Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

TEORI/ALIRAN DALAM PENDIDIKAN.

Disusun guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Pendidikan Islam

Dosen Pengampu: Bapak Aang Kunaepi, M.Ag

Namam kelompok 07:


1. Taufiq Hidayatullah (2203016242)
2. M. Aunur Rahman Suja. (2203016211)
3. M. Nur Husain (2203016241)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai hasil pemikiran para filosof bahasa dari, filsafat menguak tentang
berbagai jenis pandangan dan aliran yang berbeda-beda. Ada kalanya pandangan
mereka saling pro dan kontra saling bertentangan atau berlawanan. Berbagai
pemikiran pendidikan yang muncul di dalam masyarakat bersamaan dengan
dinamika perkembangannya dan membawa perubahan yang selanjutnya di kenal
dengan aliran pendidikan. Aliran-aliran pendidikan tersebut, muncul sejak
manusia hidup didalam satu kelompok yang dihadapkan dengan regenerasi bagi
keturunannya.

Secara historis bahwa aliran-aliran pendidikan ataupun berbagai pemikiran


tentang pendidikan dapat ditemukan dalam berbagai literature. Pendidikan yang
sempat tercatat dalam sejarah pendidikan dimulai sejak zaman yunani kuno
hingga sekarang ini.

Setiap aliran pendidikan sebagai upaya untuk memperbaiki martabat manusia,


oleh karna itu dalam setiap aliran pendidikan memiliki muatan agar setiap
keturunan sebagai wujud generasi yang berikutnya mendapatkan arti atau
pemaknaan pendidikan yang jauh lebih baik dengan pendidikan yang didapat atau
dirasaakan oleh para orang tua mereka zaman dulu.

Pemahan terhadap berbagai aliran pendidikan memiliki arti yang sangatlah


penting, ketika seorang pendidik hendak menangkap dari setiap dinamika
perkembangan pemikiran tentang pendidikan yang tengah terjadi bagaimanpun
juga aliran-aliran pendidikan pada dasarnya merupakan gagasan dari para pemikir
berpengaruh secara luas pada zamannya, sehingga tidak akan bisa terabaikan.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari teori/aliran pendidikan?
2. Apa saja macam-macam teori/aliran pendidikan?
3. Bagaimana konsep islam dalam teori/aliran pendidikan islam?
C. Tujuan
1. Mengetahui apa itu teori/aliran pendidikan
2. Mengetahui macam-macam teori/aliran Pendidikan
3. Mengetahui bagaimana konsep islam dalam teori/aliran pendidikan islam

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Teori/Aliran Pendidikan

Aliran pendidikan adalah pemikiran- pemikiran yang membawa


pembaharuan dalam dunia pendidikan pemikiran tersebut berlangsung seperti
suatu diskusi berkepanjangan, yakni pemikiran-pemikiran terdahulu selalu
ditanggapi dengan pro dan kontra oleh pemikir berikutnya, sehingga timbul
pemikiran yang baru, danemikian seterusnya agar diskusi berkepanjangan itu
dapat dipahami perlu aspek dari aliran-aliran itu yang harus dipahami oleh
karna itu setiap calon tenaga keendidikan harus memahami berbagai jenis
aturan-aturan pendidikan.

Gagasan dan pelaksanaan selalu dinamis sesuai dengan dinamika


manusia dan masyarakatnya. Sejak dulu, kini maupun dimasa depan
pendidikan itu selalu mengalami perkembangan seiring dengan
perkembangan sosia budaya dan perkembangan iptek.

Pemikiran-pemikiran yang membawa pembaharuan pendidikan itu


disebut aliran-aliran pendidikan seperti bidang-bidang lainnya, pemikiran-
pemikiran dalam pendidikan itu berlangsung seperti suatu diskusi
berkepanjangan yakni pemikiran-pemikiran terdahulu selalu ditanggapi
dengan pro dan kontra oleh pemikiran-pemikiran berikutnya, dank arena
dialog tersebut akan muncul lagi pemikiran-pemikiran yang baru da demikian
seterusnya,Padasetiap aliran pendidikan memiliki pandangan yang berbeda
dalam memandang perkembangan manusia, hal ini berdasarkan atas faktor-
faktor domonan yang dijadikan sebagai dasar pijakan bagi perkembangan
manusia.1

1
Muhammad Ari Fahrizal, “Teori-Teori Pendidikan Dalam Aliran Klasik,” 2020.

3
B. Macam-Macam Teori/Aliran Pendidikan
1. Aliran Empirisme

Empirisme aliran ini menganut paham yang berpendapat bahwa segala


pengetahuan, keterampilan dan sikap manusia dalam perkembangannya
ditentukan oleh pengalaman (empiris) nyata melalui alat indranya baik secara
langsung bertinteraksi dengan dunia luarnya maupun melalui proses
pengolahan dalam diri dari apa yang didapatkan secara langsung. 2 Jadi segala
kecakapan serta pengetahuan tergantung, terbentuk dan ditentukan oleh
pengalaman.pengalaman diperoleh dari dunia luar melalui indra, sehingga
dapat dikatakan lingkunganlah yang membentuk perkembangan anak.

Empirisme berasal dari bahasa latin, asal katanya yaitu Empiri yang
artinya pengalaman.3 Pemikiran ini dipelopori oleh John Lock (1632-1704),
filsuf kebangsaan inggris, yang terkenal dengan teorinya “Tabularasa”
artinya meja berlapis lilin yang belum ada tulisan diatasnya. Dengan kata lain,
sesorang dilahirkan seperti kertas kosong yang belum ditulis, maka dari itu
pendidikanlah yang akan dituliskannya, perkembangan seseorang tergantung
Sembilanpuluh Sembilan persen pada pengaruh lingkungan atau pada
pengalaman-pengalaman yang diperoleh dalam kehidupannya.

Oleh karna itu, pendidikan memegang peranan yang amat penting sebab
pendidikan dapat menyediakan lingkungan pendidikan kepada anak dan akan
diterima oleh anak sebagai pengalaman-pengalaman. Menurut konsep
empirisme pendidikan dibuat adalah mahakuasa dalam membentuk peserta
didik menjadi apa yang diingnkan. Pendidikan dapat berbuat sekehendak
hatinya, seperti pemahat patung yang memahat patungnya dari kayu, batu,
atau bahan lainnya menurut sesuka hatinya. Contoh: misalnya anak yang
kembar yang dipisahkan oleh orangtuanya sejak dia kecil pada ingkungan

2
Ratna Puspitasari, “Kontribusi Empirisme Terhadap Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial,”
Edueksos: Jurnal Pendidikan Sosial Dan Ekonomi 1, no. 1 (2016).
3
Roni Adriansyah, H Syahroni Ma’shum, and Hinggil Permana, “Analisis Aliran-Aliran Pemikiran
Dalam Pendidikan Islam,” Al-I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam 9, no. 1 (2022): 29–34.

4
keluarga yang berbeda. Oleh karena itu, pemikiran ini dinamakan pemikiran
optimis dalam pendidikan.

Menurut John Lock hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pendidikan yaitu:

a. Pendidikan harus diberikan sejak awal mungkin.


b. Pembiasaan dan latihan lebih penting daripada peraturan, perintah atau
nasihat.
c. Anak didik harus diamati dari dekat untuk melihat:
1) Apa yang paling tepat bagi anak itu sesuai dengan umurnya (tingkat
perkembagan).
2) Hasrat-hasratnya yang sangat kuat.
3) Kecenderungannya mengikuti orang tua tanpa merusak semangat anak
tersebut.
4) Anak harus dianggap sebagai makhluk rasional, dalam hal ini kepada
anak harus diberikan alasan tentang hal yang dituntut darinya,
5) Pelajaran disekolah jangan sampai menjadi beban bagi anak tersebut,
namun hendaknya menyenangkan dan merupakan suasana bermain
yang terbuka seluas mungkin bagi sianak tersebut berbagai
kemungkinan yang dapat timbul.4

2. Nativisme

Nativisme Teori ini kebalikan dari teori empirisme, yang mengajarkan


bahwa anak lahir sudah memiliki pembawaan baik faktor lingkungan atau
alamiah yang mempengaruhi terhadap perkembangan anak, melainkan
semuanya dari faktor-faktor tersebut mempengaruhi terhadap perkembangan
seorang anak.

Nativisme berasal dari bahasa latin, yaitu, asal katanya nativesartinya


terlahir. Pemikiran ini dipelopori oleh sckophenhauer seorang filsuf berasal
dari jerman yang hidup pada 1788-1880. Berpendapat “pendidikan ialah
4
Bernard R Blishen, “Social Class and Opportunity in Canada,” Canadian Review of
Sociology/Revue Canadienne de Sociologie 7, no. 2 (1970): 110–27.

5
membiarkan seseorang bertumbuh berdasrkan pembawaannya.” Seseorang
akan berkembang berdasarkan apa yang dibawannya dari lahir. Hasil akhir
dari pertumbuhan dan perkembangan serta pendidikan manusia atau
seseorang di tentukan oleh pembawaan dari lahir, dan pembawaan itu ada
yang baik dan adapula yang buruk. Maka dari itu manusia akan berkembang
dengan pembawaan baik atau pembawaan yang buruk, yang di bawanya sejak
lahir.

Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya, sebab lingkungan


tidak akan aktif atau berdaya dalam mempengaruhi perkembangan. Serta
pendidikan juga tidak akan berpengaruh sama sekali terhadap perkembangan
seorang manusia, dan tidak akan adanya gunanya untuk perkembangan, idala
pernyataan atau kehidupan sehari-hari sering sekali di temukan anak yang
mirip dengan orang tuanya (secara fisik) dan anak juga mewarisi bakat-bakat
yang di miliki orangtuanya. Contoh orang tua yang menginginkan anaknya
menjadi seniman, ia berusaha mempersiapkan alat-alat dan bahan untuk
memahat dan melukis serta mendatangkan guru untuk mengajarkannya
melukis. Oleh karena itu pemikiran ini merupakan pemikiran pesimis didalam
pendidikan (pesimisme).

3. Naturalisme

Naturalisme aliran ini mempunyai kesamaan dengan teori nativisme


bahkan kadang-kadang di samakan. Padahal mempunya perbedan tersendiri
tau masing-masing. Ajaran dalam teori ini mengatakan bahwa anak sejak lahir
sudah memiliki pembawaan sendiri baik bakat minat, kemampuan, sifat,
tingkah laku atau watak dan lain-lain pembawaan akan berkembang sesuai
dengan lingkungan alami, maka pendidikan yang terakhir ini sangatlah
berpengar baik terhadap perkembangan anak.Pendidikan progresivisme
sangat memuliakan harkat dan martabat anak dalam pendidikan, anak
bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil. Anak adalah anak, yang sangat
berbeda dengan orang dewasa. Setiap anak memiliki individualitas tersendiri
begitupun alur pemikirannya serta keinginannya tersendiri, yang sangat jauh

6
berbeda dengan orang dewasa, demikian anak harus diperlukan berbeda dari
orang dewasa.

Naturalisme merupakan teori yang menerima “nature” (alam) sebagai


keseluruhan realitas. Istilah “nature” telah dipakai dalam filsafaat dengan
bermacam-macam arti, mulai dari dunia fisik yang dilihat oleh manusia,
sampai kepada sistem total dari fenomena ruang dan waktu. Natura adalah
dunia yang diungkapkan pada kami oleh sains alam istilah naturalisme
sebaliknya dari istilah supernaturalisme yang mengandung pandangan dua
listik terdapat alam adanya kekuatan yang ada (wujud) diatas atau diluar alam
(Harold H. Titus e.al. 1984).

Aliran ini sama dengan aliran nativisme. Naturalisme yang dipelopori


oleh Jean Jaquest Rousseau, berpendapat bahwa pada hakikatnya semua anak
manusia ialah baik pada waktu dilahirkan yaitu dari sejak tangan sang
pencipta.tetapi akhirnya rusak sewaktu ditangan manusia, oleh karena Jean
jaquest Rousseu menciptakan konsep pendidikan alam, artinya anak
hendaklah dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri menurut alamnya,
manusia banyak mencampurinya.

Pendidikan hendaklah dikembangkan aturan-aturan masyarakan yang


demokratis, sehingga kencendrungan alamiah anggota masyarakat dapat
mewujud, untuk menjaga agar pembawaan eseorng yang baik itu tidak di
rugikan. Anak tidak tidak boleh dianggap sebagai manusia keil, akan tetapi
dia mempunyai perkembangan yang perlu di kembangkan secara
alamiah.pendidikan hendaklah dimulai dengan mengetahui perkembangan
anak.

Kalimat dasar sebagai pandangan hidupnya terdapat pada kalimat


pertama dalam bukunya itu, yaitu “semua adalah baik dari tangan tangan
pencipta, semua menjadi buruk ditangan manusia”. Kodrat atau alam manusia
adalah baik; masyarakat adalah buruk; dan untuk memperbaiki kesusilaan ,
kebiasaan dalam masyarakat orang wajib kembali ke alam atau kodrat.

7
Hukum Alam memiliki ciri sebagai berikut:

1. Segalanya berkembang dari alam


2. Perkembangan alam serba teratur, tidak meloncat-loncat melainkan terjadi
secara bertahap
3. Alam, berkembangan tidak tergesa-gesa melainkan menunggu waktu yang
tepat, sambil mengadakan persiapan

4. Konvergensi

Faktor pembawaan dan faktor lingkungan sama-sama mempunyai


peranan yang sangatlah penting, keduanya tidak dapat dipisahkan sebagai
mana sama halnya dengan teori nativisme teori ini juga mengakui bahwa
pembawaan yang dibawa anak sejak lahir juga meliputi pembawaan dan juga
pembawaan buruk. Pembawaan anak yang di bawa pada waktus ejak lahir
tidak akan bisa berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan
yang sesuai dengan pembawaan tersebut.

Aliran ini dikemukakan oleh williamstern ( 1871-1939), seorang ahli


pendidikan bangsa jerman yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan
didunia sudah disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Penganut
aliran ini berpendapat bahwa dalam proses perkembangan anak, baik faktor
pembawaan maupun faktor lingkungan sama-sama mempunyai peranaan
penting. Kemampuan yang dibawa pada waktu lahir akan berkembang
dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai dengan bakat.
Sebaliknya lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan
anak yang optimal kalau memang dalam dirinya tidak terdapat
kemampuannya. Sebagai contoh hakikat kemampuan anak manusia berbahasa
dengan kata-kata hasil dari konferhensi, stern berpendapat, hasil pendidikan
itu tergantung dari pembawaan dan lingkungan, di ibaratkan ada dua garis
yang menuju ke satu titik pertemuan sebagai berikut :

 Pembawaan

8
 Lingkungan
 Hasil pendidikan

Menurut teori konvergensi pendidikan berdasarkan :

a. Pendidikan mungkin untuk dilaksanakan


b. Pendidikan disebut sebagai pertolongan kepada lingkungan anak-anak
didik untuk mengembangan potensi yang baik dan mencegah
berkembangnya potensi yang kurang baik
c. Yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan

Memahami tumbuh dan kembang manusia. Adapun variasi pendapat


tentang faktor yang menentukan tumbuh dan kembang. Pada strategi yang
paham tentang tingkah laku atau sikap manusia, model mengajar dan gagasan
belajar mengajar. Dari beberapa uraian diatas, yang cocok dapat dierima
sesuai dengan kenyataan adalah teori konvergensi, yang tidak
mengekstrimkan faktor pembawaan.

C. Konsep Islam Tentang Teori/ Aliran Pendidikan.

Meminjam analisis Jawwad Ridha5, setidaknya ada tiga aliran


utama dalam pemikiran filosofis pendidikan Islam, yaitu: (1) aliran
Religius- Konservatif, (2) aliran Religius-Rasional, dan (3) aliran
Pragmatis- Instrumental. Dari tiga aliran Jawwad Ridla yang memiliki
kesesuaian dengan konsep pendidikan Islam, salah satunya adalah aliran
agamis- konservatif (al-Muhafidz), karena aliran ini dalam bergumul
dengan persoalan pendidikan cenderung bersikap mumi keagamaan. 6
Penjabaran tentang ketiga aliran tersebut dapat dilihat berikut ini.

5
Muhammad Jawwad Ridha, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam (Persfektif
Sosiologis-Filosofis), terj. Mahmud Arif dari judul “al-Fikr al-Tarbawi al-Islamiyyu Muqaddimat
fi Ushulih al-Ijtima‟iyati al-Aqlamiyyat”, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002), hlm. 74.
6
Subaidi, Konsep Pendidikan Islam dengan Paradigma Humanis, (Jurnal Tarbawi Vol. II. No. 2.
Juli - Desember 2014), hal.

9
a. Religius-Konservatif (al-Muhafidz)
Aliran ini cenderung bersikap murni keagamaan. Para ulama yang
termasuk dalam kategori aliran pemikiran pendidikan ini adalah Al-Ghazali,
Zarnuji, Nasiruddin al-Thusi, Ibnu Jama‟ah, Sahnun, Ibnu Hajar al-
Haitami, dan Abdul Hasan Ali bin Muhammad bin Khalaf (Al-Qabisi).

Menurut aliran konservatif, ilmu dapat dibagi menjadi sebagai berikut.


Pertama, ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu, yaitu ilmu
tentang tata cara melakukan kewajiban yang sudah tiba saatnya dan ilmu-
ilmu tentang kewajiban-kewajiban agama (Ulum al-Fara‟id al-Diniyah).
Kedua, ilmu yang wajib kifayah untuk dipelajari, yaitu ilmu yang
dibutuhkan demi tegaknya urusan kehidupan dunia, misalnya: ilmu
kedokteran yang sangat krusial bagi pemeliharaan kesehatan badan, dan
ilmu hitung.7

Kalau kita perhatikan, maka pemikiran aliran konservatif mengarah


pada konsep hierarki nilai yang menstrukturkan ragam jenis ilmu secara
vertikal sesuai dengan penilaian mereka tentang keutamaan masing- masing
ilmu. Tokoh utama dalam aliran ini adalah al-Ghazali.

Konservatif (al-Muhafidz) umumnya didefinisikan sebagai kolot;


bersikap mempertahankan keadaan, kebiasaan, dan tradisi yang telah berlaku.
Istilah itulah yang disematkan oleh Muhammad Jawwad Ridha untuk
menggambarkan pemikiran al-Ghazali, Nasiruddin alThusi, Ibnu Jama’ah,
Ibnu Sahnun, Ibnu Hajar al-Haitami, dan al-Qabisi. 8 Dalam pemikiran
pendidikan Islam, aliran konservatif dibedakan dari aliran rasional-religius,
yang menempatkan akal diposisi istimewa dalam pergulatan ilmu
pengetahuan dan aliran pragmatis-instrumental yang lebih realistis dalam
merespon tantangan zaman, sehingga kesan negatif yang muncul, tatkala
mendengar istilah konservatif (kolot), yang secara langsung juga menunjuk
pada pribadi dan pemikiran tokoh-tokoh yang telah disebut.
7
Pendapat ini secara detail bisa ditelusuri dalam Al-Ghazali, Ihya‟ Ulumuddin.
8
Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam (Yogyakarta: PT Tiara
Wacana, 2002), hal.75

10
Citra negatif tersebut semakin menguat dengan adanya pandangan umum
bahwa kemenangan madzab tradisionalis (sunni) atas mu’tazilah sebagai
madzhab negara,pada masa pemerintahan khalifah al-Mutawakkil dinasti
Abbasiyah, sebagai penyebab awal kemunduran peradaban Islam.9 Lembaga-
lembaga pendidikan cenderung hanya mengajarkan ilmu- ilmu yang bersifat
tafaqquh fiddin, sedangkan ilmu-ilmu di luar itu (ilmu sosial dan ilmu alam)
tidak pernah diperhatikan bahkan dibuang dari kurikulum madrasah.10

Tujuan pendidikan merupakan konsepsi yang lahir dari refleksi


kepercayaan falsafahnya. Dari bagaimana al-Ghazali memandang hakikat
semesta, hakikat Tuhan, hakikat manusia, hakikat pendidikan, tentang sumber
pengetahuan dan validitasnya, tentang nilai, etika dan estetikanya. Juga
dipengaruhi oleh konteks historisnya, di mana dan di saat al-Ghazali hidup.
Baik faktor politik, soaial, ekonomi dan sebagainya. Dari refleksi mendalam
terhadap berbagai faktor itulah, lahir tujuan pendidikan yang bagi al-Ghazali,
segala aktifitas pendidikan memiliki tujuan akhir, mencapai kesempurnaan
manusia yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah dan
kesempurnaan manusia yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Menurutnya, setiap manusia pasti mendambakan kebahagiaan dunia dan
akhirat, oleh karena itu, kebahagiaan tersebut hanya dapat tercapai melalui
ilmu dan amal.11

Memang benar bahwa al-Ghazali merupakan seorang ulama mazhab


yang bisa dibilang sangat militan terhadap tradisi intelektual mazhab
tradisionalisnya (sunni), maka jika pelabelan konservatif (kolot) didasarkan
pada bagaimana pandangan dunia al-Ghazali yang teramat religius
tradisionalis dinilai kurang responsif terhadap perkembangan zaman.

Argumentasi ini bisa dipertimbangkan jika melihat bagaimana dinamika


pemikiran al-Ghazali dalam proses pencarian kebenaran. Dan dalam setting

9
George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam (Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi, 2005), h. 25-40.
10
Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam Islam, ter. Afandi, Hasan Asari (Jakarta:
Logos Publishing House, 1994), hal. 8-9
11
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, hal.43

11
sosial yang bagaimana al-Ghazali hidup dan melahirkan karya-karyanya. Al-
Ghazali telah menghabiskan banyak waktu untuk menyelidiki pengetahuan
dan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan itu. Ia membahas nilai
sekaligus bagaimana intelek memainkan peran dalam perolehan pengetahuan,
dan bagaimana manusia bisa memperoleh pengetahuan, bahkan untuk
memuliakan akal,ia menggunakan analogi tubuh menjadi seperti kerajaan, di
mana hati dan pikiran adalah raja dan bagian lain dari tubuh adalah hamba
raja,12 maka jika tuduhan konservatif dibedakan dari aliran rasional-religius
yang memposisikan akal pada posisi yang istimewa, al-Ghazali pun juga
demikian, hanya saja antara akal dan hati (irfan) harus selaras. Al-Ghazali
menegaskan bahwa mereka yang tidak tahu kebenaran akan tinggal di
kegelapan dan kesalahan. Dalam teori pengetahuan, al-Ghazali ingin
memberitahu, bahwa guru perlu menyadari semua proses untuk mengetahui
(peran kecerdasan, cara untuk mengetahui, proses pembelajaran untuk
belajar) hubungan mereka dengan murid dalam pendidikan. 13 Imam al-
Ghazali memandang pendidikan sebagai sarana atau media untuk
mendekatkan diri (taqarrub) kepada Sang Pencipta (Allah), dan untuk
mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak yang lebih utama dan
abadi.14

b. Religius Rasional (al-Diniy al-‘Aqlaniy)


Menurut Ridla, aliran ini tidak jauh berbeda dengan aliran pemikiran
tradisionalis-tekstualis (Naqliyyun) – nama lain dari Konservatif – dalam
hal relasi pendidikan dengan tujuan agama. Aliran pemikiran pendidikan
ini mengakui bahwa semua ilmu dan sastra yang tidak mengantarkan
pemiliknya menuju kehidupan akhirat, dan tidak memberikan makna

12
Latefah Alkanderi, “Exploring Education In Islam: Al-Ghazali’s Model of the Master-
Pupil Relationshipapplied to Educational Relationships Within the Islamic Family” (2001), h. 93-
97.
13
Eko Sumadi, Konservatisme Pendidikan Islam, (At-Tajdid: Vol. 02 No.02 Juli – Desember
2018), hal. 210
14
Moch. Yasyakur, Konsep Ilmu (Keislaman) Al-Ghozali dalam Perkembangan Pendidikan Islam
Masa Kini, (Edukasi Islami Jurnal Pendidikan Islam Vol. 03, Juli 2014), hal. 621

12
sebagai bekal di sana, maka ilmu demikian hanya akan menjadi bomerang
bagi si pemilik tadi kelak di akhirat.

Namun, aliran ini mempunyai perbedaan dengan yang pertama pada


saat membahas persoalan pendidikan, karena cenderung bersikap
rasionalis-filosofis. Kecenderungan ini menjadi jalan masuk bagi
pemerhati yang ingin mengkajistrategi atau program pendidikannya.
Kecenderungan rasionalis-filosofis secara eksplisit terugkap dalam
rumusan mereka tentang ilmu dan belajar yang jauh berbeda dengan
rumusan aliran tradisionalis-tekstualis.

Aliran Religius-Rasional banyak membangun konsep-konsepnya dari


pemikiran filsafat Yunani dan berusaha menyelaraskan pemikiran filsafat
Yunani dengan pandangan-pandangan dasar dari orientasi keagamaan
yang dipedomaninya.

Pendidikan Islam dalam pendekatan religius-rasional mempunyai


maksud bahwa pendidikan tidak hanya menggarap hal-hal yang berisfat
rasional-empirik namun juga sebagai proses pendidikan yang meyakini akan
adanya suatu yang bersifat transendental. Hal ini sama dengan apa yang
diungkapkan oleh Ikhwan al-Shafa, bahwa pendekatan religius-rasional
dalam pendidikan Islam diartikan sebagai pendidikan Islam yang bisa
mengantarkan manusia menuju concern terhadap akhirat, dengan
menggunakan analisis rasional filosofi yang mengaktualisasikan potensi-
potensi yang dimiliki manusia atau individu, sehingga esensi pendidikan
adalah transformasi ragam potensi menjadi kemampuan aktual.15 Artinya,
pendekatan religius-rasional dalam pendidikan Islam adalah sebuah
perpaduan pandangan antara keyakinan terhadap sesuatu yang transendental
dan keyakinan rasional objektif yang mana puncaknya adalah garapan
pendidikan Islam berupa ranah ukhrawi dan duniawi dalam konteks
ontologis, epistemologis maupun aksiologisnya.

15
Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, hal. 78

13
Dengan kata lain pendidikan Islam dalam pendekatan religius-rasional
adalah pendidikan yang menyatukan antara jasmani dan rohani sebagai
sebuah proses pembinaan dan bimbingan yang dijalankan berdasarkan al-
Qur’an dan as-Sunnah untuk mengembangkan potensi yang ada pada peserta
didik dengan memadukan dzikir, fikir, amal shaleh hingga terbentuk manusia
insan kamil, yaitu manusia yang cerdas intelektual, emosional-moral, dan
religius-spiritual. Pendidikan seperti ini perlu, karena dalam fakta sejarah
menunjukkan peradaban Islam yang demikian dahsyat terjadi ketika agama
ini memposisikan pendidikan Islam dengan sangat percaya diri bersikap
terbuka terhadap sains dan filsafat serta membiarkan para pemikirnya
mencerna warisan para cendikiawan terdahulu hingga mampu melakukan
eksplorasi berbagai gagasan baru tanpa merasa takut sedikit pun keimanan
mereka terancam, karena semangat tauhid lah yang menjadi motifnya.16

Secara universal epistemologi pendidikan Islam dalam pendektan


religius-rasional mempunyai tiga epistemologi yang saling melengkapi, yaitu
pertama wahyu bisa berbentuk teks (alQur’an dan hadis) dan intuisi (Ilham),
epistemologi yang pertama ini dalam kesarjanaan muslim tidak ada
perdebatan. Kedua indra atau sesuatu yang empirik.

Ketiga akal rasio, pun sama dengan penggunaan indra, akal juga
menempati posisi yang istimewa dalam Islam, banyak firman Tuhan yang
menyinggung pentingnya penggunaan akal, Tuhan menyuruh manusia untuk
memakai akalnya dan bahkan mencela bagi yang tidak menggunakannya
seperti firman Tuhan: dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang
berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon kurma
yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama.
Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain
tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rad: 4).

16
Nur Sahed, Eko Sumadi Suheri dan Sahputra Rangkuti, Pendekatan Rasional-Religius
dalam Pendidikan Islam (Kajian Terhadap Falsafah Dasar Iqra’), Tarbawiyah: Jurnal Ilmiah
Pendidikan: Volume 02; Nomor 01, Juni 2018, hal. 60

14
Oleh sebab itu, akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan, akal
memainkan peran penting bukan dalam bidang kebudayaan atau peradaban
saja, tetapi juga dalam bidang agama. Dalam membahas masalah-masalah
keagamaan, fakta sejarah menunjukkan banyak ulama Islam tidak semata-
mata berpegang pada wahyu, tetap juga bergantung pada akal. Bisa dilihat
dalam pembahasan-pembahasan bidang fiqh, teologi dan filsafat.17

Dilihat dari itu semua, maka bisa diambil benang merah bahwa
epistemologi pendidikan Islam dalam pendekatan religius-rasional adalah
bersandar pada kekuatan spiritual, pendidikan Islam dibangun berdasarkan
kesadaran spiritual yang bersumber dari tuhan yang berupa wahyu, serta
rasional-empiris menjadi kesadaran ilmiah dalam membangun pendidikan
Islam. Artinya pendekatan religius rasional mempunyai epistemologi
pendidikan Islam yang berciri khas pemaduan antara empirik rasional dan
wahyu.

c. Pragmatis Instrumental (al-Dzarai’iy)


Tokoh utama aliran ini adalah Ibnu Khaldun. Pemikiran Ibnu Khaldun
lebih banyak bersifat pragmatis dan lebih berorientasi pada dataran
aplikatif-praktis18 Dia mengklasifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan
tujuan fungsionalnya, bukan berdasar nilai substansialnya semata.

Aliran Pragmatis yang digulirkan Ibnu Khaldun merupakan wacana


baru dalam pemikiran pendidikan Islam. Apabila kalangan Konservatif
mempersempit ruang lingkup sekuler di hadapan rasionalitas Islam dan
mengaitkannya secara kaku dengan pemikiran atau warisan salaf,
sedangkan kalangan Rasionalis dalam sistem pendidikan (program
kurikuler) berpikiran idealistik sehingga memasukkan semua disiplin
keilmuan yang dianggap substantif bernilai, maka Ibnu Khaldun
mengakomodir ragam jenis keilmuan yang nyata terkait dengan kebutuhan

17
Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI press, 1986), hal. 71
18
Pragmatis dan Pragmatisme. Kata yang pertama berarti inti pragmati dan
menentukan nilai pengetahuan berdasarkan kegunaan praktisnya. Lihat, Lorens Bagus, Kamus
Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 877.

15
langsung manusia, baik berupa kebutuhan spiritual-ruhaniah maupun
kebutuhan material-jasmaniah.

Hakikat pendidikan menurut pragmatisme adalah menyiapkan anak


didik dengan membekali seperangkat keahlian dan keterampilan teknis
agar mampu hidup di dunia yang selalu berubah. Konsep pendidikan
Dewey yang berlandaskan pragmatisme, menilai suatu pengetahuan
berdasarkan guna pengetahuan dalam masyarakat. Yang diajarkan adalah
pengetahuan yang segera dapat dipakai dalam penghidupan masyarakat
sehari-hari. Seperti yang diketetahui bahwa pragmatisme merupakan
paham yang memberlakukan hal secara praktis. Pragmatisme memandang
bahwa pendidikan yang diselenggarakan berpusat pada peserta didik dan
diupayakan agar sesuai dengan minat serta kebutuhan-kebutuhannya agar
mampu mengatasi persoalan hidup secara praktis. 19

19
Galuh Nashrullah Kartika Mayangsari R, Aliran Pragmatisme dalam Pandangan Filssafat
Pendidikan Islam, (HARATI, Volume 07 Nomor 13 Januari-Juni 2016), hal. 14

16
Bab III

Kesimpulan

Pemahan terhadap berbagai aliran pendidikan memiliki arti yang sangatlah


penting, ketika seorang pendidik hendak menangkap dari setiap dinamika
perkembangan pemikiran tentang pendidikan yang tengah terjadi bagaimanpun
juga aliran-aliran pendidikan pada dasar nya merupakan gagasan dari para pemikir
berpengaruh secara luas pada zamannya, sehingga tidak akan bisa terabaikan.

17
Daftar pustaka

Adriansyah, Roni, H Syahroni Ma’shum, and Hinggil Permana. “Analisis Aliran-


Aliran Pemikiran Dalam Pendidikan Islam.” Al-I’tibar: Jurnal Pendidikan
Islam 9, no. 1 (2022): 29–34.

Blishen, Bernard R. “Social Class and Opportunity in Canada.” Canadian Review


of Sociology/Revue Canadienne de Sociologie 7, no. 2 (1970): 110–27.

Fahrizal, Muhammad Ari. “Teori-Teori Pendidikan Dalam Aliran Klasik,” 2020.

Puspitasari, Ratna. “Kontribusi Empirisme Terhadap Pendidikan Ilmu


Pengetahuan Sosial.” Edueksos: Jurnal Pendidikan Sosial Dan Ekonomi 1,
no. 1 (2016).

Galuh Nashrullah Kartika Mayangsari R, Aliran Pragmatisme dalam Pandangan


Filssafat Pendidikan Islam, (HARATI, Volume 07 Nomor 13 Januari-Juni
2016)

Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI press, 1986)

John Dewey, Democracy and Education, New York: The Free Press, 1996.

Lisnawati, Konsep Ideal Pendidikan Islam menurut Pandangan Ibnu Khaldun


dan Hubungannya dalam Konteks Pendidikan Modern, (Jurnal Al-
Muta’aliyah STAI Darul Kamal NW Kembang kerang, Volume I No 1
Tahun 2017).

Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2000)

Makdisi, George A. Cita Humanisme Islam. terj. A. Syamsu Rizal dan Nur
Hidayah. Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi, 2005.

18
Moch. Yasyakur, Konsep Ilmu (Keislaman) Al-Ghozali dalam Perkembangan
Pendidikan Islam Masa Kini, (Edukasi Islami Jurnal Pendidikan Islam Vol.
03, Juli 2014)

Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000.

Nur Sahed, Eko Sumadi Suheri dan Sahputra Rangkuti, Pendekatan Rasional-
Religius dalam Pendidikan Islam (Kajian Terhadap Falsafah Dasar
Iqra’), Tarbawiyah: Jurnal Ilmiah Pendidikan: Volume 02; Nomor 01, Juni
2018

Ridla, Muhammad Jawwad, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam


(Persfektif Sosiologis-Filosofis), terj. Mahmud Arif dari judul “al-Fikr
al-Tarbawi al-Islamiyyu Muqaddimat fi Ushulih al-Ijtima‟iyati al-
Aqlamiyyat”, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002).

Rupert C. Lodge, Philosophy of Education, Hareh & Brothers, New York, 1997.

Stanton, Charles Michael. Pendidikan Tinggi Dalam Islam. ter. Afandi, Hasan
Asari. Jakarta: Logos Publishing House, 1994.

Subaidi, Konsep Pendidikan Islam dengan Paradigma Humanis, (Jurnal Tarbawi


Vol. II. No. 2. Juli - Desember 2014)

19

Anda mungkin juga menyukai