasnya sebagai subjek yang aktif
dan dapat melakukan tindakan-tindakan seni, membaca, mendengar, menulis, berbicara serta
berfikir. Aristoteles sebagai salah satu tokoh yang menjadi rujukan aliran ini menekankan,
bahwa melatih dan membiasakan diri merupakan hal yang mendasar bagi pengembangan
kualitas manusia. Oleh karena itu, kesadaran disiplin mesti di tanamkan sejak dini.
Pendidikan menurut aliran ini bukan lah semacam imitasi kehidupan, tetapi tidak lain
adalah suatu upaya mempersiapkan suatu kehidupan. Sekolah menurut kelompok ini tidak
akan pernah menjadi situasi kehidupan yang riil. Tugasnya adalah bagaimana merealisasikan
nilai-nilai ynag di wariskan kepadanya dan jika memungkinkan meningkatkaan dan
menambah presentasi-presentasi melalui usaha sendiri.
Prinsip mendasar pendidikan bagi aliran parenial ini adalah membantu subjek-subjek
didik menemukan dan menginternalisasikan kebenaran abadi, karena memang kebenaran
mengandung sifat universal yang tetap. Kebenaran-kebenaran seperti ini hanya dapat di
peroleh subjek-subjek didik melalui latihan intelektual yang dapat menjadikan pikirannya
teratur dan tersisiteminasi sedimikian rupa. Hal ini semakin penting terutama jika di kaitkan
dengan persolan pengembangan spiritual manusia.
Aliran ini menyakinkan bahwa pendidikan adalah transfer ilmu pengetahuan tentang
kebenaran abadi. Pengetahuan adalah suatu kebenaran sedangkan kebenaran selamanya
memiliki kesamaan. Oleh karena itu pula, maka penyelenggaraan pendidikan pun dimana
mana mestilah sama. Pendidikan mestilah mencari pola agar subjek-subjek didik dapat
menyesuaikan diri bukan pada dunia saja, tetapi hendaklah pada hakikat-hakikat kebenaran.
Penyesuaian diri pada kebenaran merupakan tujian belajar itu sendiri. Oleh karena itu,para
perenialis memandang bahwa tuntutan tertingi dalam belajar adalah latihan. Dan disiplin
mental. Para perenialis percaya bahwa pemikiran subjek-subjek didik akan menjadai nyata
melalu pelatihan-pelatihan intelektual. Cara mudah untuk mengajar subjek-subjek didik
adalah dengan cara menumbuhkan keinginanan untuk belajar. Realisisasi diri sangat
tergantung pada disiplin diri, sedangkan displin itu sendiri dapat di raih melalui disiplin
eksternal. Berdasarkan pemikiran ini maka perenialis sampai pada suatu kesimpulan bahwa
belajar adalah upaya keras untuk memperoleh suatu ilmu pengetahuan melalui displin tinggi
dalam latihan pengembangan prinsip-prinsip rasional.
Perenialisme membedakan belajar pada dua wilayah besar, yaitu wilayah pengajaran
dan penemuan. Yang pertama belajar memerlukan guru. Guru dalam hal ini memberikan
pengetahuan dan pencerahan kepada peserta didik baik dengan cara menunjukkan maupun
menafsirkan implikasi dari pengetahuan yang di berikan. Sedangkan yang kedua tidak lagi
membutuhkan guru, karena peserta didik dalam pola ini di harapkan telah dapat belajar atas
kemampuan sendiri.
2.3 Esensialisme
Filsafat esensialisme adalah suatu aliran filsafat yang lebih merupakan perpaduan ide
filsafat idealism-objektif di satu sisi dan realism objektif di sisi lainnya. Sebagai sebuah
aliran filsafat, esensialisme telah lahir sejak zaman renaissance, bahkan dapat dikatakan
zaman aristoteles.
Esensialisme secara formal memang tidak dapat di hubungkan dengan berbagai tradisi
filsafat, tapi compatible dengan berbagai pemikiran filsafaat. Pada zaman ini telah muncul
upaya-upaya untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan seni serta kebudayaan
purbakala, terutama zaman yunani dan romawi.
Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran ini memiliki cirri utamanya yang
menekankan, bahwa pendidikan mesti dibangun di atas nilai-nilai yang kukuh,, tetap stabil.
Kemunculan nya adalah reaksi atas kecenderungan kehidupan manusia pada yang serba
duniawi, ilmiah, pluralistic, dan materialistik, akibat dari prinsip pendidikan yang fleksible,
terbuka untuk segala perubahan. Kondisi dunia yang telah merusak tatanan humanitas
menjadi perhatian kelompok esensialime.
Aliran ini beranggapan, bahwa manusia pelu kembali pada kebudayaan lama, yaitu
kebudayaan yang telaah ada semenjak peradaban manusia yang pertama. Kebudayaan lama
itu telah banyak membuktikan kebaikan-kebaikannya untuk manusia. Tokoh-tokoh yang
tercatat sepanjang sejarah antara lain Desiderius Erasmus, Johann Amos Comenius (1592-
1670), Johann Hendrich Pestalozzi (1746-1827) John loke (1632-1704) John frederich
froeble dan masih banyak tokoh yang lain.
Esensialisme memangdan manusia adalah bagian dari alam semesta yang bersifat mekanis
dan tunduk pada hukum-hukum nya yang objektif-kausalitas nya, maka ia pun secara nyata
terlibat dan tunduk pada hukum-hukum alam. Dengan demikian, manusia selalu bergerak dan
berkembang sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum natural yang bersifat universal.
Hukum universal lah yang mengatur semua makrokosmos yang meliputi aturan benda-bend,
energy, ruang dan waktu bahkan juga pikiran manusia.
Aliran ini berpendapat, bahwa sumber segala pengetahuan manusia terletak pada
keteraturan lingkungan hidupnya. Dalam bidang aksiologi, nilai bagi aliran ini, seperti
kebenaran, berekar dalam dan berasal dari sumber yang objektif. Sumber ini merupakan
perpaduan dari idealism dan realisme. Pemahaman objektif atas fakta dan peristiwa dalam
kehiduapan juga menjadi pertimbangan proposional dalam ekspresi keinginan, rasa suka,
kagum, tidak suka ada penolakan yang akhirnya melahirkan predikat baik dan buruk terhadap
sesuatu.
Imanuel Kant seorang tokoh idealism modern mengemukakan bahwa asas dasar
tindakan moral atas hukum moral adalah apa yang di sebutnya sebagai categorical-
imperative, yaitu rrasa kewajiban dan tugas tanpa syarat dan predikat seperti taat atau loyal
terhadap suatu norma. Setiap manusia harus melakukan sesuatu, sebab kebaikan senantiasa
bersifat universal.
Kelompok esensialisme memangdang bawa pendidikan yang di dasari pada nilai-nilai yang
fleksible dapat menjadikan pendidikan ambivalen dan tidak memiliki arah dan orientasi yang
jelas, oleh karena itu, agar pendidikan memiliki tujuan yang jelas dan kukuh yang akan
mendatang kan kestabilan. Untuk itu perlu disiplin nilai yang mempunyai tata yang jelas dan
teruji oleh waktu.
Karena para esensialisme meyakini bahwa manusia, alam jagad raya, dan tuhan,
merupakan tiga hal yang sangat terkait dalam peralihan pengetahuan. Comenius(1592-1670)
dalam hal ini pun mengandaikan, bahwa membina kesadaran manusia akan alam semesta dan
dunia nya untuk membentuk kesadaran spiritual menuju tuhannya adalah tugas pokok
pendidikan. John locke dalam hal ini menyebutkan bahwa pendidikan mesti mengutamakan
factor lingkungan dalam mengupayakan penyesuaian manusia pada hal yang natural dan
supranatural.
Para esensialis juga percaya bahwa proses belajar adalah proses penyesuaian diri
individu dengan lingkungan dalam pola stimulus dan respon. Dalam hal ini guru alah sebagai
agen untuk memperkuat pembentukan kebiasaaan dalam rangka penyesuain dengan
lingkungan tersebut. Mereka yakin bahwa belajar mesti menekankan pada disiplin kerja keras
yang ketat. Dan juga yakin bahwa inisiatif pendidikan sepenuhnya tergantung pada guru,
bukan pada peserta didik. Oleh karena itu, guru harus mengambil peranan yang paling besar
untuk mengatur dan mengarah kan perserta didik kearah kedewasaaan.
Para esensial juga sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh progresivme bahwa
belajar tidak akan sukses tanpa didasarkan dengan berbagai kapasitas, inters dan tujuan
subjek belajar. Namun aliran ini juga yakin bahwa kesemuanya itu mesti melalui kemampuan
dan ketrampilan mengajar guru. Karena guru yang berkualitas dapat melahirkan peserta didik
yang berkualitas pula.
2.4 Rekonstrusionisme
Kata rekontruksionisme berasal dari bahasa inggris yang berarti menyusun kembali. Aliran
ini sebagai aliran pendidikan sejak awal sejarahnya di tahun 1920 dengan lahirnya sebuah
karya John Dewey yang berjudul Recontruction in Philosophy yang kemudian di gerakkan
nyata oleh George counts dan Harold Rugg di tahun 1930, selalu menjadikan lembaga
pendidikan sebagai rekontruksi masyarakat.
Aliran ini memandang bahwa realitas itu bersifat universal, realitas itu ada dimana saja.
Untuk memahami suatu realitas di mulai dari suatu yang konkret menuju arah yang khusus
untuk menampakkan diri dalam perwujudan sebagaimana yang kita lihat di hadapan kita dan
di tangkap oleh panca indra manusia. Prinsipnya aliran ini memandang alam metafisika
dalam bentuk dualisme dimana alam nyata ini mengandung dua hakikat jasmani dan rohani.
Kedua macam hakikat ini memiliki cirri yang bebas dan berdiri sendiri azali dan abadi,
hubungan keduanya merupakan kehidupan alam.
Hal ini sama seperti yang di ungkapka John dewey yaitu bahwa idea tau gagasan
mesti lah sesuatu yang dapat di terapkan dalam bentuk tindakan yang berguna bagi
pemecahan berbagai problema yang muncul dalam masyarakat. Aliran ini juga berpendapat
bahwa dasar suatu kebenaran dapat di buktikan dengan self-evidence, yakni bukti yang ada
pada dirinya sendiri, realitas dan eksistensinya.
Ajaran yang di jadikan pedoman berasal dari Aristoteles yang membicarakan dua hal
pokok, yakni pikiran atau rasio dan bukti atau evidence dengan jalan pemikiran yang
silogisme. Silogisme menunjukkan hubungan yang logis antara premis mayor, premis minor
dan kesimpulan dengan cara mengambil kesimpulan yang deduktif dan induktif.
Aliran ini yakin bahwa pendidikan tidak lain adalah tanggung jawab social. Hal ini
mengingatk eksistensi pendidikan dalam keseluruhan realitasnya di arahkan untuk
pengembangan atau perubahan masyarakat. Para rekontriksionisme menginginkan, bahwa
pendidikan dapat memunculkan kesadaran para peserta didik untik senantia memperhatikan
pesoalan social., ekonomi dan politik. Tujuan aliran ini tidak lain adalah jawaban atas
keinginan untuk membangun masyarakaat baru, yakni suatu masyarakat global yang
memiliki hubungan interdependensi.
Aliran ini percaya bahwa pendidikan sebagai suatu lembaga masyarakat tentulah
diarahkan pada upaya rekayasa social, sehingga segala sesuatu aktivitasnya pun senantiasa
merupakan solusi bagi berbagai problema dalam masyarakat. Oleh karena itu, lebaga
pendidikan harus memiliki komitmen untuk menciptkan masyarakat yang sarat dengan nilai
niai budaya dan social ekonomi akan membentuk harmonisasi dalam suatu kehidupan.
Guru dalam aliran ini bertugas meyakin kan peserta didiknya tentang urgensi
rekontruksi dalam menunjukkan kehidupan social kemasyarakatan dan membiasakan mereka
untuk sensitive terhadap berbagai problem yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
serta mencari solusi yang di perlukan menuju perbaikan dan perubahan-peruubahan .
Kinsley Pric dalam hal ini menggarisbawahi bahwa hal hal yang mendasar dalam
aliran ini tercermin dalam pemilihan corak aktifitas pembelajaran sebagai berikut.
Segala sesuatu yang bercorak oktokrasi mesti di hindari, sehingga yang belajar
terhindar dari unsur pemaksaan
Guru mesti dapat meyakinkan peserta didik akan kemampunnya dalam memcahkan
masalah, sehingga masalh yang ada dalam subjek matters dapat di atasi.
Untuk menumbuh kembangkan keingingan peserta didik, seorang guru mesti mampu
mengenali peserta didik secara individu
Seorang guru mesti dapat menciptakan kondisi kelas sedemikian rupa sehingga
interaksi guru dengan peserta didik dan semua yang hadir dalam suatu ruangan kelas
dapat berkomunikasi dengan baik, tanpa ada yang menunjukkan sikap otoriter.
2.5 Eksistensialisme
Secara relatif, eksistensialisme tidak begitu dikenal dalam dunia pendidikan, tidak
menampakkan pengaruh yang besar pada sekolah. Sebaliknya, penganut eksistensialisme
kebingungan dengan apa yang akan mereka temukan melalui pembangunan pendidikan.
Mereka menilai bahwa tidak ada yang disebut pendidikan, tetapi bentuk propaganda untuk
memikat orang lain. Mereka juga menunjukkan bahwa bagaimana pendidikan memunculkan
bahaya yang nyata, sejak penyiapan murid sebagai konsumen atau menjadikan mereka
penggerak mesin pada teknologi industri dan birokrasi modern. Malahan sebaliknya
pendidikan tidak membantu membentuk kepribadian dan kreativitas, sehingga para
eksistensialis mengatakan sebagian besar sekolah melemahkan dan mengganggu atribut-
atribut esensi kemanusiaan. Mereka mengkritik kecenderungan masyarakat masa kini dan
praktik pendidikan bahwa ada pembatasan realisasi diri karena ada tekanan sosio-ekonomi
yang membuat persekolahan hanya menjadi pembelajaran peran tertentu. Sekolah
menentukan peran untuk kesuksesan ekonomi seperti memperoleh pekerjaan dengan gaji
yang tinggi dan menaiki tangga menuju ke kalangan ekonomi kelas atas; sekolah juga
menentukan tujuan untuk menjadi warga negara yang baik, juga menentukan apa yang
menjadi kesuksesan sosial di masyarakat. Siswa diharapkan untuk belajar peran-peran ini dan
berperan dengan baik pula. Dalam keadaan yang demikian, kesempatan bagi pilihan untuk
merealisasikan diri secara asli dan autentik menjadi hilang atau sangat berkurang.
Keautentikan menjadi begitu beresiko karena tidak dapat membawa pada kesuksesan
sebagaimana didefinisikan oleh orang lain Di antara kecenderungan masa kini yang begitu
menyebar cepat tetapi sangat sulit dipisahkan adalah mengikisnya kemungkinan keautentikan
manusia karena adanya tirani dari yang rata-rata (tyranny of the average). Tirani dari aturan
yang diktatorial dan otoriter, rejim dan institusi adalah bentuk nyata dari penindasan dan
paksaan. Tirani dari yang rata-rata tampak seolah demokratis tetapi dalam kenyataannya
adalah gejala penyakit pikiran massa dan pilihan-pilihan nilainya. Dalam masyarakat yang
berorientasi konsumsi, produk barang dan jasa dibuat dan dipasarkan untuk membentuk
kelompok konsumen terbesar. Media massa, seni dan hiburan juga dirancang sebagai produk
yang akan menarik lebih banyak audiens. Agen-agen ini yang disebut sebagai agen
pendidikan informal merefleksikan dan menciptakan selera populer. Dalam masayarakat yang
seperti ini, penyimpangan dari yang rata-rata atau kebanyakan orang tidak akan diterima baik.
Keunikan menjadi begitu mahal sehingga hanya dapat dinikmati oleh orang-orang istimewa,
yaitu kaum elit, atau oleh orang-orang yang tidak populer disebut masyarakat marjinal
(Gutek, 1988:123-124).
Secara filosofis, hal tersebut merupakan pemberontakan terhadap cara hidup individu
dalam budaya populer. Harapan kaum eksistensialis, individu menjadi pusat dari upaya
pendidikan. Maka, sebagaimana dikatakan oleh Van Cleve Morris bahwa penganut
eksestensialis dalam pendidikan lebih fokus untuk membantu secara individual dalam
merealisasikan diri secara penuh melalui bebera pernyataan berikut:
a. Saya sebagai wakil dari kehendak, tidak sanggup menghindar dari kehendak hidup
yang telah ada;
b. Saya sebagai wakil yang bebas, bebas mutlak dalam menentukan tujuan hidup;
c. Saya wakil yang bertanggungjawab, pribadi yang terukur untuk memilih secara bebas
yang tampak pada cara saya menjalani hidup.
Tata cara para guru eksistensialis tidak ditemukan pada tata cara guru tradisional.
Guru-guru eksistensialis tidak pernah terpusat pada pengalihan pengetahuan kognitif dan
dengan berbagai pertanyaan. Ia akan lebih cenderung membantu siswa-siswa untuk
mengembangkan kemungkinan-kemungkinan pertanyaan.
Guru akan fokus pada keunikan indiviadu di antara sesama siswa. Ia akan
menunjukkan tidak ada dua individu yang benar-benar sama di antara mereka yaang sama
satu sama lain, karena itu tidak ada kebutuhan yang sama dalam pendidikan. Penganut
eksistensialis akan mencari hubungan setiap murid sebagaimana yang disebutkan sebagai
acuan hubungan Buber dalam I-Thou dan I-It. Hal itu berarti, ia akan memperlakukan siswa
secara individual di mana ia dapat mengidentifikasi dirinya secara personal.
Para guru eksistensialis berusaha keras memperjelas pernyataan Rogers tentang
fasilitator. Dalam aturan ini guru memperhatikan emosi dan hal-hal yang tidak masuk akal
pada setiap invidu, dan berupaya untuk memandu siswanya untuk lebih memahami diri
mereka sendiri. Ia dan anak-anak muda yang bersamanya akan memunculkan pertanyaan-
pertanyaan tentang hidup, kematian, dan makna yang mereka tampilkan dalam berbagai
pengalaman kemanusiaan dengan beberapa sudut pandang. Melalui berbagai pengalaman ini,
guru-guru dan siswa akan belajar dan bertukar informasi tentang penemuan jati diri dan
bagaimana realisasinya dalam kehidupan dunia antar-sesama dan sebagai individu.
Kurikulum pada sekolah eksistensialis sangat terbuka terhadap perubahan karena ada
dinamika dalam konsep kebenaran, penerapan, dan perubahan-perubahannya. Melalui
perspektif tersebut, siswa harus memilih mata pelajaran yang terbaik. Tetapi, hal ini tidak
berarti bahwa mata pelajaran dan pendekatan kurikuler pada filsafat tradisional tidak diberi
tempat.
Ilmu humaniora juga tampak lebih luas dalam kurikulum eksistensialis, karena
mereka memberi banyak pemahaman dalam dilema-dilema utama eksistensi manusia.
Humaniora mengembangkan tema-tema di seputar penentuan pilihan manusia dalam dalam
hal seks, cinta, benci, kematian, penyakit, dan berbagai aspek kehidupan yang bermakna
lainnya. Mereka menyampaikan pandangan tentang manusia secara menyeluruh, baik dari
perspektif positif maupun negatif, dan oleh karena itu ilmu mampu menolong manusia
memahami dirinya sendiri. Di luar ilmu dasar dan humaniora, kurikulum eksistensialis
terbuka untuk lainnya. Beberapa mata pelajaran yang bermakna bagi individu disepakati
untuk diajarkan.
Kriteria metodologi kaum eksistensialis berpusat seputar konsep tanpa kekerasan dan
metode-metode itu yang akan membantu siswa menemukan dan menjadi dirinya sendiri.
Mungkin tipe ideal metodologi kaum eksistensialis dapat dilihat sebagaimana pendekatan
yang dilakukan oleh Carl Rogers “kebebasan belajar” (1969) dan A.S. Neills di Sumerhill:
sebuah pendekatan radikal dalam pembelajaran anak (1960).
Kaum eksistensialis secara umum tidak menaruh perhatian khusus terhadap kebijakan
sosial pendidikan atau sekolah. Filsafat mereka bertumpu pada kebebasan individual
daripada aspek-aspek sosial eksistensi manusia (Knight, 1982:76-77).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara
Lahirnya aliran-aliran dalam filsafat pendidikan pun selalu didasarkan atas keinginan
menciptakan manusia-manusia ideal melalui jalur pendidikan. Aliran-aliran di dalam filsafat
pendidikan di antaranya adalah progresivisme, perenialisme, essensialisme,
rekonstruksionisme dan eksistensialisme.
3.2 Saran
Sebagai calon guru sudah sepantasnya kita memilih filsafat yang baik untuk kita
terapkan dan aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari supaya kita menjadi insan yang
memahami akan makna kehidupan dunia ini dan supaya bisa menjadi uswatun khasanah (suri
tauladan) bagi peserta didik kita.
DAFTAR PUSTAKA