Anda di halaman 1dari 77

HUBUNGAN FILSAFAT PENDIDIKAN DENGAN

PENINGKATAN SUMBER DAYA MANUSIA


BAB I
A. Latar Belakang Masalah
Untuk mencerdaskan dan memajukan kehidupan suatu bangsa dan negara sesuai tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan maka di adakan suatu proses pendidikan atau suatu proses
belajar yang akan memberikan pengertian,pandangan,dan penyesuaian bagi seseorang atau si
terdidik kearah kedewasaan dan kematangan,dengan proses ini maka akan terpengaruh
terhadap perkembangan jiwa seseorang anak didik atau peserta dan atau subjekdidik kearah
yang lebih dinamis baik kearah bakat atau pengalaman,moral, intelektual maupun fisik
(jasmani) menuju kedewasaan dan kematangan tadi.tujuan akhir pendidikan akan
terwujud untuk menumbuhkan dan mengembangkan semua potensi si terdidik secara
teratur,apa bila prakondisi alamiah dan sosialmanusia memungkinkan, seperti:
iklim,makanan, kesehatan, keamanan dan lain sebagainya yang relatif sesuai dengan
kebutuhan manusia
Untuk memberikan makna yang lebih jelas dan tegas tentang kedewasaan dan kematangan
yang ingin di tuju dalam pendidikan apakah kedewasaan yang bersifat
biologis,pisikologis,dan sosiologis, maka masalah ini merupakan bidang garapan yang akan
dirumuskan oleh filsafat pendidikan.
Di samping itu juga dari pengalaman menunjukan bahwa tidaksemua manusia baik potensi
jasmaninya maupun potensi haninya (pikir,karsa, dan rasa) berkembang sebagai mana yang
diharapkan. Oleh karena itu lahirlah pemikiran manusia untuk memberikan afternatif
pemecahan masalah terhadap perkembangan manusia.
Apakah yang mempengaruhi perkembangan potensi manusia, dan mana yang paling
menentukan dan dengan adanya lembaga-lembaga pendidikan dengan berbagai aktivitasnya
telah mampu menumbuhkandan mengembangkan potensi peserta didik sehingga bermanfaat
bagikehidupan peribadi dan masyarakat sekitar
Dari uraian tadi jelaslah bahwa pendidikan adalah sebagai pelaksanaan dari ide-ide filsafat.
Atau dengan perkataan lain bahwa ide filsafat telah memberikan asas sistem nilai dan atou
normatif bagi peranan pendidikan yang telahmelahirkan, lembaga-lembaga pendidikan dan
dengan segala aktivitasnya, sehingga dapat dikatakan bahwa filsafatpendidikan sebagai jiwa,
pendoman, dan sumber pendorong adanya pendidikan. Inilah antara lain peranan filsafat
pendidikan.

B. Perumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan filsafat pendidikan
2. Bagai mana aliran-alira empirisme, Nativisme, naturalisme dan teori konvergensi.
3. bagai mana hubunga filsafat pendidikan dengan peningkatan sumberdaya manusia

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui maksud dari filsafat pendidikan
2. Untuk mengetahui dari pandangan aliran empirisme, Nativisme, naturalisme dan teori
konvergensi.
3. Untuk mengetahuiHubungan Filsafat Pendidikan Dengan Peningkatan Sumber Daya
Manusia”
D. Pembatasan Masalah
Agar lebih fokus dan efisien maka akan dibatasi permasalahan yang meliputi: Pandangan
aliran empirisme, Nativisme, naturalisme dan teori konvergensi.

BAB II
HUBUNGAN FILSAFAT PENDIDIKAN DENGAN PENINGKATAN SUMBER DAYA
MANUSIA
A. Aliran Empirisme
Empirisme berasal dari kata Yunani yaitu “empiris” yang berarti pengalaman inderawi. Oleh
karena itu empirisme dinisbatkan kepada faham yang memilih pengalaman sebagai
sumber utama pengenalan dan yang dimaksudkan dengannya adalah baik pengalaman
lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi
manusia. Pada dasarnya Empirisme sangat bertentangan dengan Rasionalisme. Rasionalisme
mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal dari ratio, sehingga pengenalan inderawi
merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. sebaliknya Empirisme berpendapat bahwa
pengetahuan berasal dari pengalaman sehingga pengenalan inderawi merupakan pengenalan
yang paling jelas dan sempurna.

Seorang yang beraliran Empirisme biasanya berpendirian bahwa pengetahuan didapat melalui
penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti
semua pengetahuan betapapun rumitnya dapat dilacak kembali dan apa yang tidak dapat
bukanlah ilmu pengetahuan. Empirisme radikal berpendirian bahwa semua pengetahuan
dapat dilacak sampai kepada pengalaman inderawi dan apa yang tidak dapat dilacak bukan
pengetahuan. Lebih lanjut penganut Empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain
akibat suatu objek yang merangsang alat-alat inderawi, kemudian di dalam otak dipahami dan
akibat dari rangsangan tersebut dibentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek yang telah
merangsang alat-alat inderawi,tersebut.
Empirisme memegang peranan yang amat penting bagi pengetahuan, malah barangkali
merupakan satu-satunya sumber dan dasar ilmu pengetahuan menurut penganut Empirisme.
Pengalaman inderawi sering dianggap sebagai pengadilan yang tertinggi.

B. Nativisme dan Naturalisme


Nativisme berasal dari kata Nativus yang berarti kelahiran. Tokoh aliran ini adalah Arthur
Schopenhauer (1788-1860) seorang filosof jerman, yang berpendapat bahwa hasil pendidikan
dan perkembangan manusia itu ditentukan oleh pembawaan yang diperolehnya sejak anak itu
dilahirkan. Anak dilahirkan ke dunia sudah mempunyai pembawaan dari orang tua maupun
disekelilingnya, dan pembawaan itulah yang menentukan perkembangan dan hasil
pendidikan. Lingkungan, termaksud tidak upaya tidak mempengaruhi perkembangan anak
didik. Apabila seorang anak berbakat jahat, maka ia akan menjadi jahat, begitu pula
sebaliknya. Karena dalam aliran ini dikenal dengan istilah pessimisme paedagogis, karena
sangat pesimis terhadap upaya-upaya dan hasil pendidikan.
Natur artinya alam, atau apa yang dibawa sejak lahir. Aliran ini sama dengan aliran
nativisme. Naturalisme yang dipelopori oleh Jean Jaquest Rousseau, bependapat bahwa pada
hakekatnya semua anak manusia adalah baik pada waktu dilahirkan yaitu dari sejak tangan
sang pencipta. Tetapi akhirnya rusak sewaktu berada ditangan manusia, oleh karena Jean
Jaquest Rousseau menciptakan konsep pendidikan alam, artinya anak hendaklah dibiarkan
tumbuh dan berkembang sendiri menurut alamnya, manusia jangan banyak mencampurinya.
Jean Jaquest Rousseau juga berpendapat bahwa jika anak melakukan pelanggaran terhadap
norma-norma, hendaklah orang tua atau pendidik tidak perlu untuk memberikan hukuman,
biarlah lam yang menghukumnya. Jika seorang anak bermain pisau, atau bermain api
kemudian terbakar atau tersayat tangannya, atau bermain air kemudian ia gatal-gatal atau
masuk angin. Ini adalah bentuk hukuman alam. Biarlah anak itu merasakan sendiri akibatnya
yang sewajarnya dari perbuatannya itu yang nantinya menjadi insaf dengan sendirinya.

C. Teori Konvergensi
Tokoh aliran ini aliran ini adalah William Stern (1871-1938), seorang ahli pendidikan bangsa
Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan kedunia ini sudah disertai
pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Penganut aliran ini berpendapat bahwa dalam
proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama-sama
mempunyai peranan yang sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu anak dilahirkan
tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang baik sesuai
dengan perkembangan bakat itu.Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan
perkembangan anak yang optimal kalau memang pada diri anak tidak dapat bakat yang
diperlukan untuk mengembangkan itu. Sebagai contoh, hakikat kemampuan anak berbahasa
dengan kata-kata, adalah juga hasil dari konvergensi. Pada akan manusia ada pembawaan
untuk berbicara melalui situasi lingkungannya, anak berbicara dalam bahasa tertentu.
Lingkungan pun mempengaruhi anak didik dalam mengembangkan pembawaan bahasanya.
Karena itu setiap anak manusia mula-mula menggunakan bahasa lingkungannya. Missal
bahasa jawa, sunda, bahasa inggris, bahasa jerman dan lain sebaginya. Kemampuan dua
orang anak (yang tinggal dalam lingkungan yang sama ) untuk mempelajari bahasa mungkin
tidak sama. Itu disebabkan oleh factor kualitas pembawaan dan perbedaan situasi lingkungan,
biar pun lingkungan kedua anak tersebut menggunakan bahasa yang sama. Willianm Stern
berpendapat bahwa hasil pendidikan itu tergantug pada pembawan dan lingkungan, seakan-
akan dua garis yang menuju kesatu titik pertemuan sebagai berikut Keterangan :
a. pembawaan
b. lingkungan
c. hasil pendidikan/ perkembngan

Karena itu teori W. Stern disebut teori konvergensi ( konvergen artinya memusat kesatu
titik). Jadi menurut teori konvergensi :
1) Pendidikan mungkin dilaksanakan.
2) Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan kepada anaka didik
untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah berkembangnya potensi yang
kurang baik.
3) Yang membatasi hasil pendidika adalah pembawaan dan lingkungan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Merupakan terapan dari filsafat umum, maka selama membahas filsafat pendidikan akan
berangkat dari filsafat.
Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan
hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan,
dan nilai.

Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab/aliran-aliran, seperti materialisme, idealisme,


realisme, pragmatisme, dan lain-lain. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari
filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun
kita akan temukan berbagai aliran, sekurang-kurnagnya sebanyak aliran filsafat itu sendiri.
Brubacher (1950) mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu
a. Filsafat pendidikan “progresif”
Didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan romantik naturalisme dari
Roousseau
b. Filsafat pendidikan “ Konservatif”.
Didasari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme rasional), dan
supernaturalisme atau realisme religius. Filsafat-filsafat tersebut melahirkan filsafat
pendidikan esensialisme, perenialisme,dan sebagainya.
Tidak ada satupun dari permasalahan kita mendesak dapat dipecahkan dengan cepat atau
dengan mengulang-ulang dengan gigih kata-kata yang hampa. Tidak dapat dihindari, bahwa
orang-orang yang memperdapatkan masalah ini, apabila mereka terus berpikir,yang lebih
baik daripada mengadakan reaksi, mereka tentu akan menyadari bahwa mereka itu telah
membicarakan masalah yang sangat mendasar. Sebagai ajaran (doktrin) Islam mengandung
sistem nilai diatas mana proses pendidikan Islam berlangsung dan dikembangkan secara
konsisten menuju tujuannya. Sejalan dengan pemikiran ilmiah dan filosofis dari pemikir-
pemikir sesepuh muslim, maka sistem nilai-nilai itu kemudian dijadikan dasar bangunan
(struktur) pendidikan islam yang memiliki daya lentur normatif menurut kebutuhan dan
kemajuan.
Pendidikan Islam mengidentifikasi sasarannya yang digali dari sumber ajarannya yaitu Al
Quran dan Hadist, meliputi empat pengembangan fungsi manusia :
1) Menyadarkan secara individual pada posisi dan fungsinya ditengah-tengah makhluk lain
serta tanggung jawab dalam kehidupannya.
2) Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat, serta tanggung
jawabnya terhadap ketertiban masyarakatnya.
3) Menyadarkan manusia terhadap pencipta alam dan mendorongnya untuk beribadah kepada
Nya
Menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap makhluk lain dan membawanya agar
memahami hikmah tuhan menciptakan makhluk lain, serta memberikan kemungkinan kepada
manusia untuk mengambil manfaatnya
Setelah mengikuti uraian diatas kiranya dapat diketahui bahwa Filsafat Pendidikan Islam itu
merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai masalah yang terdapat dalam kegiatan
pendidikan yang didasarkan pada al Qur’an dan al Hadist sebagai sumber primer, dan
pendapat para ahli, khususnya para filosof Muslim, sebagai sumber sekunder. Dengan
demikian, filsafat pendidikan Islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan
yang berdasarkan ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam, jadi ia
bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam
pemikiran filsafat pada umumnya.
B. Saran-Saran
Adapun saran yang ingin kami sampaikan, antara lain :
1. Teruslah menuntut ilmu, baik ilmu agama atau ilmu pengetahuan agar dapat memajukan
agama islam serta tidak ketinggalan dengan situwasi jaman sekarang
2. Lebih memperdalam dan mencari sumberlain tentang isi makalah kami ini dengan judul
“hubunmgan filsafat pendidikan dengan sumberdaya manusia”

DAFTAR PUSTAKA

Abu Hanifah, Dr”Rintisan filsafat I” Balai pustaka.jakarta,1950


Ahmad Hanafi, MA “Pengantar filsafat Islam” Bulan Bintang. Jakarta,1990
Prasetya,Drs.”Filsafat Pendidikan” Pustaka Setia, Bandung, 1997
MAKALAH HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT, MANUSIA DAN PENDIDIKAN UPAYA
PENINGKATAN SUMBER DAYA MANUSIA
By Ayo Belajar 8:12:00 PM

DOWNLOAD MAKALAH INI DISINI

A. Manusia dan Filsafat

Manusia adalah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang
berbicara berdasarkan akal pikirannya (the animal that reasons). Manusia adalah hewan yang
berpolitik (zoo politicon, political animal), hewan yang berfamili dan bermasyarakat mempunyai
kampung halaman dan negara.[1]

Karena manusia itu memiliki akal pikiran yang senantiasa bergolak dan berfikir, dan karena
situasi dan kondisi alam dimana dia hidup selalu berubah-ubah dan penuh dengan peristiwa-
peristiwa penting bahkan dahsyat, yang kadang-kadang dia tidak kuasa untuk menentang dan
menolaknya, menyebabkan manusia itu tertegun, termenung, memikirkan segala hal yang terjadi
disekitar dirinya. Dipandangnya tanah tempat dia berpijak, dilihatnya bahwa segala sesuatu tumbuh
diatasnya, berkembang, berbuah, dan melimpah ruah. Segala peristiwa berlaku diatas permukaanya.
Dan didalam siang dan malamnya dia menyaksikan kebaikan dan keburukan, kebaktian dan
kejahatan, sehat dan sakit, suka dan duka, malang dan senang, hidup dan mati dan sebagainya, yang
meliputi dan melingkupi kehidupan manusia. Diarahkan pandnganya kelangit biru, maka nampak
olehnya , benda-benda angkasa, mengambang dab bersemayam dilangit tinggi. Matahari
memberikan sinar dan cahaya, terang benderang meliputi segenap sudut dan penjuru dunia ini.
Menaburkan panas dan kehangatan yang nyaman dan menyegarkan dan kadang-kadang membara
dan membakar, meresahkan seluruh mahluk diatas permukaan bumi.

Dengan sinarnya yang gilang gemilang itu, dia membersihkan kehidupan dan menyalurkan
ruh dan jiwa kepada benda-benda yang mati, mencairkan benda-benda yang beku, menimbulkan
topan dan gelombang, menggerakan angin, air bah dan banjir, dinyalakan api ditengah padang ,
dihiasinya keindahan alam dengan warna, disemerbakanya bunga dengan keharuman dan
kewangian surgawi. Hal-hal seperti itulah yang menakjubkan manusia, menyebabkan dia termenung,
merenungka segala sesuatu. Dia berfikir dan berfiki, sepanjang masa dan sepanjang zaman. Dia
memikirkan dirinya sebagai micro kosmos dan memikirka jagad raya sebagai macro kosmos. Dia
memikirkan juga lam gaib, alam dibalik dunia yang nyata ini, alam metafisika. Dan diapun mulai
membangun pemikiran filsafat.
Didalam sejarah umat manusia, setelah kemampuan intelektual dan kemakmuran manusia
meningkat tinggi, maka tampilah manusia-manusia yang unggul merenung dan memikir,
menganalisa, membahas dan menghapus berbagai problema dan permasalahan hidup dan
kehidupan, sosial kemasyarakatan, alam semesta dan jagad raya. Maka lahirlah untuk pertama
kalinyafilsafat alam periode pertama, selanjutnya filsafat alam periode kedua, lalu Shopiesme,
kemudian filsafat klasik yang bermula kurang lebih enam abad sebelum masehi.

Memang filsafat alam, baik periode pertam maupun periode kedua, begitu pula pemikiran
Shopiesme, belumlah mempunyai pengaruh mendalam dalam bidang pendidikan. Barulah setelah
lahir filsafat klasik yang dipelopori oleh Socrates (470 SM-399 SM) dan murid-muridnya Plato dan
Aristoteles, filsafat mulai berpengaruh positif dalam bidang pendidikan.

B. Filsafat dan Teori Pendidikan


Sebenarnya kita ketahui, ilmu jiwa bagi ilmu pendidikan adalah suatu komplementasi yang
amat bernilai. Pedogogik tanpa ilmu jasa, sama dengan praktek tanpa teori, pendidikan tanpa
mengerti untuk apa, bagaimana dan mengapa manusi dididik. Tanpa pengertian atas manusia baik
sifat-sifat individualitasnya yng unik maupun potensi-potensi yang justru akan dibina, Pendidikan
akan salah arah. Bahkan pengertian yang baik, pendidikan akan memperkosa kodrat manusia.[2]
Banyak diantara masalah-masalah kependidikan tersebut yang merupakan pertanyaan-
pertanyaan filosifos, yang memerlukan pendekatan filosofis pula dalam pemecahanya. Analisa
filsafat terhadap masalah-masalah kependidikan tersebut, dengan berbagai cara pendekatanya, akan
dapat menghasilkan pandangan-pandangan tertentu mengenai masalah-masalah kependidikan
tersebut, dan atas dasar itu bisa disusun sistematis teori-teori pendidikan.
Hubungan fungsional antara filsafat dan teori pendidikan tersebut secara lebih rinci dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Filsafat dalam arti analisa, filsafat adalah salah satu cara pendekatan yang digunakan oleh
para ahli pendidikan dalam memecahkan problematika pendidikan dan menyusun teori-teori
pendidikanya. Disamping mengunakan metoda-metoda ilmiah lainya. Sementara itu dengan filsafat,
sebagai pandangan tertentu terhadap suatu objek, misalnya filsafat idealisme, realisme,
materealisme dan sebagainya. Akan mewarnai pula pandangan ahli pendidikan tersebut dalam teori-
teori pendidikan yang dikembangkanya. Aliran filsafat tertentu akan mempengaruhi dan
memberikan bentuk serta corak tertentu terhadap teori-teori pendidikan yang dikembangkan atas
dasar aliran fisafat tersebut.
2. Filsafat juga berfungsi memberikan arah agar teori pendidikan yang telah dikembangkan
oleh para ahlinya, yang berdsarkan dan menurut pandangan dan aliran filsafat tertentu, mempunyai
relevansi dengan kehidupan nyata. Artinya mengarahkan agar teori-teori dan pandangan filsafat
pendidikan yang telah dikembangkan tersebut bisa diterapkan dalam praktek kependidikan sesuai
dengan kenyataan dan kebutuhan hidup yang juga berkembang dalam masyarakat. Disamping itu,
adalah merupakan kenyataan bahwa setiap masyrakat hidup dengan pandangan dan filsafat
hidupnya sendiri-sendiri yang berbeda antara satu dengan yang lainya dan dengan sendirinya akan
menyangkut kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Disinilah letak fungsi filsafat dan filsafat pendidikan
dalam memilih dan mengarahkan teori-teori pendidikan dan kalau perlu juga merevisi teori
pendidikan tersebut, yang sesuai dengan relevan dengan kebutuhan, tujuan dan pandangan hidup
dari masyarakat.
3. Filsafat, termasuk juga filsafat pendidikan, juga mempunyai fungsi untuk memberikan
petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu pengetahuan atau
pedagogis. Suatu praktek kependidikan yang didasarkan dan diarahkan oleh suatu filsafat pendidikan
tertentu, akan menghasilkan dan menimbulkanbentuk-bentuk dan gejalah-gejalah kependidikan
yang tertentu pula. Hal ini adalah merupakan data-data kependidikan yang ada dalam suatu
masyarakat tertentu. Analisa filsafat berusaha untuk menganalisa dan memberikan arti terhadap
data-data kependidikan tersebut dan untuk selanjutnya menyimpulkan serta dapat disusun teori-
teori pendidikan yang realistis dan selanjutnya akan berkembanglah ilmu pendidikan (pedagogik).
Disamping hubungan fungsional tersebut, antara filsafat dan teori pendidikan, juga terdapat
hubungan yang bersifat suplementer, sebagaimana dikemukakan oleh Ali Saefullah, sebagai berikut:
a. Kegiatan merumuskan dasar-dasar dan tujuan-tujuan pendidikan, konsep tentang hakikat
manusia serta konsepsi hakikat dan segi-segi pendidikan serta isi moral pendidikanya.
b. Kegiatan merumuskan sistem atau teori pendidikan (science of education) yang meliputi
politik pendidikan, kepemimpinan pendidikan atau organisasi pendidikan, metodologi pendidikan
dan pengajaran, termasuk pola-pola akulturasi dan peranan pendidikan dalam pembangunan
masyarakat dan negara.
Definisi diatas merangkum dua cabang ilmu pendidikan, yaitu filsafat pendidikan dan sistem
atau teori pendidikan dan hubungan antara keduanya adalah bahwa yang satu suplemen terhadap
yang lain dan keduanya diperlukan oleh setiap guru sebagai pendidik dan bukan hanya sebagai
pengajar bidang studi tertentu.

C. Hubungan Antara Filsafat, Manusia dan Pendidikan


a. Kedudukan Filsafat dalam Ilmu Pengetahuan
Dalam ilmu pengetahuan, filsafat mempunyai kedudukan sentral, asal atau pokok. Karena
filsafatlah yang mula-mula merupakan satu-satunya usaha manusia dibidang kerohanian
untuk mencapai kebenaran atau pengetahuan. Lambat laun sesuai dengan sifatnya, manusia tidak
pernah merasa puas dengan meninjau suatu hal dari sudut yang umum, melainkan juga ingin
memperhtikan hal-hal yang khusus. Maka kemudian timbulah penyelidikan mengenai hal-hal yang
khusus yang sebelumnya masuk dalam lingkungan filsafat. Jika penyelidikan ini mencapai tingkat
yang tinggi, maka cabang penyelidikan itu melepaskan diri dari filsafat sebagai cabang ilmu
pengetahuan yang baru dan berdiri sendiri. Adapun yang pertama kali melepaskan diri dari filsafat
ialah ilmu pasti, kemdian disusul oleh ilmu-ilmu pengetahuan lainya. Akan tetapi meskipun lambat
laun banyak ilmu pengetahuan yang melepaskaan diri tidakla berarti ilmu pengetahuan itu sama
sekali tidak membutuhkan bantuan dari ilmu filsafat. Misalnya makna dari pengetahuan tentang
atom, baru mulai nampak bila dihubungkan dengan peradaban. Seorang ahli atom berusaha
menemukan fakta kemudian menciptakan tekhnik-tekhnik yang diperlukan. Semuanya itu dilakukan
dari pengetahuan tentang atom yang semakin meluas dan mendalam. Namun para ahli atom
kadang-kadang atau tidak memperhatikan apa yang dilakukan manusia. Karena atom hanya untuk
kepentingan perang yang dapat membawa malapetaka kepada manusia. Hal ini menjadi tugas dari
filsafat, karena menyangkut masalah ini yang berarti filsafat akan memberikan alternatif mana yang
paling baik untuk dijadikan pegangan manusia.

Kemudian bahasan tentang kedudukan atau hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan
atau berfikir filosofis dan berfikir ilmiah akan dilengkapi uraian ini dengan Pieget tentang
epistemologi genetis, yaitu fase-fase berfikir dan pikiran manusia dengan mengambil contoh
perkembangan akan mulai dari tahun pertama usia anak hingga dewasa sebagaimana diuraiakan
oleh Halford sebagai berikut:

Jasa utama dari Pieget adalah uraiannya mengenai perkembangan anak dalam hal tingkah laku
yang terdiri atas empat fase, yaitu:

1) Fase sensorimotor, berlangsung antara umur 0 tahun sampai usia dimana cara berfikir anak
masih sangat ditentukan oleh kemampuan pengalaman sensorinya, sehingga sangat sedikit terjadi
peristiwa berfikir yang sebenarnya, dimana tanggapan tidak berperan sama sekali dalam prosees
berfikir dan pikiran anak.

2) Fase Pra-operasional, pada usia kira-kira antara 5-8 tahun, yang ditandai adanya kegiatan
berfikir dengan mulai mengunakan tanggapan (disebut logika fungsional). Ia tidak menyebut dengan
berfikir berdasar hubungan sebab akibat, seperti pendapat para ahli psikologi perkembangan.
3) Fase Operasional yang konkrit, yaitu kegiatan berfikir untuk memecahakan persoalan secara
konkrit dan terhadap benda-benda yang konkrit pula.

4) Fase Operasi Formal, pada anak dimulai pada usia 11 tahun. Anak telah mulai berfikir
abstrak, dengan menggunakan konsep-konsep yang umum dengan menggunakan hipotesaserta
memprosesnya secara sistematis dalam rangka menyelesaikan problema walaupun si anak belum
mampu membayangkan kemungkinan-kemungkinan bagaimana realisasinya.

Dari uraian dan contoh tadi dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan itu menerima dasarnya
dari filsafat, dengan rincian antara lain:

1) Setiap ilmu pengetahuan itu mempunyai objek dan problem.

2) Filsafat juga memberikan dasar-dasar yang umum bagi semua ilmu pengetahuan dan
dengan dasar yang umum itu dirumuskan keadaan dari ilmu pengetahuan itu.

3) Disamping itu filsafat juga memberikan dasar-dasar yang khusus yang digunakan dalam
tiap-tiap ilmu pengetahuan.

4) Dasar yang diberikan oleh filsafat yaitu mengenai sifat-sifat ilmu dari semua ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan memperoleh sifat ilmu itu kalau menepati syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh filsafat. Artinya tidak mungkin tiap ilmu itu meninggalkan dirinya sebagai ilmu
pengetahuan dengan meningggalkan syarat yang telah ditentukan oleh filsafat.

5) Filsafat juga memberikan metoda atau cara kepada tiap ilmu pengetahuan.

Manusia merupakan subyek pendidikan dan sebagai objek pendidikan, karena itu sikap untuk
dididik dan siap untuk mendidik dimilikinya. Berhasil tidakya suatu usaha atau kegiatan banyak
tergantung pada jelas tidak adanya tujuan. Maka pendidikan di indonesia mempunyai tujuan
pendidikan yang berlandaskan pada filsafat hidup bangsa indonesia, yaitu pancasila yang menjadi
pokok dalam pendidikan, melalui usaha-usaha pendidikan, dalam keluarga masyarakat, sekolah dan
perguruan tinggi.[3]
b. Kedudukan Filsafat dalam kehidupan Manusia
Untuk memberikan gambaran bagaimana kedudukan filsafat dalam kehidupan manusia maka
terlebih dahulu diungkapkan kembali pengetian filsafat. Dalam bahasan sebelumnya, filsafat
mengandung pengertian adalah suatu ikhtiar untuk berfikir secara radikal, dalam arti mulai dari
akarnya suatu gejala (hal kehendak permasalahan) sampai mencapai kebenaran yang dilakukan
dengan kesungguhan dan kejujuran melalui tahapan-tahapan pikiran. Oleh karena itu seorang yang
berfilsafat adalah orang yang berfikir secara sadar dan bertanggung jawab dengan pertama adalah
tehadap dirinya sendiri.

Kebenaran dalam pengetahuan yang diterima filsafat adalah apabila isi pengetahuan yang
diusahakan sesuai dengan objek yang diketahui yang didasari oleh kebebasan berfikir (diatur oleh
logika) untuk menyelidiki atau tata pikir yang bermetoda, bersistem, dan berlaku universal, sehingga
dengan demikian filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari ketetapan dan sebab-sebab yang
sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu (seluruh dunia dan alam ini), sebagai pandangan hidup.
Apabila pandangan ini mengenai manusia adalah meliputi segala soal hidup manusia: pikiran, budi,
tingkah laku dan nilai-nilainya dan tujuan hidup manusia, baik didunia maupun sesudah didunia ini
tiada yang kemudian dikenal dengan sebutan pedoman hidup.

Filsafat sebagai ikhtiar berfikir maka bukan berarti untuk merumuskan suatu doktrin yang final,
konklusif, dan tidak bisa diganggu gugat. Dia bukan sekedar idealis seperti apa yang kita alami
sebagai realita. Disamping itu ada pula anggapan bahwa filsafat adalah hanya suatu kegiatan
perenungan yang bertujuan mencapai pengetahuan tentang hakikat dari segala yng nyata, tetapi
filsafat sebenarnya untuk sampai kepada pengertian yang lebih jauh dari pada ssekedar persepsi,
yaitu berupa kegiatan mental dalam wujud konseptualisasi.

Ada seorang guru/pemikir yang mempunyai kesadaran diri untuk mendapatkan dan
meningkatkan pemahaman yang ada didalam kehidupan yang nyata, misalnya bagaimana
pengetahuan tersebut diperolehnya, dan bagaiman bentuk dari apa yang telah dikuasai itu, maka
filsafatlah yang membantu mereka untuk menjawabnya. Karena memang didalam abad ini persoalan
pengetahuan merupakan pusat permasalahan didalam agenda didalam seorang ahli filsafat. Sejarah
ilmu filsafat selalu menaruh perhatian kepada permasalahan pertama filsafat realita, pengetahuan
dan nilai (akan dibicarakan dalam problema pokok filsafat dan filsafat pendidikan). Guru pemikir tadi
menyatakan pendapatnya dengan dukungan yang persuasif ialah apa yang diketahui ialah apa saja
yang kita buktikan. Apakah kita pernah membantah bbahwa hari cerah dan tidak ada mendung bila
kita dan orang lain melihat sinar matahari? Apakah sinar matahari telah tertanggkap oleh mata kita?
Dan apakah kita masih akan membantah bahwa api itu panas setelah kita masukan jari ketempat
api, dan segera menariknya kembali karena panas melalui jari. Jika kita pikirkan semua itu, maka kita
akan memperoleh seperangkat pengetahuan dari pengalaman empiriat (sensoris). Pengetahuan
yang berguna tidak senantiasa langsung diperoleh, tetapi dapat juga secara tidak langsung yang
merupakan eksistensi pengertian yang diambil sacara empiris. Dengan membatasi pengetahuan
pada pengalaman empiris saja berarti mengabaikan sekian banyak yang kita rasa telah diketahui.
Kita telah merasa apa yang kit sukai atau tebaik untuk diri kita dalam suatu atau lain keadaan
meskipun kita tidak dapat membuktikanya. Kita hanya merasa memiliki perasaan yang kuat
semacam intuisi, meskipun kit tidak dapat membuktikanya. Dan kita menjadikan perasaan tersebut
sebagai suatu dasar untuk sikap atau keputusan.[4]

D. Pengembangan Sumber Daya Manusia


Manusia adalah sumberdaya primer dan sangat menentukan dalam pembangunan suatu
bangsa. Sumber daya manusia merupakan salah satu sumber daya dalam organisasi meliputi semua
orang yang melakukan aktivitas. Oleh karena itu jika suatu bangsa ingin maju dan sejahtera, maka
bangsa itu harus memprioritaskan investasi dalam pemgembangan sumber daya manusia (human
capital). Investasi yang sehat dalam membangun sumber daya manusia ditempatkan pada tujuan
strategis untuk mencapai tingkat nilai yang tinggi. Penekanan nilai tersebut membantu manusia
lebih prduktif, lebih kreatis, mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya dan bekerja
keras dengan dedikasi tinggi yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan. Dalam
pengembangasn sumber daya manusia ada dua sisi pokok, yaitu sisi Sumber daya dan sisi manusia,
dimensi pokok sisi sumber daya adalah konstribusinya terhadap organisasi dan lingkungannya,
sedangkan sisi pokok manusia adalah perlakuan lingkungan dan organisasi terhadapnya, yang pada
gilirannya menentukan kualitas dan kapabilitas hidupnya. Dengan demikian dapat digambarkan
bahwa kualitas manusia dapat merosot atau menurun yang disebabkan oleh sesuatu kekuatan baik
internal maupun eksternal. Dalam perkembangan dan penemuan ilmu Pengetahuan mempunyai
nilai pembentukan, nilai itu sangat dopengaruhi oleh penggunaan temuan (cration invention) ilmu
pengetahuan itu disebut Teknologi. Sejarah membuktikan bahwa teknologi tidak pernah susut atau
surut, selain semakin pesat perkembangannya juga semakin tinggi dari teknologi alat sampai pada
bioteknologi. Perkembangan atau pertumbuhan ekonomi saat ini masih tergantung pada sumber
daya alam seperti mineral, hutan, perkebunan besar, lahan pertanian dan industri pengelola sumber
daya alam. Kemampuan sumber daya alam dengan peningkatan kebutuhan manusia yang menjadi
beban pertumbuahan ekonomi, hal ini disebabkab kemampuan sumber alam tidak sebanding
dengan peningkatan jumlah penduduk akibatnya banyak Negara-negara yang merosot akibat
ulahnya sendiri. Dewasa ini sejumlah Negara-negara dikawasan dunia ini khidupan Negara yang
bersangkutan nyaris tidak memiliki sumber daya alam. Hal diakibatkan kualitas sumber daya
alamnya rendah. Sumber daya manusia berkualitas tinggi adalah sumber daya manusia yang mampu
menciptakan bukan saja nilai komperatif tetapi juga nilai kompetitif-generatif-inovatif yang
menggunakan energi yang tinggi seperti Integence Creativity dan Imagination, tidak lagi semata-
mata menggunakan energi kasar seperti bahan mentah lahan, air, tenaga otot dan sebagainya.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia tertentu berbeda dari zaman ke zaman. Sifat bentuk dan
arahannya tergantung pada kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat masing-masing.
Dimasyarakat tradisional,peningkatan kualitas sumber daya manusia masih terbatas pada aspek-
aspek tertentu,yang erat kaitannya dengan tradisi setempat namun yang jelas peningkatan itu tak
lepas hubungannya dengan filsafat hidup dan kepribadian masing-masing.dalam pengertian
sederhana, filsafat diartikan sebagai kepribadian jati diri dan pandangan hidup
seseorang,masyarakat,atau bangsa.kondisi ini dibentuk oleh tradisi kehidupan masyarakat ataupun
oleh usaha yang terprogram.namun demikian sesederhana apapun,pembntukan itu tak lepas dari
peran pendidikan. Pendidikan,menurut Hasan Langgulung,pada prinsipnya dapat dilihat dari dua
sudut pandang : individu dan masyarakat, Jalaluddin dan Idi (2012 : 186-187). Jadi, untuk
mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi, ada suatu jalan pemecahan yang harus
ditempuh, yakni melalui pendidikan dan pelatihan. Pendidikan dan pelatihanlah yang akan
meningkatkan kemauan, kemampuan, dan kesempatan bagi seseorang untuk berperan dalam
kehidupannya, secara individu maupun masyarakat.
Ada beberapa langkah yang harus dilakukan demi tercapainya pengembangan sumber daya
manusia.
1. Informasi-informasi yang luas, aktual, dan hangat agar dapat membuka ketertutupan
pandangan dan wawasan, dan pada tahap selanjutnya akan menimbulkan gairah untuk melakukan
sesuatu yang diperlukan (tumbuh kemauan dan keinginan berprestasi)
2. Motivasi dan arahan yang dapat menumbuhkan semangat untuk melaksanakan sesuatu atau
beberapa tugas pekerjaan dengan adanya kepercayaan diri yang kuat, sehingga ada gairah untuk
mewujudkan suatu tujuan (peningkatan produktivitas dan kemampuan diri)
3. Metodologi dan system kerja yang dapat memberikan cara penyelesaian masalah dengan
efektif dan efesien, secara terus-menerus (manusia potensial, actual, dan fungsional)

E. Filsafat Pendidikan Peningkatan Sumber Daya Manusia


Manusia adalah makhluk yang memiliki beberapa potensi bawaan. Dari sudut pandang
yang dimiliki itu,manusia dinamai dengan berbagai sebutan. Dilihat dari potensi inteleknya
manusia disebut homo intelectus.manusia juga disebut sebagai homo faber, karena manusia
memiliki kemampuan untuk membuat barang atau peralatan.kemudian manusia pun disebut
sebagai homo sacinss atau homo saciale abima ,karena manusia adalah mahkluk bermasyarakat.di
lain pihak manusia juga memiliki kemampuan merasai, mengerti, membeda-
bedakan,kearifan,kebijaksanaan, dan penetahuan.atas dasar adanya kemampuan
tersebut,manusia disebut homo sapiens . Filsafat pendidikan,seperti dikemukakan oleh Imam
Barnadib (dalam Jalaluddin dan Idi, 2012 : 194 -198) disusun atas dua pendekatan. Pendekatan
pertama bahwa filsafat pendidikan diartikan sebagai aliran yang didasarkan pada pandangan filosofis
tokoh-tokoh tertentu. Sedangkan pandangan ke dua adalah usaha untuk menemukan jawaban dari
pendidikan beserta problem-problem yang ada yang memerlukan tinjauan filosofis. Dari pendekatan
pertama, terkait dengan kualitas potensi manusia, terdapat tiga aliran filsafat. Pertama,aliran
natularisme, yang menyatakan bahwa manusia memiliki potensi bawaan yang dapat berkembang
secara alami, tanpa memerlukan bantuan dari luar. Secara alami manusia akan bertambah dan
berkembang sesuai dengan kodratnya masing-masing.tokoh aliran ini adalah Jean Jacques Rosseau.
Kedua aliran empirisme. Menurut aliran ini manusia bertumbuh dan berkembang atas bantuan atau
karena adanya intervensi lingkungan.tokoh aliran ini adalah Schopenhauer. Ketiga aliran konfergensi,
yang memiliki pandangan gabungan antara empirisme dan naturalism. Menurut aliran ini,manusia
secara kodrati memang telah dianugrahi potensi yang disebut bakat.namun selanjutnya agar potensi
itu dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik,perlu adanya pengaruh dari luar berupa
tuntunan dan bimbingan melalui pendidikan.tokoh aliran ini adalah Jhon Locke. Ketiga aliran
tersebut kemudian menjadi dasar pemikiran tentang manusia dalam kaitan dengan problema
pendidikan.namun kemudian,Kohnstamm menambahkan faktor kesadaran sebagai faktor ke
empat. Dengan demikian menurutnya selain faktor dasar (natur) dan faktor ajar (empiri),yang
kemudian dikonvergensikan,masih perlunya faktor kesadaran individu. Menurutnya walaupun
manusia memiliki bakat yang baik, kemudian dididik secara baik pula,maka hasilnya akan menjadi
lebih baik bila ada motivasi intrinsik dari peserta didik itu sendiri. Kohnstamm,melihat bahwa faktor
lingkungan belum dapat memberi hasil yang optimal bila tidak disertai dorongan dari dalam diri
peserta didik.pendapat ini dapat dilihat sebagai temuan yang memperkaya pemikiran tentang
manusia dalam kaitannya dengan pendidikan. Keempat tokoh tersebut telah mengangkat latar
belakang potensi manusia.kecuali J.J Rousseau,ketiga tokoh berikutnya seakan menyatu dalam
pendapat bahwa potensi manusia dapat diintervensi oleh pengaruh lingkungan. Seperti yang
dikatakan Imam Barnadib,bahwa filsafat pendidikan sebagai system dapat dilihat dari dua
pendekatan. Pendekatan pertama sebagai pendekatan filosofis,sebagaiman telah diuraikan
terdahulu.dalam pandangan ini terungkap bahwa konsep pendidikan dalam berbagai aliran itu
mengakui bahwa manusia memiliki potensi untuk dididik. Selanjutnya pendekatan kedua adalah
filsafat pendidikan dilihat dari sudut pandang pendidikan.berdasarkan pendekatan ini,filsafat
pendidikan merupakan usaha untuk menemukan jawaban tentang pendidikan dan problema-
problema yang ada yang memerlukan tinjauan filosofis .dalam pandangan ini,filsafat pendidikan
menjadi tumpuan bagi penyesunan system pendidikan. Menurut Hasan Langgulung,pendidikan
dalam hubungannya dengan individu dan masyrakat,dapat dilihat dari bagaimana garis hubungannya
dengan filsafat pendidikan dan sumberdaya manusia.dari sudut pandang individu, Pendidikan
merupakan usaha untuk mengembangkan potensi individu,sebaliknya dari sudut pandang
kemasyrakatan,pendidikan adalah sebagai pewaris nilai-nilai budaya. Dalam pandangan ini
pendidikan mengemban dua tugas utama, yaitu peningkatan potensi individu, dan pelestarian nilai-
nilai budaya.manusia sebagai mahkluk berbudaya dan hakikatnya adalah pencipta budaya itu sendiri.
Budaya itu kemudian meningkat sejalan dengan peningkatan potensi manusia pencipta budaya itu.
Tingkat perkembangan kebudayaan suatu masyarakat atau bangsa sangat ditentukan oleh tingkat
kualitas sumber daya manusia yang menjadi pendukung nilai-nilai budaya tersebut.pada masyarakat
yang masih memiliki kebudayaan asli,berbeda dengan masyarakat yang memiliki kebudayaan
campuran. Kemajuan peradapan manusia sebagian besar ditentukan oleh IPTEK.makin tinggi tingkat
penguasaan IPTEK, makin maju pula perdapan suatu bangsa.juga tingkat kualitas sumberdaya
manusianya.salah satu sarana yang paling efektif dalam pengembangan dan peningkatan kualitas
sumber daya anusia adalah pendidikan. Sejalan dengan tujuan tersebut, disusunlah suatu system
pendidikan yang layak dan serasi dengan tujuan pengembangan sumberdaya manusia sebagai
pendukung nilai-nilai budaya bagi peningkatan kemajuan peradapan yang dimiliki. Kemudian agar
system pendidikan tersebut tetap terjaga, diperukan adanya suatu landasan filsafat pendidikan yang
dinilai mengakarpada kepribadian bangsa itu masing-masing.dalam kaitan ini, terlihat bagaiman
kaitan hubungan antara filsafat pendidikan dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia.
Kegiatan manusia untuk mengembangkan potensi dirinya dan menemukan pengetahuan yang benar
adalah sesuatu yang mutlak dilakukan karena manusia selalu berpikir. Namun setiap manusia
berbeda cara berpikirnya untuk menemukan suatu kebanaran yang hakiki. lewat kegiatan berpikir
dan dapat dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini merupakan sember bagi setiap orang
atau diri seseorang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin tinggi cara bepikir seseorang
maka otomatis pengembangan potensi yang ada pada diri seseorang semakin tinggi pula, dengan
kata lain peranan ilmu atau filsafat pendidikan terhadap pemgembangan sumber daya manusia
sangat erat kaitannya atau saling ketergantungan. Karena sumber daya manusia yang tinggi
tergantung dari pemikiran-pemikiran atau ilmu pendidikan yang dimiliki manusia. Manusia
mengembangkan pengetahuan, dari pengetahuannya itu muncul daya pikir bagaimana mengatasi
kebutuhan dan kelangsunga hidup. Jadi potensi yang dimiliki seseorang menjadi penentu kehidupan
pada dirinya. Sehingga peranan filsafat pendidikan terhadap pengembangan sumber daya manusia
saling berkaitan satu sama lain.

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Manusia adalah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang
berbicara berdasarkan akal pikirannya (the animal that reasons). Manusia adalah hewan yang
berpolitik (zoo politicon, political animal), hewan yang berfamili dan bermasyarakat mempunyai
kampung halaman dan negara.

Dua cabang ilmu pendidikan, yaitu filsafat pendidikan dan sistem atau teori pendidikan dan
hubungan antara keduanya adalah bahwa yang satu suplemen terhadap yang lain dan keduanya
diperlukan oleh setiap guru sebagai pendidik dan bukan hanya sebagai pengajar bidang studi
tertentu.

Manusia merupakan subyek pendidikan dan sebagai objek pendidikan, karena itu sikap
untuk dididik dan siap untuk mendidik dimilikinya. Berhasil tidakya suatu usaha atau kegiatan banyak
tergantung pada jelas tidak adanya tujuan. Maka pendidikan di indonesia mempunyai tujuan
pendidikan yang berlandaskan pada filsafat hidup bangsa indonesia, yaitu pancasila yang menjadi
pokok dalam pendidikan, melalui usaha-usaha pendidikan, dalam keluarga masyarakat, sekolah dan
perguruan tinggi.

[1] Endang Saifudin Anshari. 1982. Hal: 5

2 Mohammad Noor Syam. 1984. Cet ke-2 Hal: 160-161

3 Dr. Jalaluddin dan Drs. Abdullah Idi. 1997. Hal: 112

4 Drs. Prasetya. 2002. Cet ke3 Hal: 146-154

Makalah Filsafat : PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA


Posted by Junaedi Dongoran
» Thursday, March 20, 2014

oleh : Junaedi Dongoran & Iwan Sunarya

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh.


Manusia selalu mencari, menggali dan mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya, ia ingin
menemukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain dan memikirkan hal-hal baru. Karena manusia
hidup bukan sekedar untuk kelangsungan hidup, namun lebih dari itu. Manusia mengembangkan
kebudayaan, manusia memberi makna kepada kehidupannya, dan manusia memanusiakan diri dalam
hidupnya. Kemampuan manusia untuk mengembangkan diri menyebabkan manusia berpeluang untuk
membentuk dirinya baik secara fisik maupun mental. Berbagai potensi fisik dan mental dikembangkan
manusia untuk menjadi mahluk yang berperadaban (homosapien). Peningkatan dan pengembangan diri
ini menyebabkan manusia memiliki tingkat peradaban yang berbeda dan mengarah dari zaman ke zaman
tergantung pada kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat masing-masing. Akan tetapi tidak semua
potensi fisik dan mental berkembang sebagaiana yang diharapkan, supaya potinsi fisik dan mental itu
berkembang dan terlihat, maka di perlukan namanya pendidikan, berupa pengarahan, bimbingan
maupun latihan yang teratur dan seimbang.
Dalam mengembangkan pendidikan, manusia harus bisa berfikir secara universal dan mendalam. Maka
manusiasa membutuhkan landasan folosofis yang menjiawai seluruh kebijaksanaan pelaksanaan
pendidikan. Landasan filosofis merupakan landasan yang berdasarkan atas filsafat. Pendidikan dan filsafat
tidak terpisahkan karena akhir dari pendidikan adalah akhir dari filsafat yaitu kearifat (wisdom). Dan alat
dari filsafat adalah alat dari pendidikan yaitu pencaarian (inquiri), yang akan mengantar manusia kepada
kearifan. Dengan kearifan yang dimiliki oleh manusia akan mengantarkan dirinya untuk mengembangkan
potensi fisik dan mental secara terarah sehingga dia bisa memberi makna kepada kehidupannya, dan
bermanfaat bagi lingkungannya.
Kemajuan peradaban manusia ditentukan oleh pendidikan dan kearifan individu (sebagai pewaris nilai-
nilai budaya). Tingkat perkembangan kebudayaan suatu masyarakat atau bangsa sangat ditentukan oleh
tingkat sumberdaya manusia yang menjadi pendukung nilai-nilai budaya tersebut. Berdasarkan uraian di
atas, maka dalam makalah ini akan dibahas “filsafat pendidikan dalam peningkatan Sumber Daya
Manusia”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut “Bagaimana
filsafat pendidikan dalam peningkatan Sumberdaya Manusia ? “

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
bagaimana filsafat pendidikan dalam peningkatan Sumber Daya Manusia.

D. Manfaat Penulisan

Secara umum penulisan makalah ini bisa bermanfat sebagai tambahan bahan bacaan tentang filsafat
pendidikan peningkatan sumber daya manusia, baik digunakan untuk pembuatan karya ilmiah atau pun
yang lain. Dan juga bisa dijadikan sebagai dasar untuk pengembangan potensi dalam mengembangkan
sumber daya manusia.

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat Pendidikan

Menurut Amsal Bakhtiar (2007:4) “Filsafat dalam bahasa inggris yaitu : philosophy, adapun istilah filsafat
berasal dari bahasa Yunani : philosophia, yang terdiri dari dua kata : philos (cinta) atau philia
(persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan,
pengalaman praktis, inteligensi). Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran
(love of wisdom)”. Adapun pengertian pendidikan dalam GBHN Tahun 1973 bahwa “ pendidikan pada
hakekatnya merupakan suatu usaha yang didasari untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan
manusia yang dilaksanakan di dalam maupun di luar sekolah, dan berlangsung seumur hidup. Sadulloh
(2008 : 56).

Filsafat pendidikan menurut Al-Syaibany adalah pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah falsafah
dalam bidang pendidikan. Filsafat itu mencerminkan satu satu segi dari segi pelaksanaan falsafah umum
dan menitik beratkan kepada pelaksanaan perinsip-perinsip dan kepercayaan-kepercayaan yang menjadi
dasar dari falsafah umum dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan secara praktis. Sadulloh
(2008 : 71).
Jadi, filsafat pendidikan itu merupakan hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai kepada
akar-akarnya mengenai pendidikan. Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah
pendidikan bukan hanya berhubungan dengan pelaksanaan pendidikan yang dibatasai pengalaman,
tetapi permasalahan yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih komplek, yang tidak dibatasi pengalaman
maupun fakta-fata pendidikan. Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan
akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas,
pengetahuan dan nilai.

B. Pengembangan Sumber Daya Manusia

Manusia adalah sumberdaya primer dan sangat menentukan dalam pembangunan suatu bangsa. Sumber
daya manusia merupakan salah satu sumber daya dalam organisasi meliputi semua orang yang
melakukan aktivitas. Oleh karena itu jika suatu bangsa ingin maju dan sejahtera, maka bangsa itu harus
memprioritaskan investasi dalam pemgembangan sumber daya manusia (human capital). Investasi yang
sehat dalam membangun sumber daya manusia ditempatkan pada tujuan strategis untuk mencapai
tingkat nilai yang tinggi. Penekanan nilai tersebut membantu manusia lebih prduktif, lebih kreatis,
mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya dan bekerja keras dengan dedikasi tinggi yang
pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan. Pembangunan human capital untuk mempersiapkan
masa depan suatu bangsa lebih baik lagi, dan pembangunan human capital yang efektif dengan investasi
melalui jalur pendidikan baik formal nonformal mapun informal. Sagala (2013 : 15). Dalam
pengembangasn sumber daya manusia ada dua sisi pokok, yaitu sisi Sumber daya dan sisi manusia,
dimensi pokok sisi sumber daya adalah konstribusinya terhadap organisasi dan lingkungannya, sedangkan
sisi pokok manusia adalah perlakuan lingkungan dan organisasi terhadapnya, yang pada gilirannya
menentukan kualitas dan kapabilitas hidupnya. Dengan demikian dapat digambarkan bahwa kualitas
manusia dapat merosot atau menurun yang disebabkan oleh sesuatu kekuatan baik internal maupun
eksternal. Dalam perkembangan dan penemuan ilmu Pengetahuan mempunyai nilai pembentukan, nilai
itu sangat dopengaruhi oleh penggunaan temuan (cration invention) ilmu pengetahuan itu disebut
Teknologi. Sejarah membuktikan bahwa teknologi tidak pernah susut atau surut, selain semakin pesat
perkembangannya juga semakin tinggi dari teknologi alat sampai pada bioteknologi. Perkembangan atau
pertumbuhan ekonomi saat ini masih tergantung pada sumber daya alam seperti mineral, hutan,
perkebunan besar, lahan pertanian dan industri pengelola sumber daya alam. Kemampuan sumber daya
alam dengan peningkatan kebutuhan manusia yang menjadi beban pertumbuahan ekonomi, hal ini
disebabkab kemampuan sumber alam tidak sebanding dengan peningkatan jumlah penduduk akibatnya
banyak Negara-negara yang merosot akibat ulahnya sendiri. Dewasa ini sejumlah Negara-negara
dikawasan dunia ini khidupan Negara yang bersangkutan nyaris tidak memiliki sumber daya alam. Hal
diakibatkan kualitas sumber daya alamnya rendah. Sumber daya manusia berkualitas tinggi adalah
sumber daya manusia yang mampu menciptakan bukan saja nilai komperatif tetapi juga nilai kompetitif-
generatif-inovatif yang menggunakan energi yang tinggi seperti Integence, Creativity dan Imagination,
tidak lagi semata-mata menggunakan energi kasar seperti bahan mentah, lahan, air, tenaga otot dan
sebagainya. Peningkatan kualitas sumber daya manusia tertentu berbeda dari zaman ke zaman. Sifat
bentuk dan arahannya tergantung pada kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat masing-masing.
Dimasyarakat tradisional,peningkatan kualitas sumber daya manusia masih terbatas pada aspek-aspek
tertentu,yang erat kaitannya dengan tradisi setempat.namun yang jelas,peningkatan itu tak lepas
hubungannya dengan filsafat hidup dan kepribadian masing-masing.dalam pengertian sederhana, filsafat
diartikan sebagai kepribadian jati diri dan pandangan hidup seseorang,masyarakat,atau bangsa.kondisi ini
dibentuk oleh tradisi kehidupan masyarakat ataupun oleh usaha yang terprogram.namun demikian
sesederhana apapun,pembntukan itu tak lepas dari peran pendidikan.pendidikan,menurut Hasan
Langgulung,pada prinsipnya dapat dilihat dari dua sudut pandang : individu dan masyarakat, Jalaluddin
dan Idi (2012 : 186-187). Jadi, untuk mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi, ada
suatu jalan pemecahan yang harus ditempuh, yakni melalui pendidikan dan pelatihan. Pendidikan dan
pelatihanlah yang akan meningkatkan kemauan, kemampuan, dan kesempatan bagi seseorang untuk
berperan dalam kehidupannya, secara individu maupun masyarakat. Ada beberapa langkah yang harus
dilakukan demi tercapainya pengembangan sumber daya manusia. 1. Informasi-informasi yang luas,
aktual, dan hangat agar dapat membuka ketertutupan pandangan dan wawasan, dan pada tahap
selanjutnya akan menimbulkan gairah untuk melakukan sesuatu yang diperlukan (tumbuh kemauan dan
keinginan berprestasi) 2. Motivasi dan arahan yang dapat menumbuhkan semangat untuk melaksanakan
sesuatu atau beberapa tugas pekerjaan dengan adanya kepercayaan diri yang kuat, sehingga ada gairah
untuk mewujudkan suatu tujuan (peningkatan produktivitas dan kemampuan diri) 3. Metodologi dan
system kerja yang dapat memberikan cara penyelesaian masalah dengan efektif dan efesien, secara
terus-menerus (manusia potensial, actual, dan fungsional)

C. Filsafat Pendidikan Peningkatan Sumber Daya Manusia

Manusia adalah makhluk yang memiliki beberapa potensi bawaan. Dari sudut pandang yang dimiliki
itu,manusia dinamai dengan berbagai sebutan. Dilihat dari potensi inteleknya manusia disebut homo
intelectus.manusia juga disebut sebagai homo faber, karena manusia memiliki kemampuan untuk
membuat barang atau peralatan.kemudian manusia pun disebut sebagai homo sacinss atau homo saciale
abima ,karena manusia adalah mahkluk bermasyarakat.di lain pihak manusia juga memiliki kemampuan
merasai, mengerti, membeda-bedakan,kearifan,kebijaksanaan, dan penetahuan.atas dasar adanya
kemampuan tersebut,manusia disebut homo sapiens . Filsafat pendidikan,seperti dikemukakan oleh
Imam Barnadib (dalam Jalaluddin dan Idi, 2012 : 194 -198) disusun atas dua pendekatan. Pendekatan
pertama bahwa filsafat pendidikan diartikan sebagai aliran yang didasarkan pada pandangan filosofis
tokoh-tokoh tertentu. Sedangkan pandangan ke dua adalah usaha untuk menemukan jawaban dari
pendidikan beserta problem-problem yang ada yang memerlukan tinjauan filosofis. Dari pendekatan
pertama, terkait dengan kualitas potensi manusia, terdapat tiga aliran filsafat. Pertama,aliran
natularisme, yang menyatakan bahwa manusia memiliki potensi bawaan yang dapat berkembang secara
alami, tanpa memerlukan bantuan dari luar. Secara alami manusia akan bertambah dan berkembang
sesuai dengan kodratnya masing-masing.tokoh aliran ini adalah Jean Jacques Rosseau. Kedua aliran
empirisme. Menurut aliran ini manusia bertumbuh dan berkembang atas bantuan atau karena adanya
intervensi lingkungan.tokoh aliran ini adalah Schopenhauer. Ketiga aliran konfergensi, yang memiliki
pandangan gabungan antara empirisme dan naturalism. Menurut aliran ini,manusia secara kodrati
memang telah dianugrahi potensi yang disebut bakat.namun selanjutnya agar potensi itu dapat
bertumbuh dan berkembang dengan baik,perlu adanya pengaruh dari luar berupa tuntunan dan
bimbingan melalui pendidikan.tokoh aliran ini adalah Jhon Locke. Ketiga aliran tersebut kemudian
menjadi dasar pemikiran tentang manusia dalam kaitan dengan problema pendidikan.namun
kemudian,Kohnstamm menambahkan faktor kesadaran sebagai faktor ke empat. Dengan demikian
menurutnya selain faktor dasar (natur) dan faktor ajar (empiri),yang kemudian dikonvergensikan,masih
perlunya faktor kesadaran individu. Menurutnya walaupun manusia memiliki bakat yang baik, kemudian
dididik secara baik pula,maka hasilnya akan menjadi lebih baik bila ada motivasi intrinsik dari peserta
didik itu sendiri. Kohnstamm,melihat bahwa faktor lingkungan belum dapat memberi hasil yang optimal
bila tidak disertai dorongan dari dalam diri peserta didik.pendapat ini dapat dilihat sebagai temuan yang
memperkaya pemikiran tentang manusia dalam kaitannya dengan pendidikan. Keempat tokoh tersebut
telah mengangkat latar belakang potensi manusia.kecuali J.J Rousseau,ketiga tokoh berikutnya seakan
menyatu dalam pendapat bahwa potensi manusia dapat diintervensi oleh pengaruh lingkungan. Seperti
yang dikatakan Imam Barnadib,bahwa filsafat pendidikan sebagai system dapat dilihat dari dua
pendekatan. Pendekatan pertama sebagai pendekatan filosofis,sebagaiman telah diuraikan
terdahulu.dalam pandangan ini terungkap bahwa konsep pendidikan dalam berbagai aliran itu mengakui
bahwa manusia memiliki potensi untuk dididik. Selanjutnya pendekatan kedua adalah filsafat pendidikan
dilihat dari sudut pandang pendidikan.berdasarkan pendekatan ini,filsafat pendidikan merupakan usaha
untuk menemukan jawaban tentang pendidikan dan problema-problema yang ada yang memerlukan
tinjauan filosofis .dalam pandangan ini,filsafat pendidikan menjadi tumpuan bagi penyesunan system
pendidikan. Menurut Hasan Langgulung,pendidikan dalam hubungannya dengan individu dan
masyrakat,dapat dilihat dari bagaimana garis hubungannya dengan filsafat pendidikan dan sumberdaya
manusia.dari sudut pandang individu, Pendidikan merupakan usaha untuk mengembangkan potensi
individu,sebaliknya dari sudut pandang kemasyrakatan,pendidikan adalah sebagai pewaris nilai-nilai
budaya. Dalam pandangan ini pendidikan mengemban dua tugas utama, yaitu peningkatan potensi
individu, dan pelestarian nilai-nilai budaya.manusia sebagai mahkluk berbudaya dan hakikatnya adalah
pencipta budaya itu sendiri. Budaya itu kemudian meningkat sejalan dengan peningkatan potensi
manusia pencipta budaya itu. Tingkat perkembangan kebudayaan suatu masyarakat atau bangsa sangat
ditentukan oleh tingkat kualitas sumber daya manusia yang menjadi pendukung nilai-nilai budaya
tersebut.pada masyarakat yang masih memiliki kebudayaan asli,berbeda dengan masyarakat yang
memiliki kebudayaan campuran. Kemajuan peradapan manusia sebagian besar ditentukan oleh
IPTEK.makin tinggi tingkat penguasaan IPTEK, makin maju pula perdapan suatu bangsa.juga tingkat
kualitas sumberdaya manusianya.salah satu sarana yang paling efektif dalam pengembangan dan
peningkatan kualitas sumber daya anusia adalah pendidikan. Sejalan dengan tujuan tersebut, disusunlah
suatu system pendidikan yang layak dan serasi dengan tujuan pengembangan sumberdaya manusia
sebagai pendukung nilai-nilai budaya bagi peningkatan kemajuan peradapan yang dimiliki. Kemudian agar
system pendidikan tersebut tetap terjaga, diperukan adanya suatu landasan filsafat pendidikan yang
dinilai mengakarpada kepribadian bangsa itu masing-masing.dalam kaitan ini, terlihat bagaiman kaitan
hubungan antara filsafat pendidikan dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Kegiatan
manusia untuk mengembangkan potensi dirinya dan menemukan pengetahuan yang benar adalah
sesuatu yang mutlak dilakukan karena manusia selalu berpikir. Namun setiap manusia berbeda cara
berpikirnya untuk menemukan suatu kebanaran yang hakiki. lewat kegiatan berpikir dan dapat
dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini merupakan sember bagi setiap orang atau diri
seseorang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin tinggi cara bepikir seseorang maka
otomatis pengembangan potensi yang ada pada diri seseorang semakin tinggi pula, dengan kata lain
peranan ilmu atau filsafat pendidikan terhadap pemgembangan sumber daya manusia sangat erat
kaitannya atau saling ketergantungan. Karena sumber daya manusia yang tinggi tergantung dari
pemikiran-pemikiran atau ilmu pendidikan yang dimiliki manusia. Manusia mengembangkan
pengetahuan, dari pengetahuannya itu muncul daya pikir bagaimana mengatasi kebutuhan dan
kelangsunga hidup. Jadi potensi yang dimiliki seseorang menjadi penentu kehidupan pada dirinya.
Sehingga peranan filsafat pendidikan terhadap pengembangan sumber daya manusia saling berkaitan
satu sama lain.

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A.

Kesimpulan Berdasarkan pada pembahasan, maka dapat dibuat suatu kesimpulan bahwa filsafat
pendidikan sangat erat kaitannya dengan sember daya manusia, manusia mengembangkan pengetahuan
melalui pendidkan formal, nonformal amupun pendidikan informal, dari pengetahuannya itu muncul cara
untuk mengembangkan potensi dan daya pikir bagaimana mengatasi kebutuhan dan kelangsunga hidup.
B. Saran Terus belajar, dan jangan pernah berhenti dan bosan untuk mengembangkan pendidikan, karena
dengan pendidikan kita bisa mengembangkan potensi dan daya pikir yang ada pada diri kita yang pada
akhirnya kita bisa mengembangkan sumber daya manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Jalaluddin dan Abdullah Idi. 2012. Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat, dan pendidikan).Jakarta :
Rajawali Pers.

Sadulloh, Uyoh. 2008. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung : Alfabeta.

Sagala, Syaiful. 2013. Human Capital (Kepemimpinan Visioner dan Beberapa Kebijakan Pendidikan ).
Bandung : Alfabeta.

Filsafat Pendidikan Dan Peningkatan Sumber Daya Manusia


Di tulis saiful ady fkm
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Suatu usaha untuk mengatasi persoalan-persoalan pendidikan tanpa menggunakan kearifan
(wisdom) dan kekuatan filsafat ibarat sesuatu yang sudah ditakdirkan untuk gagal. Persoalan
pendidikan adalah persoalan filsafat. Pendidikan dan filsafat tidak terpisahkan karena akhir dari
pendidikan adalah akhir dari filsafat, yaitu kearifan (wisdom). Dan alat dari filsafat adalah alat dari
pendidikan, yaitu pencarian (inquiry), yang akan mengantar seseorang pada kearifan.
Filsafat pendidikan memang suatu disiplin yang bisa dibedakan tetapi tidak terpisah baik dari filsafat
maupun juga pendidikan, ia beroleh asupan pemeliharaan dari filsafat. Ia mengambil persoalannya
dari pendidikan, sedangkan metodenya dari filsafat. Berfilsafat tentang pendidikan menuntut suatu
pemahaman yang tidak hanya tentang pendidikan dan persoalan-persoalannya, tetapi juga tentang
filsafat itu sendiri. Filsafat pendidikan tidak lebih dan tidak kurang dari suatu disiplin unik
sebagaimana halnya filsafat sains atau sains yang disebut mikrobiologi.
Filsafat secara ringkas berkenaan dengan pertanyaan seputar analisis konsep dan dasar-dasar
pengetahuan, kepercayaan, tindakan, dan kegiatan. Jadi dalam filsafat terkandung pengertian dua
hal, yaitu (1) analisis konsep, dan (2) pendalaman makna atau dasar dari pengetahuan dan
sejenisnya. Dengan menganalisis suatu konsep, hakikat makna suatu kata dieksplorasi baik secara
tekstual dengan padanannya maupun juga secara kontekstual dalam penggunaannya. Sehingga akan
terkuak dimensi-dimensi moral yang khas dalam pemakaiannya, yang membedakannya dari kata
yang lainnya. Jadi, memasukkan makna suatu kata sebagai konsep yang khas dalam kesadaran
sehingga memiliki asumís-asumsi moral guna membantunya lebih cermat dalam fungsionalisasinya.
Analisis konseptual akan mengantar kita pada setidaknya 2 hal penting: (1) memungkinkan kita
melihat secara lebih jernih bagaimana suatu konsep terkait tidak saja dengan konsep-konsep lainnya
tetapi juga dengan bentuk-bentuk kehidupan sosial yang berada pada jaringan asumsi-asumsi yang
saling bertautan seperti tanggung jawab manusia, hak-hak yang terkait dengan kewenangan, dan
peran penderitaan dalam kehidupan kita. Hal tersebut akan mengantar kita pada pemahaman yang
lebih baik tentang kehidupan sosial kita. (2) dengan memahami struktur konseptual tertentu, akan
memungkinkan kita untuk bisa mencermati asumsi-asumsi moral terkait isu yang ada. Diskusi
tentang ini akan mengantar kita lebih jauh pada filsafat moral.
BAB II
PEMBAHASAN
FILSAFAT PENDIDIKAN DAN PENINGKATAN SDM
A. FILSAFAT PENDIDIKAN
Terdapat tiga persoalan umum yang disebut filsafat.
(1) Metafisika (Metaphysics)
Istilah lebih generik adalah “ontology” yang berkenaan dengan hakikat realitas (what is), sedangkan
metafisika berkenaan dengan hakikat eksistensi (what it means “to be”). Pada konteks ini keduanya
dipakai saling menggantikan (interchangeably).

Metafisika bisa diartikan sebagai the theory of reality. Suatu upaya filosofis untuk memahami
karakteristik mendasar atau esensial dari alam semesta dalam suatu simpul yang sederhana namun
serba mencakup.
Secara sederhana, metafisikawan berusaha menjelaskan rangkuman dan intisari dari apa (of what
is), apa yang ada (of what exists), dan apa yang sejati ada (of what is ultimately real). Intisari atau
substansi realitas ini secara kualitatif maupun kuantitatif bisa jadi satu atau banyak. Mereka yang
beraliran kuantitatif (yakni hakikat sebagai rangkuman realitas atau as the sum of reality) terbagi
kedalam tiga posisi pandang: (1) monisme, (2) dualisme, dan (3) pluralisme. Sedangkan yang
beraliran kualitatif (yakni hakikat sebagai intisari dari realitas atau as the substance of reality) terbagi
kedalam 4 posisi pandang: (1) idealisme, bahwa hakikat realitas bersifat mental atau spiritual; (2)
realisme, bahwa hakikat realitas bersifat material atau fisis. Dua aliran tersebut termasuk kategori
monisme. (3) Thomisme yang mengkombinasikan dua corak aliran monisme sebelumnya. (4)
Pragmatisme, yang menolak untuk mengkuantifikasi atau mengkualifikasikan realitas. Mereka lebih
suka mengatakan bahwa realitas senantiasa berada pada keadaan berubah dan mencipta secara
konstan sekalipun secara literal bisa dinyatakan ada ketidakterbatasan filosofis baik jenis maupun
jumlahnya.

(2) Aksiologi (Axiology)


Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral (morals). Tetapi
dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi,
aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh
perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang
cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk
perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka
memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-
konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought / should). Demikianlah aksiologi terdiri dari
analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau
menemukan suatu teori nilai.
Terdapat dua kategori dasar aksiologis; (1) objectivism dan (2) subjectivism. Keduanya beranjak dari
pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pada manusia
(dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat pendekatan etika, dua yang
pertama beraliran obyektivis, sedangkan dua berikutnya beraliran subyektivis.
Pertama, teori nilai intuitif (the initiative theory of value). Teori ini berpandangan bahwa sukar jika
tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang bersifat ultim atau
absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang ultim atau absolut itu eksis dalam tatanan
yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tata moral yang bersifat baku.
Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan
antarobyek, dan validitas dari nilai obyektif ini tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku
manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia
berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi-preskripsi
moralnya.
Kedua, teori nilai rasional (the rational theory of value). Bagi mereka janganlah percaya pada nilai
yang bersifat obyektif dan murni independen dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil
dari penalaran manusia dan pewahyuan supranatural. Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu
yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagaimana fakta bahwa hanya orang
jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi
dengan nalar atau peran Tuhan, seseorang menemukan nilai ultim, obyektif, absolut yang
seharusnya mengarahkan perilakunya.
Ketiga, teori nilai alamiah (the naturalistik theory of value). Nilai menurutnya diciptakan manusia
bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk
biososial, artefak manusia, yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk
melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai
instrumental dimana keputusan nilai tidak absolut atau ma’sum (infallible) tetapi bersifat relatif dan
kontingen. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi
(kebutuhan/keinginan) manusia.
Keempat, teori nilai emotif (the emotive theory of value). Jika tiga aliran sebelumnya menentukan
konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa bahwa konsep moral dan
etika bukanlah keputusan faktual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi-emosi atau tingkah laku
(attitude). Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa
penilaian (valuing) menjadi bagian penting dari tindakan manusia. Bagi mereka, drama kemanusiaan
adalah sebuah axiological tragicomedy.
(3) Epistemologi (Epistemology)
Disebut the theory of knowledge atau teori pengetahuan. Ia berusaha mengidentifikasi dasar dan
hakikat kebenaran dan pengetahuan, dan mungkin inilah bagian paling penting dari filsafat untuk
para pendidik. Pertanyaan khas epistemologi adalah bagaimana kamu mengetahui (how do you
know?). Pertanyaan ini tidak hanya menanyakan tentang apa (what) yang kita tahu (the products)
tetapi juga tentang bagaimana (how) kita sampai mengetahuinya (the process). Para epistemolog
adalah para pencari yang sangat ulet. Mereka ingin mengetahui apa yang diketahui (what is known),
kapan itu diketahui (when is it known), siapa yang tahu atau dapat mengetahuinya (who knows or
can know), dan yang terpenting, bagaimana kita tahu (how we know). Mereka adalah para pengawas
dari keluasan ranah kognitif manusia.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut didahului dengan pertanyaan dapatkah kita mengetahui (can we
know?). Di sini terdapat tiga posisi epistemologis:
Pertama, dogmatism. Aliran ini menjawab: ya, tentu saja kita dapat dan benar-benar mengetahui
(we can and do know) – selanjutnya bahkan kita yakin (we are certain). Untuk mengetahui sesuatu
kita harus lebih dahulu memiliki beberapa pengetahuan yang memenuhi dua kriteria: certain (pasti)
dan uninferred (tidak tergantung pada klaim pengetahuan sebelumnya). Contoh untuk itu: a = a dan
keseluruhan > bagian.
Kedua, skepticism. Aliran ini menjawab: tidak, kita tidak benar-benar tahu dan tidak juga dapat
mengetahui. Mereka setuju dengan dogmatisme bahwa untuk berpengetahuan seseorang terlebih
dahulu harus mempunyai beberapa premis-premis yang pasti dan bukannya inferensi. Tapi mereka
menolak klaim eksistensi premis-premis yang self-evident (terbukti dengan sendirinya). Respon
aliran ini seolah menenggelamkan manusia kedalam lautan ketidakpastian dan opini.
Ketiga, fallibilism. Aliran ini menjawab bahwa kita dapat mengetahui sesuatu, tetapi kita tidak akan
pernah mempunyai pengetahuan pasti sebagaimana pandangan kaum dogmatis. Mereka ini hanya
mengatakan mungkin (possible), bukan pasti (certain). Manusia hanya akan puas dengan
pengetahuan yang reliable, tidak pernah 100% yakin. Tidak ada yang dapat diverifikasi melampaui
posibilitas-posibilitas dari keraguan yang mencakup suatu pernyataan tertentu. Inilah yang dikenal
dengan istilah “doubting Thomas” yang yakin bahwa kita selalu berhubungan dengan posibilitas-
posibilitas dan probabilitas-probabilitas (pengetahuan) dan tidak pernah dengan kepastian-
kepastian. Filosofi fallibilistik ini memandang sains senantiasa berada dalam gerak (posture) dan
tidak diam. Belajar pengetahuan selalu bersifat terbuka untuk berubah dan bukannya final, bersifat
relatif dan bukannya absolut, bersifat mungkin daripada pasti. Moda kerja aliran ini mengkaji
pergeseran-pergeseran, melakukan cek dan re-cek, sekalipun hasil yang dicapai selalu saja akan
bersifat tentatif.
Para filsuf kontemporer dengan pengecualian beberapa eksistensialis, percaya bahwa kita (manusia)
memang dapat mengetahui, tetapi bagaimana?
Idealisme menjawab bahwa pengetahuan itu terdiri dari ide. Ide adalah produk akal (the mind) atau
hasil dari proses-proses mental dari intuisi dan penalaran. Intuisi –jika bukan nalar—dapat meraih
pengetahuan yang pasti. Analogi yang dipakainya adalah analogi garputala.
Realis klasik menjawab bahwa daya rasional dari akal mengurai kode pengalaman dan merajut
darinya kebenaran. Pengetahuan kita tentang dunia eksternal hadir melalui penalaran terhadap
laporan-laporan observasi. Sekalipun laporan tersebut dari waktu ke waktu sering menipu ktia, kita
dapat selalu bersandar pada nalar kita dan percayalah bahwa pengetahuan pasti itu ada, kebenaran
absolut itu ada, dan kita bisa menemukannya.
Kaum Thomis menjawab agar kita meletakkan kepercayaan pada wahyu sebagaimana pada nalar.
Bagi mereka ada kebenaran yang ditemukan (truth finding) dan kebenaran yang diberikan (truth
living). Adapun orang yang bijak adalah orang yang mampu mengambil manfaat dari keduanya.
Aliran ini secara epistemologis bersifat dogmatis.
Sementara kaum realis modern, pragmatis, empirisis logis, atau naturalis mengambil tesis falibilistik
bahwa pengetahuan adalah bersifat kontingen dari perubahan serta kebenaran bersifat relatif sesuai
dengan kondisinya.
Dari sini, epistemologi adalah bidang tugas filsafat yang mencakup identifikasi dan pengujian kriteria
pengetahuan dan kebenaran. Pernyataan kategoris yang menyebutkan bahwa “ini kita tahu” atau
“ini adalah kebenaran” merupakan pernyataan-pernyataan yang penuh dengan makna bagi para
pendidik karena sedikit banyak hal tersebut bertaut dengan tujuan pendidikan yang mencakup
pencarian pengetahuan dan perburuan kebenaran.
Beberapa pandangan tentang konsep pendidikan:
(1) Pendidikan sebagai manifestasi (education as manifestation).
Dengan analogi pertumbuhan bunga atau benih, dikatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses
untuk menjadikan manifes (tampak aktual) apa-apa yang bersifat laten (tersembunyi) pada diri
setiap anak.
(2) Pendidikan sebagai akuisisi (education as acquisition)
Dengan analogi spon, pendidikan digambarkan sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan
seseorang dalam memperoleh (menyerap) informasi dari lingkungannya.
(3) Pendidikan sebagai transaksi (education as transaction)
Dengan analogi orang Eskimo di Baffin Bay yang “berinteraksi” (work together) dengan bebatuan
yang ada di lingkungannya untuk membuat rumah batu (stone sculpture) yang secara organic sesuai
dengan materialnya dan selaras dengan kemampuan pembuatnya. Pendidikan adalah proses
memberi dan menerima (give and take) antara manusia dengan lingkungannya. Di sana seseorang
mengembangkan atau menciptakan kemampuan yang diperlukan untuk memodifikasi atau
meningkatkan kondisinya dan juga lingkungannya. Sebagaimana pula di sana dibentuk perilaku dan
sikap-sikap yang akan membimbing pada upaya rekonstruksi manusia dan lingkungannya.
Filsafat dan pendidikan berjalan bergandengan tangan, saling memberi dan menerima. Mereka
masing-masing adalah alat sekaligus akhir bagi yang lainnya. Mereka adalah proses dan juga produk.
(1) Filsafat sebagi proses (philosophy as process)
Filsafat sebagai aktivitas berfilsafat (the activity of philosophizing). Tercakup di dalamnya adalah
aspek-aspek: (a) analisis (the analytic), yakni berkaitan dengan aktivitas identifikasi dan pengujian
asumsi-asumsi dan criteria-kriteria yang memandu perilaku. (b) evaluasi (the evaluative), berkaitan
dengan aktivitas kritik dan penilaian tindakan. (c) spekulasi (the speculative), berhubungan dengan
pelahiran nalar baru dari nalar yang ada sebelumnya. (d) integrasi (the integrative), yakni konstruksi
untuk meletakkan bersama atau mempertautkan kriteria-kriteria atau pengetahuan atau tindakan
yang sebelumnya terpisah menjadi utuh.
Jadi, proses filosofis itu membangun dinamika dalam perkembangan intelektual.
(2) Filsafat sebagai produk (philosophy as product)
Produk dari aktivitas berfilsafat adalah pemahaman (understanding), yakni klarifikasi kata, ide,
konsep, dan pengalaman yang semula membingungkan atau kabur sehingga bisa menjadi jernih dan
dapat dimanfaatkan untuk pencarian pengetahuan lebih lanjut. Filsafat dengan “P” capital adalah
suatu bangun pemikiran yang secara internal bersifat konsisten dan tersusun dari respon-respon
yang dibuat terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam proses berfilsat. Pertama-tama,
Filsafat memang tampak sebagai suatu jawaban, posisi sikap, konklusi, ringkasan akhir, dan juga
rencana final.

B. SUMBER DAYA MANUSIA


Manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam rangka menjadi khalifah dimuka bumi, hal ini banyak
dicantumkan dalam al-Qur’an dengan maksud agar manusia dengan kekuatan yang dimilikinya
mampu membangun dan memakmurkan bumi serta melestarikannya. Untuk mencapai derajat
khalifah di buka bumi ini diperlukan proses yang panjang, dalam Islam upaya tersebut ditandai
dengan pendidikan yang dimulai sejak buaian sampai ke liang lahat.
Di atas telah disinggung bahwa pendidikan Islam memadukan dua segi kepentingan manusia yaitu
keduniaan dan keagamaan. Berbeda dengan pendidikan sekuler yang hanya meninjau pada satu
aspek saja, yaitu keduniaan saja dan segala bentuk keberhasilan cenderung dinyatakan dengan
jumlah materi yuang dimiliki atau jabatan serta pengaruh di tempat individu berada. Akibatnya telah
dapat dilihat bahwa kehampaan yang terjadi pada masyarakat Eropah dan Amerika adalah
kehampaan spiritual yang sebagai tempat pelariannya ke tempat-tempat hiburan, alcoholism dan
bentuk lainnya. Dengan demikian kemajuan pada satu aspek saja dalam kehidupan ini menyebabkan
ketimpangan dalam perjalanan hidup manusia yang kemudian akan kembali menjadi permasalahan
kemanusiaan khususnya sumber daya manusia.
Menurut Hadawi Nawawi (1994) Sumber daya manusia (SDM) adalah daya yang bersumber dari
manusia, yang berbentuk tenaga atau kekuatan (energi atau power). Sumber daya manusia
mempunyai dua ciri, yaitu : (1) Ciri-ciri pribadi berupa pengetahuan, perasaan dan keterampilan (2)
Ciri-ciri interpersonal yaitu hubungan antar manusia dengan lingkungannya. Sementara Emil Salim
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan SDM adalah kekuatan daya pikir atau daya cipta manusia
yang tersimpan dan tidak dapat diketahui dengan pasti kapasitasnya. Beliau juga menambahkan
bahwa SDM dapat diartikan sebagai nilai dari perilaku seseorang dalam mempertanggungjawabkan
semua perbuatannya, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat dan berbangsa. Dengan demikian kualitas SDM ditentukan oleh sikap mental
manusia (Djaafar, 2001 : 2).
T. Zahara Djaafar (2001 : 1) menyatakan bahwa bila kualitas SDM tinggi, yaitu menguasai ilmu dan
teknologi dan mempunyai rasa tanggung jawab terhadap kehidupan manusia dan makhluk hidup
lainnya dan merasa bahwa manusia mempunyai hubungan fungsional dengan sistem sosial,
nampaknya pembangunan dapat terlaksana dengan baik seperti yang telah negara-negara maju,
dalam pembangunan bangsa dan telah berorientasi ke masa depan. Tidak jarang di antara negara-
negara maju yang telah berhasil meningkatkan kesejahteraan bangsanya adalah bangsa yang pada
mulanya miskin namun memiliki SDM yang berkualitas.
Dalam Islam sosok manusia terdiri dua potensi yang harus dibangun, yaitu lahiriah sebagai tubuh itu
sendiri dan ruhaniyah sebagai pengendali tubuh. Pembangunan manusia dalam Islam tentunya harus
memperhatikan kedua potensi ini. Jika dilihat dari tujuan pembangunan manusia Indonesia yaitu
menjadikan manusia seutuhnya, maka tujuan tersebut harus memperhatikan kedua potensi yang
ada pada manusia. Namun upaya kearah penyeimbangan pembangunan kedua potensi tersebut
selama 32 tahun masa orde baru hanya dalam bentuk konsep saja tanpa upaya aplikasi yang
sebenarnya. Telah dimaklumi bahwa pendidikan Islam memandang tinggi masalah SDM ini
khususnya yang berkaitan dengan akhlak (sikap, pribadi, etika dan moral).
Kualitas SDM menyangkut banyak aspek, yaitu aspek sikap mental, perilaku, aspek kemampuan,
aspek intelegensi, aspek agama, aspek hukum, aspek kesehatan dan sebagainya (Djaafar, 2001 : 2).
Kesemua aspek ini merupakan dua potensi yang masing-masing dimiliki oleh tiap individu, yaitu
jasmaniah dan ruhaniah. Tidak dapat dipungkiri bahwa aspek jasmaniah selalu ditentukan oleh
ruhaniah yang bertindak sebagai pendorong dari dalam diri manusia. Untuk mencapai SDM
berkualitas, usaha yang paling utama sebenarnya adalah memperbaiki potensi dari dalam manusia
itu sendiri, hal ini dapat diambil contoh seperti kepatuhan masyarakat terhadap hukum ditentukan
oleh aspek ruhaniyah ini. Dalam hal ini pendidikan Islam memiliki peran utama untuk
mewujudkannya.
Tantangan manusia pada millennium ke-3 ini akan terfokus pada berbagai aspek kompleks. Khusus
dibidang pendidikan Aly dan Munzier (2001 : 227) menyebutkan bahwa tantangan pendidikan Islam
terbagi atas 2, yaitu tantangan dari luar, yaitu berupa pertentangan dengan kebudayaan Barat abad
ke-20 dan dari dalam Islam itu sendiri, berupa kejumudan produktivitas keislaman.

Abdul Rachman Shaleh (2000 : 203) menyatakan bahwa untuk menjawab tantangan dan
menghadapi tuntutan pembangunan pada era globalisasi diisyaratkan dan diperlukan kesiapan dan
lahirnya masyarakat modern Indonesia. Aspek yang spektakuler dalam masyarakat modern adalah
penggantian teknik produksi dari cara tradisional ke cara modern yang ditampung dalam pengertian
revolusi industri. Secara keliru sering dikira bahwa modernisasi hanyalah aspek industri dan
teknologi saja. Padahal secara umum dapat dikatakan bahwa modernisasi masyarakat adalah
penerapan pengetahuan ilmiah yang ada kepada semua aktivitas dan semua aspek hidup
masyarakat.
Dalam upaya pembangunan masyarakat, tidak ada suatu masyarakat yang bisa ditiru begitu saja,
tanpa nilai atau bebas nilai. Hal ini telah terlihat dengan peniruan dan pengambilan pola kehidupan
sosialis, materialistis yang ditiru masyarakat Indonesia. Untuk itu perlu pembangunan di bidang
agama. A. R. Saleh (2000 : 205) menyatakan bahwa pembangunan di bidang agama diarahkan agar
semakin tertata kehidupan beragama yang harmonis, semarak dan mendalam, serta ditujukan pada
peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan YME, teciptanya kemantapan
kerukunan beragama, bermasyarakat dan berkualitas dlam meningkatkan kesadaran dan peran serta
akan tanggung jawab terhadap perkembangan akhlak serta untuk secara bersama-sama
memperkukuh kesadaran spiritual, moral dan etik bangsa dalam pelaksanaan pembangunan
nasional, peningkatan pelayanan, sarana dan prasarana kehidupan beragama.
Masyarakat yang sedang membangun adalah masyarakat yang sedang berubah dan terkadang
perubahan tersebut sangat mendasar dan mengejutkan. Masyarakat yang sedang dibangun berarti
masyarakat terbuka, yang memberi peluang untuk masuknya modal, ilmu dan teknologi serta nilai
dan moral asing yang terkadang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Untuk itu peran agama
diharapkan dapat berfungsi sebagai pengarah dan pengamanan pembangunan nasional. Dalam
masyarakat yang sedang berubah ini terdapat objek paling rawan yaitu generasi muda, untuk itu
prioritas perhatian pada generasi muda ini perlu ditingkatkan demi keberhasilan pembangunan.
Peningkatan kualitas manusia hanya dapat dilakukan dengan perbaikan pendidikan. A. R. Saleh (2000
: 205) menyatakan ada beberapa ciri masyarakat atau manusia yang berkualitas, yaitu :
1. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, serta berakhlak mulia dan berkepribadian
2. Berdisiplin, bekerja keras, tangguh dan bertanggung jawab
3. Mandiri, cerdas dan terampil
4. Sehat jasmani dan rohani
5. Cinta tanah air, tebal semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial
Generasi yang berkualitas yang akan disiapkan untuk menyongsong dan menjadi pelaku
pembangunan pada era globalisasi dituntut untuk meningkatkan kualitas keberagamaannya (dalam
memahami, menghayati, dan mengamalkan agamayang tetap bertumpu pada iman dan aqidah).
Dengan kata lain masyarakat maju Indonesia menuntut kemajuan kualitas hasil pendidikan Islam. A.
R. Saleh menyatakan bahwa modernisasi bagi bangsa Indonesia adalah penerapan ilmu pengetahuan
dalam aktivitas pendidikan Islam secara sistematis dan berlanjut. Tujuan pendidikan nasional
termasuk tujuan pendidikan agama adalah mendidik anak untuk menjadi anak manusia berkualitas
dalam ukuran dunia dan akhirat.
Untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang berkualitas, ditetapkan langkah-
langkah dalam pembinaan pendidikan agama yaitu :
1. Meningkatkan dan menyelaraskan pembinaan perguruan agama dengan perguruan umum dari
tingkat dasar sampai perguruan tinggi sehingga perguruan agama berperan aktif bagai
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Pendidikan agama pada perguruan umum dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi akan
lebih dimantapkan agar peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
YME serta pendidikan agama berperan aktif bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Pendidikan tinggi agama serta lembaga yang menghasilkan tenaga ilmuan dan ahli dibidang agama
akan lebih dikembangkan agar lebih berperan dalam pengembangan pikiran-pikiran ilmiah dalam
rangka memahami dan menghayati serta mampu menterjemahkan ajaran-ajaran agama sesuai dan
selaras dengan kehidupan masyarakat (A. R. Saleh, 2000 : 206).

Berdasarkan upaya diatas, maka dapat dilihat bahwa upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan
agama pada 2 jalur, yaitu lembaga pendidikan umum dan keagamaan. Sejalan dengan upaya
peningkatan SDM ini H. A. R. Tilaar (1999 : 200-204) dalam memandang tuntutan SDM yang
kompetitif di abad 21 sesuai tantangan atau tuntutan masyarakat dalam era ilmu pengetahuan,
menyatakan bahwa perlunya :
1. Reformulsi IAIN sebagai Institusi Pendidikan Tinggi Islam, hal ini dilihat dari relevansinya terhadap
tuntutan ilmu pengetahuan dan pembangunan nasional masih bersifat sektoral dan visinya yang
terbatas
2. Nilai Agama Sebagai Faktor Integratif, telah terlihat efek pemisahan agama dan sains-teknologi,
nilai agama hendaknya dijadikan faktor integratif di dalam mengembangkan fakultas-fakultas ilmu
murni bila transformasi IAIN menjadi Universitas Islam dapat diwujudkan.
3. Peninjauan Eksistensi Fakultas Tarbiyah dalam IAIN dan menyarankan agar ditransformasikan
menjadi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Dalam menciptakan SDM yang bermutu sesuai tantangan globalisasi saat ini Pendidikan Islam
memainkan peranan penting dalam pembinaan SDM khususnya kepribadian, sikap dan mental
manusia berlandaskan agama selain potensi intelektualitasnya.
b. Pendidikan Islam pada dasarnya merupakan proses bimbingan yang dibangun atas prinsip-prinsip
pokok, berupa penciptaan yang bertujuan, kesatuan yang menyeluruh dan keseimbangan yang
kokoh. Pendidikan Islam memandang perlunya aspek dunia dan akhirat, ilmu dan amal atau teori
dan praktek.
c. Pendidikan Islam berperan dalam memecahkan permasalahan SDM jika didukung perguruan tinggi
Islam yang mampu menyahuti aspirasi tamatan institusi pendidikan Islam di tingkat bawah,
selanjutnya mempersiapkan SDM untuk diterjunkan kembali pada masyarakat.
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diambil, dalam makalah ini disarankan hal-hal berikut :
a. Pendidikan Islam sebaiknya memainkan peran sejak awal dan tingkat dasar dalam upaya
peningkatan SDM, baik jasmaniah dan rohaniah.
b. Pendidikan tinggi Islam agar secepatnya melakukan terobosan baru demi menyikapi hal-hal yang
berkembang cepat demi menghasilkan SDM yang berkualitas dalam aspek keduniaan dan
keakhiratan.

Daftar Pustaka
Aly, H. N. dan Munzier, H. (2000). Watak Pendidikan Islam. Jakarta : Friska Agung Insani.
Azra, Azyumardi. (2001). Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta :
Kalimah.
Hasan, Chalijah. (1994). Dimensi-dimensi Psikologi Pendidikan. Surabaya : Al Ikhlas.
Prasetya. (2000). Filsafat Pendidikan : Untuk IAIN, STAIN, PTAIS. Bandung : Pustaka Setia.
Shaleh, A. R. (2000). Pendidikan Agama dan Keagamaan : Visi, Misi dan Aksi. Jakarta : Gemawindu
Pancaperkasa.
Tilaar, H. A. R. (1999). Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21.
Magelang : Tera Indonesia.

FILSAFAT PENDIDIKAN: HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT, MANUSIA,


DAN PENDIDIKAN
FILSAFAT PENDIDIKAN

HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT, MANUSIA,

DAN PENDIDIKAN

DisusunOleh

Desi widyawati (13010714010)


Dedy Sugiar Wibisono (13010714060)

Cici hizwati (13010714033)

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN

2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan hidayah-nya
yang telah diberikan. Sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”Hubungan
Antara Filsafat, Manusia, Dan Pendidikan” ini dengan baik.

Adapun maksud dan tujuan dibuatnya makalah ini yaitu untuk menambah wawasan,untuk
mengetahui kemampuan menyusun dalam penyusunan makalah, dan sebagai syarat untuk
mendapatkan nilai tugas Filsafat Pendidikan yang maksimal.

Penyusun juga mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada :

1. Dosen pengajar,yaitu Drs. FX .Mas Subagio


2. Orangtua dari penyusun yang selalu mensupport anaknya.
3. Teman – teman yang sudah mendukung terlaksananya dan terciptanya makalah ini.
4. Dan semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat penyusun tuliskan satu persatu.
Namun, penyusun juga menyadari akan kekurangan – kekurangan yang ada dalam penulisan
makalah ini. Untuk itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
pembaca, agar makalah ini menjadi lebih baik lagi.

Surabaya,10 Maret 2014

Penyusun

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................... i

KATA PENGANTAR................................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang......................................................................................................... 1

1.3 Tujuan....................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Filsafat.................................................................................................... 3

2.2 Teori Kebenaran Menurut Pandangan Filsafat Dalam Bidang Ontologi, Epistimologi, Dan
Aksiologi....................................

2.3 Pandang Filsafat Tentang Hakikat Manusia............................................................. 6

2.4 Sistem Nilai Dalam Kehidupan Manusia.................................................................. 8

2.5 Pandangan Filsafat Tentang Pendidikan.................................................................. 10

BAB III PENUTUP

3.1 Simpulan................................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik


potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat
berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal.
Tidak semua masalah kependidikan dapat dipecahkan dengan menggunakan metode ilmiah
semata-mata. Banyak diantara masalah-masalah kependidikan tersebut yang merupakan
pendekatan filosofis pula dalam memecahkannya. Masalah pendidikan, adalah merupakan masalah
hidup dan kehidupan manusia. Proses pendidikan berada dan berkembang bersama proses
perkembangan hidup dan kehidupan manusia, bahkan keduanya pada hakikatnya adalah proses
yang satu. Pengertian yang luas dari pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh lodge, yaitu
bahwa: life is education, and education is life, akan berarti bahwa seluruh proses hidup dan
kehidupan manusia itu adalah proses pendidikan segala pengalaman sepanjang hidupnya
merupakan dan meberikan pengaruh pendidikan baginya.

Dalam artinya yang sempit, pendidikan hanya mempunyai fungsi yang terbatas, yaitu
memberikan dasar- dasar dan pandangan hidup kepada generasi yang sedang tumbuh, yang dalam
prakteknya identik dengan pendidikan formal di sekolah dan dalam situasi dan kondisi serta
lingkungan belajar yang serba terkontrol.

Bagaimanapun luas sempitnya pengertian pendidikan, namun masalah pendidikan adalah


merupakan masalah yang berhubungan langsung dengan hidup dan kehidupan manusia. Pendidikan
merupakan usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiannya, dalam membimbing,
melatih,mengajar dan menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi
muda, agar nantinya menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab akan tugas-tugas
hidupnya sebagai manusia, sesuai dengan sifat hakikat dan cirri-ciri kemanusianya Dan pendidikan
formal disekolah hanya bagian kecil saja daripadanya. Tetapi merupakan inti dan bisa lepas kaitanya
dengan proses pendidikan secara keseluruhannya .

Dengan pengertian pendidikan yang luas, berarti bahwa masalah kependidikan pun
mempunyai ruang lingkup yang luas pula.yang menyangkut seluruh aspek hidup dan kehidupan
manusia. Memang diantara permasalahan kependidikan tersebut terdapat masalah pendidikan yang
sederhana yang menyangkut praktek dan pelaksanaan sehari-hari, tetapi banyak pula diantaranya
yang menyangkut masalah yang bersifat mendasar dan mendalam, sehingga memerlukan bantuan
ilmu-ilmu lain dalam memecahkannya. Bahkan pendidikan juga menghadapi persoalan-persoalan
yang tidak mungkin terjawab dengan menggunakan analisa ilmiah semata-mata, tetapi memerlukan
analisa dan pemikiran yang mendalam, yaitu analisa filsafat.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan filsafat ?

2. Apa yang dimaksud dengan pendidikan ?

3. Bagaimana Pandangan filsafat tentang hakikat manusia ?

4. Bagaimana system nilai dalam kehidupan manusia ?

5. Bagaimana pandangan filsafat tentang pendidikan?


1.3 Maksud dan Tujuan

Maksud dari pembuatan makalah ini adalah supaya mahasiswa dapat memahami secara
menyeluruh mengenai hubungan antara filsafat dalam bidang ontology, epistemology, dan aksiologi.
Selain itu, tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat
Pendidikan agar mahasiswa mendapatkan nilai.

1.4 Manfaat

1. Mahasiswa dapat memahami secara menyeluruh mengenai pengertian filsafat itu sendiri.
2. Mahasiswa dapat memahami hubungan antara filsafat, manusia, dan pendidikan
3. Sebagai bekal mahasiswa untuk menghadapi masalah dalam bidang pendidikan.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian filsafat

Filsafat adalah hasil usaha manusia dengan kekuatan akal budinya untuk memahami secara
radikal, integral, dan universal tentang hakikat sarwa yang ada (Tuhan, alam, dan manusia), serta
sikap manusia sebagai konsekuensi dari pemahamn tersebut. (Anshari, 1984:12).

Berbicara ilmu, maka kita tidak bisa lepas dengan eksistensi pendidikan, eksistensi pendidikan
dari yang sifatnya umum sampai yang ke khusus.hubungan filsafat dan ilmu pendidikan ini tidak
hanya isidental, tetapi juga suatu keharusan. John Dewey, filsuf Amerika, mengatakan bahwa filsafat
itu merupakan teori umum dari pendidikan atau landasan dari semua pemikiran mengenai
pendidikan. Lebih dari itu, filsafat memang mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan menyelidiki
faktor-faktor realita dan pengalaman yang banyak terdapat di lapangan pendidikan.

2.2 Teori Kebenaran Menurut Pandangan Filsafat Dalam Bidang Ontologi, Epistimologi, Dan Aksiologi

Ada beberapa teori kebenaran menurut pandangan filsafat dalam bidang ontologi,
epistimologi, dan aksiologi.
1. Ontologi

Ontologi sering diidentikkan dengan metafisika, yang juga disebut sebagai proto-filsafat atau
filsafat yang pertama, atau filsafat ketuhanan yang bahasannya adalah hakikat sesuatu, keesaan,
persekutuan, sebab dan akibat, realita, prima atau Tuhan dengan segala sifatnya, malaikat, relasi,
atau segala sesuatu yang ada di bumi dengan tenaga-tenaga yang dilangit, wahyu, akhhirat, dosa,
neraka, pahala, dan surga.

Di dalam pendidikan, pandangan ontologi secara praktis akan menjadi masalah yang utama.
Sebab, anak bergaul dengan lingkungannya dan mempunyai dorongan yang kuat untuk mengerti
sesuatu. Anak-anak, baik di masyarakat maupun di sekolah, selalu diharapkan pada relaita, objek
pengalaman, benda mati, benda hidup dan sebagainya. Membimbing anak untuk memahami realita
dunia dan membina kesadaran tentang kebenaran yang berpangkal atas realita ini merupakan tahap
pertama sebagai stimulus untuk menyelami kebenaran itu. Dengan sendirinya, potensi berpikir kritis
anak-anak untuk mengerti kebenaran itu telah dibina. Di sini, kewajiban pendidik ialah membina
daya pikir yang tinggi yang kritis.

2. Epistimologi

Istilah epistimologi pertama kali dipakai oleh L.F Ferier pada abad ke-19 di Institut of
Metaphisics (1854). Dalam Encyclopedia of Philosophy, epistimologi didefinisikan sebagai cabang
filsafat yang bersangkutan dengan sifat dasar dari ruang lingkup pengetahuan praanggapan dan
dasar-dasarnya serta realitas umum dari tuntutan pengetahuan sebenarnya.

Epistimologi adalah studi tentang pengetahuan, bagaimana kita mengetahui benda-benda.


Untuk lebih jelasnya, ada beberapa contoh pertanyaan yang menggunakan kata “tahu” dan
mengandung pengertian yang berbeda-beda, baik sumbernya maupun validitasnya.

a. Tentu saja saya tahu ia sakit, karena saya melihantnya.

b. Percayalah, saya tahu apa yang saya bicarakan.

c. Kami tahu mobilnya baru, karena baru kemarin kami menaikinya (Hamdani Ali, 1993: 50).

3. Aksiologi

Akhlak adalah suatu bidang yang menyelidiki nilai-nilai (value). Menurut Bramed, ada tiga
bagian yang membedakan di dalam aksiologi. Pertama, moral conduct, tindakan moral. Bidang ini
melahirkan disiplin khusus yaitu etika. Kedua, esthetic expression, ekspresi keindahan yang
melahirkan estetika. Ketiga, socio-political life, kehidupan sosio-polotik. Bidang ini melahirkan ilmu
filsafat sosio politik (Muhammad Noor Syam,1986:34-36).

Nilai dan impplikasi aksiolog di dalam pendidikan ialah pendidikan menguji dan
mengintegrasikan semua nilai tersebut di dalam kehidupan manusia dan membinanya di dalam
kepribadian anak. Karena untuk mengatakan sesuatu bernilai baik itu bukanlah hal yang mudah.

2.3 Pandang Filsafat Tentang Hakikat Manusia

Ilmu yang mempelajari tentang hakikat manusia disebut antropologi filsafat. Dalam hal ini,
ada empat aliran yang akan di bahas. Pertama, aliran serba zat. Aliran ini mengatakan yang sungguh-
sungguh ada itu hanyalah zat atau materi. Alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur
dari alam. Maka dari itu, manusia adalah zat atau materi (Muhammad Noor Syam,1991).

Kedua, aliran serba roh. Aliran ini berpendapat bahwa hakikat sesuatu yang ada di dunia ini
adalah roh. Hakikat manusia juga adalah roh. Sementara zat adalah manifestasi dari roh. Dasar dari
aliran ini ialah bahwa roh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya dari pada materi. Aliran ini
menganggap roh itu ialah hakikat, sedangkan badan ialah penjelmaan atau bayangan.

Ketiga, aliran dualisme. Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri
dari dua substansi, yaitu jasmani dan rohani. Kedua substansi ini masing-masing merupakan unsur
asal, yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi, badan tidak berasal dari roh dan roh tidak
berasal dari badan. Perwujudannya manusia tidak serba dua, jasad dan roh. Antara badan dan roh
terjadi sebab akibat keduanya saling memengaruhi.

Keempat, aliran eksistensialisme. Aliran filsafat modern berpandan bahwa hakikat manusia
merupakan eksistensi dari manusia. Hakikat manusia adalah apa yang menguasai manusia secara
menyeluruh. Di sini, manusia dipandang tidak dari sudut serba zat atau serba roh atau dualisme,
tetapi dari segi eksistesi manusia di dunia ini.

Filsafat berpendangan bahwa hakikat manusia itu berkaitan anatara badan dan roh. Islam
secara tegas mengatakan bahwa badan dan roh adalah substansi alam, sedangkan alam adalah
makhluk dan keduanya diciptakan oleh Allah. Hakikat manusia adalah roh sedangkan jasadnya
hanyalah alat yang dipergunakan oleh roh semata. Kedudukan manusia yang paling menarik ialah
bahwa manusia itu menyelidiki kedudukannya sendiri dalam lingkungan yang diselidikinya pula
(Drijarkara, 1986:50).

Manusia memiliki banyak sifat yang serupa dengan makhluk lain. Meski demikian, ada
seperangkat perbedaan antara manusia dengan makhluk lain, yang menganugerahi keunggulan pada
manusia (Muthahhari, 1992:6). Pandang seperti itulah yang pada akhirnya akan memperlihatkan
keberadaan manusia secara utuh bahwa mereka adalah pencari kebenaran.

1. Pandangan Ilmu Pengetahuan Tentang Manusia

Hampir semua disiplin ilmu pengetahuan berusaha menyelidiki dan mengerti tentang
makhluk yang bernama manusia. Begitu juga pendidikan, secara khusus tujuannya adalah untuk
memahami dan mendalami hakikat manusia. Bagi Aristoteles (384-322 SM), manusia adalah hewan
berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya dan berbicara berdasarkan akal pikirannya (Zaini
dan Ananto, 1986:4).

2. Kepribadian Manusia Dan Pendidikan

Manusia merupakan salah satu makhluk hidup yang sudah ribuan abad lamanya penghuni
bumi. Sebelum terjadi proses pendidikan di luar dirinya, pada awalnya manusia cenderung berusaha
melakukan pendidikann pada dirinya sendiri, di mana manusia berusaha mengerti adan menacari
hakikat kepribadian tentang siapa diri mereka sebenarnya. Dalam ilmu mantiq, manusia disebut
sebagai hayawan al-nathiq (hewan yang berpikir ). Berpikir disini maksudnya adalah berkata-kata
dan mengeluarkan pendapat sera pikiran (Anshari, 1982:4).

3. Masalah Rohani Dan Jasmani.

Terlalu banyak sebuatan yang diberikan untuk makhluk-makhluk berakal ciptaan Tuhan,
seperti homo sapiens, homo rasionali, animal social, al-insan, dan lain sebagainya. Bentuk sebutan
tersebut mencerminkan keragaman sifat dan sikap manusia. Hal itu dapat terjadi karena di dalam
diri manusia itu sendiri terdapat enam rasa yang menjadi satu, yaitu intelek, agama, susila, sosial,
seni, dan harga diri/sifat keakuan (Muhaimin. 1989:63).

2.4 Sistem Nilai Dalam Kehidupan Manusia

Sistem merupakan suatu himpunan gagasan atau prinsi-prinsip yang saling bertautan, yang
bergabung menjadi suatu keseluruhan. Terkait dengan itu, nilai yang merupakan suatu norma
tertentu mengatur ketertiban kehidupan sosial. Karena manusia, sebagai makhluk budaya dan
makhluk sosial, selalu membutuhkan bantuan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Maka,
manusia dalam proses interaksinya harus berpedoman pada nilai-nilai kehidupan sosial yang terbina
dengan baik dan selaras.

Nilai akan selalu muncul apabila manusia mengadakan hubungan sosial atau bermasyarakat
dengan manusia lain. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh aliran progresivisme bahwa
“masyarakat menjadi wadah nilai-nilai”. Mausia di dalam hubungannya dengan sesama dengan alam
semesta ini tidak mungkin melakukan sikap yang netral. Karena pada dasarnya manusia itu sudah
mempunyai watak manusiawi seperti cinta, bensi, simpati, hormat, antipati, dan lain sebagainya.
Kecenderungan untuk cinta, benci, simpati dan lainnya itu merupakan suatu sikap. Suatu sikap yang
ada adalah konsekuensi dari suatu penilaian, apakah penilaian itu didasarkan atas asas-asas objektif
rasional atau subjektif emosional belaka (Imam Barnadib, 1987:31-32).

1. Pengertian Penilaian

Secara umum, cakupan pengertian nilai itu tak terbatas. Maksudnya, segala sesuatu yang ada dalam
alam raya ini bernilai, yang dalam filsafat pendidikan dikenal dengan istilah aksiologi. Dalam
Ensiklopedia Britanica disebutkan bahwa nikai itu merupakan suatu penerapan atau suatu kualitas
suatu objek yang menyangkut suatu jenis apresiasi. Nilai itu merupakan hasil dari kreativitas manusia
dalam rangka melakukan kegiatan sosial, baik itu berupa cinta, simapti, dan lain-lain.

2. Bentuk Dan Tingkat-Tingkat Nilai

Nilai merupakan sesuatu yang ada hubungannya dengan subjek manusia. Sesuatu yang dianggap
bernilai jika pribadi itu merasa sesuatu itu bernilai. Dengan demikian, lepas dari perbedaan niali baik
objektif maupun subjektif, tujuan adanyanilai ialah menuju kebaikan keluhuruhan manusia. Menurut
aliran realisme, kualitas nilai tidak dapat ditentukan secara konseptual terlebih dahulu, melainkan
bergantung dari apa atau bagaimana sikap subjek itu.

3. Nilai-Nilai Pendidikan Dan Tujuan Pendidikan

Menurut Muhammad Noor Syam, pendidikan secara praktis tak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai,
terutama yang meliputi kualitas keserdasan, nilai ilmiah, nilai moral, dan nilai agama yang
kesemuanya tersimpul dalam tujuan pendidikan, yakni membina kepribadian ideal. Untuk
menetapkan tujuan pendidikan dasar, harus melalui beberapa pendekatan seperti : (1) pendekatan
melalui analisis historis lembaga-lembaga sosial; (2) pendekatan melalui analisis ikmiah tentang
realita kehidupan aktual; (3) pendekatan melalui nilai-nilai filsafat yang normatif (normative
philosophy).

4. Etika jabatan

Fungsi dan tanggung jawab pendidik dalam masyarakat merupakan kewajiban setiap warga
masyarakat. Setiap warga masyarakat sadar akan nilai dan peranan pendidikan bagi generasi muda,
khususnya anak-anak dalam lingkungan keluarga sendiri. Kaum profesional ialah mereka yang telah
menempuh pendidikan relatif cukup lama dan mengalami latihan-latihan khusus. Dalam pendidikan
seorang guru harus mempunyai asas-sasa umum yang universal yang dapat dipandang sebagai
prinsip umum, seperti :

a. Melaksanakan kewajiban dasar good will atau iktikad baik, dengan kesadaran pengabdian.

b. Memperlakukan siapa pun, anak didik sebagai satu pribadi yang sama dengan pribadinya sendiri.

c. Menghormati perasaan tiap orang.

d. Selalu berusaha menyumbangkan ide-ide, konsepsi-konsepsi, dan karya-karya (ilmiah) demi


kemajuan bidang kewajibannya.

e. Akan menerima haknya semata-mata sebagai satu kehormatan.

2.5 Pandangan filsafat tentang pendidikan

Secara sederhana, filsafat pendidikan adalah nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan filsafat yang
menjiwai, mendasari,dan memberikan identitas suatu sistem pendidikan. Filsafat pancasila
merupakan satu kesatuan bulat dan utuh, atau kesatuan organik yang berlandaskan pada pancasila.
Filsafat sering disamakan dengan pandangan dunia. Pandangan dunia adalah suatu konsep yang
menyeluruh tentang alam semesta, manusia masyarakat umum, nilai dan norma yang mengatur
sikap dan perbuatan manusia dalam hubungan dengan dirinya sendiri, sesama manusia, masyarakat,
dan alam sekitarnya serta dengan ciptaannya.

Untuk mengembangkan mutu pendidikan, ada lima jalur yang harus diperhatikan. Pertama,
landasan filsafat untuk menjadi dasar dalam menyusun paradigma bagi pengembangan ilmu
pendidikan. Kedua, kita memerlukan paradigma bagi penyusunan metodologi pengembangan ilmu
pendidikan. Ketiga, kita memerlukan modal-modal penelitian untuk digunakan dalam penelitian
pendidikan. Keempat, memerlukan metodologi pembagian ilmu pendidikan tersebut. Kelima,
melakukan suatu organisasi yang berskala nasional.

Beberapa unsur yang dapat dijadikan tonggak untuk pengembangan pendidikan lebih lanjut,
meliputi :

1. Dasar dan Tujuan

Dasar pendidikan merupakan suatu asas untuk mengembangkan bidang pendidikan


dan pembinaan kepribadian, karena pendidikan memerlukan landasan kerja untuk memberi arah
bagi programnya. Di samping itu, asas tesebut juga bisa berfungsi sebagai sumber peraturan yang
kan digunakan sebagai pegangan hidupdan pegangan langkah pelaksanaan. Empat macam tujuan
pendidikan yang tingkatan dan luasnya berlainan, yaitu pertama, tujuan pendidikan nasional, yaitu
membangun kualitas manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan dapat meningkatkan
kebudayaannya sebagai warga negara yang berjiwa pancasila.

Kedua, tujuan institusional, yaitu perumusan secara umum pola perilaku dan pola
kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu lembaga pendidikan. Ketiga, tujuan kurikuler,
adalah untuk mencapai pola perilaku dan pola kemampuan serta ketrampilan yang harus dimiliki
oleh lulusan suatu lembaga, yang sebenarnya merupakan tujuan institusional dari lembaga
pendidikan. Keempat, tujuan instruksional, yaitu rumusan secara terperinci tentang apa saja yang
harus dikuasai oleh anak didik sesudah ia melewati kegiatan instrusional yang disangkutkan dengan
berhasil (Suryosubroto, 1990:20-21).

2. Pendidik dan Peserta Didik

Pendidik adalah individu yang mampu melaksanakan tindakan mendidik dalam satu situasi
pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan (Yusuf, 1982:53). Yang dimaksud dengan pendidik di
dini adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan kepada anak didik dalam
perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaannya, mampu berdiri
sendiri memenuhi tuganya sebagai makhluk Tuhan, makhluk sosial, dan makhluk individu yang
mandiri (Yusuf, 1982:53).

Agar pendidik berfungsi sebagai medium, baik dalam menjalankan tugas kegiatan
pendidikan, maka ia harus melaksanakan beberapa peranan yang diperlukan sebagai berikut:

a. Ia wajib menemukan pada anak didinya dengan jalan observasi, wawancara, pergaulan, angket, dan
sebagainya.

b. Ia wajib berusaha menolong anak didiknya dalam perkembangnnya.

c. Ia wajib menyajikan jalan yang terbaik dan menunjukkan perkembangan yang tepat.

d. Ia wajib setiap waktu mengadakan evaluasi untuk mengetahui apakah perkembangan anak didik
dalam usaha mencapai pendidikan yang sudah berjalan seperti yang diharapkan.

e. Ia wajib memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada anak didik pada waktu mereka
menghadapi kesulitan dengan cara yang sesuai dengan kemampuan anak didik dan tujuan yang akan
dicapai.

f. Dalam menjalankan tugasnya, pendidik wajib selalu ingat bahwa anak sendirinlah yang berkembang
berdasarkan bakat yang ada padanya.
g. Pendidik senantiasa mengadakan penilaian atas diri sendiri untuk mengetahi apakah hal-hal yang
tertentu dalam diri pribadinya yang harus mendapatkan perbaikan.

Peserta didik adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik ditinjau dari segi fisik
maupun dari segi perkembangn mental. Setiap individu memerlukan bantuan dan perkembangan
pada tingkat yang sesuai dengan tugas perkembangan setiap anak didik. Setiap kegiatan sudah pasti
memerlukan unsur anak didik sebagai sasarandari kegiatan tersebut. Yang dimaksud anak didik disini
adalah anak yang belum dewasa yang memerlukan bimbingan dan pertolongan dari orang lain yang
sudah dewasa dalam melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Tuhan, sebagai warga negara, sebagai
anggota masyarakat, dan sebagai individu.

3. Kurikulum

Tujuan pendidikan yang ingin dicapai merupakan faktor yang menentukan kurikulum dan isi
pendidikan yang diberikan. Dengan kurikulum dan isi pendidikan inilah kegiatan pendidikan dapat
dilaksanakan secara benar yang telah dirumuskan. Antara tujuan dan program harus ada keserasian.
Tujuan yang hendak dicapai itu harus tergambar dalam program yang tertuang dalam kurikulum,
bahkan program itulah yang mencerminkan arah dan tujuan yang ingin dicapai dalam proses
pendidikan.oleh karena itu, kurikulum merupakan faktor yang sangat penting dalam proses
pendidikan dalam suatu lembaga kependidikan.

Kurikulum hendaknya mempertimbangkan masalah-masalah belajar dan mengajar,


kedudukan, dan peranan sekolah di masyarakat, tuntutan masyarakat terhadap sekolah,
kebijaksanaan politik dan kemajuan teknologi serta pengetahuan. Jadi, kurikulum itu bukan sekadar
seperangkat mata pelajaran, melainkan ajang kehendak politik, tuntutan dan aspirasi masyarakat,
upaya personal pendidikan untuk disampaikan kepada generasi muda sebagai bekal hidup.
Kurikulum atau program pendidikan merupakan jalan terdekat untuk sampai pada tujuan-tujuan
pendidikan. Sebaliknya, kantor program pendidikan tanpa kurikulum itu tidak ada proses pendidikan
dan pengajarannnya. Dengan kata lain, tidak ada pendidikan tanpa kurikulum. Karena kurikulum
adalah bagian yang amat penting dalam lapangan pendidikan.

Kurikulum merupakan rumusan, tujuan mata pelajaran, garis besar pokok bahasan penilaian
dan perang kat lainnya. Sedangkan pokok pikiran penting yang biasa dalam kurikulum adalah tujuan
pendidkan, bahan pelajaran, pengalaman dan aspek perencanaan. Hubungan kurikulum dengan
pandangan filsafat terutama tampak pada bentuk-bentuk kurikulum yang dilaksanakan. Satu asas
filosofi itu menjadi latar belakang pendidikan itu berupa nilai demokrasi. Sedangkan tugas pokok dari
pendidikan adalah memberi arahan dari tujuan pendidikan. Dapat disimpulkan bahwa kurikulum itu
tidak hanya menjabarkan serangkaian ilmu pengetahuan yang harus diajarkan oleh pendidik kepada
anak didik, tetapi juga segala kegiatan yang bersifat kependidikan yang dipandang perlu dan
mempunyai pengaruh terhadap anak didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.

4. Sistem Pendidikan

Pendidikan merupakan usaha sengaja dan terencana untuk mebantu perkembangan potensi
dan kemampuan anak agar dapat bermanfaat bagi kepentingan hidupnya sebagai seorang individu
dan sebagai warga negara/masyarakat, dengan memilih materi, strategi kegiatan dan teknik
penilaian yang sesuai. Dengan kata lain, pendidikan dipandang mempunyai peranan yang besar
dalam mencapai keberhasilan dalam perkembangan anak.

Beberpa aliran tentang perkembangan manusia dan hasil pendidikan itu adalah sebagai berikut:

a. Empirisme, bahwa hasil pendidikan dan perkembangan itu bergantung pada pengalaman-
pengalaman yang diperoleh anak didik selam hidupnya. Pengalaman itu diperolehnya dari luar
dirinya berdasarkan perangsang yang tersedia baginya.

b. Nativisme. Ini merupakan teori yang bertolak belakang dengan teori empirisme, yang dianut oleh
fisuf Jerman, Schopenhauer (1788-1860), yang berpendapat bahwa bayi lahir dengan pembawaan
baik dan pembawaan yang buruk. Aliran ini berpendapat bahwa pendidikan tidak dapat
mengahsilkan tjuan yang digarapkan berhubungan dengan perkembangan anak didik. Dengan kata
lain, aliran nativisme merupakan aliran pesimisme dalam pendidikan.

c. Naturalisme,dikemukakan oleh filsuf Prancis J.J Rousseau (1712-1778). Ia berpendapat bahwa


semua anak yang baru lahir mempunyai pembawaan yang baik, tidak seoarang anakpun lahir dengan
pembawaan buruk. Aliran ini bersifat negativisme, di mana pendidik wajib membiarkan
pertumbuhan anak didik secara alamiah.

d. Konvergensi, dikemukakan oleh seorang pakar pendidikan Jerman, William Stern (1871-1939). Ia
berpendapat bahwa anak didik dilahirkan dengan pembawaan baik maupun buru. Teori konvergensi
ini berpandangan bahwa:

1. Pendidikan mungkin diberikan;


2. Yang membatasi pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan itu sendiri;
3. Pendidikan diartikan sebagai penolong atau pertolongan yang diberikaan pada lingkungan anak didik
untuk mengembangkan pembawaan yang baik dan mencegah berkembangnya pembawaan yang
buruk.
Pendidikan itu menentukan cara hidup seseorang, karena terjadinya modifikasi dalam
pandangan hidup seseorang disebabkan oleh terjadinya pengaruh interaksi antara kecerdasan,
perhatian dan pengalaman, dan sebagainya yang dinyatakan dalam perilaku, kebiasaan, paham
sosial atau usaha. Dengan demikian jelaslah bahwa pendidikan itu merupakan suatu proses
penyesuaian diri secara timbal balik (memberi dan menerima pengetahuan) dan dengan
penyesuaian diri ini akan terjadi perubahan-perubahan pada diri manusia lalu potensi-potensi
pembawaanya (kekuatan, bakat, kesanggupan, minat) tumbuh dan berkembang sehingga
terbentuklah berbagai macam abilitas dan kapabilitas.

Berdasarkan beberapa pengertian pendidikan yang telah diuraikan di atas, maka terdapat
beberapa ciri umum dalam pendidikan, yaitu:

a. Pendidikan mengandung tujuan yang ingin dicapai, yaitu individu yang kemampuan-kemampuan
dirinya berkembang sehingga bermanfaat untuk kepentingan hidupnya sebagai seorang individu
maupun seorang warga negara atau masyarakat.

b. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan perlu melakukan usaha yang sengaja dan terencana
untuk memilih isi materi, strategi kegiatan dan teknik penilaian yang sesuai.

c. Kegiatan tersebut memberikan pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat berupa
pendidikan jalur sekolah (formal), dan pendidikan jalur luar sekolah (informal dan nonformal).

Filsafat pendidikan merupakan terapan ilmu filsafat terhadap problema pendidikan atau
filsafat yang diterapkan dalam suatu usaha pemikiran mengenal masalah pendidikan. Jadi, filsafat
pendidikan adalah sebuah ilmu yang hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
dalam lapangan pendidikan. Dan sebagai ilmu yang merupakan jawaban terhadap problema
tersebut dalam lapangan pendidikan, maka filsafat pendidikan dalam kegiatannya itu secara
normatif tertumpu dan berfungsi untuk:

a. Merumuskan dasar dan tujuan pendidikan, konsep hakikat pendidikan dan hakikat manusia, dan isi
moral pendidikan.

b. Merumuskan teori, bentuk, dan sistem pensisikan berupa moral kepemimpinan, politil pendidikan,
pola-pola akulturasi dan peranan pendidikan dalam pembangunan bangsa dan negara.

c. Merumuskan hubungan antara agama, filsafat, filsafat pendidikan, teori pendidikan dan
kebudayaan.
Sedangkan pengertian sistem pendidikan itu adalah sistem yang dijadikan tolok ukur bagi
tingkah laku manusia dalam masyarakat yang mengandung potensi mengendalikan, mengatur, dan
mengarahkan perkembangan masyarakat dalam lapangan pendidikan. Sistem pendidikan itu
diperlukan untuk menjawab semua persoalan yang ada, khususnya di bidang kependidikan. Tugas
pendidikan adalah membimbing manusia dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan
manusia dari tahap ke tahap kehidupan anak didik samapai mencapai titik kemampuan yang
optimal. Sedangkan fungsi pendidikan adlah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas
pendidikan agar dapat berjalan lancar.

Pada hakikatnya, dilihat dari segi idealitas sosio kultural, sistem pendidikan adalah alat
pembudayaan (akulturasi) umat manusia yang paling menentukan dan diperlukan di antara
keperluan hidupnya walau pendidikan itu timbul dan berkembang dari sumber kultural umat itu
sendiri. Sebagai alat, tentunya pendidikan merupakan aplikasi netral, melainkan selalu bergantung
pada siapa dan bertujuan apa pendidikan itu dilaksanakan. Pendidikan harus bergerak dalam bidang
filsafat, budi pekerti dan kesenian. Hakikat pendidikan adalah handayani/ memberi pengaruh.
Karena cara pendidikan itu haruslah bersifat tutwuri (dari belakang, tanpa paksaan) melalui
perhatian, kesempatan, melalui pengertian dan keyakinan, dengan jalan dialog dan diskusi terbuka,
kritis dan objektif (ing madya mangunkusuma), melalui teladan yang nyata dan jujur (ing ngasro
sungtulada).

Bagi Ki Hajar Dewantoro, manusia yang bermental dewasa adalah manusia yang merdeka
lahir dan batin, yaitu manusia yang mampu membina kehidupan pribadi yang selamat dan bahagia
dan turut membina kehidupan masyarakat yang tertib dan damai.

Adapun korelasi antara filsafat pendidikan dan sistem pendidikan itu adalah:

a. Bahwa sisitem pendidikan atau science of education bertugas merumuskan alat-alat, prasarana,
pelaksanaan teknik-teknik dan/atau pola-pola proses pendidikan dan pengajaran dengan makna
akan dicapai dan dibina tujuan-tujuan pendidikan.

b. Isi moral pendidikan atau tujuan intermediate adalah perumusan norma-norma atau nilai spiritual
etis yang akan dijadikan sistem nilai pendidikan dan/ atau merupakan konsepsi dasar nilai moral
pendidikan, yang berlaku di segala jenis dan tingkat pendidikan.

c. Filsafat pendidikan sebagai suatu lapangan studi bertugas merumuskan secara normatif dasar-dasar
dan tujuan pendidikan, hakikat dan sifat hakikat manusia, hakikat dan segi-segi pendidikan, isi moral
pendidikan, sistem pendidikan yang meliputi politik kependidikan, kepemimpinan pendidikan dan
metodologi pengajarannya, pola-pola akulturasi dan peranan pendidikan dalam pembangunan
masyarakat.

Filsafat pendidikan yang lahir dan menjadi bagian dari rumpun konsep ilmu
pendidikan,sebagai ilmu pengetahuan normatif, merupakan disiplin ilmu yang merumuskan kaidah-
kaidah nilai yang akan menjadi ukuran tingkah laku manusia yang hidup di tengah-tengah
masyarakat. Sementara ilmu pendidikan merupakan ilmu pengethauan praktis yang mempunyai
maksud bahwa tugas pendidikan, sebagai aspek kebudayaan yang mempunyai tugas, menyalurkan
nilai-nilai hidup dan melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai norma tingkah laku kepada subjek
didik yang bersumber dari filsafat, kebudayaan, dan agama yang berlaku dalam masyarakat atau
negara.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa filsafat pendidikan merupakan tata pola pikir
terhadap permasalahan di bidang pendidikan dan pengajaran yang senantiasa mempunyai
hubungan dengan cabang-cabang ilmu pendidikan yang lain yang diperlukan oleh pendidikatau guru
sebagai pengajar dalam bidang studi tertentu. Dapat dipahami pula bahwa betapa eratnya
hubungan antara filsafat pendidikan dan sistem pendidikan itu.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Filsafat adalah hasil usaha manusia dengan kekuatan akal budinya untuk memahami secara
radikal, integral, dan universal tentang hakikat sarwa yang ada (Tuhan, alam, dan manusia), serta
sikap manusia sebagai konsekuensi dari pemahamn tersebut. (Anshari, 1984:12).

Sedangkan Ilmu yang mempelajari tentang hakikat manusia disebut antropologi filsafat.
Dalam hal ini, ada empat aliran yang akan di bahas. Pertama, aliran serba zat. Aliran ini mengatakan
yang sungguh-sungguh ada itu hanyalah zat atau materi. Kedua, aliran serba roh. Aliran ini
berpendapat bahwa hakikat sesuatu yang ada di dunia ini adalah roh. Hakikat manusia juga adalah
roh. Sementara zat adalah manifestasi dari roh. Dasar dari aliran ini ialah bahwa roh itu lebih
berharga, lebih tinggi nilainya dari pada materi. Ketiga, aliran dualisme. Aliran ini menganggap
bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua substansi, yaitu jasmani dan rohani. Kedua
substansi ini masing-masing merupakan unsur asal, yang adanya tidak tergantung satu sama lain.
Keempat, aliran eksistensialisme. Aliran filsafat modern berpandan bahwa hakikat manusia
merupakan eksistensi dari manusia. Hakikat manusia adalah apa yang menguasai manusia secara
menyeluruh.

Sedangkan pandangan filsafat tentang pendidikan Secara sederhana, filsafat pendidikan adalah
nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan filsafat yang menjiwai, mendasari,dan memberikan identitas
suatu sistem pendidikan. Filsafat pancasila merupakan satu kesatuan bulat dan utuh, atau kesatuan
organik yang berlandaskan pada pancasila. Filsafat sering disamakan dengan pandangan dunia.
filsafat pendidikan merupakan tata pola pikir terhadap permasalahan di bidang pendidikan dan
pengajaran yang senantiasa mempunyai hubungan dengan cabang-cabang ilmu pendidikan yang lain
yang diperlukan oleh pendidik atau guru sebagai pengajar dalam bidang studi tertentu.
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Jalaudin , Prof. Dr. H. Abdullah Idi, M. Ed , 2013 , “Filsafat Pendidikan Manusia,Filsafat,
Dan Pendidikan”, Cet.Ke-3, Rajagrafindo Persada, Depok

BAB II
PEMBAHASAN

A. Filsafat Pendidikan dan Kepribadian


Peningkatan kualitas sumber daya manusia tentunya berbeda dari zaman ke zaman.
Sifat, bentuk dan arahannya tergantung dari kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat
masing-masing.
Di masyarakat tradisional, peningkatan kualitas sumber daya manusia masih terbatas
pada aspek-aspek tertentu, yang erat kaitannya dengan tradisi setempat. Peningkatan itu tak
lepas hubungannya dengan filsafat hidup dan kepribadian masing-masing. Dalam pengertian
sederhana kepribadian jati diri dan pandangan hidup seseorang, masyarakat atau bangsa.
Kondisi ini dibentuk oleh tradisi kehidupan masyarakat ataupun oleh usaha yang terprogram.
Namun demikian, sederhana apapun, pembentukan itu tak lepas dari peran pendidikan.
Pendidikan, menurut Hasan Langgulung, pada prinsipnya dapat dilihat dari dua sudut
pandang: individu dan masyarakat.
Dilihat dari sudut pandang individu, pendidikan merupakan usaha untuk membimbing
dan menghubungkan potensi individu. Sementara sementara dari sudut pandang
kemasyarakatan, pendidikan merupakan usaha pewarisan nilai-nilai budaya dari generasi tua
kepada generasi muda, agar nilai-nilai budaya tersebut tetap terpelihara. Dalam konteks ini,
dapat dilihat hubungan antara pendidikan dengan tradisi budaya dan kepribadian suatu
masyarakat, betapapun sederhananya masyarakat tersebut. Hal ini dapat dilihat ketika tradisi
sebagai muatan budaya senantiasa terlestarikan dalam masyarakat, dari generasi ke generasi
berikutnya. Pelestraian nilai-nilai budaya tersebut, bagaimanapun, hanya akan mungkin
terlaksana apabila ada pendukungnya secara sinambung dari generasi ke generasi. Hubungan
ini tentunya hanya akan mungkin terjadi bila para pendukung nilai tersebut dapat
menularkannya kepada generasi penerusnya.
Transfer nilai-nilai budaya yang paling efektif adalah melalui proses pendidikan.
Dalam masyarakat modern, proses pendidikan tersebut didasarkan pada suatu sistem yang
sengaja dirancang sebagai suatu program pendidikan secara formal, oleh sebab itu, dalam
penyelenggaraannya dibentuk kelembagaan pendidikan formal.
Menurut Hasan Langgulung (1986), pendidikan mencakup dua kepentingan utama,
yaitu pengembangan potensi individu dan pewarisan nilai-nilai budaya. Kedua hal ini
berkaitan erat dengan pandangan hidup suatu masyarakat atau bangsa itu masing-masing.
Dengan kata lain, sistem pendidikan sebagaimanapun sederhananya mengandung
karakteristik tentang jati diri atau pandangan hidup masyarakat atau bangsa yang
membuatnya.
Pandangan hidup yang merupakan jati diri ini berisi nilai-nilai yang dianggap sebagai
suatu secara ideal adalah benar. Dan nilai kebenaran itu sendiri berbeda antara masyarakat
atau bangsa yang satu dengan lainnya. Nilai-nilai kebenaran yang idealis ini disebut sebagai
filsafat hidup yang dijadikan dasar dalam penyusunan sistem pendidikan. Selain itu, nilai-
nilai tersebut juga sekaligus dijadikan tujuan yang akan dicapai dalam pelaksanaan sistem
pendidikan dimaksud.
Dengan demikian, antara rantai hubungan itu terlihat pada perincian sebagai berikut:
1. Setiap masyarakat atau bangsa memiliki sistem nilai ideal yang dipandang sebagai suatu
yang benar.
2. Nilai-nilai tersebut perlu dipertahankan sebagai suatu pandangan hidup atau filsafat hidup
mereka.
3. Agar nilai-nilai tersebut dapat dipelihara secara lestari, perlu diwariskan kepada generasi
muda.
4. Usaha pelestarian melalui pewarisan ini efektifnya melalui pendidikan.
5. Untuk menyeleraskan pendidikan yang diselenggarakan dengan muatan yang terkandung
dalam nilai-nilai yang menjadi pandangan hidup tersebut, maka secara sistematis program
pendidikan harus menempatkan nilai-nilai tadi sebagai landasan dasar, muatan dan tujuan
yang akan dicapai.
Pandangan ini dapat diangkat dari sejumlah sistem pendidikan diberbagai negara yang
menggambarkan hubungan filsafat bangsa dengan tujuan pendidikan yang akan dicapainya.
Sejak zaman Yunani kuno, hubungan seperti itu telah diterapkan. Setidak-tidaknya ada dua
negara yang menampilkan sisi pandang yang berbeda, yaitu Sparta dan Athena.
Sparta, sebagai negara militer, memiliki sisi pandang yang didasarkan pada nilai-nilai
fisik. Menurut mereka, manusia yang paling ideal adalah manusia yang berfisik kuat,
bertubuh kekar dan pemberani. Oleh karena itu, menurut mereka, pendidikan yang benar
adalah apabila dapat membentuk manusia yang sehat dan kuat secara fisik. Dasar pemikiran
ini mereka jadikan sebagai landasan dalam menyusun sistem pendidikan dalam
penerapannya, negara diberi wewenang untuk menjadi pemilik peserta didik secara mutlak.
Setiap bay yang lahir adalah milik negara dan sepenuhnya di bawah tanggung jawab
penguasaan negara. Karena itu, setiap kelahiran diawasi melalui seleksi yang ketat. Bayi laki-
laki yang sehat diasuh oleh negara, sedangkan bayi laki-laki yang sakit atau cacat dibunuh.
Selanjutnya dikemukakan, bahwa pendidikan yang diselenggarakan oleh negara
dengan menggunakan sistem pendidikan militer. Sejak bayi mereka sudah diasuh di asrama,
diberi makanan yang begizi dan setelah menginjak usia kanak-kanak, pendidikan mulai
diterapkan secara intensif. Materi pendidikan dirancang dengan titik berat pada pendidikan
jasmani dan kemiliteran. Disiplin utama pendidikan adalah membentuk manusia yang sehat
fisik dan berotot kekar. Inilah gambaran pendidikan orang-orang Sparta.
Sebaliknya, di negara tetangganya, Athena, pandangan tentang pendidikan agak
berbeda. Menurut mereka, manusia memiliki potensi fisik, emosi dan akal. Tujuan
pendidikan adalah mengembangkan ketiga potensi tersebut secara berimbang. Sebab,
menurut pandangan mereka, pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang dapat membentuk
manusia yang harmonis.
Atas dasar pemikiran filsafat dan pandangan hidup ini, maka pendidikan yang
diselenggarakan bangsa Athena jadi berbeda dengan sistem pendidikan Sparta. Kurikulum
pendidikannya yang terangkum dalam trivium memuat mata pelajaran ilmu hitung,
gymnasium dan musik. Ketiga mata pelajaran pokok ini diarahkan pada pengembangan
potensi akal, perasaan dan jasmani. Kemudian diberikan pula mata pelajaran logika dan
retorika. Kurikulum ini selanjutnya terus dikembangkan menjadi qaudrivium yang terdiri dari
musik, matematika, ilmu ukur dan ilmu bintang, seperti yang kemudian diterapkan disekolah-
sekolah di zaman romawi.
Di zaman modern, proses serupa terus berlanjut. Negara yang menempatkan
komunisme sebagai pandangan hidup bangsanya, seperti Uni Soviet (sebelum Gorbachev),
maupun Republik Rakyat China (di zaman Mao Tse Tung), tampaknya cenderung
meneruskan pola pendidikan Sparta, walaupun tidak sama persis. Filsafat materialisme
menjadi dasar sistem pendidikan mereka. Tujuan pendidikan diarahkan pada manusia pekerja
yang mengabdi pada kepentingan negara. Setiap warga negara seakan menjadi bagian dari
mesin yang diarahkan dapat memproduksi materi bagi kepentingan negara. Oleh karena itu,
kelompok warga negara yang dinilai potensial adalah kaum buruh dan kaum tani, karena
kedua bidang ini secara nyata mampu memproduksi materi, berupa hasil teknologi dan bahan
pangan. Maka untuk mencapai hasil yang maksimal, negara memiliki kewenangan penuh
untuk menguasai warga yang tergabung dalam satuan-satuan komune. Warga negara
mengabdi kepada negara dalam bentuk pengabdian bertingkat secara hierarki. Anggota
mengabdi kepada ketua komune, dan ketua komune mengabdi kepada ketua presidium
tertinggi yang memiliki kekuasaan tak terbatas. Rakyat hanyalah pekerja yang harus
mengabdi kepada negara.
Bila pendidikan dikembalikan pada fungsinya sebagai usaha untuk mengembangkan
potensi individu dan sekaligus sebagai usaha mewariskan nilai-nilai budaya, maka
pendidikan juga menyangkut pembentukan kepribadian. Pendidikan berkaitan dengan usaha
untuk mengubah sikap dan tingkah laku. Sedangkan kepribadian berhubungan dengan pola
tingkah laku.
Setidak-tidaknya, kepribadian dapat dilihat dari empat aspek muatannya. Pertama,
aspek personalia, yaitu kepribadian dilihat dari pola tingkah laku lahir dan batin yang dimiliki
seseorang. Kedua, aspek individualitas, yakni karakteristik atau sifat-sifat khas yang dimiliki
seseorang secara individu berbeda dengan individu lainnya. Ketiga, aspek mentalitas, sebagai
perbedaan yang berkaitan dengan cara berpikir. Mentalitas sebagai gambaran pola pikir
seseorang. Keempat, aspek identitas, yaitu kecenderungan seseorang untuk mempertahankan
sikap dirinya dari pengaruh luar. Identitas merupakan karakteristik yang menggambarkan jati
diri seseorang.
Berdasarkan keempat aspek tersebut, terlihat bagaimana hubungan antara pendidikan
dan pembentukan kepribadian, dan hubungannya dengan filsafat pendidikan yang bersumber
dari nilai-nilai budaya sebagai pandangan hidup suatu bangsa.
B. Pengertian Pengembangan Sumber Daya Manusia.
Menurut Hillary Clinton di dalam bukunya IT TAKERS A VELLAGE (1996) tak
kala ia menyatakan bahwa seorang anak adalah produk orang sekampung. Pada dasarnya
lingkungan adalah sumber daya alam antara manusia dan lingkungannya terjadi interaksi.
Sedangkan menurut Stahri eclmends dan Jhon Lecky dalam Eviron Mental Administration
1993), dalam hubungan itu ada dua yang penting adalah terjadi silus pendukung kehidupan
atau “life support” dan terjadi dampak kegiatan manusia terhadap lingkungan atau “man’s
inpact on invironment”. Kedua hal ini menjadi beban lingkungan, sehingga pada suatu saat
daya dukung lingkungan terhadap beban itu mendekati ambang batas menjadi nol. Semua itu
disebabkan karena kemerosotan daya dukung lingkungan itu. Untuk Indonesia digambarkan
secara amat dramatis oleh MT ZENDI dalam bukunya kelesterian lingkungan hidup (1979).
Sumber daya manusia (Human Receuces) adalah the people who ready, welliang, and
able to contribute to organization goods, demikian Wellian B Werther dan Keith Davis dalam
human resurces and personal management (1996-596) sudah barang tentu, yang dimaksud
dengan organisasi dalam “organizational goods” bukan saja industri atau perusahaan, tetapi
juga organisasi diberbagai bidang politik pemerintahan, hokum, social budaya lingkungan
dan sebagainya.
Dalam pengembangasn sumber daya manusia ada dua sisi pokok, yaitu sisi Sumber
daya dan sisi manusia, dimensi pokok sisi sumber daya adalah konstribusinya terhadap
organisasi dan lingkungannya, sedangkan sisi pokok manusia adalah perlakuan lingkungan
dan organisasi terhadapnya, yang pada gilirannya menentukan kualitas dan kapabilitas
hidupnya. Hal ini digambarkan oleh Robert B lake dan Jane Mouton dalam teori manajemen
((managerial grid theori, reft, Keith Davis dan Jhon W. Newstron human Behavior at work,
organizational Behavion 1985, 29).
Dari uraian di atas dapat digambarkan bahwa kualitas manusia dapat merosot atau
menurun yang disebabkan oleh sesuatu kekuatan baik internal maupun eksternal. Dalam
perkembangan dan penemuan ilmu Pengetahuan mempunyai nilai pembentukan, nilai itu
sangat dopengaruhi oleh penggunaan temuan (cration invention) ilmu pengetahuan itu disebut
Tehnologi The brauch of knowledge tahat deals weth industrial arts, applied science,
Ingineering, etg, the application of knowledge for pragtical ends) sejarah membuktikan
bahwa teknologi tidak pernah susut atau surut, selain semakin pesat perkembangannya juga
semakin tinggi dari teknologi alat sampai pada bioteknologi.
Perkembangan atau pertumbuhan ekonomi saat ini masih tergantung pada sumber
daya alam seperti mineral, hutan, perkebunan besar, lahan pertanian dan industri pengelola
sumber daya alam. Kemampuan sumber daya alam dengan peningkatan kebutuhan
manusia yang menjadi beban pertumbuahan ekonomi, hal ini disebabkab kemampuan
sumber alam tidak sebanding dengan peningkatan jumlah penduduk akibatnya banyak
Negara-negara yang merosot akibat ulahnya sendiri.
Dewasa ini sejumlah Negara-negara dikawasan dunia ini khidupan Negara yang
bersangkutan nyaris tidak memiliki sumber daya alam. Hal diakibatkan kualitas sumber daya
alamnya rendah.
Sumber daya manusia berkualitas tinggi adalah sumber daya manusia yang mampu
menciptakan bukan saja nilai komperatif tetapi juga nilai kompetitif-generatif-inovatif yang
menggunakan energi yang tinggi seperti Integence, Creativity dan Imagination, tidak lagi
semata-mata menggunakan energi kasar seperti bahan mentah, lahan, air, tenaga otot dan
sebagainya.
Nilai sumber daya manusia sepanjang sejarah mengalami beberapa pase
perkembangan sebagai berikut :
1. Sumber daya manusia sebagai budak,pembudayaan dapat dipahami sebagai
perbudakan structural dan perbudakan non structural, jika dimensi hak dan kewajiban
digunakan sebagai parameter sumber daya manusia, maka dalam kondisi sebagai budak
(perbudakan) kewajiban sumber daya manusia penuh sementara haknya nol.
2. Sumber daya manusia sebagai beban, Status sumber daya manusia sebagai beban dialami
terutama oleh Negara berkembang atau yang baru saja merdeka dari penjajahan atau bebas
dari perbudakan.
3. Sumber daya manusia sebagai potensi, kondisi sumber daya manusia sebagai potensi dialami
terutama oleh Negara yang melancarkan program diklat besar-besaran, Sumber daya
manusia potesial memiliki keterampilan dan keahlian tertentu menumbuhkan lapangan kerja
yang sesuai dengan hidupnya.
C. Peranan Filsafat Ilmu dengan pengembangan sumber daya manusia.
Manusia adalah makhluk yang memiliki beberapa potensi bawaan. Dari sudut
pandang yang dimiliki itu, manusia dinamai dengan berbagai sebutan. Dilihat dari potensi
intelektualitasnya, manusia disebut homointelectus. Manusia juga disebut sebagai homo
faber, karena manusia memeilki kemampuan untuk membuat barang dan peralatan.
Kemudian manusia pun disebut homo sacins atau homo saciale abima, karena manusia
adalah makhluk bermasyarakat. Dilain pihak, manusia juga memiliki kemampuan
merasai,mengerti, membeda-bedakan, kearifan, kebijaksanaan, dan pengetahuan. Atas
dasarnya kemampuan tersebut, manusia disebut homosapiens.
Filsafat pendidikan, seperti dikemukakan oleh Imam Bernadib, disusun atas dua
pendekatan. Pendekatan pertama bahwa filsafat pendidikan diartikan sebagai aliran yang
didasarkan pada pandangan filosofis tokoh-tokoh tertentu. Sedangkan pandangan kedua
adalah usaha untuk menemukan jawaban dari pendidikan beserta problem-problem yang ada
yang memerlukan tinjauan filosofis.
Dengan adanya filsafat, manusia di mungkinkan dapat melihat kebenaran tentang
sesuatu di antara kebenaran yang lain. Hal ini membuat manusia mencoba mengambil
pilihan, di antara alternatif yang ada saat itu, sehingga manusia mampu menghadapi masalah-
masalah yang ada dan pelajaran untuk menjadi bijaksana.
Disamping itu filsafat memberikan petunjuk dengan metode pemikiran reflektif agar
kita dapat menyerasikan antara logika, rasa, rasio, pengalaman dan agama pemenuhan
kebutuhan hidup yang sejahtera.
Manusia dalam kehidupannya mempunyai kebutuhan yang banyak. Adanya
kehidupan inilah yang mendorong manusia untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan. Menurut Ashley Montagu, kebudayaan mencerminkan tanggapan
manusia terhadap kebutuhan dasar hidupnya.
Sebaliknya, manusia pun memiliki potensi mental untuk dikembangkan. Berbagai
potensi mental yang terangkum dalam aspek kognisi, emosi dan konasi dapat dikembangkan
manusia untuk menjadi makhluk yang berperadaban (homo sapien). Peningkatan dan
pengembangan diri ini menyebabkan manusia memiliki tingkat peradaban yang berbeda dan
mengarah dari zaman ke zaman. Kemajuan peradaban manusia ini terlihat dari adanya
periodisasi sejarah umat manusia seperti zaman prasejarah dan zaman sejarah: zaman kuno,
zaman pertengahan, zaman modern hingga zaman pascamodern (post modern).
Manusia memiliki berbagai potensi atau sumber daya untuk meningkatkan kualitas
kehidupannya. Sumber daya ini pada dasarnya baru berupa kemungkinan, layaknya lembaga
atau benih pada tumbuh-tumbuhan. Hasilnya baru akan terlihat apabila potensi tersebut dapat
disalurkan melalui pengarahan, bimbingan maupun latihan yang terarah, teratur dan
sinambung.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia tentunya berbeda dari zaman ke zaman.
Sifat, bentuk dan arahannya tergantung dari kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat
masing-masing. Dalam komunitas nelayan misalnya, peningkatan kualitas sumber daya
diarahkan pada upaya untuk membentuk seseorang menjadi nelayan yang terampil.
Peningkatan kualitas sumber daya terlihat dari mereka yang semula awam terhadap masalah
yang menyangkut kehidupan nelayan menjadi nelayan profesional, mencakup ketepatan
menentukan manusia ikan, menggunakan berbagai perangkat alat penangkap ikan, pembuatan
perahu serta peralatannya. Peningkatan kualitas ini setidaknya telah mampu mengangkat
status orang yang semula hanya pemegang atau nelayan gurem itu menjadi nelayan
profesional. Demikian pula halnya pada lingkungan kehidupan masyarakat tani, pedagang
dan lainnya.
Di masyarakat tradisional, peningkatan kualitas sumber daya manusia masih terbatas
pada aspek-aspek tertentu, yang erat kaitannya dengan tradisi setempat. Namun yang jelas,
peningkatan itu tak lepas hubungannya dengan filsafat hidup dan kepribadian masing-masing.
Dalam pengertian sederhana, filsafat diartikan sebagai kepribadian jati diri dan pandangan
hidup seseorang, masyarakat atau bangsa. Kondisiini dibentuk oleh tradisi kehidupan
masyarakat ataupun oleh usaha yang terprogram. Namun demikian, sesederhana apa pun,
pembentukan itu tak lepas dari peran pendidikan. Pendidikan, pada prinsipnya dapat dilihat
dari dua sudut pandang: individu dan masyarakat.
Dilihat dari sudut pandang individu, pendidikan merupakan usaha untuk membimbing
dan menghubungkan potensi individu. Sementara dari sudut pandang kemasyarakatan,
pendidikan merupakan usaha pewarisan nilai-nilai budaya dari generasi tua kepada generasi
muda, agar nilai-nilai budaya tersebut tetap terpelihara. Dalam konteks ini, dapat dilihat
hubungan antara pendidikan dengan tradisi budaya dan kepribadian suatu masyarakat,
betapapun sederhananya masyarakat tersebut. Hal ini dapat dilihat ketika tradisi sebagai
muatan budaya senantiasa terlestarikan dalam masyarakat, dari generasi ke generasi
berikutnya. Pelestarian nilai-nilai budaya tersebut, bagaimanapun, hanya akan mungkin
terlaksana apabila ada pendukungnya secara sinambung dari generasi ke generasi. Hubungan
ini tentunya hanya akan mungkin terjadi bila para pendukung nilai tersebut dapat
menularkannya kepada generasi penerusnya.
Transfer nilai-nilai budaya yang paling efektif adalah melalui proses pendidikan.
Dalam masyarakat model pendididkan tersebut didasarkan pada suatu sistem yang sengaja
dirancang dengan program pendidikan secara formal. Oleh sebab itu, dalam
penyelenggaraannya di bentuk kelembagaan pendidikan formal.
Pendidikan mencakup dua kepentingan utama, yaitu pengembangan potensi individu
dan pewarisan nilai-nilai budaya. Kedua hal ini berkaitan erat dengan pandangan hidup suatu
masyarakat atau bangsa itu masing-masing. Dengan kata lain, sistem pendidikan
bagaimanapun sederhananya mengandung karakteristik tentang jati diri pandangan hidup
masyarakat atau bangsa yang membuatnya.
Pandangan hidup yang merupakan jati diri ini berisi nilai-nilai yang dianggap sebagai
sesuatu yang secara ideal adalah benar. Dan nilai kebenaran itu sendiri berbeda antara
masyarakat atau bangsa yang satu dengan lainnya. Nilai-nilai kebenaran yang idealis ini
disebut sebagai filsafat hidup yang dijadikan dasar dalam penyusunan sistem pendidikan.
Selain itu, nilai-nilai tersebut juga sekaligus dijadikan tujuan yang akan dicapai dalam
pelaksanaan sistem pendidikan dimaksud.
Menurutnya, walaupun manusia memiliki bakat yang baik, kemudian dididik secara
baik pula, maka hasilnya akan menjadi lebih baik bila ada motivasi intrinsik dari peserta
didik itu sendiri. Kohnstamm, melihat bahwa faktor lingkungan belum dapat memberi hasil
yang optimal bila tidak disertai dorongan dari dalam diri peserta didik. Pendapat ini dapat
dilihat sebagai temuan yang memperkaya pemikiran tentang manusia dalam kaitannya
dengan pendidikan.
Lyotard dan Senguin pernah menemukan bocah yang sejak kecil dipelihara oleh
sekelompok serigala. Ternyata bocah tersebut dalam kesehariannya hidup mengikuti perilaku
serigala yang menjadi lingkungan hidupnya. Kasus yang dijumpai oleh kedua tokoh ini
terjadi di hutan Prancis selatan sekitar abad ke-18 selanjutnya, di India kasus serupa pun
pernah ditemui. Kemudian bocah asuhan serigala itu diselamatkan dan dididik dilingkungan
hidup manusia.
Seperti yang dikatakan Imam Bernadib, bahwa filsafat pendidikan sebagai sistem
dapat dilihat dari dua pendekatan. Pendekatan pertama sebagai pendekatan filosofis,
sebagaimana telah diuraikan terdahulu. Dalam pandangan ini terungkap bahwa konsep
pendidikan dalam berbagai aliran itu mengakui bahwa manusia memiliki potensi untuk
dididik.
Hasan Langgulung, pendidikan dalam hubungannya dengan individu dan masyarakat,
dapat dilihat dari bagaimana garis hubungannya dengan filsafat pendidikan dan sumber daya
manusia. Dari sudut pandang individu, pendidikan merupakan usaha untuk mengembangkan
potensi individu, sebaliknya dari sudut pandang kemasyarakatan, pendidikan adalah sebagai
pewaris nilai-nilai budaya.
Tingkat perkembangan kebudayaan suatu masyarakat atau bangsa sangat ditentukan
oleh tingkat kualitas sumber daya manusia yang menjadi pendukung nilai-nilai budaya
tersebut. Pada masyarakat yang memiliki kebudayaan campuran.
Kemajuan peradaban manusia sebagian besar ditentukan oleh IPTEK. Makin tinggi
tingkat penguasaan IPTEK, makin maju pula peradaban suatu bangsa. Juga tingkat kualitas
sumber daya manusianya. Salah satu sarana yang paling efektif dalam pengenbangan dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah pendidikan.
Sejalan dengan tersebut, disusunlah suatu sistem pendidikan yang layak dan serasi
dengan tujuan pengembangan sumber daya manusia sebagai pendukung nilai-nilai budaya
bagi peningkatan kemajuan peradaban yang dimiliki. Kemudian agar sistem pendidikan
tersebut tetap terjaga, diperlukan adanya suatu landasan filsafat pendidikan yang dinilai
mengakar pada kepribadian bangsa itu masing-masing. Dalam kaitan ini, terlihat bagaimana
kaitan hubungan antara filsafat pendidikan dengan peningkatan kualitas sumber daya
manusia.
Sesuatu akan dinilai benar bila ia dapat direalisasikan dan hasilnya bermanfaat bagi
kehidupan. Pemikiran ini dijadikan landasan dalam penyusunan sistem pendidikan dan
kemudian diterapkan dalam bentuk sekolah kerja dan dinamakan sekolah masyarakat.
Sekolah ini bertujian untuk mendidik para siswa menjadi tenaga praktis yang siap pakai
dibidang keahlian disesuaikan dengan bidang profesi yang ada di masyarakat. Dengan
demikian, diharapkan tamatan dari sekolah-sekolah ini akan segera mendapat pekerjaan.
Tujuan pendidikan Indonesia mencangkup pengembangan potensi individu yang
diamanatkan oleh filsafat pendidikan pancasila. Secara individu diharapkan peserta didik
dapat memiliki kepribadian yang mencangkup keenambelas karakteristik seperti tergambar
dalam tujuan pendidikan nasional. Karakteristik ini sekaligus merupakan aspek yang menjadi
muatan dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia yang berlandaskan filsafat
pendidikan yang digali dari filsafat dan pandangan hidup bangsa Indonesia.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
 Filsafat adalah pengetahuan-pengetahuan penyelidikan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-
asas, hukum-hukum tentang segala sesuatu yang ada di alam semesta ini.
 Peranan filsafat pendidikan dalam mengembangkan sumber daya manusia adalah semakin
tinggi daya pikir manusia maka sumber daya yang dimiliki juga semakin tinggi pula.
B. Saran
1. Bagi dosen untuk dapat memberikan gambaran mengenai filsafat dan pendididkan.
2. Agar pembelajaran menjadi maksimal perlu adanya partisipasi setiap mahasiswa termasuk
dalam berdiskusi.

3. Bagi semua pihak semoga makalah ini menjadi motivasi kita untuk berlajar dan menggali
ilmu.

Daftar pustaka

Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pndidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press


FILSAFAT PENDIDIKAN DAN PENINGKATAN SUMBER DAYA MANUSIA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Untuk mencerdaskan dan memajukan kehidupan suatu bangsa dan negara


sesuai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan maka diadakan suatu proses
pendidikan atau suatu proses belajar yang akan memberikan pengertian,
pandangan, dan penyesuaian bagi seseorang atau si terdidik kearah kedewasaan
dan kematangan. Dengan proses ini, maka akan berpengaruh terhadap
perkembangan jiwa seorang anak didik atau peserta dan atau subjekdidik kearah
yang lebih dinamis baik kearah bakat atau pengalaman, moral, intelektual
maupun fisik (jasmani) menuju kedewasaan dan kematangan tadi. Tujuan akhir
pendidikan akan terwujud untuk menumbuhkan dan mengembangkan semua
potensi si terdidik secara teratur, apa bila prakondisi alamiah dan sosial manusia
memungkinkan, seperti: iklim, makanan, kesehatan, keamanan dan lain
sebagainya yang relatif sesuai dengan kebutuhan manusia.

Untuk memberikan makna yang lebih jelas dan tegas tentang kedewasaan
dan kematangan yang ingin dituju dalam pendidikan, apakah kedewasaan yang
bersifat biologis, pisikologis, dan sosiologis, maka masalah ini merupakan bidang
garapan yang akan dirumuskan oleh filsafat pendidikan. Di samping itu juga dari
pengalaman menunjukan bahwa tidak semua manusia baik potensi jasmaninya
maupun potensi rohaninya (pikir, karsa, dan rasa) berkembang sebagaimana
yang diharapkan. Oleh karena itu lahirlah pemikiran manusian utuk memberikan
alternatif pemecahan masalah terhadap perkembangan manusia. Apakah yang
mempengaruhi perkembangan potensi manusia, dan mana yang paling
menentukan dan dengan adanya lembaga-lembaga pendidikan dengan berbagai
aktivitasnya telah mampu menumbuhkan dan mengembangkan potensi peserta
didik sehingga bermanfaat bagi kehidupan peribadi dan masyarakat sekitar.
Dari uraian tadi, jelaslah bahwa pendidikan adalah sebagai pelaksanaan
dari ide-ide filsafat. Atau dengan kata lain bahwa ide filsafat telah memberikan
asas sistem nilai dan atau normatif bagi peranan pendidikan yang telah
melahirkan lembaga-lembaga pendidikan dan dengan segala aktivitasnya,
sehingga dapat dikatakan bahwa filsafat pendidikan sebagai jiwa, pendoman, dan
sumber pendorong adanya pendidikan. Inilah antara lain peranan filsafat
pendidikan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka kami menarik beberapa rumusan


masalah, diantaranya sebagai berikut:

1. Apakah manfaat yang diperoleh manusia dalam kemampuannya


mengembangkan dirinya?

2. Apakah pengaruh filsafat dengan kepribadian seseorang?

3. Apakah pengaruh filsafat dengan peningkatan sumber daya manusia?

C. Tujuan dan Kegunaan

1. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini


yaitu sebagai berikut:

a. Mengetahui manfaat yang diperoleh manusia dalam kemampuannya


mengembangkan diri.

b. Mengetahui pengauh filsafat dengan kepribadian seseorang.

c. Mengetahui pengaruh filsafat dengan peningkatan sumber daya


manusia.

2. Kegunaan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka kegunaan penulisan makalah
ini yaitu sebagai berikut:

a. Memberi pengetahuan tentang bagaimana hasil dari usaha manusia


mengembangkan diri.

b. Memberikan pemaparan mengenai filsafat dalam hubungannya


dengan kepribadian seseorang.

c. Memberikan pemaparan mengenai filsafaat dalam hubungannya


dengan peningkatan sumber daya manusia.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kemampuan Manusia Mengembangkan Diri

Manusia adalah makhluk yang mampu mengembangkan diri. Kemampuan


ini menyebabkan manusia berpeluang untuk membentuk dirinya baik secara
fisik maupun mental. Dengan cara mengatur kadar dan komposisi makanan dan
minuman dengan disertai latihan yang teratur, fisik manusia dapat dibentuk.
Usaha seperti itu sudah dilakukan orang-orang Sparta di zaman Yunani Kuno.
Hasilnya adalah manusia yang berotot kekar. Sekarang pun hal yang hampir sama
dipraktikkan oleh para binaragawan.

Sebaliknya, manusia pun memiliki potensi mental untuk dikembangkan.


Berbagai potensi mental yang terangkum dalam aspek kognisi, emosi dan konasi
dapat dikembangkan manusia untuk menjadi makhluk yang berperadaban (homo
sapien). Peningkatan dan pengembangan diri ini menyebabkan manusia memiliki
tingkat peradaban yang berbeda dan mengarah dari zaman ke zaman. Kemajuan
peradaban manusia ini terlihat dari adanya periodisasi sejarah umat manusia
seperti zaman prasejarah dan zaman sejarah: zaman kuno, zaman pertengahan,
zaman modern hingga zaman pascamodern (post modern).[1]
Manusia memiliki berbagai potensi atau sumber daya untuk meningkatkan
kualitas kehidupannya. Sumber daya ini pada dasarnya baru berupa
kemungkinan, layaknya lembaga atau benih pada tumbuh-tumbuhan. Hasilnya
baru akan terlihat apabila potensi tersebut dapat disalurkan melalui pengarahan,
bimbingan maupun latihan yang terarah, teratur dan sinambung.[2]

B. Filsafat Pendidikan dan Kepribadian

Peningkatan kualitas sumber daya manusia tentunya berbeda dari zaman


ke zaman. Sifat, bentuk dan arahannya tergantung dari kondisi lingkungan dan
kebutuhan masyarakat masing-masing. Dalam komunitas nelayan misalnya,
peningkatan kualitas sumber daya diarahkan pada upaya untuk membentuk
seseorang menjadi nelayan yang terampil. Peningkatan kualitas sumber daya
terlihat dari mereka yang semula awam terhadap masalah yang menyangkut
kehidupan nelayan menjadi nelayan profesional, mencakup ketepatan
menentukan manusia ikan, menggunakan berbagai perangkat alat penangkap
ikan, pembuatan perahu serta peralatannya. Peningkatan kualitas ini setidaknya
telah mampu mengangkat status orang yang semula hanya pemegang atau
nelayan gurem itu menjadi nelayan profesional. Demikian pula halnya pada
lingkungan kehidupan masyarakat tani, pedagang dan lainnya.

Di masyarakat tradisional, peningkatan kualitas sumber daya manusia


masih terbatas pada aspek-aspek tertentu, yang erat kaitannya dengan tradisi
setempat. Namun yang jelas, peningkatan itu tak lepas hubungannya dengan
filsafat hidup dan kepribadian masing-masing. Dalam pengertian sederhana,
filsafat diartikan sebagai kepribadian jati diri dan pandangan hidup seseorang,
masyarakat atau bangsa. Kondisiini dibentuk oleh tradisi kehidupan masyarakat
ataupun oleh usaha yang terprogram. Namun demikian, sesederhana apa pun,
pembentukan itu tak lepas dari peran pendidikan. Pendidikan, pada prinsipnya
dapat dilihat dari dua sudut pandang: individu dan masyarakat.[3]
Dilihat dari sudut pandang individu, pendidikan merupakan usaha untuk
membimbing dan menghubungkan potensi individu. Sementara dari sudut
pandang kemasyarakatan, pendidikan merupakan usaha pewarisan nilai-nilai
budaya dari generasi tua kepada generasi muda, agar nilai-nilai budaya tersebut
tetap terpelihara. Dalam konteks ini, dapat dilihat hubungan antara pendidikan
dengan tradisi budaya dan kepribadian suatu masyarakat, betapapun
sederhananya masyarakat tersebut. Hal ini dapat dilihat ketika tradisi sebagai
muatan budaya senantiasa terlestarikan dalam masyarakat, dari generasi ke
generasi berikutnya. Pelestarian nilai-nilai budaya tersebut, bagaimanapun,
hanya akan mungkin terlaksana apabila ada pendukungnya secara sinambung
dari generasi ke generasi. Hubungan ini tentunya hanya akan mungkin terjadi
bila para pendukung nilai tersebut dapat menularkannya kepada generasi
penerusnya.

Transfer nilai-nilai budaya yang paling efektif adalah melalui proses


pendidikan. Dalam masyarakat model pendididkan tersebut didasarkan pada
suatu sistem yang sengaja dirancang dengan program pendidikan secara formal.
Oleh sebab itu, dalam penyelenggaraannya di bentuk kelembagaan pendidikan
formal.[4]

Pendidikan mencakup dua kepentingan utama, yaitu pengembangan


potensi individu dan pewarisan nilai-nilai budaya. Kedua hal ini berkaitan erat
dengan pandangan hidup suatu masyarakat atau bangsa itu masing-masing.
Dengan kata lain, sistem pendidikan bagaimanapun sederhananya mengandung
karakteristik tentang jati diri pandangan hidup masyarakat atau bangsa yang
membuatnya.[5]

Pandangan hidup yang merupakan jati diri ini berisi nilai-nilai yang
dianggap sebagai sesuatu yang secara ideal adalah benar. Dan nilai kebenaran itu
sendiri berbeda antara masyarakat atau bangsa yang satu dengan lainnya. Nilai-
nilai kebenaran yang idealis ini disebut sebagai filsafat hidup yang dijadikan
dasar dalam penyusunan sistem pendidikan. Selain itu, nilai-nilai tersebut juga
sekaligus dijadikan tujuan yang akan dicapai dalam pelaksanaan sistem
pendidikan dimaksud.
Dengan demikian, antara rantai hubungan itu terlihat pada perincian
sebagai berikut:

1. Setiap masyarakat atau bangsa memiliki sistem nilai ideal yang dipandang
sebagai sesuatu yang benar.

2. Nilai-nilai tersebut perlu dipertahankan sebagai suatu pandangan hidup atau


filsafat hidup mereka.

3. Agar nilai-nilai tersebut dapat dipelihara secara lestari, perlu diwariskan


kepada generasi muda.

4. Usaha pelestarian melalui pewarisan ini efektifnya melalui pendidikan.

5. Untuk menyelaraskan pendidikan yang diselenggarakan dengan muatan yang


terkandung dalam nilai-nilai yang menjadi pandangan hidup tersebut, maka
secara sistematis program pendidikan harus menempatkan nilai-nilai tadi
sebagai landasan dasar, muatan dan tujuan yang akan dicapai.[6]

Pandangan ini dapat diangkat dari sejumlah sistem pendidikan di berbagai


negara yang menggambarkan hubungan filsafat bangsa dengan tujuan
pendidikan yang akan dicapainya. Sejak zaman Yunani kuno, hubungan seperti
itu telah diterapkan. Setidak-tidaknya ada dua negara yang menampilkan sisi
pandang yang berbeda, yaitu Sparta dan Athena (Moh. Said, 1964: 46).

Sparta, sebagai negara militer, memiliki sisi pandang yang didasarkan


pada nilai-nalai fisik. Menurut mereka manusia yang paling ideal adalah manusia
yang berfisik kuat, bertubuh kekar dan pemberani. Oleh karena itu, menurut
mereka, pendidikan yang benar adalah apabila dapat membentuk manusia yang
sehat dan kuat secara fisik. Dasar pemikiran ini mereka jadikan sebagai landasan
dalam menyusun sistem pendidikan. Dalam penerapannya, negara diberi
wewenang untuk menjadi pemilik peserta didik secara mutlak. Setiap bayi yang
lahir adalah milik negara dan sepenuhnya di bawah tanggung jawab penguasa
negara. Karena itu, setiap kelahiran diawasi melalui seleksi yang ketat. Bayi laki-
laki yang sehat diasuh oleh negara, sedangkan bayi laki-laki yang sakit atau cacat
dibunuh (Moh. Said, 1964: 47-48).[7]
Selanjutnya dikemukakan, bahwa pendidikan yang diselenggarakan oleh
negara dengan menggunakan sistem pendidikan militer. Sejak bayi mereka sudah
diasuh di asrama, diberi makanan yang bergizi dan setelah menginjak usia
kanak-kanak, pendidikan mulai diterapkan secara intensif. Materi pendidikan
dirancang dengan titik berat pada pendidikan jasmani dan kemiliteran. Disiplin
utama pendidikan adalah membentuk manusia yang sehat fisik dan berotot
kekar. Inilah gambaran pendidikan orang-orang Sparta.

Sebaliknya, di negara tetangganya, Athena, pandangan tentang pendidikan


agak berbeda. Menurut mereka, manusia memiliki potensi fisik, emosi dan akal.
Tujuan pendidikan adalah mengembangkan ketiga potensi tersebut secara
berimbang. Sebab, menurut pandangan mereka, pendidikan yang ideal adalah
pendidikan yang dapat membentuk manusia yang harmonis.

Atas dasar pemikiran filsafat dan pandangan hidup ini, maka pendidikan
yang diselenggarakan bangsa Athena jadi berbeda dengan sistem pendidikan
Sparta. Kurikulum pendidikannya yang terangkum dalam trivium membuat mata
pelajaran pokok ini diarahkan pada pengembangan potensi akal, perasaan dan
jasmani. Kemudian diberikan pula mata pelajaran logika dan retorika. Kurikulum
ini selanjutnya terus dikembangkan menjadi qaudrivium yang terdiri dari musik,
matematika, ilmu ukur dan ilmu bintang, seperti yang kemudian diterapkan di
sekkolah-sekolah di zaman Romawi (Moh. Said, 1964: 45).
Di zaman modern, proses serupa terus berlanjut. Negara yang
menempatkan komunisme sebagai pandangan hidup bangsanya, seperti Uni
Soviet (sebelum Gorbachev), maupun Republik Rakyat China (di zaman Mao Tse
Tung), tampaknya filsafat materialisme menjadi dasar sistem pendidikan
mereka. Tujuan pendidikan diarahkan pada manusia pekerja yang mengabdi
kepada kepentingan negara. Setiap warga negara seakan menjadi bagian dari
mesin yang diarahkan dapat memproduksi materi bagi kepentingan negara. Oleh
karena itu, kelompok warga yang dinilai potensial adalah kaum buruh dan kaum
tani, karena kedua bidang ini secara nyata mampu memproduksi materi berupa
hasil teknologi dan bahan pangan. Maka untuk mencapai hasil yang maksimal,
negara memiliki kewenangan penuh untuk menguasai warga yang tergabung
dalam satuan-satuan komune. Warga negara mengabdi kepada negara dalam
bentuk pengabdian bertingkat secara hierarki. Anggota mengabdi kepada ketua
komune, dan ketua komune mengabdi kepada ketua presidium tertinggi yang
memiliki kekuatan tak terbatas. Rakyat hanyalah pekerja yang harus mengabdi
kepada negara.

Lain lagi halnya bangsa Amerika, yang pandangan hidupnya didasarkan


pada filsafat demokratis dan liberalisme. Mereka menyusun sistem pendidikan
yang demokratis. Berdasarkan filsafat dan pandangan hidup tersebut, maka
tujuan pendidikan di Amerika diarahkan pada pembentukan warga negara yang
demokratis. Secara pribadi setiap warga negara mempunyai kebebasan untuk
memperoleh pendidikan dan bebas mengemukakan pendapat, sebagaimana yang
terangkum dalam hak-haknya sebagai manusia. Declaration of Human Rights
(Deklarasi Hak Asasi Manusia) merupakan gambaran utuh tentang hubungan
filsafatpendidikan dan kepribadian bangsa Amerika.[8]

Namun demikian, setiap individu juga memiliki kebebasan yang


bertanggung jawab sebagai warga negara yang secara rinci termuat dalam
pernyataan Kemerdekaan Amerika Serikat, 4 Juli 1776 berikut:
Kami berpendirian bahwa kebenaran-kebenaran yang berikut ini adalah
tepat. Bahwa sekalian manusia adalah sama, dan oleh penciptanya mereka
dianugrahi hak-hak mutlak, di antaranya ialah hak untuk hidup, untuk
merdeka dan hak untuk mencari kebahagiaan hidup.

Bahwa untuk menjamin hak-hak ini, pemerintahan dibentuk di kalangan


manusia, yang mendapat kekuasaan, dan mereka yang diperintahnya.

Bahwa bilamana suatu bentuk pemetintahan membahayakan tujuan-tujuan


ini, maka adalah hak rakyat untuk mengganti atau menjatuhkan
pemerintahan itu, dan untuk mendirikan pemerintahan baru berdasarkan
asas-asas yang sedemikian dan mengatur kekuasaannya sebegitu rupa,
sesuai dengan pandangan yang paling sempurna untuk menjamin kemauan
dan kebahagiaan (Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, 1952: 1).[9]

Pernyataan ini merangkum pandangan hidup bangsa Amerika. Di dalamnya


termuat pandangan mereka terhadap manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan
yang memiliki hak untuk hidup. Pemerintah yang dibentuk atas dasar prinsip-
prinsip tersebut dibebankan tanggung jawab untuk menjamin terpeliharanya
hak-hak dimaksud.

Demikian pula halnya dengan bangsa Indonesia yang memiliki filsafat dan
pandangan hidup tersendiri, yaitu Pancasila. Pandangan hidup ini dengan
sendirinya menjadi dasar dan sekaligus tujuan sistem pendidikan nasional.
Dengan katalain, sistem pendidikan nasional disusun atas dasar filsafat
pendidikan Pancasila. Sebab, filsafat pendidikan merupakan ilmu pendidikan
yang bersendikan filsafat atau filsafat yang diterapkan dalam usaha pemikiran
dari pemecahan masalah-masalah pendidikan.[10]

Bila pendidikan dikembalikan pada fungsinya sebagai usaha untuk


mengembangkan potensi individu dan sekaligus sebagai usaha mewariskan nilai-
nilai budaya, maka pendidikan juga menyangkut pembentukan kepribadian.
Pendidikan berkaitan dengan usaha untuk mengubah sikap dan tingkah laku.
Sedangkan kepribadian berhubungan dengan pola tingkah laku.
Setidak-tidaknya, kepribadian dapat dilihat dari empat aspek muatannya,
Pertama, aspek personalia, yaitu kepribadian dilihat dari pola tingkah laku lahir
dan batin yang dimiliki seseorang. Kedua, aspek individualitas, yakni
karakteristik atau sifat-sifat khas yang dimiliki seseorang, hingga dengan adanya
sifat-sifat ini seseorang secara individu berbeda dengan individu lainnya. Ketiga,
aspek mentalitas, sebagai perbedaan yang berkaitan dengan cara berpikir.
Mentalitas sebagai gambaran pola pikir seseorang. Keempat, aspek identitas,
yaitu kecenderungan seseorang untuk mempertahankan sikap dirinya dari
pengaruh luar. Identitas merupakan karakteristik yang menggambarkan jati diri
seseorang.

Berdasarkan keempat aspek tersebut, terlihat bagaimana hubungan antara


pendidikan dan pembentukan kepribadian, dan hubungannya dengan filsafat
pendidikan yang bersumber dari nilai-nilai budaya sebagai pandangan hidup
suatu bangsa.[11]

C. Filsafat Pendidikan dan Sumber Daya Manusia

Manusia adalah makhluk yang memiliki berbagai potensi bawaan. Dari


sudut pandang potensi yang dimiliki itu, dinamakan dengan berbagai sebutan.
Dilihat dari potensi inteleknya, manusia disebut homo intelecus. Manusia juga
disebut homo faber, karena manusia memiliki kemampuan untuk membuat
beragam barang atau peralatan. Kemudian manusia pun disebut homo sacinss
atau homo saciale abima, karena manusia adalah makhluk bermasyarakat. Dilain
pihak, manusia juga memiliki kemampuan merasai, mengerti, membeda-
bedakan, kearifan, kebijaksanaan, dan pengetahuan. Atas dasar adanya
kemampuan tersebut, manusia disebut homo sapiens (K. Prent, CM, J. Adisubrata,
W.J.S. Poewardarminta, 1969: 322-764).[12]

Dengan adanya filsafat, manusia di mungkinkan dapat melihat kebenaran


tentang sesuatu di antara kebenaran yang lain. Hal ini membuat manusia
mencoba mengambil pilihan, di antara alternatif yang ada saat itu, sehingga
manusia mampu menghadapi masalah-masalah yang ada dan pelajaran untuk
menjadi bijaksana.
Disamping itu filsafat memberikan petunjuk dengan metode pemikiran
reflektif agar kita dapat menyerasikan antara logika, rasa, rasio, pengalaman dan
agama pemenuhan kebutuhan hidup yang sejahtera.[13]

Manusia dalam kehidupannya mempunyai kebutuhan yang banyak. Adanya


kehidupan inilah yang mendorong manusia untuk melakukan berbagai tindakan
dalam rangka pemenuhan kebutuhan. Menurut Ashley Montagu, kebudayaan
mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan dasar hidupnya.[14]

Filsafat pendidikan disusun atas dua pendekatan. Pendekatan pertama


bahwa filsafat pendidikan diartikan sebagai aliran yang didasarkan pada
pandangan filosofis tokoh-tokoh tertentu. Sedangkan pandangan kedua adalah
usaha untuk menemukan jawaban dari pendidikan beserta problema-problema
yang ada yang memerlukan tinjauan filosofis.[15]

Dari pendekatan pertama, terkait dengan kualitas potensi manusia,


terdapat tiga aliran filsafat. Pertama, aliran naturalisme, yang menyatakan bahwa
manusia memiliki potensi bawaan (natur) yang dapat berkembang secara alami
tanpa memerlukan bimbingan dari luar (lingkungan). Secara alami manusia akan
bertambah dan berkembang sesuai dengan kodratnya masing-masing. Tokoh
aliran ini adalah Jean Jacques Rousseau.

Kedua, aliran empirisme. Menurut aliran ini, manusia bertumbuh dan


berkembang atas bantuan atau karena adanya intervensi lingkungan. Tanpa
adanya pengaruh luar, manusia tidak akan mampu berkembang. Manusia
dianggap sebagai makhluk pasif dan tanpa potensi bawaan. Manusia sepenuhnya
ditentukan oleh bagaimana lingkungan memengaruhinya. Jika lingkungan baik,
manusia aka menjadi baik. Sebaliknya jika lingkungan buruk, manusia akan
menjadi buruk pula. Tokoh aliran ini adalah Schopenhauer.
Ketiga, aliran konvergensi, yang memiliki pandangan gabungan antara
naturalisme dan empirisme. Menurut aliran ini, manusia secara kodrati memang
telah dianugerahi potensi yang disebut bakat. Namun selanjutnya, agar potensi
itu dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik, perlu adanya pengaruh dari
luar berupa tuntunan dan bimbingan melalui pendidikan. Bakat hanyalah
kemampuan atau potensi dasar, layaknya bakal pada tumbuh-tumbuhan.
Pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya sangat bergantung dari
pemeliharaan atau pengaruh lingkungan. Tokoh aliran ini adalah William Stern.

Ketiga aliran tersebut kemudian menjadi pemikiran tentang manusia


dalam kaitan dengan problema pendidikan. Namun kemudian, Kohnstamm
menambah faktor kesadaran sebagai faktor keempat. Dengan demikian,
menurutnya, selain fakrot dasar (natur) dan faktor ajar (empiri), yang kemudian
dikonvergensikan, masih perlu adanya faktor kesadaran individu.

Menurutnya, walaupun manusia memiliki bakat yang baik, kemudian


dididik secara baik pula, maka hasilnya akan menjadi lebih baik ada motivasi
intrinsik (dorongan kesadaran dari dalam diri) dari peserta didik itu sendiri.
Kohnstamm, melihat bahwa faktor lingkungan (melicu) belum dapat memberi
hasil yang optimal bila tidak disertai dorongan dari dalam diri peserta didik.
Pendapat ini dapat dinilai sebagai temuan yang memperkaya pemikiran tentang
manusia dalam kaitannya dengan pendidikan.

Keempat tokoh tersebut telah mangangkat latar belakang potensi manusia.


Kecuali J.J Rousseau, ketiga tokoh berikutnya seakan menyatu dalam pendapat
bahwa potensi manusia dapat diintervensi oleh pengaruh lingkungan. Kenyataan
ini, antara lain dapat dirunut dari sejumlah kasus manusia serigala yang pernah
terungkap.
Itard dan Senguin pernah menemukan bocah yang sejak bayi dipelihara
oleh kelompok serigala. Ternyata bocah tersebut dalam kesehariannya hidup
mengikuti perilaku serigala yang menjado lingkungan hidupnya. Kasus yang
dijumpai oleh kedua tokoh ini terjadi di hutan Prancis Selatan sekitar abad ke-18.
Selanjutnya, di India pun kasus serupa pernah ditemui. Kemudian, bocah asuhan
serigala itu diselamatkan dan dididik di lingkungan hidup manusia (Jaka Datuk
Sati, 1979: 36).[16]

Saat ditemukan, anak ini menunjukkan perilaku dan fisik yang berbeda
dari anak manusia normal. Ia berjalan merangkak, layaknya serigala. Tangannya
berfungsi sebagai kaki depan. Lidahnya terjulur dan gigi taringnya terlihat lebih
panjang dari deretan gigi serinya. Minum dengan cara menjilat-jilat dan makan
dengan cara mengoyak-ngoyak dengan taringnya. Tangan tidak difungsikan
seperti layaknya manusia, lanjut Jaka (Jaka Datuk Sati, 1979: 37).

Selama dalam perawatan, anak ini sulit untuk berkomunikasi dengan


manusia. Ia sempat diberi nama Manu. Barangkali, karena perubahan lingkungan
ini pula, Manu tidak dapat bertahan lama. Hidup di lingkungan masyarakat
manusia menjadi asing baginya. Potensi bawaannya sebagai anak manusia
tempaknya tidak berkembang secara normal. Ia tidak mampu mengingat kata-
kata, kehilangan kemampuan untuk berbicara. Namun, penciuman dan
pengecapnya lebih tajam dari manusia. Akhirnya, pada usia sekitar 15 tahun,
Manu yang sudah sempat dirawat beberapa tahun meninggal (Jaka Datuk Sati,
1979: 40).

Kasus serigala tersebut menggambarkan bagaimana fungsi dan peran


lingkungan memberi pengaruh bagi manusia. Di lingkungan kehidupan serigala,
potensi bawaan tak dapat berkembang sama sekali, malah terkesan menjadi
hilang. Kasus-kasus seperti ini memperkuat kebenaran teori tabularasa John
Locke yang dimunculkan dari pemikiranfilsafat empirisme. Namun demikian,
sifat keturunan (genoptype) juga tidak dapat diabaikan begitu saja.[17]
Lanjutnya, sifat keturunan (sebagai faktor bawaan) dapat dikembangkan
secara baik atau tidak, tergantung dari pengaruh-pengaruh rangsangan selama di
dalam perkembangannya. Banyak sifat-sifat seseorang yang tidak asli keturunan,
melainkan tumbuh melalui pengalaman-pengalaman, latihan-latihan dan
pengaruh-pengaruh luar. Pengaruh luar secara sistematis ini lebih dikenal
dengan pendidikan.

Filsafat pendidikan sebagai sistem dapat dilihat dari dua pendekatan.


Pendekatan pertama berdasarkan pandangan filosofis, sebagaimana telah
diuraikan terdahulu. Dalam pandangan ini terungkap bahwa konsep pendidikan
dalam berbagai aliran itu mengakui bahwa manusia memiliki potensi untuk
dididik.

Selanjutnya, pendekatan kedua adalah filsafat pendidikan dilihat dari


sudut pandang sistem pendidikan. Berdasarkan pendekatan ini, filsafat
pendidikan merupakan usaha untuk menemukan jawaban tentang pendidikan
dan problema-problema yang ada yang memerlukan tujuan filosofis.[18] Filsafat
pendidikan adalah pemikiran filsafat yang diterapkan dalam bidang pendidikan
(Al-Syaibani, 1987: 37). Dalam pandangan ini, filsafat pendidikan menjadi
tumpuan bagi penyusunan sistem pendidikan.

Pendidikan dalam hubungan dengan individu dan masyarakat, dapat


dilihat dari bagaimana garis hubungannya dengan filsafat pendidikan dan
sumber daya manusia. Dari sudut pandang individu, pendidikan merupakan
usaha untuk mengembangkan potensi individu, sebaliknya dari sudut pandang
kemasyarakatan, pendidikan adalah sebagai pewarisan nilai-nilai budaya. Dalam
pandangan ini, pendidikan mengembangkan dua tugas utama, yaitu peningkatan
potensi individu dan pelestarian nilai-nilai budaya. Manusia sebagai makhluk
berbudaya pada hakikatnya adalah pencipta budaya itu sendiri. Budaya itu
kemudian meningkat sejalan dengan peningkatan potensi manusia pencipta
budaya itu.[19]
Tingkat perkembangan kebudayaan suatu masyarakat atau bangsa sangat
ditentukan oleh tingkat kualitas sumber daya manusia yang menjadi pendukung
nilai-nilai budaya tersebut. Pada masyarakat yang masih memiliki kebudayaan
asli (primitif), berbeda dengan masyarakat yang memiliki kebudayaan sempurna
(modern). Di lingkungan masyarakat pertama tingkat kualitas sumber daya
manusianya bisa dikatakan sangat rendah. Potensi sumber daya manusia hanya
dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang sangat
terbatas. Karena itu, variasi kerja tidak begitu banyak. Sebaliknya ada
masyarakat yang sudah maju, tuntutan kebutuhan dan variasi kerja demikian
banyak, bahkan selalu bertambah. Untuk mengatasi kebutuhan tersebut,
diperlukan tenaga profesional yang berkualitas. Untuk memenuhi tuntutan itu,
setiap individu dituntut untuk meningkatkan kualitas sumber dayanya masing-
masing.

Kemajuan peradaban manusia sebagian besar ditentukan oleh daya ilmu


pengetahuan dan teknologi (Iptek). Makin tinggi tingkat penguasaan Iptek, makin
maju pula peradaban suatu bangsa. Juga tingkat kualitas sumber daya
manusianya. Salah satu sarana yang paling efektif dalam pengembangan dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah pendidikan.

Sejalan dengan tujuan tersebut, disusunlah suatu sistem pendidikan yang


layak dan serasi dengan tujuan pengembangan sumber daya manusia sebagai
pendukung nilai-nilai budaya bagi peningkatan kemajuan pendidikan yang
dimiliki. Kemudian agar sistem pendidikan tersebut tetap terjaga, diperlukan
adanya suatu landasan untuk pendidikan yang dinilai mengakar pada
kepribadian bangsa itu masing-masing. Dalam kaitan ini, bahasan bagaimana
kaitan hubungan antara filsafat pendidikan dengan peningkatan kualitas sumber
daya manusia.
Di Amerika, misalnya bangsa Amerika yang mendasarkan pendangan
hidup bangsanya pada prinsip-prinsip demokratis, memberi peluang bagi
berkembangnya berbagai aliran, termasuk filsafat pendidikan. Peluang ini antara
lain telah menumbuhkan aliran filsafat pragmatisme yang dikembangkan oleh
John Dewey. Menurut Dewey, kebenaran identik dengan hasil nyata. The truth is
the making, tulisnya (Jaka Datuk Sati, 1979: 42).[20]

Sesuatu akan dinilai benar bila ia dapat direalisasikan dan hasilnya


bermanfaat bagi kehidupan. Pemikiran ini dijadikan landasan dalam penyusunan
sistem pendidikan dan kemudian diterapkan dalam bentuk sekolah kerja yang
dinamakan sekolah masyarakat (community school). Sekolah ini bertujuan untuk
mendidik para siswa menjadi tenaga praktis yang siap pakai. Bidang keahlian
disesuaikan dengan bidang profesi yang ada di masyarakat. Dengan demikian,
diharapkan tamatan dari sekolah-sekolah ini akan segera mendapat pekerjaan.

Sedangkan tujuan pendidikan Indonesia adalah membentuk manusia yang


berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, disiplin,
beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, produktif, serta sehat jasmani dan
rohani. Tujuan ini mencakup pengembangan potensi individu yang diamanatkan
oleh filsafat pendidikan Pancasila. Secara individu, diharapkan peserta didik
dapat memiliki kepribadian yang mencakup keenam belas karakteristik seperti
tergambar dalam tujuan pendidikan nasional. Karakteristik ini sekaligus
merupakan aspek yang menjadi muatan alam pengembangan kualitas sumber
daya manusia yang berlandaskan filsafat pendidikan yang digali dari filsafat dan
pandangan hidup bangsa Indonesia.

Lebih jauh dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa, pendidikan


nasional juga menggariskan tujuan yang harus dicapai. Tujuan ini meliputi upaya
untuk menumbuhkan jiwa patriotik dan mempertebal cinta tanah air,
meningkatkan semangat kebenaran dan kesetiakawanan sosial, serta kesadaran
pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa pahlawan serta berorientasi
masa depan.
Dalam Undang-Undang No. 20/2003 diungkapkan bahwa tujuan
pendidikan nasional yang berlandaskan filsafat Pancasila itu menghasilkan
adanya hubungan timbal balik antara filsafat hidup bangsa, filsafat pendidikan
dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Begitu juga dalam amanat
Undang-Undang Dasar 1945, tujuan pendidikan itu untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa (Undang-Undang No. 2 0/2003 Bab I Pasal 1 dan Bab II Pasal 2
dan 3). Ini berarti bahwa usaha mencerdaskan kehidupan bangsa identik dengan
peningkatan kualitas sumber daya manusia dan usaha yang paling efektif adalah
melalui pendidikan.[21]

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Yaitu dengan adanya kemampuan manusia mengembangkan diri,
manusia berpeluang untuk membentuk dirinya, baik secara fisik
maupun mental. Selain itu, manusia juga dan padaban manusia
mengalami kemajuan dari zaman ke zaman.
2. Filsafat mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi kepribadian dan
jati diri masyarakat karena adanya filsafat akan dibentuk tradisi
kehidupan masyarakat dan usaha yang terprogram.
3. Dengan adanya filsafat, manusia dapat melihat kebenaran tentang
sesuatu diantara kebenaran yang lain, sehingga manusia mampu
menghadapi masalah-masalah yang ada dan menjadi bijak sana. Da
serta mendorong manusia untuk melakukan berbagai tindakan dalam
rangka pemenuhan kebutuhan.
DAFTAR PUSTAKA

Adib, Muhammad. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009.

Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset. 1987.

Jalaluddin dan Abdullah Idi. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2011.

Langgulung, Hasan. Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi, Filsafat dan
Pendidikan. Jakarta: Pustaka Al Husna. 1986.

Anda mungkin juga menyukai