Anda di halaman 1dari 21

Tugas Pertemuan ke Sepuluh MK DDIP

RINI OKTAVIA
20075099

A. Pemikiran Klasik tentang Pendidikan


1. Pemikiran Klasik
Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, yang
memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara,
mengawetkan dan meneruskan warisan budaya. Teori pendidikan ini lebih
menekankan peranan isi pendidikan dari pada prosesnya.  Isi pendidikan atau
bahan pengajaran diambil dari sari ilmu pengetahuan yang telah ditemukan
dan dikembangkan oleh para ahli di bidangnya dan disusun secara logis dan
sistematis. Misalnya teori fisika, biologi, matematika, bahasa, sejarah dan
sebagainya.
Perbedaan padangan tentang faktor dominan dalam perkembangan
manusia tersebut menjadi dasar perbedaan pendangan tentang peran
pendidikan terhadap manusia, mulai dari yang paling pesimis sampai yang
paling optimis.  Aliran-aliran itu pada umumnya mengemukakan satu faktor
dominan tertentu saja dan dengan demikian suatu aliran dalam pendidikan
akan mengajukan gagasan  untuk mengoptimalkan faktor tersebut untuk
mengembangkanmanusia.Teori-teori yang terdapat dalam ilmu pendidikan
dilahirkan oleh 4 aliran yang berbeda, yaitu:
 
2. Aliran Nativisme
Nativisme berasal dari kata Nativus yang berarti kelahiran. Tokoh
aliran ini adalah Arthur Schopenhauer (1788-1860) seorang filosof jerman,
yang berpendapat bahwa hasil pendidikan dan perkembangan manusia itu
ditentukan oleh pembawaan yang diperolehnya sejak anak itu dilahirkan. Anak
dilahirkan kedunia sudah mempunyai pembawaan dari orang tua maupun
disekelilingnya, dan pembawaan itulah yang menentukan perkembangan dan
hasil pendidikan. Faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang
berpengaruh terhadap pendidikan dan perkembangan anak. Bayi itu lahir
sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk.
Oleh karena itu hasil akhir pendidikan di tentukan oleh pembawaan
yang sudah di bawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini maka keberhasilan
pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri. Ditekankan bahwa yang
jahat akan menjadi jaha, dan yang baik akan menjadi baik. Menurut kaum
nativisme itu, pendidikan tidak dapat mengubah sifat-sifat pembawaan. Jadi
jika benar pendapat tersebut, percumalah kita mendidik atau dengan kata lain
pendidikan tidak perlu. Dalam ilmu pendidikan, hal ini disebut pesimisme
pedagogis, karena sangat pesimis terhadap upaya-upaya dan hasil pendidikan.
Terdapat suatu pokok pendapat aliran nativisme yang berpengaruh luas
yakni bahwa dalam diri individu terdapat sutu “inti” pribadi (G. Leibnitz:
Monad) yang mendorong manusia untuk mewujudkan diri, mendorong
manusia dalam menentukan pilihan dan kemauan sendiri, dan yang
menempatkan manusia sebagai makhluk aktif yang mempunyai kemauan
bebas. Pandangan-pandangan tersebut tampak antara lain humanistic
psychology dari Carl. Rogers ataupun pandangan phenomenology/ humanistik
lainnya.
Faktor perkembangan manusia dalam teori Nativisme, yaitu:
 Faktor genetik
Adalah faktor gen dari kedua orangtua yang mendorong adanya suatu
bakat yang muncul dari diri manusia. Contohnya adalah Jika kedua
orangtua anak itu adalah seorang penyanyi maka anaknya memiliki
bakat pembawaan sebagai seorang penyanyi yang prosentasenya besar.
 Faktor Kemampuan Anak
Adalah faktor yang menjadikan seorang anak mengetahui potensi yang
terdapat dalam dirinya. Faktor ini lebih nyata karena anak dapat
mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Contohnya adalah
adanya kegiatan ekstrakurikuler di sekolah yang mendorong setiap
anak untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya sesuai
dengan bakat dan minatnya.
 Faktor Pertumbuhan Anak
Adalah faktor yang mendorong anak mengetahui bakat dan minatnya
di setiap pertumbuhan dan perkembangan secara alami sehingga jika
pertumbuhan anak itu normal maka dia kan bersikap enerjik, aktif, dan
responsive terhadap kemampuan yang dimiliki. Sebaliknya, jika
pertumbuhan anak tidak normal maka anak tersebut tidak bisa
mngenali bakat dan kemampuan yang dimiliki.
Tujuan teori Nativisme adalah:
Didalam teori ini menurut G. Leibnitz: Monad “Didalam diri individu
manusia terdapat suatu inti pribadi”. Sedangakan dalam teori Teori Arthur
Schopenhauer (1788-1860) dinyatakan bahwa perkembangan manusia
merupakan pembawaan sejak lahir atau bakat. Sehingga dengan teori ini setiap
manusia diharapkan:
 Mampu memunculkan bakat yang dimiliki
 Mendorong manusia mewujudkan diri yang berkompetensi
 Mendorong manusia dalam menetukan pilihan
 Mendorong manusia untuk mengembangkan potensi dari dalam diri
seseorang
 Mendorong manusia mengenali bakat minat yang dimiliki

3. Aliran Naturalisme
Naturalisme merupakan teori yang menerima “nature” (alam) sebagai
keseluruhan realitas. Istilah “nature” telah dipakai dalam filsafat dengan
bermacam-macam arti, mulai dari dunia fisik yang dapat dilihat oleh manusia,
sampai kepada sistem total dari fenomena ruang dan waktu. Natura adalah
dunia yang diungkapkan kepada kita oleh sains alam. Istilah naturalisme
adalah sebaliknya dari istilah supernaturalisme yang mengandung pandangan
dualistik terhadap alam dengan adanya kekuatan yang ada (wujud) di atas atau
di luar alam ( Harold H. Titus e.al. 1984).
Aliran ini sama dengan aliran nativisme. Naturalisme yang dipelopori
oleh Jean Jaquest Rousseau, bependapat bahwa pada hakekatnya semua anak
manusia adalah baik pada waktu dilahirkan yaitu dari sejak tangan sang
pencipta. Tetapi akhirnya rusak sewaktu berada ditangan manusia, oleh karena
Jean Jaquest Rousseau menciptakan konsep pendidikan alam, artinya anak
hendaklah dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri menurut alamnya,
manusia jangan banyak mencampurinya.
Aliran ini juga disebut negativisme, karena berpendapat bahwa
pendidik wajib membiarkan pertumbuhan anak pada alam. Jadi dengan kata
lain pendidikan tidak di perlukan. Yang di laksanakan adalah menyerahkan
anak didik kepada alam, agar pembawaan yang baik itu tidak menjadi rusak
oleh tangan manusia melalui proses dan kegiatan pendidikan itu.
Jean Jaquest Rousseau ingin menjauhkan anak dari segala keburukan
masyarakat yang serba dibuat-buat (artificial) sehingga kebaikan anak-anak
yang di peroleh secara alamiah sejak saat kelahirannya itu dapat tampak secara
spontan dan bebas. Jean Jaquest Rousseau  juga berpendapat bahwa jika anak
melakukan pelanggaran terhadap norma-norma, hendaklah orang tua atau
pendidik tidak perlu untuk memberikan hukuman, biarlah alam yang
menghukumnya. Jika seorang anak bermain pisau, atau bermain api kemudian
terbakar atau tersayat tangannya, atau bermain air kemudian ia gatal-gatal atau
masuk angin. Ini adalah bentuk hukuman alam. Biarlah anak itu merasakan
sendiri akibatnya yang sewajarnya dari perbuatannya itu yang nantinya
menjadi insaf dengan sendirinya
Hukum alam memiliki ciri sebagai berikut :
a. Segalanya berkembang dari alam
b. Perkembangan alam serba teratur, tidak meloncat-loncat melainkan terjadi
secara bertahap.
c. Alam, berkembang tidak tergesa-gesa melainkan menunggu waktu yang
tepat, sambil mengadakan persiapan.
Dimensi filsafat pendidikan Naturalisme yaitu:
 Dimensi utama dan pertama dari pemikiran filsafat pendidikan
Naturalisme di bidang pendidikan adalah pentingnya pendidikan itu sesuai
dengan perkembangan alam.Alam berkembang dengan teratur dan
menurut aturan waktu tertentu. Tidak pernah terjadi dalam perkembangan
alam, seekor kupu-kupu tiba-tiba dapat terbang tanpa terlebih dahulu
mengalami proses perkembangan mulai dari ulat menjadi kepompong dan
seterusnya berubah menjadi kupu-kupu. Begitu juga perkembangan alam
yang lain, buah apapun di dunia, selalu bermula dari bunga.
 Dimensi kedua dari filsafat pendidikan Naturalisme yang juga
dikemukakan oleh Comenius adalah penekanan bahwa belajar itu
merupakan kegiatan melalui Indra. Seperti yang disarankan oleh Wolfgang
Ratke pada para guru. Guru, kata Ratke pertamakali hendaknya
mengenalkan benda kepada anak lebih dahulu, baru setelah itu penjelasan
yang diperinci (exposition) tentang benda tersebut.
 Dimensi ketiga dari filsafat pendidikan Naturalisme adalah pentingnya
pemberian pemahaman pada akal akan kejadian atau fenomena dan hukum
alam melalui observasi. Observasi berarti mengamati secara langsung
fenomena yang ada di alam ini secara cermat dan cerdas. Seperti yang
dialami Copernicus, bahwa pemahaman kita akan menipu kita, apabila kita
berfikir bahwa mataharilah yang mengelilingi bumi, padahal sebenarnya
bumilah yang mengelilingi matahari.
 Demensi terakhir dari percikan pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme
juga dikembangkan oleh Jean Jacques Rousseau berkebangsaan Prancis
yang naturalis mengatakan bahwa pendidikan dapat berasal dari tiga hal,
yaitu ; alam, manusia dan barang. Bagi Rousseau seorang anak harus
hidup dengan prinsip-prinsip alam semesta.
4. Aliran Empirisme
Aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan
stimulsi eksternal dalam perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa
perkembangan anak tergantung kepada lingkungan, sedangkan pembawaan
tidak dipentingkan. Pengalaman yang diproleh anak dalam kehidupan sehari-
hari didapat dari dunia sekitarnya yang berupa stimulan-stimulan. Stimulasi ini
berasal dari alam bebas ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk
pendidikan. Tokoh perintisnya adalah John Locke filsuf Inggris (1704-1932)
yang mengungkapkan teori tabula rasa, yakni anak lahir di dunia bagaikan
kertas putih yang bersih. Pengalaman empirik yang diperoleh dari lingkungan
akan berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan anak.
Menurut pandangan empirisme (biasa pula disebut environmentalisme)
pendidik memegang peranan yang sangat penting sebab dalam perkembangan
anak menjadi manusia dewasa ditentukan oleh lingkungannya atau oleh
pendidikan dan pengalaman yang diterimanya sejak kecil. Manusia-manusia
dapat dididik menjadi apa saja (ke arah yang baik maupun kearah yang buruk)
menurut kehendak lingkungan atau pendidiknya. Dalam pendidikan, pendapat
kaum empiris ini terkenal dengan nama optimisme pedagogis. Empirisme
adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam
memperoleh pengetahuan dan mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme di
ambil dari bahasa Yunani empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman.
Sebagai suatu doktrin empirisme adalah lawan dari rasionalisme. Empirisme
berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang sempurna tidak
diperoleh melalui akal, melainkan di peroleh atau bersumber dari panca indera
manusia, yaitu mata, lidah, telinga, kulit dan hidung. Dengan kata lain,
kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan pengalaman manusia.
Aliran empirisme di pandang berat sebelah sebab hanya mementingkan
peranan pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Sedangkan kemampuan
dasar yang di bawa anak sejak lahir di anggap tidak menentukan, menurut
kenyataan dalam kehidupan sehari-hari terdapat anak yang berhasil karena
berbakat, meskipun lingkungan sekitarnya tidak mendukung. Keberhasilan ini
disebabkan oleh adanya kemampuan yang berasal dari dalam diri yang berupa
kecerdasan atau kemauan keras, anak berusaha mendapatkan lingkungan yang
dapat mengembangkan bakat atau kemampuan yang telah ada dalam dirinya.
Meskipun demikian, penganut aliran ini masih tampak pada pendapat-
pendapat yang memandang manusia sebagai makhluk yang pasif dan dapat
diubah, umpamanya melalui modifikasi tingkah laku. Hal itu tercermin pada
pandangan scientific psycology Skinner ataupun dengan behavioral.
Behaviorisme itu menjadikan prilaku manusia tampak keluar sebagai sasaran
kajianya, dengan tetap menekankan bahwa perilaku itu terutama sebagai hasil
belajar semata-mata. Meskipun demikian, pandangan-pandangan behavioral
ini juga masih bervariasi dalam menentukan faktor apakah yang paling utama
dalam proses belajar itu sebagai berikut:
a. Pandangan yang menekankan peranan pengamatan dan imitasi.
b. Pandangan yang menekankan peranan dari dampak ataupun balikan dari
sesuatu perilaku.
c. Pandangan yang menekankan peranan stimulus atau rangsangan terhadap
perilaku.
Seperti yang akan dikemukakan pada butir atau aliran konvergensi
pada bagian ini, beberapa pendapat dalam pandangan behavioral tersebut tidak
lagi sepenuhnya ala ”Tabula Rasa” dari J. Locke, karena telah mulai
diperhatikan pula faktor-faktor internal dari manusia.
 
5. Aliran Konvergensi       
Perintis aliran ini adalah William Stern (1871-1939), seorang ahli
pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan
di dunia sudah disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Penganut
aliran ini berpendapat bahwa dalam proses perkembangan anak, baik faktor
pembawaan maupun faktor lingkungan sama-sama mempunyai peranan
penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan
baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai dengan perkembangan
bakat tersebut. Sebaliknya lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan
perkembangan anak yang optimal kalau memang dalam dirinya tidak terdapat
bakat yang diperlukan dalam mengembangkan bakat tersebut. Sebagai contoh,
hakikat kemampuan anak manusia berbahasa dengan kata-kata adalah juga
hasil konvergensi.
Pada anak manusia ada pembawaan untuk berbicara melalui situasi
lingkungan, anak belajar berbicara dalam bahasa tertentu. Lingkungan pun
mempengaruhi anak didik dalam mengembangkan pembawaan bahasanya.
Karena itu tiap anak manusia mula-mula menggunakan bahasa lingkungannya,
misalnya bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Iggris, dan sebagainya.
Kemampuan dua orang anak (yang tinggal dalam satu lingkungan yang sama)
untuk mempelajari bahasa mungkin tidak sama. Itu disebabkan oleh adanya
perbedaan kuantitas pembawaan dan perbedaaan situasi lingkungan, biarpun
lingkungan kedua orang anak tersebut bahasa yang sama. Oleh karena itu
Stren berpendapat bahwa hasil pendidikan itu tergantung dari pembawaan dan
lingkungannya, seakan-akan dua garis menuju satu titik pertemuan.
Karena itu teori W. Stren disebut teori konvergensi (konvergen artinya
memusat kesatu titik). Jadi menurut teori konvergensi :
a. Pendidikan mungkin untuk dilaksanakan.
b. Pendidikan di artikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan
kepada anak didik untuk mengembangkan potensi yang baik dan
mencegah berkembangnya potensi yang kurang baik.
c. Yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan.
Aliran konvergensi pada umumnya diterima secara luas sebagai pandangan
yang tepat dalam memahami tumbuh kembang manusia.
William Stern mengatakan bahwa kemungkinan-kemungkinan yang
dibawa sejak lahir itu merupakan petunjuk-petunjuk nasib manusia yang akan
datang dengan ruang permainan. Dalam ruang permainan itulah terletak
pendidikan dalam arti yang sangat luas. Tenaga-tenaga dari luar dapat
menolong tetapi bukanlah ia yang menyebabkan perkembangan itu, karena ini
datangnya dari dalam yang mengandung dasar keaktifan dan tenaga
pendorong. Sebagai contoh : anak dalam tahun pertama belajar mengoceh,
baru kemudian becakap-cakap, dorongan dan bakat itu telah ada, di meniru
suara-suara dari ibunya dan orang disekelilingnya. Ia meniru dan
mendebgarkan dari kata-kata yang diucapkan kepadanya, bakat dan dorongan
itu tidak akan berkembang jika tidak ada bantuan dari luar yang
merangsangnya. Dengan demikian jika tidak ada bantuan suara-suara dari luar
atau kata-kata yang di dengarnya tidak mungkin anak tesebut bisa bercakap-
cakap.
A. Pemikiran Baru tentang Pendidikan
Pendidikan sebagai suatu kegiatan yang kompleks menuntut
penanganan untuk meningkatkan kualitasnya,baik yang bersifat menyeluruh
maupun pada beberapa komponen tertentu saja. Gerakan baru dalam
pendidikan pada umumnya termasuk yang kedua yaitu upaya peningkatan
mutu pendidikan hanya dalam satu atau beberapa komponen saja. Gerakan-
gerakan baru itu umunya sudah member kontribusi secara bervariasi terhadap
penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di sekolah sekarang ini. Gerakan
baru tersebut antara lain :
1. Pengajaran alam sekitar
Pengajaran alam sekitar merupakan gerakan yang mendekatkan anak
dengan sekitarnya. Perintis gerakan ini antara lain Fr. A. Finger (1808-1888)
di jerman dengan istilahnya heimatkunde (pengajaran alam sekitar), dan
J.Lighthart (1859-1916) di Belanda dengan Het volle-Leven (kehidupan
senyatanya)
Beberapa prinsip gerakan heitmakunde antara lain:
a) Dengan pengajaran alam itu, guru dapat memperagakan secara langsung
sesuai dengan sifat-sifat atau dengan dasar-dasar pengajaran.
b) Pengajaran alam sekitar memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya
agar anak aktif atau giat tidak hanya duduk, dengar, dan mencatat saja.
c) Pengajaran alam memungkinkan untuk memberikan pengajaran totalitas.
d) Pengajaran alam sekitar memberikan  kepada anak bahan apresiasi
intelektual yang kukuh dan tidak verbalitas.
e) Pengajaran alam sekitar memberikan aspirasi emosional, karena alam
sekitar mempunyai ikatan alam emosional dengan anak.
Dengan ini maka alam sekitar tidak berbeda untuk anak ataupun orang
dewasa, karena segala kejadian di alam dan sekitarnya merupakan sebagian
dari hidupnya sendiri dalam suka maupun duka. Karena alam sekitar juga
termasuk dalam katagori ruang lingkup dalam pendidikan yaitu pendidikan
secara arti luas, dimana objek pendidikanya adalah lingkungan setempat.
Prisip-prinsip Het volle Leven (Kehidupan senyatanya) yaitu:
a) Anak harus mengetahui barangnya terlebih dahulu sebelum mengetahui
namanya.
b) Pengajaran sesungguhnya harus mendasarkan pada pengajaran selanjutnya
atau mata pengajaran yang lain harus dipusatkan atas pengajaran itu.
c) Haruslah dilakukan perjalanan memasuki hidup senyatanya kesemua
jurusan,  agar semua murid paham akan hubungan antara bermacam-
macam lapangan dalam hidupnya.
Pokok-pokok pendapat pengajaran alam sekitar tersebut telah banyak
dilakukan disekolah, baik dengan peragaan, penggunaan bahan lokal dalam
pengajaran dan lain-lain. Menurut Tirtarahardja dan Sula berpendapat bahwa
konsep pendidikan alam sekitar telah ditetapkan adanya materi pelajaran
muatan lokal dalam kurikulum, termasuk penggunaan alam sekitar.
Dengan kurikulum muatan lokal tersebut diharapkan anak semakin
dekat dengan alam sekitar dan masyarakat lingkungannya. Disamping alam
sekitar sebagai bahan ajaran, alam sekitar juga menjadi kajian empirik melalui
percobaan, studi banding dan sebagainya. Dengan memanfaatkan sumber daya
alam sekitar diharapkan anak dapat mencintai, menghargai, dan melestarikan
lingkungan alam sekitar sebagai sumber kehidupannya.
2. Pengajaran Pusat Perhatian
Model pembelajaran pusat perhatian dirintis oleh Ovide Decroly
(1871-1932) dari Belgia dengan pengajaran melalui pusat-pusat minat
(centresd’Interet). Dalam metode ini, peserta didik harus dapat hidup dalam
masyarakat dan dipersiapkan untuk masyarakat, anak harus diarahkan kepada
pembentukan individu dan sebagai anggota masyarakat. Karenanya, anak
harus mempunyai pengetahuan terhadap diri sendiri seperti hasrat dan cita-
citanya, kemudian pengetahuan tentang dunianya seperti lingkungannya dan
tempat hidup di hari depannya. Menurut Decroly dalam Syaiful Sagala, dunia
ini terdiri dari alam dan kebudayaan, dan dunia itu harus hidup dan setiap
orang harus dapat mengembangkan kemampuan untuk mencapai cita-citanya.
Dari penelitian secara tekun, Decroly menyumbangkan dua pendapat
yang sangat berguna bagi pendidikan dan pengajaran,yang merupakan dua hal
yang khas dari Decroly yaitu:
a. Metode global (keseluruhan). Dari hasil observasi dan tes,dapatlah ia
menetapkan,bahwa anak – anak mengamati dan mengingat secara global
(keseluruhan). Mengingat keseluruhan terlebih dahulu daripada bagian –
bagian. Jadi ini berdasar pada prinsip psikologi Gestalt. Dalam
mengajarkan membaca dan menulis, ternyata mengajarkan kalimat lebih
mudah daripada mengajarkan kata – kata lepas. Sedang kata lebih mudah
diajarkan daripada mengajarkan huruf – huruf secara tersendiri.
b. Centres d’interet (pusat – pusat minat). Dari penyelidikan psikologik, ia
menetapkan bahwa anak – anak mempunyai minat yang spontan
(sewajarnya). Pengajaran harus disesuaikan dengan minat – minat spontan
tersebut. Sebab apabila tidak, yaitu misalnya minat yang ditimbulkan oleh
guru, maka pengajaran itu tidak akan banyak hasilnya. Anak mempunyai
minat – minat spontan terhadap diri sendiri dan minat spontan terhadap
diri sendiri itu dapat kita bedakan menjadi:
- Dorongan mempertahankan diri
- Dorongan mencari makan dan minum
- Dorongan memelihara diri
Sedangkan minat terhadap masyarakat (biososial) adalah :
- Dorongan sibuk bermain – main
- Dorongan meniru orang lain
Dorongan –dorongan inilah yang digunakan sebagai pusat – pusat minat,
sedangkan pendidikan dan pengajaran harus selalu dihubungkan dengan
pusat – pusat minat tersebut.
Prinsip pengajaran pusat perhatian
Prinsip model pembelajaran pusat perhatian adalah; sekolah merupakan
laboratorium untuk mengadakan penyelidikan demi kebaikan sistem pendidikan dan
pengajaran. Dalam sekolah, anak didik diuji berbagai dasar aliran dalam dunia
pengajaran modern seperti:
1. Sekolah berhubungan langsung dengan alam dan penghidupan sekitarnya.
2. Pendidikan dan pengajaran berdasarkan atas perkembangan anak. Tiap-
tiap anak mempunyai perbedaan antara lain kesanggupan, tingkat
kepandaian, tempo irama perkembangan, perhatian, pembawaan, bakat,
dan sebagainya.
3. Sekolah kerja.
4. Pendidikan yang fungsional dan praktis.
5. Pendidikan kesosialan dan kesusilaan dengan member kesempatan untuk
bekerjasama.
6. Kerjasama antar rumah dan sekolah.
7. Co edukasi.
8. Mempergunakan alat baru seperti percetakan, pengmpulan alat pelajaran
oleh peserta didik sendiri. Semua hal ini telah diperaktekkan oleh Decroly
di sekolahnya.
3. Sekolah kerja
Gerakan sekolah kerja dapat dipandang sebagai titik kulminasi dari
pandangan-pandangan yang mementingan pendidikan keterampilan. Model
pembelajaran sekolah kerja ini dipelopori oleh G.Kerschensteiner (1854-1932)
dengan konsep ”Arbeitschule” (sekolah kerja) di Jerman.
Model pembelajaran sekolah kerja ini bertolak dari pandangan bahwa
pendidikan tidak hanya tidak hanya demi kepentingan individu, tetapi juga
demi kepentingan masyarakat. Dengan kata lain sekolah berkewajiban
menyiapkan warga negara yang baik yakni:
a. Tiap orang adalah pekerja dalam salah satu lapangan kerja
b. Tiap orang wajib menyumbangkan tenaganya untuk kepentingan Negara
c. Dalam menunaikan kedua tugas tesebut haruslah selalu diusahakan
kesempurnaannya, agar dengan jalan itu tiap warga Negara ikut membantu
mempertinggi dan menyempurnakan kesusilaan dan keselamatan Negara.
Tujuan sekolah kerja adalah:
a. Menambah pengetahuan anak baik buku maupun dari pengalaman sendiri
b. Agar anak dapat memiliki pengetahuan dan kemahiran tertentu
c. Agar anak memiliki pekerjaan sebagai persiapan untuk mengabdi kepada
Negara. Intinya bahwa kewajiban utama sekolah adalah mempersiapkan
peserta didik untuk dapat bekerja.
Kerchensteiner berpendapat bahwa kewajiban utama sekolah adalah
mempersiapkan anak – anak untuk dapat bekerja. Bukan pekerjaan otak yang
dipentingkan, melainkan pekerjaan tangan, sebab pekerjaan tangan adalah
dasar dari segala pengetahuan adat,agama, bahasa, kesenian, ilmu
pengetahuan, dan lain – lain. Oleh karena demikian banyaknya macam
pekerjaan yang enjadi pusat pelajaran, maka sekolah kerja dibagi menjadi 3
golongan besar :
1) Sekolah – sekolah perindustrian (tukang cukur,tukang cetak, tukang
kayu,tukang daging, masinis, dan lain – lain.)
2) Sekolah – sekolah perdagangan (makanan, pakaian, bank, asuransi,
pemegang buku, porselin, pisau, dan gunting dari besi dan lain- lain)
3) Sekolah – sekolah rumah tangga ,bertujuan mendidik para calon ibu
yang diharapkan akan menghasilkan warga Negara yang baik.
Segala pekerjaan itu dilaksanakan di sekolah sehingga sekolah
mempunyai alat-alat lengkap dan tempat (ruang ) yang
cukup;dapur,laboratorium,kebun sekolah, tempat bertukang, dan sebagainya.
Dasar-dasar sekolah kerja yaitu:
a. Di dalam sekolah kerja, anak aktif berbuat, mengamati sendiri, mencari
jalan sendiri, memikirkan dan memecahkan sendiri setiap persoalan yang
dihadapi.
b. Pusat kegiatan pendidikan dan pengajarn ialah anak, bukan guru, metode
ataupun bahan pelajaran.
c. Sekolah kerja mendidik anak menjadi pribadi yang berani berdiri sendiri
dan bertanggung jawab sebagai anggota masyarakat yang baik.
d. Bahan pelajaran disusun dalam suatu keseluruhan (totalitas) yang berpusat
pada masalah kehidupan. Masalah-masalah kehidupan ini haruslah erat
hubungannya dengan minat dan perhatian anak
e. Sekolah kerja tidak mementingkan pengetahuan sikap yang bersifat
hafalan atau hasil peniruan, melainkan pengetahuan fungsional yang dapat
dipergunakan untuk berprakarsa, emncipta dan berbuat.
f. Pendidikan kecerdasan tidak dapat diberikan dengan memberitahukan atau
menceritakan kepada anak melainkan anak sendiri yang harus menjalani
proses berpikir sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
g. Sekolah kerja merupakan suatu bentuk masyarakat kecil yang di dalamnya
anak-anak mendapatkan latihan dan pengalaman yang amat penting artinya
bagi pendidikan moral, sosial dan kecerdasan.

4. Sekolah proyek
Dasar filosofis pengajaran proyek diletakkan oleh John Dewey (1859-
1952), namun pelaksanaannya dilakukan oleh pengikutnya utamanya
W.H.Kilpatrick (1871), Dewey menegaskan bahwa sekolah adalah
mikrokosmos dari masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan adalah proses
kehidupan itu sendiri dan bukannya persiapan untk kehidupan di masa depan.
Perlu pula dikemukakan bahwa Dewey merupakan peletak dasar dari falsafah
pragmatisme dan penganut behaviorisme. J.Dewey sering dipandang sebagai
pemikir dan peletak masyarakat modern amerika.

Langkah-langkah Pokok Pengajaran Proyek


Pada dasarnya ada 3 langkah pokok, yaitu persiapan, kegiatan belajar, dan pameran.
a. Persiapan : termasuk dalam langkah ini ialah penetapan masalah yang akan
dibahas. Dalam langkah ini guru merangsang anak-anak agar mereka dapat
memikirkan, mengusulkan dan mendiskusikan apa yang perlu mereka pelajari.
Setelah masalah itu ditetapkan persiapan-persiapan lebih lanjut dilakukan, seperti
menetapkan jenis-jenis kegiatan yang akan dilakukan, siapa-siapa yang akan
melakukan kegiatan itu masing-masing, peralatan yang di perlukan, jedwal
kegiatan. Persiapan ini perlu disusun dalam bentuk rencana yang nyata, lengkap, 
dan jelas sangkut paut kegiatan yang satu dengan yang lainnya. Dalam menyusun
persiapan ini perlu di praktekkan metode ilmiah berupa penyusunan hipotesis dan
pengajuan alternatif terdahulu
b. Kegiatan Belajar : kegiatan ini pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari
rencana yang telah disiapkan terdahulu itu. Kegiatan dapat diawali dengan
perjalanan sekolah, karyawisata, peninjauan, atau pengamatan suatu objek,
membaca buku, majalah dan membuat catatan tentang apa yang diamati atau di
baca itu. Berdasarkan hasil kegiatan seperti diskusi, membuat karangan,
menyusun model, menjawab pertanyaan, menyusun diagram, membuat laporan
dan sebagainya. Kegiatan belajar ini pada dasarnya merupakan usaha mencari
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan atau hipotesis-hipotesis yang telah
dikemukakan terdahulu.
c. Penilaian : bentuk penilaian yang sering dilakukan ialah dengan mengadakan
pameran. Semua hasil kegiatan yang dilakukan oleh anak-anak di pamerkan.
Seluruh warga kelas memperhatikan apa yang di pamerkan itu, memberikan
tanggapan, kritik, menambah hal-hal yang dirasa masih kurang, dan sebagainya.
Pada akhir kegiatan suatu proyek, anak-anak diminta membuat catatan pada buku
proyeknya masing-masing. Buku proyek ini sifatnya perorangan sehingga bentuk
dan isi buku proyek anak satu dapat berbeda dengan anak yang lain.
Keuntungan Pengajaran Proyek
a. Meningkatkan motivasi. Laporan-laporan tertulis tentang proyek itu banyak yang
mengatakan bahwa siswa suka tekun sampai kelewat batas waktu, berusaha keras
dalam mencapai proyek. Guru juga melaporkan pengembangan dalam kehadiran
dan berkurangnya keterlambatan. Siswa melaporkan bahwa belajar dalam proyek
lebih fun daripada komponen kurikulum yang lain.
b. Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. Penelitian pada pengembangan
keterampilan kognitif tingkat tinggi siswa menekankan perlunya bagi siswa untuk
terlibat di dalam tugas-tugas pemecahan masalah dan perlunya untuk
pembelajaran khusus pada bagaimana menemukan dan memecahkan masalah.
Banyak sumber yang mendiskripsikan lingkungan belajar berbasis proyek
membuat siswa menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan problem-problem
yang kompleks.
c. Meningkatkan kolaborasi. Pentingnya kerja kelompok dalam proyek memerlukan
siswa mengembangkan dan mempraktikkan keterampilan komunikasi ( Johnson
& Johnson, 1989). Kelompok kerja kooperatif, evaluasi siswa, pertukaran
informasi online adalah aspek-aspek kolaboratif dari sebuah proyek. Teori-teori
kognitif yang baru dan konstruktivistik menegaskan bahwa belajar adalah
fenomena sosial, dan bahwa siswa akan belajar lebih di dalam lingkungan
kolaboratif (Vygotsky, 1978; Davidov, 1995).
d. Meningkatkan keterampilan mengelola sumber. Bagian dari menjadi siswa yang
independen adalah bertanggungjawab untuk menyelesaikan tugas yang kompleks.
Pembelajaran Berbais Proyek yang diimplementasikan secara baik memberikan
kepada siswa pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasi proyek, dan
membuatnya.

5. Home Schooling
Homeschooling adalah sebuah system pendidikan alternatif untuk anak
selain di sekolah. Dimana saat ini mulai perkembang di Indonesia , dan
keberadaanya sah dan dijamin undang - undang. Homeschooling mulai
menjadi pilihan masyarakat sebagai alternatif metode pendidikan karena
beberapa hal, misalnya karena adanya keinginan masyarakat untuk lebih
fleksibel dalam mendidik anak, menyediakan system pendidikan yang lebih
ramah terhadap perkembangan anak, maupun menjamin bahwa proses belajar
mengajar anak bisa terlaksana secara maksimal.
Hal ini terjadi karena adanya keinginan para orang tua untuk
memberikan pendidikan terhadap anak yang lebih sesuai dengan bakat dan
minat sang anak, maupun karena disebabkan adanya kondisi di system
pendidikan konvensional yang tidak bisa memuaskan kehendak orang tua
untuk mendidik anaknya, misalnya terjadi kasus kekerasan terhadap anak,
maupun system pendidikan masal yang mengakibatkan potensi anak kurang
tergali secara maksimal. (Wahyuni. 2008)

6. Sekolah Alam
Sekolah Alam merupakan salah satu sekolahan yang menerapkan pola
pendidikan yang berbasiskan cara-cara otak bekerja dalam menyerap suatu
informasi atau ilmu. Metode yang sering digunakan dalam Sekolah Alam
adalah belajar aktif yang biasa dikembangkan melalui ceramah dan diskusi,
pemecahan masalah, dan presentasi. Sebelumnya siswa dapat mengambil
bahan atau permasalahan dengan melilihat, menyentuh, dan merasakan secara
langsung ke alam. Tempat belajar tidak hanya terpancang pada kelas. Proses
belajar yang diterapkan adalah sistem spider web yakni siswa diijinkan untuk
memilih materi pembelajaran sesuai dengan kehendaknya. Model pendidikan
sekolah alam tersebut umumnya menggabungkan dan mengembangkan aspek
intelektual, emosional, spiritual serta berbagai ketrampilan hidup siswa.
Mutu pendidikan Indonesia masih jauh dari negara-negara lain, bahkan
masih di bawah Vietnam. Ini berarti ada yang salah dengan sistem pendidikan
di negara ini, Suasana belajar yang menyenangkan dan membuat anak-anak
senang dan merasa bahwa belajar adalah suatu kebutuhan dan kesenangan,
bukan sesuatu yang membosankan dan harus dipaksakan (Hardian. 2010)
Hampir seluruh sekolah alam yang ada memiliki konsep utama yaitu
upaya memaksimalkan potensi anak untuk tumbuh menjadi manusia yang
berkarakter, berakhlak mulia, berwawasan ilmu pengetahuan dan siap menjadi
pemimpin. Metode pengajaran sekolah alam juga membuat bersekolah lebih
menyenangkan dan anak tidak merasa terpenjara.
Sekolah alam juga mendorong anak untuk aktif dan kreatif dan bukan
semata-mata mendapatkan materi yang diberikan oleh guru, menciptakan
hubungan belajar tanpa sekat antara guru dan murid. Selama ini arah belajar di
sekolah selalu dari guru ke murid, sehingga ada jarak antara mereka. Sekolah
alam ini muncul sebagai sekolah yang non-classical dan tanpa sekat,
Sekolah alam pada umumnya menggunakan konsep tematik. Setiap
tema dibahas dari berbagai sisi akhlak, seni, bahasa, kepemimpinan, dan ilmu
pengetahuan. Tiap tingkatan memiliki sejumlah tema pembahasan yang
berbeda-bedaPelajaran di sekolah alam juga padat dengan materi keagamaan.
yaitu melancarkan hapalan Al-Quran

7. PendidikanBerasrama (Boarding School)


Sekolah Berasrama adalah alternative terbaik buat para orang tua
menyekolahkan anak mereka dalam kondisi apapun. Selama 24 jam anak
hidup dalam pemantauan dan control yang total dari pengelola, guru, dan
pengasuh di seklolah-sekolah berasrama. Anak betul-betul dipersiapkan untuk
masuk kedalam dunia nyata dengan modal yang cukup, tidak hanya
kompetensi akademis, tapi skill-skill lainnya dipersiapkan sehingga mereka
mempunyai senjata yang ampuh untuk memasuki dan manaklukan dunia ini.
Di sekolah berasrama anak dituntut untuk dapat menjadi manusia yang
berkontribusi besar bagi kemanusiaan. Mereka tidak hanya hidup untuk
dirinya dan keluarganya tapi juga harus berbuat untuk bangsa dan Negara.
Oleh sebab itu dukungan fasilitas terbaik, tenaga pengajar berkualitas, dan
lingkungan yang kondusif harus didorong untuk dapat mencapai cita-cita
tersebut.(Sanaky. 2010)
Keunggulan Boarding School
 Program Pendidikan Paripurna
Umumnya sekolah-sekolah regular terkonsentrasi pada kegiatan-kegiatan
akademis sehingga banyak aspek hidup anak yang tidak tersentuh. Hal ini
terjadi karena keterbatasan waktu yang ada dalam pengelolaan program
pendidikan pada sekolah regular. Sebaliknya, sekolah berasrama dapat
merancang program pendidikan yang komprehensif-holistic dari program
pendidikan keagamaan, academic development, life skill(soft skill dan
hard skill) sampai membangun wawasan global. Bahkan pembelajaran
tidak hanya sampai pada tataran teoritis, tapi juga implementasi baik
dalam konteks belajarilmu ataupun belajar hidup.
 Fasilitas Lengkap
Sekolah berasrama mempunyai fasilitas yang lengkap; mulai dari fasilitas
sekolah yaitu kelasbelajar yang baik(AC, 24 siswa, smart board, mini
library, camera), laboratorium, clinic, sarana olah raga semua cabang olah
raga, Perpustakaan, kebun dan tamanhijau. Sementara di asrama
fasilitasnya adalah kamar(telepon, TV, AC, Pengering Rambut, tempat
handuk, karpet diseluruh ruangan, tempat cuci tangan, lemari kamar
mandi, gantungan pakaian dan lemari cuci, area belajar pribadi, lemari es,
detector kebakaran, jam dinding, lampu meja, cermin besar, rak-rak yang
luas, pintu darurat dengan pintu otomatis. Sedangkan fasilitas dapur terdiri
dari: meja dan kursi yang besar, perlengkapan makan dan pecah belah
yang lengkap, microwape, lemari es, ketel otomatis, pembuat roti
sandwich, dua toaster listrik, tempat sampah, perlengkapan masak
memasak lengkap, dan kursi yang nyaman.
 Guru yang Berkualitas
Sekolah-sekolah berasrama umumnya menentukan persyaratan kualitas
guru yang lebih jika dibandingkan dengan sekolah konvensional.
Kecerdasan intellectual, social, spiritual, dan kemampuan paedagogis-
metodologis serta adanya ruh mudarris pada setiap guru di sekolah
berasrama. Ditambah lagi kemampuan bahsa asing: Inggris, Arab,
Mandarin, dll. Sampai saat ini dalam penilaian saya sekolah-sekolah
berasrama(boarding school) belum mampu mengintegrasikan guru sekolah
dengan guru asrama. Masih terdapat dua kutub yang sangat ekstrim antara
kegiatan pendidikan dengan kegiatan pengasuhan. Pendidikan dilakukan
oleh guru sekolah dan pengasuhan dilakukan oleh guru asrama.
 Lingkungan yang Kondusif
Dalam sekolah berasrama semua elemen yang ada dalam komplek sekolah
terlibat dalam proses pendidikan. Aktornya tidak hanya guru atau bisa
dibalik gurunya bukan hanya guru mata pelajaran, tapi semua orang
dewasa yang ada di boarding school adalah guru. Siswa tidak bisa lagi
diajarkan bahasa-bahasa langit, tapi siswa melihat langsung praktek
kehidupan dalam berbagai aspek. Guru tidakhanya dilihatnya di dalam
kelas, tapi juga kehidupan kesehariannya. Sehingga ketika kita
mengajarkan tertib bahasa asing misalnya maka semuanya dari mulai
tukang sapu sampai principal berbahasa asing. Begitu juga dalam
membangun religius socity, maka semua elemen yang terlibat
mengimplementasikan agama secara baik.
 Siswa yang heterogen
Sekolah berasrama mampu menampung siswa dari berbagai latar belakang
yang tingkat heteroginitasnya tinggi. Siswa berasal dari berbagai daerah
yang mempunyai latar belakang social, budaya, tingkat kecerdasan,
kempuan akademik yang sangat beragam. Kondisi ini sangat kondusif
untuk membangun wawasan national dan siswa terbiasa berinteraksi
dengan teman-temannya yang berbeda sehingga sangat baik bagi anak
untuk melatih wisdom anak dan menghargai pluralitas.
 Jaminan Keamanan
Sekolah berasrama berupaya secara total untuk menjaga keamanan siswa-
siswinya. Makanya, banyak sekolah asrama yang mengadop pola
pendidikan militer untuk menjaga keamanan siswa-siswinya. Tata tertib
dibuat sangat rigid lengkap dengan sangsi-sangsi bagi pelanggarnya.
Daftar “dosa” dilist sedemikan rupa dari dosa kecil, menengah sampai
berat. Jaminan keamanan diberikan sekolah berasarama, mulai dari
jaminan kesehatan(tidak terkena penyakit menular), tidak NARKOBA,
terhindar dari pergaulan bebas, dan jaminan keamanan fisik(tauran dan
perpeloncoan), serta jaminan pengaruh kejahatan dunia maya.
 Jaminan Kualitas
Sekolah berasrama dengan program yang komprehensif-holistik, fasilitas
yang lengkap, guru yang berkualitas, dan lingkungan yang kondusif dan
terkontrol, dapat memberikan jaminan kualitas jika dibandingkan dengan
sekolah konvensional. Dalam sekolah berasrama, pintar tidak pintarnya
anak, baik dan tidak baiknya anak sangat tergantung pada sekolah karena
24 jam anak bersama sekolah. Hampir dapat dipastikan tidak ada variable
lain yang “mengintervensi” perkembangan dan progresivits pendidikan
anak, seperti pada sekolah konvensional yang masih dibantu oleh lembaga
bimbingan belajar, lembaga kursus dan lain-lain. Sekolah-sekolah
berasrama dapat melakukan treatment individual, sehingga setiap siswa
dapat melejikan bakat dan potensi individunya. (Tirtarahrja. 2005)
Problem Sekolah Berasrama
Sampai saat ini sekolah-sekolah berasrama dalam pengamatan saya
masih banyak mempunyai persoalan yang belum dapat  diatasi sehingga
banyak sekolah berasrama layu sebelum berkembang dan itu terjadi pada
sekolah-sekolah boarding perintis. Faktor-faktornya adalah sebagai berikut:
a. Ideologi Sekolah Boarding yang Tidak Jelas
Term ideology saya gunakan untuk menjelaskan tipologi atau corak
sekolah berasrama, apakah religius, nasionalis, atau nasionalis-religius.
Yang mengambil corak religius sangat beragam dari yang fundamentalis,
moderat sampai liberal.Masalahnya dalam implementasi ideologinya tidak
dilakukan secara kaffah. Terlalu banyak improvisasi yang bias dan keluar
dari pakem atau frame ideology tersebut. Hal itu juga serupa dengan yang
nasionalis, tidak mengadop pola-pola pendidikan kedisiplinan militer
secara kaffah, akibatnya terdapat kekerasan dalam sekolah berasrama.
Sementara yang nasionalis-religius dalam praktik sekolah berasrama saya
melihatnya masih belum jelas formatnya.
b. Dikotomi guru sekolah VS guru asrama (pengasuhan)
Sampai saat ini sekolah berasrama kesulitan mencari guru yang cocok
untuk sekolah berasrama. Pabrikan guru (IKIP dan Mantan IKIP) tidak
“memproduksi” guru-guru sekolah berasrama. Akibatnya, masing-masing
sekolah mendidik guru asrmanya sendiri sesuai dengan pengetahuan yang
dimiliki oleh lembaga tersebut. Guru sekolah (mata pelajaran) bertugas
hanya untuk mengampu mata pelajarannya, sementara guru pengasuhan
adalah tersendiri hanya bicara soal pengasuhan. Padahal idealnya, dua
kompetensi tersebut harus melekat dalam sekolah berasrama. Ini penting
untuk tidak terjadinya saling menyalahkan dalam proses pendidikan antara
guru sekolah dengan guru asrama.
c. Kurikulum Pengasuhan yang Tidak Baku
Salah satu yang membedakan sekolah-sekolah berasrama adalah
kurikulum pengasuhannya. Kalau bicara kurikulum academiknya dapat
dipastikan hampir sedikit perbedaannya. Semuanya mengacu kepada
kurikulum KTSP-nya produk DEPDIKNAS dengan ditambah pengayaan
atau suplemen kurikulum internasional dan muatan local. Tapi kalau
bicara tentang pola pengasuhan sangat beragam, dari yang sangat
militer(disiplin habis) sampai ada yang terlalu lunak. Kedua-duanya
mempunyai efek negatif (Sartono Mukadis), pola militer melahirkan siswa
yang berwatak kemiliter-militeran dan terlalu lunak menimbulkan watak
licik yang bisa mengantar sang siswa mempermainkan peraturan.
d. Sekolah dan Asrama Terletak Dalam Satu Lokasi
Umumnya sekolah-sekolah berasrama berada dalam satu lokasi dan
dalam jarak yang sangat dekat. Kondisi ini yang telah banyak
berkontribusi dalam menciptakan kejenuhan anak berada di sekolah
Asrama. Faktor ini(salah satu factor) yang menyebabkan SMA Madania di
parung Bogor sempat mengistirahatkan boarding schoolnya. Karena
menurut Komaruddin Hidayat(Direktur Executive Madania), siswa harus
mengalami semacam proses berangkat ke sekolah. Dengan begitu, mereka
mengenyam suasana meninggalkan tempat menginap, berinteraksi dengan
sesama siswa di jalan, serta melihat aktivitas masyarakat sepanjang jalan.
Faktor ini juga yang menyebabkan IIEC Group mendirikan International
Islamic High School Boarding Intermoda (IIHSBI), dimana sekolah
dan asrama serta fasilitas utama lainnya tidak berada dalam satu tempat
sehingga siswa dituntut untuk mempunyai mobilitas tinggi, kesehatan dan
kebugaran yang baik, dan dapat membaca setiap fenomena yang ada
disekitarnya. (Tirtaraharja.2005)

Anda mungkin juga menyukai