Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM DALAM


PENINGKATAN SUMBER DAYA MANUSIA

disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Dosen Pengampu :

Dr. Nur Iftitahul Husniyah, M.Pd.I

Oleh :

Nurul Bilqis
Moh. Adib Muzakki
Muktinin

Progam pascasarjana pendidikan Agama Islam


Fakultas Agama Islam
Universitas Lamongan 2022/2023

1
A. PENDAHULUAN

Suatu usaha untuk mengatasi persoalan-persoalan pendidikan tanpa menggunakan kearifan

(wisdom) dan kekuatan filsafat ibarat sesuatu yang sudah ditakdirkan untuk gagal. Persoalan

pendidikan adalah persoalan filsafat. Pendidikan dan filsafat tidak terpisahkan karena akhir

dari pendidikan adalah akhir dari filsafat, yaitu kearifan (wisdom). Dan alat dari filsafat

adalah alat dari pendidikan, yaitu pencarian (inquiry), yang akan mengantar seseorang pada

kearifan.

Untuk mencerdaskan dan memajukan kehidupan suatu bangsa dan negara sesuai tujuan

pendidikan yang telah ditetapkan maka diadakan suatu proses pendidikan atau suatu proses

belajar yang akan memberikan pengertian, pandangan, dan penyesuaian bagi seseorang atau

si terdidik ke arah kedewasaan dan kematangan. Dengan proses ini, maka akan berpengaruh

terhadap perkembangan jiwa seorang anak didik atau peserta dan atau subjek didik ke arah

yang lebih dinamis baik kearah bakat atau pengalaman, moral, intelektual maupun fisik

(jasmani) menuju kedewasaan dan kematangan tadi. Tujuan akhir pendidikan akan terwujud

guna menumbuhkan dan mengembangkan semua potensi si terdidik secara teratur, apabila

prakondisi alamiah dan sosial manusia memungkinkan, seperti: iklim, makanan, kesehatan,

keamanan dan lain sebagainya yang relatif sesuai dengan kebutuhan manusia.

2
B. ALIRAN – ALIRAN FILSAFAT DALAM PENDIDIKAN MODERN
Pendidikan merupakan aspek terpenting dalam membangun karakter manusia. Namun, dalam

perkembangannya, pendidikan sering dianggap tidak penting bahkan dianggap tidak

diperlukan. Akan tetapi, pendidikan pada waktunya menempati posisi penting dalam

kehidupan. Saat manusia sadar, bahwa pendidikan merupakan aspek luar yang membangun

keterampilan dan kemampuan manusia lain. Fase-fase tersebut dapat terlihat dari teori-teori

pendidikan yang muncul, mulai dari teori empirisme, nativisme, naturalisme, dan

konvergensi. Masing-masing teori menyampaikan kelebihan dan kekurangan pendidikan

serta bagaimana peran pendidikan dalam kehidupan masyarakat. Perkembangan tersebut,

penting untuk dipelajari dan dihikmahi, mengingat semua teori tersebut pada hakikatnya

mendasari konsep-konsep pendidikan saat ini.

1. Aliran Empirisme

Aliran empirisme, bertentangan dengan paham aliran nativisme. Empirisme


(empiri = pengalaman), tidak mengakui adanya pembawaan atau potensi yang dibawa
lahir manusia. Dengan kata lain bahwa manusia itu lahir dalam keadaan suci, tidak
membawa apa-apa. Karena itu, aliran ini berpandangan bahwa hasil belajar peserta
didik besar pengaruhnya pada faktor lingkungan. Dalam teori belajar mengajar, maka
aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulasi
eksternal dalam perkembangan peserta didik. Pengalaman belajar yang diperoleh anak
dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya berupa stimulan-stimulan.
Stimulasi ini berasal dari alam bebas atau pun diciptakan oleh orang dewasa dalam
bentuk program pendidikan. Tokoh perintis aliran empirisme adalah seorang filosof
Inggris bernama John Locke (1704-1932) yang mengembangkan teori “Tabula Rasa”,
yakni anak lahir di dunia bagaikan kertas putih yang bersih. Pengalaman empirik yang
diperoleh dari lingkungan akan berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan
anak. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam aliran empirisme seorang
pendidik memegang peranan penting terhadap keberhasilan peserta didiknya. Menurut
Redja Mudyahardjo bahwa aliran nativisme ini berpandangan behavioral, karena
menjadikan perilaku manusia yang tampak keluar sebagai sasaran kajiannya, dengan
tetap menekankan bahwa perilaku itu terutama sebagai hasil belajar semata-mata.

3
Dengan demikian dapat dipahami bahwa keberhasilan belajar peserta didik menurut
aliran empirisme ini, adalah lingkungan sekitarnya. Keberhasilan ini disebabkan oleh
adanya kemampuan dari pihak pendidik dalam mengajar mereka. Ketika aliran-aliran
pendidikan, yakni nativisme, dan empirisme dan dikaitkan dengan teori belajar

mengajar kelihatan bahwa kedua aliran yang telah disebutkan (nativisme-empirisme)


mempunyai kelemahan. Adapun kelemahan yang dimaksudkan adalah sifatnya yang
ekslusif dengan cirinya ekstrim berat sebelah. Keberhasilan teori belajar mengajar jika
dikaitkan dengan aliran-aliran dalam pendidikan, diketahui beberapa rumusan yang
berbeda antara aliran yang satu dengan aliran lainnya. Menurut aliran nativisme
bahwa seorang peserta tidak dapat dipengaruhi oleh lingkungan, sedangkan menurut
aliran empirisme bahwa justru lingkungan yang mempengaruhi peserta didik tersebut.

4
2. Nativisme dan Naturalisme
Nativisme berasal dari kata Nativus yang berarti kelahiran. Tokoh aliran ini
adalah Arthur Schopenhauer (1788-1860) seorang filosof jerman, yang berpendapat
bahwa hasil pendidikan dan perkembangan manusia itu ditentukan oleh pembawaan
yang diperolehnya sejak anak itu dilahirkan. Anak dilahirkan kedunia sudah
mempunyai pembawaan dari orang tua maupun disekelilingnya, dan pembawaan
itulah yang menentukan perkembangan dan hasil pendidikan. Lingkungan, termaksud
tidak upaya tidak mempengaruhi perkembangan anak didik. Apabila seorang anak
berbakat jahat, maka ia akan menjadi jahat, begitu pula sebaliknya. Karena dalam
aliran ini dikenal dengan istilah pessimisme paedagogis, karena sangat pesimis
terhadap upaya-upaya dan hasil pendidikan. Natur artinya alam, atau apa yang dibawa
sejak lahir. Aliran ini sama dengan aliran nativisme. Naturalisme yang dipelopori oleh
Jean Jaquest Rousseau, bependapat bahwa pada hakekatnya semua anak manusia
adalah baik pada waktu dilahirkan yaitu dari sejak tangan sang pencipta. Tetapi
akhirnya rusak sewaktu berada ditangan manusia, oleh karena Jean Jaquest Rousseau
menciptakan konsep pendidikan alam, artinya anak hendaklah dibiarkan tumbuh dan
berkembang sendiri menurut alamnya, manusia jangan banyak mencampurinya.
Jean Jaquest Rousseau juga berpendapat bahwa jika anak melakukan
pelanggaran terhadap norma-norma, hendaklah orang tua atau pendidik tidak perlu
untuk memberikan hukuman, biarlah alam yang menghukumnya. Jika seorang anak
bermain pisau, atau bermain api kemudian terbakar atau tersayat tangannya, atau
bermain air kemudian ia gatal-gatal atau masuk angin. Ini adalah bentuk hukuman
alam. Biarlah anak itu merasakan sendiri akibatnya yang sewajarnya dari
perbuatannya itu yang nantinya menjadi insaf dengan sendirinya.

5
3. Teori Konvergensi
Konvergensi dipelopori oleh William Stern. Gagasan Stern mengenai konvergensi ini
didasari pada dua teori sebelumnya, yakni nativisme dan empirisme. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa konvergensi merupakan gabungan antara kedua teori tersebut.
Hal ini dapat ditilik dalam teori konvergensi yang menyatakan bahwa pertumbuhan
dan perkembangan manusia itu bergantung pada faktor bakat/pembawaan dan faktor
lingkungan, pengalaman/pendidikan (Ahmadi dan Uhbiyati, 1991: 294). Jika
diidentifikasi teori tersebut, maka jelas bahwa unsur nativisme dan empirisme
membangun kedua teori itu. Hal itu tercermin pada, faktor bakat yang merupakan
gagasan teori nativisme, sedangkan faktor lingkungan yang merupakan gagasan
empirismi. Penganut aliran ini berpendapat bahwa dalam proses perkembangan anak,
baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama-sama mempunyai peran yang
sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu anak tersebut dilahirkan tidak akan
berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang baik sesuai dengan
perkembangan bakat anak itu. Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak akan
menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau memang pada diri anak itu
tidak terdapat bakat yang diperlukan untuk dikembangkannya. Sebagai ilustrasi, anak
dalam tahun pertama mempelajari bahasa bukan karena dorongan dan bakat.
Melainkan karena meniru suara ibunya dan orang-orang di sekitarnya. Namun, tanpa
ada bakat dan dorongan, tentu saja hal itu tidak dimungkinkan. Sehingga kedua aspek
ini sama pentingnya. Sebagai gambaran lain, seorang yang memiliki bakat bermain
musik, namun karena lingkungan tidak mengkondisikan orang tersebut, maka ia pun
tidak akan menjadi pemusik hebat. Ada tiga teori konvergensi yang terkenal yang
disampaikan oleh Stern, yakni:
a. Pendidikan mungkin dilaksanakan.
b. Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan kepada anak
didik untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah berkembangnya
potensi yang kurang baik.
c. Yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan

Pandangan konvergensi ini tentu saja memberi arah yang jelas mengenai
pentingnya pendidikan. Bahwa, pendidikan harus dilakukan agar potensi anak dapat
ditingkatkan. Sehingga bakat yang ada semakin terasah, sementara kompetensi lain
pun ikut diasah.

6
C. PEMIKIRAN FILOSOFIS TENTANG PENDIDIKAN MANUSIA
Hampir semua aliran filsafat membicarakan masalah pendidikan dan memikirkan teori-teori
untuk melaksanakan pendidikan menurut pendapat dan paham yang mereka anut dan yakini
dapat membentuk dan membina akal pikiran anak didik yang akan mendatangkan kemajuan
dan kebahagiaan mereka itu dibelakang hari. Tetapi sejak kurang lebih dua puluh lima abad
yang lalu, seorang bijaksana unggul yang agung dalam pemikirannya, yaitu Aristoteles
sendiri, telah memperingatkan bahwa:
“Orang tidak sama sekali setuju tentang hal-hal yang akan diajarkan, apakah kita
memandang kepada kebaikan atau kehidupan yang terbaik. Tidak ada kepastian apakan
pendidika itu leboh bersangkut paut dengan intelektualitas atau dengan kebajikan
moral. Praktek yang berjalan sekarang membingungkan, tidak ada seorang pun yang
tahu atas landasan prinsip apa kita akan maju. Apakah yang berguna dalam kehidupan,
kebajikan ataukan pengetahuan yang lebih tinggi, yang akan menjadi tujuan dari
pengajaran kita. Ketiga pendapat itu semuanya memikat perhatian orang. Lagi pula,
tentang cara-caranya tidak terdapat kesepakatan, karena bagi orang-orang yang
berlain-lainan, memulai dengan ide yang berbeda-beda sudah tentu tidak akan
bersesuaian dalam prakteknya”.

Jadi dengan demikian, Aristoteles dan orang-orang yang semasa dengannya, berpendapat
akan sukarlah untuk setuju dengan semacam pendidikan yang tetap, untuk anak didik karena
kondisi sosial di masa itu pun berada dalam keadaan perubahan yang cepat.

D. PENDIDIKAN DALAM ANALISIS FILSAFAT


Masalah pendidikan adalah merupakan masalah hidup dan kehidupan manusia. Proses
pendidikan berada dan berkembang bersama proses perkembangan hidup dan kehidupan
manusia, bahkan keduanya pada hakikatnya adalah proses yang satu.1
Pengertian yang luas dari pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh Lodge, yaitu
bahwa: “life is education, and education is life”, akan berarti bahwa seluruh proses hidup
dan kehidupan manusia itu adalah proses pendidikan segala pengalaman sepanjang hidupnya
merupakan dan memberikan pengaruh pendidikan baginya. Dalam artinya yang sepit,
pendidikan hanya mempunyai fungsi yang terbatas, yaitu memberikan dasar-dasar dan
pandangan hidup kepada generasi yang sedang tumbuh, yang dalam prakteknya identik
dengan pendidikan formal di sekolah dan dalam situasi dan kondisi serta lingkungan belajar
yang serba terkontrol.
Bagaimanapun luas sempitnya pengertian pendidikan, namun masalah pendidikan
adalah merupakan masalah yang berhubungan langsung dengan hidup dan kehidupan

7
manusia. Pendidikan merupakan usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan
kemanusiaanya, dalam membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan nilai-nilai serta
dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi mu, agar nantinya menjadi manusia yang sadar
dan bertanggung jawab akan tugas-tugasnya sebagai manusia, sesuai dengan sifat hakikat dan
ciri-ciri kemanusiannya dan pendidikan formal di sekolah hanya bagian kecil saja dari
padanya. Tetapi merupakan inti dan bisa lepas kaitannya dengan proses pendidikan secara
keseluruhannya.
Dengan pengertian pendidikan yang luas, berarti bahwa masalah kependidikan pun
mempunyai ruang lingkup yang luas pula, yang menyangkut seluruh aspek hidup dan
kehidupan manusia. Memang diantara permasalahan kependidikan tersebut terdapat masalah
pendidikan yang sederhana yang menyangkut praktek dan pelaksanaan sehari-hari, tetapi
banyak pula pula diantaranya yang menyangkut masalah yang bersifat mendasar dan
mendalam, sehingga memerlukan bantuan ilmu-ilmu lain dalam memecahkannya. Bahkan
pendidikan juga menghadapi persoalan-persoalan yang tidak mungkin terjawab dengan
menggunakan analisa ilmiah semata-mata, tetapi memerlukan analisa dan pemikiran yang
mendalam, yaitu analisa filsafat. Berikut ini akan dikemukakan beberapa masalah
kependidikan yang memerlukan analisa filsafat dalam memahami dan memecahkannya,
antara lain:
1. Masalah kependidikan pertama yang mendasar adalah tentang apakah hakikat
pendidikan itu. Mengapa pendidikan itu harus ada pada manusia dan merupakan
hakikat hidup manusia itu. Dan bagaimana hubungan antara pendidikan dengan
hidup dan kehidupan manusia. Apakah pendidikan itu berguna untuk membawa
kepribadian manusia, apakah potensi hereditas yang menentukan kepribadian
manusia itu, atau faktor-faktor yang berasal dari luar/lingkungan dan pendidikan.
Mengapa anak yang mempunyai potensi hereditas yang tidak baik, walaupun
mendapatkan pendidikan dan lingkungan yang baik, tetap tidak berkembang.
2. Apakah sebenarnya tujuan pendidikan itu. Apakah pendidikan itu untuk individu,
atau untuk kepentingan masayarakat. Apakah pendidikan dipusatkan untuk
membina kepribadian manusia ataukah untuk pembinaan masyarakat. Apakah
pembinaan manusia itu semata-mata unuk dan demi kehidupan riil dan materil di
dunia ini, ataukah untuk kehidupan kelak di akhirat yang kekal.

Masalah-masalah tersebut merupakan sebagian dari contoh-contoh problematika


pendidikan, yang dalam pemecahannya memerlukan usaha-usaha pemikiran yang mendalam

8
dan sistematis, atau analisa filsafat. Dalam memecahkan masalah-masalah tersebut, analisa
filsafat menggunakan berbagai macam pendekatan yang sesuai dengan permasalahannya.
Diantara pendekatan (approach) yang digunakan antara lain:
1. Pendekatan secara spekulatif, yang disebut juga sebagai cara pendekatan reflektif,
berarti memikirkan, mempertimbangkan, juga membayangkan dan
menggambarkan.
2. Pendekatan normatif, artinya nilai atau aturan dan ketentuan yang berlaku dan
dijunjung tinggi dalam hidup dan kehidupan manusia.
3. Pendekatan analisa konsep, artinya pengertian atau tangkapan seseorang terhadap
sesuatu objek. Setiap orang mempunyai pengertian atau tangkapan yang berbeda-
beda mengenai yang sama, tergantung pada perhatian, keahlian dan kecendrungan
masing-masing.
4. Analisa ilmiah terhadap realitas kehidupan sekarang yang aktual (scientific
analysis of current life) penedekatan ini sasarannya adalah masalah-masalah
kependidikan yang aktual, yang menjadi masalah masa kini, dengan menggunakan
metode ilmiah dapat didiskripsikan dan kemudian dipahami permasalan-
permasalahan yang hidup dan berkembang dalam masayrakat dan dalam proses
pendidikan serta aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan pendidikan.2

E. PERAN FILSAFAT DALAM PENDIDIKAN


Filsafat, dalam arti analisa filsafat adalah merupakan salah satu cara pendekatan yang
digunakan oleh para ahli pendidikan dalam memecahkan problematika pendidikan dan
menyusun teori-teori pendidikannya, di samping menggunakan metode ilmiah lainnya.
Filsafat juga berfungsi memberikan arah agar teori pendidikan yang telah dikembangkan oleh
para ahlinya, yang berdasarkan dan menurut pandangan dan aliran filsafat tertentu,
mempunyai relevansi dengan kehidupan dalam praktek kependidikan sesuai dengan
kenyataan dan kebutuhan hidup yang berkembang dalam masyarakat. Filsafat, termasuk juga
filsafat pendidikan, juga mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam
pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan atau pedagogik. Suatu praktek
kependidikan yang didasarkan dan diarahkan oleh suatu filsafat pendidikan tertentu, akan

9
menghasilkan dan menimbulkan bentuk-bentuk dan gejala-gejala kependidikan yang tertentu
pula.

F. PENDEKATAN FILOSOFI DALAM PEMECAHAN MASALAH PENDIDIKAN


Pendekatan filosofis adalah cara pandang atau paradigma yang bertujuan untuk menjelaskan
inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek formanya. Dengan
kata lain, pendekatan filosofis adalah upaya sadar yang dilakukan untuk menjelaskan apa
dibalik sesuatu yang nampak. Pendekatan filosofis untuk menjelaskan suatu masalah dapat
diterapkan dalam aspek-aspek kehidupan manusia, termasuk dalarn pendidikan. Filsafat tidak
hanya melahirkan pengetahuan baru, melainkan juga melahirkan filsafat pendidikan. Filsafat
pendidikan adalah filsafat terapan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang
dihadapi. John Dewey (1964) berpendapat bahwa filsafat merupakan teori umum tentang
pendidikan. Filsafat sebagai suatu sistem berpikir akan menjawab persoalan-persoalan
pendidikan yang bersifat filosofis dan memerlukan jawaban filosofis pula.
Filsafat pendidikan sebagai filsafat terapan, yaitu studi tentang penerapan asas-asas
pemikiran filsafat pada masalah-masalah pendidikan pada dasarnya mengenal dua
pendekatan yang polaritis, yaitu:
1. Pendekatan tradisional
2. Pendekatan progresif.

Pengertian masing-masing pendekatan dan variasi pendekatan daripadanya dan aliran-


aliran filsafat pendidikan dihasilkannya akan dijelaskan di bawah ini:
1. Pendekatan Tradisional
Pendekatan tradisional dalam filsafat pendidikan melandaskan diri pada asas-asas
sebagai berikut:
a. Bahwa dasar-dasar pendidikan adalah filsafat, sehingga untuk mempelajari
filsafat pendidikan haruslah memiliki pengetahuan dasar tentang filsafat.
b. Bahwa kenyataan yang esensial baik dan benar adalah kenyataan yang tetap,
kekal dan abadi.
c. Bahwa nilai norma yang benar adalah nilai yang absolut, universal dan
obyektif.
d. Bahwa tujuan yang baik dan benar menenukan alat dan sarana, artinya tujuan
yang baik harus dicapai dengan alat sarana yang baik pula.

10
e. Bahwa faktor pengembang sejarah atau sosial (science, technology, democracy
dan industry) adalah sarana alat untuk prosperity of life dan bukannya untuk
welfare of life sebagai tujuan hidup dan pendidikan sebagaimana yang
ditentukan oleh filsafat.
2. Pendekatan Progresif
Sebagai penghujung yang berbeda dari pendekatan di atas dan dari kontinuitas
aliran filsafat pendidikan adalah pendekatan progresif kontemporer dengan dasar-
dasar pemikiran sebagai berikut:
a. Bahwa dasar-dasar pendidikan adalah sosiologi, atau filsafat sosial humanisme
ilmiah, yang skeptis terhadap kenyataan yang bersifat metafisis transendental.
b. Bahwa kenyataan adalah perubahan, artinya kenyataan hidup yang esensial
adalah kenyataan yang selalu berubah dan berkembang.
c. Bahwa truth is man-made, artinya kebenaran dan kebajikan itu adalah kreasi
manusia, dengan sifatnya yang relatif temporer bahkan subyektif.
d. Bahwa tujuan dan dasar-dasar hidup dan pendidikan relatif ditentukan oleh
perkembangan tenaga pengembang sosial dan manusia, yang merupakan
sumber perkembangan sosial masyarakat.
e. Bahwa antara tujuan dan alat adalah bersifat berkelanjutan, bahwa tujuan
dapat menjadi alat untuk tujuan yang lebih lanjut sesuai dengan perkembangan
sosial masyarakat

G. HUBUNGAN FILSAFAT DAN TEORI PENDIDIKAN


Hubungan antara filsafat dan teori pendidikan sangatlah penting sebab ia menjadi dasar, arah
dan pedoman suatu sistem pendidikan. Filsafat pendidikan merupakan aktivitas pemikiran
teratur yang menjadikan filsafat sebagai medianya untuk menyusun proses pendidikan,
menyelaraskan dan mengharmoniskan serta menerangkan nilai-nilai dan tujuan yang ingin di
capai. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa tidak semua masalah kependidikan dapat
dipecahkan dengan menggunakan metode ilmiah semata-mata. Banyak diantara masalah-
masalah kependidikan tersebut yang merupakan pertanyaan-pertanyaan filosofis, analisa
filsafat terhadap masalah-masalah pendidikan tersebut, dengan berbagai cara pendekatannya,
akan dapat menghasilkan pendangan-pndangan tertentu mengenai masalah-maslah
kependidikan bisa tersebut. Dan atas dasar itu bisa disusun secara sistematis teori-teori
pendidikan. Disamping itu jawaban-jawaban yang telah dikemukakan oleh jenis dan aliran
filsafat tertentu sepanjang sejarah terhadap problematika kehidupan yang dihadapinya

11
menunjukkan pandangan-pandangan tertentu yang tentunya juga akan memperkaya teori-
teori pendidikan. Dengan demikian terdapat hubungan fungsional antara filsafat dan teori
pendidikan.
Hubungan fungsional antara filsafat dan teori pendidikan teori pendidikan dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Filsafat, dalam arti analisa filsafat adalah merupakan salah satu cara pendekatan yang
digunakan oleh para ahli pendidikan dalam memecahkan permasalahan pendidikan dan
menyusun teori-teori pendidikannya, di samping menggunakan metode-metode ilmiah
lainnya. Sementara itu dengan filsafat, sebagian pandangan tertentu terhadap sesuatu
obyek, misalnya filsafat idelisme, realisme, materialisme dan sebagainya, akan mewarnai
pula pandangan ahli pendidikan tersebut dalam teori-teori pendidikan yang
dikembangkannya. Aliran filsafat tertentu terhadap teori-teori pendidikan yang
dikembangkan atas dasar aliran filsafat tersebut. Dengan kata lain, teori-teori dan
pandangan-pandangan filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh fillosof, tentu
berdasarkan dan bercorak serta diwarnai oleh pandangan dan aliran filsafat yang
dianutnya.
2. Filsafat, juga berfungsi memberikan arah agar teori pendidikan yang telah dikembangkan
oleh para ahlinya, yang berdasarkan dan menurut pandangan dan aliran filsafat tertentu,
mempunyai relevansi dengan kehidupan nyata. Artinya mengarahkan agar teori-teori dan
pandangan filsafat pendidikan yang telah dikembangkan tersebut bisa diterapkan dalam
praktek kependidikan sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan hidup yang juga
berkembang dalam masyarakat. Di samping itu, adalah merupakan kenyataan bahwa
setiap masyarakat hidup dengan pandangan filsafat hidupnya sendiri-sendiri yang
berbeda antara satu dengan yang lainnya, dan dengan sendirinya akan menyangkut
kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Di sinilah letak fungsi filsafat dan filsafat pendidikan
dalam memilih dan mengarahkan teori-teori pendidikan dan kalau perlu juga merevisi
teori pendidikan tersebut, yang sesuai dan relevan dengan kebutuhan, tujuan dan
pandangan hidup dari masyarakat.
3. Filsafat, termasuk juga filsafat pendidikan, juga mempunyai fungsi untuk memberikan
petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan
atau paedagogik. Suatu praktek kependidikan yang didasarkan dan diarahkan oleh suatu
filsafat pendidikan tertentu, akan menghasilkan dan menimbulkan bentuk-bentuk dan
gejala-gejalan kependidikan yang tertentu pula. Hal ini adalah data-data kependidikan
yang ada dalam suatu masyarakat tertentu. Analisa filsafat berusaha untuk menganalisa

12
dan memberikan arti terhadap data-data kependidikan tersebut, dan untuk selanjutnya
menyimpulkan serta dapat disusun teori-teori pendidikan yang realistis dan selanjutnya
akan berkembanglah ilmu pendidikan (pedagogik).

Di samping hubungan fungsional tersebut, antara filsafat dan teori pendidikan, juga
memiliki hubungan yang bersifat suplementer, sebagai berikut:3
1. Kegiatan merumuskan dasar-dasar, dan tujuan-tujuan pendidikan, konsep tentang sifat
hakikat manusia, serta konsepsi hakikat dan segi-segi pendidikan serta isi moral
pendidikannya.
2. Kegiatan merumuskan sistem atau teori pendidikan (science of education) yang
meliputi politik pendidikan, kepemimpinan pendidikan atau organisasi pendidikan,
metodologi pendidikan dan pengajaran, termasuk pola-pola akulturasi dan peranan
pendidikan dalam pembangunan masyarakat dan Negara.

Definisi di atas merangkum dua cabang ilmu pendidikan yaitu, filsafat pendidikan dan
sistem atau teori pendidikan, dan hubungan antara keduanya adalah bahwa yang satu
“supplemen” terhadap yang lain dan keduanya diperlukan oleh setiap guru sebagai pendidik
dan bukan hanya sebagai pengajar di bidang studi tertentu”.

H. HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN PENDIDIKAN DAN PENTINGNYA BAGI


MANUSIA
1. Hubungan filsafat dengan pendidikan
Filsafat yang dijadikan pandangan hidup oleh suatu masyarakat atau bangsa
merupakan asas dan pedoman yang melandasi semua aspek hidup dan kehidupan
bangsa, termasuk aspek pendidikan. Filsafat pendidikan yang dikembangkan harus
berdasarkan filsafat yang dianut oleh satu bangsa. Sedangkan pendidikan merupakan
suatu cara atau mekanisme dalam menanamkan dan mewariskan nilai-nilai filsafat itu
sendiri. Pendidikan sebagai suatu lembaga yang berfungsi menanamkan dan
mewariskan sistem-sistem norma tingkah laku yang didasarkan pada dasar-dasar
filsafat yang dijunjung oleh lembaga pendidikan dan pendidik dalam suatu
masyarakat. Untuk menjamin upaya pendidikan dan proses tersebut efektif,

13
dibutuhkan landasan-landasan filosogis dan ilmiah sebagai asas normatif dan
pedoman pelaksanaan pembinaan.
Menurut Jhon Dewey, filsafat merupakan teori umum, sebagai landasan dari
semua pemikiran umum mengenai pendidikan. Dalam kaitan ini, Hasan Langgulumg
berpendapat bahwa filsafat pendidikan adalah penerapan metode dan pandangan
filsafat dalam bidang pengalaman manusia yang disebutkan pendidikan. Selanjutnya
Al-Syaibani secara teperinci menjelaskan bahwa filsafat pendidikan merupakan usaha
mencari konsep-konsep di antara gejala yang bermacam-macam, meliputi :
a. Proses pendidikan sebagai rancangan terpadu dan menyeluruh.
b. Menjelaskan berbagai makna yang mendasar tentang semua istilah pendidkan.
c. Pokok-pokok yang menjadi dasar dari konsep pendidikan dalam kaitannya
dengan bidang kehidupan manusia.

Hubungan antara filsafat dan filsafat pendidikan menjadi sangat penting


sekali, sebab ia menjadi dasar, arah, dan pedoman suatu sistem pendidikan. Filsafat
pendidikan adalah aktivitas pemikiran teratur yang menjadikan filsafat sebagai
medianya untuk menyusun proses pendidikan, menyelaraskan, mengharmoniskan dan
menerangkan nilai-nilai dan tujuan yang ingin dicapai. Jadi, terdapat kesatuan yang
utuh antara filsafat, filsafat pendidikan, dan pengalaman manusia.
Filsafat menetapkan ide-ide, idealisme, dan pendidikan merupakan usaha
dalam merealisasikan ide-ide tersebut menjadi kenyataan, tindakan, tingkah laku,
bahkan membina kepribadian manusia. Kilpatrik mengatakan, berfilsafat dan
mendidik adalah dua wajah dalam satu usaha; berfilsafat ialah memikirkan dan
mempertimbangkan nilai-nilai dan cita-cita yang lebih baik, sedangkan mendidik
ialah usaha mereliasasikan nilai-nilai dan cita-cita itu dalam kehidupan, dalam
kepribadian manusia. Mendidik ialah mewujudkan nilai-nilai yang dapat
disumbangkan filsafat, dimulai dengan generalisasi muda, untuk membimbing rakyat,
membina nilai-nilai dalam kepribadian mereka, demi menemukan cita-cita tertinggi
suatu filsafat dan melembagakannya dalam kehidupan mereka.
Lebih lanjut, Burner dan Bruns mengatakan secara tegas bahwa tujuan
pendidikan adalah tujuan filsafat yaitu untuk membimbing ke arah kebijaksanaan.
Oleh kerena itu, dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah reliasi dari ide-ide filsafat;
filsafat memberi asas kepastian bagi peranan pendidikan sebagai wadah pembinaan

14
manusia yang telah melahirkan ilmu pendidikan, lembaga pendidikan dan aktivitas
pendidikan jadi, filsafat pendidikan merupakan jiwa dan pedoman dasar pendidikan.
Dari uraian di atas, diperoleh hubungan fungsional antara filsafat dan teori
pendidikan berikut:
Filsafat, dalam arti filosofis, merupakan satu cara pendekatan yang dipakai
dalam memecahkan problematika pendidikan dan menyusun teori-teori pendidikan
oleh para ahli. Filsafat, berfungsi memberi arah bagi teori pendidikan yang telah ada
menurut aliran filsafat tertentu yang memiliki relevansi dengan kehidupan yang nyata.
Filsafat, dalam hal ini filsafat pendidikan, mempunyai fungsi untuk memberikan
petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu
pendidikan. Menurut Ali Saifillah, filsafat pendidikan, dan teori pendidikan terdapat
hubungan yang suplementer: filsafat pendidikan sebagai suatu dua fungsi tugas
normatif ilmiah yaitu: Kegiatan merumuskan dasar-dasar, tujuan-tujuan pendidikan,
konsep tentang hakikat manusia, serta konsepsi hakikat dan segi pendidikan.
Kegiatan merumuskan sistem atau teori pendidikan yang meliputi politik
pendidikan, kepemimpinan pendidikan, metodologi pendidikan dan pengajaran,
termasuk pola-pola akulturasi dan peranan pendidikan dalam pembangunan
masyarakat. Dari uraian di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa antara filsafat
pendidikan dan pendidikan terdapat suatu hubungan yang erat sekali dan tak
terpisahkan. Filsafat pendidikan mempunyai peranan yang amat penting dalam sistem
pendidikan karena filsafat merupakan pemberi arah dan pedoman dasar bagi usaha-
usaha perbaikan, meningkatkan kemajuan dan landasan kokoh bagi tegaknya sistem
pendidikan.

2. Kedudukan Filsafat dalam Kehidupan Manusia


Dengan befikir filsafat, kita dapat mengatasi kemelut hidup. Hal ini dapat terjadi
karena dengan memahami apa itu filsafat, maka kita dapat menggunakannya atau
menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari, sehingga tidak mengarah kepada
jalur yang tidak pernah diharapkan sebelumnya.
Beragam masalah di Indonesia tidak akan bisa selesai dengan pendekatan-
pendekatan teknis, seperti pendekatan ekonomi teknis, pendekatan politik teknis,
pendekatan teknologi teknis, ataupun pendekatan budaya teknis. Beragam masalah
tersebut bisa selesai dengan sendirinya, jika setiap orang Indonesia mau berfilsafat,

15
yakni menjadikan filsafat sebagai jalan hidup, apapun profesi sehari-hari mereka.
Jalan hidup filsafat menawarkan pencerahan yang menggairahkan.
Filsafat timbul karena kodrat manusia. Manusia mengerti bahwa hidupnya
tergantung dari pengetahuannya. Pengetahuan itu digunakan untuk menyempurnakan
kehidupannya. Karena konsekuensi dari pandangan filsafat itu sangat penting dan
menentukan sikap orang terhadap dirinya sendri, terhadap orang lain, dunia, dan
tuhannya. Tingkah laku manusia berlainan sekali dengan tingkah laku hewan,
manusia adalah makhluk merdeka. Ia dapat mengerti, menciptakan kebudayaan, ilmu
pengetahuan. Filsafat itu berhubungan erat dengan sikap orang dan pandangan hidup
manusia, justru karena filsafat mempersoalkan dan menanyakan sebab-sebab y ng
terakhir dari kesemua yang ada. Apabila filsafat dijadikan suatu ajaran hidup maka ini
berarti bahwa orang mengharapkan dari filsafat itu dasar-dasar ilmiah yang
dibutuhkannya nuntuk hidup. Filsafat diharapkan memberikan petunjuk-petunjuk
tentang bagaimana kita harus hidup untuk menjadi manusia sempurna, baik, susila
dan bahagia.

I. KEMAMPUAN MANUSIA MENGEMBANGKAN DIRI


Manusia adalah makhluk yang mampu mengembangkan diri. Kemampuan ini menyebabkan
manusia berpeluang untuk membentuk dirinya baik secara fisik maupun mental. Dengan cara
mengatur kadar dan komposisi makanan dan minuman dengan disertai latihan yang teratur,
fisik manusia dapat dibentuk. Usaha seperti itu sudah dilakukan orang-orang Sparta di zaman
Yunani Kuno. Hasilnya adalah manusia yang berotot kekar. Sekarang pun hal yang hampir
sama dipraktikkan oleh para binaragawan.
1. Sebaliknya, manusia pun memiliki potensi mental untuk dikembangkan. Berbagai
potensi mental yang terangkum dalam aspek kognisi, emosi dan konasi dapat
dikembangkan manusia untuk menjadi makhluk yang berperadaban (homo sapien).
Peningkatan dan pengembangan diri ini menyebabkan manusia memiliki tingkat
peradaban yang berbeda dan mengarah dari zaman ke zaman. Kemajuan peradaban
manusia ini terlihat dari adanya periodisasi sejarah umat manusia seperti zaman
prasejarah dan zaman sejarah: zaman kuno, zaman pertengahan, zaman modern
hingga zaman pascamodern (post modern).

16
2. Manusia memiliki berbagai potensi atau sumber daya untuk meningkatkan kualitas
kehidupannya. Sumber daya ini pada dasarnya baru berupa kemungkinan, layaknya
lembaga atau benih pada tumbuh-tumbuhan. Hasilnya baru akan terlihat apabila
potensi tersebut dapat disalurkan melalui pengarahan, bimbingan maupun latihan yang
terarah, teratur dan sinambung.

J. FILSAFAT PENDIDIKAN DAN KEPRIBADIAN


Peningkatan kualitas sumber daya manusia tentunya berbeda dari zaman ke zaman. Sifat,
bentuk dan arahannya tergantung dari kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat masing-
masing. Dalam komunitas nelayan misalnya, peningkatan kualitas sumber daya diarahkan
pada upaya untuk membentuk seseorang menjadi nelayan yang terampil. Peningkatan
kualitas sumber daya terlihat dari mereka yang semula awam terhadap masalah yang
menyangkut kehidupan nelayan menjadi nelayan profesional, mencakup ketepatan
menentukan manusia ikan, menggunakan berbagai perangkat alat penangkap ikan, pembuatan
perahu serta peralatannya. Peningkatan kualitas ini setidaknya telah mampu mengangkat
status orang yang semula hanya pemegang atau nelayan gurem itu menjadi nelayan
profesional. Demikian pula halnya pada lingkungan kehidupan masyarakat tani, pedagang
dan lainnya.
Di masyarakat tradisional, peningkatan kualitas sumber daya manusia masih terbatas
pada aspek-aspek tertentu, yang erat kaitannya dengan tradisi setempat. Namun yang jelas,
peningkatan itu tak lepas hubungannya dengan filsafat hidup dan kepribadian masing-masing.
Dalam pengertian sederhana, filsafat diartikan sebagai kepribadian jati diri dan pandangan
hidup seseorang, masyarakat atau bangsa. Kondisi ini dibentuk oleh tradisi kehidupan
masyarakat ataupun oleh usaha yang terprogram. Namun demikian, sesederhana apa pun,
pembentukan itu tak lepas dari peran pendidikan. Pendidikan, pada prinsipnya dapat dilihat
dari dua sudut pandang: individu dan masyarakat.
Transfer nilai-nilai budaya yang paling efektif adalah melalui proses
pendidikan. Dalam masyarakat model pendididkan tersebut didasarkan pada suatu sistem
yang sengaja dirancang dengan program pendidikan secara formal. Oleh sebab itu, dalam
penyelenggaraannya di bentuk kelembagaan pendidikan formal.

17
18
Pendidikan mencakup dua kepentingan utama, yaitu pengembangan potensi individu
dan pewarisan nilai-nilai budaya. Kedua hal ini berkaitan erat dengan pandangan hidup suatu
masyarakat atau bangsa itu masing-masing. Dengan kata lain, sistem pendidikan
bagaimanapun sederhananya mengandung karakteristik tentang jati diri pandangan hidup
masyarakat atau bangsa yang membuatnya.
Setidak-tidaknya, kepribadian dapat dilihat dari empat aspek muatannya, Pertama,
aspek personalia, yaitu kepribadian dilihat dari pola tingkah laku lahir dan batin yang dimiliki
seseorang. Kedua, aspek individualitas, yakni karakteristik atau sifat-sifat khas yang dimiliki
seseorang, hingga dengan adanya sifat-sifat ini seseorang secara individu berbeda dengan
individu lainnya. Ketiga, aspek mentalitas, sebagai perbedaan yang berkaitan dengan cara
berpikir. Mentalitas sebagai gambaran pola pikir seseorang. Keempat, aspek identitas, yaitu
kecenderungan seseorang untuk mempertahankan sikap dirinya dari pengaruh luar. Identitas
merupakan karakteristik yang menggambarkan jati diri seseorang. Berdasarkan ke empat
aspek tersebut, terlihat bagaimana hubungan antara pendidikan dan pembentukan
kepribadian, dan hubungannya dengan filsafat pendidikan yang bersumber dari nilai-nilai
budaya sebagai pandangan hidup suatu bangsa.

K. SISTEM NILAI DAN FILOSOFI KEHIDUPAN MANUSIA


Sistem nilai dalam satu masyarakat itu adalah aturan-aturan yang memberikan petunjuk yang
telah disepakati oleh masyarakatnya itu sendiri. Petunjuk-petunjuk tentang mana yang patut
dan mana yang tidak patut, mana yang dianggap elok mana yang tidak elok, mana yang etis
dan mana yang tidak etis hingga sampai pada mana yang benar dan mana yang tidak
dibenarkan. Sistem nilai yang kemudian dikenal sebagai etika, adalah hukum non tekstual
yang berperan mendampingi hukum normatif tekstual (hukum positif) yang diatur dalam
sistem perundangan di dalam pranata hukum satu negara yang demokratis.
Dilemasi sistem politik di negeri ini, adalah tidak adanya etika yang memandu
perilaku para politisi-politisinya itu sendiri. Etika sebagai hukum non tekstual yang
seharusnya mengawasi dan menjaga agar mereka tetap berada dijalur kepantasan, kepatutan ,
dan lain-lainnya sebagaimana dijelaskan di atas. Dalam beberapa dirkursus yang sering kita
temui, hampir seluruh politisi Indonesia bahkan mereka yang menyandang gelar Professor
sebagai kaum akademisi/intelektual selalu mengatakan bahwa dimensi etika berada di luar

19
ranah hukum. Artinya, ketika mereka mencoba mengurai berbagai persoalan-persoalan
pelanggaran etika , selalu berkecenderungan untuk hanya melihat dari aspek „materi‟ hukum
dan prosedur hukum serta aspek-aspek politik pragmatis sebagai satu-satunya jalan/upaya
yang bisa ditempuh.
Kehidupan secara lebih baik merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh manusia
dalam kehidupannya. Untuk mencapai hidup secara lebih baik manusia perlu untuk dibentuk
atau diarahkan. Pembentukan manusia itu dapat melalui pendidikan atau ilmu yang
mempengaruhi pengetahuan tentang diri dan dunianya, melalui kehidupan sosial atau polis,
dan melalui agama. Dalam tulisan ini akan membahas tentang unsur-unsur pembentuk
manusia yang dapat membantu manusia untuk hidup lebih baik. Pembentukan manusia yang
lebih baik bukan dalam arti moral; baik buruknya manusia, tetapi dalam arti pembentukan
manusia sebagai makhluk yang hidup dan berbudaya, yakni hidup yang lebih bijaksana, dan
lebih kritis.
Filsafat bukanlah ilmu positif seperti fisika, kimia, biologi, tetapi filsafat adalah ilmu
kritis yang otonom di luar ilmu-ilmu positif. Kelompok mencoba mengangkat tiga unsur
pembentukan manusia. Ketiga unsur pembentuk itu antara lain:
1. Pengetahuan manusia tentang diri sendiri dan lingkungannya
2. Manusia dalam hubungannya dengan hidup komunitas

Pengetahuan menjadi unsur yang penting dalam usaha membentuk manusia yang
lebih baik. Dengan pengetahuan yang memadai manusia dapat mengembangkan diri dan
hidupnya. Apa yang diketahui secara lebih umum dalam pengetahuan, dalam ilmu diketahui
secara lebih masuk akal. Dalam hal ini ilmu lebih kritis daripada hanya menerima apa yang
didapat dari pengetahuan. Sekalipun demikian kelompok mengangkat pengetahuan untuk
memahami hidup manusia dan secara kritis dilihat oleh ilmu. Pengetahuan yang dimaksud di
sini lebih pada pengetahuan manusia tentang diri sendiri dan dunianya. Ketika manusia
mengetahui dan mengenal dirinya secara penuh, ia akan hidup secara lebih sempurna dan
lebih baik dalam dunia yang adalah dunianya. Berkaitan dengan itu manusia juga
membutuhkan pengetahuan tentang lingkungan atau dunianya. Dengan pengetahuan yang ia
miliki tentang dunia atau lingkungannya, manusia dapat mengadaptasikan dirinya secara
cepat dan lebih mudah.
Manusia ternyata tidak hidup sendirian dalam dunianya. Ia hidup dalam hubungan
dengan dan membutuhkan manusia lain, yang menunjukkan hakikat dari manusia, yaitu
sebagai makhluk sosial. Manusia membutuhkan orang lain untuk dapat membentuk dan

20
mengembangkan dirinya sehingga dapat hidup secara lebih baik; lebih bijaksana dan lebih
kritis. Dengan demikian manusia pada hakikatnya hidup bersama dengan orang lain atau
hidup dalam suatu komunitas tertentu, mengalami kehidupan polis. Jadi, kebersamaannya
dengan orang lain dalam suatu komunitas inilah yang turut menentukan pembentukan yang
memperkenankan manusia itu hidup dengan cara yang lebih baik dan lebih sempurna dalam
dunianya.
Unsur lain yang menurut kelompok dapat membantu membentuk manusia sehingga
manusia dapat hidup secara lebih baik, lebih bijaksana adalah agama. Dengan kata lain,
agama mengandung nilai-nilai universal yang pada hakikatnya mengajarkan yang baik bagi
penganutnya.
a. Manusia mengetahui dirinya dan dunianya
Pengetahuan merupakan salah satu unsur yang penting dalam hubungan
dengan pembentukan manusia untuk hidup secara lebih baik dan lebih sempurna.
Manusia adalah makluk yang sadar dan mempunyai pengetahuan akan dirinya.
Selain itu juga manusia juga mempunyai pengetahuan akan dunia sebagai tempat
dirinya bereksistensi.
Dunia yang dimaksudkan di sini adalah dunia yang mampu memberikan
manusia kemudahan dan tantangan dalam hidup. Dunia di mana manusia
bereksistensi dapat memberikan kepada manusia sesuatu yang berguna bagi
pembentukan dan pengembangan dirinya. Pengetahuan merupakan kekayaan dan
kesempurnaan bagi makhluk yang memilikinya. Manusia dapat mengetahui segala-
galanya, maka ia menguasai makhluk lain yang penguasaannya terhadap
pengetahuan kurang.
Dalam lingkungan manusia sendiri seseorang yang tahu lebih banyak adalah
lebih baik bila dibandingkan dengan yang tidak tahu apa-apa. Pengetahuan
menjadikan manusia berhubungan dengan dunia dan dengan orang lain, dan itu
membentuk manusia itu sendiri. Namun, pengetahuan manusia begitu kompleks.
Pengetahuan manusia menjadi kompleks karena dilaksanakan oleh suatu makhluk
yang bersifat daging dan jiwa sekaligus, maka pengetahuan manusia merupakan
sekaligus indrawi dan intelektif.
Pengetahuan dikatakan indrawi lahir atau luar bila pengetahuan itu mencapai
secara langsung, melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan dan peraba,
kenyataan yang mengelilingi manusia. Sementara, pengetahuan itu dikatakan indrawi
batin ketika pengetahuan itu memperlihatkan kepada manusia, dengan ingatan dan

21
khayalan, baik apa yang tidak ada lagi atau yang belum pernah ada maupun yang
terdapat di luar jangkauan manusia. Pengetahuan intelektif merupakan watak kodrati
pengetahuan manusia yang lebih tinggi.
Lalu bagaimana pengetahuan yang dimiliki manusia tentang dirinya dan
dunianya dapat membentuk manusia untuk hidup secara lebih baik? Manusia
mengetahui dirinya berarti mengenal dengan baik kelebihan dan kekurangan yang
ada pada dirinya. Sementara, manusia mengetahui duninya berarti menusia mengenal
secara baik apa yang ada atau terkandung dalam dunianya itu, baik potensi yang
dapat memudahkan manusia itu sendiri maupun tantangan yang diperhadapkan
kepadanya.
Kekurangan manusia dapat diatasi dengan apa yang ada dalam dunianya.
Tentu saja melalui suatu relasi, baik relasi dengan orang lain maupun relasi dengan
alam. Pengetahuan dan pengenalan atas diri dan dunianya membantu manusia untuk
mengarahkan dirinya kepada hidup yang lebih baik. Salah satu cara manusia
mengetahui dirinya dan lingkungannya adalah melalui pendidikan. Dan pendidikan
di sini tentu saja pendidikan yang diharuskan untuk seni yang baik, yang khas hanya
untuk manusia, dan yang membedakannya dari semua binatang.

b. Manusia dalam hidup komunitas


Secara umum komunitas dapat diartikan sebagai suatu perkumpulan atau
persekutuan manusia yang bersifat permanen demi pencapaian suatu tujuan umum
yang diinginkan. Dan umumnya tujuan yang hendak dicapai itu didasarkan atas
kesatuan cinta dan keprihatinan timbal balik satu dengan yang lain. Jadi, secara tidak
langsung hidup komunitas dapat dimengerti sebagai suatu kehidupan dimana
terdapat individu-individu manusia yang membentuk suatu persekutuan guna
mencapai suatu tujuan bersama. Dan tujuan yang dicapai itu selalu merunjuk pada
nilai-nilai tertentu yang diinginkan bersama.
Misalnya, nilai kebaikan, keindahan, kerja sama dan sebagainya. Selanjutnya,
dalam mencapai tujuan bersama itu setiap individu saling berinteraksi atau
bekerjasama satu dengan yang lain guna tercapainya tujuan yang ingin dicapai. Akan
tetapi serentak pula tak dapat disangkal bahwa melalui kehidupan komunitas
kepribadian manusia dapat dibentuk melalui proses sosialisai dan internalisasi.
Artinya, melalui nilai-nilai yang dicapai dalam hidup komunitas itu disampaikan

22
kepada setiap individu. Selanjutnya, nilai-nilai itu dijadikan oleh pegangan dalam
diri setiap individu.

L. SUMBER DAYA MANUSIA


Manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam rangka menjadi khalifah dimuka bumi, hal ini
banyak dicantumkan dalam al-Qur‟an dengan maksud agar manusia dengan kekuatan yang
dimilikinya mampu membangun dan memakmurkan bumi serta melestarikannya. Untuk
mencapai derajat khalifah di buka bumi ini diperlukan proses yang panjang, dalam Islam
upaya tersebut ditandai dengan pendidikan yang dimulai sejak buaian sampai ke liang lahat.
Di atas telah disinggung bahwa pendidikan Islam memadukan dua segi kepentingan
manusia yaitu keduniaan dan keagamaan. Berbeda dengan pendidikan sekuler yang hanya
meninjau pada satu aspek saja, yaitu keduniaan saja dan segala bentuk keberhasilan
cenderung dinyatakan dengan jumlah materi yuang dimiliki atau jabatan serta pengaruh di
tempat individu berada. Akibatnya telah dapat dilihat bahwa kehampaan yang terjadi pada
masyarakat Eropa dan Amerika adalah kehampaan spiritual yang sebagai tempat pelariannya
ke tempat-tempat hiburan, alkohol dan bentuk lainnya. Dengan demikian kemajuan pada satu
aspek saja dalam kehidupan ini menyebabkan ketimpangan dalam perjalanan hidup manusia
yang kemudian akan kembali menjadi permasalahan kemanusiaan khususnya sumber daya
manusia.
Menurut Hadawi Nawawi (1994) Sumber daya manusia (SDM) adalah daya yang
bersumber dari manusia, yang berbentuk tenaga atau kekuatan (energy atau power). Sumber
daya manusia mempunyai dua ciri, yaitu : (1) Ciri-ciri pribadi berupa pengetahuan, perasaan
dan keterampilan (2) Ciri-ciri interpersonal yaitu hubungan antar manusia dengan
lingkungannya. Sementara Emil Salim menyatakan bahwa yang dimaksud dengan SDM
adalah kekuatan daya pikir atau daya cipta manusia yang tersimpan dan tidak dapat diketahui
dengan pasti kapasitasnya. Beliau juga menambahkan bahwa SDM dapat diartikan sebagai
nilai dari perilaku seseorang dalam mempertanggungjawabkan semua perbuatannya, baik
dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan
berbangsa. Dengan demikian kualitas SDM ditentukan oleh sikap mental manusia.
T. Zahara Djaafar (2001: 1) menyatakan bahwa bila kualitas SDM tinggi, yaitu
menguasai ilmu dan teknologi dan mempunyai rasa tanggung jawab terhadap kehidupan
manusia dan makhluk hidup lainnya dan merasa bahwa manusia mempunyai hubungan
fungsional dengan sistem sosial, nampaknya pembangunan dapat terlaksana dengan baik
seperti yang telah negara-negara maju, dalam pembangunan bangsa dan telah berorientasi ke

23
masa depan. Tidak jarang di antara negara-negara maju yang telah berhasil meningkatkan
kesejahteraan bangsanya adalah bangsa yang pada mulanya miskin namun memiliki SDM
yang berkualitas.
Dalam Islam sosok manusia terdiri dua potensi yang harus dibangun, yaitu lahiriah
sebagai tubuh itu sendiri dan ruhaniyah sebagai pengendali tubuh. Pembangunan manusia
dalam Islam tentunya harus memperhatikan kedua potensi ini. Jika dilihat dari tujuan
pembangunan manusia Indonesia yaitu menjadikan manusia seutuhnya, maka tujuan tersebut
harus memperhatikan kedua potensi yang ada pada manusia. Namun upaya kearah
penyeimbangan pembangunan kedua potensi tersebut selama 32 tahun masa orde baru hanya
dalam bentuk konsep saja tanpa upaya aplikasi yang sebenarnya. Telah dimaklumi bahwa
pendidikan Islam memandang tinggi masalah SDM ini khususnya yang berkaitan dengan
akhlak (sikap, pribadi, etika dan moral).
Kualitas SDM menyangkut banyak aspek, yaitu aspek sikap mental, perilaku, aspek
kemampuan, aspek intelegensi, aspek agama, aspek hukum, aspek kesehatan dan sebagainya
(Djaafar, 2001: 2). Kesemua aspek ini merupakan dua potensi yang masing-masing dimiliki
oleh tiap individu, yaitu jasmaniah dan ruhaniah. Tidak dapat dipungkiri bahwa aspek
jasmaniah selalu ditentukan oleh ruhaniah yang bertindak sebagai pendorong dari dalam diri
manusia. Untuk mencapai SDM berkualitas, usaha yang paling utama sebenarnya adalah
memperbaiki potensi dari dalam manusia itu sendiri, hal ini dapat diambil contoh seperti
kepatuhan masyarakat terhadap hukum ditentukan oleh aspek ruhaniyah ini. Dalam hal ini
pendidikan Islam memiliki peran utama untuk mewujudkannya.
Tantangan manusia pada millennium ke-3 ini akan terfokus pada berbagai aspek
kompleks. Khusus dibidang pendidikan Aly dan Munzier (2001 : 227) menyebutkan bahwa
tantangan pendidikan Islam terbagi atas 2, yaitu tantangan dari luar, yaitu berupa
pertentangan dengan kebudayaan Barat abad ke-20 dan dari dalam Islam itu sendiri, berupa
kejumudan produktivitas keislaman.
Abdul Rachman Shaleh (2000: 203) menyatakan bahwa untuk menjawab tantangan
dan menghadapi tuntutan pembangunan pada era globalisasi diisyaratkan dan diperlukan
kesiapan dan lahirnya masyarakat modern Indonesia. Aspek yang spektakuler dalam
masyarakat modern adalah penggantian teknik produksi dari cara tradisional ke cara modern
yang ditampung dalam pengertian revolusi industri. Secara keliru sering dikira bahwa
modernisasi hanyalah aspek industri dan teknologi saja. Padahal secara umum dapat
dikatakan bahwa modernisasi masyarakat adalah penerapan pengetahuan ilmiah yang ada
kepada semua aktivitas dan semua aspek hidup masyarakat.

24
Dalam upaya pembangunan masyarakat, tidak ada suatu masyarakat yang bisa ditiru
begitu saja, tanpa nilai atau bebas nilai. Hal ini telah terlihat dengan peniruan dan
pengambilan pola kehidupan sosialis, materialistis yang ditiru masyarakat Indonesia. Untuk
itu perlu pembangunan di bidang agama. A. R. Saleh (2000 : 205) menyatakan bahwa
pembangunan di bidang agama diarahkan agar semakin tertata kehidupan beragama yang
harmonis, semarak dan mendalam, serta ditujukan pada peningkatan kualitas keimanan dan
ketaqwaan terhadap Tuhan YME, terciptanya kemantapan kerukunan beragama,
bermasyarakat dan berkualitas dalam meningkatkan kesadaran dan peran serta akan tanggung
jawab terhadap perkembangan akhlak serta untuk secara bersama-sama memperkukuh
kesadaran spiritual, moral dan etik bangsa dalam pelaksanaan pembangunan nasional,
peningkatan pelayanan, sarana dan prasarana kehidupan beragama.
Masyarakat yang sedang membangun adalah masyarakat yang sedang berubah
dan terkadang perubahan tersebut sangat mendasar dan mengejutkan. Masyarakat yang
sedang dibangun berarti masyarakat terbuka, yang memberi peluang untuk masuknya modal,
ilmu dan teknologi serta nilai dan moral asing yang terkadang tidak sesuai dengan
kepribadian bangsa. Untuk itu peran agama diharapkan dapat berfungsi sebagai pengarah dan
pengamanan pembangunan nasional. Dalam masyarakat yang sedang berubah ini terdapat
objek paling rawan yaitu generasi muda, untuk itu prioritas perhatian pada generasi muda ini
perlu ditingkatkan demi keberhasilan pembangunan.
Peningkatan kualitas manusia hanya dapat dilakukan dengan perbaikan pendidikan.
A. R. Saleh (2000: 205) menyatakan ada beberapa ciri masyarakat atau manusia yang
berkualitas, yaitu:
1. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, serta berakhlak mulia dan
berkepribadian.
2. Berdisiplin, bekerja keras, tangguh dan bertanggung jawab
3. Mandiri, cerdas dan terampil
4. Sehat jasmani dan rohani.
5. Cinta tanah air, tebal semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan social

Generasi yang berkualitas yang akan disiapkan untuk menyongsong dan menjadi
pelaku pembangunan pada era globalisasi dituntut untuk meningkatkan kualitas
keberagamaannya (dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan agama yang tetap
bertumpu pada iman dan aqidah). Dengan kata lain masyarakat maju Indonesia menuntut
kemajuan kualitas hasil pendidikan Islam. A. R. Saleh menyatakan bahwa modernisasi bagi

25
bangsa Indonesia adalah penerapan ilmu pengetahuan dalam aktivitas pendidikan Islam
secara sistematis dan berlanjut. Tujuan pendidikan nasional termasuk tujuan pendidikan
agama adalah mendidik anak untuk menjadi anak manusia berkualitas dalam ukuran dunia
dan akhirat.
Untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang berkualitas, ditetapkan
langkah-langkah dalam pembinaan pendidikan agama yaitu :
1. Meningkatkan dan menyelaraskan pembinaan perguruan agama dengan perguruan
umum dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi sehingga perguruan agama
berperan aktif bagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Pendidikan agama pada perguruan umum dari tingkat dasar sampai dengan
perguruan tinggi akan lebih dimantapkan agar peserta didik menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME serta pendidikan agama berperan aktif
bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Pendidikan tinggi agama serta lembaga yang menghasilkan tenaga ilmuan dan ahli di
bidang agama akan lebih dikembangkan agar lebih berperan dalam pengembangan
pikiran-pikiran ilmiah dalam rangka memahami dan menghayati serta mampu
menterjemahkan ajaran-ajaran agama sesuai dan selaras dengan kehidupan
masyarakat (A. R. Saleh, 2000: 206).

Berdasarkan upaya di atas, maka dapat dilihat bahwa upaya untuk meningkatkan
kualitas pendidikan agama pada 2 jalur, yaitu lembaga pendidikan umum dan keagamaan.
Sejalan dengan upaya peningkatan SDM ini H. A. R. Tilaar (1999 : 200-204) dalam
memandang tuntutan SDM yang kompetitif di abad 21 sesuai tantangan atau tuntutan
masyarakat dalam era ilmu pengetahuan, menyatakan bahwa perlunya:
1. Reformulsi IAIN sebagai Institusi Pendidikan Tinggi Islam, hal ini dilihat dari
relevansinya terhadap tuntutan ilmu pengetahuan dan pembangunan nasional masih
bersifat sektoral dan visinya yang terbatas.
2. Nilai Agama Sebagai Faktor Integratif, telah terlihat efek pemisahan agama dan sains-
teknologi. Nilai agama hendaknya dijadikan faktor integratif di dalam
mengembangkan fakultas-fakultas ilmu murni bila transformasi IAIN menjadi
Universitas Islam dapat diwujudkan.
3. Peninjauan Eksistensi Fakultas Tarbiyah dalam IAIN dan menyarankan agar
ditransformasikan menjadi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

26
M. FILSAFAT PENDIDIKAN DAN SUMBER DAYA MANUSIA
Manusia adalah makhluk yang memiliki berbagai potensi bawaan. Dari sudut pandang
potensi yang dimiliki itu, dinamakan dengan berbagai sebutan. Dilihat dari potensi
inteleknya, manusia disebut homo intelecus. Manusia juga disebut homo faber, karena
manusia memiliki kemampuan untuk membuat beragam barang atau peralatan. Kemudian
manusia pun disebut homo sacinss atau homo saciale abima, karena manusia adalah makhluk
bermasyarakat. Di lain pihak, manusia juga memiliki kemampuan merasai, mengerti,
membeda-bedakan, kearifan, kebijaksanaan, dan pengetahuan. Atas dasar adanya
kemampuan tersebut, manusia disebut homo sapiens (K. Prent, CM, J. Adisubrata, W.J.S.
Poewardarminta, 1969: 322-764).
Dengan adanya filsafat, manusia dimungkinkan dapat melihat kebenaran tentang
sesuatu di antara kebenaran yang lain. Hal ini membuat manusia mencoba mengambil
pilihan, di antara alternatif yang ada saat itu, sehingga manusia mampu menghadapi masalah-
masalah yang ada dan pelajaran untuk menjadi bijaksana. Di samping itu filsafat memberikan
petunjuk dengan metode pemikiran reflektif agar kita dapat menyerasikan antara logika, rasa,
rasio, pengalaman dan agama pemenuhan kebutuhan hidup yang sejahtera.
Filsafat pendidikan disusun atas dua pendekatan. Pendekatan pertama bahwa filsafat
pendidikan diartikan sebagai aliran yang didasarkan pada pandangan filosofis tokoh-tokoh
tertentu. Sedangkan pandangan kedua adalah usaha untuk menemukan jawaban dari
pendidikan beserta masalah-masalah yang ada yang memerlukan tinjauan filosofis.
Filsafat pendidikan sebagai sistem dapat dilihat dari dua pendekatan. Pendekatan
pertama berdasarkan pandangan filosofis, sebagaimana telah diuraikan terdahulu. Dalam
pandangan ini terungkap bahwa konsep pendidikan dalam berbagai aliran itu mengakui
bahwa manusia memiliki potensi untuk dididik. Selanjutnya, pendekatan kedua adalah filsafat
pendidikan dilihat dari sudut pandang sistem pendidikan. Berdasarkan pendekatan ini, filsafat
pendidikan merupakan usaha untuk menemukan jawaban tentang pendidikan dan problema-
problema yang ada yang memerlukan tujuan filosofis. Filsafat pendidikan adalah pemikiran
filsafat yang diterapkan dalam bidang pendidikan (Al-Syaibani, 1987: 37). Dalam pandangan
ini, filsafat pendidikan menjadi tumpuan bagi penyusunan sistem pendidikan.
Pendidikan dalam hubungan dengan individu dan masyarakat, dapat dilihat dari
bagaimana garis hubungannya dengan filsafat pendidikan dan sumber daya manusia. Dari

27
sudut pandang individu, pendidikan merupakan usaha untuk mengembangkan potensi
individu, sebaliknya dari sudut pandang kemasyarakatan, pendidikan adalah sebagai
pewarisan nilai-nilai budaya. Dalam pandangan ini, pendidikan mengembangkan dua tugas
utama, yaitu peningkatan potensi individu dan pelestarian nilai-nilai budaya. Manusia sebagai
makhluk berbudaya pada hakikatnya adalah pencipta budaya itu sendiri. Budaya itu
kemudian meningkat sejalan dengan peningkatan potensi manusia pencipta budaya itu.

N. SIMPULAN
Sumber daya manusia (SDM) adalah daya yang bersumber dari manusia, yang berbentuk
tenaga atau kekuatan (energi atau power). Sumber daya manusia mempunyai dua ciri, yaitu:
(1) Ciri-ciri pribadi berupa pengetahuan, perasaan dan keterampilan (2) Ciri-ciri interpersonal
yaitu hubungan antar manusia dengan lingkungannya. Sementara Emil Salim menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan SDM adalah kekuatan daya pikir atau daya cipta manusia yang
tersimpan dan tidak dapat diketahui dengan pasti kapasitasnya. Beliau juga menambahkan
bahwa SDM dapat diartikan sebagai nilai dari perilaku seseorang dalam
mempertanggungjawabkan semua perbuatannya, baik dalam kehidupan pribadi maupun
dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan berbangsa. Dengan demikian kualitas SDM
ditentukan oleh sikap mental manusia (Djaafar, 2001 : 2).T. Zahara Djaafar (2001 : 1)
menyatakan bahwa bila kualitas SDM tinggi, yaitu menguasai ilmu dan teknologi dan
mempunyai rasa tanggung jawab terhadap kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya
dan merasa bahwa manusia mempunyai hubungan fungsional dengan sistem sosial,
nampaknya pembangunan dapat terlaksana dengan baik seperti yang telah negara-negara
maju, dalam pembangunan bangsa dan telah berorientasi ke masa depan. Tidak jarang di
antara negara-negara maju yang telah berhasil meningkatkan kesejahteraan bangsanya adalah
bangsa yang pada mulanya miskin namun memiliki SDM yang berkualitas.

28
BIBLIOGRAFI

Abu Hanifah. Rintisan filsafat I. Jakarta: Balai Pustaka. 1950


Adib, Muhammad. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009
Ahmad Hanafi. Pengantar filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.1990
Aly, H. N. dan Munzier. Watak Pendidikan Islam. Jakarta: Friska Agung Insani.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru.
Jakarta: Kalimah. 2001
Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset. 1987
Hasan, Chalijah. Dimensi-dimensi Psikologi Pendidikan. Surabaya: Al Ikhlas. 1994
Ihsan, hamdani dan Ihsan fuad. filsafat pendidikan islam. Bandung. Pustaka Setia.2001
Jalaluddin dan Abdullah Idi. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada. 2011
Langgulung, Hasan. Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi, Filsafat dan
Pendidikan. Jakarta: Pustaka Al Husna. 1986
Prasetya. Filsafat Pendidikan: Untuk IAIN, STAIN, PTAIS. Bandung: Pustaka Setia. 2000
------------. Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.1997
Shaleh, A. R. Pendidikan Agama dan Keagamaan: Visi, Misi dan Aksi. Jakarta: Gemawindu
Pancaperkasa. 2000
Tilaar, H. A. R. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad
21. Magelang: Tera Indonesia. 1999
Zuhairini. Filsafat Pendiikan Islam. Jakarta: Bumi Askara.

29

Anda mungkin juga menyukai