Anda di halaman 1dari 8

PERTEMUAN-8

Topik:
TUGAS, TANGGUNGJAWAB, DAN
PROFESIONALISME PENDIDIK

A. Hakikat Tugas dan Tanggung Jawab Pendidik


Menurut Raka Joni (Conny R. Semiawan dan Soedijarto,
1991), hakikat tugas guru pada umumnya berhubungan dengan
pengembangan sumber daya manusia yang pada akhirnya akan
paling menentukan kelestarian dan kejayaan kehidupan bangsa.
Dengan perkataan lain bahwa guru mempunyai tugas
membangun dasar-dasar dari corak kehidupan manusia di masa
yang akan datang.
Dapat dimengerti bahwa bila guru melakukan kesalahan
maka dampaknya walaupun tidak secara langsung akan terasa
tidak kurang gawatnya dibandingkan dengan dampak negatif
dari kesalahan medis yang dilakukan oleh dokter. Bila kesalahan
yang dilakukan oleh dokter berdampak pada “kematian” pasien
(anak) dalam waktu yang singkat, sedang kesalahan yang
dilakukan oleh guru akan berakibat “kematian” anak dalam
jangka waktu yang cukup lama (potensi-potensi
kemanusiaannya “terbunuh” oleh praktik pendidikan yang
salah). Praktik pendidikan yang salah ini dalam ilmu pendidikan
disebut “mal-education” atau “demagogie”.
Dalam proses pendidikan, pada dasarnya guru mempunyai
tugas “mendidik dan mengajar” peserta didik agar dapat menjadi
manusia yang dapat melaksanakan tugas kehidupannya yang
selaras dengan kodratnya sebagai manusia yang baik dalam
kaitan hubungannya dengan sesama manusia maupun dengan
Tuhan. Tugas mendidik guru berkaitan dengan transformasi
nilai-nilai dan pembentukan pribadi, sedang tugas mengajar
berkaitan dengan transformasi pengetahuan dan keterampilan
kepada peserta didik. Namun bagi guru di kelas, tugas mendidik
127
dan mengajar merupakan tugas yang terpadu dan saling
berkaitan.
Mengajar merupakan “aktivitas intensional” yakni suatu
aktivitas yang menimbulkan belajar. Guru mendeskripsikan,
menerangkan, memberi pertanyaan, dan mengevaluasi. Guru
juga mendorong, memberikan sanksi hukuman dan ganjaran,
dan membujuk; pendek kata ia melakukan banyak hal agar
peserta didik mempelajari apa saja yang menurut pemikiran
guru yang dipelajari peserta didik dalam cara yang guru
sepakati. Guru-guru dibanding pendidik lain adalah lebih
profesional, dalam arti bahwa mereka lebih mengetahui: (a) apa
yang mereka ajarkan; (b) bagaimana mengajarkannya; dan (c)
siapa yang bisa mereka beri pelajaran.
Suatu tugas pokok guru adalah menjadikan peserta didik
mengetahui atau melakukan hal-hal dalam suatu cara yang
formal. Ini berarti bahwa ia menstrukturisasi pengetahuan atau
keterampilan dalam suatu cara yang sedemikian rupa sehingga
menyebabkan peserta didik tidak hanya mempelajarinya,
melainkan juga mengingatnya dan melakukan sesuatu
dengannya (Dirto Hadisusanto, Suryati Sidharto, dan Dwi
Siswoyo, 1995:101).
Dalam bahasa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen pasal 20, maka tugas guru adalah: (a)
Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses
pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi
hasil pembelajaran; (b) meningkatkan dan mengembangkan
kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni; (c) bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar
pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik
tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi
peserta didik dalam pembelajaran; dan (d) menjunjung tinggi
peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru,
serta nilai-nilai agama dan etika, (e) memelihara dan memupuk
persatuan dan kesatuan bangsa.

128
Dengan hakikat tugas guru yang demikian sebagaimana
disebut di atas, maka terkait dengan tugas tersebut ada dimensi
tanggung jawab. Dalam konteks ini, guru-guru yang baik adalah
vital bagi suatu kemajuan dan juga keselamatan bangsa. Guru
memiliki tanggung jawab tidak hanya menyampaikan ide-ide,
akan tetapi ia menjadi suatu wakil dari suatu cara hidup yang
kreatif, suatu simbol kedamaian dan ketenangan dalam suatu
dunia yang dicemaskan dan aniaya. Oleh karenanya, guru
merupakan penjaga peradaban dan pelindung kemajuan (Meyer
dalam Dirto Hadisusanto, Suryati Sidharto, dan Dwi Siswoyo,
1995:101).
Melalui usaha-usaha guru, pola kemasyarakatan dapat
dilestarikan dan diperbaiki. Ia juga mengenalkan peserta didik
dalam nilai-nilai etik, pencapaian-pencapaian budaya, doktrin-
doktrin politik, adat istiadat sosial dan prinsip-prinsip ekonomi
yang menentukan watak dan kualitas peradaban. Dalam konteks
ini, guru pada hakikatnya ditantang untuk senantiasa
mengemban tanggung jawab moral dan tanggung jawab ilmiah
agar kebudayaan nasional kita dapat bertahan identitasnya, di
samping dapat berkembang atau progresif dalam kopetisinya
dengan perkembangan budaya-budaya asing.
Dengan tanggung jawab moral, guru dituntut untuk dapat
mengejawantahkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat, bangsa dan negara dalam diri pribadi karena nilai-
nilai itu harus senantiasa terpadu dengan diri orang yang
menanamkan pada nilai agar usaha itu berhasil. Ini sesuai
dengan prinsip kesesuaian antara apa yang dikatakan (baik)
dengan apa yang dilakukan baik. Dalam soal nilai-nilai ada
kecenderungan bahwa tindakan guru lebih banyak diikuti oleh
peserta didik dari pada apa yang dikatakannya. Sedangkan
tanggung jawab ilmiah, berkaitan dengan transformasi
pengetahuan dan keterampilan yang saat ini menuntut guru
senantiasa belajar untuk memperluas cakrawala dan
perkembangan wawasan pengetahuannya sesuai dengan
perkembangan-perkembangan yang mutakhir, disertai wawasan

129
yang filosofis tentang pendidikan; sehingga pengambilan
kebijakan atau keputusan dalam praktik pendidikan tidak
meninggalkan makna hakikatnya, yaitu proses pemanusiaan
manusia.

B. Profesionalisme Guru dan Prinsip-prinsipnya


Profesionalisme berasal dari kata dasar profesi. Mc Cully
(Sunaryo Kartadinata dan Nyoman Dantes, 1997) mengartikan
profesi adalah “a vocation in which professed knowledge of
some department of learning or science is used in its application
to the affairs of others or in the practice of an art founded upon
it”. Hal ini mengandung makna bahwa dalam suatu pekerjaan
professional selalu digunakan teknik serta prosedur yang
bertumpu pada landasan intelektual yang secara sengaja harus
dipelajari, dan kemudian secara langsung dapat diabdikan bagi
kemaslahatan orang lain.
Edgard H. Schein dan Diana W. Kommers (Sunaryo
Kartadinata dan Nyoman Dantes, 1997) mengartikan profesi
yang sedikit berbeda. Menurut pendapatnya “the profession are
a set of occupation that have developed a very special set of
norms deriving from their special role in society”. Profesi
adalah seperangkat keterampilan yang dikembangkan secara
khusus melalui seperangkat norma yang dianggap cocok untuk
tugas-tugas khusus di masyarakat. Seperangkat keterampilan
yang dikembangkan secara khusus dimaksudkan sebagai
seperangkat keterampilan yang spesifik, tidak semua orang bisa,
membutuhkan ketelitian dan ketekunan, serta menuntut keahlian
dan tanggung jawab yang tinggi. Oleh karena itu profesi yang
demikian itu harus diperoleh melalui pendidikan dan latihan
yang umumnya dari perguruan tinggi.
Ada banyak macam profesi yang ada di masyarakat,
misalnya: dokter, apoteker, perawat, psikolog, akuntan,
pengacara, peneliti, polisi, fotografer, arsitek, dan guru. Masing-
masing pemilik profesi sudah barang tentu harus memiliki
seperangkat keterampilan khusus yang membutuhkan ketelitian
130
dan ketekunan, serta menuntut keahlian dan tanggung jawab
yang tinggi. Guru sebagai profesi juga membutuhkan dan
menuntut hal-hal yang demikian, lebih-lebih dalam era dewasa
ini profesi guru tersebut dituntut bisa lebih professional.
Dalam hal ini profesionalisme guru memiliki prinsip-prinsip
profesionalisme sebagai berikut.
1. Bahwa profesi guru merupakan profesi yang berdasarkan
bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme.
2. Menuntut komitmen tinggi terhadap peningkatan mutu
pendidikan, iman taqwa dan akhlak mulia.
3. Adanya kualifikasi akademik dan latarbelakang pendidikan
yang relevan.
4. Memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang tugasnya di
sekolah.
5. Menuntut tanggungjawab tinggi atas tugas perofesinya demi
kemajuan bangsa.

C. Organisasi Profesi dan Kode Etik Guru


Dewasa ini telah banyak organisasi profesi guru di Indonesia
yang mampu mewadahi para guru sebagai individu profesional
untuk menggabungkan diri dalam satu wadah. Beberapa
organisasi profesi guru tersebut antara lain PGRI (Persatuan
Guru Republik Indonesia), SGI (Serikat Guru Indonesia), FGII
(Federasi Guru Independen Indonesia), Ikatan Guru Honorer
Indonesia, IGTK (Ikatan Guru Taman Kanak-Kanak), Himpaudi
(Himpunan Pendidik Anak Usia Dini Indonesia), IGRA (Ikatan
Guru Raudhatul Atfal). Organisasi profesi tersebut diarahkan
bisa berfungsi sebagai protektor dalam memberikan
perlindungan serta sebagai dinamisator dan motivator dalam
rangka pengembangan diri bagi anggota-anggotanya. Sehingga
organisasi profesi tidak hanya bertujuan melindungi dan
memperjuangkan kepentingan para anggotanya, akan tetapi juga
mengemban fungsi pengawasan terhadap kualitas dan moral
layanan edukatif para anggotanya kepada masyarakat.
Mendinamisir para anggotanya untuk selalu membina diri dalam
131
rangka pengembangan kemampuan profesional seperti ciri
’thoughtfulness’ dari seorang profesional (Sunaryo Kartadinata
dan Nyoman Dantes, 1997).
Untuk itulah sebuah organisasi profesi seyogyanya mampu
mengembangkan fungsinya secara lebih luas, yaitu: (1)
mempersatukan seluruh kekuatan dalam satu wadah organisasi
profesi guru; (2) mengupayakan adanya satu kesatuan langkah
dan tindakan; (3) melindungi kepentingan para anggotanya; (4)
melakukan pengawasan terhadap kemampuan para anggotanya
serta memotivasi para anggotanya tersebut untuk selalu
mengembangkan kemampuan profesionalnya; (5) menyusun dan
melaksanakan program-program peningkatan kemampuan
profesional para anggotanya; (6) melengkapi upaya pembinaan
anggota melalui pengelolaan penerbitan jurnal dan bacaan
lainnya dalam rangka peningkatan kemampuan profesional; (7)
melakukan tindakan sanksi terhadap anggotanya yang
melanggar aturan kode etik, baik sanksi secara administratif
maupun psikologis; dan (8) melibatkan diri dalam uji
kompetensi untuk menentukan bisa tidaknya seorang guru
dinyatakan sebagai profesional dan layak menjadi guru di
sekolah.
Dalam rangka membina kemampuan dan kepribadian para
guru sehingga memiliki citra diri positif sebagai pemilik profesi
yang profesional di mata masyarakat, maka sejak tahun 1974
para guru telah mengembangkan kode etik guru profesional.
Kode etik guru profesional yang telah dirumuskan berbunyi
(Sunaryo Kartadinata dan Nyoman Dantes, 1997) sebagai
berikut.
1. Guru berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk
membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasila.
2. Guru memiliki kejujuran profesional dalam menerapkan
kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didik masing-
masing.
3. Guru mengadakan komunikasi terutama dalam memperoleh
informasi tentang anak didik.

132
4. Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan
memelihara hubungan dengan orang tua murid sebaik-
baiknya bagi kepentingan anak didik.
5. Guru memelihara hubungan baik dengan anggota
masyarakat di sekitar sekolahnya maupun masyarakat yang
lebih luas untuk kepentingan pendidikan.
6. Guru secara sendiri-sendiri dan/atau bersama-sama berusaha
mengembangkan dan meningkatkan mutu profesionalnya.
7. Guru menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama
guru baik berdasarkan lingkungan kerja maupun di dalam
keseluruhan.
8. Guru secara bersama-sama memelihara, membina, dan
meningkatkan mutu organisasi guru profesional sebagai
sarana pengabdiannya.
9. Guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan
kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.

Gambar-1
Guru Berdikusi untuk Pengembangan Pendidikan

(Sumber: Dok.Klinik Pembelajaran (KP) Pabelan)

_____________

133
QUIS PERTEMUAN-8

1. Apakah tugas dan tanggungjawab guru sebagai pendidik?


2. Mengapa guru harus profesional?
3. Apa sajakah persyaratan yang harus dimiliki oleh guru
agar dapat disebut profesional?
4. Mengapa guru disekolah sering dituding kurang
profesional?
5. Bagaiamana usaha-usaha yang dapat dilakukan oleh
organisasi profesi guru agar anggotanya dapat menjadi
profesional?

134

Anda mungkin juga menyukai